Otoritas Pasar yang Kebablasan
Nasution, Otoritas Pasar...
OTORITAS PASAR YANG KEBABLASAN
Indra Kesuma Nasution
Abstract: Imagine that this world is a piece of paper. Like an expert in origami, fold the
paper in two, four, eight, sixteen pieces, and so on, until we reach to a point where the
paper can no longer be folded in any way. The paper can not be folded anymore because
there are limitations on the capabilities of the structure which hold the changes within.
Folding the paper beyond its limitations will ruin the existence and essence of the paper
itself (Piliang, 2004).
Keywords: market authorities, passionate capitalism, libidonomics capitalism
PENDAHULUAN
Kutipan dari salah satu paragraf buku
dunia yang dilipat di atas, merupakan gambaran
sederhana bahwa fakta globalisasi saat ini
merupakan fenomena perkembangan dunia yang
bergerak
melebihi
batas-batas
alamiah
kemampuan dirinya pun juga jawaban analogis
dan simplistis atas pertanyaan dalam tranformasi
global. Apakah otoritas privat dibaca pasar benarbenar dominan dan menggeser otoritas publik
(dibaca negara) pada saat ini. Jika ya, apa
implikasinya pada dunia. Dua pertanyaan besar di
atas menjadi raison de’tre mengapa tulisan ini
menjadi ada.
Sekilas, atmosfir jawaban analogis yang
diberikan, terkesan simplistic, value oriented dan
negative thinking atas globalisasi ekonomi.
Namun demikian, simplifikasi atas kapitalisme
dan anak pinaknya terkesan lebih cantik, elegan,
dan bertanggungjawab jika argumen atasnya
dibangun berdasar asumsi dan logika berfikir
yang runut. Untuk itu, demi upaya itulah elaborasi
akan coba penulis lakukan semampunya.
PEMBAHASAN
Dominasi Otoritas Privat atas Publik: Efek
Awal Kebablasan Dunia
Berbicara tentang globalisasi ekonomi
dan efek-efek yang diakibatkan olehnya, tidak
dapat
dilepaskan
dari
analisis
tentang
kemunculan pasar sebagai sumber otoritas baru
dalam hubungan internasional. Kemunculannya
merupakan hasil dari diskursus dialektis yang
selalu terjadi antar dua otoritas yaitu public vs
private, sekaligus pertanda kemenangan dominasi
otoritas yang terakhir atas yang pertama.
Otoritas dimaknai sebagai penyerahan
kewenangan pribadi/individu/privat terhadap
suatu institusi tertentu sebagai bentuk kepatuhan
atasnya. Otoritas selalu berada di antara
mekanisme paksaan dan persuasi, tarik-menarik
di antara keduanya merupakan sumber diskursus
antara dua otoritas tersebut. Otoritas publik
berada pada ranah yang penuh aturan, tekanan
bahkan paksaan. Sementara otoritas privat
merupakan wujud dari kebebasan setiap orang
(Cutler, 1999). Sesuatu yang berjalan secara
alamiah, netral dan jika ada sebuah aturan itu pun
dicapai melalui upaya persuasi yang apolitis
sifatnya. Dalam konteks yang lebih luas
keberadaannya diwakili oleh civil society, namun
dalam konteks yang kita bicarakan saat ini
keberadaannya direpresentasikan oleh institusi
ekonomi yang disebut pasar.
Sepanjang sejarah, hubungan antara
keduanya bersifat dialektif dan selalu terjadi
dinamika dominasi. Pada abat pertengahan antara
otoritas privat dan publik bekerja dalam alam
sendiri-sendiri dan berjalan menurut logika
masing-masing. Sementara di era negara modern,
dominasi negara sebagai agen otoritas publik
cenderung besar. Terjadi kooptasi otoritas publik
atas privat, hampir semua persoalan dipublikkan,
negara mengatur banyak persoalan individu,
termasuk juga pasar yang ditandai dengan
maraknya praktik ekonomi merkantilisme di
mana hampir semua aktivitas ekonomi
internasional dijalankan dengan logika politik.
Sementara itu semenjak berakhirnya perang
dingin situasi berubah drastis di mana otoritas
privat mulai menyaingi dominasi otoritas publik.
Pasar mulai muncul sebagai sumber otoritas baru
yang dapat mendikte negara dalam banyak
persoalan. Hal itu terjadi tidak hanya disebabkan
oleh kemenangan ideologis kapitalisme dan
neoliberalisme atas komunisme semata, namun
juga dipicu oleh perkembangan teknologi
informasi dan produksi yang memunculkan dua
Indra Kesuma Nasution adalah Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP USU Medan
109
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
fenomena besar, yaitu pertama, matinya geografi,
kedua, berkembangnya strategi aliansi di antara
MNE dunia.
1. Matinya Geografi
Dalam era Westphalian state system,
perdagangan internasional seperti juga fenomena
internasional lainnya, dijalankan atas dasar logika
geografi (ruang). Dikotomi antara ekonomi
domestik dengan ekonomi internasional, merujuk
pada kondisi tempat tertentu. Domesitk merujuk
pada satu wilayah negara tertentu, sementara
internasional, mencakup wilayah yang lebih besar,
terdiri dari dua atau lebih negara. Unit utama
ekonomi internasional adalah negara yaitu sebuah
entitas yang paling mudah didefinisikan dengan
ruang. Perdagangan internasional konvensional
maupun FDI dilakukan tentu saja dengan cara
melintasi yurisdiksi wilayah negara. Begitu juga
regulasi dan tax juga dioperasikan melalui hukum
teritorial. Dengan demikian, ekonomi internasional
itu selalu bersifat meruang dan fisik serta
dioperasikan melalui kontrol atas ruang.
Namun lewat penemuan teknologi
mutakhir, khususnya teknologi transportasi,
telekomunikasi, dan informasi semuanya berubah.
Perkembangan tersebut telah menciptakan apa
yang disebut pengkerutan jarak atau apa yang oleh
Harvey dalam The Condition of Posmodernity
disebut penghancuran ruang lewat waktu yaitu
pemandekan waktu yang dibutuhkan untuk
berpindah di antara lokasi yang berbeda di dalam
ruang. Atau dengan kata lain, memadatkan,
mengkerdilkan, melipat dan menaklukkan ruang
dengan teknologi kecepatan sehingga ruang,
teritorial, dan broader menjadi kehilangan
maknanya.
Ditemukan internet, trend teknologi serat
optic dan cyber space telah membawa perubahan
besar pada dunia. Sekalipun, negara dalam
pemegang otoritas publik tidak berubah karena
konsep soverignty yang melekat atasnya, namun
kontrolnya atas lapangan privat termasuk
ekonomi cenderung melemah. Maraknya modelmodel cyberspace trade via internet, konsep
tentang
teritorial
dan
dikotomi
antara
perdagangan domestik dengan internasional
menjadi problematik dan tidak lagi relevan.
Kondisi tersebut dijelaskan Nicholas Negroponte
dalam in Being Digital yang membedakan
perdagangan menjadi dua, trade in atoms dan
trade in bits. Yang pertama menunjuk pada
tangible material yang mensyaratkan terjadinya
110
perdagangan melintasi batas negara yang secara
otomatis negara dapat mengontrolnya. Sementara,
trade in bits dilakukan melalui media elektronik,
ditransmisikan melalui satelit dan medianya
adalah ruang maya yang tidak tunduk pada
hukum ruang.
Pusat-pusat pasar keuangan dunia dalam
bekerjanya sama sekali tidak mempersoalkan
elemen gegrafis. Sistem kerjanya dihubungkan
melalui satu jaringan tunggal yang terintegrasi.
Melalui sistem informasi elektronik ini, ratusan
bahkan ribuan monitor yang ada dalam setiap
ruang bursa finansial dunia, terhubung satu sama
lain melalui satelit. Maka tidak jadi masalah di
pasar bursa finansial manapun anda berada, akan
mendapati gambar dan informasi yang sama.
The Indian Software Industry yang
berkedudukan di India melakukan transaksi
jutaan dolar dengan beberapa perusahaan New
York Amerika untuk menginstal program baru
dan meng-up grade sistem komputer perusahaan
tersebut. Perdagangan tersebut tidak dapat
dikontrol pemerintah India dengan mengenakan
pajak perdagangan karena tidak jelas transaksinya
dilakukan dalam wilayah yurisdiksi mana.
Realitas di atas merupakan setitik tanda dari
sekian banyak tanda yang mengindikasikan
terjadinya perubahan dinamika dominasi
dikotomi otoritas di mana negara melemah dan
pasar mulai menemukan momentumnya. Pasar
mulai bergerak dengan logikanya sendiri di mana
teknologi informasi membuatnya bebas bergerak
melintasi ruang dan waktu yang tidak lagi dapat
dikontrol secara ketat oleh institusi politik.
Negara sebagai pemegang otoritas publik yang
dominan aspek koersinya mulai tersaing oleh
pasar, sebuah representasi otoritas privat yang digiven-kan lebih baik dengan karakter persuasif,
alamiah, natural, dan value free.
2. Berkembangnya Strategi Aliansi di
Antara MNE’s Dunia
Inovasi teknologi menjadi kata kunci kesuksesan
dalam era pasar bebas saat ini. Peran R & D
menjadi sangat penting bagi MNE’s dunia,
meneliti dan terus meneliti adalah aktivitas harus
yang terus dan terus dilakukan. Sementara biaya
yang dikeluarkan untuk aktivitas riset sangat
mahal. Tidak ada satu MNE’s pun yang mampu
melakukannya dengan baik dan rutin tanpa
menyebabkan
guncangan
pada
sistem
keuangannya. Untuk itu, strategi yang paling
tepat dan efektif adalah melakukan strategi
Universitas Sumatera Utara
Nasution, Otoritas Pasar...
aliansi yaitu melakukan riset teknologi secara
bersama-sama. Data yang dilaporkan oleh Booz
Allen dan Hamilton menunjukkan aliansi
teknologi di antara MNE’s dunia yang tercatat
dalam Fortune 1000 dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Di tahun 1980 aliansi
yang terjadi hanya berkisar 2% saja di tahun
1996 meningkat menjadi 19% dan di tahun 2002
diproyeksikan meningkat tajam hingga kisaran
35%. Di separoh akhir tahun 1990, IBM
melakukan 800 aliansi dengan perusahaan lain,
AT&T 400 buah, dan HP 300 buah. Dan salah
satu yang paling fenomenal, tiga perusahaan
elektronik besar yaitu IBM, Siemen, dan Toshiba
mengembangkan bersama 256 megabyte chip
dengan total anggaran mencapai US$ 1 Milyar
(Kobrin, 1999).
Trend ini telah merubah mode of
organization MNE’s dari model hirarkhis
enterprises ke networking alliance capitalism,
dari international economy ke global world
economy, dari vertical integration ke global
integration. Pada kenyataannya, kondisi ini
mempersulit negara untuk melakukan kontrol
terhadap MNE’s-nya yang melakukan praktik
aliansi dengan MNE’s dari negara lain.
Hakikat Dikotomi Otoritas: Fakta atau
Konstruksi?
Globalisasi sebagai agen otoritas privat
bergerak dan menyebar lebih cepat dari yang
pernah diperkirakan. Di dalamnya membawa serta
isu-isu teknologi baru dalam setiap lapangan
kehidupan, demokratisasi dalam politik, HAM dan
feminisme dalam kehidupan sosial, dan pasar bebas
dalam perdagangan internasional. Kebebasan sejati
menjadi kata kunci dari setiap isu yang
dihembuskannya.
Nampaknya bukan hanya perubahan
politik internasional maupun perkembangan
teknologi semata yang menyebabkan percepatan
demi percepatan dominasi otoritas privat itu
terjadi. Namun lebih disebabkan pada konsepsi
dikotomi otoritas yang telah dengan sukses
dikonstruksikan. Neoliberal mengkonstruksikan
otoritas privat sebagai sesuatu yang jauh dari
koersi, natural, bebas nilai, dan apolitik. Oleh
karena itu, apapun yang datang darinya termasuk
juga pasar dianggap baik sehingga ide-ide pasar
dapat berkembang pesat dan diterima semua
orang, semua negara tanpa tantangan dan
penolakan yang berarti.
Namun dikotomi itu, sesungguhnya
mengkaburkan motif politik dan makna dominasi
yang sesungguhnya ada dalam setiap praktik
otoritas termasuk pasar. Pentakdiran pasar
dengan sifatnya yang selalu baik, secara otomatis
menyembunyikan ketidakadilan dan eksploitasi
terhadap pemain yang paling lemah. Dikotomi
otoritas privat vs publik bukanlah sesuatu yang
given tetapi lebih sebuah kontruksi dari aktor
yang mendominasi. Seperti apa yang dikatakan
Gramsci sebagai berikut:
Thus it is asserted (under liberalism) that
economy activity belongs to civil society, and
the State must not intervene to regulate it.
But since in actual reality civil society and
the State are one and the same, it is must be
clear that laissez-faire too is a form of State
“regulation” and maintain by legislative and
coercive means. It is deliberate policy,
conscious of its own ends and (Gramsci,
1971: 160).
Akan tetapi, sekalipun sebuah konstruksi
eksploitasi, pasar melakukannya dengan lebih
canggih, halus, dan kadang tak nampak. Bukan
dengan dominasi dan koersi fisik, namun
hegemoni dan budaya bujuk rayu.
Hegemoni ala Gramsci mengandung arti
bahwa kontrol sosial politik tidak cukup dibangun
dengan kekuatan fisik belaka, tetapi lebih dengan
kooptasi ide. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai
mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak harus
merasa mempunyai dan menginternalisasi nilainilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka
juga harus memberi persetujuan atas subordinasi
mereka. Artinya, sebuah hubungan hegemonik
ditegakkan ketika kelompok berkuasa berhasil
mendapatkan persetujuan kelompok subordinat
atas subordinasi mereka. Dengan kata lain,
berbagai kelompok yang disubordinasi menerima
ide-ide dan kepentingan kelompok yang berkuasa
seperti layaknya punya mereka sendiri. Dengan
demikian legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa
tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai,
norma, dan politiknya sudah diinternalisasikan
sebagai kepunyaan mereka sendiri oleh kelompok
yang disubordinasi (Sugiono, 1999).
Itulah yang dilakukan oleh pasar, ia
melalui agen intelektual organiknya memformat
sedemikian rupa gagasan, ide, dan norma menjadi
ideologi dan budaya yang dapat diterima semua
orang. Maka muncullah ideologi universal dan
budaya pop, berwujud pasar bebas, budaya
111
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
hutang, konsumerisme, hedonisme, dan sejenisnya
yang menjadi agama baru bagi seluruh warga
dunia. Upaya ini sukses besar, selain diakibatkan
internalisasi penafsiran privat yang seolah-olah
natural, bebas nilai, dan harmoni, tetapi juga
didukung dengan perkembangan teknologi yang
telah merubah trade in atoms menjadi trade in
bits, yang semuanya dapat disebarkan, diakses,
dan diinternalisasikan tanpa hambatan. Fenomena
ini bisa kita lihat dari indikator volume
perdagangan dunia, arus finansial dunia dan
tingkat konsumsi dunia, yang dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan signifikan.
Praktik Hegemoni Pasar yang Kebablasan
Namun proses hegemoni pasar yang
sedemikian cepat dan tidak terelakkan tidak
dibarengi dengan mekanisme kontrol yang
menegasikan efek-efek negatifnya, pasar
cenderung kebablasan dan memunculkan
fenomena negatif. Fenomena negatif tersebut
adalah:
Libidonomics dan Passionate Capitalism
Dominasi pasar telah menciptakan
budaya konsumerisme yang dicirikan dengan
munculnya komunitas masyarakat konsumsi
tinggi yang mengglobal, ada di setiap sudut
dunia. Masyarakat ini di dalam mengkonsumsi
dan melakukan interaksinya dengan pasar tidak
lagi menggunakan logika used value. Pasar di
dalam memproduksi dan memasarkan barang
dagangannya tidak lagi semata-mata mengkaitkan
pelabelan harga, exchange value dengan sebagai
nilai guna suatu barang. Pasar menyentuh hakikat
nafsu manusia yakni libido, dengan memproduksi
lebih banyak lagi konsep, ide, kesenangan,
prestise, gairah, tanda, simbol, secara berlipat
ganda. Saat ini, dalam ekonomi pasar bebas yang
mengalir secara bebas dari satu negara ke negara
lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain,
bukan hanya sekedar barang, tetapi juga energienergi libido. Yang mengalir dari satu pasar ke
112
pasar lain, dari satu mall ke mall lain, tidak hanya
sekedar shampoo, body lotion, video clip,
burger, slimming tea, atau mobil tetapi di saat
bersamaan juga kesenangan, kegairahan,
kecabulan, kemabukan, dan keterpesonaan di
balik produk-produk tersebut. Kapitalisme
global tidak lagi berkaitan dengan ekspansi
kapital dan teritorial, namun lebih berkaitan
dengan ekspansi libido dan perkembangbiakan
getaran nafsu. Perputaran ekonomi pasar bebas
melegitimasi perputaran dan pelepasan nafsu secara
bebas atau sebaliknya logika libido menjadi
paradigma baru dari berlangsungnya ekonomi pasar
bebas. Terbentuklah apa yang dinamakan dengan
passionate capitalism yang paradoksal di mana
senantiasa memproduksi tiada henti rasa kurang
dalam skala besar, sementara di mana-mana terdapat
kelimpah-ruahan, memproduksi tanpa henti hawa
nafsu, sementara
memperoleh keuntungan,
kapitalisme model ini layaknya seperti mucikari,
merubah nafsu menjadi kebutuhan. Maka pada saat
ini, apapun dapat dijadikan komoditi, mulai dari
kepribadian, kebugaran, penampilan, tubuh,
rambut, rias wajah, kaki, tenaga dalam, izin,
ramalan, gosip, isu, kesenangan, kesedihan,
sampai pada bencana perang bahkan kematian.
Apa yang dilakukan pasar adalah
menyambungkan mesin produksi dan mesin
hawa nafsu yang selanjutnya disambungkan lagi
dengan mesin-mesin eksploitasi. Dengan
mensinergikan ketiga mesin di atas, mewujudkan
budaya konsumerisme tinggi di segenap penjuru
dunia, bahkan di negara miskin sekalipun. Maka
tidaklah heran ketika dari tahun ke tahun
penjualan mobil di Indonesia terus meningkat,
bahkan tahun ini merupakan yang tertinggi
sepanjang sejarah ibu rumah tangga. Indonesia
hanya demi alasan presitse, rela membeli lima
hand phone termahal dunia Vertu Nokia yang
harga satunya lebih dari US$ 30.000.
Itu semua adalah secuil fenomena
passionate capitalism, metamorfosa mutakhir
kapitalisme yang kita semua untuk membendungnya.
Universitas Sumatera Utara
Nasution, Otoritas Pasar...
DAFTAR PUSTAKA
Cutler, A, Claire. 1999. Locating, “Authority in the Global Political Economy”. International Studies
Quarterly, 43/1, March.
Kobrin, Stephen J. 1999. Economic Governance in an Electronically Networked Global Economy.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.
Yogyakarta, Jalasutra.
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
113
Universitas Sumatera Utara
OTORITAS PASAR YANG KEBABLASAN
Indra Kesuma Nasution
Abstract: Imagine that this world is a piece of paper. Like an expert in origami, fold the
paper in two, four, eight, sixteen pieces, and so on, until we reach to a point where the
paper can no longer be folded in any way. The paper can not be folded anymore because
there are limitations on the capabilities of the structure which hold the changes within.
Folding the paper beyond its limitations will ruin the existence and essence of the paper
itself (Piliang, 2004).
Keywords: market authorities, passionate capitalism, libidonomics capitalism
PENDAHULUAN
Kutipan dari salah satu paragraf buku
dunia yang dilipat di atas, merupakan gambaran
sederhana bahwa fakta globalisasi saat ini
merupakan fenomena perkembangan dunia yang
bergerak
melebihi
batas-batas
alamiah
kemampuan dirinya pun juga jawaban analogis
dan simplistis atas pertanyaan dalam tranformasi
global. Apakah otoritas privat dibaca pasar benarbenar dominan dan menggeser otoritas publik
(dibaca negara) pada saat ini. Jika ya, apa
implikasinya pada dunia. Dua pertanyaan besar di
atas menjadi raison de’tre mengapa tulisan ini
menjadi ada.
Sekilas, atmosfir jawaban analogis yang
diberikan, terkesan simplistic, value oriented dan
negative thinking atas globalisasi ekonomi.
Namun demikian, simplifikasi atas kapitalisme
dan anak pinaknya terkesan lebih cantik, elegan,
dan bertanggungjawab jika argumen atasnya
dibangun berdasar asumsi dan logika berfikir
yang runut. Untuk itu, demi upaya itulah elaborasi
akan coba penulis lakukan semampunya.
PEMBAHASAN
Dominasi Otoritas Privat atas Publik: Efek
Awal Kebablasan Dunia
Berbicara tentang globalisasi ekonomi
dan efek-efek yang diakibatkan olehnya, tidak
dapat
dilepaskan
dari
analisis
tentang
kemunculan pasar sebagai sumber otoritas baru
dalam hubungan internasional. Kemunculannya
merupakan hasil dari diskursus dialektis yang
selalu terjadi antar dua otoritas yaitu public vs
private, sekaligus pertanda kemenangan dominasi
otoritas yang terakhir atas yang pertama.
Otoritas dimaknai sebagai penyerahan
kewenangan pribadi/individu/privat terhadap
suatu institusi tertentu sebagai bentuk kepatuhan
atasnya. Otoritas selalu berada di antara
mekanisme paksaan dan persuasi, tarik-menarik
di antara keduanya merupakan sumber diskursus
antara dua otoritas tersebut. Otoritas publik
berada pada ranah yang penuh aturan, tekanan
bahkan paksaan. Sementara otoritas privat
merupakan wujud dari kebebasan setiap orang
(Cutler, 1999). Sesuatu yang berjalan secara
alamiah, netral dan jika ada sebuah aturan itu pun
dicapai melalui upaya persuasi yang apolitis
sifatnya. Dalam konteks yang lebih luas
keberadaannya diwakili oleh civil society, namun
dalam konteks yang kita bicarakan saat ini
keberadaannya direpresentasikan oleh institusi
ekonomi yang disebut pasar.
Sepanjang sejarah, hubungan antara
keduanya bersifat dialektif dan selalu terjadi
dinamika dominasi. Pada abat pertengahan antara
otoritas privat dan publik bekerja dalam alam
sendiri-sendiri dan berjalan menurut logika
masing-masing. Sementara di era negara modern,
dominasi negara sebagai agen otoritas publik
cenderung besar. Terjadi kooptasi otoritas publik
atas privat, hampir semua persoalan dipublikkan,
negara mengatur banyak persoalan individu,
termasuk juga pasar yang ditandai dengan
maraknya praktik ekonomi merkantilisme di
mana hampir semua aktivitas ekonomi
internasional dijalankan dengan logika politik.
Sementara itu semenjak berakhirnya perang
dingin situasi berubah drastis di mana otoritas
privat mulai menyaingi dominasi otoritas publik.
Pasar mulai muncul sebagai sumber otoritas baru
yang dapat mendikte negara dalam banyak
persoalan. Hal itu terjadi tidak hanya disebabkan
oleh kemenangan ideologis kapitalisme dan
neoliberalisme atas komunisme semata, namun
juga dipicu oleh perkembangan teknologi
informasi dan produksi yang memunculkan dua
Indra Kesuma Nasution adalah Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP USU Medan
109
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
fenomena besar, yaitu pertama, matinya geografi,
kedua, berkembangnya strategi aliansi di antara
MNE dunia.
1. Matinya Geografi
Dalam era Westphalian state system,
perdagangan internasional seperti juga fenomena
internasional lainnya, dijalankan atas dasar logika
geografi (ruang). Dikotomi antara ekonomi
domestik dengan ekonomi internasional, merujuk
pada kondisi tempat tertentu. Domesitk merujuk
pada satu wilayah negara tertentu, sementara
internasional, mencakup wilayah yang lebih besar,
terdiri dari dua atau lebih negara. Unit utama
ekonomi internasional adalah negara yaitu sebuah
entitas yang paling mudah didefinisikan dengan
ruang. Perdagangan internasional konvensional
maupun FDI dilakukan tentu saja dengan cara
melintasi yurisdiksi wilayah negara. Begitu juga
regulasi dan tax juga dioperasikan melalui hukum
teritorial. Dengan demikian, ekonomi internasional
itu selalu bersifat meruang dan fisik serta
dioperasikan melalui kontrol atas ruang.
Namun lewat penemuan teknologi
mutakhir, khususnya teknologi transportasi,
telekomunikasi, dan informasi semuanya berubah.
Perkembangan tersebut telah menciptakan apa
yang disebut pengkerutan jarak atau apa yang oleh
Harvey dalam The Condition of Posmodernity
disebut penghancuran ruang lewat waktu yaitu
pemandekan waktu yang dibutuhkan untuk
berpindah di antara lokasi yang berbeda di dalam
ruang. Atau dengan kata lain, memadatkan,
mengkerdilkan, melipat dan menaklukkan ruang
dengan teknologi kecepatan sehingga ruang,
teritorial, dan broader menjadi kehilangan
maknanya.
Ditemukan internet, trend teknologi serat
optic dan cyber space telah membawa perubahan
besar pada dunia. Sekalipun, negara dalam
pemegang otoritas publik tidak berubah karena
konsep soverignty yang melekat atasnya, namun
kontrolnya atas lapangan privat termasuk
ekonomi cenderung melemah. Maraknya modelmodel cyberspace trade via internet, konsep
tentang
teritorial
dan
dikotomi
antara
perdagangan domestik dengan internasional
menjadi problematik dan tidak lagi relevan.
Kondisi tersebut dijelaskan Nicholas Negroponte
dalam in Being Digital yang membedakan
perdagangan menjadi dua, trade in atoms dan
trade in bits. Yang pertama menunjuk pada
tangible material yang mensyaratkan terjadinya
110
perdagangan melintasi batas negara yang secara
otomatis negara dapat mengontrolnya. Sementara,
trade in bits dilakukan melalui media elektronik,
ditransmisikan melalui satelit dan medianya
adalah ruang maya yang tidak tunduk pada
hukum ruang.
Pusat-pusat pasar keuangan dunia dalam
bekerjanya sama sekali tidak mempersoalkan
elemen gegrafis. Sistem kerjanya dihubungkan
melalui satu jaringan tunggal yang terintegrasi.
Melalui sistem informasi elektronik ini, ratusan
bahkan ribuan monitor yang ada dalam setiap
ruang bursa finansial dunia, terhubung satu sama
lain melalui satelit. Maka tidak jadi masalah di
pasar bursa finansial manapun anda berada, akan
mendapati gambar dan informasi yang sama.
The Indian Software Industry yang
berkedudukan di India melakukan transaksi
jutaan dolar dengan beberapa perusahaan New
York Amerika untuk menginstal program baru
dan meng-up grade sistem komputer perusahaan
tersebut. Perdagangan tersebut tidak dapat
dikontrol pemerintah India dengan mengenakan
pajak perdagangan karena tidak jelas transaksinya
dilakukan dalam wilayah yurisdiksi mana.
Realitas di atas merupakan setitik tanda dari
sekian banyak tanda yang mengindikasikan
terjadinya perubahan dinamika dominasi
dikotomi otoritas di mana negara melemah dan
pasar mulai menemukan momentumnya. Pasar
mulai bergerak dengan logikanya sendiri di mana
teknologi informasi membuatnya bebas bergerak
melintasi ruang dan waktu yang tidak lagi dapat
dikontrol secara ketat oleh institusi politik.
Negara sebagai pemegang otoritas publik yang
dominan aspek koersinya mulai tersaing oleh
pasar, sebuah representasi otoritas privat yang digiven-kan lebih baik dengan karakter persuasif,
alamiah, natural, dan value free.
2. Berkembangnya Strategi Aliansi di
Antara MNE’s Dunia
Inovasi teknologi menjadi kata kunci kesuksesan
dalam era pasar bebas saat ini. Peran R & D
menjadi sangat penting bagi MNE’s dunia,
meneliti dan terus meneliti adalah aktivitas harus
yang terus dan terus dilakukan. Sementara biaya
yang dikeluarkan untuk aktivitas riset sangat
mahal. Tidak ada satu MNE’s pun yang mampu
melakukannya dengan baik dan rutin tanpa
menyebabkan
guncangan
pada
sistem
keuangannya. Untuk itu, strategi yang paling
tepat dan efektif adalah melakukan strategi
Universitas Sumatera Utara
Nasution, Otoritas Pasar...
aliansi yaitu melakukan riset teknologi secara
bersama-sama. Data yang dilaporkan oleh Booz
Allen dan Hamilton menunjukkan aliansi
teknologi di antara MNE’s dunia yang tercatat
dalam Fortune 1000 dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Di tahun 1980 aliansi
yang terjadi hanya berkisar 2% saja di tahun
1996 meningkat menjadi 19% dan di tahun 2002
diproyeksikan meningkat tajam hingga kisaran
35%. Di separoh akhir tahun 1990, IBM
melakukan 800 aliansi dengan perusahaan lain,
AT&T 400 buah, dan HP 300 buah. Dan salah
satu yang paling fenomenal, tiga perusahaan
elektronik besar yaitu IBM, Siemen, dan Toshiba
mengembangkan bersama 256 megabyte chip
dengan total anggaran mencapai US$ 1 Milyar
(Kobrin, 1999).
Trend ini telah merubah mode of
organization MNE’s dari model hirarkhis
enterprises ke networking alliance capitalism,
dari international economy ke global world
economy, dari vertical integration ke global
integration. Pada kenyataannya, kondisi ini
mempersulit negara untuk melakukan kontrol
terhadap MNE’s-nya yang melakukan praktik
aliansi dengan MNE’s dari negara lain.
Hakikat Dikotomi Otoritas: Fakta atau
Konstruksi?
Globalisasi sebagai agen otoritas privat
bergerak dan menyebar lebih cepat dari yang
pernah diperkirakan. Di dalamnya membawa serta
isu-isu teknologi baru dalam setiap lapangan
kehidupan, demokratisasi dalam politik, HAM dan
feminisme dalam kehidupan sosial, dan pasar bebas
dalam perdagangan internasional. Kebebasan sejati
menjadi kata kunci dari setiap isu yang
dihembuskannya.
Nampaknya bukan hanya perubahan
politik internasional maupun perkembangan
teknologi semata yang menyebabkan percepatan
demi percepatan dominasi otoritas privat itu
terjadi. Namun lebih disebabkan pada konsepsi
dikotomi otoritas yang telah dengan sukses
dikonstruksikan. Neoliberal mengkonstruksikan
otoritas privat sebagai sesuatu yang jauh dari
koersi, natural, bebas nilai, dan apolitik. Oleh
karena itu, apapun yang datang darinya termasuk
juga pasar dianggap baik sehingga ide-ide pasar
dapat berkembang pesat dan diterima semua
orang, semua negara tanpa tantangan dan
penolakan yang berarti.
Namun dikotomi itu, sesungguhnya
mengkaburkan motif politik dan makna dominasi
yang sesungguhnya ada dalam setiap praktik
otoritas termasuk pasar. Pentakdiran pasar
dengan sifatnya yang selalu baik, secara otomatis
menyembunyikan ketidakadilan dan eksploitasi
terhadap pemain yang paling lemah. Dikotomi
otoritas privat vs publik bukanlah sesuatu yang
given tetapi lebih sebuah kontruksi dari aktor
yang mendominasi. Seperti apa yang dikatakan
Gramsci sebagai berikut:
Thus it is asserted (under liberalism) that
economy activity belongs to civil society, and
the State must not intervene to regulate it.
But since in actual reality civil society and
the State are one and the same, it is must be
clear that laissez-faire too is a form of State
“regulation” and maintain by legislative and
coercive means. It is deliberate policy,
conscious of its own ends and (Gramsci,
1971: 160).
Akan tetapi, sekalipun sebuah konstruksi
eksploitasi, pasar melakukannya dengan lebih
canggih, halus, dan kadang tak nampak. Bukan
dengan dominasi dan koersi fisik, namun
hegemoni dan budaya bujuk rayu.
Hegemoni ala Gramsci mengandung arti
bahwa kontrol sosial politik tidak cukup dibangun
dengan kekuatan fisik belaka, tetapi lebih dengan
kooptasi ide. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai
mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak harus
merasa mempunyai dan menginternalisasi nilainilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka
juga harus memberi persetujuan atas subordinasi
mereka. Artinya, sebuah hubungan hegemonik
ditegakkan ketika kelompok berkuasa berhasil
mendapatkan persetujuan kelompok subordinat
atas subordinasi mereka. Dengan kata lain,
berbagai kelompok yang disubordinasi menerima
ide-ide dan kepentingan kelompok yang berkuasa
seperti layaknya punya mereka sendiri. Dengan
demikian legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa
tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai,
norma, dan politiknya sudah diinternalisasikan
sebagai kepunyaan mereka sendiri oleh kelompok
yang disubordinasi (Sugiono, 1999).
Itulah yang dilakukan oleh pasar, ia
melalui agen intelektual organiknya memformat
sedemikian rupa gagasan, ide, dan norma menjadi
ideologi dan budaya yang dapat diterima semua
orang. Maka muncullah ideologi universal dan
budaya pop, berwujud pasar bebas, budaya
111
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
hutang, konsumerisme, hedonisme, dan sejenisnya
yang menjadi agama baru bagi seluruh warga
dunia. Upaya ini sukses besar, selain diakibatkan
internalisasi penafsiran privat yang seolah-olah
natural, bebas nilai, dan harmoni, tetapi juga
didukung dengan perkembangan teknologi yang
telah merubah trade in atoms menjadi trade in
bits, yang semuanya dapat disebarkan, diakses,
dan diinternalisasikan tanpa hambatan. Fenomena
ini bisa kita lihat dari indikator volume
perdagangan dunia, arus finansial dunia dan
tingkat konsumsi dunia, yang dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan signifikan.
Praktik Hegemoni Pasar yang Kebablasan
Namun proses hegemoni pasar yang
sedemikian cepat dan tidak terelakkan tidak
dibarengi dengan mekanisme kontrol yang
menegasikan efek-efek negatifnya, pasar
cenderung kebablasan dan memunculkan
fenomena negatif. Fenomena negatif tersebut
adalah:
Libidonomics dan Passionate Capitalism
Dominasi pasar telah menciptakan
budaya konsumerisme yang dicirikan dengan
munculnya komunitas masyarakat konsumsi
tinggi yang mengglobal, ada di setiap sudut
dunia. Masyarakat ini di dalam mengkonsumsi
dan melakukan interaksinya dengan pasar tidak
lagi menggunakan logika used value. Pasar di
dalam memproduksi dan memasarkan barang
dagangannya tidak lagi semata-mata mengkaitkan
pelabelan harga, exchange value dengan sebagai
nilai guna suatu barang. Pasar menyentuh hakikat
nafsu manusia yakni libido, dengan memproduksi
lebih banyak lagi konsep, ide, kesenangan,
prestise, gairah, tanda, simbol, secara berlipat
ganda. Saat ini, dalam ekonomi pasar bebas yang
mengalir secara bebas dari satu negara ke negara
lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain,
bukan hanya sekedar barang, tetapi juga energienergi libido. Yang mengalir dari satu pasar ke
112
pasar lain, dari satu mall ke mall lain, tidak hanya
sekedar shampoo, body lotion, video clip,
burger, slimming tea, atau mobil tetapi di saat
bersamaan juga kesenangan, kegairahan,
kecabulan, kemabukan, dan keterpesonaan di
balik produk-produk tersebut. Kapitalisme
global tidak lagi berkaitan dengan ekspansi
kapital dan teritorial, namun lebih berkaitan
dengan ekspansi libido dan perkembangbiakan
getaran nafsu. Perputaran ekonomi pasar bebas
melegitimasi perputaran dan pelepasan nafsu secara
bebas atau sebaliknya logika libido menjadi
paradigma baru dari berlangsungnya ekonomi pasar
bebas. Terbentuklah apa yang dinamakan dengan
passionate capitalism yang paradoksal di mana
senantiasa memproduksi tiada henti rasa kurang
dalam skala besar, sementara di mana-mana terdapat
kelimpah-ruahan, memproduksi tanpa henti hawa
nafsu, sementara
memperoleh keuntungan,
kapitalisme model ini layaknya seperti mucikari,
merubah nafsu menjadi kebutuhan. Maka pada saat
ini, apapun dapat dijadikan komoditi, mulai dari
kepribadian, kebugaran, penampilan, tubuh,
rambut, rias wajah, kaki, tenaga dalam, izin,
ramalan, gosip, isu, kesenangan, kesedihan,
sampai pada bencana perang bahkan kematian.
Apa yang dilakukan pasar adalah
menyambungkan mesin produksi dan mesin
hawa nafsu yang selanjutnya disambungkan lagi
dengan mesin-mesin eksploitasi. Dengan
mensinergikan ketiga mesin di atas, mewujudkan
budaya konsumerisme tinggi di segenap penjuru
dunia, bahkan di negara miskin sekalipun. Maka
tidaklah heran ketika dari tahun ke tahun
penjualan mobil di Indonesia terus meningkat,
bahkan tahun ini merupakan yang tertinggi
sepanjang sejarah ibu rumah tangga. Indonesia
hanya demi alasan presitse, rela membeli lima
hand phone termahal dunia Vertu Nokia yang
harga satunya lebih dari US$ 30.000.
Itu semua adalah secuil fenomena
passionate capitalism, metamorfosa mutakhir
kapitalisme yang kita semua untuk membendungnya.
Universitas Sumatera Utara
Nasution, Otoritas Pasar...
DAFTAR PUSTAKA
Cutler, A, Claire. 1999. Locating, “Authority in the Global Political Economy”. International Studies
Quarterly, 43/1, March.
Kobrin, Stephen J. 1999. Economic Governance in an Electronically Networked Global Economy.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.
Yogyakarta, Jalasutra.
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
113
Universitas Sumatera Utara