Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi

PENILAIAN LANSKAP BUDAYA RUMAH LARIK
DI KOTA SUNGAI PENUH
PROVINSI JAMBI

MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Lanskap
Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Mohammad Sanjiva Refi Hasibuan
NIM A451120041

RINGKASAN
MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN. Penilaian Lanskap Budaya Rumah
Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Dibimbing oleh NURHAYATI HS
ARIFIN dan KASWANTO.
Lanskap budaya Rumah Larik merupakan lanskap permukiman tradisional
suku Kerinci yang terbentuk dan berkembang secara organik sebagai hasil
interaksi antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Permasalahan yang
terjadi pada lanskap budaya ini yaitu semakin hilangnya karakter lanskap akibat
perkembangan dan pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lanskap
budaya ini. Hal ini juga didukung oleh rendahnya kepedulian masyarakat, para
pemangku adat, serta pemerintah terhadap elemen dan lanskap peninggalan yang
ada. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai karakter lanskap budaya Rumah
Larik Kota Sungai Penuh yang berada dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh,
menilai tingkat signifikansi atau nilai penting lanskap, dan menentukan tindakan
pelestarian yang tepat untuk diterapkan pada lanskap budaya Rumah Larik ini.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landscape Character
Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan Cultural Heritage Landscape
Assessment (CHLA).
Berdasarkan hasil penilaian dan analisis terhadap 11 karakteristik lanskap
menurut Lennon dan Matthews (1996) maka disimpulkan bahwa karakter lanskap
budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh adalah lanskap permukiman
tradisional yang berbasis pertanian dan sumberdaya alam lokal. Indikatornya
adalah penggunaan lahan yang didominasi oleh lahan pertanian berupa sawah dan
ladang serta aktivitas budaya masyarakat yang selalu terkait dengan pertanian dan
pemanfaatan sumberdaya alam lokal. Area karakter lanskap budaya Rumah Larik
adalah area permukiman Rumah Larik yang mengelompok dan berpola sejajar
memanjang serta dekat dengan sumber air. Adapun karakteristik kuncinya yaitu
elemen-elemen lanskap seperti Rumah Larik, masjid, surau, bilik padi, tabuh
larangan, makam nenek moyang, dan sungai. Sementara karakter estetika lanskap
budaya ini berdasarkan persepsi responden adalah keaslian, tradisional, dan
keindahan. Hasil penilaian signifikansi lanskap menunjukkan bahwa lanskap
budaya Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru secara
berturut-turut memiliki nilai penting 24, 22, dan 19 yaitu termasuk kategori
signifikansi sedang. Artinya nilai penting lanskap yang terdiri atas nilai penting
estetika, sejarah, sosial/spiritual, dan ilmiah semakin hilang sehingga diperlukan

upaya untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kembali nilai penting
tersebut. Upaya atau tindakan yang diusulkan adalah melakukan registrasi,
pemeliharaan, rekonstruksi, adaptasi, pemanfaatan, mempertahankan asosiasi dan
makna, interpretasi, serta penelitian terhadap lanskap budaya Rumah Larik ini.
Kata kunci: karakter, lanskap budaya, nilai penting, pelestarian, Rumah Larik

SUMMARY
MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN. Cultural Landscape Assessment of
Rumah Larik in Sungai Penuh City, Jambi Province. Supervised by
NURHAYATI HS ARIFIN and KASWANTO.
Rumah Larik cultural landscape is the traditional settlement landscape of
Kerincinese that shaped and developed organically as a result of interaction
between people and their environment. The problem that occur on this cultural
landscape is the character more and more decrease as consequence of
development. This problem also caused by people and government were careless
about their heritages. The objectives of this study are to assess characteristics of
Rumah Larik cultural landscape in Sungai Penuh city, to assess the significant
value of this landscape, and to determine the appropriate preservation efforts for
this cultural landscape. The methods of this study are Landscape Character
Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), and Cultural Heritage Landscape

Assessment (CHLA).
Based on the results of the assessment and analysis of 11 landscape
characteristics Lennon dan Matthews (1996), it can be concluded that character of
Rumah Larik cultural landscape is a traditional settlement landscape based on
agriculture and local natural resources. The indicator are the land use dominated
by agricultural land in the form of ricefield and ladang as well as cultural
activities which always associated with agriculture and utilization of local natural
resources. Rumah Larik cultural landscape character area is Rumah Larik
settlement area with long-parallel cluster pattern and close by water resource. The
key characteristics are the elements of landscape such as Rumah Larik, mosque,
surau, bilik padi, tabuh larangan, ancestral burial grounds, and rivers.
Autenticity, traditional, and beauty become aesthetic character of the cultural
landscape based on respondent perception. The result of landscape significance
assessment indicate that Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, and Dusun
Baru cultural landscape chronologically has 24, 22, and 19 values which is
moderate significance category. This means that aesthetic, historic,
social/spiritual, and scientific significance of the landscape is getting lost so
necessary effort to maintain or even improve the value is very important.
Preservation efforts or proposed actions are registration, maintenance,
reconstruction, adaptation, utilization, maintain associations and meanings,

interpretations, and research to Rumah Larik cultural landscape.

Keywords: assessment, character, cultural landscape, Rumah Larik, significant
value

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENILAIAN LANSKAP BUDAYA RUMAH LARIK
DI KOTA SUNGAI PENUH
PROVINSI JAMBI

MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc

Judul Tesis : Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh,
Provinsi Jambi
Nama
: Mohammad Sanjiva Refi Hasibuan
NIM
: A451120041


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc
Ketua

Dr Kaswanto, SP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Arsitektur Lanskap

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 23 Oktober 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga penelitian dan penyusunan karya
ilmiah tesis program Magister pada program studi Arsitektur Lanskap ini dapat
diselesaikan. Tesis dengan judul Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota
Sungai Penuh Provinsi Jambi dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis
untuk dapat memberikan kontribusi kepada tanah kelahiran yaitu Kota Sungai
Penuh dan kepada masyarakat Kerinci pada umumnya. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah sebagai evaluasi
serta dasar untuk pengelolaan lanskap budaya Rumah Larik beserta nilai-nilai
penting yang dimilikinya di masa yang akan datang.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc
dan Dr Kaswanto, SP MSi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
selama kegiatan penelitian serta penyusunan tesis ini. Selain itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Armen Sabri selaku Ketua Lembaga Adat Kota
Sungai Penuh, Bapak Iskandar Zakaria selaku Budayawan Kerinci, Bapak Depati

Alimin selaku tokoh adat Kota Sungai Penuh, serta dinas-dinas pemerintahan
yang terkait, yang telah membantu selama pengumpulan data. Selanjutnya, kepada
keluarga, rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012, dan seluruh pihak
yang telah memberikan bantuan moril maupun materil, penulis juga tak lupa
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.

Bogor, Desember 2014
Mohammad Sanjiva Refi Hasibuan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pikir

1
1
3
3
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Budaya

Landscape Character Assessment (LCA)
Signifikansi Budaya

5
5
5
7

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Prosedur Analisis Data
Landscape Character Assessment (LCA)
Metode Semantic Differential (SD)
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA)

8
8
8
9
9
10
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kota Sungai Penuh
Kondisi Umum Masyarakat
Sistem Pemerintahan Adat
Rumah Larik Enam Luhah
Rumah Larik Pondok Tinggi
Rumah Larik Dusun Baru
Lanskap Budaya Rumah Larik
Karakter Lanskap Budaya Rumah Larik
Landuse dan Aktivitas
Pola Organisasi Ruang
Respon terhadap Lingkungan
Tradisi Budaya
Jaringan Sirkulasi
Batas Wilayah
Vegetasi

15
15
17
18
21
23
24
25
27
27
30
34
35
36
37
39

Bangunan dan Struktur
Klaster
Situs Arkeologi
Elemen Skala Kecil
Karakter Estetika Lanskap Budaya Rumah Larik
Tipe dan Area Karakter Lanskap
Nilai Penting Lanskap Budaya Rumah Larik
Nilai Penting Estetika
Nilai Penting Sejarah
Nilai Penting Sosial dan Spiritual
Nilai Penting Ilmiah
Pembobotan Nilai Penting
Pelestarian Lanskap Budaya Rumah Larik

41
48
48
49
51
61
62
63
66
67
68
69
70

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

76
76
77

DAFTAR PUSTAKA

77

GLOSARIUM

80

LAMPIRAN

82

RIWAYAT HIDUP

87

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Jenis dan sumber data yang diperlukan
Kata-kata bipolar
Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya
Luas kecamatan di Kota Sungai Penuh tahun 2013
Jenis ragam hias, makna, dan bentuk motifnya
Nilai rata-rata (mean value) variabel penilaian SD
Elemen lanskap bernilai tinggi dan variabelnya
Hasil pengujian KMO-MSA dan Bartlett
Matriks komponen rotasi
Faktor dan variabel yang terbentuk
Karakteristik yang digunakan dalam penilaian signifikansi lanskap
Hasil pembobotan nilai penting
Pedoman (guidelines) tindakan pelestarian

9
11
13
15
42
54
56
58
60
60
63
69
74

DAFTAR GAMBAR
1
2

Rumah Larik
Kerangka pikir penelitian

1
4

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38

Lokasi penelitian
Batas administrasi Kota Sungai Penuh
Batas wilayah adat Depati nan Bertujuh
Lokasi Rumah Larik Enam Luhah
Lokasi Rumah Larik Pondok Tinggi
Lokasi Rumah Larik Dusun Baru
Pola tata guna lahan lanskap budaya Rumah Larik
Rumah Larik Pondok Tinggi dan lanskap di sekitarnya tahun 1900-an
Landuse Kota Sungai Penuh tahun 1923 - 1924
Pembagian ruang rumah secara vertikal
Pembagian ruang rumah secara horisontal
Pola tata ruang sebuah luhah
Organisasi dan hubungan antar ruang lanskap budaya Rumah Larik
Pohon kelapa pada plak di tengah sawah
Buah pinang yang sedang dijemur
Rumah Larik tipe balairung atau tipe mandiri
Masjid Agung Pondok Tinggi
Masjid Raya Sungai Penuh
Bilik padi dengan hiasan ukiran dan bilik padi tanpa hiasan ukiran
Tabuh larangan Pondok Tinggi dan tabuh larangan Sigantou Alang
Makam nenek moyang masyarakat adat Enam Luhah di Dusun Bernik
Makam Sutan Kamat Gelar Depati Payung Negeri Panjang
Panjang Rambut Terawang Lidah di Rumah Larik Pondok Tinggi
Batu Menhir pada makam nenek moyang
Batu lesung dan posisi batu lesung
Kincir air untuk mengairi sawah
Lokasi vantage points pada Rumah Larik Enam Luhah
Lokasi vantage points pada Rumah Larik Pondok Tinggi
Lokasi vantage points pada Rumah Larik Dusun Baru
Grafik hasil penilaian estetika lanskap budaya Rumah Larik
Nilai rata-rata lanskap (garis biru) dibandingkan dengan
nilai rata-rata umum (garis merah)
Korelasi antar variabel berdasarkan analisis biplot
Peta tipe karakter lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh
Proses terbentuknya lanskap budaya Rumah Larik
Rumah tradisional (kiri), rumah semi-modern (tengah),
dan rumah modern (kanan)
Tanah mendapo (kiri) dan halaman Masjid Raya Sungai Penuh (kanan)
Peta pelestarian lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh

8
16
19
22
23
25
27
29
30
31
32
33
34
39
40
41
43
44
45
46
47
47
49
50
51
52
52
52
53
55
59
61
62
64
67
74

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Kuesioner Semantic Differential (SD)
Foto-foto sampel penilaian Semantic Differential (SD)

82
83

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumah Larik adalah rumah tradisional masyarakat suku Kerinci yang
terdapat di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi (Gambar
1). Menurut Hasibuan (2010), Rumah Larik memiliki pola berjejer memanjang
(linear) dari arah Timur ke Barat yang saling terhubung antara satu rumah dengan
rumah lainnya sehingga membentuk sebuah larik atau laheik. Oleh Masyarakat
Kerinci, istilah Rumah Larik selain untuk menyebut rumah juga digunakan untuk
menyebut permukiman tradisional tempat mereka tinggal. Masyarakat suku
Kerinci umumnya hidup dan tinggal berkelompok dalam sebuah lurah. Setiap
lurah (luhah) terdiri atas dua buah larik atau lebih. Satu larik didiami oleh
beberapa keluarga (pintu) yang masih memiliki satu garis keturunan (Zakaria
1973). Permukiman ini merupakan cikal bakal dari perkembangan daerah Kerinci
menjadi Kabupaten dan Kota.
Terdapat 3 permukiman Rumah Larik yang menjadi pusat perkembangan
Kota Sungai Penuh yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik Pondok
Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru. Ketiga Rumah Larik ini memiliki sejarah
dan karakteristiknya masing-masing. Jika dilihat dari luas kawasannya, maka
Rumah Larik Enam Luhah merupakan permukiman yang memiliki area paling
luas diikuti oleh Rumah Larik Pondok Tinggi dan Rumah Larik Dusun Baru. Pola
spasial suatu permukiman tidak hanya ditentukan dan diatur oleh kebutuhan
sehari-hari manusia, tetapi juga oleh norma sosial dan tatanan budaya (Nunta dan
Sahachaisaeree 2012). Sebagai sebuah hasil kebudayaan yang tangible, Rumah
Larik juga memiliki keterkaitan dengan lanskap di sekitarnya yang menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat seperti sawah, ladang, sungai, mata air,
pemakaman dan hutan. Lanskap budaya Rumah Larik terbentuk oleh pengaruh
sosial budaya masyarakat, filosofi kehidupan yang berorientasi pada alam, adat
istiadat dan kepercayaan (Hasibuan 2010).

Sumber: Dok. Pribadi (2014)

Gambar 1 Rumah Larik
Secara umum, lanskap budaya dibagi menjadi 3 kategori oleh UNESCO
(2005), yaitu designed landscape, organically evolved landscape, dan associative
landscape. Lanskap budaya Rumah Larik dapat dikategorikan ke dalam

2
organically evolved landscape dan associative landscape karena merupakan
lanskap yang terbentuk dan berkembang secara organik serta memiliki asosiasi
dengan budaya masyarakat dan elemen-elemen yang ada di alam. Menurut von
Droste et al. (1995) dalam Mitchell dan Buggey (2000), lanskap budaya
merupakan pertemuan antara alam dan budaya yang merepresentasikan interaksi
antara manusia dengan lingkungannya yang membentuk muka bumi ini. Seiring
dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang cepat, lanskap budaya menjadi
situs yang paling rapuh dan terancam di bumi ini.
Dalam perkembangannya, lanskap budaya Rumah Larik ini telah mengalami
degradasi baik secara biofisik maupun sosial budaya. Hal ini disebabkan oleh
faktor internal seperti kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
menjaga warisan sejarah dan budaya serta semakin lemahnya peraturan atau adat
istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Sementara dari faktor eksternal
disebabkan oleh pengaruh urbanisasi dan globalisasi yang sangat kuat, kurangnya
perhatian dan pengelolaan dari pemerintah, serta faktor alam seperti cuaca dan
bencana alam. Degradasi lanskap yang terjadi pada Rumah Larik ini antara lain,
semakin berkurangnya jumlah Rumah Larik yang memiliki arsitektur asli, bilikbilik padi sudah hilang, sawah dan ladang banyak yang mulai beralih fungsi
menjadi area terbangun, elemen-elemen bernilai sejarah dalam permukiman
mengalami kerusakan karena tidak dirawat dengan baik, bangunan komersil mulai
dibangun di area permukiman, berkurangnya integritas lanskap dari aspek estetika
dan arsitektural, dan sebagainya. Menurut McClean (2007), masalah pengelolaan
bisa bervariasi untuk setiap tempat atau area. Umumnya masalah yang terjadi
pada tempat atau area yang bernilai sejarah: kerusakan terhadap benda, struktur,
atau tempat bersejarah; hilangnya susunan atau tatanan struktur, tempat, dan tapak
bersejarah; ketidaksuaian pengembangan di sekitar maupun di dalam permukiman
tradisional; masalah akses terhadap tempat, tapak, dan struktur milik privat;
kerusakan yang disebabkan oleh vandalisme; pemasangan iklan, reklame, dan
signage yang tidak tepat; serta hilangnya koridor visual dan viewing point.
Sebagai suatu lanskap budaya, Rumah Larik memiliki nilai penting atau
signifikansi bagi masyarakat dan identitas budaya yang harus dijaga dan
dilestarikan. Budaya dan identitas tidak hanya sebuah hubungan sosial tetapi juga
hubungan spasial. Jika tidak dilakukan penilaian (assessment) terhadap lanskap
budaya Rumah Larik, maka dikhawatirkan nilai-nilai penting serta karakter
lanskap akan menghilang seiring berjalannya waktu dan ancaman (threat) yang
terus datang. Signifikansi budaya adalah nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial,
dan spiritual untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi
budaya tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya,
fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyekobyek terkait (Australia ICOMOS 1999). Menurut Antrop (2005) dalam
Stephenson (2008), pengembangan lanskap yang tidak sesuai akan dapat merubah
atau menghilangkan karakteristik lokal yang khusus dan makna budaya, membuat
pemisah antara masyarakat dan masa lalunya. Lanskap budaya Rumah Larik
dengan segala elemen pembentuknya merupakan rekaman sejarah kehidupan
masa lalu dan mencerminkan keragaman salah satu suku/masyarakat yang ada di
Indonesia. Keberadaan lanskap budaya ini merupakan aset bangsa yang sangat
berharga dan harus dilestarikan.

3
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian maka dapat dirumuskan tiga permasalahan penelitian antara lain:
1. bagaimana karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh?
2. seberapa pentingkah lanskap budaya Rumah Larik ini?
3. apa tindakan pelestarian yang tepat untuk melestarikan karakter serta nilai-nilai
penting yang dimilikinya?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. mengidentifikasi karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh,
2. menganalisis nilai penting lanskap budaya Rumah Larik, dan
3. memberi rekomendasi tindakan pelestarian yang sesuai untuk keberlanjutan
lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai evaluasi dan dasar pengelolaan
bagi masyarakat adat serta pemerintah Kota Sungai Penuh dalam upaya
melestarikan unsur-unsur dan wujud kebudayaan yang dimilikinya dalam lanskap
budaya Rumah Larik baik yang bersifat fisik (tangible) maupun non-fisik
(intangible). Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan pengetahuan masyarakat khususnya bagi para generasi muda
tentang nilai dan arti penting lanskap budaya Rumah Larik sebagai identitas
kebudayaan suku Kerinci dan masyarakat Kota Sungai Penuh.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah lanskap budaya di Kota Sungai Penuh
yang mencakup tiga kawasan permukiman yaitu Rumah Larik Enam Luhah,
Rumah Larik Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru. Pengamatan dan
analisis tidak hanya dilakukan terhadap permukiman Rumah Larik saja, tetapi
juga dilakukan pada lanskap di sekitar yang memiliki keterkaitan dengan
kehidupan dan budaya masyarakat yang tinggal di Rumah Larik ini seperti sungai,
lahan pertanian, hutan, dan sebagainya. Adapun batasan lanskap budaya Rumah
Larik ini adalah mencakup wilayah adat Depati nan Bertujuh, Kota Sungai Penuh.
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini tidak hanya bersumber dari
hasil studi pustaka dan survei lapang saja, tetapi juga dikumpulkan melalui
sumber-sumber lain yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan seperti
wawancara dan data dari dinas-dinas yang terkait. Narasumber untuk wawancara
dilakukan terhadap ketua adat, Depati dan Ninik Mamak, ahli sejarah dan
kebudayaan Kerinci, pejabat pemerintahan, serta masyarakat lokal.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada metode
untuk penilaian karakter dan signifikansi lanskap. Metode diadopsi dari metode
penilaian karakter lanskap menurut Swanwick (2002) dan penilaian karakter

4
estetika menggunakan metode Semantic Differential serta penilaian signifikansi
lanskap budaya menurut Australia ICOMOS (1999). Metode ini lalu dimodifikasi
serta disesuaikan untuk kasus lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh.
Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah karakter lanskap, nilai
signifikansi lanskap, dan rekomendasi pelestarian.

Kerangka Pikir
Pelestarian lanskap budaya Rumah Larik beserta nilai-nilai penting yang
dimilikinya dapat dilakukan dengan mengetahui karakter dan nilai pentingnya
melalui penilaian (assessment). Perubahan karakter akibat degradasi lanskap akan
mempengaruhi nilai penting dan bentuk tindakan pelestarian yang akan dilakukan.
Proses penilaian lanskap budaya ini mengacu pada UU No.11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya dan Piagam Burra Australia (Gambar 2).

Gambar 2 Kerangka pikir penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Budaya
Menurut UU No.11 tahun 2010, kawasan cagar budaya adalah satuan ruang
geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khusus. Smith (2004)
menyatakan bahwa lanskap budaya adalah suatu susunan gagasan atau ide dan
praktik yang tertanam di suatu tempat. Sedangkan menurut UNESCO (2005),
lanskap budaya adalah representasi dari kombinasi kerja antara alam dan manusia,
ilustrasi dari perkembangan umat manusia dan permukiman dari waktu ke waktu,
dibawah pengaruh tantangan fisik dan/atau kesempatan yang diberikan oleh
lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya, baik
eksternal maupun internal. Lanskap budaya adalah suatu area fisik yang memiliki
fitur alami dan elemen-elemen buatan akibat aktivitas manusia yang menghasilkan
pola-pola dalam lanskap, yang memberikan karakter khusus, mencerminkan
hubungan antara manusia terhadap lanskap (Lennon dan Mathews 1996).
Lanskap atau bentang alam memiliki sifat yang dinamis karena selalu
berubah dari waktu ke waktu. Perubahan lanskap ini bisa menuju ke arah yang
lebih baik namun juga bisa menuju ke arah perubahan yang lebih buruk.
Perubahan lanskap ke arah yang lebih buruk sering dikenal dengan istilah
degradasi lanskap. Degradasi lanskap ini biasanya disebabkan oleh faktor alam
dan manusia. Pada masa modern seperti saat ini, manusia menjadi pengaruh
dominan yang menyebabkan terjadinya degradasi lanskap. Seperti pernyataan
Golley (1990) dalam Naveh (1995), manusia merupakan organisme yang tidak
hanya melihat dan merasakan lanskap tetapi juga berinteraksi dengannya dalam
proses transaksional yang dinamis. Mengolah dan merawat alam hingga alam
tersebut sesuai bagi tempat hidup manusia bukan berarti bahwa alam takluk oleh
dominansi manusia (Ahrendt dalam Naveh 1995).

Landscape Character Assessment (LCA)
Karakter adalah suatu pola dari elemen-elemen lanskap yang berbeda,
konsisten dan dapat dikenali yang membuat satu lanskap berbeda dengan yang
lainnya. Karakteristik adalah elemen-elemen atau kombinasi elemen yang
memberi kontribusi terhadap perbedaan karakter. Elemen adalah komponenkomponen individu yang menghiasi lanskap seperti pohon, bangunan, dan
sebagainya. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi area-area yang memiliki
kesamaan karakter, mengklasifikasi dan memetakannya serta mendeskripsikan
karakternya.
Karakter lanskap adalah keseluruhan visual dan impresi budaya dari atributatribut lanskap atau penampilan fisik dan konteks budaya dari sebuah lanskap
yang memberikan suatu identitas dan sense of place. Karakter lanskap
memberikan image budaya dan visual pada suatu area geografis dan terdiri atas
kombinasi atribut fisik, biologi, dan budaya yang membuat setiap lanskap dapat
dikenali dan unik (USDA 1995).

6
Landscape Character Assessment (LCA) adalah suatu alat yang dapat
membuat kontribusi yang signifikan terhadap tujuan yang berhubungan dengan
perlindungan lingkungan dan penggunaan sumber daya secara bijaksana sebagai
pilar pembangunan berkelanjutan (Swanwick 2002). Dalam penilaian karakter
suatu lanskap, aspek estetika dan persepsi menjadi salah satu bagian yang penting
untuk dinilai. Estetika merupakan hal yang berkaitan erat dengan persepsi
seseorang terhadap suatu objek. Estetika lingkungan atau lanskap sebenarnya
bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal sejak abad ke-18. Namun,
estetika terhadap lingkungan maupun lanskap ini masih kurang mendapatkan
perhatian di Indonesia. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah melalui peraturan
daerahnya belum memasukkan aspek estetika lingkungan sebagai aspek yang
harus diperhatikan dan dilindungi. Nilai-nilai yang terdapat dalam estetika
lingkungan sangat mempengaruhi suatu bangsa, budaya, dan individu. Estetika
terhadap lanskap budaya di Indonesia belum mendapatkan apresiasi baik dari
masyarakat itu sendiri maupun dari pemerintah. Menurut Carlson (2009), nilai
estetika suatu lanskap budaya tidak hanya dilihat dari fisik luarnya saja (estetika
formal) tetapi juga memiliki nilai estetika yang tersirat di dalamnya (estetika
ekspresif) seperti makna, simbol, mistik, dan sebagainya.
Sejak tahun 1960, kepedulian dan perhatian terhadap isu-isu lingkungan
meningkat termasuk peraturan daerah di Amerika Serikat menyebabkan
munculnya kebutuhan akan metode untuk mengevaluasi keindahan atau estetika
lanskap. Para profesional arsitek lanskap berupaya menemukan berbagai macam
model untuk melakukan penilaian terhadap lingkungan (Gorski 2007). Menurut
Daniel (2001) dalam Kivanc (2013), kualitas visual lanskap adalah produk
bersama dari proses psikologi para pengamat (persepsi, kognisi, emosi) dalam
interaksinya dengan karakteristik visual lanskap yang terlihat jelas. Kivanc (2013)
menyatakan ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai kualitas visual
suatu lanskap. Pertama, pendekatan evaluasi yang berdasarkan pada opini ahli
(expert) dalam hal ini yaitu para ahli yang memahami nilai-nilai estetika
lingkungan. Pendekatan ini biasanya diaplikasikan pada pengelolaan lingkungan.
Pengalaman mempengaruhi respon, apresiasi, dan penilaian seseorang terhadap
estetika suatu lanskap (Brook 2013). Kedua, pendekatan evaluasi berdasarkan
pada persepsi user. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam proyek penelitian,
kegiatan akademik, dan sebagainya. Ketiga, pendekatan evaluasi dengan
mengkombinasikan atau mengintegrasikan preferensi user dan opini para ahli.
Pendekatan ini bisa digunakan dalam proyek, studi, atau manajemen lingkungan.
Teknik Semantic Differential (SD) adalah metode yang sesuai digunakan
untuk mengukur nilai emosional terhadap suatu produk. Metode ini sudah
dikembangkan dalam variasi konsep yang luas. SD sudah digunakan sebagai
instrumen dalam menilai desain furnitur jalan, kursi kantor, mobil, telepon
genggam, maskot dalam olahraga, dan juga terhadap arsitektur, desain
lingkungan, ergonomik dan desain produk untuk komersil. SD juga banyak
digunakan untuk menilai persepsi seseorang maupun suatu populasi terhadap
sebuah produk (Mondragon et al. 2005). Teknik SD ini pun juga dapat digunakan
untuk menilai persepsi seseorang atau populasi terhadap suatu lanskap.

7
Signifikansi Budaya
Menurut Australia ICOMOS (1999) dalam piagam Burra, signifikansi
budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual yang penting
untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi estetis tidak
hanya dibatasi pada visual saja tetapi juga estetika yang bisa dirasakan oleh panca
indera lainnya seperti suara dan aroma. Signifikansi historis berhubungan dengan
nilai dari suatu tempat yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian penting di
masa lalu. Signifikansi sosial yaitu terkait dengan nilai-nilai atau tempat-tempat
yang memiliki nilai penting bagi suatu masyarakat. Selain itu juga berhubungan
dengan aktivitas, budaya, serta norma yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan
signifikansi ilmiah terkait dengan potensi yang dimiliki oleh lanskap atau tempat
tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Signifikansi budaya itu tersirat
dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya,
maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait. Tempattempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan untuk generasi kini dan yang
akan datang.
Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, nilai penting yang
dimiliki oleh suatu cagar budaya yaitu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Namun, belum ada penjelasan dan
penjabaran secara rinci dalam peraturan pemerintah mengenai nilai-nilai penting
tersebut. Menurut Tanudirjo (2004) dalam Supriadi (2010), sebuah cagar budaya
memiliki nilai penting sejarah apabila cagar budaya tersebut menjadi bukti yang
berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan
erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam
bidang tertentu. Sementara memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila cagar
budaya tersebut berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab
masalah-masalah dalam berbagai bidang seperti arkeologi, antropologi, arsitektur,
dan bidang ilmu lainnya. Nilai penting kebudayaan apabila cagar budaya tersebut
dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan
budaya, atau menjadi jati diri bangsa atau komunitas tertentu.
Pearson dan Sullivan (1995) dalam Awat (2011) menyatakan 5 nilai penting
yang dimiliki oleh suatu sumberdaya budaya atau cagar budaya yaitu nilai penting
estetika, arsitektural, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Nilai penting estetika
didasarkan pada kemampuan untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan,
membangkitkan perasaan khusus dan makna tertentu bagi masyarakat, rasa
ketertarikan, dan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Nilai penting
arsitektural didasarkan pada kemampuan untuk mencerminkan keindahan seni
rancang bangun yang khas, penggunaan bahan, gaya rancang bangun, serta
teknologi. Nilai penting ilmu pengetahuan berdasarkan pada ketersediaan data
atau informasi untuk melakukan penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan
baru. Sementara nilai penting sosial meliputi kemampuan untuk menumbuhkan
perasaan rohaniah (spiritual dan kebanggaan) dan perasaan budaya lainnya bagi
kelompok tertentu.
Berdasarkan berbagai definisi dan pengelompokan nilai penting di atas,
maka dapat diketahui bahwa nilai penting menurut Piagam Burra sudah mencakup
semua nilai penting yaitu terdiri atas nilai penting estetis, historis, ilmiah, sosial
atau spiritual. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai signifikansi

8
suatu lanskap budaya adalah metode Cultural Heritage Landscape Assessment
yang mengacu pada metode penilaian Heritage Victoria Landscape Assessment.
Metode ini digunakan untuk menilai signifikansi lanskap budaya yang ada di
Victoria, Australia. Metode ini juga mengacu pada piagam Burra yang ditetapkan
pada tahun 1999 di Burra, Australia. Hasil dari penilaian signifikansi ini dapat
bermanfaat untuk proses registrasi warisan budaya (cultural heritage), kegiatan
perencanaan, rencana pengelolaan, dan penilaian warisan budaya lainnya.

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi lanskap budaya Rumah Larik Kota
Sungai Penuh, Provinsi Jambi yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik
Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 3). Kegiatan penelitian
dilakukan selama 9 bulan mulai dari bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014.

Gambar 3 Lokasi penelitian
Jenis dan Sumber Data
Data-data yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini untuk menilai
karakter lanskap, karakter estetika, dan nilai penting lanskap yaitu data
kesejarahan, data biofisik, data sosial, budaya, ekonomi, dan data pengelolaan.
Data-data tersebut diperoleh melalui studi pustaka, observasi lapang, dan
wawancara terhadap beberapa narasumber yang terpercaya (Tabel 1).

9
Tabel 1 Jenis dan sumber data yang diperlukan
No.
1

2

3

4

Jenis Data
Data Kesejarahan:
- sejarah Kerinci
- sejarah Rumah Larik
- sejarah lanskap/elemen lanskap
- sejarah budaya dan masyarakat Kerinci
Data Bio-Fisik:
- peta administrasi Kota Sungai Penuh
- peta landuse dan sejarah landuse
- peta landform, geologi, landcover, dsb.
- peta sejarah kota/kawasan
- citra satelit
- geologi, tanah, landform, hidrologi/drainase, vegetasi
- sistem sirkulasi
- kondisi fisik lanskap budaya Rumah Larik
- elemen-elemen lanskap budaya
- visual
Data Sosial, Budaya, Ekonomi:
- kependudukan
- suku bangsa
- aktivitas budaya/tradisi/seni
- adat istiadat

Data Pengelolaan:
- status kepemilikan
- pengelola
- sistem/teknis pengelolaan
- kebijakan/peraturan pemerintah
- rencana pemerintah, RTRW/RTRK

-

-

Sumber
Dinas Pariwisata
Studi pustaka
Ahli sejarah
Ketua/lembaga
adat
Tokoh masyarakat
BAPPEDA
BPN
Kantor Kelurahan
Pengamatan
Masyarakat lokal
Internet
Studi pustaka

Kantor
Kecamatan
Dinas
Kependudukan
Dinas Pariwisata
Masyarakat lokal
Pengamatan
Studi pustaka
Ketua/lembaga
adat
Dinas Pariwisata
Masyarakat lokal
Studi pustaka

Prosedur Analisis Data
Ada 3 jenis metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA). Prosedur analisis dari masingmasing metode ini dijelaskan sebagai berikut:
Landscape Character Assessment (LCA)
Penilaian karakter lanskap budaya Rumah Larik dilakukan dengan metode
LCA (Swanwick 2002). Pada metode ini dilakukan beberapa modifikasi dalam
tahapan prosesnya menyesuaikan dengan topik yang diteliti. Metode ini terdiri
dari 4 tahap:
Tahap 1, meliputi kegiatan persiapan yaitu menentukan ruang lingkup seperti,
menentukan objek dan tujuan analisis, menentukan skala objek yang di analisis,
data-data yang diperlukan beserta sumbernya, dan pihak-pihak yang terkait
dengan kegiatan penilaian ini.

10
Tahap 2, kegiatan pengumpulan data sekunder seperti data geologi, landform,
hidrologi/drainase, tanah, landcover/vegetasi (Natural factors); serta data landuse,
permukiman, batas-batas, dan sejarah (Cultural/social factors).
Tahap 3, melakukan kegiatan survei lapang untuk pengambilan data yang meliputi
aspek estetika dan persepsi. Pada tahap ini dilakukan pengambilan data berupa
sampel foto yang akan digunakan untuk penilaian estetika. Pengambilan sampel
foto untuk penilaian estetika dilakukan dengan menentukan titik-titik terbaik atau
vantage points terlebih dahulu pada peta ketiga Rumah Larik. Selain itu, juga
dilakukan pengamatan (groundcheck) kesesuaian data sekunder dengan kondisi
aktual di lapangan. Kegiatan survei lapang ini membutuhkan beberapa peralatan
seperti kamera digital untuk dokumentasi, alat tulis dan papan jalan, dan peta
lokasi penelitian.
Tahap 4, meliputi kegiatan klasifikasi dan deskripsi karakter lanskap berdasarkan
analisis terhadap semua data yang telah dikumpulkan. Output dari proses ini yaitu,
peta tipe karakter lanskap, deskripsi tipe karakter lanskap, area karakter lasnkap,
dan identifikasi karakteristik kunci lanskap (key characteristics). Peta tipe
karakter lanskap diolah menggunakan laptop jenis Toshiba Satellite L505D
dengan perangkat lunak Adobe Photoshop CS3, dan program pendukung grafis
lainnya. Karakter setiap lanskap Rumah Larik ini masing-masing dijabarkan
dalam bentuk poin-poin sehingga dapat dengan mudah diketahui persamaan
maupun perbedaannya.
Semantic Differential (SD)
Metode Semantic Differential (SD) digunakan untuk mengukur atau menilai
reaksi responden terhadap konsep atau kata-kata stimulus melalui rating pada
skala bipolar yang dibatasi oleh kata sifat (adjectives) yang berlawanan. Konsep
atau kata sifat yang digunakan dapat berupa situasi, kondisi, setting lingkungan
atau lanskap, dan sejenisnya. Adapun prosedur penilaian estetika berdasarkan
metode SD antara lain sebagai berikut:
1. Menentukan topik, tujuan, dan objek yang dinilai. Dalam kasus ini yang akan
dinilai dengan menggunakan metode SD adalah karakter estetika lanskap
budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh yang terdiri atas Rumah Larik
Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru.
2. Mempersiapkan kuesioner SD yang terdiri dari kata-kata bipolar. Kata-kata
bipolar dipilih berdasarkan topik yang akan dinilai. Pada penelitian ini topik
yang akan dinilai yaitu karakter estetika lanskap budaya Rumah Larik. Katakata bipolar yang sudah dipilih selanjutnya diseleksi kembali dengan cara
eliminasi untuk menentukan kata-kata bipolar yang paling tepat dan sesuai
dengan topik untuk digunakan dalam penilaian. Melalui seleksi ini maka
terpilihlah 12 kata bipolar yang paling tepat untuk digunakan dalam penilaian
(Tabel 2). Setiap kata bipolar dibatasi dengan 7 skala penilaian mulai dari (-3)
yang paling rendah, 0 untuk nilai yang netral, dan (+3) untuk nilai tertinggi.

11
Tabel 2 Kata-kata bipolar untuk penilaian SD
Kata-kata Bipolar
No.
Negatif
Positif
K1
Buruk
Indah
K2
Modern
Tradisional
K3
Profan
Sakral
K4
Semrawut
Harmoni
K5
Biasa
Unik
K6
Lemah
Kuat
K7
Tidak penting
Penting/bernilai
K8
Palsu
Asli
K9
Baru
Lama/Antik
K10
Pasif
Aktif/Hidup
K11
Rusak
Terpelihara
K12
Membosankan
Menarik
3. Menentukan responden penilai. Responden yang digunakan dalam penilaian
karakter estetika lanskap budaya ini bisa menggunakan pendekatan menurut
Kivanc (2013) yaitu menurut persepsi para ahli, user, atau kombinasi antara
persepsi ahli dan user. Pada penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan
adalah penilaian oleh responden ahli. Teknik pengambilan sampel dilakukan
secara purposif (purposial sampling), sampel ditetapkan secara sengaja oleh
peneliti dan didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu (Faisal 2008).
Responden ahli yang dipilih sebagai sampel adalah mahasiswa Departemen
Arsitektur Lanskap program Sarjana dan Pascasarjana. Responden ini dipilih
karena dianggap telah memiliki pemahaman terhadap nilai estetika lanskap.
Responden ahli bisa lebih mendalam dalam menilai karena mereka memiliki
banyak pengetahuan, pengalaman, dan kepekaan yang kuat dalam menilai
suatu lanskap (Porteous 1996). Jumlah responden yang digunakan dalam
penilaian berjumlah 30 orang (n = 30).
4. Mempersiapkan sampel foto objek atau lanskap yang dinilai. Jumlah sampel
foto yang diambil harus mewakili gambaran umum lanskap secara keseluruhan.
Foto yang diambil adalah foto bagian lanskap Rumah Larik dari ketiga lokasi
pengamatan. Foto yang dijadikan sampel berjumlah 30 foto, yang terbagi
menjadi 14 foto dari Rumah Larik Enam Luhah, 12 foto dari Rumah Larik
Pondok Tinggi, dan 4 foto dari Rumah Larik Dusun Baru (Lampiran 2).
Perbandingan jumlah sampel foto 14 : 12 : 4 tersebut diperoleh berdasarkan
pertimbangan dan perhitungan luas area permukiman. Rumah Larik Enam
Luhah memiliki luas area permukiman sekitar 59 926.25 m2, Rumah Larik
Pondok Tinggi sekitar 55 667.88 m2, dan Rumah Larik Dusun Baru seluas 10
306.58 m2. Teknik pengambilan foto untuk sampel yaitu dengan menentukan
lokasi vantage points pada peta kawasan. Penentuan lokasi vantage points
dilakukan berdasarkan hasil LCA yang menghasilkan area karakter lanskap
yaitu area yang memiliki karakter paling kuat dalam lanskap budaya Rumah
Larik. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan foto di lapangan dengan
menggunakan kamera DSLR Nikon tipe D3100 dengan lensa standar 18-55
mm. Foto yang digunakan dalam penilaian ini adalah foto berwarna. Kamera
diatur dengan ukuran gambar 3456x2304 pixel (medium) dan pengaturan

12
lainnya agar setiap foto yang diambil memiliki kualitas gambar yang sama.
Waktu pengambilan foto di lapangan dilakukan pada pukul 09.00 hingga 14.00
karena dianggap sebagai waktu dengan penyinaran matahari yang baik.
5. Penilaian oleh responden dilakukan secara bersama-sama. Responden
dikumpulkan dalam sebuah ruangan dan diberikan kuesioner SD yang sudah
disiapkan. Sebelum penilaian dimulai, dilakukan simulasi penilaian dengan
menggunakan 2 sampel foto yang ditampilkan melalui LCD. Simulasi ini
bertujuan agar responden menjadi lebih familiar dengan kata-kata bipolar yang
digunakan. Setelah simulasi selesai dilakukan, maka langsung dilanjutkan
dengan proses penilaian. Foto lanskap sebanyak 30 foto ditayangkan melalui
LCD secara acak. Responden diminta untuk menilai dalam waktu 4 detik untuk
setiap kata bipolar sehingga untuk menilai 1 buah foto membutuhkan waktu 48
detik.
6. Hasil dari penilaian setiap responden ini kemudian diolah dan dianalisis secara
deskriptif dan statistik. Uji statistik yang digunakan adalah uji KMO-MSA dan
Bartlett. Uji lanjutnya menggunakan analisis biplot untuk mengetahui korelasi
atau hubungan antar variabel dan analisis faktor (factor analysis) untuk
mereduksi sejumlah variabel menjadi variabel baru yang jumlahnya lebih
sedikit yang dapat mewakili variabel asalnya. Proses analisis ini menggunakan
laptop dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007, Minitab 16, SPSS 17 dan
Microsoft Word 2007. Dari metode ini dihasilkan kesimpulan mengenai
karakter estetika untuk mendukung penilaian karakter lanskap budaya Rumah
Larik.
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA)
Metode Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA) digunakan untuk
menilai signifikansi/nilai penting dari suatu lanskap budaya. Metode ini diadaptasi
dari Heritage Victoria Landscape Assessment Guidelines dalam Heritage Council
of Victoria (2009). Adapun proses penilaian berdasarkan metode ini yaitu dengan
cara mengumpulkan informasi tentang lanskap melalui survei lapang, penelusuran
sejarah, sumber primer, fotografi dan koleksi seni, direktori dan buku yang
relevan, wawancara sejarah (oral history interviews), dan pengetahuan masyarakat
lokal. Pengumpulan data-data ini akan memerlukan beberapa peralatan seperti alat
tulis, kamera digital dan voice recorder.
Setelah data-data terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi
nilai dari lanskap budaya (cultural heritage values) dan melakukan pembobotan
berdasarkan kriteria kelangkaan, keunikan, dan keaslian. Mengacu pada piagam
Burra, maka ada 4 kriteria utama yang harus diidentifikasi dan dinilai untuk
signifikansi lanskap budaya yaitu estetika, sejarah, sosial atau spiritual, dan ilmiah
(Tabel 3). Skor hasil pembobotan lalu dijumlahkan dan dibuat interval kelas untuk
mengetahui tingkat signifikansinya. Tingkat signifikansi akan dibagi menjadi 3
yaitu signifikansi rendah, sedang, dan tinggi. Langkah terakhir yaitu
mendeskripsikan nilai penting (significant) lanskap budaya tersebut berdasarkan
hasil pembobotan dari setiap kriteria. Adapun rumus yang digunakan untuk
menentukan interval kelas menurut Selamet (1983) dalam Anggraeni (2011)
adalah sebagai berikut:

13
Interval Kelas (IK)

= Skor maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi)
Jumlah Kategori

Signifikansi Tinggi
Signifikansi Sedang
Signifikansi Rendah

= SMi + 2IK + 1 sampai SMa
= SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK)
= SMi sampai SMi + IK

Tabel 3 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya
No
1

2

Kriteria
Estetikab
a. Landusea

Skor
Sedang (2)

Tinggi (3)

Terjadi perubahan
penggunaan lahan
>50%

Terjadi perubahan
penggunaan lahan
sebesar 25-50%

Terjadi perubahan
penggunaan lahan
50%
oleh rumah bergaya
arsitektur modern

Didominasi >50%
oleh rumah semi
modern tapi tetap
memiliki
corak/gaya
tradisional

Didominasi >50%
oleh rumah yang
memiliki gaya
arsitektur
tradisional dan
keaslian

c. Elemen lanskap

Keaslian elemen
baik bentuk,
material, dan
letaknya 75%

d. Integritas/Unitya

Lanskap tidak
memiliki
kesatuan/unity dan
karakternya tidak
harmonis dengan
lingkungan sekitar

Lanskap memiliki
unity dan integritas
karakter yang
lemah dengan
sekitarnya

Lanskap memiliki
unity yang kuat dan
karakter yang
harmonis dengan
sekitarnya

Terdapat hanya satu
elemen bersejarah
dengan umur >50
tahun

Terdapat 2-5
elemen bersejarah
dengan umur >50
tahun

Terdapat lebih
dari 5 elemen
bersejarah dengan
umur >50 tahun

Tidak terdapat area
atau tempat yang
memiliki nilai
sejarah kejadian
penting di masa lalu

Terdapat area atau
tempat bersejarah di
masa lalu namun
saat ini sudah
berubah fungsi

Area atau tempat
bersejarah masih
dipertahankan dan
terdapat landmark
/penanda

Area/ruang dan
aktivitas sosial
budaya masyarakat
sudah tidak ada lagi

Aktivitas sosial
budaya masyarakat
masih berjalan
namun area atau
ruang untuk
beraktivitas sudah
tidak ada atau
sebaliknya

Masih terdapat
area atau tempat
penting bagi
masyarakat dalam
melakukan
aktivitas sosial
budaya

Sejarahb
a. Elemen lanskapa

b. Area/ruanga

3

Rendah (1)

Sosial/Spiritualb
a. Area/ruang

14

4

b. Norma/aturan adat

Setidaknya masih
terdapat satu norma
atau aturan adat
yang masih
dijalankan oleh
masyarakat

Beberapa norma
atau aturan adat
sudah mulai
ditinggalkan oleh
masyarakat

Norma atau
aturan adat masih
sepenuhnya
dijalankan oleh
masyarakat

c. Tradisi budaya

Masyarakat sudah
sepenuhnya
meninggalkan
tradisi adat yang
mengandung nilai
spiritual

Nilai spiritual
dalam tradisi
masyarakat mulai
menghilang/hanya
dilakukan oleh
sebagian
masyarakat

Masyarakat
umumnya masih
melakukan tradisi
ritual adat pada
acara tertentu

Aktivitas atau
kearifan lokal yang
bernilai pendidikan
sudah hilang

Masih terdapat
aktivitas atau
kearifan lokal yang
bernilai pendidikan
namun sudah mulai
hilang

Terdapat kearifan
lokal yang
dipertahankan dan
berpotensi bagi
pengembangan
ilmu pengetahuan

Tidak ada elemen
yang memiliki nilai
pengetahuan/ilmiah

Hanya beberapa
elemen saja yang
memiliki nilai
pengetahuan yang
tinggi

Setiap elemen
memiliki nilai
pengetahuan yang
tinggi sehingga
dapat bermanfaat
bagi pendidikan

Ilmiahb
a. Aktivitas

b. Elemen lanskap

[Dimodifikasi dari Harris dan Dines (1988)a dan Australia ICOMOS (1999)]b.
Hasil dari analisis terhadap karakter dan signifikansi lanskap budaya ini
kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menghasilkan rekomendasi tindakan
pelestarian untuk diterapkan pada lanskap budaya Rumah Larik ini sesuai dengan
tingkat signifikansinya. Tindakan pelestarian ini tetap memperhatikan tatanan,
fungsi atau penggunaan, interpretasi, pengelolaan, dan pengembangan ke
depannya. Tindakan pelestarian yang akan digunakan mengacu pada Piagam
Burra yaitu, perubahan (change), pemeliharaan (maintenance), preservasi
(preservation), restorasi (restoration), rekonstruksi (reconstruction), adaptasi
(adaptation), penambahan (new work), melestarikan fungsi (conserving use),
mempertahankan asosiasi dan makna (retaining association and meanings), dan
interpretasi (interpretation). Piagam Burra digunakan karena piagam ini
merupakan sebuah model adaptif yang dapat disesuaikan secara budaya pada
pengelolaan tapak beberapa tempat di dunia (Mason 2008). Sementara
berdasarkan UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bentuk tindakan
pelestariannya yaitu perlindungan yang meliputi penyelamatan, pengamanan,
pemeliharaan, pemugaran; pengembangan meliputi penelitian, revitalisasi, dan
adaptasi; serta pemanfaatan.

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kota Sungai Penuh
Kota Sungai Penuh terletak pada posisi geografis antara 101°14’32” sampai
101°27’31” Bujur Timur dan 02°01’40” sampai 02°14’54” Lintang Selatan. Kota
Sungai Penuh memiliki luas keseluruhan 39 150 ha, yang terdiri atas Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas 23 178 ha (59.2%) dan permukiman serta
lahan budidaya seluas 15 972 ha (40.8%). Kota Sungai Penuh merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Kerinci pada tahun 2008 sesuai dengan ketentuan UU
No. 25 Tahun 2008. Pada awal pemekaran, Kota Sungai Penuh terbagi menjadi 5
Kecamatan yaitu Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Hamparan Rawang,
Kecamatan, Tanah Kampung, Kecamatan Kumun Debai, dan Kecamatan Pesisir
Bukit. Pada tahun 2012, sesuai Peraturan Daerah Kota Sungai Penuh No. 13, 14,
dan 15 maka Kota Sungai Penuh dibagi lagi menjadi 8 Kecamatan (Tabel 4).
Terdapat 3 kecamatan baru yaitu Kecamatan Pondok Tinggi dan Kecamatan
Sungai Bungkal yang merupakan pecahan dari Kecamatan Sungai Penuh, serta
Kecamatan Koto Baru yang merupakan pecahan dari Kecamatan Pesisir Bukit.
Tabel 4 Luas kecamatan di Kota Sungai Penuh tahun 2013
No

Luas (ha)

Kecamatan
Wilayah

1 Tanah Kampung

TNKS

Hunian/budidaya

1 100

-

1 100

Kumun Debai
Sungai Penuh
Pondok Tinggi
Sungai Bungkal

14 200
335
9 095
11 095

10 834
4 600
7 167

3 366
335
4 495
3 928

6 Hamparan Rawang
7 Pesisir Bukit

1 215
2 110

83

1 215
2 027

164

-

164

39 150

23 178

15 972

2
3
4
5

8 Koto Baru
Total

Secara administratif, Kota Sungai Penuh berbatasan langsung dengan
Kabupaten Kerinci di sebelah Utara, Timu