Hubungan Antara Paparan Cadmium Dengan Kejadian Kanker Paru

(1)

HUBUNGAN ANTARA PAPARAN CADMIUM DENGAN KEJADIAN KANKER PARU

EKA ROINA MEGAWATI NIP :132 303 381

DEPARTEMEN FISIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB 1. PENDAHULUAN 1

BAB 2. PEMBAHASAN 3

2.1. Paparan dan metabolisme Cadmium 3

2.2. Kanker paru 5

2.3. Hubungan Cadmium dan kanker paru 8

BAB 3. KESIMPULAN 11


(3)

BAB 1 PENDAHULUAN

Cadmium (Cd) merupakan hasil sampingan dari produksi seng dan timah,

umumnya digunakan pada penyepuhan logam, baterai, pewarna, penstabil plastik, dan beberapa campuran logam (1, 2). Meskipun emisi Cd dalam lingkungan telah menurun pada kebanyakan negara industri, tapi masih menjadi sumber kekhawatiran pekerja industri dan populasi yang tinggal di daerah industri, khususnya di sebagian negara berkembang. Di daerah industri, Cd berbahaya karena dapat terinhalasi maupun tertelan baik dari makanan atau minuman yang terkontaminasi Cd dan dapat menyebabkan intoksikasi kronis (2, 3). Hal ini disebabkan Cd yang terurai di lingkungan dapat bertahan di dalam tanah dan mengendap selama beberapa dekade. Ketika diserap oleh tanaman, Cd terkonsentrasi sepanjang rantai makanan dan mencapai konsentrasi puncak di dalam tubuh orang yang memakan makanan terkontaminasi tersebut (2).

Cd juga terdapat di dalam asap rokok, setelah menghirup asap Cd, 10-20% mungkin diserap, tergantung ukuran partikel dan komposisi kimiawinya (2). Sifat toksiknya yang menonjol adalah Cd mempunyai waktu paruh yang panjang sekitar 6 minggu dalam tubuh manusia. Begitu diserap Cd akan terakumulasi di ginjal dan organ vital lain seperti paru-paru, tulang dan hati, maupun sistem reproduksi termasuk plasenta, testis dan ovarium (1-3). Akumulasi Cd sangat sulit diekskresikan ginjal karena eliminasi akumulasi Cd sangat lambat dengan waktu paruh 20-40 tahun. Sehingga manusia yang terpapar Cd, insiden mengidap penyakit ginjal, hipertensi, osteoporosis, leukemia dan kanker paru, ginjal, kandung kemih, pancreas, payudara dan prostat cenderung meningkat (3).


(4)

Terdapat bukti cukup untuk mengklasifikasikan Cd sebagai bahan karsinogen bagi manusia. Bukti yang paling meyakinkan adalah ditemukannya peningkatan resiko kanker paru pada pekerja yang menginhalasi Cd dan data yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap hewan coba yang diberikan Cd dengan bermacam rute pemberian dapat menimbulkan kanker pada berbagai tempat, temasuk di dalam paru-paru (1).


(5)

BAB 2 PEMBAHASAN

2. 1. Paparan dan Metabolisme Cadmium

Manusia dan hewan terpapar Cd umumnya berasal dari makanan dan asap rokok. Konsentrasi Cd tertinggi berada di organ dalam terutama ginjal dan hati, Cd juga tinggi konsentrasinya pada ikan, kepah dan tiram yang berasal dari laut yang terkena polusi. Mengkonsumsi makanan pokok seperti gandum, beras yang terkontaminasi Cd juga merupakan sumber paparan manusia. Di daerah industri, paparan Cd terutama melalui inhalasi walaupun jumlah yang signifikan Cd dapat tertelan dari tangan atau rokok terkontaminasi. Jumlah Cd yang dimakan bersama makanan pada kebanyakan negara adalah sekitar 10 to 20 μg per hari (1).

Asap rokok merupakan sumber paparan tambahan yang penting bagi perokok. Karena 1 batang rokok mengandung sekitar 1 sampai 2 μg Cd, merokok 1 pak per hari sama dengan masukan Cd per hari yang diperoleh dari makanan terkontaminasi. Penyerapan melalui oral bervariasi sekitar 5% tapi dapat meningkat menjadi 15% pada subjek dengan simpanan besi rendah. Ketika terpapar melalui inhalasi, diperkirakan antara 10-50% diserap tergantung ukuran partikel dan kelarutan senyawa Cd. Pada kasus Cd dalam asap rokok (umumnya dalam bentuk CdO), rata-rata 10% Cd diserap, sementara penyerapan Cd melalui kulit tidak berarti (1).


(6)

Berikut mekanisme terjadinya akumulasi Cd dalam tubuh (1):

Alb, Albumin; Mt, Metallothionein; GSH, Glutathione; aa, amino acid

Dengan mengabaikan rute paparan, Cd bertahan dalam organism dan tetap terakumulasi sepanjang hidup. Beban tubuh akan Cd, terabaikan pada saat lahir, meningkat terus sepanjang hidup sampai sekitar usia 60-70 tahun dari kadar beban tubuh akan Cd berhenti dan bahan berkurang. Cd terkonsentrasi di hati dan bahan lebih banyak di ginjal yang dapat mencapai 50% dari total beban tubuh akan Cd pada subjek dengan paparan lingkungan yang rendah. Akumulasi Cd dalam hati dan ginjal disebabkan kemampuan jaringan ini mensintesa metallothionein, suatu protein yang dipengaruhi Cd yang melindungi sel dengan berikatan kuat dengan zat toksik ion Cd2+. Stimulasi metallothionein oleh seng mungkin menjelaskan efek proteksi elemen yang penting ini menuju toksisitas Cd. Karena ukurannya yang kecil, metallothionein dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui proses filtrasi glomerulus sebelum dibawa ke sel tubulus proksimal. Jalan filtrasi glomerulus ini terletak pada akumulasi Cd dalam sel tubulus proksimal dan di dalam korteks ginjal yang merupakan letak nefron. Cd tidak dapat melewati plasenta dengan mudah atau sawar darah otak, hal ini menjelaskan bahwa toksisitasnya terhadap fetus dan sistem saraf pusat sangat rendah dibandingkan logam berat yang lain. Cd umumnya dieliminasi melalui urin. Jumlah Cd yang


(7)

diekskresikan setiap hari dalam urin sangat rendah, sekitar 0,005- 0.01% total beban tubuh. Fraksi ekskresi yang rendah ini berkaitan dengan waktu paruh biologis lebih dari 20 tahun. Pada individu dengan disfungsi tubulus waktu paruh eliminasi kurang dari 10 tahun (1).

2. 2. Kanker Paru

Setiap tahun, kanker primer paru mempengaruhi 93.000 laki-laki dan 80.000 perempuan di Amerika Serikat, 86% meninggal dalam 5 tahun diagnosa, membuatnya menjadi kanker penyebab kematian pada laki-laki dan perempuan. Puncak insiden kanker paru antara 55-65 tahun. Kematian akibat kanker paru 28% dari semua kematian akibat kanker (32% pada laki-laki dan 25% pada perempuan) (4).

Istilah kanker paru digunakan terhadap kejadian tumor yang berasal dari epitel pernafasan (bronkus, bronkiolus, dan alveoli). Empat jenis kanker paru menurut World Health Organization (WHO) adalah squamous atau epidermoid carcinoma, small cell

(oat cell) carcinoma, adenocarcinoma (termasuk bronchoalveolar) dan large cell (juga disebut large cell anaplastic) carcinoma(4).

Penyebab kanker terbanyak karsinogen dan promoter tumor yang diperoleh melalui asap rokok. Prevalensi rokok di Amerika Serikat 28% laki-laki dan 25% perempuan, usia 18 tahun atau lebih. Resiko relatif perkembangan kanker paru meningkat sekitar 13 kali lipat akibat merokok aktif dan sekitar 1,5 kali lipat oleh perokok pasif. Penyakit paru obstruktif kronis yang juga berhubugan dengan rokok, meningkatkan resiko kanker paru. Tingkat kematian kanker paru berhubugan dengan jumlah rokok yang dihisap, resiko meningkat 60-70 kali lipat terhadap laki-laki yang merokok 2 bungkus per hari selama 20 tahun dibandingkan tidak perokok (4).


(8)

Penelitian genetika memperlihatkan perolehan sel kanker paru diakibatkan sejumlah lesi genetik, termasuk aktivasi onkogen dominan dan inaktivasi supresor tumor atau oncogen resesif. Kenyataan memperlihatkan kanker paru mempunyai akumulasi lesi tersebut dengan jumlah banyak (4).

Indentifikasi kanker paru 5-15% bersifat asimtomatik, biasanya diketahui dari hasil foto rontgen dada rutin, skebanyakan dengan beberapa tanda atau gejala. Pertumbuhan tumor primer di sentral atau endobronkial menyebabkan batuk, batuk darah, mengi dan stridor, sesak nafas, dan post obstruktif pneumonitis (demam dan batuk produktif). Pertumbuhan perifer tumor primer menyebabkan nyeri dari pleura atau dinding dada, batuk, sesak nafas, dan gejala abses paru karena kavitasi tumor. Penyebaran regional tumor dalam rongga dada (melalui pertumbuhan yang berdekatan atau metastasis ke kelenjar limfe regional) menyebabkan obstruksi trakea, penekanan esophagus dengan gejala disfagia, paralisa saraf recurrent laryngeal dengan suara serak, paralisa saraf frenikus dengan elevasi hemidiafrgama dan sesak nafas dan paralisa saraf saraf simpatis dengan sindroma Horner (enoftalmus, ptosis, miosis, dan tidak berkeringat ipsilateral). Efusi pleura maligna sering menimbulkan sesak nafas. Sindroma Pancoast’s (atau superior sulcus tumor) berasal dari ekstensi local dari tumor yang tumbuh di apeks paru dengan melibatkan C8, dan Th1 dan Th2, dengan nyeri bahu yang menjalar distribusi ulnar lengan, sering dengan gambaran radiologi destruksi iga satu dan dua. Sering sindroma Horner dan Pancoast’s muncul bersama. Masalah lain penyebaran regional melibatkan sindroma vena cava superior dari obstruksi vascular, ekstensi pericardial dan jantung menimbulkan tamponade, aritmia atau gagal jantung, obstuksi limfe denga efusi pleura, dan penyebaran limfangitis melalu paru dengan hipoksemia dan sesak nafas. Bronchoalveolar carcinoma dapat menyebar transbronkial,


(9)

menghasilkan pertumbuhan tumor multiple di permukaan alveoli dengan gangguan pertukaran gas, insufisiensi gas, sesak nafas, hipoksemia dan produksi sputum (4).

Alat utama untuk mendiagnosis kanker paru-paru adalah radiologi, bronkoskopi dan sitologi. Nodula soliter terbatas yang disebut coin lesion pada radiogram dada sangat penting dan mungkin merupakan petunjuk dini untuk mendeteksi karsinoma bronkogenik, meskipun dapat juga ditemukan pada banyak keadaan lainnya. CT scan

mungkin dapat memberikan bantuan lebih lanjut dalam membedakan lesi-lesi yang dicurigai. Bronkoskopi yang disertai biopsy adalah teknik yang paling baik dalam mendiagnosis karsinoma sel skuamosa, yang biasanya terletak sentral. Biopsi kelenjar skalenus adalah cara terbaik untuk mendiagnosis kanker-kanker yang tidak terjangkau bronkoskopi. Pemeriksaan sitologi sputum, bilasan bronkus, dan pemeriksaan cairan pleura juga memainkan peranan penting dalam diagnosis kanker paru-paru (5).

Baik histologi maupun stadium penyakit sangat penting untuk menentukan diagnosis dan rencana pengobatan. Membedakan antara Squamous Cell Lung Cancer (SCLC) dan Non Squamous Cell Lung Cancer (NSCLC) sangat penting. Penentuan stadium kanker paru-paru terbagi dua : (1) pembagian stadium menurut anatomi untuk menentukan luasnya penyebaran tumor dan kemungkinannya untuk sioperasi dan (2) stadium fisiologi untuk menentukan kemampuan pasien untuk bertahan terhadap berbagai pengobatan anti tumor (5).

Pembagian stadium tumor berdasarkan TNM sistem untuk kanker paru-paru dilakukan oleh American Joint Committee on Cancer merupakan metode yang diterima secara luas untuk menentukan perluasan kanker jenis NSCLC. Berbagai T (ukuran tumor), N (metastasis ke kelenjar limfe regional), dan M (ada atau tidaknya metastasis ke distal) digabung untuk menentukan kelompok stadium yang berbeda. Ukuran tumor


(10)

dan histologi ditentukan secara radiologi dan pemeriksaan bahan jaringan. Sebagai tambahan, mediastinokopi sering kali berguna untuk menentukan diagnosis dan untuk memisahkan tumor-tumor yang dapat atau tidak dapat dioperasi. Uji-uji untuk mendeteksi metastasis ke distal termasuk sidik tulang, sidik otak, pemeriksaan fungsi hati, dan sidik hati, limpa dan tulang dengan gallium (5).

Saat sistem TNM dikembangkan untuk karsinoma bronkogenik, pengobatan terhadap SCLC memberikan hasil yang buruk, sehingga tampaknya tidak berguna untuk menerapkan sistem TNM pada jenis kanker paru-paru yang satu ini. Jadi untuk SCLC digunakan suatu sistem pembagian dua stadium yang sederhana. Stadium penyakit yang masih terbatas didefinisikan sebagai SCLC yang masih terbatas pada satu hemitoraks dan kelenjar limfe regional, dan stadium penyakit yang sudah meluas yaitu dimana penyakit sudah meluas lebih dari batasan di atas. Pada sebagian kasus, stadium penyakit yang masih terbatas berhubungan dengan apakah tumor tersebut dapat diberi terapi radiasi (5).

Setelah selesai dilakukan diagnosis histologik dan prosedur penentuan stadium anatomis dan fisiologis, maka dibuat rencana pengobatan keseluruhan. Rejimen pengobatan yang paling sering adalah kombinasi dari pembedahan, radiasi dan terapi (5).

Prognosis secara keseluruhan bagi pasien dengan karsinoma bronkogenik adalah buruk dan hanya sedikit meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini, meskipun telah diperkenalkan berbagai agen-agen kemoterapi yang baru. Dengan demikian, penekanan harus diberikan pada pencegahan. Tenaga-tenaga kesehatan harus menganjurkan masyarakat untuk tidak merokok atau hidup dalam lingkungan yang tercemar polusi industri. Tindakan-tindakan protektif harus dilakukan bagi mereka yang bekerja dengan asbes, uranium, kromium, dan materi karsinogenik lainnya (5).


(11)

2. 3. Hubungan Cadmium dan Kanker Paru

Mekanisme karsinogenesis Cd masih belum diketahui secara luas. Karena logam ini tidak terlau bersifat genotoksik dan tidak menyebabkan kerusakan genetika langsung, mekanisme epigenetika dan atau mekanisme genotoksik tidak langsung seperti penghambatan apoptosis, perubahan sinyal sel atau inhibisi perbaikan DNA mungkin terlibat (1).

Inhalasi Cd dapat menyebabkan gangguan sistem pernafasan yang multipel, termasuk pneumonitis akut dan emfisema, dan paparan terhadap Cd dihubungkan dengan peningkatan resiko kanker paru. Cd terdapat pada polusi udara dan di asap rokok. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa konsentrasi Cd di jaringan paru perokok meningkat. Hasil otopsi memperlihatkan bahwa jumlah Cd dalam paru-paru manusia lebih banyak dipengaruhi paparan terhadap polusi udara dibandingkan dengan riwayat merokok. Konsentrasi Cd dalam tembakau ditentukan oleh konsentrasi Cd dalam tanah tempat tumbuh tembakau. Jumlah Cd dalam rokok di Eropa dan Meksiko sekitar 1,8-2,8µg per rokok. Sekitar 10-20% Cd dalam rokok tersebut diinhalasi (6).

Paparan hewan coba terhadap partikel Cd menimbulkan terjadinya akumulasi dalam makrofag alveoli. Tidak jelas apakah makrofag alveoli mengakumulasi Cd yang ada dalam asap rokok, meskipun adanya akumulasi besi yang berasal dari asap rokok. Jumlah Cd dalam alveoli makrofag manusia belum dilaporkan sebelumnya (6).

Metallothionein adalah protein kaya cysteine yang berikatan dengan Cd seperti logam lain termasuk tembaga, seng dan membatasi toksisitas Cd. Makrofag alveoli dalam hewan coba mensintesa metallothionein sebagai respon inhalasi paparan debu Cd, tetapi, tidak diketahui apakah Cd ada dalam asap rokok yang menginduksi


(12)

akumulasi metallothionein. Data epidemiologi memperlihatkan bahwa Cd yang ada dalam asap rokok mendukung resiko kanker paru pada perokok, meskipun peran spesiksifik Cd dalam karsinogenesis belum jelas. Jumlah akumulasi Cd yang signifikan dalam sel pernafasan juga dapat menjadi faktor pendukung terhadap penyakit lain akibat rokok seperti emfisema. Kapasitas paru-paru untuk mendetoksifikasi Cd dengan mensintesa Metallothionein penting dalam membatasi potensial toksisitas paru-paru dari akumulasi Cd yang diinduksi rokok. Bagaimanapun, penelitian memperlihatkan bahwa sel yang beradaptasi Cd memperlihatkan perbedaan fungsional yang dapat meningkatkan resiko transformasi keganasan (6).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Cd yang berasal dari asap rokok terakumulasi di dalam makrofag alveoli. Cd juga ada dalam makrofag alveoli yang tidak perokok, meskipun konsentrasi lebih rendah, yang mungkin akibat paparan polusi udara atau perokok non pasif. Jumlah metallothionein di dalam makrofag alveoli tidak meningkat pada perokok, menandakan adanya saturasi metallothionein yang lebih besar. Akumulasi di dalam sel pernafasan, dengan atau tanpa respon adaptif, merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan penyakit paru-paru yang diinduksi rokok (6).


(13)

BAB 3 KESIMPULAN

1. Cadmium (Cd) yang umumnya digunakan pada baterai, pewarna, penstabil

plastik, penyepuhan logam, penyepuhan logam dan hasil sampingan dari produksi seng dan timah juga terdapat dalam kandungan asap rokok.

2. Manusia terpapar Cd akibat mengkonsumsi makanan ataupun air yang terkontaminasi Cd atau secara inhalasi terutama melalui asap rokok.

3. Cd mempunyai waktu paruh 10-20 tahun yang akan terakumulasi di hati dan ginjal karena jaringan ini mampu mensintesa metallothionein suatu protein yang mampu melindungi sel dari efek toksik Cd.

4. Cd merupakan bahan yang bersifat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada berbagai tempat di tubuh termasuk paru-paru.

5. Paparan hewan coba terhadap partikel Cd menimbulkan terjadinya akumulasi dalam makrofag alveoli.


(14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bernard A. Cadmium and its adverse effect on human health. Indian J Med Res 2008 October;128:557-64.

2. Nogué S, Sanz-Gallén P, Torras A, Boluda F. Chronic overexposure to cadmium fumes associated with IgA mesangial glomerulonephritis. Occupational Medicine. 2004 19 January;54:265-7.

3. Henson M, Chedrese P. Endocrine Disruption by Cadmium, a Common Environmental Toxicant with Paradoxical Effects on Reproduction. Exp Biol Med. 2004;229:383–92.

4. Minna J. Neoplasms of the lung. In: Kasper D, Fauci A, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed: The McGraw-Hill Companies; 2005. p. 506-16.

5. Wilson L. In: Price S, Wilson L, editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4 ed. Jakarta: EGC; 1995. p. 745-51.

6. Grasseschi R, Ramaswamy R, Levine D, Klaassen C, Wesselius L. Cadmium Accumulation and Detoxification by Alveolar Macrophages of Cigarette Smokers. Chest. 2003;124:1924-8.


(1)

menghasilkan pertumbuhan tumor multiple di permukaan alveoli dengan gangguan pertukaran gas, insufisiensi gas, sesak nafas, hipoksemia dan produksi sputum (4).

Alat utama untuk mendiagnosis kanker paru-paru adalah radiologi, bronkoskopi dan sitologi. Nodula soliter terbatas yang disebut coin lesion pada radiogram dada sangat penting dan mungkin merupakan petunjuk dini untuk mendeteksi karsinoma bronkogenik, meskipun dapat juga ditemukan pada banyak keadaan lainnya. CT scan

mungkin dapat memberikan bantuan lebih lanjut dalam membedakan lesi-lesi yang dicurigai. Bronkoskopi yang disertai biopsy adalah teknik yang paling baik dalam mendiagnosis karsinoma sel skuamosa, yang biasanya terletak sentral. Biopsi kelenjar skalenus adalah cara terbaik untuk mendiagnosis kanker-kanker yang tidak terjangkau bronkoskopi. Pemeriksaan sitologi sputum, bilasan bronkus, dan pemeriksaan cairan pleura juga memainkan peranan penting dalam diagnosis kanker paru-paru (5).

Baik histologi maupun stadium penyakit sangat penting untuk menentukan diagnosis dan rencana pengobatan. Membedakan antara Squamous Cell Lung Cancer (SCLC) dan Non Squamous Cell Lung Cancer (NSCLC) sangat penting. Penentuan stadium kanker paru-paru terbagi dua : (1) pembagian stadium menurut anatomi untuk menentukan luasnya penyebaran tumor dan kemungkinannya untuk sioperasi dan (2) stadium fisiologi untuk menentukan kemampuan pasien untuk bertahan terhadap berbagai pengobatan anti tumor (5).

Pembagian stadium tumor berdasarkan TNM sistem untuk kanker paru-paru dilakukan oleh American Joint Committee on Cancer merupakan metode yang diterima secara luas untuk menentukan perluasan kanker jenis NSCLC. Berbagai T (ukuran tumor), N (metastasis ke kelenjar limfe regional), dan M (ada atau tidaknya metastasis ke distal) digabung untuk menentukan kelompok stadium yang berbeda. Ukuran tumor


(2)

dan histologi ditentukan secara radiologi dan pemeriksaan bahan jaringan. Sebagai tambahan, mediastinokopi sering kali berguna untuk menentukan diagnosis dan untuk memisahkan tumor-tumor yang dapat atau tidak dapat dioperasi. Uji-uji untuk mendeteksi metastasis ke distal termasuk sidik tulang, sidik otak, pemeriksaan fungsi hati, dan sidik hati, limpa dan tulang dengan gallium (5).

Saat sistem TNM dikembangkan untuk karsinoma bronkogenik, pengobatan terhadap SCLC memberikan hasil yang buruk, sehingga tampaknya tidak berguna untuk menerapkan sistem TNM pada jenis kanker paru-paru yang satu ini. Jadi untuk SCLC digunakan suatu sistem pembagian dua stadium yang sederhana. Stadium penyakit yang masih terbatas didefinisikan sebagai SCLC yang masih terbatas pada satu hemitoraks dan kelenjar limfe regional, dan stadium penyakit yang sudah meluas yaitu dimana penyakit sudah meluas lebih dari batasan di atas. Pada sebagian kasus, stadium penyakit yang masih terbatas berhubungan dengan apakah tumor tersebut dapat diberi terapi radiasi (5).

Setelah selesai dilakukan diagnosis histologik dan prosedur penentuan stadium anatomis dan fisiologis, maka dibuat rencana pengobatan keseluruhan. Rejimen pengobatan yang paling sering adalah kombinasi dari pembedahan, radiasi dan terapi (5).

Prognosis secara keseluruhan bagi pasien dengan karsinoma bronkogenik adalah buruk dan hanya sedikit meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini, meskipun telah diperkenalkan berbagai agen-agen kemoterapi yang baru. Dengan demikian, penekanan harus diberikan pada pencegahan. Tenaga-tenaga kesehatan harus menganjurkan masyarakat untuk tidak merokok atau hidup dalam lingkungan yang tercemar polusi industri. Tindakan-tindakan protektif harus dilakukan bagi mereka yang bekerja dengan asbes, uranium, kromium, dan materi karsinogenik lainnya (5).


(3)

2. 3. Hubungan Cadmium dan Kanker Paru

Mekanisme karsinogenesis Cd masih belum diketahui secara luas. Karena logam ini tidak terlau bersifat genotoksik dan tidak menyebabkan kerusakan genetika langsung, mekanisme epigenetika dan atau mekanisme genotoksik tidak langsung seperti penghambatan apoptosis, perubahan sinyal sel atau inhibisi perbaikan DNA mungkin terlibat (1).

Inhalasi Cd dapat menyebabkan gangguan sistem pernafasan yang multipel, termasuk pneumonitis akut dan emfisema, dan paparan terhadap Cd dihubungkan dengan peningkatan resiko kanker paru. Cd terdapat pada polusi udara dan di asap rokok. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa konsentrasi Cd di jaringan paru perokok meningkat. Hasil otopsi memperlihatkan bahwa jumlah Cd dalam paru-paru manusia lebih banyak dipengaruhi paparan terhadap polusi udara dibandingkan dengan riwayat merokok. Konsentrasi Cd dalam tembakau ditentukan oleh konsentrasi Cd dalam tanah tempat tumbuh tembakau. Jumlah Cd dalam rokok di Eropa dan Meksiko sekitar 1,8-2,8µg per rokok. Sekitar 10-20% Cd dalam rokok tersebut diinhalasi (6).

Paparan hewan coba terhadap partikel Cd menimbulkan terjadinya akumulasi dalam makrofag alveoli. Tidak jelas apakah makrofag alveoli mengakumulasi Cd yang ada dalam asap rokok, meskipun adanya akumulasi besi yang berasal dari asap rokok. Jumlah Cd dalam alveoli makrofag manusia belum dilaporkan sebelumnya (6).

Metallothionein adalah protein kaya cysteine yang berikatan dengan Cd seperti logam lain termasuk tembaga, seng dan membatasi toksisitas Cd. Makrofag alveoli dalam hewan coba mensintesa metallothionein sebagai respon inhalasi paparan debu Cd, tetapi, tidak diketahui apakah Cd ada dalam asap rokok yang menginduksi


(4)

akumulasi metallothionein. Data epidemiologi memperlihatkan bahwa Cd yang ada dalam asap rokok mendukung resiko kanker paru pada perokok, meskipun peran spesiksifik Cd dalam karsinogenesis belum jelas. Jumlah akumulasi Cd yang signifikan dalam sel pernafasan juga dapat menjadi faktor pendukung terhadap penyakit lain akibat rokok seperti emfisema. Kapasitas paru-paru untuk mendetoksifikasi Cd dengan mensintesa Metallothionein penting dalam membatasi potensial toksisitas paru-paru dari akumulasi Cd yang diinduksi rokok. Bagaimanapun, penelitian memperlihatkan bahwa sel yang beradaptasi Cd memperlihatkan perbedaan fungsional yang dapat meningkatkan resiko transformasi keganasan (6).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Cd yang berasal dari asap rokok terakumulasi di dalam makrofag alveoli. Cd juga ada dalam makrofag alveoli yang tidak perokok, meskipun konsentrasi lebih rendah, yang mungkin akibat paparan polusi udara atau perokok non pasif. Jumlah metallothionein di dalam makrofag alveoli tidak meningkat pada perokok, menandakan adanya saturasi metallothionein yang lebih besar. Akumulasi di dalam sel pernafasan, dengan atau tanpa respon adaptif, merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan penyakit paru-paru yang diinduksi rokok (6).


(5)

BAB 3 KESIMPULAN

1. Cadmium (Cd) yang umumnya digunakan pada baterai, pewarna, penstabil

plastik, penyepuhan logam, penyepuhan logam dan hasil sampingan dari produksi seng dan timah juga terdapat dalam kandungan asap rokok.

2. Manusia terpapar Cd akibat mengkonsumsi makanan ataupun air yang terkontaminasi Cd atau secara inhalasi terutama melalui asap rokok.

3. Cd mempunyai waktu paruh 10-20 tahun yang akan terakumulasi di hati dan ginjal karena jaringan ini mampu mensintesa metallothionein suatu protein yang mampu melindungi sel dari efek toksik Cd.

4. Cd merupakan bahan yang bersifat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada berbagai tempat di tubuh termasuk paru-paru.

5. Paparan hewan coba terhadap partikel Cd menimbulkan terjadinya akumulasi dalam makrofag alveoli.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bernard A. Cadmium and its adverse effect on human health. Indian J Med Res 2008 October;128:557-64.

2. Nogué S, Sanz-Gallén P, Torras A, Boluda F. Chronic overexposure to cadmium fumes associated with IgA mesangial glomerulonephritis. Occupational Medicine. 2004 19 January;54:265-7.

3. Henson M, Chedrese P. Endocrine Disruption by Cadmium, a Common Environmental Toxicant with Paradoxical Effects on Reproduction. Exp Biol Med. 2004;229:383–92.

4. Minna J. Neoplasms of the lung. In: Kasper D, Fauci A, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed: The McGraw-Hill Companies; 2005. p. 506-16.

5. Wilson L. In: Price S, Wilson L, editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4 ed. Jakarta: EGC; 1995. p. 745-51.

6. Grasseschi R, Ramaswamy R, Levine D, Klaassen C, Wesselius L. Cadmium Accumulation and Detoxification by Alveolar Macrophages of Cigarette Smokers. Chest. 2003;124:1924-8.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI RS PARU JEMBER

0 20 16

HUBUNGAN ANTARA KONDISI RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KISMANTORO Hubungan Antara Kondisi Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri.

0 3 15

HUBUNGAN ANTARA KONDISI RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KISMANTORO Hubungan Antara Kondisi Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wonogiri.

0 3 20

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN OBESITAS DENGAN KEJADIAN KANKER LEHER RAHIM Hubungan Antara Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Dan Obesitas Dengan Kejadian Kanker Leher Rahim Di RSUD Kabupaten Sukoharjo.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENCEGAHAN DENGAN KEJADIAN KANKER PAYUDARA Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Pencegahan Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Rsud Dr. Moewardi.

0 1 15

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENCEGAHAN DENGAN KEJADIAN KANKER PAYUDARA Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Pencegahan Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Rsud Dr. Moewardi.

0 1 16

Referat Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen dengan Kejadian Barotrauma Paru

1 7 27

REFERAT HUBUNGAN ANTARA TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN KEJADIAN BAROTRAUMA PARU

3 17 8

HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN KANKER SERVIKS DI YAYASAN KANKER WISNUWARDHANA SURABAYA

0 1 7

HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN KANKER SERVIKS DI YAYASAN KANKER WISNUWARDHANA SURABAYA

0 3 7