Pengawasan Otoritas Terhadap Bumn Yang Sudah Diprivatisasi Melalui Pasar Modal

BAB II
PERLUNYA PENGAWASAN OTORITAS (PEMERINTAH)
TERHADAP BUMN YANG TELAH DIPRIVATISASI
A. Keterlibatan Otoritas (Pemerintah) di BUMN dan Dampaknya terhadap BUMN
Keberadaan BUMN sebagai badan usaha tidak terlepas dari campur tangan Otoritas
dalam menjalankan kegiatannya. BUMN sebagai Badan Usaha Milik Negara sering ditafsirkan
bahwa negara berkuasa penuh terhadap kinerja BUMN, sehingga BUMN menjadi tergantung
kepada siapa yang memerintah dan yang menjalankannya. Dominannya peran negara
menjadikan BUMN sebagai kepanjangan tangan penguasa yang sarat kepentingan politik
merupakan salah satu sebab BUMN tidak bisa berkembang sebagaimana layaknya badan usaha.
BUMN menjadi fokus perhatian masyarakat, karena adanya gap antara fasilitas yang
dimiliki BUMN dengan harapan masyarakat. BUMN berjalan dengan dukungan fasilitas penuh
dari negara, baik dari modal yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan serta
keberadaannya yang dibentuk oleh Negara, sehingga BUMN mendapat perlakuan yang berbeda
dengan usaha swasta lainnya. Sementara itu masyarakat sangat berharap mendapatkan manfaat
dari keberadaan BUMN yang belum bisa terpenuhi secara optimal.
Privatisasi BUMN diharapkan dapat memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi
nasional, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara langsung bagi kesejahteraan masyarakat.
Keterlibatan otoritas dalam pengelolaan BUMN yang telah diprivatisasi kerap memberikan
dampak negatif bagi perkembangan BUMN itu sendiri. Peran otoritas seyogianya melakukan
43

pengawasan atas keberlangsungan privatisasi BUMN, namun terkadang disusupi oleh
kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang dengan apa yang sudah menjadi arah dalam

perjalanan BUMN tersebut. Disamping itu juga sistem yang birokratis menjadi penghambat bagi
kemajuan BUMN yang telah diprivatisasi, sehingga membuka ruang terjadinya penyimpangan
oknum-oknum tertentu yang mempunyai peluang untuk itu.
Sorotan-sorotan negatif di atas tentu berdampak terhadap rendahnya kepercayaan
investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia, dengan demikian akan menghambat
pertumbuhan perekonomian nasional yang di lokomotifi oleh BUMN. Kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap apa yang menjadi tujuan privatisasi BUMN, sasaran yang diharapkan bagi
pelaksanaan privatisasi akan sulit tercapai. sehingga pengawasan yang ideal terhadap
keberlangsungan privatisasi BUMN menjadi ujung tombak dalam memuluskan pencapaianpencapaian yang diharapkan dalam kebijakan privatisasi BUMN.
1. Pengelolaan BUMN yang Sentralistik dan Birokratis
Pengurusan BUMN dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip
yang berlaku bagi perseroan terbatas, hal ini secara tegas disebutkan dalam ketentuan Pasall 5
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 serta ketentuan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik
Negara. Dengan demikian dalam wujud usahanya, BUMN dikelola sebagai entity badan hukum
privat sebagaimana bentuk usaha swasta lainnya yang merujuk pada Undang-Undang Perseroan
Terbatas.

Prinsip-prinsip yang berlaku dalam pengelolaan perusahaan secara umum seyogianya
juga berlaku dalam pengelolaan BUMN. Abdulkadir Muhammad mengungkapkan bahwa setiap
anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab melaksanakan tugas dan
kewajiban untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Apabila yang bersangkutan salah atau lalai
menjalankan tugasnya maka dia bertanggung jawab penuh secara pribadi, dan apabila hal itu

menyebabkan kerugian kepada perseroan, maka atas nama perseroan pemegang saham yang
memenuhi syarat tertentu dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota
Direksi yang bersangkutan. 85
Pengurusan perseroan oleh Direksi membentuk hubungan saling ketergantungan, dimana
kegiatan dan aktivitas perseroan bergantung pada Direksi sebagai organ yang dipercayakan
untuk melakukan pengurusan perseroan. Namun disisi lain keberadaan perseroan merupakan
sebab keberadaan Direksi, tanpa ada perseroan maka tidak pernah ada Direksi. 86 Kondisi ini
menunjukkan adanya hubungan kepercayaan antara Direksi dengan perseroan, hubungan ini
dinamakan dengan fiduciary relation yang selanjutnya melahirkan fiduciary duty bagi Direksi
terhadap perseroan yang telah mengangkatnya sebagai pengurus dan perwakilan bagi perseroan,
dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai maksud dan tujuan serta untuk
kepentingan perseroan. Dengan demikian berarti syarat mutlak dari keberadaan hubungan fidusia
dan fiduciary duty adalah fairness. 87
Berkaitan dengan prinsip kepercayaan (fiduciary duty), Paul L. Davis mengemukakan

pandangannya bahwa secara umum ada dua hal yang dapat dikemukan disisni. Pertama, Direksi
adalah trustee bagi perseroan. Sebagai trustee Direksi bertanggung jawab kepada perseroan
sehubungan dengan berkurangnya nilai harta kekayaan perseroan yang dipercayakan untuk
diurus olehnya. Kedua, direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan

85

Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perusahaan Indonesia”, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.
114. Lihat juga Gunawan Wijaya, “Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT”, (Jakarta : Forum
Sahabat, 2008) Cet. II, hlm. 43, disebutkan bahwa Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama
dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh Direksi di luar kewenangan yang
diberikan tersebut tidak mengikat perseroan kecuali dalam hal diatur lain oleh undang undang. Ini berarti Direksi
memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan.
86
Fred BG Tumbuan, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta kedudukan RUPS Perseroan
Terbatas”, Makalah Kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia T.A 2001-2002, hlm.6
87
J. Robert Brown, “Disloyality without limits : ‘Independent’ Directors and The Elemination of the Duty
of Loayality” Kentucky Law Journal Vol. 95, 2006-2007, hlm. 57


kepentingannya. Sebagai agen Direksi mewakili perseroan dalam setiap hubungan hukum
perseroan dengan pihak ketiga. Direksi mengikat perseroan dan bukan pemegang saham
perseroan. Sebagai agen, Direksi juga tidak bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang
dilakukan olehnya untuk dan atas nama perseroan. 88
Dalam pengelolaan BUMN, dikhususkan bagi pengawasan BUMN dengan bentuk usaha
Persero juga dilakukan berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagiperseroan
terbatas. Sehingga otoritas dalam mengawasi keberlangsungan BUMN tetap berdasarkan apa
yang telah digariskan dalam mekanisme yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Kondisi ini terkadang bertolak belakang dengan praktik-praktik yang terjadi dalam
pengelolaan BUMN. Pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas seyogianya mampu
meningkatkan performa BUMN menjadi lebih baik dan berkembang, namun kenyataannya tidak
sebagaimana yang diharapkan, sifat birokratis dan sentralistiknya otoritas mewarnai perjalanan
BUMN. Sehingga BUMN seperti tidak leluasa menjalankan organisasi perusahaan sebagaimana
usaha-usaha swasta lainnya yang juga sama menjalankan perusahaannya berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Kepemilikan saham adalah hal paling mendasar terhadap pemberlakuan privatisasi
BUMN, hal ini akan berpengaruh terhadap dominasi otoritas dalam mengawasi keberlangsungan
BUMN yang di privatiasasi. Sistem pengambilan keputusan dalam RUPS adalah salah satu
bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh otoritas. Arah kebijakan yang diinginkan otoritas

dalam perjalanan privatisasi disalurkan melalui forum RUPS ini. Menteri merupakan kuasa
pemegang saham yang punya andil dalam pengambilan keputusan RUPS, disamping itu

88

598-599

Paul L. Davis, “Gowers Principles of Modern Company Laws”, (London : Sweet Maxwell, 1997) hlm,

perangkat-perangkat negara lainnya seperti DPR, OJK, BPK, BPKP, Komite Privatisasi juga
turut serta mempengaruhi kebijakan dalam perjalanan privatisasi BUMN.
Jika pengelolaan BUMN mengikuti standar yang telah digariskan oleh mekanisme
Undang-Undang Perseroan Terbatas, maka selain organ dari Persero pihak lain manapun
dilarang turut melakukan atau campur tangan dalam pengurusan Persero. Hal ini dimaksudkan
agar Direksi dapat melakukan tugasnya secara mandiri dan tidak dicampuri oleh pihak-pihak
luar, maka tidak diperbolehkan adanya campur tangan terhadap pengurusan Persero. Termasuk
dalam pengertian campur tangan berupa tindakan atau arahan yang secara langsung yang
memberi pengaruh terhadap tindakan pengurusan Persero atau terhadap pengambilan keputusan
oleh Direksi. 89
Kemandirian Persero sebagai badan usaha merupakan hal penting yang harus tetap

terjaga, sehingga Persero dapat dikelola secara profesional dan dapat berkembang dengan baik
sesuai dengan tujuan usahanya. Dalam hal pengelolaan BUMN juga tidak membenarkan adanya
hubungan keuangan lintas birokrasi, walaupun pada dasarnya merupakan badan penyelenggara
negara. Karena kebutuhan keuangan masing-masing instansi pemerintah telah diatur dan
ditetapkan tersendiri, maka instansi pemerintah tidak dibenarkan membebani Persero dengan
segala bentuk pengeluaran, dan sebaliknya Persero tidak dibenarkan membiayai keperluan
pengeluaran instansi pemerintahan dalam pembukuannya. 90
Muchayat mengungkapkan bahwa BUMN tertentu lebih sibuk memainkan peran
birokrasi yang semestinya dilakukan oleh pemerintah, sehingga melupakan urusan utamanya
sebagai operator dalam pengelolaan dan pengembangan usaha. Dengan tambahan peran sebagai
regulator, BUMN terjebak pada birokratisasi sehingga tidak kompetitif ketika harus bersaing

89

I. G Ray Wijaya, “Hukum Perusahaan”, (Bekasi : Megapoin, 2005) hlm. 125
Ibid

90

dengan perusahaan swasta yang memiliki kinerja yang efektif dan efisien. Sebagai contoh,

Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan yang memiliki hak penuh untuk mengelola industri
perminyakan di Indonesia. 91
Peter Drucker sebagaimana dikutip Riant Nugroho mengemukakan bahwa pemerintah
harus fokus dengan pekerjaan-pekerjaan pemerintah saja, tidak usah mengurus hal-hal yang
bukan core competence-nya atau bahwa tugas pemerintah hanya mengendalikan, tidak perlu ikut
mendayung. Dengan demikian hal-hal yang di luar kompetensi pemerintah atau yang tidak dalam
konteks “menyetir” (saja) harus dikeluarkan dari pemerintah. 92
Lebih lanjut Riant Nugroho mengemukakan pemerintah menjalankan bisnis adalah
anomali. Hasilnya, perusahan-perusahaan negara tersebut lebih banyak mudhorat daripada
manfaat. Pada intinya tidak mungkin birokrat menjalankan bisnis dengan baik, karena birokrat
punya misi melayani secara adil. Dengan kompetensi melayani secara adil tidak mungkin ia
menjalani bisnis yang memang pada dasarnya sudah diskriminatif, yaitu melayani mereka yang
hanya mampu membayar saja. 93
Hambra mengemukakan bahwa status Kementerian BUMN yang merupakan bagian dari
pemerintah sebenarnya sudah menjadi kendala untuk melaksanakan tugas pembinaan di
lingkungan BUMN secara profesional. Dalam menghadapi BUMN harus mempunyai mindset
korporasi, sementara itu disisi lain pemerintah tidak boleh melepaskan diri sebagai pegawai
negeri sipil yang masih berjalan dengan sistem yang birokratis dan tunduk dengan regulasi
terkait aparatur sipil negara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pekerjaan yang dihadapi,
91


Muchayat, Op.Cit, hlm. 29, selanjutnya disebutkan bahwa keberadaan dan kinerja BUMN mengalami
kemudnduran bahkan menjadi tidak kompetitif. Pemerintah memberikan poteksi yang berlebihan, sehingga
menjadikan BUMN berpuas diri, jalan ditempat, tidak kreatif dan tidak inovatif. BUMN juga mendapatkan semacam
hak privilegeyang tidak saja memiliki fungsi sebagai pelaku usaha tetapi juga sekaligus memiliki peran regulator.
Implikasi dari kebijakan itu BUMN di bidang tertentu benar-benar tidak mampu bersaing dengan swasta.
92
Ryant Nugroho Dwidjowijoto, “Analisa Privatisasi BUMN di Indonesia”, Op.Cit, hlm 288-289
93
Ibid

yaitu berkoordinasi dengan pelaku-pelaku usaha yang bukan berstatus sebagai pegawai negeri
sipil. Keadaan yang sangat dilematis ini harus dapat disiasati agar bisa menjembatani pemikiran
yang birokratis dengan pemikiran yang berbasis korporasi, jika tidak demikian akan sulit
mengemban tugas pembinaan yang di emban oleh Kementerian BUMN. 94
Kebijakan-kebijakan yang akan di berlakukan dalam pengelolaan BUMN juga tidak serta
merta dapat dilaksanakan dengan cepat, regulasi yang ada terkadang menjadi kendala dalam
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkadang bersifat segera. Kewajiban untuk
berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait bahkan sampai ke tingkat Presiden membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk mendapatkan sebuah keputusan. Menghadapi kondisi seperti ini,

Kementerian BUMN berencana untuk merubah mekanisme yang ada di BUMN yang semulanya
mempunyai basic pemerintahan menjadi korporasi, walaupun rencana tersebut sampai saat ini
masih sebatas wacana. 95
Jonathan G.S Koppell menawarkan Hibrida Organisasi 96 atau model organisasi campuran
yang dimaksudkan untuk membebaskan BUMN dari kontrol birokrasi yang menghambat
manajemen mereka.Ada tiga alasan utama mengapa model campuran yang diterapkan dalam
BUMN secara inheren tahan terhadap kontrol politik. Pertama, organisasi campuran memiliki
beberapa tujuan yangsering bertentangan satu sama lain. Kedua, organisasi campuran
mengandalkan pelaku pasar dalam mencapai tujuan mereka. Akibatnya, mereka dibatasi oleh

94

Wawancara langsung penulis dengan Hambra, Kepala Biro Hukum Kementerian Badan Usaha Milik
Negara di Jakarta, pada tanggal 24 Maret 2015
95
Ibid
96
Hibrida Organisasi (organisasi campuran) adalah pengalamanyang diambil dari BUMN
Amerikadenganorganisasi model campuran antara pemerintahdan perusahaanyang dalam pengelolaan BUMN tidak
memihak antarapublik dan swasta.


kekuatan pasar. Ketiga, dan yang paling mendasar, pemimpin politik harus memanfaatkan alat
kontrol regulasi bukan mekanisme administratif tradisional untuk kepatuhan birokrasi. 97
Dalam wacana politik Barat, ada kekhawatiran lama bahwa birokrasi pemerintah dapat
menjadi tidak akuntabel, yang mempunyai kekuatan yang tidak terkendali. Hal ini berakibat pada
mekanis mestruktural perusahaan yang dimasukkan ke dalam desain instansi pemerintah, seperti
halnya pengawasan legislatif, eksekutif, pengangkatan kepemimpinan, tahunan anggaran biaya,
kesempatan untuk meninjau publik dan pengawasan, dan lain sebagainya. 98 Praktik seperti ini
akan menjadi penghambat dalam membuat suatu kebijakan dalam BUMN, sehingga birokrat
tetap sebagai sentral terhadap kebijakan yang akan diberlakukan bagi BUMN.
Faktor sentralistik sangat berpengaruh dalam pengelolaan BUMN, ruang gerak Direksi
tidak leluasa dalam melaksanakan setiap kebijakan perusahaan. Regulasi perseroan terbatas
menempatkan Direksi sebagai trustee dalam menjalankan fungsi eksekutif dalam mengelola
BUMN, namun kenyataannya sistem birokrasi yang sentralistik masih menempatkan Direksi
sebagai pejabat publik yang secara tidak langsung ikut dalam sistem pemerintahan yang sudah
mengakar. Kebijakan terpusat telah mematikan kreatifitas dan profesionalitas BUMN yang
seyogianya terbangun dalam mekanisme perseroan terbatas dan diharapkan mampu menjadikan
BUMN sebagai badan usaha yang terbebas dari dominasi birokrasi yang sejak awal
menginginkan sistem yang sentralistik.
Birokrasi merupakan suatu sistem pengorganisasian negara dengan tugas yang sangat

kompleks dan hal ini jelas memerlukan pengendalian operasi manajemen pemerintahan yang
baik. Sangatlah disayangkan, apabila kerja rutinitas aparat birokrasi sering menyebabkan
97

Jonathan G.S Koppell, “Political Control for China’s State-OwnedEnterprises: Lessons from America’s
Experiencewith Hybrid Organizations”, Governance: An International Journal of Policy, Administration, and
Institutions, Vol. 20, No. 2,April 2007, hlm. 261
98
Aberbach, Joel D., and Bert A. Rockman.. “Mandates or Mandarins? Controland Discretion in the
Modern Administrative State.”Public AdministrationReviewVol. 48, 1988, hlm. 606–612.

masalah baru yang menjadikan birokrasi statis dan kurang peka terhadap perubahan lingkungan
bahkan terkesan cenderung resisten terhadap pembaharuan. Kondisi seperti ini seringkali
memunculkan potensi praktik mal-administrasi yang mengarah pada korupsi, kolusi dan
nepotisme. Bermula dari kondisi tersebut maka pemerintah pusat maupun daerah perlu segera
melakukan reformasi birokrasi yang tidak hanya pada tataran komitmen saja tetapi juga dalam
tataran kehidupan nyata. 99
Birokrasi saat ini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan
yang belum dapat memenuhi harapan publik. Dikatakan demikian karena masih sering tercium
bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan
tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya.
Berbicara soal birokrasi, kita pasti teringat konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama
asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type birokrasi modern. Pada dasarnya, tipe ideal
birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan
negara. Tapi, kenyataan dalam praktik konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat
disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Perlu ada pembaharuan
makna dan kandungan birokrasi.
Konsep birokrasi Max Weber yang legal rasional, diaktualisasikan di Indonesia dengan
berbagai kekurangan dan kelebihan seperti terlihat dari perilaku birokrasi. Perilaku birokrasi
timbul manakala terjadi interaksi antara karakteristik individu dengan karakteristik birokrasi,
apalagi dengan berbagai isu yang berkembang dan penegakan hukum saat ini yang berkaitan
dengan patologi birokrasi. 100 Dikaitkan dengan pengelolaan privatisasi BUMN di Indonesia

99

Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan
Publik. (Yogyakarta: Gava Media,2009).hlm.110.
100
Ali Abdul Wakhid, “Eksistensi Konsep Birokrasi Max Weber dalam Reformasi Birokrasi di Indonesia”,
Jurnal TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011. hlm, 127-128. Selanjutnya disebutkan bahwa Secara gradual di

seyogianya pengaruh birokrasi harus diminimalkan untuk mempercepat proses perubahan kearah
yang diharapkan, sebagai perusahaan privat yang berdimensi publik keterbukaan terhadap
pengelolaan BUMN merupakan hal penting untuk mencapai BUMN yang ideal.
Profesionalisme BUMN sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, Pertama, status
hukum dari perusahaan tersebut, Kedua, kemandirian dari BUMN tersebut, dan Ketiga
kebebasan dari intervensi pihak manapun juga. Tanpa ketiga faktortersebut, maka BUMN yang
ada akan menjadi perusahaan yang bersifat birokratis karena keberadaannya sangat tergantung
kepada pihak lain dari perusahaan tersebut. Status hukum sebagai badan hukum perdata
mengakibatkan hubungan hukum antara Perseroan Terbatas milik negara dengan negara menjadi
hubungan hukum yang sifatnya perdata, sebatas hubungan antara pemegang saham dengan
Perseroan Terbatas tersebut. Hubungan bisnis di antara negara dengan Perseroan Terbatas milik
negara adalah hubungan bisnis yang dilandasi oleh profesionalisme dan kemandirian antara
kedua badan hukum yang berbeda tersebut. 101
2. Pengaruh kepentingan politik terhadap BUMN
Bortolotti dan Faccio sebagaimana dikutip oleh Hadi menyebutkan bahwa

dalam

privatisasi di negara maju, hak kontrol tetap berada ditangan pemerintah, artinya walaupun
banyak aset BUMN yang dijual ke swasta, hak kontrol pemerintah pada perusahaan masih

Indonesia dilakukan reformasi birokrasi dalam dimensi kelembagaan, sumberdaya aparatur dan ketatalaksanaan,
baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Apalagi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menetapkan bahwa: "Pembangunan
aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparaturnegara dan
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah". Dalam rangka reformasi birokrasi
tersebut, pemerintah pusat meregulasi perundang-undangan yang dikenal pilar reformasi birokrasi yaitu: 1) UU
Pelayanan Publik; 2) UU Administrasi Pemerintahan; 3) UU Etika Penyelengara Negara; 4) UU Kepegawaian
Negara; 5) UU Kementerian Negara; 6) UU Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah; 7) UU Badan Layanan Umum/Nirlaba; 8) UU Sistem Pengawasan Nasional; 9) UU Akuntabilitas
Penyelenggara Negara.
101
Badan pembinaan Hukum nasional.... Op.Cit, hlm. 69

tergolong besar atau disebut dengan fenomena reluctant privatization. 102 Pelaksanaan privatisasi
diberbagai negara dipandang sebagai penguatan pasar dalam struktur perekonomian negara
tersebut. Privatisasi merupakan upaya mengembalikan aktivitas perekonomian kepada sektor
swasta dengan memperkecil campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Namun
pada kenyataannya, penetapan privatisasi diberbagai negara menuai hasil yang heterogen dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Terdapat perbedaan besar antara privatisasi
yang dilakukan di negara maju dan negara berkembang.
Privatisasi menurut Savas merupakan suatu tindakan untuk mengurangi peran dari
pemerintah dan atau meningkatkan peran swasta dalam suatu aktivitas atau kepemilikan aset,
dengan tujuan mencapai kinerja yang lebih baik dimana salah satunya untuk meningkatkan cost
effective dari BUMN. Privatisasi timbul akibat adanya kegagalan perusahaan milik pemerintah
dalam pemenuhan masyarakat dimana dirasakan intervensi politikus dalam penentuan kebijakan
perusahaan milik negara sangat besar, sehingga dengan privatisasi tersebut campur tangan
politikus diharapkan berkurang dan mampu memisahkan tujuan sosial dan ekonomi karena
adanya transparansi dalam kebijaksanaan yang diambil oleh pihak manajemen perusahaan
tersebut. 103
Bank Dunia merilis prasyarat untuk sukses privatisasi BUMN salah satunya adalah
dengan tata kelola perusahaan yang bebas dari pengaruh kepentingan politik. 104

Dalam

pengelolaan BUMN selalu mengedapankan kontrol politik dan cenderung mengorbankan
efisiensi perusahaan. Agarusaha BUMN berfungsi efektif, kendali negara atas usaha BUMN
tersebut harus dilonggarkan. Namun dalam hal ini patut dipertanyakan apakah negara bersedia
102

Hadi, S.et al,Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. (Tangerang : Marjin Kiri,
2007) hlm. 55
103
E.S. Savas, Loc.Cit
104
The World Bank, “State-owned Enterprises Reform InIraq,” Reconstructing Iraq, Working Paper No. 2,
July 26, 2004

atau tidak membuat kebijakan seperti yang diharapkan publik. Hasil penelitian terhadap BUMN
di China mengungkapkan bahwa salah satu eksekutif senior BUMN menyatakan apa yang
diharapkan publik sebenarnya sangat berbeda atas sikap dari pejabat, sesungguhnya mereka tidak
siap untuk melepaskan kendalinya terhadap BUMN. 105
Hal yang terpenting adalah tentang sejauh mana tekanan politik merusak upaya seorang
pemimpin transformasi untuk menerapkan perubahan radikal dalam sebuah BUMN yang baru
diprivatisasi. 106 Sehingga muncul pertanyaan sampai sejauh mana faktor-faktor seperti kendala
politik, kondisi ekonomi, dan pengaruh sosial membatasi efektivitas pemimpin transformasi?
Andrews & Dowling mengungkapkan bahwa setelah privatisasi BUMN dilakukan, ketika
pengaruh pemerintah tetap kuat, agen negara akan memiliki kekuatan lebih untuk melindungi
kepentingan pribadi dan politik mereka daripada ketika pemerintah memiliki sedikit pengaruh
atas kepemilikan terhadap BUMN. 107
Boycko, Shleifer, dan Vishny mengemukakan bahwa politisi sengaja mengeluarkan
kebijakan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan BUMN. Dalam pandangan mereka,
politisi menghargai BUMN karena mereka dapat menggunakannya untuk mendukung
pendukung politik mereka melalui kelebihan kerja, investasi regional yang ditargetkan, dan
dengan sengaja underpricing atau overpricing barang yang dibeli (dari pemasok politik
terhubung). Politisi memiliki dorongan untuk menyuap para manajer, dan sebaliknya manajer
memiliki insentif untuk menyuap para politisi untuk promosi atau kepemilikan di kantor,

105

Jonathan G.S Koppell, Loc.Cit Lihat juga William L. Megginsonand Jeffry M. Netter, “From State
to Market: A Survey of Empirical Studies on Privatization”, NYSE Working Paper 98-05, Desember 1998, hlm. 7,
disebutkan bahwa para politisi sebenarnya enggan untuk melaksanakan privatisasi karena mereka tidak ingin
menyerah atas kemampuan mereka untuk mengoperasikan BUMN dengan cara yang memberikan kemanfaatan
ekonomi bagi pendukung politik mereka.
106
Constant D. Beugre, “Post-Privatization Performance of State-Owned Enterprisesin Emerging
Economies: A Transformational Leadership Framework”, New Philadelphia, Kent State University, hlm. 9
107
Andrews, W. A.,&Dowling, M. J.“Explaining performance changes in newlyprivatized firms”, Journal
of Management Studies,1998, hlm, 607

sehingga korupsi muncul secara endogen dalam model ini. Karena politisi menanggung beberapa
biaya inefisiensi ekonomi yang mereka promosikan, namun melihat sebagian besar manfaat
(politik), mereka memiliki sedikit dorongan untuk mengejar perubahan yang berarti. 108
Boycko dan kawan-kawan juga menyimpulkan bahwa privatisasi adalah satu-satunya
cara untuk mematahkan lingkaran subsidi dan inefisiensi, karena privatisasi akan meningkatkan
biaya bagi para politisi dalam hal intervensi dan operasional perusahaan BUMN. Singkatnya,
BUMN sangat tidak efisien terutama karena mereka mengejar tujuan politik politisi yang
mengendalikan mereka, danini hanya bisa diselesaikan dengan merubah sistem dari pengelolaan
BUMN yang dikelola dengan mekanisme yang birokrasi kepada mekanisme privat. 109
Salah satu prinsip dalam mekanisme publik adalah menargetkan tujuan sosial yang perlu
diberikan kepada kelompok atau komunitas masyarakat. Pemikiran dasar bahwa pemerintah
adalah sebagai penyelenggara publik memiliki insentif terkait dengan tujuan sosial. Negara
sebagai pemilik dapat mempunyai kepentingan yang berbeda dari tujuan negara dalam perannya
sebagai pelaku bisnis. Tantangan yang sebenarnya adalah untuk menemukan keseimbangan yang
tepat antara pengaruh politik dan kapasitas manajemen untuk bertindak. 110 Kondisi ini hanya
untuk menggambarkan kompleksitas dari negara sebagai pelaku bisnis yang sudah seharusnya
memenuhi dua tujuan yang berbeda. 111
Upaya untuk menjadikan BUMN di Indonesia sebagai entitas bisnis modern dan
profesional telah dilakukan sejak masa Presiden Soeharto. Akan tetapi, kebanyakan BUMN tetap
108

Boycko, Maxim, Andrei Shleifer, and Robert W. Vishny,“Voucher privatization”, Journal of
Financial Economics35, 1994, hlm 249.
109
Boycko, Maxim, Andrei Shleifer, and Robert W. Vishny,“A theory of privatisation”, Economic
Journal 106, 1996, hlm. 309-319
110
Noetzli, U, “Checks and Balances in Unternehmen. Daszweite Heft zur Corporate Governance”, (Zurich
: NZZ-Fokus, 2004).
111
Agung Wicaksono, Corporate Governance of State-Owned Enterprises:Investment Holding Structure
ofGovernment-Linked Companiesin Singapore and Malaysia andApplicability for Indonesian State-Owned
Enterprises”, Dissertationof the University of St. GallenGraduate School of Business Administration,Economics,
Law and Social Sciences HSG, 2009. hlm. 33

seperti wajahnya yang lama dengan kinerja seperti biasanya pula. Sebagian besar perusahaanperusahaan berplat merah tersebut masih dikelola dengan pola ekonomi politik feodal, dimana
kekuasaan raja-raja kecil di departemen sangat mempengaruhi badan usaha tersebut. tali temali
BUMN dengan politik dalam hubungan yang campur aduk, intervensi, dan ketidak profesionalan
ini sudah berlangsung lama, bahkan sampai sekarang. Oleh karenanya BUMN susah untuk
berkembang. 112
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono - yang kemudian tampil sebagai Presiden setelah
Megawati, Abdurrahman Wahid dan B.J Habibie - mencoba berusaha membenahi BUMN
melalui Menteri yang membawahi BUMN. Namun, lagi-lagi BUMN menjadi instrumen
kekuasaan politik di pusat kekuasaan. BUMN berada di bawah kendali dan lingkaran Presiden di
luar Menteri. Ada jebakan etatisme yang lebih dalam melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun
2005 jo. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan/atau
Komisaris Dewan Pengurus BUMN, yang memberikan peranan besar kepada tim ad hoc di luar
Menteri. Peranan lingkaran Presiden dalam menentukan Direksi dan Komisaris BUMN terlalu
jauh dalam Instruksi Presiden tersebut, sehingga ada campur aduk profesionalisme dengan
politik. Semestinya, Presiden cukup mempercayakan pengelolaan BUMN kepada Menteri dan
mewajibkan Menteri untuk melapor dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden agar
menjadi lugas, tegas, dan jelas. 113

112

Didik J. Rachbini, “Dilema Pengelolaan BUMN : Antara Bisnis dan Politik”, dalam Ishak Rafick dan
Baso Amir, “BUMN Expose : Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilah 2.000 Triliun Lebih”, (Jakarta : Ufuk
Press, 2010) hlm ix. Selanjutnya disebutkan bahwa ribuan calon Direksi dan Komisaris BUMN tidak mungkin di
seleksi secara tekhnis oleh tim ad hoc dibawah Presiden. Kewenangan tersebut mesti deiserahkan kepada
pembantunya, dalam hal ini adalah Menteri Negara BUMN. Ada ambivalensi ekonomi dan politik dalam
pengelolaan BUMN karena hubungannya dengan politik mendua. Pada satu sisi, ada pejabat formal mewakili
pengangku kepentingan utama pemerintah, yakni Menteri Negara BUMN. Sedangkan pada sisi lainnya, ada tim ad
hoc di lingkaran Presiden yang mempunyai kekuasaan menetukan arah BUMN dan pimpinannya.
113
Ibid

Sebagaimana diketahui BUMN merupakan entitas bisnis, sedangkan pemerintah adalah
institusi politik. Keberadaan Instruksi Presiden tersebut telah mengarahkan BUMN sebagai
organisasi birokrasi di bawah kekuasaan pemerintah. Hubungan yang paling ideal antara bisnis
dan politik adalah hubungan yang tidak langsung, sebagaimana yang sudah diatur oleh UndangUndang Perseroan Terbatas melalui RUPS, bukan melalui penunjukan politik sebagaimana yang
tertuang dalam Instruksi Presiden tersebut. Kondisi ini akan menyebabkan BUMN akan menjadi
badan usaha yang sulit untuk berkembang dan sangat terbatas ruang geraknya.
Presiden Joko Widodo terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Susilo
Bambang Yudhoyono melalui Pemilihan Umum Tahun 2014 yang lalu. Majalah Tempo
memberikan opini 114 terkait penunjukan jabatan-jabatan penting di BUMN sebagai politik balas
budi Joko Widodo pada pemilihan Presiden 2014. Jika Presiden Joko Widodo mengangkat
relawan dan orang-orang dari partai pendukungnya ke berbagai jabatan penting di BUMN adalah
sebagai cara membayar utang budi politik. Sebenarnya cara ini bukan hal yang baru, bahkan
sudah dianggap lazim. Presiden-Presiden sebelumnya pun selalu melakukan hal yang sama,
namun demikian lazim bukan selalu benar.
Kebiasaan yang seolah-olah “mentradisi” itu semestinya dilakukan dengan hati-hati.
Prinsip “the right man on the right place” haruslah tetap menjadi acuan utama. Walaupun tidak
ada pelanggaran aturan atas penunjukan tersebut karena pemerintah sebagai pemegang saham
BUMN dan berhak menetapkan orang pada posisi penting tersebut. Namun asas kepatutan akan
terganggu bila automaticly seseorang dari kalangan relawan atau partai politik menduduki posisi
penting di BUMN. Seyogianya penempatan tersebut memiliki persyaratan bahwa siapa saja yang
akan menduduki posisi penting di BUMN harus memiliki kompetensi sehingga layak menduduki

114

Opini Tempo, “Utang Budi dibawa Jokowi” , Majalah Tempo Edisi 27 April – 3 Mei 2015, hlm 28.

posisi tersebut. Apalagi untuk menduduki jabatan Komisaris yang mempunyai tugas mengawasi
kinerja Direksi perusahaan milik negara tersebut.
Uraian di atas menunjukkan bahwa menajemen perusahaan negara juga sangat
bergantung dengan sistem politik yang berlaku dalam suatu negara. Menurut Hilb, sistem politik
di negara itu sangat mempengaruhi ideologi dalam membentuk manajer. Negara-negara dengan
sistem presidensial cenderung membentuk pendekatan bisnis top-down diantara manajer,
sementara sistem non presidensial lebih cenderung mendorong untuk berprilaku bagaimana
mencari kesepakatan bersama. 115 Sebuah contoh yang jelas adalah bagaimana sistem Amerika
Serikat dan Swiss berbeda dalam hal ini. Sistem politik konsensual Swiss, dimana para
pemimpin partai politik yang duduk bersama-sama di dewan federal, badan pemerintah tertinggi,
bergantian menjadi presiden federal negara itu, kondisi ini menyebabkan komitmen yang lebih
besar dengan konsep perusahaan dengan orientasi fungsional, serta otonomi dan orientasi
keuangan lebih sedikit dari pada sistem yang terbangun di Amerika. 116
Privatisasi BUMN harus dilakukan secara berkesinambungan, dimana antara lain
pemerintah dan pemegang kekuasaan publik lainnya tidak boleh lagi melakukan berbagai
intervensi (campur tangan) dalam bentuk apapun terhadap perusahaan milik negara yang ada.
Intervensi dalam berbagai bentuknya hanya akan membuat hancurnya upaya privatisasi terhadap
BUMN yang ada, sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa negara yang telah melakukan
privatisasi terhadap perusahaan milik mereka. Apabila privatisasi dilakukan secara penuh, maka
BUMN yang telah diprivatisasi tersebut kelakakan menjadi BUMN yang tangguh dan berdaya
saing global serta menghasilkan keuntungan (provit) yang maksimal bagi pemiliknya, yaitu
rakyat. Apabila BUMN telah go public, maka BUMN tersebut telah menjadi kepercayaan

115

Martin Hilb, “Integrierte Corporate Governance”, (New York : Springer, 2004)
Agung Wicaksono, Op.Cit, hlm 68

116

investor baik di dalam maupun di luarnegeri dan menjadi sasaran investasi para investor
tersebut. 117
Pengaruh politik sudah seharusnya tidak mendapatkan tempat dalam pengelolaan BUMN,
karena berimplikasi negatif terhadap pencapaian tujuan didirikannya BUMN tersebut. BUMN
yang merupakan badan usaha harus dikelola dengan profesional untuk kemanfaatan umum,
sehingga ia mampu menjadi pilar perekonomian bangsa Indonesia. Privatisasi BUMN yang
merupakan bagian dari mekanisme pengelolaan BUMN harus mampu mematahkan dominasi
politik dalam keberlangsungannya, sehingga pengawasan dalam pengelolaannya menjadi sangat
dibutuhkan agar perjalanan privatisasi BUMN sesuai dengan rel yang sudah ditetapkan.

3. Rendahnya kepercayaan investor
Privatisasi seyogianya mampu mendatangkan investor untuk menanamkan modalnya
pada bidang usaha BUMN yang di privatisasi. Menurut Purwoko privatisasi yang ideal sudah
seharusnya bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia apabila setelah privatisasi
BUMN mampu bertahan hidup dan berkembang di masa depan, mampu menghasilkan
keuntungan, dapat memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat yang
ada disekitarnya. Dengan demikian, privatisasi BUMN diharapkan (1) mampu meningkatkan
kinerja BUMN, (2) mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan
BUMN, (3) mampu meningkatkan akses ke pasar internasional, (4) terjadinya transfer ilmu
pengetahuan dan teknologi, (5) terjadinya perubahan budaya kerja, serta (6) mampu menutup
defisit APBN. 118

117

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op.Cit, hlm 64-65
Purwoko, Op.Cit, hlm. 9

118

Investor mempunyai keinginan untuk cenderung meletakkan investasinya pada pasar
yang dapat mencapai nilai-nilai objektif di atas, hal ini menjadi pemikiran investor dalam rangka
melindungi mereka dari resiko-resiko bisnis yang mungkin saja terjadi. Terkait privatisasi
BUMN yang pengelolaannya mengikuti mekanisme di pasar modal yang merupakan bagian dari
lembaga keuangan, Kenneth Kaoma Mwenda mengemukakan bahwa apabila ada pengaturan
yang jelas terhadap lembaga keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective
chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi terhadap perilaku
penyalahgunaan dari pelaku pasar. 119 Apabila digabungkan dengan pengaturan keterbukaan
informasi yang efisien, hal ini dapat membentuk pasar yang fair, efisien dan transparan yang
pada gilirannya akan menimbulkan kepercayaan dari pelaku pasar termasuk investor terhadap
pasar tersebut. 120
Ketika sebuah perusahaan milik pemerintah tidak mengejar strategi bisnis yang efektif,
posisi ekonomi di pasar produk akhir dipengaruhi dengan cara yang sama seperti dalam kasus
perusahaan milik swasta. Namun, konsekuensi untuk perilaku diskresioner manajer berbeda.
Alasannya dapat ditemukan dalam kurangnya kekuatan sinyal pasar jika perusahaan ini dimiliki
oleh pemerintah, pemilik akhir (masyarakat selaku investor) tidak dapat memutuskan untuk
menjual saham mereka ketika korporasi berkinerja buruk. Hal yang sama berlaku untuk politisi
sebagai agen pemilik akhir. Bahkan jika ada kepemilikan minoritas swasta di sebuah perusahaan
milik pemerintah, sinyal dari pasar modal melemah, karena pembiayaan BUMN berbeda dengan
perusahaan swasta karena kepercayaan dalam likuiditas kepemilikan negara di negara-negara
industri. Dengan kata lain, ada harapan bahwa pemerintah akan datang untuk membantu

119

Kenneth Kaoma Mwenda, Loc.Cit
Bismar Nasution, “Struktur RegulasiIndependensi OJK”, Disampaikanpada Seminar Eksistensi dan
Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi, dilaksanakan Bening
institute, jakarta pada tanggal 23 April 2013, hlm. 3
120

keuangan dari perusahaan -yang menghadapi kesulitan keuangan yang parah- sehingga
melemahkan efek pemantauan dari pasar modal. 121
Masuknya investor baru dari proses privatisasi diharapkan dapat menimbulkan suasana
kerja baru yang lebih produktif, dengan visi, misi, dan strategi yang baru. Perubahan suasana
kerja ini diharapkan menjadi pemicu adanya perubahan budaya kerja, perubahan proses bisnis
internal yang lebih efisien, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang
diadopsi BUMN setelah proses privatisasi. 122 Riant Nugroho mengemukakan bahwa dalam
persepektif internal manajemen perusahaan, salah satu tujuan dari kebijakan privatisasi adalah
memperoleh investor strategis sehingga dapat memacu kinerja manajemen terutama terkait
dengan kemampuan teknis, marketing, dan managerial skills. 123
Privatisasi yang paling banyak dipahami adalah privatisasi yang kebijakan-kebijakannya
mengizinkan negara melepas kepemilikan kepada perusahaan-perusahaan swasta, pihak-pihak di
luar negara atau investor asing. Secara umum, privatisasi memang cenderung dipahami sebagai
suatu proses untuk memindahkan status kepemilikan perusahaan negara/BUMN atau harta publik
lainnya, dari milik publik (negara) menjadi milik pemodal privat (swasta). Tetapi dalam
121

Arnold Picot and Thomas Kaulmann, “Comparative Performance of Government-ownedand
Privately-owned Industrial Corporations -Empirical Results from Six Countries”, Journal of Institutional and
Theoretical Economics (JITE), 145, 1989, Zeitschrift fiir die gesamte Staatswissenschaft, hlm. 300-301
122
I b i d, hlm. 11,lihat juga Erman Rajagukguk, “Penanaman Modal Asing di Indonesia : Development
Theory V. Dependency Theory”, dalam “Butir-Butir Hukum Ekonomi : 65 Tahun Erman Rajagukguk”, (Lembaga
Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta, 2011) hlm. 401-402, disebutkan bahwa
kedatangan investor khususnya pemodal asing juga diharapkan dapat membawa tekhnologi baru. Sehingga negara
penerima modal mendapatkan teknologi tersebut. Tanpa disadari atau disengaja alih teknologi cepat atau lambat
akan menguntungkan negara-negara berkembang. Datangnya investor juga membuka infrastruktur yang baru, seperti
jalan, jembatan, pelabuhan dan lapangan terbang. Infrastruktur ini dibangun oleh negara tuan rumah dengan
pinjaman negara maju,dibangun oleh tuan rumah sendiri atau dibangun oleh investor asing. Harus diakui
penambahan infrastruktur ini membawa peningkatan pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan. Dengan
adanya infrastruktur tersebut perbaikan bidang transportasi, kesehatan dan pendidikan yang mengutungkan investor
asing dan masyarakat lokal secara keseluruhan.
123
Riant Nugroho Dwidjowijoto dan Randy R. Wrihatnolo, ”Manajemen Privatisasi BUMN”, ( Jakarta :
Elex Media Komputindo, 2008) hlm. 76 selanjutnya disebutkan bahwa kebijakan privatisasi juga ditujukan untuk
memperoleh cash inflows bagi kepentingan infrastruktur telekomunikasi, akselarasi akses teknologi telekomunikasi
dan metode pengoperasiannya serta keterbukaan perusahaan publik diharapkan dapat mempercepat proses
perubahan dan meminimalkan pengaruh birokrasi.

pengertian yang lebih luas, privatisasi sesungguhnya dapat pula diartikan sebagai suatu proses
untuk mentransformasikan metode pengelolaan perusahaan negara/BUMN dan harta publik
lainnya itu, agar lebih menyerupai metode pengelolaan yang terdapat di sektor swasta. Asas
utama privatisasi adalah kepemilikan individual secara mutlak dan mekanisme pasar. Karenanya
tidak dikenal public goods atau public services. Yang ada commercial goods atau commercial
services. 124
William L Meginson menyebutkan bahwa ketidak berhasilan privatisasi terutama karena
struktur kepemilikan yang terkonsentrasi yang dihasilkan dari proses privatisasi. William
mengemukakan untuk lebih terkonsentrasi pada struktur kepemilikan post-privatization, yaitu
mengedepankan perusahaan yang profitabilitas dan penilaian pasar. Investor strategis tampaknya
sangat penting dalam meningkatkan tata kelola perusahaan dan kinerja keuangan, disamping itu
juga kepemilikan dominan melalui dana yang disponsori investasi perbankan juga hal yang tak
kalah penting. 125 Privatisasi akan mendatangkan investor jika dalam perjalanannya privatiasasi
mampu meyakinkan sesuatu yang menjanjikan bagi investor tersebut.
Sebelum menjual atau membeli BUMN dalam perekonomian suatu negara yang sedang
berkembang, pemerintah ataupun investor harus yakin memiliki seseorang untuk membuat suatu
terobosan yang berarti dalam mengelola BUMN. Kegagalan untuk menemukan pemimpin yang
mampu memimpin transisi dapat mengakibatkan kinerja yang buruk. Pengembangan dan
pelatihan terhadap manajerial untuk mengelola perusahaan yang baru diprivatisasi telah
diabaikan dalam literatur privatisasi di sebagian besar negara-negara berkembang. 126 Dengan

124

Ichsanuddin Noersy, Issues and Perspectives of Privatization, Global Justice Update- Volume VI - 2nd
Edition - July 2008 and Global Justice Update, Volume 6, Special Edition2008
125
William L. Megginsonand Jeffry M. Netter, Op.Cit, hlm. 17-18
126
Constant D. Beugre, Op.Cit, hlm. 9-10

demikian faktor leadership juga menjadi suatu hal yang tidak bisa dinafikan dalam pelaksanaan
privatisasi BUMN.
Manajemen BUMN harus memahami bahwa setelah privatisasi dilakukan, pengawasan
bukan hanya dari pihak pemerintah saja, tetapi juga dari investor yang akan menanamkan
modalnya ke BUMN tersebut. Sehingga dalam menjalankan tugasnya, manajemen BUMN
dituntut untuk lebih transparan serta mampu menerapkan prinsip-prinsip GCG. Pada masa-masa
yang akan datang, BUMN akan dihadapkan dengan persaingan global, dimana batas wilayah
suatu negara dapat dengan mudah dimasuki oleh produsen-produsen asing untuk menjual
produk-produk dengan kualitas yang baik dan dengan harga yang sangat kompetitif. Oleh
karenanya, BUMN harus meningkatkan kualitas produknya serta memperluas jaringan pasar,
bukan hanya pada tingkat nasional tetapi juga di pasar global. Dengan kebijakan privatisasi
BUMN, terutama dengan metode go public diharapkan BUMN mampu menarik investor baik
dari dalam maupun luar negeri sehingga mempunyai akses yang lebih baik di pasar global. 127
Jean Jacques Rosa menyebutkan privatisasi sebagai sebuah misteri dalam sistem
pemerintahan. Misteri tersebut dapat diselesaikan jika pemerintah mempunyai motif yang sama
dengan motif dari investor swasta dalam mengawasai berlangsungnya privatisasi perusahaan
BUMN yang didasarkan kepada satu kepentingan untuk memberikan keuntungan kepada
pemegang saham dan mengelola dengan baik sumber daya yang ada. Namun kasus yang sering
terjadi dalam suatu pemerintahan adalah ketika nuansa kekuasaan dan politik lebih kental

127

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Loc Cit . selanjutnya disebutkan bahwa kebijakan privatisasi
seperti ini diharapkan dapat mendorong BUMN untuk mengembangkan jangkauan pasarnya di pasar luar negeri.
Disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
baru dalam proses produksi menghasilkan produk dalam tempo yang lebih cepat, dengan kualitas yang lebih baik,
serta harga pokok yang lebih kompetitif. Di bidang pemasaran teknologi baru, khususnya teknologi informasi, dapat
dipakai sebagai sarana strategis untuk menjalin hubungan yang lebih baik dan berkualitas dengan customer serta
para supplier. Privatisasi diharapkan dapat memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru kepada BUMN,
sehingga BUMN akan mampu memberikan sarana kepada para karyawan untuk terus melakukan pembelajaran dan
terus mengembangkan diri, sehingga mampu menghasilkan produk yang berkualitas, dengan harga yang kompetitif.

dibandingkan pencapaian idealisme perusahaan, pemerintah banyak melakukan praktik berbagi
kepada para pendukung politiknya dengan harapan mendapatkan peluang untuk didukung dan
dipilih kembali sebagai pihak yang berkuasa di pemerintahan. 128
Paparan yang diungkap Jean di atas tentu menjadi momok dalam pengelolaan privatisasi
BUMN, ketidaksamaan visi antara investor dan pemerintah tidak memberikan harapan terhadap
BUMN untuk mendapatkan investor yang diharapkan dapat membawa angin segar atas
keberlangsungan perusahaan. Prinsip-prinsip ideal dalam pengelolaan perusahaan yang tertuang
dalam GCG harus dijadikan komitmen bagi pemerintah sebagai ujung tombak dalam
mewujudkan apa yang menjadi tujuan pembentukan BUMN, dengan demikian pemerintah harus
mampu melepaskan belenggu politik dalam melaksanakan tugasnya dalam mengemban amanah
rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan melalui pengelolaan BUMN yang baik.
Pengelolaan yang baik pada pelaksanaan privatisasi BUMN adalah wujud keberpihakan
pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat, jika hal ini dapat terwujud akan berdampak terhadap
iklim investasi yang kondusif dalam dunia usaha di Indonesia khususnya terhadap
keberlangsungan usaha BUMN yang mempunyai dampak yang luas bagi rakyat Indonesia.
Namun realitas saat ini belum menunjukkan hal yang ideal untuk menuju ke arah yang
diinginkan, sehingga butuh sistem pengawasan yang sistematis dan terukur dalam upaya
mengarahkan pengelolaan BUMN yang pro rakyat. Dengan demikian kebijakan memprivatisasi
BUMN menjadi langkah yang optimal untuk menarik investor dalam menanamkan berbagai

128

Jean-Jacques Rosa and Edouard Pérard, “When to privatize? When to nationalize? A competition for
ownership approach” , Makalah disampaikan pada konferensi "Peran Negara dalam Pelayanan Publik", Lee Kuan
Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Singapura, September 2007, dan pada Konferensi
Internasional ke-31 dari Asosiasi Internasional untuk Ekonomi Energi (IAEE), Istanbul, Juni 2008. Juga
dipresentasikan pada "Paris Keuangan Internasional Meeting Affi-EUROFIDAI", Desember 2007; dan di "European
Association Manajemen Keuangan Pertemuan Tahunan 2008", Athena, Juni 2008.

bentuk investasi yang diharapkan dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan perekonomian
Indonesia.
4. Potensi penyimpangan
Syarat utama agar pembangunan ekonomi bisa terus berjalan berkesinambungan adalah
dengan menciptakan kondisi stabilitas politik yang mantap. Dalam konteks ini intervensi
pemerintah menjadi sangat menonjol sehingga kekuasaan pemerintah relatif besar sehingga
rawan terhadap penyelewengan wewenang. 129 BUMN memainkan peran yang sangat strategis
dalam hal menjalankan fungsi produksi dan distribusi barang dan jasa, namun demikian perlu
disadari bahwa pada dasarnya BUMN hadir sebagai business entity yang memainkan peran
sebagai stabilisator perekonomian di Indonesia, disamping perannya sebagai agent of
development.
Dibyo Sumantri mengungkapkan bahwa penyimpangan dalam pengelolaan BUMN
sejauh ini tampaknya memang masih menjadi “sympton”yang perlu segera diobati. Mengingat
“sympton” ini potensial terjadi dikalangan pengelola perusahaan, jajaran manajemen maupun
dilakukan oleh pemegang saham dan karyawan, atau bahkan mungkin sekali terjadi akibat
campur tangan dari pihak-pihak luar perusahaan yang tidak dapat dicegah oleh direksi.
Selanjutnya Dibyo menyatakan bahwa sinyalemen dari Masyarakat Transparansi Indonesia
akhir-akhir ini memang perlu dicermati semua pihak. Ditegaskan bahwa selama ini proses
pemilihan direksi BUMN masih tersisa sistem KKN, antara lain berupa ‘titipan’ dari pejabat

129

Yustika, A.E.. Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2009)

yang notabene tidak sesuai dengan kebijakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test)
. 130
Penyimpangan policy direction yang merugikan BUMN sering terjadi akibat keterlibatan
birokrasi dengan kepentingannya. Policy direction yang merugikan timbul karena adanya
kepentingan elite BUMN yang muncul melalui kebijakan-kebijakan yang formal. Tidak sedikit
birokrat di BUMN yang sulit membedakan dirinya sebagai birokrat atau profesional perusahaan,
sehingga menimbulkan political cost yang sulit diukur. Aset yang besar dan tidak disertai dengan
optimalisasi manfaat yang akan didapatkan akan berakibat over-investment dan pemborosan
yang membebani BUMN itu sendiri. Selanjutnya kemudahan dari negara dalam bentuk subsidi
yang diberikan kepada BUMN setara dengan cost bagi rakyat banyak.
Murat Cokgezen mengemukakan bahwa meskipun pembangunan ekonomi suatu bangsa
atau daerah adalah salah satu motivasi ekonomi utama di balik pembentukan BUMN, di banyak
negara mereka ditugaskan untuk target politik dan sosial baru oleh para politisi yang
bertentangan dengan orang-orang ekonomi. Mengejar beberapa tujuan dengan memaksa para
pengelola BUMN mengorbankan tujuan ekonomi untuk me