Carrying capacity Assessment of Environment for the Use of Fisheries Ranching based and KJA Fish Cultivation in Malahayu Reservoir.

(1)

KADRI LAETJE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Daya Dukung Lingkungan Perairan Bagi Pemanfaatan Perikanan Berbasis Ranching Dan Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2012

Kadri Laetje NIM C251090021


(3)

KADRI LAETJE. Carrying capacity Assessment of Environment for the Use of Fisheries Ranching based and KJA Fish Cultivation in Malahayu Reservoir. Guided by KADARWAN SOEWARDI and NIKEN T.M. PRATIWI. The study was conducted to determine the Carrying capacity of Malahayu water reservoirs in sub-district of Banjarharjo, district of Brebes, Central Java Province. By knowing the capacity of the water, the water can be used for fisheries development activities for the purpose of welfare of fishing community. The capacity of water, was done by the observation of water quality which consists of parameters of physics, chemistry and biology aquatic performed both in Situ/Lake and laboratory analysis. Data of Physical conditions of Malahayu water reservoir was obtained through interviews with the authorities of Malahayu Mater reservoir. While to know the welfare of fishing communities (Nila Jaya) was obtained by spreading quisioner. The study took place in the dry season in August to November, 2011. The method used to determine the Carrying capacity of the fisheries and fish farming of Ranching, fish cultivation of KJA used Beveridge methods,1996. The observation results which were obtained were: temperature 27-28oC, the brightness of 83 - 146 cm, flow rate 1.5 / 5 dt-1, 5/7 dt. The Analaisis of nutrient indicated status of oligotrofik waters to mesotrofik of <0.1 mg/l. Biological parameters: chlorophyll-a with the observations is 14 - 21.4 mg / l, primary productivity from 6 - 13.6 mg / l, phytoplankton found were cholorophyceae class, bacillarophyceae, euglenophyceae, cyanophyceae and dinophyceae, the highest number of genara was in cholorophyceae and the lowest was in the dinophyceae class. Carrying capacity of the fisheries development of Ranching is 207.522 tons/year, the number of seeds dispersed was 2.07522 fry / year. Support capability of KJA fish farming is 2.128 tons / year, the KJA unit number is 2.128 units, with the Malahayu water reservoir area which was required 417.088 m2. The results of water quality analysis and water capacity of Malahayu reservoir showed that, Malahayu reservoir can be developed together for the development of fisheries and Ranching fish farming. This design, can increase the welfare of fishing communities (Nila Jaya) in Malahayu Reservoir.


(4)

Berbasis Ranching dan Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu. Dibimbing oleh KADARWAN SOEWARDI dan NIKEN T.M. PRATIWI.

Waduk Malahayu, merupakan salah satu waduk tertua di Indonesia yang dibangun di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes Jawa Tengah oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1933 dan beroperasi pada tahun 1935. Pembangunan awal dengan luas 925 ha dan kedalaman 12,75 m, serta secara geografis berada pada koordinat 108o49’12’’BT dan 07o01’48’’ LS. Pengembangan perikanan berbasis ranching dilakukan, karena terjadi penurunan hasil tangkapan alamiah di Waduk Malahayu yang sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat nelayan. Penurunan ini disebabkan oleh ketersediaan pakan alami, serta degradasi lingkungan oleh aktivitas pertanian dan penebangan hutan di hulu sungai Cisanggarung dan Cikabuyutan sehingga terjadi erosi yang mempengaruhi kualitas perairan.

Pembangunan waduk saat ini dimanfaatkan untuk irigasi, pengendali banjir, kebutuhan domestik, usaha perikanan tangkap berbasis ranching. Untuk pengembangan usaha perikanan ranching dan budidaya ikan KJA harus diketahui daya dukung perairan, sehingga pemanfaatan perikanan dapat berkelanjutan. Kajian daya dukung perairan untuk mengetahui kapasitas perairan dengan menganalisis kualitas perairan yang terdiri dari parameter fisika, kimia dan biologi perairan. Pengamatan ketiga parameter tersebut di perairan Waduk Malahayu dilakukan pada musim kemarau bulan Agustus-November 2011, dengan menggunakan metode sampling dan analisis laboratorium untuk pengumpulan data primer dan sekunder, untuk analisis daya dukung perairan digunakan metode Beveridge, 1996.

Hasil pengamatan parameter fisika menunjang kehidupan organisme akuatik (fitoplankton), dengan nilai suhu optimum yang diperoleh 27-28oC, kecerahan 83-146 cm, kecepatan arus 1,5/5 dt-1,5/7 dt. Parameter kimia (unsur hara) menunjukan status perairan oligotrofik menuju mesotrofik karena konsentarsi yang diperoleh <0,1 mg/l. Parameter biologi teridentifikasi klorofil-a dengan hasil pengamatan adalah 14-21,4 mg/l, produktivitas primer 6-13,6 mg/l, juga teridentifikasi fitoplankton dari kelas cholorophyceae, bacillarophyceae, euglenophyceae, cyanophyceae dan dinophyceae, jumlah genara yang tertinggi terdapat pada kelas cholorophyceae dan terendah terdapat pada kelas dinophyceae. Kajian daya dukung untuk pengembangan perikanan ranching dengan potensi produksi adalah 207.522 ton/tahun dengan jumlah benih yang ditebar 2.07522 ekor benih/tahun. Sedangkan untuk daya dukung budidaya ikan KJA, hasilnya diperoleh dalam bobot produksi adalah 2.128 ton/tahun, jumlah unit KJA sebanyak 2.128 unit, dengan luas area perairan Waduk Malahayu yang dibutuhkan 417.088 m2.


(5)

KADRI LAETJE

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(6)

Judul Tesis : Kajian Daya Dukung Lingkungan Perairan Bagi Pengembangan Perikanan Berbasis Ranching dan Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu.

Nama : Kadri Laetje NIM : C251090021

Mayor : Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(7)

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerah-Nya sehingga penulisan tesis ini, yang berjudul Kajian Daya Dukung Lingkungan Perairan Bagi Pemanfaatan Perikanan Berbasis Ranching dan Budidaya Ikan KJA di Waduk Malahayu, bisa diselesaikan. Tesis ini disususn sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga dan pengghargaan yang sedal-dalamnya kepada semua pihak yang dengan ikhlas membantu penyelesaian studi ini, yaitu:

1. Prof.Dr.Ir. Kadarwan Soewardi selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingannya yang tak kenal waktu, ide, gagasan dan konsep kepada penulis dalam menyempurnakan penulisan ini.

2. Dr.Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. (anggota komisi pembimbing) atas waktu, ide, gagasan koreksi sehingga penulis terus berusaha menyelesaikan penulisan ini.

3. Ayahanda Nongko Laetje dan Ibunda Hamida Maligano, istri Endang setyowati, anakku tersayang M. Isra dan Ramlah, adik-adikku Ratni, sarni dan nani yang telah menjadi inspirasi buat penulis dalam menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor.

4. Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara yang telah memberikan ijin studi di Institut Pertanian Bogor.

5. Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang telah memberikan ijin dan rekomendasi kepada penulis untuk melaksanakan studi di Institut Pertanian Bogor.

6. Bapak Hartono. Direktur Rimba Kurnia Alam, GPS yang telah membantu penulis dalam penelitian maupun studi di Institut Pertanian Bogor.

7. Pihak otoritas waduk dan nelayan di Desa Malahayu Kecamatan Banjarrejo Kabupaten Brebes Jawa Tengah yang telah memberikan ijin


(8)

8. Saudaraku, sahabatku Siti Aminah tersayang. Rekan-rekan SDP angkatan 2009, yang atas kerjasamanya dan diskusi selama penulis studi di Institut Pertanian Bogor.

Selanjutnya Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama studi di Institut Pertanian Bogor, Semoga Tuhan Yang Kuasa membalas jasa baik mereka.

Akhir kata, Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua orang yang berkepentingan dalam bidang yang Penulis tekuni. Atas saran dan masukan yang bersifat konstruktif sangat Penulis harapkan.

Bogor, Mei 2012


(9)

Penulis dilahirkan di Laiwui Obi Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara, pada tanggal 28 Maret 1974. Merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari ayah Nongko Laetje dan Ibu Hamida Maligano.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah pertama di Laiwui Kecamatan Obi Kabupaten Halmahera Selatan. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMA Negeri I Ternate pada tahun 1992, dan melanjutkan studi kesarjanaan pada program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, diterima melalui tes UMPTN. Pada Tahun 1997 Penulis menyelesaikan pendidikan S1, dan pada Tahun 1998-2000 Penulis diterima bekerja sebagai karyawan perusahan pengalengan PT. Biak Mina Jaya Djayanti Grup di Kabupaten Biak Numfor. Tahun 2001 Penulis diangkat menjadi Pegawai negeri Sipil Daerah pada Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara samapai sekarang. Tahun 2004 Penulis diminta untuk membantu menjadi tenaga dosen honor pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Penulis melanjutkan studi pada program Magister pada Tahun 2009 di Institut Pertanian Bogor.


(10)

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN……….i

PRAKATA………...……...…………ii

DAFTAR ISI………...………..iii

DAFTAR LAMPIRAN……….iv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumasan Masalah ... 2

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1.Deskripsi Waduk Malahayu ... 6

2.2.Morfometri Waduk Malahayu ... 6

2.3. Hidroklimatologi dan DAS Waduk Malahayu ... 7

2.4. Daya dukung ekosistem Perairan Waduk ... 8

2.5. Kapasitas asimilasi daya dukung perairan ... 9

2.6. Estimasi daya dukung peraiaran ... 10

2.7. Karakteristik badan air dan kualitas lingkungan ... 10

2.8. Status trofik periaran ... 11

2.9. Faktor Fisika Perairan ... 14

2.9.1.. Suhu ... 14

2.9.2. Kecerahan ... 14

2.10.Faktor Kimia Perairan ... 16

2.10.1. PH ... 16

2.10.2. Oksigen terlarut (Desolved Oxygen) ... 16

2.10.3. Fosfat-total ... 18

2.10.4. Nitrogen-total... ... 20

2.11.Faktor Biologi Perairan... ... 23

2.11.1. Produktivitas primer... ... 23

2.11.2. Klorofil-a... ... 23

2.11.3. Plankton (fitoplankton)... ... 24

2.12. Kesejahteraan nelayan... ... 25

3. METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Waktu dan Tempat…... ... 28

3.2. Bahan dan Alat... ... 28

3.3. Metode Penelitian... ... 28

3.3.1. Penentuan stasiun... ... 28

3.3.2. Pengumpulan data.. ... 30


(11)

3.4. Analisa data… ... 32

3.4.1. Analisis produktivitas primer ... 32

4.4.2. Analisis kuantitaif fitoplankton ... 33

3.4.3. Analisis kelimpahan sel ... 33

3.4.4. Analisis indeks diversitas ... 33

3.4.5. Analisis indeks keseragaman... 34

3.4.6. Analisis klorofil-a ... 35

3.4.7. Analisis fosfat-total(Pf) ... 36

3.5.8. Analisis daya dukung perikanan ranching ... 36

3.5.9. Analisis daya dukung budidaya ikan KJA ... 37

3.5.10. Analisis kesejahteraan nelayan Waduk Malahayu ... 39

3.5.10. Analisis pendapatan nelayan Waduk Malahayu ... 39

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1. Kondisi fisik Waduk Malahayu…... ... 41

4.2. Kualitas perairan Waduk Malahayu... ... 42

4.2.1. Parameter fisika-kimia perairan ... 42

4.2.2. Unsur hara perairan ... 44

4.2.3. Parameter biologi perairan ... 47

4.2.3.1. Klorofil-a ... 47

4.2.3.2. Komunitas fitoplankton ... 48

4.2.3.3. Kelimpahan sel fitoplankton ... 51

4.2.3.4. Produktivitas primer ... 53

4.2.3.5. Nilai fosfat-total(Pf) ... 54

4.2.3.6. Kajian daya dukung perikanan ranching ... 54

4.2.3.6.1. Kajian daya dukung perikanan ranching optimum ... 55

4.2.3.6.2. Kajian daya dukung perikanan ranching maksimum ... 55

4.2.3.7. Kajian daya dukung budidaya ikan KJA ... 56

4.2.4. Kesejahteraan nelayan ... 60

4.2.4.1. Analisis peluang pendapatan ... 61

4.2.5. Skenario pendapatan nelayan ... 62

4.2.5.1. Analisis regresi logistik (skenario pendapatan) ... 63

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1. Kesimpulan…... ... 65

5.2. Saran... ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(12)

Halaman 1. Kriteria klasifikasi status trofik untuk perairan danau dan waduk

(RYDING & RAST, 1989; WETZEL, 2001). ... 12

2. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan berdasarkan unsur hara dan biomassa fitoplankton (chlorophyl-a) ... 14

3. Lokasi pengambilan sampel selama penelitian ... 28

4. Parameter, metode dan peralatan penelitian ... 30

5. Konfersi efisiensi PP ... 37

6. Kisaran parameter fisika-kimia ... 44

7. Kisaran unsur hara ... 47


(13)

1. Diagram pendekatan permasalahan optimalisasi daya dukung

perairan bagi pengelolaan waduk yang berkelanjutan. ... 4

2. Stasiun Peta Waduk Malahayu ... 29

3. Histogram kandungan Konsentrasi klorofil-a di Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3 dan setiap kedalaman perairan. ... 48

4. Rataan genera fitoplankton stasiun 1. ... 49

5. Rataan genera fitoplankton stasiun 2. ... 50

6. Rataan genera fitoplankton stasiun 3. ... 51

7. Histogram rataan kelimpahan fitoplankton . ... 52

8. Histogram kandungan Produktivitas primer (NPP) di Stasiun 1, Stasiun2, Stasiun 3 dan setiap kedalaman perairan. ... 53

9. Piechart pendapatan nelayan... 62


(14)

1. Data pengamatan suhu perairan setiap stasiun Waduk Malahayu. ... 72

2. Datas pengamatan kecerahan setiap stsiun Waduk Malahayu ... 73

3. Data pengamtan pH perairan setiap stasiun Waduk Malahayu. ... 74

4. Datas pengamtan DO perairan setiap stsiun Waduk Malahayu ... 75

5. Data pengamtan total-nitrogen perairan . ... 76

6. Datas pengamtan total- fosfat perairan ... 77

7. Data pengamatan nitrat-nitrogen perairan. ... 78

8. Data pengamatan ortofosfat perairan ... 79

9. Data pengamatan Amonium perairan. ... 80

10. Datas pengamtan klorofil-a ... 81

11. Data pengamatan produktivitas primer . ... 82

12. Datas kelimpahan fitoplankton stasiun 1 ... 83

13. Datas pengamtan fitoplankton staiun 2 ... 84

14. Data pengamatan fitoplankton stasiun 3 . ... 85

15. Datas perhitungan daya dukung perikanan ranching optimum ... 86

16. Data perhitungan daya dukung perikanan ranching maksimum. ... 87

17. Data perhitungan daya dukung Budidaya ikan KJA... 88

19. Data analisis kesejahteraan terhadap variabel kerja . ... 89


(15)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Waduk merupakan danau buatan yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai. Pembangunan waduk pada umumnya ditujukan sebagai tempat penampungan air yang dipergunakan untuk berbagai macam keperluan, untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), irigasi, pengendali banjir, sumber baku air minum, usaha perikanan dan pariwisata.

Waduk Malahayu, merupakan salah satu waduk tertua yang dibangun pada tahun 1933 di desa Malahayu, Kecamatan Banjarrejo Kabupaten Brebes Jawa Tengah, oleh Pemerintah Belanda. Secara geografis Waduk Malahayu berada pada koordinat 108o 49’12’’Bujur Timur dan 07o01’48’’ Lintang Selatan. Kondisi fisik waduk saat ini telah mengalami perubahan karena lajunya sedimentasi, sehingga mengakibatkan terjadinya penyempitan genangan perairan yang semula 925ha saat ini tersisa 720 ha dengan volume air (37.074 m3) Wahyudi, et al. (2002). Pada tahun 1984 hingga saat ini, dibentuk kelompok Nelayan Nila Jaya untuk memanfaatkan perairan waduk sebagai kegiatan usaha perikanan berbasis (ranching), dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Kegiatan perikanan berbasis ranching adalah kegiatan usaha perikanan, dengan cara menebarkan benih ikan (stoking), dan dibiarkan selama empat bulan, baru dilakukan kegiatan penangkapan. Benih yang ditebarkan setiap tahun 600.000-800.000 benih/tahun.

Berdasarkan data produksi perikanan ranching saat ini, telah mengalami penurunan. Data hasil produksi saat ini adalah 70 ton/tahun, dengan hasil tangkapan yang dijual 3 kg/hari/nelayan. Penurunan hasil tangkapan ini diduga karena berkurangnya pakan alami (fitoplankton) serta menurun produktivitas perairan, rendahnya benih yang ditebarkan setiap tahun serta perubahan kualitas perairan dan kondisi fisik waduk.

Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes melalui SK Bupati No.523/177 tahun 2007 memberikan izin pemanfaatan perairan Waduk Malahayu sebesar 10% untuk pengembangan usaha perikanan budidaya (KJA). Izin


(16)

pemanfaatan tersebut, tidak didasarkan atas kajian teknis daya dukung perairan (carrying capacity). Penebaran benih untuk kegiatan usaha perikanan ranching maupun budidaya ikan KJA tanpa didasarkan atas kajian daya dukung, maka kemungkinan yang terjadi adalah over capacity atau under capacity yang akan mengakibatkan terjadinya kerugian, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat nelayan.

Daya dukung perairan berperan dalam mempertahankan potensi maksimum dari spesies atau populasi dalam kaitannya dengan sumber-sumber pakan alami dan kualitas perairan (FAO, 1992). Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan kajian daya dukung perairan Waduk Malahayu untuk pengembangan kegiatan perikanan ranching maupun pemanfaatan budidaya ikan (KJA). Pemanfaatan sebagian perairan waduk untuk kegiatan perikanan budidaya (KJA), agar perikanan ranching di perairan umum mendapat tambahan pakan dari limpasan pakan komersial (KJA) yang memiliki kandungan protein tinggi, sehingga pertumbuhan optimum ikan dapat dicapai dan pengelolaan usaha perikanan dapat berkelanjutan. Pertumbuhan ikan yang optimum dapat meningkatkan hasil produksi sehingga masyarakat nelayan (Nila Jaya) di Waduk Malahayu akan sejahtera.

1.2. Perumusan Masalah

Pengembangan usaha perikanan yang optimal dan berkelanjutan dapat tercapai jika memperhatikan beberapa aspek, yaitu; (1) mempertahankan ketersediaan stok perikanan di perairan, (2) mempertahankan kelestarian dan kualitas lingkungan (3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tersebut, (4) meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan menetapkan zona pengembangannya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes dan masyarakat nelayan Nila Jaya, telah mengarahkan pengembangan Waduk Malahayu dalam bentuk usaha perikanan tangkap pola ranching. Pada tahun 2007 melalui SK Bupati No.523/177 memberikan ijin 10 % pemanfaatan Waduk Malahayu untuk budidaya ikan (KJA). Dengan lahirnya SK tersebut tentu memberi konsekuensi pada pengelolaan yang terpadu dan terencana dalam pemanfaatan perairan waduk untuk perikanan


(17)

ranching dan KJA. Keterpaduan ini dapat terlihat dengan adanya dukungan Pemerintah Daerah dalam memberikan sumbangan pengadaan beberapa sarana dan prasarana; balai pembenihan, balai pertemuan, peralatan penangkapan, agar masyarakat nelayan dapat meningkatkan kesejahteraan.

Kondisi saat ini setiap tahun, dari tahun 2001-2008 Waduk Malahayu mendapat bantuan benih ikan nila (Oreochrromis niloticus). Penebaran dengan jumlah rata-rata 800 000 benih untuk perikanan ranching yang disumbangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, Pemerintah Provinsi dan hasil swadaya kelompok nelayan (Nila Jaya). Hasil panen sampai saat ini, diduga belum dapat mensejahterakan masyakat nelayan, karena hasil tangkapan rata-rata berukuran kecil 125 gr/ekor dengan jumlah hasil tangkapan setiap nelayan untuk dijual rata-rata 3 kg/hari.

Kegiatan Penebaran benih (stocking) yang telah dikembangkan setiap tahun hingga saat ini, tidak mengacu pada standar dan kriteria teknis kapasitas daya dukung perairan waduk, untuk mentolelir hasil produksi (carrying capacity). Benih yang ditebarkan menggunakan pendekatan perkiraan, sehingga kemungkinan terjadi adalah over capacity atau under capacity. Penebaran benih terlampaui sedikit akan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan. demikian pula jumlah benih terlampau banyak dan tidak sesuai kapasitas perairan akan mengalami kerugian (kematian benih) karena ketersediaan pakan alami, dan produktivitas perairan.

Upaya agar ikan di perairan umum (ranching) dapat tumbuh optimum sesuai target adalah dikembangkan pula usaha perikanan budidaya ikan sistim (KJA), agar terjadi input pakan komersial yang terbuang cukup tinggi, keluar dari jaring apung sehingga ikan di perairan umum mendapat tambahan protein. Pengelolaan area perairan Waduk Malahayu untuk kedua kegiatan usaha pengembangan perikanan pola ranching dan pemanfaatan budidaya (KJA), dibutuhkan peran Pemerintah Daerah bersama masyarakat nelayan (Nila Jaya) dalam menata pemanfaatan area perairan, yang didasarkan atas kajian daya dukung perairan (carrying capacity), sehingga tercipta lingkungan pengelolaan perairan yang seimbang dan berkelanjutan.


(18)

Berdasarkan hal tersebut, maka penting diperlukan suatu penelitian tentang kajian daya dukung perairan, dalam pengembangan kegiatan usaha perikanan ranching dan pemanfaatan budidaya KJA di perairan Waduk Malahayu.

Input proses output Gambar 1. Diagram pendekatan permasalahan kajian daya dukung peraiaran bagi

pengelolaan Waduk Malahayu.

Pengeloaan perairan Bio ekologi

Potensi Waduk

Fisika, kimia

Kondisifisik, kedalaman,

volume air, luas area permukaan peraiaran, debit air ,outflow, inflow fulshingreat.

Unsur Hara

Ranching

Budidaya KJA

Pemanfaatan

Daya

dukung ? Pengeloaan perairan Bio ekologi

Potensi Waduk

Fisika, kimia

Kondisifisik, kedalaman,

volume air, luas area permukaan peraiaran, debit air ,outflow, inflow fulshingreat.

Unsur Hara

Ranching

Budidaya KJA

Pemanfaatan

Daya dukung ?


(19)

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kualitas perairan Waduk Malahayu.

2. Mengatahui daya dukung perairan Waduk Malahayu, dalam pengembangan perikanan ranching.

3. Mengetahui daya dukung perairan Waduk Malahayu untuk pemanfaatan budidaya perikanan sistem KJA.

4. Analisis kesejahteraan masyarakat nelayan (Nila Jaya) Waduk Malahayu.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan teknis bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, masyarakat nelayan (Nila Jaya), sekaligus sebagai pedoman pengelolaan perairan yang sesuai dengan daya dukung (carrying capacity), untuk kegiatan usaha perikanan ranching dan KJA di Waduk Malahayu.

1.5. Hipotesis

Apabila pengelolaan perairan sesuai daya dukung (carrying capacity), maka pemanfaatan kegiatan perikanan ranching dan KJA mantap dan berkelanjutan, sehingga kesejahteraan masyarakat nelayan di Waduk Malahayu akan meningkat.


(20)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Waduk Malahayu.

Waduk Malahayu berada di Desa Malahayu Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes Jawa Tengah, dan terletak di daerah aliran sungai Cikabuyutan. Waduk ini mulai dibangun pada bulan Desember tahun 1933 dan mulai beroperasi tahun 1935. Pemanfaatan air Waduk Malahayu yang semula adalah untuk irigasi, pengendali banjir, pertanian, peternakan, pariwisata dan saat ini telah berkembang menjadi kegiatan penebaran benih ikan untuk usaha perikanan (ranching).

Menurut Wahyudi et al. (2002), telah tarjadi terjadi penyusutan volume tampungan waduk akibat sedimentasi yaitu dari 41,88 juta m3 pada tahun 1995 menjadi 37,074 juta m3. Kondisi ini mengindikasikan Daerah Aliran Sungai (DAS) waduk mengalami erosi dan terbawa ke reservoir. Karakteristik daerah tangkapan tersebut 50% erosi dan cenderung menimbulkan sedimen di dalam tampungan waduk yang perlu untuk direhablitasi sehingga tidak terjadi pendangkalan yang mempengaruhi umur waduk, elevasi tertinggi daerah tangkapan air mencapai +957 mdpl. Menurut Ilyas et al. (1992) umur pelayanan waduk merupakan fungsi dari volume tangkapan aktif menandakan semakin pendek umur pelayanan operasional waduk.

2.2. Morfometri Waduk Malahayu

Pengetahuan mengenai morfometrik waduk sangat penting dalam kajian budidaya perikanan. Pengetahuan morfologi waduk dapat memberikan gambaran tentang perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan debit air, keanekaragaman ikan, dan tingkat kesuburan, tingkat kesuburan sangat penting karena merupakan faktor yang mempengaruhi budidaya perikanan.

Menurut Wahyudi et al. (2002) ciri morfometrik Waduk Malahayu termasuk perairan terbuka, tepian perairan dan daerah derodon sedang, sebagian besar terdiri dari daerah datar dan kemiringan landai sampai daerah kemiringan sedang, kemiringan hilir 1:2,25. Aliran yang masuk ke tampungan waduk mencapai 78 juta km2 dalam evaluasi tertinggi mencapai tampungan waduk + 987


(21)

mdpl. Terdapat tepian dinding waduk bagian selatan digunakan dinding batuan dengan lebar dinding batuan yang digunakan sekitar 100 meter yang menjurus sampai ke dasar waduk, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang dan daerah tangkap hujan luas. Bentuk gradien longitudal perairan Waduk Malahayu secara umum dibagi dalam zona mengalir (riverin), dan zona (lakustrin). Zona mengalir dari sumber utama berbeda di inlet waduk yang terjadi pengaliran air masuk dari sungai Cikabuyutan, zona mengalir mempunyai kekuatan arus yang cukup keras tergantung musim, ketersediaan hara tinggi serta terjadi penetrasi cahaya optimal, dangkal. Sedangkan zona tergenang terdapat pada daerah penebaran benih. Berdasarkan Ace et al. (1988) dalam Wahyudi et al. (2002) Secara fisik bangunan utama Waduk Malahayu dibuat dengan ketinggian 24 meter, berupa timbunan tanah dan inti lempeng kemiringan 1:2,25 dengan tiga dam selebar 1,7 meter pada elevasi 59,25 meter, panjang mercu 177 meter, pelimpah dibuat dari pasangan batu pada elevasi mercu 55,75 meter dan panjang 40,22 meter, bangunan intake berupa menara beton setinggi 30 meter dengan diameter 4,9 meter.

Luas genangan air 9,25 km2 dengan ketinggian muka air +55,75 meter diatas air laut, volume air 38.880.080 m3 dan kedalaman air rata-rata 12,75 meter (Wahyudi et al. 2002). Air waduk dialirkan ke Bendung Nambe kemudian digunakan untuk operasional irigasi dari daerah Kabuyutan.

2.3. Hidroklimatologi dan DAS Waduk Malahayu.

Curah hujan rata-rata pertahun dapat dibagi menjadi bagian hulu dan bagian hilir. Bagian hilir pada elevasi +56 m, curah hujan rata-rata 1.506-3.513 mm. Sedangkan pada bagian hulu pada elevasi +90 m, curah hujan rata-rata 1.753-4.268 mm, aliran yang masuk tampungan waduk rata-rata pertahun mencapai 78 juta km3 yang dapat diperinci 77,5% aliran masuk pada bulan Januari sampai April, 17,13% aliran masuk pada bulan Mei sampai Juni, Desember dan 5,2% aliran masuk pada bulan Juli (Wahyudi et al. 2004). Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Malahayu seluas 64 km2 pada posisi koordinat 707’25 LS, sekitar 40% dari luas DAS merupakan daerah berbukit-bukit dan berupa hutan pohon jati (Widyayanti, 2007).


(22)

2.4. Daya Dukung Ekosistem Perairan waduk.

Waduk biasanya dibentuk dengan membangun dan melintasi sungai sehingga air bendungan berada dibelakang dam (Ryding dan Rast, 1989). Biasanya waduk memiliki drainase, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum, luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal yang lebih pendek dibanding danau. (Straskraba dan Tundisi, 1999) yang menyatakan bahwa waduk dibuat dan diciptakan manusia untuk tujuan tertentu. Waduk telah memberikan keuntungan dan konstribusi yang sangat besar untuk manusia karena bisa dimanfaatakn untuk pembangkit tenaga listrik, irigasi, ekoturisme, pertanian irigasi dan air minum. Namun peruntukan yang paling banyak adalah sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Kondisi lingkungan waduk sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama adalah faktor dari alam, yaitu semakin lama umur waduk akan mengalami pendangkalan karena sedimentasi. Pendangkalan tentu akan berpengaruh terhadap volume air, kandungan oksigen, plankton-plankton, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap biota perairan yang hidup. Faktor yang kedua adalah faktor manusia juga mendapat peran yang sangat penting terhadap memburuknya kondisi lingkugan waduk.

Pengetahuan tentang konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya perikanan, nilai daya dukung dimasukkan sebagai faktor penting untuk dapat menjamin siklus produksi dalam waktu yang lama. Pengertian tentang daya dukung lingkungan perairan adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya, daya dukung lingkungan perairan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan suatu ekosistem (Poernomo, 1994). Daya dukung suatu lingkungan (ekologi) berperan terhadap mempertahankan maksimum potensi produksi suatu spesies atau populasi dalam kaitannya dengan sumber makanan alami di ekosistem tersebut


(23)

(FAO, 1992). Dalam budidaya air tawar, daya dukung dipahami dan ditegakkan untuk perlindungan sumberdaya perairan sehingga hasil produksi maksimal dapat dicapai (Buyukcapar et al. 2006).

Perkiraan daya dukung untuk budidaya perairan tawar adalah masalah yang kompleks. Kompleksitas tersebut banyak berasal dari interaksi antara faktor fisik, kimia dan biologi di lingkungan budidaya (Duarte et al. 2003). Daya dukung kualitas perairan yang meliputi fisika, kimia dan biologi dipengaruhi oleh aktifitas pertanian, pemukiman penduduk, pasar maupun industri yang berada disekitar aliran sungai. Odum (1993) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang cenderung makin meningkat terutama di daerah aliran sungai memberikan dampak terhadap perubahan kualitas perairan disekitarnya. Kualitas air dapat dideteksi dengan berbagai cara, seperti dengan analisa fisika, kimia dan analisis biologi (Hynes, 1978 dalam Rosenbreg, 1993). Perubahan lingkungan yang mempengaruhi daya dukung dapat menyebabkan kepunahan spesies ikan dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (Akpalu, 2009).

2.5. Kapasitas Asimilasi Daya Dukung Perairan.

Konsep daya dukung lingkungan beserta ukuran-ukuran kuantitatifnya dimasing-masing lokasi (danau/waduk) menjadi sangat penting untuk diketahui. Ukuran mengetahui daya dukung dengan mengetahui beban limbah yang berada di dalam maupun yang masuk ke badan perairan budidaya. Limbah yang masuk ke dalam sistem budidaya dapat berasal dari perairan sekitarnya di samping sumbangan terbesar masukan dalam budidaya yang menghasilkan sisa pakan dan kotoran yang terlarut ke dalam perairan sekitarnya Boyd dan Lichtkoppler, (1979). Limbah tersebut akan diencerkan oleh perairan penerimanya dan akan diasimilasi (didegradasi) menjadi unsur hara oleh mikroba yang ada di perairan penerima. Kapasitas dan daya tampung perairan penerima limbah berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas perairan (Widigdo et al. 2000).

Limbah yang masuk ke dalam lingkungan budidaya dalam jumlah berlebihan akan menurunkan kualitas perairan dan dapat menghambat pertumbuhan ikan budidaya, kosentrasi limbah pada batas tertentu dapat menimbulkan kematian organisme. Untuk menghindari kondisi lingkungan yang


(24)

tidak diinginkan tersebut, perlu diketahui kemampuan perairan di dalam menerima limbah tersebut sampai pada batas (nilai ambang) yang aman, artinya tidak mengganggu siklus produksi budidaya.

2.6. Estimasi Daya Dukung Perairan Tawar.

Estimasi daya dukung dalam budidaya perikanan tawar dengan media budidaya seperti di waduk atau danau jauh lebih mudah dan sederhana dibandingkan untuk perairan terbuka seperti di estuari atau teluk. Daya dukung lingkungan perairan sangat erat kaitannya dengan asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. ( UNEP, 1993). Kesederhanaan formula dan perhitungan-perhitungan daya dukung perairan waduk atau danau karena disebabkan hidrologi yang mempengaruhi dinamika limbah budidaya tidaklah tinggi bahkan kerap dianggap stagnan (Beveridge, 1987)

Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan (Piper et al. 1982 dalam Ali, 2004).

2.7. Karakteristik Badan Air dan Kualitas Lingkungan Perairan.

Parameter kualitas lingkungan perairan seperti suhu, pH, nitrogen, phosphor, oksigen terlarut, dan sejumlah variabel penting lainnya sebagai parameter kualitas perairan yang diteliti sebagai acuan pengembangan budidaya ikan, harus berada dalam kisaran yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan spesies yang dibudidayakan (Lawson, 1995). Empat variabel daya dukung yang mempengaruhi budidaya di Waduk yaitu temperatur, pH, DO, dan kedalaman secchi Beveridge, (1996).

Karakteristik ekologi waduk, inflow dan outflow, volume harus dipertimbangkan dalam menentukan pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya yang sesuai dengan kondisi suatu lingkungan (Buyukcapar et al. 2006). Badan air dicirikan oleh empat komponen utama, yaitu komponen hidrologi, komponen


(25)

fisika, kimia, dan komponen biologi. Effendi, ( 2003) mengatakan air berasal dari dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water). Air permukaan adalah air yang berasal dari sungai, danau, waduk, rawa dan badan air lain yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Kedalaman badan air memberikan dampak terhadap peningkatan beban nutrient waduk.

Kualitas perairan yang buruk sering terjadi pada waduk yang telah tua karena telah terjadi pembentukan sedimentasi di dasar perairan, dan genangan perairan yang relatif permanen seperti pada Waduk Malahyu dan juga waduk lain di Indonesia. Waduk Malahayu memiliki berbagai potensi pemanfaatan untuk masyarakat baik dibidang sosial ekonomi, tempat budidaya ikan, tempat pariwisata. Pemanfaatan ini harus berkelanjutan, untuk itu proses perubahan kearah penurunan kualitas badan air Waduk Malahayu harus dihindarkan dengan mendorong pemerintah untuk melakukan rehablitasi pengerukan sedimen dan pembilasan. Thornton et al. (1990) menyatakan pelepasan musiman nutrient dari tempat penyimpanan ke waduk (contoh sedimen) memberikan pengaruh terhadap status nutrient waduk terutama selama periode ketika input dari sumber eksternal minimal (Cooke et al. 1977 dalam Thornton et al. 1990).

Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia (Antropogenik) merupakan permasalahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perairan waduk (Gambar 2). Pada ekosistem tergenang seperti danau atau waduk, unsur yang berperan terhadap penurunan kualitas perairan adalah phosphor yang mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas perairan yang bersangkutan.

2.8. Stasus Trofik

Status trofik suatu perairan mencerminkan tingkat kesuburan perairan sehingga berguna untuk pengelolaan. Status trofik dapat ditentukan berdasarkan beberapa parameter seperti nutrien (nitrat) dan (fosfat), klorofil-a dan kecerahan. Konsentrasi N dan P merupakan salah satu indikator kualitas air dengan hubungannya dengan kesuburan perairan. Kedua unsur ini sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton. Sumber N dan P dapat berasal dari luar dan dari dalam badan air. Sumber yang berasal dari luar antara lain dari atmosfer ke permukaan air melalui hujan; jatuhan partikel kering (dry fallout); run off dari


(26)

lahan pertanian, peternakan, hutan dari limbah domestik maupun limbah industri. Sumber yang berasal dari badan air sendiri antara lain dari proses dekomposisi nutrien pada sedimen, tumbuhan air serta fiksasi N udara bebas oleh mikroorganisme menjadi N organik (Ryding dan Rast, 1989).

Kualitas air sering dipakai sebagai acuan terhadap pendekatan tingkat kesuburan suatu perairan, dan tingkat kesuburan perairan juga ditentukan oleh unsur hara di dalamnya. Menurut USEPA dalam Henderson-Seller dan Markland, (1987) menyebutkan bahwa secara garis besar suatu badan air telah mengalami proses eutrofikasi dengan ditandai adanya penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion, kenaikan konsentrasi nutrien N dan P, kenaikan Suspended solid terutama material organik, penurunan penetrasi cahaya (kecerahan menurun), terjadi blooming alga, konsentrasi fosfor dan sedimen serta keragaman jenis alga rendah tetapi padat serta tinggi produktivitasnya. Perairan yang mengalami eutrofikasi mengakibatkan terjadinya kematian masal ikan dari ukuran benih ikan hingga ikan dewasa yang berada dalam perairan tersebut. Kematian masal ikan merupakan akibat dari akumulasi bahan organik baik pada dasar perairan maupun pada kolom perairan. Tingkat kesuburan suatu perairan adalah suatu gambaran yang mencerminkan kaya miskinnya sistem trofik dari suatu ekosistem. (Odurn, 1971). Status trofik suatu perairan pada Tabel 1 (Wetzel, 2001).

Tabel 1. Kriteria klasifikasi status trofik perairan danau dan waduk (Ryding & Rast, 1989; Wetzel, 2001).

Parameter Status Trofik

Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hipereutrofik Fosfat-Total (mg/m3)

Rata-rata 8,0 26,7 84,4 -

Antara 3,0-17,7 10,9-95,6 16,2-386 750 -1200 Nitrogen-Total

(mg/m3)

Rata-rata 661 753 1875 -

Antara 307-1387 361-1630 393-6100 -

Klorofil-a (mg/m3)

Rata-rata 1,7 4,7 14,3 -

Antara 0,3-4,5 3 -11 3-78 100 -150

Kedalaman Sekki (m)

Rata-rata 9,9 4,2 2,45 -


(27)

Masuknya unsur hara kedalam badan air menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi perairan. Ciri-ciri perairan yang mengalami proses eutrofikasi adalah: kensentrasi oksigen terlarut di zona hipolimnion menurun, konsentrasi unsur hara meningkat, padatan tersuspensi terutama bahan organik meningkat, dominasi diatom digantikan oleh alga biru dan alga hijau dan penetrasi cahaya menurun (Henderson & Markland, 1987).

Perairan waduk berdasarkan tingkat kesuburannya diklasifikasikan menjadi 3 yaitu oligotrofik, eutrofik dan mesotrofik menurut Colle, 1988 dalam Effendi, (2003).

a. Perairan oligotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburannya rendah dengan beberapa ciri sebagai berikut:

 Sangat dalam, termoklin tinggi, hipolimnion, suhu epoliminion lebih dingin.

 Kandungan bahan organik yang tersuspensi dan didasar perairan kecil.  Kandungan kalsium, fosfat, dan nitrat miskin, bahan humus sangat sedikit

atau hampir tidak ada.

 Kandungan oksigen terlarut tinggi pada seluruh kedalaman dan umumnya terjadi sepanjang tahun;

 Tanaman air tingkat tinggi sangat sedikit.  Kualitas (populasi) plankton terbatas.

b. Perairan mesotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburanya sedang dengan beberapa ciri sebagai berikut:

 Umumnya dangkal, temperatur bervariasi.  Kandungan humus tinggi.

c. Perairan eutrofikasi merupakan perairan yang tingkat kesuburanya tinggi dengan beberapa ciri sebagai berikut:

 Umumnya dangkal

 Kandungan oksigen terlarut sedikit bahkan hampir tidak ada pada lapisan hipolimnion .

 Keanekaragaman algae rendah, densitas tinggi, produtivitas tinggi sering didominasi oleh Cyanophiceae, sering terjadi peledakan pertumbuhan algae.


(28)

 Unsur hara tinggi, produktivitas hewan akuatik tinggi.

Menurut (Sukadi, 2007), klasifikasi tingkat kesuburan perairan secara umum dan status trofik disajikan pada (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan berdasarkan unsur hara dan biomassa fitoplankton (klorofil-a)

Parameter Klasifikasi kesuburan

Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hypereutrofik Rata-rata Total N (Ug/L) 661 753 1875 Tinggi

Rata-rata Total P 8,0 26,7 84,4 >200

Rata-rata

Klorofil-a (ug/L)

1 4,7 14,3 100-200>

Puncak konsentrasi klorofil-a (ug/L)

4,2 16,1 42,6 >500

Sumber: UNEP-ELEC, Vol.3, 2001 dalam Sukadi, 2007

2.9. Faktor Fisika Perairan 2.9.1. Suhu

Suhu adalah parameter lingkungan perairan yang merupakan salah satu parameter yang mengatur baik proses fisika maupun proses kimia yang terjadi di dalam suatu perairan untuk mengetahui daya dukung. Suhu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia di dalam air.

Di air tawar suhu kolam air stabil akan menurun dengan bertambahnya kedalaman jika suhu air lebih besar 40C. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air. Menurut Effendi, (2003) Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Suhu dapat menyebabkan stratifikasi pada danau/waduk. Lapisannya di bedakan antara lain; epilimnion adalah lapisan bagian atas yang lebih hangat, hypolimnion adalah lapisan bagian bawah yang lebih dingin, dan metalimnion dengan thermoklin di antara kedua lapisan tersebut (Goldman, dan Horne, 1983). Thermoklin adalah lapisan air yang berada diantara lapisan permukaan yang lebih


(29)

hangat (epilimnion) dan lapisan dasar yang lebih dingin (hipolimnion) (Hehanusa & Haryani, 2001).

Menurut Effendi (2003) menyatakan, pada lapisan thermoklin terjadi penurunan suhu secara tajam. Dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk dalam suatu perairan akan menentukan derajat panas perairan, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk kedalam suatu perairan, semakin tinggi suhu airnya. Namun semakin bertambahnya kedalaman, akan menurunkan suhu perairan (Welch, 1980). Variasi suhu dan kedalaman di sistem air tawar yang stabil dimana suhu < 40C. Pada kasus ini kolom air lebih dingin daripda diatasnya sehingga suhu yang lebih rendah ditemukan di permukaan. Kolom air meskipun demikian, stabil karena densitas air tawar meningkat dengan bertambahnya suhu pada suhu di bawah 40C (Liaws, 1993). Ketiak terjadi stratifikasi suhu musim panas, danau memasuki periode stagnan, sampai di mana air dihioliminium menjadi stagnan selama musim panas.

2.9.2. Kecerahan

Kecerahan perairan menunjukan tingkat intensitas cahaya matahari yang mampu menembus kolom air hingga mendukung proses fotosintesis fitoplankton. Sinar matahari dibutuhkan oleh fitoplankton dan tumbuhan air untuk untuk fotosintesis yang menghasilkan oksigen (Effendi., 2003). Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan sechi disk (true color) dan warna tampak (apparent color) (Effendi, 2003).

Kecerahan perairan menurut (Parson & Takahashi, 1973) merupakan suatu kondisi yang menggambarkan suatu kemampuan penetrasi cahaya matahari untuk menembus permukaan air sampai kedalaman tertentu. Bersarnya kecerahan suatu perairan sangat tergantung pada warna air dan kekeruhan, dalam hal ini semakin gelap warnanya akan semakin keruh, maka kecerahannya semakin rendah. Kecerahan ditentukan secara visual dengan menggunakan piring sechi dan nilainya dinyatakan dalam satuan meter atau persen nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi serta ketelitian pengukuranya.


(30)

2.10. Faktor Kimia Perairan 2.10.1. pH

PH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Menurut Makereth et al. (1989) pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan alkalinitas. Pada pH yang kurang dari 5 alkalinitasnya bisa tidak terdeteksi. Makin tinggi nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan karbon dioksida bebasnya. Toksisitas dari senyawa kimia juga dipengaruhi oleh pH. Nilai pH normal suatu perairan danau adalah 6-9 (Goldman & Horne, 1983). Senyawa amonium yang dapat terionisasi benyak ditemukan pada perairan dengan pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia lebih mudah terserap kedalam tubuh organisme akuatik dibandingkan amonium. Proporsi dari total amonia nitrogen yang tidak terionisasi (NH3) akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan pH. Pengaruh dari pH bagi konsentrasi amonia tidak terionisasi sangat tinggi dibandingkan pengaruh dari suhu (Boyd, 1982). Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Proses nitrifikasi akan berakhir jika pH bersifat asam. Pada pH 4,5 -5,5 proses nitrifikasi akan terhambat (Novonty & Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Selanjutnya Effendi, (2003) menjelaskan bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis. Oleh karena itu proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis. Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbon dioksida. Didalam karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat (Moss, 1993), keadaan ini juga bisa terjadi jika 1% dari karbon dioksida bereaksi dengan air, sehingga membentuk asam karbonat (Cole, 1988).

2.10.2. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen )

Komponen yang paling penting bagi ekosistem danau atau waduk adalah oksigen terlarut dalam air untuk metabolisme tumbuhan dan hewan akuatik.


(31)

(Lytras, 2007). Dinamika distribusi oksigen terlarut diperairan merupakan dasar untuk mengetahui perilaku organisme yang tumbuh diperairan, kelarutan oksigen umumnya dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Distribusi oksigen dalam kolom air danau bervariasi saat fotosintetik berlangsung yang disebabkan oleh oksidasi biochemichal dan kehadiran oksigen terlarut (Lytras, 2007).

Oksigen terlarut adalah salah satu parameter paling mendasar diperairan karena mempengaruhi kehidupan organisme akuatik (Alabstar dan Liyod, 1980 dalam Hamilton dan Schaldov, 1994). Atmosfier bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/liter. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut diperairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas dan turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).

Proses fotosintesis mengahasilkan oksigen, yang merupakan input utama di perairan yang subur (Seller dan Markland, 1987; Thornton et al. 1990). dan perubahan kimia di sedimen interfase (Mortimer, 1971, Bostrim et al. 1982 dalam Hamilton dan Schaldow, 1994). Fotosintesis bertanggungjawab terhadap pulse oksigen diepiliminion waduk.

Oksigen terlarut dalam perairan merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air yang berasal dari proses fotosintesa oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya di zone eufotik, serta difusi dari udara (APHA, 1989). Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik (APHA, 1989), sehingga jika ketersedian oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus akan menurunkan kualitas air. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing), dan pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).


(32)

Kadar oksigen terlarut diperairan yang sama dengan kadar oksigen teoritis disebut kadar oksigen jenuh atau saturasi. Sedangkan kadar oksigen yang lebih kecil dari kadar oksigen secara teoritis disebut tidak jenuh, yang melebihi nilai jenuh disebut super saturasi. Kejenuhan oksigen diperairan dinyatakan dengan persen saturasi (Jeffries & Mills 1996 dalam Effendi, 2003). Kandungan oksigen terlarut di danau dapat menentukan daerah trofik. Perairan yang oligotrofik menunjukan variasi yang kecil dari oksigen saturasi, sedangkan perairan yang eutrofik kisaran oksigen saturasinya bisa mencapai 250%. Selain itu bahan organik dari sumber alam atau dari domestik dan industri merupakan limbah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kelarutan oksigen di perairan (Golman & Horne, 1983).

Sumber oksigen terlarut di hipoliminium hampir tidak ada. Setelah stratifikasi suhu yang permanen pada musim panas, danau akan mengalami periode stagnan di bawah termoklin, dengan suhu yang rendah, densitas yang lebih tinggi, lebih kental daripada lapisan atas, dimana gas-gas dan produk dekomposisi terakumulasi (Welch, 1980). Sumber oksigen terlarut di perairan yang utama adalah difusi udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland, 1987). Adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu: Difusi langsung ke permukaan air atau melalui berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang, air tejun, turbulensi (Wrlch, 1952). Sumber oksigen terlarut sebagian adalah aerasi permukaan (Seller dan Markland, 1987). Susupan oksigen terlarut ke badan air dapat terjadi karena inflow. Di waduk inflow yang utama masuk di bagian atas. Jika densitas inflow berbeda dengan dengan densitas air permukaan, maka inflow masuk dan bergerak di waduk sebagai arus densitas.

2.10.3. Fosfat

Kadar fosfat yang tinggi dalam perairan melebihi kebutuhan normal organisme akan menyebabkan eutrofikasi yang memungkinkan plankton berkembang dalam jumlah melimpah kemudian akan mengalami kematian masal. Kematian masal plankton akan menurunkan oksigen terlarut secara drastis dan


(33)

kondisi ini akan membahayakan biota yang dibudidayakan. Kadar fosfat perairan yang aman dan baik adalah 0,2-0,5 mg/l (Mayunar et al., 1995). Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk Ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont, 1980). Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil daripada nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati.

Di alam biasanya fosfat berasal dari erosi batuan disebabkan perubahan iklim, atau ekskresi manusia dan detergen serta pertanian atau penggunaan lahan (Golterman, 1973). Pada umumnya fosfat yang berada di perairan banyak terdapat dalam bentuk fosfat organik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik berasal dari makanan dan buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi fosfat organik yang selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat energi. Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktivitas badan air.

Fosfat yang terlarut dalam perairan pada keadaan normal biasanya terbentuk Ortofosfat yang ada diperairan dalam jumlah yang rendah. Menurut Sutamihardja (1978) dalam Prihadi (2005) kandungan fosfat terlarut dalam perairan alam umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/L. Jika dalam suatu perairan terjadi masukkan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan kandungan fosfatnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinya proses eutrofikasi atau keadan lewat subur yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan plankton yang tidak terkendali.

Phosphor memiliki peran utama dalam mengendalikan produktivitas di perairan tawar (Linkes, 1972) dan merupakan elemen pertama pembatas di perairan. Rasio N:P bervariasi sebagai bahan dasar dalam struktur tubuh


(34)

fitoplankton (Lytras, 2007). Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (Ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Effendi, 2003).

Total P adalah salah satu nutrien yang penting untuk mengetahui mengenai eutrofikasi. Fosfor sering digunakan sebagai kunci untuk menjelaskan kualitas algae yang ada di danau. Soegiarto dan Birowo, (1976) menyatakan kandungan fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah daripada lapisan bawahnya, sehingga kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya proses penaikan masa air.

Fosfor merupakan unsur esensial bagi pembentukan protein dan metabolisme sel organisme dan fosfor terdapat dalam bentuk senyawa orthofosfat (P0430), metafosfat (P3O930 )dan polifosfat (PiO430) serta dalam bentuk organik (Wardoyo, 1982). Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0,27-5,51 ppm (Bruno et al.1979 dalam Widjaja et al.1994). Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki nilai fosfat rendah (0,00-0,02 ppm) akan dijumpai dominasi diatom terhadap fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02-0,05 ppm) akan banyak dijumpai jenis Cholorohyceae, sedangkan pada perairan dengan nilai fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophiceae (Moyle 1946 dalam Kaswadji, (1976). Menurut (Hans W., Paerl et al. 2010) Ledakan Cyanobacterial (Microcystis) mencerminkan ekosistem perairan tawar terjadi eutrofikasi, karena perairan telah menunjukan peningkatan N & P berlebihan. Upaya yang dilakukan dalam manajemen tradisional adalah mengontrol terjadinya ledakan dengan cara pengurangan input Phospor.

2.10.4. Nitrogen Total

Nitrogen dan senyawa tersebar secara luas di biosfer. Lapisan atmosfer bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil. (Efendi, 2003). Total nitrogen adalah penjumlahan dari nitrogen anorganik berupa NO3-N, N02-N, NH3-N yang bersifat terlarut dan


(35)

nitrogen organik yang berupa partikulat, dan tidak larut dalam air (Makereth et al, 1989). Nitrogen organik adalah bentuk nitrogen yang terikat pada senyawa organik terutama nitrogen bervalensi tiga, biasanya berupa partikulat yang tidak larut dalam air. Nitrogen organik mencakup protein, polipeptida, asam amino, urea, dan senyawa lainnya. Nitrogen adalah nutrisi utama yang mempengaruhi produktivitas perairan, Nitrogen terdapat dalam perairan danau dalam bentuk nitrat dan ammonia. Konsentrasi kedua bentuk nitrogen tergantung pada satratifikasi dan aktifitas biologis dalam kolom air. (Lytras, 2007).

Nitrogen yang terdapat di perairan tawar ditemukan dalam berbagai bentuk diantaranya molekul N2 terlarut, asam amino, ammonia (NH3), amonium (NH44), nitrit (NO2"), dan nitrat (NO3"). Sumber nitrogen alami berasal dari air hujan (presipitasi), fiksasi nitrogen dari air dan sedimen, dan limpasan dari daratan dan air tanah (Wetzel, 1983). Goldman & Horne, (1983) menyatakan bahwa nitrogen dapat berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri. Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas amonia (NH3), amonium (NH4'K), nitrit (N02"), nitrat (N03"), dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Sumber nitrogen organik di perairan berasal dari proses pembusukan makhluk hidup yang telah mati, karena protein dan polipeptida terdapat pada semua makhluk hidup sedangkan sumber antropogenik (akibat aktivitas manusia) adalah limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian, kegiatan perikanan, dan limbah domestik (Effendi, 2003).

Nitrogen ditemukan melimpah dalam bentuk gas di atmosfer, namun tidak dapat digunakan secara langsung oleh organisme karena memerlukan energj yang besar untuk memecah ikatan rangkap tiga gas nitrogen. Di perairan nitrogen ditemukan dalam dua bentuk yaitu; nitrogen terlarut (disolved) dan tidak terlarut (particulate) dan keduanya tidak dapat langsung digunakan oleh organisme yang lebih tinggi, melainkan harus ditransformasikan terlebih dahulu oleh bakteri dan jamur (Goldman dan Horne, 1983). Effendi, (2003) menjelaskan Bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen yaitu:


(36)

a. Asimilasi nitrogen anorganik (ammonia dan nitrat) oleh tumbuhan dan mikroorganisme untuk membentuk nitrogen organik, misalnya asam amino dan protein. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri autotrof dan tumbuhan;

b. Fiksasi gas nitrogen menjadi amonia dan nitrogen organik oleh mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis algae Cyanophyta (blue-green algae) dan bakteri;

c. Nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat dan nitrat. Proses oksidasi ini dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan pH < 7 berkurang secara nyata. Bakteri nitrifikasi bersifat mesofilik, menyukai suhu 30°C.

d. Amomfikasi nitrogen organik untuk menghasilkan amonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur. Autolisis (pecahnya) sel dan ekskresi amonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok amonia.

e. Denitrifikasi, yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit, dinitrogen oksida (N2O), dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimum pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Proses ini juga melibatkan bakteri dan jamur. Dinitrogen oksida adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen adalah produk utama dari proses denitrifikai pada perairan dengan kondisi anaerob.

Transformasi nitrogen yang tidak melibatkan faktor biologi adalah volauisasi, penyerapan, dan pengendapan (sedimentasi). Sumber utama nitrogen antropogenik di kegiatan domestik Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3 baru bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan hewan. Proses ini akan meningkat pada danau yang telah mengalami eutrofikasi (Goldman & Horne, 1983). Fiksasi nitrogen berdasarkan kedalaman mirip dengan proses fotosintesis. Pada intensistas cahaya matahari yang tinggi proses fiksasi akan terhambat pada permukaan, dan menjadi maksimum pada kedalaman tertentu dan menurun drastis secara ekponensial dengan bertambahnya kedalaman. Fiksasi nitrogen berkorelasi positif dengan konsentrasi bahan organik terlarut yang terdapat pada perairan (Wetzel, 1983).Denitrifikasi tidak membebaskan


(37)

danau atau waduk dari input N berlebihan. Hasil menunjukan perlu mengurangi nutrient yang masuk ke perairan baik N maupun P untuk mengendalikan eutrofikasi jangka panjang hypereutrofik (Hans W. Paerl et al., 2010).

2.11. Faktor Biologi perairan 2.11.1. Produktivitas Primer

Terdapat hubungan yang positif antara kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas primer, jika kelimpahan fitoplankton disuatu perairan tinggi, maka perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi pula (Raymont, 1963). Odum (1971) mendefinisikan produktivitas primer sebagai derajat penyimpanan energi dalam bentuk bahan organik, sebagai hasil fotosintesis dan kemosintesis dari produsen primer.

Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam perairan. Pada ekosistem perairan sebagian besar produktivitas primer dihasilkan oleh fitoplankton (Kennish 1990; Barnabe dan Barnabe, 2000). Aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Melalui proses ini fitoplankton mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produktivitas primer. Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan suatu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan.

2.11.2. Klorofil -a

Klorofil adalah molekul komplek yang tersusun dari 4 cicin karbon nitrogen yang mengelilingi satu atom Mg, dan bila Mg tersebut terlepas dari krorofil (mati/terdegradasi), maka krorofil tersebut disebut phaeophitin atau phaeofigmen. Klorofil a adalah klorofil yang dapat dilalui elektron, dalam hal ini dengan adanya sinar matahari akan mengakibatkan elektron berpindah, dan elektron ini selanjutnya diubah menjadi energi kimia yang berperan dalam fotosintesis. Klorofil amempunyai kemampuan maksimum dalam menyerap sinar matahari, kemampuan ini paling optimum dalam wilayah sinar merah yang panjang gelombang 680 nm. Berdasarkan konsentrasi klorofil a (Ryding & Rast, 1989) mengklasifikasikan tingkat kesuburan perairan menjadi 3, yaitu jika suatu


(38)

perairan kandungan klorofil a-nya < 8 mg/m3 berarti perairan tersebut termasuk perairan oligotrofik, jika konsentrasinya 8-25 mg/m3 dikategorikan pada perairan mesotropik, dan jika mencapai 25 -27 mg/m3 masuk pada perairan eutrofik. Klorofil-a merupakan 1-2 % dari berat kering seluruh organism fitoplankton (APHA, 1980).

2.11.3. Plankton (Fitoplankton)

Pertumbuhan fitoplankton berinteraksi dengan serapan unsur hara (Thomann, et al. 1987). Plankton adalah organisme renik yang bergerak melayang dalam air atau kalaupun mampu berenang, kemampuan berenangnya sangat lemah, pergerakannya selalu dipengaruhi oleh gerakan massa air. Pada dasamya plankton dapat berupa tumbuhan (fitoplankton) dan juga berupa hewan (zooplankton). Komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai diperairan tawar berasal dari kelas Bacillarophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae, Crysophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, Euglenophyceae, dan Xanthophyceae. Kelas Cyanophyceae dan Crysophyceae merupakan jenis fitoplankton dominan diperairan tawar yang tergenang (Ruttner, 1973). Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu parameter ekologi yang dapat menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar produsen mata rantai makanan (Dawes, 1981). Kehadirannya disuatu perairan juga dapat menggambarkan status suatu perairan apakah berada dalam keadaan subur atau tidak.

Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi (Reynolds et al.,1984). Muatan unsur hara yang berlebihan dapat merangsang pertumbuhan fitoplankton dengan cepat dan berlimpah sehingga dapat mempengaruhi fluktuasi dan kelimpahan fitoplankton di perairan. Fitoplankton sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan penting dalam menunjang produktivitas perairan.


(39)

Keberadaan fitoplankton dapat dilihat berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang dipengaruhi oleh parameter lingkungan perairan tersebut. Komposis dan kelimpahan fitoplankton akan berbeda di setiap lapisan kedalaman sebagai akibat dari perbedaan kondisi perairan pada masing-masing lapisan tersebut. Kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan sangat mpengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang meliputi faktor fisika, kimia, dan biologi, yakni suhu, kekeruhan, kecerahan, Ph, gas terlarut, unsur hara serta dipengaruhi pula oleh adanya interaksi dengan organisme lain. Proses eutrofikasi pada sistem perairan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis fitoplankton. Kondisi ini mengakibatkan dominasi dari jenis tertentu dan tumbuh secara berlebihan (blooming). Blooming dapat menyebabkan komposisi fitoplankton berbeda di setiap kedalaman. Pada kondisi demikian fitoplankton yang terdapat pada masing-masing lapisan tersebut juga berbeda.

Menurut Davis, (1955) pada suatu perairan pada lokasi tertentu sering didapat jumlah individu plankton yang berlimpah, sedangkan pada lokasi lainnya diperairan yang sama, jumlahnya sangat sedikit. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk bahwa distribusi plankton di suatu perairan belum tentu homogen. Selajutnya dikatakan bahwa kelimpahan fitoplankton terbesar ada pada beberapa centi meter di bawah permukaan air.

2.12. Kesejahteraan Rakyat

Kesejahteraan adalah suatu ukuran tingkat kehidupan masyarakat yang layak di mana tingkat kesejahteraan tersebut menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dapat diukur berdasarkan variabel pendapatan. Kegiatan-kegiatan yang mencakup berbagai upaya baik langsung maupun tidak langsung yang ditujukan untuk pengembangan sumberdaya manusia, perbaikan kualitas kehidupan, penyembuhan, dan pencegahan masalah-masalah sosial dipandang sebagai kegaiatan kesejahteraan sosial. Kebutuhan manusia pada dasarnya dibedakan menjadi dua aspek yaitu kebutuhan jasmaniah bersifat fisiologis untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, sehingga diperlukan makan, pakaian, tempat tinggal, pemeliharaan kesehatan dan istirahat yang cukup. Sedangkan aspek


(40)

rohaniyah dipenuhi melalui pemenuhan rasa aman, ketentraman dan perlindungan baik hubungan antar manusia maupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Dimensi kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat visible, jika dilihat dari aspek tertentu. Menurut BPS, (2000) indikator kesejahteraan rakyat diamati dari berbagai aspek spesifik yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, kesejahteaan, ketenagakerjaan, konsumsi rumah tangga dan perumahan. Masyarakat dikategorikan miskin jika pengeluaran perkapita <Rp.925.564 pengeluaran keluarga/bulan (BPS, 2000). Dalam penelitian ini kesejahteraan rakyat difokuskan pada masyarakat nelayan tangkap (nila jaya) Waduk Malahayu. Berkembangnya kegiatan perikanan tangkap dan minawisata, pengembangan KJA di Waduk Malahayu diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena terjadi peningkatan pendapatan ekonomi karena terdapat variatif usaha tersebut.

Tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan dapat diukur dari tingkat pendapatan yang dibandingkan dengan kebutuhan minimal untuk kebutuhan hidup layak. Selain aspek kesehatan, pendidikan, pendapatan dan kondisi perumahan, rasa aman merupakan kebutuahan manusia yang makin mendesak sejalan dengan kemajuan ekonomi. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Nasional (1999) diacu dalam Sulaksmi (2007) menyebutkan bahwa keluarga sejahtera adalah: (1) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggota baik sandang, pangan dan papan, sosial maupun agama. (2) keluarga yang mempunyai penghasilan antara penghasilan dengan jumlah anggota keluarganya dan (3) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk, disamping terpenuhinya kebutuhan pokoknya.

Disamping indikator-indikator tersebut di atas, untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan juga dinyatakan dalam tingkat kemiskinan. Rumah tangga miskin ditentukan berdasarkan sejumlah variabel yang berkaitan dengan masalah kemiskinan yaitu sebagai berikut:

1. Kelompok ciri tempat tinggal:


(41)

b. Jenis lantai c. Fasilitas jamban d. Fasilitas air bersih

2. Aspek Pangan (makanan) yaitu variasi konsumsi lauk pauk dalam seminggu 3. Aspek sandang yaitu kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel setahun

untuk setiap anggota rumah tangga

4. Kepemilikan aset yaitu ada tidaknya meja dan kursi tamu.

Keberadaan Waduk Malahayu memberikan dampak baik langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitarnya khususnya masyarakat nelayan tangkap yang berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarejo Kabupaten Brebes. Untuk menganalisis kesejahteraan masyarakat nelayan tangkap (Nila Jaya) yang mengambil manfaat dengan keberadaan Waduk Malahayu, maka dilakukan survei untuk memperoleh data pendapatan nelayan tangkap setiap hari, bulan dan tahun.


(1)

DAFTAR PUSTAKA   

 

Agusniatih, A. 2002. Kajian Pengembangan Kawasan Wisata dan Pengaruhnya  terhadap   Kesejahteraan   Masyarakat.   [Tesis]   Program   Pasca   Sarjana  Institut Pertanian Bogor. 

 

Akpalu,Worku  T.  Bitew  2009.  Species  diversity,  fishing  induced  change  in  carrying capacity and sustainable fisheries management. 16pp. 

Ali,   F.   2003.   Hubungan   antara   Penggunaan   Pelindung   Buatan   dengan 

Kelangsungan Hidup Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Pusat 

Penelitian Limnologi-LIPI. Jakarta hal 1-3.   

APHA  (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for The 

Examination  of  Water  and  Wastewater.  17th  Edition.  American  Public 

Health  Association/American  Water  Work  Association/Water 

Environment Federation Washington.  DC. 3464pp.   

APHA  (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for The 

Examination of Water and Wastewater. 21th   Edition. American Public  Health Assosiation/American Water Work Association/Water Enviroment  Federation Washington. DC. USA: 1100 pp. 

 

Barnabe, G. and R. Barnabe, 2000. Ecology and Management of Coastal Waters;  the Aquatic Environment. Praxis Publishing Ltd, Chichester, UK. France.   

Beveridge,  MCM.1987.  Cage  Aquaculture.  Fishing  News  Book,  Ltd  Fornham  Survey, England. 

 

Beveridge, MCM.1996. Cage Aquaculture. Fishing News Books. London. 346p.   

Birowo,  S.  dan  H.  Uktolseja.  1976.  Sifat-sifat  osenografis  perairan  pantai  Indonesia. Prosiding Simposium Pendekatan Ekologis untuk Pengelolaan  Daerah Pesisir, Bogor 21-31 Maret 1976. IPB, Bogor. 

 

Boyd, CE. dan F. Lichtkoppler. 1979. Water Quality Management in Pond Fish  Culture.   International   Center   Aquaculture,   Agrricultural   Experiment 

Station, Aubun University-Alabama. 

 

[BPS].   Badan   Pusat   Statistik.   2000.   Keadaan   Rumah   Tangga   Miskin   di  Kotamadya Jakarta Utara tahun 2000. 

 

Buyukcapar and A.AIp 2006. The Carrying Capacity and Sustainability of the  Menzelet Reservoir (Kahramanmaras-Turkey) for Trout Culture in Terms  of Water Quality.6 (13):2774-2778.


(2)

Chen, Y.W., Qin, B.Q., Teubner,K., Dokulil, M.T., 2003. Long-term dynamics of 

phytoplankton   assemblages:   Microcystis-domination   in   Lake   Taihu,a 

Large shallow lake in China. Journal of plankton Research 25,445-453.   

Cole,  G.  A.  1988.  Textbook  of  Limnologi  3.rd  edition.  Waveland  Press,  inc.  Illionnis. USA. 

 

Dawes, J.C. 1981. Marine Botany. A Willey Intersciene Publication. University of  South Florida. 628p. 

 

Davis CC.1995. The Marien and Freshwater Plankton. Michigan State University 

Press. USA.   

Duarte,  P.,  R.  Meneses,  A.J.S.  Hawkins,  M.Zhu,J.  Fang  and  J.  Grant,  2003.  Mathematical Modeling to assess the carrying capacity for multi-species  culture withincoastal waters. Ecol. Model.,168:109-143. 

 

Dugan, P.R., 1972. Biochemical Ecology of water pollution. Plenum press. New  York. 

 

Effendi,   H.   2003.   Telaah   kualitas   air   bagi   pengelolaan   sumberdaya   dan  lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 

 

FAO,  1992.  Guidelines  for  the  promotion  of  Enviromental  Management  of  Coastal Aquaculture Development Fish. Tech. Paper, 328:131. 

 

Goldman, C.R. and A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc Graw-Hill International  Book Company. New York.464p. 

 

Golterman,  H.L.1973.  Natural  Phosphate  Sources  in  Relation  to  Phosphate  Budgets : A Contribution to the Understanding of Eutrophication. Water  Res., Amsterdam.7 : 3. 

 

Hans W. Paerl, Hai Xu, Mark J. McCarthy, Guangwei zhu, Bogiang Qin, Yiping 

Li, Wayne S. Gardner 2010. Controling harmful cyanobacterial blooms in 

a hyper-eutrophic lake (Lake Taihu, China): The need for a dual nutrient  (N&P) management startegy.Jornal water research. Vol 45. 29:1973-1983.   

Hamilton, D.P. dan S.G. Schaldow.1994. Modeling the sources of oxygen in an  Australian Reservoir. Vert.Internat.Verein.Limnol.25:128-1285.   

Henderson-Seller, B. and H. R. Markland. 1987. Decaying Lakes. John wiley And 

Sons Ltd. Chichester.   

Hehanusa P.E dan Haryani G.S. 2001. Kamus Limnologi (Perairan Darat). IHP- 


(3)

Hynes, H.B.N. 1978. The Ecology Of Running Waters. Universiti Press. Liver-  pool. 

 

Ilyas, S.  1992. Pedoman teknis pengelolaan peraiaran umum bagi perikanan. Seri  Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/Kan/09/1992. Badan  Litbang Pertanian. 80 p. 

 

Kaswadji, R.F. 1976. Studi Pendahuluan Tentang Penyebaran dan Kelimpahan  Fitoplankton  di  Delta  Upang  Sumatera  Selatan.  Skripsi  dalam  Bidang  Biologi Perikanan Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 

 

Kennish,  M.J.  1990.  Ecology  of  Estuaries.  Second  Edition.  CRC  Press.  Boca  Ration. Florida. 

 

Lawson, T.B. 1995.  Fundamentals of Aquacultural Engineering. Chapman and  Hall, New York, pp: 1-335. 

 

Liaws, E.A. 1993. Aquatic Pollution: An Introductory Test 2 Ed. John Wiley &  Sons,Inc.New York. 

 

Linkes,  G.E.,1972.  In:  Nutrients  and  Eutrophication  Americ.  Soc.  Limnol. 

Oceanog. Spesial Symp.1.   

Lytras, 2007. Developing Models for lake Management. Journal Desalination 213:  129-134. 

 

Masson, C.V.  1981.  Biology of  Freshwater pollution.  Longman Scientific and  Technical. Longman Singapore Publisher Ptc. Ltd., Singapore. 

 

Makereth, F.J.H., Heron, J. And Talling, J.F.1989.  Water Analysis. Freshwater 

Biological Association. London.415p.   

Mayunar, R.Purba dan P.T. Ismanto.1995. Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan  laut.  Di  dalam: Achmad  Sudrajad  et  al, editor.  Prosiding Temu  Usaha  Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring bagi Budidaya Laut, Jakarta,  12-13 April 1995. PPP Perikanan-FKPPA. 

 

Mattjik, A.A. dan M. Sumertajaya, 2000. Perancangan Dengan Aplikasi SAS dan  MINITAB, jilid I. IPB, Bogor. 

 

Moss,  B.  1993.  Ecology  of  Freshwaters.  Second  edition.  Blackwell  Scientific  Publications. London, UK. 

 

Odum EDP. 1971. Fundamentalis of Ecology. Ed. Ke-3. WB Saunders Company. 


(4)

Odum  EDP.  1993.  Dasar-Dasar  Ekologi  Vol  ke-3.  Samingan,  penerjemaah 

Universitas  Gajah   Mada  Press.   Yogyakarta.   Terjemahan   dari: 

Fundamental of Ecology.   

Odum,   E.P.   1998.   Dasar-dasar   Ekologi:  Terjemahan   dari   Fundamental   of 

Ecology. Alih Bahasa Samingan, T.Edisi Ketiga. Universitas Gajah mada  Press, Yogyakarta.67p. 

 

Parsons, T dan M. Takashi 1973. Biological Oceanography Processes. Inst. Oce. 

University of British Columbia Pergamon Press. Oxford   

Parsons TR, M Takashi, B Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes.  Ed. Ke-3. Pergamon Press. Oxford. 

 

Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standard for  Tropical Countries. Bangkok; AIT. 

 

Philips, M.J., M.C.M. Beveridge and L.G. Ross,1985. The environmental impact 

of salmonid cage culture on inland fisheries; present status and future  trends. J. Fish. Biol.,27: 123-127. 

 

Poernomo, K. 1994. Beberapa aspek biolimnologi dan sumberdaya perikanan di  danau Singkarak. Bul. Penel. Perik. Darat. Vol 12. No.2 Hal: 166-170.   

Prihadi, Tri, H. 2005. Pengelolaan Budi Daya  Ikan Secara  Lestari Di Waduk.  (Studi Kasus Di Perairan Waduk Cirata Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana  Institut Pertanian Bogor. 

 

Pulatsu,  2003.  The  Aplication  of  a  Phosphorus  Budget  Model  Estimating  the  Carrying Capacity of Kesikopru Dam Lake.27: 1127-1130. 

 

Qiu,  D.,L.  Hiuang,  J.Zhang,  S.Lin  2010.  Phytoplankton  Dynamic,dan  Silikat  (SiO2) mic in and Near The Highly Eutrophic Pearl River Estuary,South  China Sea.Continental Shelf Research 30 : 178-186. 

 

Ray, P., N.O.S. Rao. 1964. Density of Fresh Water Diatom in Relations to Some  Physico Chemical Condition of Water. Indian Journal Fish. 11(1):479-484.   

Raymont,  J.E.G. 1980. Plankton and Productivity in the Ocean. New York : Mc.  Millan Co. 

 

Rahmansyah, Makmur dan kamaruddin. 2004. Pendugaan laju sedimentasi dan  disperse limbah parteikel orgaic dari budi daya banding dalam karamba  jarring apung dilaut. JPPI, Vol.10 (2):89-99. 

 

Reynolds, C.S., J.G. Tundisi and K. Hino. 1984. Observation on a Metalimnetic  Phytoplankton  Population  in  a  Stably  Tropical  lake.  Arch.Hydrobyol.  Argentina. 97: 7-17.


(5)

Reynolds, C.S. 2006. The Ecology of phytoplankton. Cambridge University Press.  UK. 

 

Rosenberg, D.M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic 

Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London.   

Ruttner,  F.  1973.  Fundamental  of  Limnology.  Third  Edition.  Univeristy  of  Toronto Press, Canada. 

 

Ryding, S.O., W. Rast (Editor) 1989. The Control of Eutrophication of lakes and  Reservoirs. The Parthenon Publishing Group,Paris. 

 

Sellers,  B.H.  and  H.R.  Markland.  1987.  Decaying  Lakes  :  The  Origins  and  Control of Culture Eutrophication. John Wiley & Sons Ltd., New York.  253 p. 

 

Straskraba,  M.,  J.G.  Tundisi.  1999.  Guidelines  of  lake  Management.Vol:  9  Reservoir  water  Quality  Management.  International  Lae  environment  Commite, Shiga-Japan. 

 

Sterner, T. 2007. Unobeserved diversity,depletion and irrevesiblity:the importance  of subpopulation for management of cod stock Ecological Economics 16  (2) 566-574. 

 

Sukadi.  F,  Endi.  S.K,  Sony.  K,  Maskur,  Sutrisno.  S,  Rina, Agus.  S,  Murtiati,  Fatriandi.N.P,  Deni.J,  Chairulwan.U,  2007.  Petunjuk  Teknis  Pengelola  Perikanan  Bersama  Pada  Perikanan  Waduk  Di  Indonesia,  Departemen  Kelautan Dan Perikanan, Australian Centre For International Agricultural  Research. 57 p. 

 

Sulaksmi,  R.  2007.  Analisis  Dampak  Parawisata  Terhadap  Pendapatan  dan  Kesejahteraan Masyarakat sekitar Kawasan Taman Wisata alam laut Pulau  Weh Kota Sabang. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 

 

Straskraba,  M.,  J.G.  Tundisi.  1999.  Guidelines  of  lake  Management.Vol:  9  Reservoir  water  Quality  Management.  International  Lae  environment  Commite, Shiga-Japan. 

 

Sterner, T. 2007. Unobeserved diversity,depletion and irrevesiblity:the importance  of subpopulation for management of cod stock Ecological Economics 16  (2) 566-574. 

 

Thomann,  R.V.,  Mueller,  J.A.,  1987.  Principles  of  Surface  Water  Quality  Modeling and Control. Harper Collins Publishers, New York,664 pp.   

Thornton,  K.W,  B.L.  Kimmel  and  F.E.Payne.  1990.  Reservoir  Limnology  : 


(6)

(UNEP)  United  Nations  Environment  Programme.  1993.  Training  Manual  on  Assessment   of   the   Wuantity   and   Type   of   Land-Based   Pollutiont  Discharges   Into   the   Marine   and   Coastal   Environment.   RCU/EAS  Technical Reports Series No.1. 

 

Umaly, R.C dan M.A.L.A. Cuvin. 1988. Limnologi Laboratory and Field Guide 

Physicochemical   Factors,   Biological   Factors.   National   Book   Store  Publisher. Manila. Philippines. 

 

Vollenweider R.A. 1974. A Manual on Method for Measuring Primary Production 

in  Aquatic  Environments.  IBP  Handbook  No.12.  Blackwell  Scientific 

Publication, Oxpord.359 p.   

Wardoyo,  S.T.H.  1982.  Kriteria  Kualitas`Air  Untuk  keperluan  Pertanian  dan  Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan. PPLH-UNDP, PUSDI-  PSL. Institut Pertanian Bogor. 

 

Wahyudi,  S.I.  Esti  Santoso.  2002.  Kaji  Ulang  Pedoman  Operasioanal  dan  Pengukuran Ecahounding Waduk Malahayu. Laporan Akhir Dinas PSDA  Jawa Tengah dan Linmit Unisula Semarang. 

 

Wahyudi S.I, Fauzi Fahrudin 2004. Pemutakhiran Pedoman Operasional Waduk 

Malahayu. Laporan Akhir Dinas PSDA Jawa Tengah dan Limit Unisula  Semarang. 

 

Wetzel, R.G. 1975. Limnology. W.B. Saunders Co. Philadelphia, Pennsylvania. 

 

Welch, E.B. 1980. Ecological effects of wastewater. Cambridge University Press.  Cambridge,London.337.p. 

 

Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Second edition.CBS College Publishing United 

States of America.   

Wetzel, R.G. 2001. Limnology. Lake and River Ecosiytem 3 Ed.Academic Press. 

London.   

Widjaja, F. and E.M. Adiwilaga. 1995. Trophic Status Evaluation of the Main  Reservoir in Citarum Watershed, West Java. Tropical Limnology, Tropical  Lakes  and  Reservoirs.  Proceeding  of  the  International  Conference  on  Tropical Limnology in Commermoration of the 65, Salatiga. 12 : 287-293.   

Widigdo,  B.  2000.  Penyusunan  Kriteria  Ekobiologis  untuk  pemulihan  dan  Pelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL, Bogor.   

Widyayanti, I.D. 2007. Analisis Hubungan Pengunaan Lahan Terhadap Erosi dan  Sedimentasi dengan menggunakan Model Answer Pada Sub DAS .