Strategi Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif dan Semi Intensif Desa Tawali Kecamatan Wera Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat

RINGKASAN
NURUL JANNAH. D14080016. 2012. Strategi Pengembangan Sapi Bali (Bos
javanicus) pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif dan Semi Intensif Desa Tawali
Kecamatan Wera Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Ir. Hj. Komariah, M. Si.
: Ir. Dwi Joko Setyono, MS.

Sapi bali merupakan salah satu ternak asli Indonesia. Sapi bali banyak
dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia. Nusa Tenggara Barat merupakan
salah satu propinsi yang mengembangkan sapi bali. Nusa Tenggara Barat sebagai
Bumi Sejuta Sapi (NTB-BSS) merupakan program yang dicanangkan oleh Gubernur
NTB untuk mendukung program pemerintah swasembada daging nasional pada
tahun 2014. Daerah-daerah yang berada di NTB diharapkan dapat mendukung
program ini. Salah satunya adalah Desa Tawali di Kabupaten Bima. Sapi bali di Desa
Tawali dipelihara dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif.
Meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan lahan untuk pemukiman dan

pertanian menjadikan ancaman bagi pengembangan sapi bali di desa ini. Strategi
pengembangan sapi bali dengan pemeliharaan ekstensif dan semi intensif dibutuhkan
untuk mendukung secara optimal program NTB-BSS.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun strategi pengembangan sapi
bali (Bos javanicus) pada sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif di Desa
Tawali, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini
dilakukan di Desa Tawali, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat
pada bulan Juli 2011 hingga Agustus 2011 dengan jumlah peternak yang dijadikan
responden sebanyak 42 orang peternak yang memelihara sapi bali dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan 16 orang peternak yang memelihara sapi bali dengan
sistem pemeliharaan semi intensif. Strategi pengembangan sapi bali dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif disusun menggunakan analisis SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats).
Strategi yang diperoleh dari analisis SWOT untuk pengembangan sapi bali
dengan sistem pemeliharaan ekstensif diantaranya adalah dengan pembelian bibit
sapi bali dari bantuan pinjaman modal dari pemerintah dan pihak swasta,
pembuatan hay, menggunakan lahan tegalan untuk penanaman HMT (Hijauan
Makanan Ternak) yang berkualitas dan membentuk kelompok peternak. strategi
pengembangan sapi bali dengan sistem pemeliharaan semi intensif diantaranya
adalah pembuatan gudang penyimpanan pakan, mengadakan pelatihan pengolahan

pakan, pencatatan reproduksi ternak dan kesehatan ternak melalui kerjasama dengan
pemerintah, kerjasama pengadaan pakan antara anggota kelompok dan melakukan
pertemuan rutin untuk bertukar informasi terkait ternak antar anggota kelompok.
Kata-kata kunci: sapi bali, NTB, sistem pemeliharaan, strategi pengembangan

ABSTRACT
Development Strategy of Bali Cattle (Bos javanicus) In Extensive and Semi
Intensive Farming System in Tawali Village Subdistrict Wera
Bima Regency West Nusa Tenggara
Jannah, N, Komariah, D. J. Setyono
West Nusa Tenggara has a program called “Bumi Sejuta Sapi” (NTB BSS). The
highest population cattle in NTB was bali cattle. Tawali village in NTB was one of
village which developed bali cattle in two farming system. Farming system in Tawali
village were extensive and semi intensive. The aims of this study arranged
development strategy of bali cattle in two diferrent farming system. Primary data
obtained from 42 farmers who farmed with extensive farming systems and 16
farmers who farmed in semi intensive. Secondary data obtained from the village
government and related agencies. The Strategies formula of development bali cattle
with extensive farming system is purchase breed of bali cattle from the government
and the private sector, making hay, using moor for the cultivation of forage with

good quality and forming groups of farmers. The strategies formula of development
bali cattle with semi intensive farming system is making a warehouse for food
storage, organize training about recording of reproduction animal and recording
about animal health with cooperation with the government, cooperation between
members of the group to supply forage and meet regularly to exchange information
between members of the group.
Keywords: cattle bali, NTB, system maintenance, development strategy

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi bali merupakan salah satu ternak asli Indonesia. Sapi bali merupakan
ternak dwiguna yang sering digunakan sebagai ternak pekerja dan ternak sumber
penghasil daging. Sapi bali banyak dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia.
Daerah-daerah yang mengembangkan sapi bali diantaranya adalah daerah Sulawesi,
Nusa Tenggara, Bali dan Kalimantan. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan
diantaranya adalah memiliki fertilitas yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan
baik pada lingkungan beriklim tropik. Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah
satu propinsi yang mengembangkan dan memelihara sapi bali. Kemampuan adaptasi
yang baik dari sapi bali pada kondisi lingkungan yang kering


(merupakan

karakteristik kondisi alam propinsi NTB) menjadikan sapi bangsa ini tepat untuk
dikembangkan di daerah NTB.
Nusa Tenggara Barat sebagai Bumi Sejuta Sapi (NTB-BSS), merupakan
salah satu program yang dicanangkan oleh Gubernur NTB. Program ini dimaksudkan
untuk mendukung adanya program swasembada daging nasional pada tahun 2014.
Daerah-daerah yang berada di NTB diharapkan dapat mendukung program ini
dengan memaksimalkan potensi lokal. Kota dan kabupaten yang memiliki potensi
dioptimalkan sebagai daerah pengembangan sapi. Salah satu Desa yang
mengembangkan sapi bali di Kabupaten Bima adalah Desa Tawali. Desa Tawali
merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Wera, Kabupaten Bima,
Nusa Tenggara Barat. Desa ini memiliki luas 2900 ha dengan suhu rata-rata desa
27,61 oC dengan suhu terendah 21,3 oC dan suhu tertinggi 36,1 oC dengan
kelembaban

udara rata-rata 75,58%. Curah hujan di Desa Tawali adalah 757

mm/tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Lama bulan kering 8 bulan-9 bulan dan
lama bulan basah 3 bulan-4 bulan (Pemerintah Kabupaten Bima, 2012). Sapi bali

merupakan satu-satunya bangsa sapi yang dipelihara oleh masyarakat di

Desa

Tawali. Pemeliharaan sapi bali di desa ini menggunakan dua sistem pemeliharaan
yakni sistem pemeliharaan secara ekstensif dan sistem pemeliharaan secara semi
intensif.
Meningkatnya kebutuhan akan lahan yang digunakan untuk lahan pertanian
dan pemukiman bagi penduduk, penyakit yang menyerang sapi bali serta kualitas

hijauan yang rendah pada musim kemarau menjadi ancaman bagi pengembangan
sapi bali di Desa Tawali. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menyusun strategi pengembangan sapi bali baik yang dipelihara dengan sistem
pemeliharaan ekstensif maupun sistem pemeliharaan semi intensif.
Strategi diperoleh dari hasil analisis faktor internal dan eksternal dari suatu
usaha yang dilakukan untuk mengantisipasi adanya perubahan lingkungan. Analisis
faktor internal dan faktor eksternal dari usaha pemeliharaan sapi bali di Desa Tawali
dilakukan untuk menyusun strategi pengembangan sapi bali guna mengoptimalkan
Desa Tawali dalam mendukung program NTB sebagai Bumi Sejuta Sapi.
Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun strategi pengembangan sapi
bali (Bos javanicus) pada sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif di Desa
Tawali, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Bali
Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah
bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa
provinsi di Indonesia bagian Barat (Talib et al., 2003). Menurut data yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Peternakan (2011) rumpun sapi potong yang
terbanyak dipelihara di Indonesia adalah rumpun sapi bali mencapai 4,8 juta ekor
(32,31%). Pada Negara berkembang beternak sapi bali dapat menjadi salah satu
industri utama yang dapat memperbaiki sektor ekonomi dari negara tersebut (Rouse,
1969).

Gambar 1. Sapi Bali Jantan
Sumber : Direktorat Jendral Peternakan (2012)


Gambar 2. Sapi Bali Betina
Sumber : Direktorat Jendral Peternakan (2012)

Sapi bali merupakan bangsa sapi yang memiliki fertilitas tinggi meskipun
berada pada kondisi kekurangan nutrisi pakan dan mampu beradaptasi pada
lingkungan yang kurang baik (Toelihere, 2003). Sapi bali memiliki keistimewaan
dalam hal daya reproduksi, persentase karkas serta kualitas daging, tetapi memiliki
keterbatasan dalam hal kecepatan pertumbuhan dan ukuran bobot badan (Diwyanto
dan Priyanti, 2008).
Karakteristik fisik dari sapi bali diantaranya adalah memiliki ukuran badan
sedang, berdada dalam, seringkali memiliki warna bulu merah, warna keemasan dan
coklat tua namun warna ini tidak umum. Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam. Pada
bagian lutut ke bawah berwarna putih dan terdapat warna putih di bawah paha dan
bagian oval putih yang amat jelas pada bagian pantatnya. Ciri fisik lainnya yang
dapat ditemui pada sapi bali adalah terdapatnya suatu garis hitam yang jelas, dari
bahu dan berakhir di atas ekor. Warna bulu menjadi coklat tua sampai hitam pada
saat mencapai dewasa. Pada waktu lahir anak-anaknya yang jantan atau betina
keduanya memiliki warna bulu keemasan sampai warna coklat kemerah-merahan
dengan bagian warna terang yang khas pada bagian belakang kaki (Williamson dan
Payne, 1993).

Sapi ini merupakan hasil domestikasi dari banteng, dengan rata-rata berat
pejantan 360 kg dan berat betina rata-rata 270 kg. Pada pejantan yang dikastrasi akan
terjadi perubahan warna bulu menjadi lebih gelap setelah 4 bulan dilakukan kastrasi,
sedangkan pada betina yang telah berumur 1 tahun akan memiliki warna bulu
berwarna coklat (Rouse, 1969). Sapi bali mencapai dewasa kelamin pada umur
berkisar antara 12 bulan-24 bulan (Fordyce et al., 2003). Umur kawin pertama pada
sapi bali yang dianjurkan yakni pada umur 14 bulan-22 bulan (Toelihere, 1977).
Aspek reproduksi lainnya pada sapi bali diantaranya adalah tingkat kelahiran
yang merupakan salah satu aspek penting dalam usaha peternakan. Kondisi yang
paling baik adalah seekor induk mampu menghasilkan satu anak setiap tahunnya
(Ball dan Peters, 2004). Bamualim dan Wirdahayati (2003) menyebutkan bahwa sapi
bali di Nusa Tenggara Barat memiliki nilai tingkat kelahiran anak sebesar 75%-90%.
Tingkat kelahiran dihitung dari jumlah anak dibagi jumlah total sapi betina dewasa
dalam satu tahun (Martojoyo, 2003). Kematian anak pada sapi bali dipengaruhi oleh
beberapa faktor di Nusa Tenggara Timur. Penyebab kematian anak sapi bali adalah

4

kesulitan makanan pada musim kemarau panjang, persediaan yang kurang atau tidak
cukup dan adanya parasit (Mallessy et al, 1990). Persentase kematian anak sapi bali

di daerah Sumbawa adalah sebesar 7%-31% dan di daerah Lombok 2%-14%
(Bamualim dan Wirdahayati, 2003). Umur sapi bali beranak untuk pertama kali
adalah 2 tahun, hal ini bergantung pada pakan yang diberikan (Toelihere, 1981).
Parakkasi (1999) menyebutkan bahwa dalam prakteknya induk beranak pertama kali
pada umur 3 tahun, hal ini tergantung pada bangsa ternak, pemberian pakan pada
ternak dan pengelolaan lainnya.
Sistem Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan di Indonesia terdiri dari pemeliharaan secara ekstensif,
intensif dan semi intensif. Pemeliharaan secara ekstensif didefinisikan sebagai sistem
pemeliharaan ternak, dimana ternak dipelihara secara bebas, merumput yang tumbuh
secara alam atau tanaman yang tidak dipakai untuk keperluan pertanian (Williamson
dan Payne, 1993). Sistem pemeliharaan ekstensif ternak dilepas di padang
penggembalaan yang terdiri dari beberapa ternak jantan dan betina (Graser, 2003).
Pada sistem pemeliharaan ini aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan
penggemukan dilakukan di padang penggembalaan. Keuntungan dari sistem
pemeliharaan ini adalah biaya produksi yang sangat minim (Parakkasi, 1999). Pada
pemeliharaan ekstensif nutrisi yang berasal dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak
digunakan sebesar 65%-85% untuk kebutuhan hidup pokok. Ternak mencapai bobot
potong yang lebih lama yakni 3 tahun-6 tahun (Parakkasi, 1999).
Sistem


pemeliharaan

secara

intensif

didefinisikan

sebagai

sistem

pemeliharaan ternak, dimana ternak dipelihara dengan sistem kandang yang dibuat
secara khusus (Williamson dan Payne, 1993). Pengertian sistem pemeliharaan
intensif lainnya dijelaskan oleh Parakkasi (1999) sebagai pemeliharaan hewan ternak
dengan dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan secara
cut and carry. Sistem pemeliharaan lainnya yakni sistem pemeliharaan semi intensif,
seringkali disebut dengan sistem pemeliharaan campuran. Pada sistem pemeliharaan
ini petani biasanya memelihara beberapa ekor ternak sapi dengan maksud

digemukkan dengan bahan makanan yang ada di dalam atau di sekitar usaha
pertanian (Parakkasi, 1999).

5

Strategi Pengembangan
Strategi didefinisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan (Rangkuti, 1997).
Siagian (2008) menjelaskan strategi merupakan cara yang akan digunakan suatu
perusahaan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ingin dicapai. Suatu strategi
harus merupakan hasil dari analisis kekuatan, kelemahan yang terdapat pada suatu
perusahaan dan berbagai kemungkinan peluang yang akan timbul serta ancaman
yang akan dihadapi. Strategi menentukan keunggulan kompetitif jangka panjang
(David, 2009).
Strategi pada suatu perusahaan dapat dikembangkan untuk mengatasi
ancaman eksternal dan merebut peluang yang ada. Perencanaan strategis merupakan
proses analisis, perumusan dan evaluasi dari strategi-strategi yang telah dibuat dari
suatu perusahaan. Tujuan dari perencanaan strategis ini adalah agar perusahaan dapat
melihat secara obyektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan
dapat mengantisipasi perubahan eksternal. Perencanaan strategis merupakan hal
penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dengan dukungan yang optimal dari
sumber daya yang dimiliki (Rangkuti, 1997).
Analisis Lingkungan Internal
Strategi harus memperhitungkan secara realistik dari kemampuan perusahaan
dalam menyediakan berbagai daya, sarana, prasarana dan dana yang dibutuhkan
untuk menjalankan strategi tersebut (Siagian, 2008). David (2009) menjelaskan
bahwa kekuatan dan kelemahan yang termasuk dalam lingkungan internal
merupakan aktivitas terkontrol suatu organisasi yang mampu dijalankan dengan
sangat baik atau buruk. Penilaian kekuatan dan kelemahan didasarkan pada:
1. Manajemen
Manajemen merupakan suatu sistem yang mengatur suatu organisasi.
Manajemen ini terdiri dari lima aktivitas pokok diantaranya adalah perencanaan,
pengorganisasian, penempatan staf dan pengkontrolan.
2. Pemasaran
Pemasaran didefinisikan sebagai proses pendefinisian, pengantisipasian,
penciptaan, serta pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen akan produk
dan jasa. Fungsi dari pemasaran diantaranya adalah analisis konsumen, penjualan
6

produk, perencanaan produk dan jasa, penetapan harga, distribusi, riset pemasaran
dan analisis peluang.
3. Keuangan
Menentukan kekuatan dan kelemahan kondisi keuangan pada suatu organisasi sangat penting, hal ini disebabkan kondisi keuangan digunakan untuk
merumuskan strategi secara efektif. Kondisi keuangan pada suatu organisasi kerap
kali dianggap sebagai ukuran tunggal terbaik posisi kompetitif perusahaan sebagai
daya tarik bagi investor.
4. Produksi
Fungsi dari operasi pada suatu usaha mencakup seluruh aktivitas yang
mengubah input (masukan) menjadi barang atau jasa (output). Manajemen
produksi menangani masukan, transformasi dan keluaran yang beragam dari satu
industri dan pasar ke industri dan pasar yang lain.
5. Penelitian dan pengembangan
Organisasi yang menjalankan strategi pengembangan produk perlu memiliki
orientasi penelitian dan pengembangan yang kuat. Penelitian dan pengembangan
dilakukan untuk mengembangkan produk-produk baru untuk meningkatkan
kualitas produk.
6. Sistem informasi manajemen
Informasi menghubungkan semua fungsi bisnis dan menyediakan landasan
bagi semua keputusan manajerial. Tujuan dari sistem informasi manajemen adalah
untuk meningkatkan kinerja sebuah bisnis dengan cara meningkatkan kualitas
keputusan manajerial. Sistem informasi manajemen yang efektif mengumpulkan,
mengkodekan, menyimpan, mensintesa dan menyajikan informasi.
Analisis Lingkungan Eksternal
Lingkungan

eksternal

merupakan

faktor-faktor

yang

berada

diluar

kemampuan suatu organisasi untuk mengendalikannya. Penilaian yang dilakukan
secara simultan terhadap lingkungan eksternal dari suatu perusahaan akan
memungkinkan teridentifikasinya peluang yang mungkin timbul dan dapat
dimanfaatkan (Siagian, 2008). Pearce dan Robinson (2009) membagi lingkungan
eksternal ini ke dalam tiga sub kategori diantaranya adalah faktor-faktor dalam
lingkungan jauh, lingkungan industri, dan lingkungan operasional. Lingkungan jauh
7

terdiri dari berbagai kekuatan dan kondisi yang timbul terlepas dari suatu
perusahaan. Kekuatan dan kondisi tersebut dapat bersifat politik, ekonomi, teknologi,
keamanan, hukum, sosial budaya, pendidikan dan kultur dari masyarakat.
Lingkungan industri memiliki dampak pada kegiatan-kegiatan operasional organisasi
seperti situasi persaingan dan situasi pasar yang memberikan pengaruh pada
pemilihan alternatif strategi yang diperkirakan mendukung organisasi mencapai
tujuannya (Siagian, 2008). Lingkungan operasional dipengaruhi oleh daya saing dari
perusahaan. Lingkungan operasional terdiri dari pelanggan, pesaing, pemasok,
kreditor dan tenaga kerja (Pearce dan Robinson, 2009).
Analisis SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Threats)
Pengembangan sapi bali dengan sistem pemeliharaan yang berbeda di Desa
Tawali dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi usaha sapi bali
sehingga dapat disusun strategi pengembangan yang dapat dilakukan untuk
pengembangan ternak sapi bali di desa ini. Penyusunan strategi dapat dilakukan
dengan analisis SWOT. Analisis SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities,
Threats) merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara
sistematik untuk merumuskan strategi dengan memaksimalkan kekuatan (strengths)
dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 1997). Analisis SWOT
merupakan salah satu metode yang popular digunakan untuk menghasilkan suatu
strategi, hal ini didasari asumsi bahwa strategi yang efektif diperoleh dari faktorfaktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan
ancaman) (Pearce dan Robinson, 2009).
Alat yang dapat digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis yakni
matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi agar dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki. Penggunaan matrik ini dapat menghasilkan empat
kemungkinan alternatif

strategi yang dapat digunakan diantaranya adalah : (1)

strategi SO yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk
merebut dan memanfaatkan peluang yang ada dengan sebesar-besarnya. (2) Strategi
ST yakni strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman yang ada.

8

(3) Strategi WO yakni memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan
kelemahan yang ada. (4) Strategi WT yakni strategi berusaha meminimalkan
kelemahan yang ada untuk menghindari adanya ancaman (Rangkuti, 1997). David
(2009) menjelaskan terdapat delapan langkah dalam membentuk sebuah matriks
SWOT diantaranya adalah:
1. Membuat daftar peluang-peluang eksternal utama perusahaan
2. Membuat daftar ancaman-ancaman eksternal utama perusahaan
3. Membuat daftar kekuatan-kekuatan internal utama perusahaan
4. Membuat daftar kelemahan-kelemahan internal utama perusahaan
5. Menyesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal sehingga
diperoleh strategi SO
6. Menyesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal sehingga
diperoleh strategi WO
7. Menyesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal sehingga
diperoleh strategi ST
8. Menyesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal sehingga
diperoleh strategi WT

9

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 hingga Agustus 2011di Desa
Tawali Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Materi
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari peternak sapi bali
yang berada di Kecamatan Wera, Kabupaten Bima. Peternak yang diwawancarai
berjumlah 58 peternak yang terdiri dari 42 peternak yang menerapkan sistem
pemeliharaan ekstensif dan 16 peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan semi
intensif. Data sekunder diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Bima, Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bima dan Dinas Pemerintah Desa Tawali. Alat yang
digunakan adalah borang kueisioner, alat tulis dan alat dokumentasi.
Metode
Responden dalam penelitian dipilih berdasarkan metode purposive sampling
dimana ditetapkan beberapa kriteria yakni: (1) merupakan penduduk Desa Tawali;
(2) memiliki sapi bali; (3) memelihara sapi bali dengan sistem pemeliharaan
ekstensif atau semi intensif; (4) bersedia diwawancarai. Teknik pengumpulan data
berdasarkan observasi dan wawancara dengan menggunakan kuisioner.
Rancangan dan Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan umum Desa
Tawali berupa keadaan topografi, keadaan demografi, manajemen pemeliharaan,
serta profil Desa Tawali.
Analisis SWOT (Rangkuti, 1997)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui aspek internal berupa kelemahan
dan kekuatan. Aspek eksternal berupa peluang dan ancaman ketika akan
merencanakan pengembangan sapi bali di Desa Tawali. Penyusunan perencanaan

strategi terdapat beberapa tahapan yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan
tahap pengambilan keputusan.
Data diidentifikasi dan diklasifikasikan sebagai faktor internal atau faktor
eksternal pada usaha peternakan sapi bali yang dipelihara dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Data yang telah diidentifikasi dan
diklasifikasikan kemudian disusun ke dalam tabel IFAS (Internal Strategic Factor
Analysis Summary) dan tabel EFAS (Eksternal Strategic Factor Analysis Summary)
untuk merumuskan faktor-faktor strategis internal dan strategis eksternal dari usaha
peternakan sapi bali. Tahapan dari pembuatan tabel IFAS dan EFAS ini adalah
sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan sebagai faktor-faktor dalam
pembuatan tabel IFAS dan peluang dan ancaman sebagai faktor-faktor dalam
pembuatan tabel EFAS dari usaha peternakan

sapi

bali

ditempatkan

pada

kolom pertama.
2. Faktor-faktor tersebut kemudian diberikan bobot masing-masing dengan skala 1
(paling penting) hingga 0 (tidak penting), penentuan bobot ini didasarkan
pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap usaha sapi bali. Pembobotan faktorfaktor ini ditempatkan pada kolom kedua.
3. Pada kolom ketiga ditempatkan nilai rating dari faktor-faktor yang diperoleh
dengan memberikan skala mulai dari angka 4 (paling berpengaruh) hingga 1(tidak
berpengaruh) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap usaha sapi bali di
Desa Tawali.
4. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh nilai
pembobotan pada kolom 4. Matriks IFAS dan EFAS dapat dilihat pada Tabel 1
dan Tabel 2.

11

Tabel 1. Matriks Evaluasi Internal (IFAS)
No. Faktor Internal

Bobot (B)

Rating (R)

Nilai (BxR)

Kekuatan (Strenght) :

Kelemahan (Weakness) :

Total

Tabel 2. Matriks Evaluasi Eksternal (EFAS)
No. Faktor Eksternal

Bobot (B)

Rating (R)

Nilai (BxR)

Peluang (Opportunities) :

Ancaman (Threats) :

Total
Faktor-faktor yang berpengaruh pada usaha kemudian disususun kedalam
matrik SWOT untuk menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi
peternak sehingga dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
peternak dalam menjalankan usaha sapi bali ini. Matrik ini dapat menghasilkan
empat alternatif strategis seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Posisi usaha dari sapi bali yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan
ekstensif dan semi intensif di Desa Tawali dapat dilihat pada matrik Grand Strategy.
Matrik Grand Strategy diperoleh dari total nilai matriks IFAS dan EFAS. Matrik
Grand Strategy dapat dilihat pada Gambar 3.

12

Tabel 3. Matriks SWOT (Rangkuti, 1997)
Faktor
Strengths (S)
Internal Faktor-faktor kekuatan
usaha sapi bali

Weakness (W)
Faktor-faktor kelemahan
usaha sapi bali

Faktor
Eksternal
Opportunities (O)
Faktor-faktor peluang usaha
sapi bali

Strategi SO
Strategi yang memanfaatkan
kekuatan untuk
memanfaatkan peluang

Strategi WO
Strategi yang memanfaatkan
peluang dengan
meminimalkan kelemahan

Threats (T)
Faktor-faktor ancaman
usaha sapi bali

Strategi ST
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk menghindari
ancaman

Strategi WT
Strategi yang meminimalkan
kelemahan untuk
menghindari ancaman

Peluang
IV
Turnaround

I
Agresif

Kelemahan

Kekuatan

III
Defensif

II
Diversifikasi
Ancaman

Gambar 3. Matrik Grand Strategy
Sumber : Rangkuti (1997)

Keterangan :
Kuadran I

: Strategi agresif yakni pengembangan dengan memanfaatkan kekuatan
secara optimal untuk meraih peluang yang ada.

Kuadran II : Strategi diversifikasi yakni pengembangan dengan memanfaatkan
kekuatan secara optimal untuk menghindari ancaman yang ada.
Kuadran III : Strategi defensif yakni pengembangan dengan melakukan usaha-usaha
defensif serta menghindari ancaman.
Kuadran IV : Strategi

turnaround

memanfaatkan

peluang

yakni
yang

strategi
ada

pengembangan
dengan

cara

dengan
mengatasi

kelemahan-kelemahan yang dimiliki.

13

Analisis Sifat Reproduksi
Sifat reproduksi dianalisis berdasarkan data hasil wawancara. Sifat reproduksi
sapi bali yang dianalisis adalah umur pubertas yaitu umur organ-organ reproduksi
mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi, umur kawin pertama yakni umur
pertama kali sapi bali dikawinkan, persentase kematian anak, umur induk melahirkan
pertama, persentase tingkat kelahiran anak yang dihitung dari jumlah anak dibagi
jumlah total sapi betina dewasa dalam satu tahun dan rasio jantan dan betina.
Uji-t
Uji t digunakan untuk membandingkan sifat-sifat reproduksi sapi bali yang
dipelihara dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Walpole (1997)
merumuskanya sebagai berikut:

Keterangan :



X1 : merupakan nilai rata-rata perlakuan 1
X2 : merupakan nilai rata-rata perlakuan 2
n1

: jumlah sampel 1

n2

: jumlah sampel 2

S

: simpangan baku

Do : selisih dua rataan yang berbeda

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Desa Tawali
Desa Tawali merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Wera,
Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Tawali merupakan Ibukota Kecamatan
Wera. Desa Tawali terletak 35 m dari permukaan laut (DPL). Desa Tawali memiliki
luas wilayah sebesar 2900 ha. Batas-batas wilayah desa Tawali ini diantaranya
sebagai berikut:
Sebelah Selatan

: Desa Nunggi

Sebelah Timur

: Desa Oitui

Sebelah Utara

: Desa Hidirasa

Sebelah Barat

: Desa Wora

Keadaan Demografi dan Topografi (Potensi Wilayah)
Jumlah penduduk Desa Tawali berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010)
terdiri atas 2277 jiwa laki-laki dan 2505 jiwa perempuan. Jumlah Kepala Keluarga
(KK) di Desa Tawali sebanyak 1273 jiwa. Berdasarkan keadaan topografi Desa
Tawali memiliki luas wilayah sebesar 2900 ha. Lahan yang terdapat di desa ini
diusahakan untuk ditanami tanaman padi, kacang tanah dan bawang merah. Pola
tanam yang dilakukan masyarakat desa selama satu tahun adalah padi-padi-palawija
dan pola tanam lainnya yakni padi-padi-bawang merah. Desa ini merupakan salah
satu desa yang berada di Kecamatan Wera yang menyuplai kacang tanah dan bawang
merah yang menempatkan Kecamatan Wera sebagai urutan pertama penghasil
kacang tanah dan urutan ke tiga kecamatan penghasil bawang merah.

Iklim

merupakan salah satu hal penting untuk diketahui pada suatu daerah. Iklim
merupakan gabungan dari beberapa elemen diantarannya adalah suhu, kelembaban,
curah hujan, pergerakan angin, radiasi, tekanan udara dan ionisasi (Williamson dan
Payne, 1993). Suhu rata-rata desa ini adalah 27,61 oC dengan suhu terendah 21,3 oC
dan suhu tertinggi 36,1 oC dengan kelembaban udara rata-rata 75,58%. Kecepatan
angin rata-rata per tahun sebesar 3,5 m/s. Luas tegalan 1020 ha dan luas perkebunan
101 ha (Badan Pusat Statistik, 2010).

Karakteristik Usaha Ternak Sapi Bali
Motivasi peternak merupakan salah satu aspek penting pada suatu usaha
peternakan. Motivasi peternak yang paling banyak dalam menjalankan usaha ternak
sapi bali di Desa Tawali adalah sebagai tabungan masa depan dan menambah
penghasilan. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sudrajat dan Pambudy
(2003) bahwa peternak tradisional lebih memilih ternak sebagai alternatif usaha
menyimpan dana. Hadiyanto (2007) menjelaskan bahwa salah satu ciri peternakan
skala kecil adalah ternak dimanfaatkan sebagai tabungan.
Bahan pakan adalah sesuatu yang dapat dikonsumsi oleh ternak, dicerna dan
diserap dengan baik sebagian atau seluruhnya tanpa menimbulkan keracunan pada
ternak yang bersangkutan (Sukria dan Krisnan, 2009). Berlimpahnya limbah
pertanian dan luasnya ladang penggembalaan ternak di desa ini membuat biaya yang
dikeluarkan oleh peternak dalam mengusahakan sapi bali menjadi kecil. Penggunaan
pakan berupa limbah pertanian dan biaya produksi yang rendah menunjukkan bahwa
usaha sapi bali di Desa Tawali merupakan peternakan skala kecil dan tradisional. Hal
ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hadiyanto (2007) yang menyatakan
bahwa peternakan dengan skala yang kecil memiliki ciri-ciri diantaranya adalah
berkesinambungan karena didukung oleh sumber daya lokal yang dapat diperbahrui,
terjadi pendaurulangan limbah pertanian campuran yang terintegrasi, biaya pakan
rendah, kandang dan peralatan menggunakan bahan lokal, biaya produksi rendah dan
dimanfaatkan sebagai tabungan.
Peternak sapi bali di Desa Tawali rata-rata memiliki sapi bali sebanyak 1-5
ekor dengan persentase 50% untuk peternak yang memelihara ternaknya dengan
sistem pemeliharaan ekstensif dan sebesar 93,75% untuk peternak yang memelihara
ternaknya dengan sistem pemeliharaan semi intensif. hal ini menunjukkan bahwa
Desa Tawali merupakan peternakan dengan skala kecil. Bamualim dan Tiesnamurti
(2009) menyatakan bahwa peternakan sapi potong didominasi oleh peternak dengan
skala kecil dengan rata-rata kepemilikan ternak sebanyak 2-3 ekor sapi/KK. Jumlah
kepemilikan sapi bali peternak di Desa Tawali dapat dilihat pada Tabel 4.

16

Tabel 4. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Bali
Jumlah Ternak Sapi Bali
(Ekor)
1 ekor-5 ekor
6 ekor- 10 ekor
>10 ekor
Jumlah

Persentase

Jumlah Responden
Ekstensif

Semi Intensif

Ekstensif

Semi Intensif

21
14
7
42

15
1
0
16

50
33,33
16,67
100

93,75
6,25
0
100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Analisis Lingkungan Internal Pemeliharaan Sapi Bali
Lingkungan internal merupakan aktivitas terkontrol suatu organisasi (David,
2009). Analisis faktor-faktor internal dibutuhkan untuk menganalisis sistem
pemeliharaan sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif untuk
memberikan penilaian kondisi internal dari usaha pemeliharaan sapi bali dengan
sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Berdasarkan analisis lingkungan
internal pemeliharaan sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi
intensif dapat dibagi menjadi empat bagian diantaranya adalah manajemen
pemeliharaan sapi bali pada masing-masing sistem pemeliharaan, pemasaran sapi
bali, keuangan dari peternak sapi bali untuk masing-masing sistem pemeliharaan dan
sumber daya manusia untuk usaha pemeliharaan sapi bali dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif.
Manajemen Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan sapi bali di Desa Tawali dilakukan dengan dua sistem
pemeliharaan yakni sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Manajemen
pemeliharaan untuk masing-masing sistem pemeliharaan dijelaskan sebagai berikut:
Ekstensif. Pemeliharaan sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif dilakukan
dengan melepas sapi ke padang penggembalaan tanpa dikandangkan. Ternak
melakukan aktivitas seperti makan, kawin dan beranak di padang penggembalaan.
Sistem pemeliharaan ini dapat digolongkan kedalam sistem pemeliharaan ekstensif
sebagaimana yang dikemukakan oleh Parakkasi (1999) yang menyatakan bahwa
sistem pemeliharaan ekstensif merupakan sistem peliharaan dimana ternak
melakukan aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan di

17

padang penggembalaan. Peternak melakukan pengontrolan ternak sebanyak 1-2 kali
dalam satu bulan. Peternak memberikan tambahan mineral berupa garam dapur pada
ternak yang dipelihara pada saat melakukan pengontrolan ternak.
Bibit sapi bali diperoleh peternak dari peternak lainnya yang berada di Desa
Tawali atau desa lain yang berada disekitar desa. Pencatatan ternak tidak dilakukan
oleh peternak. Sebagian peternak sapi bali memberikan tanda berupa sobekan telinga
untuk membedakan dengan sapi bali milik peternak lain dan sebagian lainnya
memberikan tanda berupa kalung yang dipasangkan di leher ternak.
Pakan sapi bali dengan sistem pemeliharaan ini bergantung pada ketersediaan
alam. Rumput lapang merupakan sumber pakan dari ternak selain beberapa legum
pohon dan daun-daunan tanaman yang berada di sekitar ladang penggembalaan.
Berdasarkan pakan yang dikonsumsi oleh sapi bali ini dapat dikategorikan pada
sistem pemeliharaan ekstensif. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pada siste m
pemeliharaan ekstensif ternak menggantungkan sepenuhnya sumber pakan pada
padang penggembalaan.
Sapi bali yang dipelihara sulit mendapatkan penanganan kesehatan jika ternak
terserang penyakit. Hal ini disebabkan oleh lokasi padang penggembalaan yang jauh
dari pemukiman milik peternak. Kondisi ini akan merugikan peternak sebagaimana
yang dijelaskan oleh Williamson dan Payne (1993) bahwa penyakit pada ternak
merupakan faktor pembatas keuntungan bagi peternak. Produksi ternak akan
berkurang sebanyak 15-20 persen jika terserang penyakit.
Semi intensif. Sistem pemeliharaan lainnya yang diterapkan peternak yakni sistem
pemeliharaan semi intensif. Sistem pemeliharaan secara semi intensif ini merupakan
sistem pemeliharaan yang baru diterapkan di Desa Tawali. Sistem ini dilakukan oleh
sekelompok peternak yang tergabung dalam kelompok peternak yang dibentuk oleh
seorang SMD (Sarjana Membangun Desa). Ternak dipelihara dalam sebuah kandang
sederhana yang terletak di sekitar rumah peternak masing-masing dengan bentuk
kandang kelompok yang terdiri dari beberapa ekor ternak. Ternak dilepas pada pagi
hari sekitar jam 07.00 dan dikandangkan kembali pada jam 17.00.
Kandang merupakan salah satu aspek penting dalam suatu usaha peternakan,
hal ini disebabkan fungsi dari kandang itu sendiri yang dapat melindungi ternak dari
perubahan cuaca yang ekstrim. Fungsi kandang diantaranya adalah melindungi

18

ternak dari perubahan cuaca atau iklim, melindungi ternak dari penyakit, menjaga
ternak dari pencurian, memudahkan pengelolaan ternak dalam proses produksi
seperti pemberian pakan, minum dan perkawinan serta meningkatkan efisiensi
penggunaan tenaga kerja (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara
Barat, 2010). Kandang akan memberikan pengaruh pada kesehatan ternak
(Masudana, 1990). Atap kandang terbuat dari rumbia dan terpal. Dinding terbuat
dari kayu hutan dan bambu, sedangkan lantai kandang masih berupa tanah. Keadaan
kandang terbuka tanpa adanya penghalang bagi angin dan cahaya matahari yang
masuk. Tempat pakan bagi ternak terbuat dari ban bekas yang dibalik di letakkan
dalam naungan kandang. Air minum disediakan dalam beberapa ember yang
ditempatkan dalam naungan kandang. Jenis kandang yang digunakan pada
pemeliharaan semi intensif merupakan jenis kandang kelompok yang terdiri dari
beberapa ekor ternak selain itu beberapa responden menggabungkan ternak lain
berupa kuda ke dalam kandang sapi.

Gambar 4. Kandang Sapi Bali
Kebersihan kandang merupakan salah satu aspek yang diperhatikan oleh
peternak di Desa Tawali. Rata-rata peternak membersihkan kandang mereka minimal
satu kali setiap harinya yakni pada pagi setelah ternak dilepas dari kandang.
Peralatan kandang merupakan salah satu alat pendukung dalam suatu usaha
peternakan. Peralatan yang digunakan peternak dalam menjalankan usaha peternakan
diantaranya adalah sapu, sekop dan sabit.
Pakan yang diberikan berupa rumput lapang, jerami padi dan jerami kacang
tanah selain itu peternak memberikan tambahan pakan yang berupa dedak padi.
Pemberian pakan ini dilakukan untuk menunjang pemenuhan nutrisi pada ternak

19

yang dilepas pada rentang waktu tertentu. Pemberian dedak padi diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dari sapi bali yang dipelihara. Paat dan Winugroho
(1990) melaporkan bahwa produktivitas sapi bali yang dipelihara di pedesaan dapat
ditingkatkan dengan pemberian dedak padi sebagai pakan tambahan.
Alasan peternak memberikan pakan berupa jerami padi dan jerami kacang
tanah adalah karena ketersediaannya yang berlimpah.

Jerami padi memiliki

kekurangan sebagai sumber pakan diantaranya adalah kandungan lignin yang tinggi
menyebabkan ikatan lignin-selulosa dan lignin-hemiselulosa sangat kuat, sehingga
hidrolisis enzimatis mikroba didalam rumen sapi sangat rendah derajatnya.
Kandungan lignin yang tinggi ini menyebabkan penurunan daya cerna jerami padi
sebagai pakan sapi (Hargono, 2004). Pakan berupa limbah pertanian diperoleh dari
sawah peternak. Pengangkutan pakan dari tempat pengambilan pakan ke kandang
dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda dua. Frekuensi pemberian pakan
dilakukan secara terus menerus sehingga ketersedian pakan di dalam kandang selalu
tersedia. Tempat pemberian pakan terbuat dari ban luar bekas kendaraan roda dua.
Beberapa tempat pakan diletakkan dalam kandang. Hal ini dilakukan untuk
menghindari ternak berebut pakan. Air minum untuk ternak selalu tersedia di dalam
kandang.
Peternak memberikan pengenal berupa sobekan pada telinga dan kalung pada
sapi bali untuk membedakan dengan ternak milik peternak lainnya. Williamson dan
Payne (1993) menjelaskan bahwa peternak sebaiknya memberikan tanda agar
memudahkan dalam mengidentifikasi ternak yang dimilikinya. Bibit sapi bali
berasal dari bantuan pemerintah melalui program SMD. Setiap peternak yang
tergabung dalam kelompok mendapatkan bibit sapi bali berupa satu ekor pejantan
dan dua ekor betina.
Penanganan penyakit merupakan aspek lain pada manajemen pemeliharaan.
Peternak sapi bali yang memelihara dengan sistem pemeliharaan semi intensif tidak
mengalami kesulitan dalam penanganan ternak, hal ini terkait lokasi pemeliharaan
sapi bali yang berada di sekitar rumah peternak. Kemudahan dalam penanganan
kesehatan sapi bali yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan semi intensif
menjadikan kekuatan bagi sistem pemeliharaan dengan sistem ini.

20

Pencatatan ternak merupakan aspek lainnya dari manajemen pemeliharaan
sapi. Pencatatan berfungsi untuk memudahkan dalam pengenalan pada ternak yang
dipelihara, memudahkan dalam penanganan, perawatan dan pengobatan pada ternak
dan menunjang pelaksanaan program tatalaksana yang lebih baik. Pada peternak
yang memelihara sapi bali dengan sistem pemeliharaan semi intensif pencatatan
ternak dilakukan namun belum dilakukan secara optimal.
Pemasaran Sapi Bali
Sapi bali yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi
intensif dijual sendiri oleh peternak pada para pengumpul ternak yang datang ke
Desa

Tawali.

Pengumpul

ternak

terlebih

dahulu

akan

memberitahukan

kedatangannya pada para peternak beberapa hari sebelum kedatangannya pada
peternak. Informasi kedatangan pengumpul kemudian disebarkan dari mulut ke
mulut antara peternak yang berada di Desa Tawali. Selain dijual kepada pengumpul
ternak sapi bali juga dijual kepada warga desa lainnya yang datang langsung ke
rumah peternak. Hasil penelitian dari Sukardono et al. (2009) menunjukkan sebagian
besar (73,1%) penjagal membeli sapi hidup langsung dari peternak. sebanyak 25,2%
membeli dari pasar hewan dan 1,7% dar kelompok-kelompok peternak. Penjagal
memotong sapi di Rumah Pemotongan Hewan kecamatan/kabupaten/kota dan
menjual daging langsung ke pelanggan perorangan 58,7%, ke pasar 38,5% dan ke
restoran-restoran 2,9%. Saluran tata niaga sapi di NTB menunjukkan bahwa
subsistem hilir pada agribisnis sapi potong belum berkembang dan masih tradisional.
Tidak ada perbedaan harga antara sapi bali yang dipelihara dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Harga sapi bali dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif tidak berdasarkan bobot badan namun
dinilai berdasarkan penampilan fisik. Harga jual sapi bali dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif berkisar antara Rp 3.000.000 – 6.500.000/
ekor bergantung pada umur dan kondisi fisik sapi bali yang dipelihara.
Keuangan
Modal adalah faktor penting bagi seseorang yang akan memulai beternak
sapi (Masudana, 2009). Aspek modal juga tidak dapat dipisahkan pada usaha

21

pemeliharaan sapi bali di Desa Tawali dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan
semi intensif.
Ekstensif. Modal usaha peternak sapi bali yang menerapkan sistem pemeliharaan
secara ekstensif berasal dari dana pribadi peternak. Peternak tidak mengeluarkan
biaya pakan, biaya pembuatan pakan dan biaya peralatan. Hal ini menjadikan salah
satu kekuatan bagi sistem pemeliharaan sapi bali dengan sistem pemeliharaan
ekstensif. Biaya pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam suatu usaha
peternakan. Mariyono dan Romjali (2007) menjelaskan bahwa biaya pakan dapat
mencapai 60%-80% dari keseluruhan biaya produksi.
Semi intensif. Pemeliharaan sapi bali dengan sistem pemeliharaan semi intensif
tidak mengeluarkan biaya pembelian bibit. Hal ini disebabkan peternak mendapatan
bantuan bibit dari pemerintah melalui program SMD. Biaya yang dikeluarkan oleh
peternak berupa biaya pengangkutan pakan yang berasal dari limbah pertanian.
Pakan diangkut dari sawah milik peternak. Biaya lainnya adalah biaya perawatan
ternak jika terdapat ternak yang sakit.
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dapat dilihat dari karakteristik umur, tingkat
pendidikan dan mata pencaharian. Karakteristik tersebut dijabarkan sebagai berikut:
Umur. Berdasarkan umur peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan secara
ekstensif sebagian besar berumur 25 tahun-40 tahun dengan persentase sebesar
59,52% dan diikuti dengan peternak yang berumur lebih dari 40 tahun sebanyak 17
responden dengan persentase 40,48%. Umur peternak yang menerapkan sistem
pemeliharaan semi intensif sebanyak 2 orang responden memiliki umur kurang dari
25 tahun dengan persentase sebesar 12,5%. Sebanyak 7 orang responden yang
berumur berkisar antara 25 tahun-40 tahun dengan persentase 43,75% sedangkan
responden yang berumur diatas 40 tahun yang mererapkan sistem pemeliharaan semi
intensif sebanyak 7 orang responden dengan persentase sebesar 43,75%.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa peternak yang
memelihara sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intesif berada
pada usia produktif. Badan Pusat Statistik (2010) mengelompokkan usia penduduk

22

menjadi 3 kelompok diantaranya adalah usia belum produktif (0 tahun-14 tahun),
usia produktif (15 tahun-65 tahun) dan usia tidak produktif (66 tahun keatas).
Tingginya jumlah peternak yang berada pada usia produktif akan memberikan
pengaruh pada produktivitas kerja. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Pasaribu
(2007) bahwa usia akan mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Hal ini
didasarkan bahwa produktivitas kerja akan mengalami penurunan dengan semakin
bertambahnya usia seseorang. Sebaran umur peternak sapi bali di Desa Tawali dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran Umur Peternak Sapi Bali di Desa Tawali
Jumlah Responden
Umur Peternak (Tahun)

Persentase

Ekstensif

Semi Intensif

Ekstensif

Semi Intensif

0
25
17
42

2
7
7
16

0
59,52
40,48
100

12,5
43,75
43,75
100

40
Jumlah
Sumber : Data yang diolah (2011)

Tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan aspek lainnya yang diamati
pada penelitian ini. Tingkat pendidikan menggambarkan tingkat pengetahuan,
wawasan dan pandangan seseorang. Tingkat pendidikan yang memadai transfer
teknologi akan mudah terlaksana sehingga dapat memacu pengembangan teknologi
pada tingkat petani (Kanro et al., 2002). Sebagian besar tingkat pendidikan peternak
sapi bali di Desa Tawali yang memelihara ternaknya dengan sistem pemeliharaan
ekstensif adalah lulusan SD dengan persentase 50% dan diikuti oleh peternak yang
tidak tamat SD dengan persentase 47,62%.
Peternak yang memelihara sapi bali dengan sistem pemeliharaan secara semi
intensif tidak tamat SD sebanyak 75%, sebanyak 62,5% untuk peternak yang lulus
SD dan SLTP dan diikuti dengan responden yang menyelesaikan pendidikan formal
pada tingkat SLTA sebesar 12,5%. Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada
Tabel 6.

23

Tabel 6. Sebaran Tingkat Pendidikan Peternak Sapi Bali
Persentase

Jumlah Responden
Tingkat Pendidikan
Tidak Tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Jumlah

Ekstensif
20
21
0
1
42

Semi Intensif
12
1
1
2
16

Ekstensif
47,62
50
0
2,38
100

Semi Intensif
75
6,25
6,25
12,5
100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Mata pencaharian. Mata pencaharian utama masyarakat desa Tawali ini didominasi
oleh petani, kemudian Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pedagang dengan skala kecil.
Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani mengusahakan lahannya untuk
tanaman padi, kacang tanah, dan bawang merah. Petani yang berada di Desa Tawali
sebagian besar memiliki usaha sambilan yakni beternak. Beternak sebagai usaha
sampingan merupakan karakteristik dari peternak di Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Bamualim dan Wirdahayati
(2003) bahwa peternakan merupakan salah satu sumber penghasilan bagi peternak
namun merupakan usaha sambilan selain bertani. Ternak yang dipelihara oleh
penduduk Desa Tawali diantaranya adalah sapi bali, kerbau, ayam, kambing, kuda
dan itik. Jumlah ternak di daerah ini dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Populasi Ternak Desa Tawali

1.607

Populasi NTB
(ribu ekor)
685.810

566

105.391

30

77.282

Kambing

412

457.735

5.

Domba

135

29.924

6.

Ayam Buras

6.627

4.578.526

No Ternak
1.

Sapi

2.

Kerbau

3.

Kuda

4.

Populasi (ekor)

Sumber : Pemerintah Desa Tawali (2011)

24

Lama beternak. Lama beternak merupakan faktor lain yang diamati pada penelitian
ini. Peternak yang memelihara sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif
memiliki pengalaman beternak yang tinggi yakni rata-rata ≥8 tahun. Peternak yang
memelihara sapi bali dengan sistem pemeliharaan semi intensif memiliki pengalaman
beternak yang kurang yakni rata-rata kurang dari ≤4 tahun. Lama beternak ini
menunjukkan keterampilan dari peternak. Febrina dan Liana (2008) menyatakan
bahwa pengalaman beternak yang cukup lama pada peternak dapat menunjukkan
bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan
ternak memiliki kemampuan yang lebih baik.
Berdasarkan analisis lingkungan internal diperoleh faktor-faktor internal yang
terdiri dari kekuatan serta kelemahan dari pemeliharaan sapi bali dengan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif di Desa Tawali. Faktor-faktor kekuatan dan
kelemahan pada pemeliharaan sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif
diantaranya adalah:
1. Peternak tidak mengeluarkan biaya pakan, kandang dan peralatan
2. Tingkat kelahiran anak tinggi (96,37%)
3. Pengalaman beternak tinggi (≥8 tahun)
Kelemahan dari sistem pemeliharaan sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif
diantaranya adalah :
1. Peternak kesulitan mengontrol ternak
2. Tidak ada pencatatan reproduksi
3. Lahan yang luas dibutuhkan untuk padang penggembalaan
Sedangkan lingkungan internal berupa kekuatan dan kelemahan dari pemeliharaan
sapi bali dengan sistem pemeliharaan semi intensif diantaranya adalah :
1. Kemudahan dalam penanganan kesehatan ternak
2. Adanya pencatatan reproduksi
3. Tidak membutuhkan lahan yang luas untuk penggembalaan ternak
4. Adanya kelompok peternak
Adapun kelemahan dari sistem pemeliharaan semi intensif di Desa Tawali
diantaranya adalah :
1. Memerlukan biaya transportasi pakan
2. Pengalaman beternak kurang (≤4 tahun)

25

3. Keterbatasan tenaga kerja
Analisis Lingkungan Eksternal Pemeliharaan Sapi Bali
Lingkungan

eksternal

merupakan

faktor-faktor

yang

berada

diluar

kemampuan suatu organisasi untuk mengendalikannya (Siagian, 2008). Evaluasi
lingkungan eksternal dibutuhkan untuk merumuskan berbagai strategi untuk
mengambil keuntungan dari peluang eksternal dan meminimalkan atau menghindari
dampak ancaman eksternal (David, 2009). Lingkungan eksternal pada pemeliharaan
sapi bali dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif dapat dilihat dari
beberapa faktor diantaranya adalah:
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bima meningkat pada tahun 2008 yakni
sebesar 5,96% lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan pada tahun 2007 yakni
sebesar 4,56% (Badan Pusat Statistik, 2010). Adanya peningkatan pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Bima menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan
masyarakat dan meningkatnya daya beli masyarakat hal ini juga akan berdampak
pada peningkatan konsumsi pangan asal hewani pada masyarakat. Konsumsi hasil
ternak berupa daging pada masyarakat Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar
6,297 kg/kapita/tahun meningkat pada tahun 2010 menjadi 6,953 kg/kapita/tahun
(Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011). Tingkat konsumsi
daging sapi masyarakat Indonesia berdasarkan Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan (2011) adalah sebesar 2 kg/kapita/tahun.
Teknologi
Menurut data yang dirilis oleh Direktorat Jendral Peternakan (2009) Nusa
Tenggara merupakan daerah kelompok II berdasarkan jumlah populasi ternak sapi
potong beserta faktor pendukung lainnya berupa daya dukung lahan untuk pakan,
budidaya, kondisi geografis dan kualitas sumber daya peternak. Pada daerah yang
berada pada kelompok II merupakan daerah prioritas pengembangan Inseminasi
Buatan