Produktivitas, Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan

RINGKASAN
AYU LESTARI. D14080010. 2012. Produktivitas, Potensi dan Prospek
Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten
Takalar Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Ir. Hj. Komariah, MSi.
: Ir. Dwi Joko Setyono, MS.

Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mampu tumbuh baik dengan
makanan yang bernilai gizi rendah dan adaptif terhadap kondisi iklim Indonesia.
Takalar adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan populasi sapi potong
terbesarnya adalah sapi bali yaitu 99%. Desa Pa’rappunganta menjadi salah satu
wilayah pengembangan sapi bali di Kabupaten Takalar. Populasi sapi bali di Desa
Pa’rappunganta tahun 2011 adalah 787 ekor atau hanya 2,3% dari jumlah seluruh
sapi bali di Kabupaten Takalar. Populasi sapi bali yang relatif kecil di Desa
Pa’rappunganta diduga disebabkan sistem pengusahaan yang masih tradisional
karena keterampilan peternak yang rendah, keterbatasan pakan berkualitas baik,
pencatatan reproduksi belum dilakukan, kurang tersedianya betina dan kecenderungan seleksi negatif pada sapi bali. Dibutuhkan analisis potensi berdasarkan

sumberdaya lokal serta faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan usaha ternak sapi bali untuk mengetahui prospek pengembangan sapi
bali di Desa Pa’rappunganta.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui produktivitas sapi bali serta
menganalisis potensi dan prospek pengembangan populasinya di Desa
Pa’rappunganta. Penelitian ini dilakukan di Desa Pa’rappunganta, Kecamatan
Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada bulan Agustus
hingga September 2011. Responden dalam penelitian ini sebanyak 42 orang
peternak.
Produktivitas ternak ditinjau dari sifat reproduksi yaitu umur pubertas, umur
kawin pertama, umur beranak pertama, tingkat kelahiran, service per conception
(S/C), lama berahi kembali setelah melahirkan, selang beranak dan tingkat kematian
anak. Data reproduksi sapi bali diperoleh dengan wawancara terhadap peternak.
Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : umur pubertas sapi bali betina ialah
2,1±0,52 tahun, umur kawin pertama 2,2±0,51 tahun, umur beranak pertama
3,1±0,59 tahun, service per conception (S/C) 1,9±0,94 tahun, tingkat kelahiran anak
98,1%, lama berahi kembali setelah beranak 82±36,09 hari, selang beranak 370±36
hari, dan tingkat kematian anak 5,38%. Nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak
Ruminansia (KPPTR) di Desa Pa’rappunganta menunjukkan bahwa desa tersebut
masih dapat menampung ternak ruminansia sebesar 137,97 ST. Analisis SWOT
(strengths, weaknesses, opportunities dan threats) dan KPPTR menunjukkan bahwa

sapi bali memiliki prospek pengembangan yang baik di Desa Pa’rappunganta.
Kata-kata kunci: sapi bali, produktivitas, potensi, prospek, Sulawesi Selatan

ABSTRACT
Productivity, Potency, and Development Prospect of Bali Cattle (Bos javanicus)
in Pa’rappunganta Village Takalar Region South Sulawesi
Lestari, A., Komariah, and Setyono, D. J.
Bali cattle is one of Indonesia indigenous cattle with high adaptivity of environment
and feed. The aims of this study was to determine the productivity, potency, and
development prospect of bali cattle in Pa'rappunganta village. This research was
conducted from July to August 2011 in Pa’rappunganta village, Takalar region,
South Sulawesi. Primary data was obtained through interviewed of 42 farmers.
Secondary data was obtained from the village government and related agencies. Data
of village profile, farming management and resources were analyzed descriptively.
This study also analyzed reproductive characteristic, SWOT (strengths, weaknesses,
opportunities and threats) and Increasement Population Capacity of Ruminant
(IPCR). The results showed that the age of first oestrus in female bali cattle average
was 2,1 years and age of first mating was 2,2 years. Service per conception (S/C)
was on average 1,9 times and calving rate mean was 98,1%. Oestrus postpartum of
bali cattle in this study was an average of 81.95 days, calving interval was 370±36

days and calf mortality was 5,8%. Result of IPCR analysis showed that capacity of
ruminant increase was 137,97 Animal Unit. The result indicated that bali cattle still
potential to be developed in Pa’rappunganta village. Result of SWOT analyzed and
IPCR showed that bali cattle had a good prospect to be developed in Pa’rappunganta
village.
Keywords: bali cattle, productivity, potency, prospect, South Sulawesi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Prioritas pembangunan peternakan Indonesia di masa yang akan datang
cenderung berada di luar pulau Jawa. Pertimbangan utamanya adalah masih
tersedianya lahan yang luas dan kepadatan penduduk yang masih sedikit,
memberikan prospek bagi pengembangan usaha peternakan khususnya sapi. Hal
tersebut sejalan dengan program dua juta sapi dan kerbau tahun 2016 yang
dicanangkan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Bangsa sapi yang mendominasi
di Sulawesi Selatan adalah sapi bali dengan jumlah populasi pada Juni 2011 sebesar
954.901 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan, 2012).
Takalar adalah salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan dengan
rumah tangga pemelihara sapi bali sebanyak 8363 kepala keluarga. Kabupaten
Takalar pada tahun 2011 memiliki populasi sapi bali 34.747 ekor atau 3,64% dari

total keseluruhan ternak sapi bali di Sulawesi Selatan (Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan, 2012). Pemanfaatan sapi bali sebagai hewan
ternak dilatarbelakangi oleh kemampuan adaptasi dan produktivitas sapi bali yang
baik dalam hal kesuburan. Sapi bali dimanfaatkan oleh masyarakat Takalar sebagai
penghasil daging untuk dikonsumsi saat pesta pernikahan, khitanan atau acara adat
lainnya serta sebagai hewan kurban saat hari raya Idul Adha, sehingga kebutuhan
akan daging sapi bali relatif besar.
Desa Pa’rappunganta yang berada di Kabupaten Takalar merupakan salah
satu wilayah pengembangan sapi bali. Populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta
pada tahun 2008 sebesar 722 ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2010
sebesar 904 ekor (Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar, 2011). Desa
Pa’rappunganta

merupakan wilayah pertanian dan perkebunan yang memiliki

potensi besar untuk pengembangan usaha ternak khususnya sapi bali. Peternak sapi
bali melakukan pemeliharaan ternak secara tradisional beriringan dengan sistem
usahatani lain seperti padi, tebu dan kacang hijau.
Sampai saat ini produktivitas peternakan sapi bali belum optimal bila
dibandingkan dengan subsektor lainnya di sektor pertanian Kabupaten Takalar. Hal

ini diduga dilatarbelakangi oleh sistem pengusahaan sapi bali yang masih tradisional.
Rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, kurangnya pejantan, penampilan reproduksi

belum maksimal, kualitas sumberdaya manusia (peternak) yang masih rendah dan
tidak tersedianya sarana penunjang produksi peternakan dapat menyebabkan
produktivitas yang tidak optimal. Dibutuhkan analisis produktivitas sapi bali dan
potensi

berdasarkan

sumberdaya

lokal

desa

untuk

mengetahui


prospek

pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta.
Tujuan
Tujuan

penelitian

ini

adalah

untuk

mengetahui

dan

menganalisis


produktivitas sapi bali serta potensi dan prospek pengembangan populasinya di Desa
Pa’rappunganta, Kabupaten Takalar.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Bali
Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi
berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan
Bos sondaicus. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus
Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sumber sapi bali murni di Indonesia
adalah Pulau Bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) tingkat
kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat
memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging
rendah lemak subkutan, (6) heterosis positif (penyimpangan penampilan yang
diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi
(Pane, 1990).
Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang penting dan berperan
dalam pengembangan industri ternak di Indonesia (Talib, 2002). Santosa dan
Harmadji (1990) menyatakan bahwa dalam rangka penyebaran dan perbaikan mutu

genetik sapi lokal, sapi bali menjadi prioritas karena sifatnya yang mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang baru (tidak selektif terhadap
pakan) dan tingkat kelahiran yang tinggi. Pemilihan sapi bali menurut
Mangkoewidjoyo (1990), memberikan keuntungan dalam usaha meningkatkan
populasi sapi di Indonesia karena sapi bali sudah beradaptasi dengan lingkungan di
daerah tropis.
Sapi bali memiliki warna bulu merah bata saat muda, tetapi pada jantan warna
tersebut akan menjadi hitam setelah dewasa. Ciri-ciri khusus sapi bali adalah warna
putih pada bagian pantat, pinggiran bibir atas, kaki bawah mulai tarsus dan carpus
sampai batas pinggir atas kuku serta pada bagian dalam telinga (Hardjosubroto dan
Astuti, 1993). Sepanjang punggung terdapat bulu hitam yang membentuk garis tipis
dari bagian belakang bahu hingga ke bagian ekor. Pada sapi bali jantan, bulu
kemerahan di tubuh sapi akan menjadi gelap ketika umur mencapai 12-18 bulan.
Sejalan dengan bertambahnya kedewasaan sapi jantan, bulunya akan berwarna
kehitam-hitaman, namun garis hitam di sepanjang punggung masih tampak jelas
(Talib, 2002). Warna kehitaman bulu sapi bali jantan disebabkan oleh hormon
testosteron sehingga pada sapi bali jantan yang dikebiri, warna bulunya akan berubah

kembali menjadi coklat kemerah-merahan (Darmadja, 1990). Gambar 1 dan Gambar
2 menunjukkan perbedaan antara sapi bali jantan dan betina.


Gambar 1. Sapi Bali Betina
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2012)

Gambar 2. Sapi Bali Jantan
Sumber : Departemen Pertanian (2010)

Hasil penelitian Liwa (1990) menunjukkan tinggi pundak sapi bali jantan
dewasa yaitu 116,31 cm dan sapi bali betina yaitu 105,97 cm di Kabupaten
Jeneponto, Sulawesi Selatan. Pane (1990) menyatakan berat rata-rata sapi bali jantan
umur 2 tahun adalah 210 kg dan sapi bali betina memiliki berat rata-rata 170 kg pada
umur 2 tahun. Lingkar dada sapi bali jantan 181,4 cm sedangkan sapi bali betina 160
cm. Bobot lahir anak sapi bali berdasarkan hasil penelitian Prasojo et al. (2010) yaitu
antara 10,5 kg sampai dengan 22 kg dengan rata-rata 18,9±1,4 kg untuk anak sapi

4

jantan. Sementara anak sapi betina memiliki kisaran bobot lahir antara 13 kg sampai
dengan 26 kg dengan rataan 17,9±1,6 kg. Penambahan bobot badan harian (PBBH)
sapi bali pra-sapih antara 0,33 kg–0,48 kg, sedangkan PBBH pasca-sapih sebesar

0,20 kg-0,75 kg menurut hasil penelitian Panjaitan et al. (2003).
Daerah sumber bibit utama sapi bali berada di Bali, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan populasi
maka Sulawesi Selatan memiliki populasi sapi bali terbesar di Indonesia (954.901
ekor menurut Badan Pusat Statistik tahun 2012). Sejarah penyebaran sapi bali di
Sulawesi Selatan yaitu pada tahun 1927 sapi bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan
(Rampi) sebanyak 5 ekor dan berkembang biak hingga 50 ekor pada tahun 1940.
Tahun 1947 sapi bali disebarkan ke propinsi ini secara besar-besaran. Sapi-sapi
tersebut beserta sapi yang telah ada sebelumnya, menjadi sumber awal sapi bali di
Sulawesi Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi bali
terbanyak di Indonesia. Bencana penyakit jembrana pada tahun 1964 di Bali yang
terjadi secara besar-besaran menyebabkan sapi bali tidak boleh dikeluarkan lagi dari
pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai saat itu sumber bibit sapi bali di Indonesia
digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib, 2002).
Produktivitas
Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong, reproduksi
yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan produksi.
Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap tahun.
Reproduksi Sapi Bali
Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup

dimulai dengan bersatunya sel telur betina dengan sel sperma jantan menjadi zigot
yang disusul oleh kebuntingan kemudian diakhiri dengan kelahiran. Proses ini pada
ternak dimulai setelah ternak jantan dan betina mengalami pubertas atau dewasa
kelamin (Hardjopranjoto, 1995). Bearden et al. (2004) menjelaskan ada tiga tujuan
reproduksi pada ternak yaitu : (1) mempertahankan spesies ternak dengan menghasilkan keturunan, (2) menghasilkan makanan. Pemeliharaan ternak dilakukan oleh
manusia untuk memperoleh produk seperti daging, susu dan lain-lain. Reproduksi

5

memungkinkan keberlanjutan rantai makanan tersebut dengan baik, (3) pengembangan genetik ternak yang memanfaatkan proses reproduksi alami ternak.
Efisiensi reproduksi yaitu ukuran kemampuan sapi betina untuk bunting dan
menghasilkan anak hidup karena anak sapi merupakan produk utama. Hal tersebut
menjadikan efisiensi reproduksi maksimal sangat penting dalam menentukan
keuntungan usaha ternak sapi (Ball dan Peters, 2004). Hardjopranjoto (1995)
menyatakan bahwa tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak
ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), jarak antar melahirkan (calving
interval), jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period),
angka perkawinan perkebuntingan (service per conception) dan angka kelahiran
(calving rate).
Sapi bali yang kondisi badannya normal dan diberi kesempatan untuk kawin
akan menunjukkan reproduksi maksimal yang diharapkan. Tingginya tingkat
reproduksi sapi bali tersebut dapat terlihat dari selang beranak yang pendek
mendekati satu tahun (Martojo, 1990). Pengelolaan reproduksi ternak yang baik
sangat diperlukan agar diperoleh keuntungan yang besar. Faktor pengelolaan yang
perlu mendapat perhatian menurut Hardjopranjoto (1995) yaitu : (1) pemberian
pakan yang berkualitas baik dan cukup, (2) lingkungan yang mendukung
perkembangan ternak, (3) tidak menderita penyakit khususnya penyakit menular
kelamin, (4) tidak menderita kelainan anatomi alat kelamin yang bersifat menurun,
(5) tidak menderita gangguan hormon khususnya hormon reproduksi.
Umur Berahi Pertama (Puberty). Berahi pertama atau pubertas didefinisikan sebagai

waktu munculnya estrus pertama kali yang diikuti dengan ovulasi (Ball dan Peters,
2004). Awal pubertas pada ternak dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat,
tergantung pada bangsa, tingkatan makanan dan faktor lainnya (Salisbury dan
VanDemark, 1985). Ternak yang dikawinkan pada saat estrus pertama atau pubertas,
maka persentase kesulitan beranak akan tinggi. Toelihere (1979) menjelaskan bahwa
pengaruh lingkungan menyebabkan estrus sering terjadi pada umur ternak yang
masih muda sehingga apabila terjadi konsepsi maka akan berbahaya saat kelahiran
karena tubuh induk belum berkembang.
Sapi umumnya akan mengalami pubertas saat mencapai 34% sampai 45%
berat tubuh dewasa namun pengawinan tidak disarankan hingga betina mencapai

6

sekitar 55% berat dewasa. Sapi pedaging bangsa Eropa mencapai pubertas pada
umur 10-15 bulan (Bearden et al., 2004). Toelihere (1979) menyatakan bahwa sapi
mengalami pubertas antara umur 4 bulan sampai 24 bulan.
Kondisi makanan yang kurang baik di Indonesia menyebabkan pubertas
terjadi pada umur yang lebih tua dibandingkan sapi bangsa Eropa. Sapi bali
mengalami pubertas pada umur di atas 2 tahun (Toelihere, 1981a). Bearden et al.
(2004) menjelaskan bahwa faktor genetik dan lingkungan akan mempengaruhi waktu
terjadinya pubertas pada sapi. Umumnya, setiap faktor yang memperlambat
pertumbuhan ternak akan menunda terjadinya pubertas. Faktor yang mempengaruhi
waktu pubertas pada sapi menurut Ball dan Peters (2004) yaitu jenis ternak, nutrisi,
bobot badan, musim serta kehadiran pejantan di sekitar betina. Faktor lain yang
mempengaruhi pubertas menurut Toelihere (1979) adalah suhu lingkungan. Sapi dara
yang ditempatkan di kandang terbuka dan berhubungan dengan udara luar akan
estrus pertama pada umur 320 hari.
Umur Kawin Pertama (First Mating). Umur kawin pertama merupakan umur ternak

ketika dikawinkan untuk pertama kalinya. Umur kawin pertama pada sapi yang
dianjurkan yakni pada umur 14-22 bulan. Hal tersebut disebabkan hewan-hewan
betina muda tidak boleh dikawinkan hingga pertumbuhan badannya memungkinkan
kebuntingan dan kelahiran normal (Toelihere, 1979). Umur kawin pertama sapi dara
sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan manajemen pertumbuhan dan perkembangan
sapi (Salisbury dan VanDemark, 1985). Rata-rata umur kawin pertama sapi bali di
Sulawesi Selatan berdasarkan penelitian Liwa (1990) adalah 33,4±4,7 bulan.
Hardjopranjoto (1995) menjelaskan waktu perkawinan yang tepat bagi hewan
betina adalah faktor yang penting karena dapat menghasilkan keuntungan besar bagi
peternak jika kebuntingan terjadi pada waktu yang tepat. Waktu pengawinan yang
tepat bagi sapi dara yang baik pemeliharaannya yaitu pada umur 14-16 bulan. Sapi
dara yang kurang baik pemeliharaannya sebaiknya dikawinkan pada umur 2-3 tahun.
Sapi dara yang baru dikawinkan di atas 3 tahun cenderung mengalami penurunan
prestasi reproduksi. Pengawinan sapi dara pada umur di atas 4 tahun cenderung
terjadi siklus berahi yang tidak teratur, terbentuk kista ovarium dan gangguan
reproduksi.

7

Service per Conception (S/C). Service per conception (S/C) atau yang seringkali
disebut dengan jumlah perkawinan tiap konsepsi merupakan suatu konsep kuantitatif
yang menggambarkan tingkat kesuburan ternak. Service per conception merupakan
hal penting untuk menduga potensi fertilitas jantan baik melalui perkawinan alam
maupun inseminasi buatan (Salisbury dan VanDemark, 1985).
Toelihere (1981) menyatakan nilai S/C 1,6 masih wajar pada sapi. Hal
tersebut sejalan dengan penjelasan Ball dan Peters (2004) bahwa nilai S/C rata-rata
sapi adalah 1,64 kali. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa penyebab kawin
berulang pada ternak adalah kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini. Hasil
penelitian Kadarsih (2004) terhadap sapi bali di daerah transmigrasi Bengkulu
menunjukkan bahwa pada nilai S/C sapi bali pada dataran rendah sebesar 2,5 kali,
daerah berbukit 1,85 kali dan dataran tinggi 2,1 kali. Fordyce et al. (2003)
melaporkan bahwa kebuntingan sapi bali terjadi setelah dua kali perkawinan. Hal
tersebut normal terjadi pada sapi-sapi di daerah tropis dan sekitar 30% disebabkan
oleh kematian embrionik.
Umur Beranak Pertama (First Parturition). Beranak disebut juga proses kelahiran
yang dimulai dengan pelunakan dan diawali pembesaran serviks yang kemudian
diikuti dengan kontraksi uterus. Proses beranak diakhiri ketika janin dan membran
plasenta dikeluarkan (Bearden et al., 2004). Dijelaskan Hardjopranjoto (1995) bahwa
sapi dara yang dapat melahirkan anak sapi pertama pada umur 2 tahun akan memiliki
masa laktasi dan jangka waktu bereproduksi lebih lama dibandingkan dengan sapi
dara yang beranak pertama pada umur 3 tahun atau lebih.
Hasil penelitian Liwa (1990) terhadap sapi bali di Sulawesi Selatan
menunjukkan bahwa rataan umur induk beranak pertama adalah 41,8±1,8 bulan.
Gunawan et al. (2011) yang meneliti di pusat pembibitan sapi bali di Bali
menyatakan umur beranak pertama sapi bali rata-rata 43,86 bulan yang dipengaruhi
oleh ketersediaan nutrisi dalam pakan sedangkan menurut Talib et al. (2003), umur
beranak pertama sapi bali di Sulawesi Selatan adalah pada umur 36 bulan (3 tahun).
Tingkat Kelahiran (Calving Rate). Tingkat kelahiran anak sapi merupakan ukuran
yang paling sesuai untuk mengetahui kesuburan ternak. Anak sapi yang dihasilkan
dapat digunakan baik sebagai pengganti induk maupun sebagai produk utama yakni

8

penghasil daging. Kondisi yang paling baik akan memungkinkan induk
menghasilkan satu anak sapi per tahun (Ball dan Peters, 2004).
Hasil penelitian Pane (1990), tingkat kelahiran sapi bali di Sulawesi Selatan
sebesar 76%, Nusa Tenggara Barat sebesar 72% dan Bali sebesar 69%. Calving rate
sapi bali di Sulawesi Selatan sebesar 60,4% berdasarkan laporan Talib et al. (2003).
Sariubang et al. (2009) menyatakan tingkat kelahiran sapi bali pada sistem
pemeliharaan intensif sebesar 83,3% sedangkan sistem tradisional hanya sebesar
66,7%.
Ball dan Peters (2004) menjelaskan bahwa di bawah kondisi yang ideal
sekalipun (dengan 100% sapi induk yang normal dan 100% efisiensi deteksi berahi),
tingkat kelahiran tidak dapat mencapai 100%. Optimalnya hanya 60-70%
pengawinan sapi betina yang akan dapat menghasilkan anak. Jumlah kegagalan
pengawinan atau service yang di atas 50% harus memiliki alasan yang spesifik.
Penyebab kegagalan tersebut dapat melibatkan interaksi antara genetik, lingkungan
dan manajemen pemeliharaan ternak.
Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum). Sapi-sapi betina sebagian besar
akan kembali berahi 21-80 hari sesudah melahirkan, dengan rata-rata 70 hari
(Salisbury dan VanDemark, 1985). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa
setelah melahirkan, induk akan kembali menunjukkan gejala birahi antara minggu
kedua sampai minggu kesepuluh walaupun uterus belum kembali normal atau
involusi normal. Involusi uterus membutuhkan waktu 3-6 minggu setelah ternak
beranak. Kesuburan induk akan kembali normal 40-60 hari pasca beranak.
Hasil penelitian Liwa (1990) menunjukkan jarak berahi kembali sesudah
beranak sapi bali di Sulawesi Selatan, rata-rata 178,1±40,3 hari. Sariubang et al.
(2009) yang meneliti sapi bali di Kabupaten Takalar menjelaskan bahwa pada sapi
bali yang dipelihara secara intensif dengan pakan rumput segar, dedak dan jerami
fermentasi, oestrus postpartum terjadi pada hari ke-81 setelah beranak. Sapi bali
yang dipelihara secara tradisional oestrus postpartum-nya lebih lama yaitu 107 hari
setelah beranak. Gejala estrus sebenarnya sudah mulai terlihat 40–60 hari setelah
beranak akan tetapi estrus yang disertai pembuahan (kebuntingan) terjadi lebih cepat
pada induk sapi yang mendapat pakan yang lebih baik dan dipelihara intensif,
dibandingkan sapi bali yang dipelihara secara tradisional.

9

Selang Beranak (Calving Interval). Selang beranak adalah jarak waktu antara satu
kelahiran ke kelahiran atau beranak selanjutnya. Jarak beranak sangat dipengaruhi
waktu oestrus postpartum (berahi kembali setelah beranak) maupun days open (masa
kosong atau saat sapi betina tidak bunting), yaitu semakin besar days open maka
jarak beranak juga semakin panjang (Romjali dan Rasyid, 2007).
Selang beranak yang lebih singkat akan menyebabkan tingkat kelahiran yang
lebih tinggi di tahun-tahun berikutnya. Selang beranak sapi bali rata-rata 360,93 hari
(Gunawan et al., 2011). Bamualim dan Wirdahayati (2003) melaporkan bahwa ratarata selang beranak sapi bali adalah 15,7±1,8 bulan. Penelitian Romjali dan Rasyid
(2007) menunjukkan selang beranak sapi bali adalah rata-rata 388,6 hari sedangkan
hasil penelitian Sutan (1988) adalah 444,46 hari. Sutan (1988) juga menambahkan
bahwa faktor yang mempengaruhi selang beranak adalah service per conception,
jarak antara melahirkan terdahulu dengan kawin pertama setelah bunting, dan lama
kebuntingan.
Kematian Anak (Calf Mortality). Hasil penelitian Liwa (1990) di Sulawesi Selatan
menunjukkan kematian anak sapi bali dibawah umur 1 tahun sebesar 8,3%. Hal
tersebut sejalan dengan Talib et al. (2003) yang menyatakan tingkat kematian anak
sapi bali atau calf mortality di Sulawesi Selatan sebesar 8% dan Gunawan et al.
(2011) sebesar 7,58%. Kematian anak sapi bali hasil penelitian Kadarsih (2004)
menunjukkan di dataran rendah sebesar 9,02%, daerah berbukit 3,20%, dan daerah
pegunungan sebesar 6,43%. Kematian anak sapi lebih tinggi di daerah dataran
rendah. Penyebabnya diduga karena manajemen dan stres pada ternak.
Penelitian Sariubang et al. (2009) di Kabupaten Takalar menunjukkan
pemberian rumput segar dan pakan tambahan berupa dedak padi dan jerami
fermentasi pada sapi bali menunjukkan tingkat kematian anak 0%. Sementara itu,
sapi bali yang hanya digembalakan tanpa pemberian pakan tambahan tingkat
kematian anak mencapai 14%. Kematian anak sapi yang tinggi tersebut disebabkan
kekurangan gizi terutama vitamin dan mineral sehingga anak sapi lahir cacat ataupun
lemah. Gunawan et al. (2011) menyatakan bahwa sifat keindukan yang rendah dan
manajemen dapat menjadi penyebab tingginya jumlah kematian anak sapi bali.
Musim kering dimana sumber pakan kualitasnya rendah juga menjadi faktor
penyebab karena akan mempengaruhi produksi susu induk.

10

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)
Kapasitas suatu wilayah dalam penyediaan pakan ternak dapat dianalisis
dengan metode KPPTR sebagai suatu pendekatan sehingga diketahui potensi
wilayahnya. Kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (1974)
digunakan dalam metode ini. Potensi tersebut dapat dinyatakan dalam nilai potensi
(ton/BK/tahun) atau nilai riil yakni jumlah unit ternak (animal unit) yang dapat
ditampung di wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya dapat pula diketahui kapasitas
peningkatan populasi ternak di suatu wilayah peternakan apabila populasi ternak
ruminansia diketahui (Nell dan Rollinson, 1974).
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats)
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi dengan berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) dan disaat yang bersamaan
meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Perencanaan
strategis harus menganalisis faktor-faktor tersebut, merumuskan dan mengevaluasi
strategi dalam kondisi saat ini, hal ini yang disebut analisis situasi (Rangkuti, 1997).
Analisis situasi menyangkut data dari berbagai faktor baik yang berpengaruh positif
atau negatif serta peluang untuk mengembangkannya di masa yang akan datang
(Fletcher, 1990). Model yang paling popular dalam analisis situasi adalah analisis
SWOT.

11

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Pa’rappunganta, Kecamatan Polombangkeng
Utara, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan mulai
bulan Juli hingga Agustus 2011.
Materi
Data primer diperoleh dari responden sebanyak 42 orang yang berasal dari
populasi peternak 341 orang. Jumlah total sapi bali yang dimiliki oleh responden
penelitian adalah 210 ekor. Data sekunder diperoleh dari Pemerintah Desa
Pa’rappunganta, Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar dan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Takalar. Alat yang digunakan adalah borang kuesioner, alat tulis, kamera
dan laptop.
Metode
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara
menggunakan kuesioner dan observasi. Penentuan responden menggunakan metode
purposive sampling dengan penetapan kriteria tertentu. Kriteria responden adalah
penduduk Desa Pa’rappunganta yang memelihara sapi bali dan bersedia
diwawancarai. Observasi dilakukan pada lokasi penelitian dan didokumentasikan.
Rancangan dan Analisis Data
Analisis Deskriptif
Keadaan umum serta potensi pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta
digambarkan dengan analisis deskriptif. Keadaan umum yang digambarkan yaitu
profil Desa Pa’rappunganta, sumberdaya peternak dan lahan serta manajemen
pemeliharaan.
Analisis Sifat Reproduksi
Pengamatan pada sifat reproduksi sapi bali di lokasi penelitian dilakukan
dengan wawancara responden. Sifat reproduksi yang diamati adalah umur pubertas
(puberty), umur kawin pertama (first mating), service per conception (S/C), umur

beranak pertama (first parturition), lama berahi kembali setelah beranak (oestrus
postpartum), selang beranak (calving interval) dan kematian anak (calf mortality).
Analisis KPPTR (Nell dan Rollinson, 1974)
Metode pendekatan yang digunakan untuk melihat kapasitas suatu wilayah
dalam penyediaan pakan ternak adalah analisis kapasitas peningkatan populasi ternak
ruminansia atau KPPTR. Nilai KPPTR dapat dihitung menggunakan metode Nell
dan Rollinson (1974) dengan rumus sebagai berikut :
KPPTR (SL) = KTTR – Populasi Riil
1) KTTR =
Keterangan :
k
Le
j

: koefisien ketersediaan lahan penghasil hijauan rumput
: lahan penghasil hijauan rumput
: koefisian ketersediaan produksi Hijauan Hasil Sisa Pertanian
(HHSP)
Li
: lahan penghasil HHSP
15 ton/BK/tahun : rata-rata produksi padang rumput di Indonesia
2,3
: kebutuhan ton BK/tahun setiap ST
KTTR
: kapasitas tampung ternak ruminansia
KPPTR (SL)
: KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan
Analisis SWOT (Rangkuti, 1997)
Analisis SWOT digunakan untuk mempelajari prospek pengembangan sapi
bali dari faktor internal strengths dan weaknesses serta faktor eksternal opportunities
dan threats di Desa Pa’rappunganta. Langkah dalam melakukan analisis ini yakni
membuat matrik faktor strategi eksternal atau External Factor Analysis Summary
(EFAS) dan matrik faktor strategi internal atau Internal Factor Analysis Summary
(IFAS) terlebih dahulu.
1) Bobot nilai dalam matrik IFAS
a) Kolom pertama diisi dengan 5 sampai 10 kekuatan dan kelemahan.
b) Masing-masing faktor diberi bobot pada kolom kedua mulai dari 1,0 (sangat
penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Maksimal jumlah seluruh bobot
tidak boleh lebih dari 1,00

13

c) Kolom ketiga diisi dengan rating untuk masing-masing faktor dengan skala
mulai dari 1 sampai 4 berdasarkan besar kecilnya pengaruh faktor tersebut
terhadap pengembangan ternak sapi bali yang ada di Desa Pa’rappunganta.
d) Kolom keempat diisi dengan nilai yang diperoleh dengan cara mengalikan
bobot dan rating.
2) Bobot nilai dalam matrik EFAS
a) Kolom pertama diisi dengan 5 sampai 10 peluang dan ancaman.
b) Pemberian bobot pada kolom kedua mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai
dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah total bobot tidak boleh melebihi 1,00.
c) Kolom ketiga diisi dengan rating untuk masing-masing faktor dengan skala
mulai dari 1 sampai 4 berdasarkan besar kecilnya pengaruh faktor tersebut
terhadap kondisi yang ada di Desa Pa’rappunganta.
d) Nilai pada kolom keempat diperoleh dengan cara mengalikan bobot dan
rating masing-masing faktor peluang dan ancaman.
Nilai yang telah diperoleh untuk setiap faktor internal dan eksternal
digunakan untuk menentukan posisi dalam matriks grand strategy yang disajikan
dalam Gambar 3. Nilai axis diperoleh dari total nilai kekuatan dikurangi nilai
kelemahan. Nilai ordinat diperoleh dari nilai peluang dikurangi dengan nilai
ancaman. Titik pertemuan antara nilai axis dan ordinat menunjukkan pilihan strategi
pengembangan.
Terdapat empat set kemungkinan alternatif strategi menurut Rangkuti (1997)
yang dihasilkan dari matrik grand strategy :
1) strategi agressive atau SO yakni pemanfaatan seluruh kekuatan untuk merebut dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya, terletak pada kuadran I .
2) strategi ST atau diversifikasi yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
mengatasi ancaman terletak di kuadran II.
3) strategi WO yakni pemanfaatan peluang dengan kelemahan yang diminimalkan
atau strategi turnaround yang terletak di kuadran IV.
4) strategi WT di kuadran III yakni kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.

14

Empat set kemungkinan seluruhnya terdapat dalam matrik grand strategy.
Matrik grand strategy dalam analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 3.

Peluang

Kuadran
IV

Kuadran
I

Kelemahan

Kekuatan
Kuadran
III

Kuadran
II

Ancaman
Gambar 3. Matriks Grand Strategy
Sumber : Rangkuti (1997)

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Profil Desa Pa’rappunganta
Desa Pa’rappunganta merupakan salah satu dari lima belas desa yang berada
di wilayah administrasi Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar
dengan luas 5,25 km2 (2,47% dari luas wilayah kecamatan Polombangkeng Utara)
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Jumlah penduduk pada tahun 2010
sebanyak 2534 jiwa. Jarak Desa Pa’rappunganta dari Ibukota Kabupaten Takalar
yaitu 13 km (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010). Letak Kecamatan
Polombangkeng Utara dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Kabupaten Takalar
Sumber : Google Map (2012)

Batas-batas wilayah Desa Pa’rappunganta sebagai berikut : (1) sebelah Utara
berbatasan dengan Kelurahan Parangluara dan Desa Parangbaddo’, (2) sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Massamaturu, (3) sebelah Selatan berbatasan dengan
Keluarahan Panrannuangku, (4) sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Palleko
dan Kelurahan Matompodalle. Secara administrasi, Desa Pa’rappunganta terdiri atas
5 dusun yaitu : (1) Dusun Bontosunggu, (2) Dusun Batunipa, (3) Dusun Lerekang,
(4) Dusun Massalongko, (5) Dusun Pa’bulaengan.

Keadaan Topografi
Dilihat dari keadaan topografinya, Desa Pa’rappunganta memiliki bentuk
wilayah yang datar (Gambar 5) dan didominasi oleh hamparan sawah dan kebun
dengan ketinggian desa 200-499 meter di atas permukaan laut. Bentuk wilayah yang
rata dimanfaatkan warga desa sebagai sumber mata pencaharian yaitu melalui
pertanian (sawah) dan perkebunan.

(a)

(b)

Gambar 5. Topografi Desa Pa’rappunganta, (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah
Luas lahan di Desa Pa’rappunganta sebesar 950 ha yang didominasi
perkebunan seluas 492,42 ha. Jenis tanaman kebun yang banyak terdapat di Desa
Pa’rappunganta adalah tanaman tebu. Luas lahan sawah 151 ha, pekarangan seluas
139,10 ha, tegalan seluas 78,86 ha dan lain-lainnya 88,62 ha (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Takalar, 2010). Seluruh sawah di Desa Pa’rappunganta adalah sawah
tadah hujan dan terdapat masa saat sawah diberakan (dikosongkan) setelah panen.
Panen padi di lokasi penelitian dilakukan dua kali dalam setahun. Sawah yang
diberakan biasanya ditanami dengan tanaman kacang hijau oleh penduduk setempat
dengan panen kacang hijau dua kali dalam setahun.
Desa Pa’rappunganta beriklim tropis dengan suhu rata-rata tahun 2010-2011
mencapai 22-32 oC (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010) dengan 2 tipe musim
yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan di Desa Pa’rappunganta
cenderung bervariasi setiap bulan. Perbedaan curah hujan per-bulan dari Januari
hingga Desember dari tahun 2007 sampai 2009 di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat
pada Tabel 1.

17

Tabel 1. Curah Hujan Rata-rata Per-Bulan Desa Pa’rappunganta (mm)
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

2007
863
639
219
348
51
112
0
11
0
0
225
473

Tahun
2008
0
0
17
90
4
41
1
23
13
119
384
667

2009
792
413
94
161
12
2
83
0
0
20
67
397

2941

1359

2041

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar (2010)

Keadaan Demografi
Jumlah penduduk Desa Pa’rappunganta tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa yang
terdiri atas laki-laki 1245 jiwa dan perempuan 1289 jiwa. Jumlah kepala keluarga
(KK) di Desa Pa’rappunganta sebanyak 725 KK. Rincian jumlah penduduk dan
kepala keluarga di Desa Pa’rappunganta disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Pa’rappunganta Tahun
2010
Dusun

Jumlah Kepala Keluarga

Penduduk

Jumlah

(KK)

Laki-laki Perempuan

Penduduk

Bontosunggu

165

279

280

559

Batunipa

147

224

254

478

Lerekang

158

258

292

550

Massalongko

212

391

387

778

Pa'bulaengan

43

93

76

169

Jumlah

725

1245

1289

2534

Sumber : Pemerintah Desa Pa’rappunganta (2010)

18

Penduduk Desa Pa’rappunganta didominasi masyarakat suku Makassar yang
seluruhnya beragama Islam. Budaya atau tradisi masyarakat Desa Pa’rappunganta
yaitu kebiasaan mengadakan pa’bunting (pesta pernikahan) atau sunna’ (khitanan)
secara besar-besaran (meriah) dengan menggunakan daging ternak besar seperti sapi
atau kuda sebagai menu utama dalam pesta. Kebiasaan ini tidak terbatas pada warga
dengan tingkat ekonomi yang tinggi, namun masyarakat dengan tingkat ekonomi
menengah ke bawah juga mengadakan pesta tersebut.
Mata Pencaharian
Desa Pa’rappunganta didominasi oleh masyarakat yang bekerja di bidang
pertanian terutama petani sawah, kemudian disusul oleh pekerja di bidang
perdagangan, jasa pemerintahan, transportasi, industri kerajinan, konstruksi jasa
sosial, jasa perseorangan, keuangan dan warung makan. Perincian mata pencaharian
penduduk di Desa Pa’rappunganta tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Sebaran Penduduk Desa Pa’rappunganta berdasarkan Mata Pencaharian
Tahun 2010
Pekerjaan Pokok

Jumlah

Persentase (%)

Pertanian

930

36,7

Industri Kerajinan

18

0,71

Konstruksi

17

0,67

Perdagangan

96

3,79

Warung Makan

1

0,04

Transportasi

41

1,62

Keuangan

2

0,08

Jasa Pemerintahan

43

1,69

Jasa Sosial

12

0,47

Jasa Perorangan

9

0,35

1365

53,87

2534

100

Tidak atau Belum Bekerja
Jumlah

Sumber : Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar ( 2010)

Bidang pertanian telah menjadi mata pencaharian masyarakat di Desa
Pa’rappunganta secara turun-temurun, baik bagi penduduk yang memiliki lahan

19

sendiri maupun sebagai buruh tani. Kehidupan masyarakat Desa Pa’rappunganta
yang erat dengan pertanian memberikan keuntungan bagi usaha ternak sapi bali di
desa tersebut. Limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pakan
sapi bali. Selain bertani, masyarakat juga beternak sebagai usaha sambilan. Hewan
yang diternakkan seperti ayam, itik, sapi bali dan kuda. Hal tersebut sejalan dengan
penjelasan Daryanto (2009) bahwa pertanian merupakan way of life dan sumber
kehidupan sekitar 45% tenaga kerja di Indonesia. Kaitannya dengan pakan, sektor
pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan
ternak.
Karakteristik Peternak dan Usaha Ternak Sapi Bali
Karakteristik peternak merupakan hal yang penting untuk diketahui karena
karakteristik tersebut dapat mempengaruhi pengembangan sapi bali. Kemampuan
dalam pemeliharaan sapi bali merupakan salah satu hal yang dipengaruhi oleh
karakteristik peternak. Pengamatan karakteristik peternak di Desa Pa’rappunganta
dibedakan berdasarkan umur peternak, tingkat pendidikan, motivasi beternak,
pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak sapi bali.
Umur Peternak
Peternak yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar berumur
antara 41-50 tahun (33,33%), Peternak yang berumur 20-30 tahun sebanyak 3 orang
(7,14%). Peternak berumur 31-40 tahun sebesar 23,81%, umur 51-60 tahun sebesar
23,81%, dan umur lebih dari 60 tahun sebesar 11,90%. Sebaran peternak berdasarkan
umur ditunjukkan pada Gambar 6.

11,90% 7,14%

23,81%
23,81%

20-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun

33,33%

>60 tahun

Gambar 6. Sebaran Peternak berdasarkan Umur
Sumber : Data yang diolah (2011)

20

Hasil penelitian menunjukkan umumnya peternak responden masih dalam
umur produktif. Selang umur produktif di Indonesia yaitu 15-64 tahun (Badan Pusat
Statistik, 2010). Umur peternak yang produktif merupakan salah satu potensi dalam
pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Peternak yang masih produktif di
Desa Pa’rappunganta diharapkan memiliki kemampuan pemeliharaan dan penyediaan pakan ternak yang lebih baik dibandingkan umur tidak produktif.
Tingkat Pendidikan
Saleh (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan peternak juga
berhubungan sangat nyata dengan perilaku membuat jejaring komunikasi antar
peternak sendiri, aktif mencari, mengklarifikasi dan memanfaatkan informasi
peternakan sapi potong sesuai kebutuhan. Peternak yang diwawancarai sebagian
besar tidak pernah sekolah dengan persentase sebesar 40,48%. Pendidikan formal
tertinggi responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan persentase
sebesar 4,76%. Rendahnya tingkat pendidikan peternak mengakibatkan pengetahuan
dan keterampilan peternak masih kurang. Contoh dalam pemberian pakan jerami
padi, peternak tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu seperti amoniasi atau
silase sehingga kecernaan dan palatabilitasnya relatif rendah. Manajemen reproduksi
sapi bali belum dilaksanakan dengan baik. Peternak belum mengetahui cara
pencatatan siklus reproduksi sapi bali sehingga kurang tepat untuk mendeteksi birahi,
kebuntingan atau kemajiran pada ternaknya. Kebersihan kandang dan kesehatan
ternak kurang diperhatikan oleh peternak seperti vaksinasi dan pengobatan penyakit
sapi bali. Hal-hal tersebut merupakan contoh kurangnya keterampilan peternak di
Desa Pa’rappunganta.
Keterampilan peternak selain diperoleh dari pendidikan formal juga dapat
diperoleh melalui pendidikan non-formal seperti penyuluhan dan pembinaan.
Program-program penyuluhan dan pembinaan peternak sudah diadakan namun
belum merata. Masih banyak peternak yang belum mendapat kesempatan untuk
mengikuti pendidikan non-formal tersebut. Perlu adanya pelaksanaan penyuluhan
ataupun pelatihan mengenai manajemen beternak yang baik termasuk bagaimana
pemberian pakan sesuai status fisiologis sapi bali, pengolahan jerami, pencatatan
siklus reproduksi sapi bali, pencegahan penyakit, kebersihan kandang dan lain-lain.

21

Penyuluhan dan pelatihan tersebut sebaiknya dilakukan secara berkala dan dapat
diikuti oleh seluruh peternak.
Penyaluran

informasi

mengenai

pemeliharaan

sapi

bali

di

Desa

Pa’rappunganta perlu diperbaiki. Pemberdayaan kelompok petani-peternak sangat
diperlukan agar dapat menjadi tempat bagi peternak memperoleh informasi,
mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan keterampilan beternak sapi bali.
Selama ini kelompok peternak yang telah dibentuk tidak terorganisir dengan baik,
anggota kelompok jarang melakukan pertemuan untuk berdiskusi atau berbagi
informasi mengenai pemeliharaan sapi bali. Hal ini sesuai dengan pendapat Syamsu
et al. (2006) bahwa masalah dalam pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan
adalah lemahnya kelembagaan di tingkat kelompok tani dan peternak. Kondisi
tersebut di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki dengan mengaktifkan kembali
kelompok melalui kegiatan-kegiatan kelompok yang terencana dan berkala seperti
pelatihan, diskusi kelompok dan lain-lain. Sebaran responden berdasarkan tingkat
pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah

Jumlah Responden
17

Persentase
40,48

Sekolah Dasar

14

33,33

Sekolah Menengah Pertama

9

21,43

Sekolah Menengah Atas

2

4,76

Sarjana

0

0,00

42

100

Jumlah
Sumber : Data yang diolah (2011)

Tingkat pendidikan yang rendah juga berpengaruh terhadap penguasaan
peternak terhadap istilah dalam peternakan. Beberapa peternak tidak menguasai
Bahasa

Indonesia

sehingga

dalam

melakukan

wawancara,

peneliti

harus

menggunakan bahasa daerah Makassar. Istilah-istilah dalam bidang peternakan juga
tidak diketahui oleh para peternak sehingga peneliti harus menjelaskan pengertian
dari istilah tersebut dalam Bahasa Makassar terlebih dahulu atau menggunakan
istilah Bahasa Makassar yang umum digunakan oleh para peternak.

22

Motivasi Beternak
Motivasi yang dimiliki oleh peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi
bali cenderung seragam. Sebanyak 39 orang atau 92,85% responden yang
diwawancarai dalam penelitian ini menyatakan motivasi mereka beternak sapi bali
adalah untuk menambah penghasilan. Sisanya sebanyak 3 orang responden (7,14%)
menyatakan alasan mereka beternak sapi bali adalah sebagai tabungan masa depan.
Beternak dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah penghasilan. Banyaknya peternak yang beternak sapi bali sebagai pekerjaan sambilan
didorong oleh biaya pemeliharaan sapi bali yang relatif kecil karena sistem
peternakan semi intensif yang diterapkan oleh peternak. Peternak hanya butuh tenaga
untuk mencari pakan dan biaya untuk membuat kandang sederhana serta biaya
pembelian garam. Sapi bali juga menjadi tabungan masa depan karena peternak
dapat menjual sapi bali yang dimilikinya sewaktu-waktu jika membutuhkan uang
untuk berbagai keperluan misalnya biaya sekolah anak dan biaya pengobatan. Hal
tersebut sejalan dengan laporan Sudardjat dan Pambudy (2003) yakni peternak
tradisional masih lebih senang memilih ternak sebagai alternatif usaha menyimpan
dana. Hal tersebut sebenarnya merupakan alternatif tepat karena menabung dalam
bentuk ternak akan memperoleh “bunga” yaitu dari anak sapi yang dapat dicapai bila
manajemen ternak dilakukan dengan baik. Sebaran peternak berdasarkan motivasi
beternak sapi bali disajikan pada Gambar 7.

7%

93%

Tambahan
penghasilan
Tabungan masa
depan

Gambar 7. Sebaran Peternak berdasarkan Motivasi Beternak Sapi Bali
Sumber : Data yang diolah (2011)

Seluruh responden yang diwawancarai menjual ternaknya pada pedagang
pengumpul yang sekaligus berperan sebagai belantik. Harga jual sapi bali di lokasi
penelitian relatif stabil. Sapi bali berumur 1 tahun berkisar 3-4 juta rupiah sedangkan
23

sapi bali yang berumur 2 tahun dijual pada kisaran harga 4-5 juta rupiah. Bagi
responden, harga jual ini sudah menguntungkan karena responden tidak
memperhitungkan biaya tenaga kerja, biaya penyusutan peralatan dan biaya-biaya
lainnya. Tenaga kerja usaha ternak sapi bali berasal dari tenaga kerja keluarga
sehingga peternak tidak menghitung upah tenaga kerja.
Pengalaman Beternak
Pengalaman responden dalam beternak sapi bali bervariasi (Tabel 5).
Peternak di lokasi penelitian telah mengetahui cara beternak yang diperoleh dari
keluarga secara turun-temurun. Cara beternak yang diketahui masih bersifat
tradisional, namun sudah cukup baik sebagai modal untuk pengelolaan dan
pengembangan usaha ternak sapi bali. Febrina dan Liana (2008) menyatakan bahwa
pengalaman beternak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan
keterampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan ternak mempunyai
kemampuan yang lebih baik. Pengalaman beternak sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan usaha.
Tabel 5. Sebaran Peternak Berdasarkan Lama Beternak
Lama Beternak Sapi Bali (tahun)

Jumlah Responden

Persentase

1 sampai 10

15

35,71

11 sampai 20

15

35,71

21 sampai 30

7

16,67

31 sampai 40

5

11,90

42

100,00

Jumlah
Sumber : Data yang diolah (2011)

Kepemilikan Sapi Bali
Kepemilikan sapi bali paling banyak antara 1-5 ekor (76,19%). Jumlah sapi
bali yang dipelihara responden dapat dilihat pada Tabel 6. Kepemilikan sapi bali
relatif kecil dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada peternak terutama
yang telah lama menjalankan usaha ternak sapi bali. Kondisi ini disebabkan oleh
kurangnya modal peternak untuk membeli bibit atau sapi dara dan pola pemeliharaan
yang masih tradisional.

24

Tabel 6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Sapi Bali yang Dipelihara
Jumlah ternak Sapi Bali

Responden

Persentase

1 sampai 5

32

76,19

6 sampai 10

8

19,05

>10

2

4,76

42

100

Jumlah
Sumber : Data yang diolah (2011)

Kairupan (2011) menyatakan bahwa peternakan sapi memegang peranan
penting dalam perekonomian masyarakat di pedesaan. Hal tersebut mengingat
sebagian besar sapi di Indonesia ada pada tingkat petani kecil yang dikelola dalam
skala usaha peternakan rakyat, namun umumnya para peternak yang memelihara sapi
bali tidak mengembangkan populasi ternaknya dan dijual apabila membutuhkan uang
dalam kondisi mendesak. Syamsu et al. (2006) menjelaskan permasalahan
peternakan di Sulawesi Selatan adalah skala usaha kecil, umumnya masih terbatas
pada skala usaha sambilan sehingga kurang kompetitif.
Sapi bali yang dipelihara peternak tidak seluruhnya merupakan kepemilikan
peternak sendiri, namun juga ada yang berupa sapi bali yang dititipkan atau sapi bali
gaduhan Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah peternak yang memelihara sapi bali
milik sendiri dan milik orang lain lebih dominan.
Tabel 7. Sebaran Peternak Berdasarkan Kepemilikan Sapi Bali
Kepemilikan Sapi Bali

Responden

Persentase

Milik sendiri

14

33,33

Gaduhan

9

21,43

Milik sendiri dan gaduhan

19

45,24

42

100

Jumlah
Sumber : Data yang diolah (2011)

Sistem gaduhan di Desa Pa’rappunganta menguntungkan peternak dengan
modal kecil karena mereka memperoleh bibit sapi bali tanpa membeli. Bibit sapi bali
yang dipelihara oleh peternak responden umumnya berasal dari sapi yang dititipkan
oleh orang lain. Sistem penitipan ini dalam Bahasa Makassar disebut “ni tesang”

25

atau dikenal juga dengan menggaduh atau bagi hasil. Sistem ini dijalankan
berdasarkan kesepakatan antara pemilik sapi bali dan peternak yang memelihara.
Kesepakatan yang umum yaitu anak pertama dari sapi tersebut menjadi milik orang
yang menitipkan sedangkan anak kedua menjadi milik peternak yang memelihara
dan begitu seterusnya. Sapi bali yang dititipkan ke peternak umumnya berjenis
kelamin betina untuk digunakan sebagai bibit. Sistem gaduhan sapi bali tersebut
dapat mengembangkan sapi bali di Desa Pa’rappunganta apabila peternak yang
dititipi sapi bali mampu melakukan pemeliharaan dengan baik dan memproduksi
anak sapi atau pedet satu ekor per tahun (produktivitas baik).
Populasi Sapi Bali
Sapi bali di Desa Pa’rappunganta berasal dari wilayah Kabupaten Takalar
yang dibeli oleh penduduk desa kemudian diternakkan. Populasi sapi bali mengalami
peningkatan maupun penurunan setiap tahun. Kepadatan sapi bali Desa
Pa’rappunganta pada tahun 2011 mencapai 150 ekor/km2. Tahun 2008 hingga tahun
2010 jumlah sapi bali mengalami peningkatan. Sapi bali betina jumlahnya lebih
besar dibandingkan sapi bali jantan karena sapi bali jantan umumnya dijual oleh
peternak ketika umurnya telah mencapai 1-2 tahun. Peternak tidak menjual sapi
betina karena diharapkan dapat menghasilkan anak tiap tahunnya, kecuali jika sapi
betina tersebut sudah afkir atau sakit.
Peningkatan populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar 6,48% terjadi
di tahun 2009 jika tahun 2008 diasumsikan sebagai tahun awal. Tahun 2010 terjadi
peningkatan populasi sebesar 4,75%, namun laju perkembangan populasi mengalami
penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 1,73%. Peningkatan populasi sapi
bali di lokasi penelitian lebih tinggi dibandingkan peningkatan populasi sapi nasional
tahun 2008-2010. Data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(2011) menunjukkan populasi sapi tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar
2,01% dibandingkan tahun 2008, sedangkan tahun 2010 meningkat sebesar 3,12%
dari tahun 2009.
Populasi sapi bali yang meningkat tahun 2008 ke 2009 didorong oleh adanya
program bantuan sapi bali melalui Sarjana Membangun Desa (SMD) yang
bekerjasama de