Pembentukan Blastosis Pada Embrio Sapi yang Difertilisasi Secara In Vitro dengan Semen Sapi Bali (Bos javanicus) dan Semen Sapi Simmental (Bos taurus)

RINGKASAN
Fahrudin Darlian. D14086007. 2013. Pembentukan Blastosis Pada Embrio Sapi
yang Difertilisasi Secara In Vitro dengan Semen Sapi Bali (Bos javanicus) dan
Semen Sapi Simmental (Bos taurus). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Muhammad Imron, S.Pt., M.Si.
Kebutuhan daging sapi dalam negeri terus meningkat, dan sampai saat ini
kebutuhan tersebut sebagian besar masih dipenuhi dari luar negeri. Peningkatan dan
percepatan populasi ternak lokal dapat dilakukan dengan aplikasi bioteknologi
reproduksi kelahiran ganda dengan Transfer Embrio (TE). Fertilisasi in vitro
merupakan salah satu pengembangan bioteknologi reproduksi yang dapat digunakan
sebagai alternatif untuk meningkatkan populasi, produktifitas, dan mutu ternak sapi di
Indonesia. Sapi Bali (Bos javanicus) merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang
merupakan salah satu sapi penghasil daging yang cukup baik dan mudah beradaptasi
dengan lingkungan, dan juga memiliki tingkat fertilitas yang baik. Peningkatan
populasi sapi Bali dapat dilakukan dengan produksi embrio secara in vitro. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan sperma sapi Bali (Bos javanicus)
dalam melakukan fertilisasi secara in vitro dan pengaruhnya terhadap pembelahan sel
sampai pada tahap blastosit, yang dibandingkan dengan sapi Simmental (Bos taurus).
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 di

Laboratorium Balai Embrio Ternak Cipelang, Bogor. Ovarium sebagai sumber oosit
diperoleh dari RPH. Oosit yang telah dimaturasi, difertilisasi dengan menggunakan
sperma sapi Bali dan Simmental yang merupakan perlakuan dalam penelitian ini.
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat pembelahan pada hari kedua,
pembentukan morula pada hari kelima dan pembentukan blastosit pada hari ke-6, 7, 8
dan 9. Data hasil penelitian ini diolah dengan analisis chi-kuadrat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Bali memiliki kemampuan yang
lebih baik dibandingkan dengan sapi Simmental dalam melakukan fertilisasi secara in
vitro. Hal tersebut dilihat dari tingkat pembelahan embrio, pembentukan morula dan
blastosit total yang berbeda nyata (P0,05). The competence of embryo development from the
blastocyst rate at day 6 was significantly different (P0,05).
Keywords : bali cattle embryos, IVF, in vitro embryo production

3

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini permintaan kebutuhan daging sapi di Indonesia terus
meningkat.Sampai saat ini kekurangan pemenuhan kebutuhan daging masih penuhi
dari luar negeri baik berupa impor ternak hidup maupun daging beku.Melihat

fenomena tersebut pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi dan
Kerbau (PSDSK).Program tersebut dilakukan salah satunya dengan mengangkat
eksistensi ternak lokal dan meningkatkan kualitas serta kuantitas dari ternak lokal
tersebut.Peningkatan dan percepatan jumlah populasi dimasyarakat telah banyak
dilakukan dengan teknologi inseminasi buatan (IB), tetapi hal tersebut ternyata belum
cukup.Salah satu upaya untuk membantu percepatan populasi sapi dalam negeri
adalah dengan memanfaatkan teknologi reproduksi transfer Embrio (TE), dengan
program transfer embrio populasi ternak dapat ditingkatkan dengan kelahiran ganda
melalui sinergi IB dan TE maupun dengan TE 2 embrio.
Produksi embrio secara in vivo telah banyak dilaporkan, akan tetapi aplikasi
teknologi ini masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan harga hormon untuk
superovulasi cukup

mahal dan

membutuhkan

ketrampilan

khusus


dalam

melakukannya.Selain itu tingginya tingkat perbedaan dan respon yang tidak dapat
diduga dari masing-masing donor menjadi faktor pembatas yang penting terhadap
efisisnsi dan profitabilitas teknologi ini (Durocher, 2006).
Fertilisasi in vitro merupakan salah satu pengembangan bioteknologi
reproduksi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan populasi,
produktifitas, dan mutu ternak sapi di Indonesia.Pemanfaatan teknologi fertilisasi in
vitro ini dapat dihasilkan embrio pada berbagai tahap perkembangan dalam jumlah
yang besar dan waktu yang singkat, serta berguna untuk meningkatkan daya
reproduksi sapi betina produktif maupun setelah masa produksinya habis, yaitu
dengan memanfaatkan ovarium dari sapi betina tersebut setelah dipotong.Sapi betina
produktif yang terlanjur dipotong maupun sapi betina yang sudah tidak produktif
dapat dimanfaatkan ovariumnya untuk teknologi produksi embrio secara in vitro.
Sapi Bali (Bos javanicus) merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang harus
dilestarikan, karena sapi bali merupakan salah satu sapi penghasil daging yang cukup
baik dan mudah beradaptasi dengan lingkungan, bahkan masih mempunyai
13


kemampuan adaptasi yang baik pada wilayah beriklim kering dengan tingkat cekaman
iklim dan lingkungan pakan yang berat.

Sapi Bali juga merupakan sapi asli

Indonesia yang memiliki tingkat fertilitas yang baik.Melihat keunggulan-keunggulan
tersebut sapi Bali sangat baik dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan daging
dalam negeri. Peningkatan populasi sapi Bali dapat dilakukan dengan produksi
embrio secara in vitro, untuk itu perlu dipelajari tentang kemampuan sperma sapi Bali
dalam melakukan fertilisasi secara in vitro, dan kemampuan perkembangan embrio
yang dihasilkan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sperma sapi Bali (Bos
javanicus) dibandingkan dengan sapi Simmental (Bos taurus)dalam melakukan
fertilisasi secara in vitro dan pengaruhnya terhadap pembelahan sel sampai pada tahap
blastosis.

14

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Bali (Bos javanicus)
Sapi Bali (Bos javanicus) diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar
(Bibos banteng). Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah
dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali di
Indonesia. Nozawa (1979) menduga gen asli sapi Bali berasal dari Pulau Bali yang
kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen
sapi Bali adalah di Pulau Bali.
Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (banteng).Warna sapi betina dan
anak atau sapi muda biasanya cokelat muda dengan garis hitam tipis terdapat di
sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah cokelat ketika muda tetapi
kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati
hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna
coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha
(pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas
kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Payne dan Rollinson, 1973;
Hardjosubroto dan Astuti, 1993).
Kemampuan produksi sapi Bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat
produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot
badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), maupun sifat

reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak beranak (calving interval),
persentase beranak. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat
penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi (Handiwirawan
dan Subandriyo, 2004).Pubertas sapi Bali dicapai pada kisaran umur 20–24 bulan
untuk sapi betina sedangkan pada sapi jantan dicapai pada umur 24–28 bulan
(Pane,1991).Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sapi Bali mempunyai tingkat
kesuburan yang sangat baik, walaupun dalam kondisi lingkungan yang kurang baik
sapi Bali masih mampu mempertahankan sifat ini. Menurut Pane (1991) tingkat
kebuntingan (conception rate) sapi Bali mencapai 85,9%, persentase beranak berkisar
antara 70%-81%,meskipun tidak jelas namun terdapat bulan-bulan dimana banyak
terjadi perkawinan. Pane (1991) melaporkan bahwa terdapat kenaikan perkawinan
15

pada bulan Agustus sampai Januari dan tertinggi pada bulan Oktober dan Nopember,
sementara itu bulan Pebruari sampai dengan Juni merupakan bulan-bulan dengan
perkawinan lebih rendah dan bulan dimana perkawinan paling rendah yaitu pada bulan
Mei.
Spermatogenesis
Menurut Russell (1990) proses spermatogenesis merupakan proses yang
kompleks dan berlangsung terus menerus untuk menghasilkan spermatozoa yang

haploid dari suatu sel spermatogonia yang diploid. Proses ini terdiri dari tiga tahap,
yaitu tahap proliferasi (spermatositogenesis), tahap miosis dan fase diferensiasi
(spermiogenesis). Proses proliferasi sel induk spermatogonia tipe A yang belum
berdeferensiasi akan mengalami mitosis untuk menghasilkan dua spermatogonia tipe
A yang sama. Bagian penting dari fase ini adalah fase ketika spermatogonia akan
didaur ulang, karena ada beberapa spermatogonia hasil pembelahan yang tidak
berkembang dan mengalami degenerasi dan terjadi apoptosis sel, sehinggamemberi
tempat bagi spermatogonia yang lain yang tidak mengalami degenerasi (Senger,
2003).
Proses meiosis dihasilkan spermatosit sekunder dari spermatosit primer.
Selama fase ini, keragaman genetic yang akan dibawa oleh spermatozoa matang
nantinya bergantung pada replikasi DNA dan crossing over, sehingga tidak ada dua
sperma yang memiliki sifat identik. Pada fase ini, dihasilkan spermatid yang bersifat
haploid (n). Pada proses diferensiasi atau spermiogenesis, spermatid yang semula
berbentuk bulat akan mengalami transformasi bentuk dengan keberadaan kepala yang
mengandung materi genetik, ekor dan midpiece yang mengandung mitochondrial
helix. Keseluruhan germ-cell yang belum dewasa akan berada pada membrane basal
tubuli seminiferi (Senger, 2003).
Spermatogenesis dipengaruhi oleh faktor-faktor endogen dan eksogen.
Faktor endogen meliputi hormonal, psikologis, dan genetik. Faktor eksogen dapat

berupa bahan kimia dan obat-obatan, suhu, radiasi sinar-X, getaran ultrasonic,
vitamin, gizi, trauma dan peradangan.

Berlangsungnya spermatogenesis pada

tubulus seminiferus melibatkan hipotalamus, hipofisis dan testis.

Gonadotropin

Releasing Hormone (GnRH) hipotalamus merangsang hipofisis anterior untuk
mensekresikan Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).

16

LH memberikan rangsangan untuk perkembangan sel Leydig yang akan memproduksi
hormon testosteron, sedangkan FSH berpengaruh langsung terhadap perkembangan
sel sertoli dalam tubulus seminiferus dan meningkatkan sintesis protein pengikat
hormon androgen atau Androgen Binding Protein (ABP). ABP merupakan
glikoprotein yang mengikat testosteron.Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig
diangkut dengan konsentrasi yang tinggi ke tubulus seminiferus (Lachland et al.,

1996).
Sel Tunas Primordia pada Embrio
Pembelahan Mitosis
Sel Batang
Spermatogonia
Pembelahan Mitosis
Spermatogonia
Pembelahan Mitosis
Spermatosit Primer
Pembelahan Meiosis I
Spermatosit Sekunder
Pembelahan Meiosis II
Spermatid
awal
Diferensiasi (Sel Sertoli
menyediakan Nutrisi
Sperma

Gambar 1. Proses Spermatogenesis.
Sumber : Cummings (2008)


17

Proses Perkembangan Folikel (Folikulogenesis) dalam Ovarium
Perkembangan folikel atau folikulogenesis terjadi pada masa prenatal dan
postnatal. Proses awal perkembanganfolikel terjadi pada masa prenatal. Proses awal
perkembangan folikel terjadi pada masa prenatal (Wandji et al., 1996).
Folikulogenesis dimulai dengan perekrutan folikel primordial pada folikel yang
sedang tumbuh dan berakhir dengan ovulasi atau mati karena atresia. Folikulogenesis
dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, disebut fase preantral atau
gonadotropinindependen, ditandai oleh pertumbuhan dan diferensiasi oosit. Tahap
kedua, disebut fase antral atau gonadotropin-dependent, ditandai dengan peningkatan
yang luar biasa dari ukuran folikel itu sendiri (sampai kira-kira 25-30 mm). Tahap
preantral dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal
melalui mekanisme autokrin / parakrin. Tahap kedua diatur oleh FSH dan LH serta
oleh faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan memberikan pengaruh yang besar
karena dapat merangsang proliferasi sel dan memodulasi aksi gonadotropin (Williams
dan Erickson, 2012).
Perkembangan Folikel
2

Pengerahan dan
pertumbuhan
folikel
(46-200 µm)

1
Pembentukan
folikel
primordia (35
µm)

1
2
3
PGC Oogonia Permulaan
Meiosis

4
Oosit
diploid
(2n4C)

3
Pembentukan
rongga antral
(200-500 µm)

4
Pertumbuhan dan
Pematangan folikel de Graaf
(>6000 µm)

Pengembangan
antrum

5
Pertumbuhan oosit secara meiosis :
Replikasi dan redistribusiorganel sitoplasma
Transkripsi, translasi, dan Pentimpanan mRNA
Sintesis zona pellucida

Blokade Meiosis
(Diplotene pada Profase

6
Oosit Matang
(2n4C)

I

Perkembangan Oosit

Gambar 2.Proses Folikulogenesis.
Sumber : (Picton et al., 1998)

Proses folikulogenesis terjadi dalam korteks ovarium. Folikulogenesis dapat
dianggap sebagai proses untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari organisasi
melalui proliferasi sel dan cytodiferensiasi. Proses ini mencakup empat peristiwa
perkembangan utama: 1) perekrutan folikel primordial, 2) perkembangan folikel
preantral, 3) seleksi dan pertumbuhan folikel antral, dan 4) atresia folikel (Williams
dan Erickson, 2012).
18

Folikel primordial mengandung oosit yang berada dalam tahap profase I, tetapi
belum menyelesaikan pembelahan meiosis pertamanya sampai mencapai masa
pubertas. Folikel yang mengandung oosit akan mengalami perkembangan ketika
hewan mencapai masa pubertas. Sel epitel yang mengelilingi oosit berubah menjadi
epitel kubus sebaris dan disebut dengan folikel primer (Wandji et al., 1996).Folikel
primer berkembang menjadi folikel sekunder dengan karakteristik telah bertambahnya
sel epitel yang mengelilingi oosit sampai dengan 5 lapis sel. Zona pelusida mulai
terbentuk pada folikel sekunder, sebagai suatu lapisan tipis di sekeliling oosit
(Rachmawati, 2011).
Folikel tersier merupakan folikel antral yang akan berkembang menjadi folikel
de Graaf. Folikel ini memiliki karakteristik telah terbentuknya antrum folikuli, yaitu
ruangan yang terbentuk akibat perkembangan sel-sel folikuler.Antrum folikuli pada
awalnya terpisah, tetapi kemudian bersatu menjadi suatu ruangan berbentuk bulan
sabit. Antrum folikuler terus membesar hingga mendesak sel telur menuju tepian
folikel hingga akhirnya terjadi proses ovulasi (Rachmawati, 2011).
Fertilisasi In vitro
Maturasi Oosit
Maturasi oosit merupakan proses biologi yang kompleks dimana oosit primer
menjadi oosit sekunder yang siap difertilisasi. Proses ini merupakan peristiwa
pembelahan meiosis dari profase pada meiosis I ke metaphase pada meiosis II (Tornell
et al., 1991).Beberapa faktor yang sangat berkompeten dalam keberhasilan
pematangan oosit adalah morfologi kumulus, ukuran folikel, kesehatan folikel,
stimulasi ovarium, prosedur penanganan oosit sebelum mulai inkubasi dan lamanya
oosit diinkubasi (Sirard dan Blondin, 1996). Menurut Chian et al. (1994) oosit yang
matang akan ditandai dengan keadaan oosit yang sulit dipisahkan secara individu dan
pengebangan sel-sel kumulus yang melebar dan cerah serta adanya badan kutub I.
Fungsi sel kumulus sangat penting pada proses maturasi sel telur secara in vitro.Sel
telur yang tanpa kumulus, setelah proses maturasi akan banyak kehilangan protein,
sedangkan pada sel telur dengan sel kumulus intact protein akan tertahan.
Penghilangan sel-sel kumulus pada awal maturasi In vitro akan menurunkan potensi
perkembangan oosit (Maedomari et al., 2007). Kualitas oosit sangat mempengaruhi
hasil akhir produksi embrio in vitro, oosit dengan kualitas A dan B saja yang dipilih
19

untuk proses maturasi in vitro. Menurut Saito(1995), oosit yang dikoleksi
dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu :Kategori A,adalah oosit yang dikelilingi
oleh sel-sel kumulus yang banyak (lebih dari 3 lapis) dan kompak dengan ooplasma
yang homogeny; Kategori B,adalah oosit yang hanya sebagian permukaan oosit yang
dilapisi oleh sel-sel kumulus atau hanya dikelilingi oleh kurang dari 3 lapis sel-sel
kumulus dengan ooplasma yang homogeny; dan Kategori C,adalah oosit yang tidak
dilapisi oleh sel-sel kumulus (denuded oocyte) atau oosit yang dikelilingi oleh sel-sel
kumulus yang sangat sedikit.
Suhu yang ideal untuk maturasi In vitroadalah 38,5°C (NLBC, 2005). Sirard
dan Blodin (1996) yang menyatakan bahwa maturasi sel telur secara In
vitroberlangsung antara 18-24 jam. Menurut Chian et al.(1994) waktu maturasi yang
terlalu lama dapat menghasilkan oosit yang terlalu tua dan mengakibatkan
terganggunya proses fertilisasi in vitrodan akan mempengaruhi perkembangan embrio
selanjutnya.
Media maturasi yang dikenal memiliki kemampuan baik untuk pematangan
oosit secara In vitro adalah TCM-199 dengan berbagai modifikasinya. TCM-199
diperkaya dengan garam earl, sodium bicarbonate, hepes, pyruvate, laktat, asam amino
dan vitamin adalah salah satu standar medium untuk pematangan oosit sapi dan domba
(Rutledge et al., 1997).Penambahan 5% CO2 perlu dilakukan untuk menjaga media
tetap stabil, serta perlu ditambahkan antibiotika untuk mencegah kontaminasi jasad
renik dan pertumbuhan mikroorganisme di dalam medium yang dapat mengganggu
perkembangan oosit.
Kapasitasi Sperma
Kapasitasi sperma adalah rangkaian proses biokimia dan reaksi fisiologis pada
spermatozoa (Gordon, 1994). Sedangkan menurut Furuya et al.(1992), kapasitasi
adalah perubahan biokimia yang menyebabkan reaksi akrosom (acrosome
reaction/AR) pada sperma sebagai respon dari zona pelusida oosit.Menurut Kato dan
Iritani (1991) kapasitasi sperma sebelum dilakukan fertilisasi in vitrobertujuan untuk
meningkatkan aktivitas dan pergerakan sperma serta untuk menghilangkan sifat stabil
dari membran plasma tersebut.
Menurut Gordon (1994) kapasitasi spermatozoa in vitrodapat dilakukan antara
lain dengan cara menginkubasi sperma pada medium yang kadar ionik dan pH sesuai,

20

menambah kalsium ionophore atau dilaurylfosfatidylcholine liposome, prainkubasi
sperma dengan glycosaminoglycans dan heparin. Konsentrasi sperma lxl06/ml yang
telah dikapasitasi dalam BO medium yang ditambahkan 10 µl/ml heparin
menyebabkan sperma dapat menembus 85%-95% sel telur (Kato dan Iritani, 1991).
Hasil penelitian Im et al. (1995) menyatakan bahwa pada BO medium
digunakan Heparin 0,1 IU/mL dan kafein 5mM sebagai agen kapasitasi, sedangkan
pada TALP medium digunakan Heparin 0,1 IU/mL, hypotaurine 10 µM, epinephrine 1
µM dan penicillamine 20 µM sebagai agen kapasitasi sperma. Oosit yang diinseminasi
dengan sperma yang dikapasitasi dengan medium fertilisasi yang menggunakan BO
medium menghasilkan persentase yang terfertilisasi sebesar 67,4% dan yang
membelah 23,3%.
Fertilisasi
Fertilisasi adalah suatu proses yang komplek dimana terjadi penggabungan dua
gamet, perubahan jumlah kromosom somatic (n menjadi 2n) dan awal dari
pertumbuhan individu baru (Gordon, 1994). Hafez dan Hafez (2000) mendefinisikan
fertilisasi sebagai penyatuan materi DNA paternal dan maternal pada embrio.
Selanjutnya dijelaskan bahwa proses fertilisasi secara in vivo maupun in vitropada
mamalia prinsipnya hampir sama yaitu melalui rangkaian tiga proses yang terdidri dari
migrasi sperma pada sel-sel kumulus, penempelan sperma dan migrasi melalui zona
pellucida, dan penempelan dan penetrasi sperma pada zona pellucida serta penyatuan
garnet. Menurut McGeady et al. (2006) fertilisasi merupakan proses bertemunya sel
sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan
inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan proses reproduksi
seksual. Penetrasi spermatozoa ke dalam membrane vitelin mengaktifasi sel telur
untuk melengkapi proses miosisnya dan mengeluarkan badan kutub kedua.
Kromosom yang terkandung dalam pronukleus jantan haploid bersatu dengan
kromosom dalam pronukleus betina. Proses penyatuan kedua kromososm tersebut
disebut dengan singami.

Sebagai konsekuensi dari fertilisasi, jumlah kromosom

kembali menjadi diploid, jenis kelamin suatu individu ditentukan, dan variasi biologis
dihasilkan dari integrasi karakteristik herediter paternal dan maternal.

21

Menurut Sumantri et al. (1997) lama waktu fertilisasi yang baik adalah 5 jam.
Semakin lama waktu fertilisasi akan menurunkan persentase pembentukan blastosis
yang dihasilkan dan meningkatkan persentase polyspermia. Lama fertilisasi yang tepat
akan menghasilkan jumlah oosit yang terfertilisasi menjadi optimal sehingga
perkembangan embrio dapat berjalan dengan baik (Chian et al., 1994). Menurut
Hunter (1995) ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan agar fertilisasi in vitro
dapat berhasil. Faktor-faktor tersebut meliputi : sumber dan kondisi sperma, kualitas
oosit yang diperoleh dan pemilihan medium (medium maturasi, fertilisasi dan kultur),
volume mikro drop yang yang digunakan untuk biakan dan konsentrasi sperma di
dalamnya serta kondisi peralatan dan medium yang benar-benar aseptik untuk
menghindari terjadinya kontaminasi.
Kultur Embrio
Embrio berkembang lebih lambat dalam medium kimiawi pada kultur in vitro
dibandingkan dengan in vivo, hal ini menunjukkan bahwa saluran reproduksi menjadi
faktor spesifik yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan optimal pada
sel telur (Pratt, 1987). Kemampuan sel telur untuk bertahan dalam kultur in vitro
tergantung pada spesies, tahap perkembangan sel telur, kandungan fisik dan biokimia
pada media, suhu penyimpanan, tingkat pendinginan dan penghangatan sel telur, serta
teknik penyimpanan dan transfer sel telur.
CR1aa mengandung media minimum dasar penting yang merupakan
campuran dari asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, ribonucleosides dan
deoxyribonucleosides. Komponen utama yang lain dari CR1aa adalah medium basal
eagle, yang merupakan campuran suplemen asam amino tambahan, vitamin dan
garam-garam anorganik (Rosenkrans et al., 1993; Sagirkaya et al., 2004).
Situmorang et al. (1998) melaporkan bahwa perbandingan ko-cultur BOEC (Bovine
Oviduct Epithelial Cells) dan CRlaa, mengasilkan angka blastosis pada hari ketujuh
dan delapan adalah 10% dan 8,8% untuk zigot yang dikultur dengan BOEC,
dibandingkan dengan yang dikultur dalam CRlaa adalah 22% dan 18% masing-masing
pada hari ketujuh dan kedelapan.

22

Perkembangan dan Pembelahan Embrio
Proses perkembangan embrional pada mamalia diawali dengan terjadinya
pembuahan sel telur oleh sperma sehingga terbantuk zigot. Zigot merupakan bentuk
paling awal dari perkembangan hewan dan sering disebut juga sebagai sel telur yang
terbuahi. Zigot akan mengalami proses pembelahan secara mitosis yang disebut
dengan istilah cleavage.

Pembelahan pertama dari satusel menjadi dua sel,

masing-masing anak hasil pembelahan disebut blastomer. Masing-masing blastomer
selanjutnya akan membelah menjadi 4, 8, 16 sel dan seterusnya (McGeady, 2006).

Oosit matang

Embrio 2 sel

Embrio 3-4 sel

Embrio 8-16 sel

Fase Morula

Fase Blastosis

Gambar 3.Perkembangan Embrio Sapi.
Sumber :Lechniak et al. (2008).

Sel telur yang telah diovulasi akan mengalami beberapa tahapan setelah
diaktifasi maupun difertilisasi oleh sel sperma. Sel telur akan berkembang menjadi
zigot kemudian melakukan pembelahan awal menjadi 2, 4, dan 8 sel hingga
mengalami kompaksi dan disebut dengan morula,kemudian morula berkembang
menjadi blastosis yang memiliki stuktur terdiri atas blastosul, Inner Cell Mass (ICM),
trofoblast, dan zona pelusida. Selanjutnya blastosis akan keluar dari zona pelusida

23

(hatching) untuk kemudian berimplantasi pada dinding uterus (Hogan, 1994).
Kecepatan pembelahan embrio sangat bervariasi pada spesies hewan. Pada
mencit dan mamalia lainnya kecepatan pembelahan tergantung dari strainnya, namun
secara umum akan menghabiskan waktu 3,5 hari untuk perkembangan dari mulai
tahap pembelahan sel (cleavage)sampai dengan tahap blastosis (Kispert dan Gossler,
2004).
Pada mamalia, pembelahan awal terjadi selama 24 jam kemudian pembelahan
selanjutnya terjadi pada interval setiap 12 jam hingga hari ketiga. Berbeda dengan
pembelahan in vivo, proses pembelahan pada in vitro mengalami pelambatan sehingga
membutuhkan waktu 48 jam setelah fertilisasi. Sinkronisasi pembagian blastomer
pun terjadi pada tahap awal sehingga dapat ditemukan tahapan tiga, lima, enam, atau
tujuh blastomer pada proses secara in vitro (McGeady et al., 2006).
Pengaruh Persilangan dan Heterosis
Persilangan ada 2 macam yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar.
Silang dalam (inbreeding) adalah persilangan antarternak yang memiliki hubungan
keluarga yang lebih dekat jika dibandingkan dengan rataan hubungan kekerabatan
kelompok tempat ternak tersebut berada.

Hubungan kekerabatan tersebut bisa

hubungan langsung maupun hubungan kolateral. Silang dalam mengakibatkan adanya
peningkatan derajat homozigositas dan menurunkan derajat heterozigositas. Laju
peningkatan homozigositas akibat silang dalam pada suatu individu tergantung dari
seberapa dekat hubungan kekerabatan kedua tetuanya(Noor, 2008).
Silang luar merupakan persilangan antarternak yang memiliki hubungan
kekerabatan lebih jauh dari rataan hubungan kekerabatan kelompok asal ternak. Silang
luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen heterozigot dan menurunkan
proporsi gen homozigot. Pada umumnya heterozigositas akan meningkatkan daya
hidup embrio yang akan meningkatkan jumlah anak per kelahiran. Pada babi,
peningkatan litter size dapat meningkat 0,5-1 anak per kelahiran. Peningkatan ini
disebabkan oleh heterosis pada ternak hasil persilangan yang tetuanya adalah ternak
murni. Pada sapi dan domba perhitungan berdasarkan jumlah anak yang dilahirkan
per 100 betina yang dikawinkan. Peningkatan sifat ini dapat mencapai 5%-10% pada
sapi hasil persilangan.

24

Kelahiran Ganda (Twinning)
Kelahiran ganda bertujuan untuk meningkatkan efisiensi biologis dan
ekonomis dari ternak sapi betina.Berbagai penelitian melaporkan bahwa kelahiran
ganda dapat meningkatkan efisiensi biologis dan ekonomis pada sapi potong sebesar
20%-25% (Gordon, 1994). Program kelahiran ganda adalah salah satu inovasi
rekayasa bioteknologi yang diharapkan bisa mempercepat peningkatan populasi
ternak sapi potong sekaligus upaya untuk menghasilkan sapi potong dengan kualitas
genetik unggul.

Program kelahiran ganda (twinning) dapat dilakukan melalui

kombinasi Inseminasi Buatan (IB) dan Transfer Embrio (TE) atau dengan TE dua
embrio(Suzuki et al., 1994). Suzuki et al. (1994) melaporkan bahwa TE baik
menggunakan embrio yang diproduksi secara in vivo maupun in vitro, pada resipien
yang telah di IB sebelumnya merupakan metode yang paling efektif untuk
meningkatkan jumlah pedet.
Lu dan Polge (1991) melaporkan bahwa keberhasilan tingkat kebuntingan
sebesar 77% dan keberhasilan tingkat kelahiran ganda sebesar 65%. Balai Embrio
Ternak (2011) melaporkan bahwa keberhasilan tingkat kebuntingan sebesar 36,78%
dan keberhasilan tingkat kelahiran ganda sebesar 43,52%.

25

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Produksi Embrio In Vitro Balai
Embrio Ternak Cipelang, Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Meisampai dengan
Juni 2012.
Materi
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ovarium sapi brahmancross
sebanyak 121 ovarium dari 64 ekor betina yang dipotong.Ovarium sebagai sumber sel
telur (oosit) yang diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Semen sapi
yang digunakan adalah semen sapi Bali (nomor lot 19959) dari BBIB Singosari dan
semen sapi Simmental (nomor lot 60757) dari BIB Lembang.
Alat-alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termos, termometer, alkohol,
gunting, kapas, pinset, beaker glass, tissue steril, syringe 5 ml, jarum suntik (18 G),
water bath, hot plate, cawan petri, pipet pasteur, mikroskop stereo, inkubator CO2,
sentrifuge, Neubeur chamber, bunsen, erlenmeyer,mikrofilter ukuran 0,22 µL,
alluminium foil, kertas label, spidol, timbangan analitik.
Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah TCM-199 (Gibco
Cat.#11150-042), FCS (Fetal Calf Serum, Sigma Cat.#F 2442), Na Pyruvate (Gibco
Cat.#11840-030), Mineral Oil (Sigma Cat.#M.8410), NaCl, KC1, NaHCO3,
NaH2PO4.2H2O, Na Lactate (60% syrop, Sigma Cat.#L.1375), CaCI2.2H2O,
MgCl2.2H2O, Pennisilin (Sigma Cat.#4687), Streptomisin (Sigma Cat.#S1277),
Phenol Red, BSA Fraction V (Sigma Cat. #A2085), BSA fatty acid free(Sigma Cat. #
A8806), NaH2PO4, Heparin (Sigma Cat. #D4776), 100 X MEM non essential amino
acid (Sigma Cat. #M7145), 50 X BME amino acid (Sigma Cat. #B6766), dan PBS
(Phospate Buffer Saline).

26

Prosedur
Koleksi Ovarium dan Teknik Koleksi Oosit
Ovarium sapi dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH), segera setelah
sapi betina dipotong, kemudian ovarium ditempatkan dalam media yang berisi Laktat
Ringer yang di suplementasi dengan antibiotik (streptomycin 100 mg/L dan penicillin
100.000 IU/L) pada suhu + 37,5 °C,kemudian dibawa ke laboratorium,untuk menjaga
suhu tetap stabil ovarium dimasukkan dalam termos tahan panas.Setelah sampai
dilaboratorium ovarium segera diproses dengan melakukan pencucian ovarium
sebanyak 2-3 kali dengan menggunakan saline fisiologis dan ditempatkan pada gelas
piala, kemudian disimpan di atas hot plate dengan suhu 38,5°C. Ovarium dibersihkan
dan dikeringkan dengan kertas tissue steril, kemudian mulai dilakukan pengambilan
dan pengumpulan oosit dengan metode aspirasi. Metode aspirasi dilakukan dengan
menggunakan syringe 5 ml dan jarum suntik berukuran 18-G yang berisi larutan PBS
(Phosphate Buffered Saline, Sigma) yang telah disuplementasi dengan calf serum
10%.

Folikel yang berukuran 2-6 mm ditusuk dan diaspirasi dengan cairan

folikelnya, folikel yang besar dan follikel yang berisi darah (bloody follicles) tidak
diaspirasi, kemudian hasil aspirasi diletakkan di cawan petri bergaris yang berukuran
90 x 90 mm, untuk memudahkan pencarian dan koleksi oosit. Pencarian oosit
dilakukan dibawah mikroskop stereo, oosit hasil pencarian dipindahkan ke cawan petri
berdiameter 5 cm, setiap pemindahan oosit dilakukan dengan menggunakan pipet
pasteur dan hanya oosit dengan kategori A dan B saja yang diambil untuk pematangan
in vitro.
Maturasi Oosit InVitro
Oosit hasil koleksi dilakukan pencucian dengan menggunakan medium
TCM-199 sebanyak 3 kali. Kemudian oosit ditempatkan dalam drop maturasi dengan
medium TCM-199 dengan jumlah media yang dibutuhkan sebanyak 5 µL medium
maturasi tiap satu oosit dan ditutup dengan mineral oil, medium tersebut sebelumnya
telah diequilibrasi di dalam inkubator 5% CO2, suhu 38,5 °C, dan kelembaban 90%
paling sedikit 2 jam. Proses maturasi berlangsung selama + 18-24 jam. Maturasi
dilakukan secara berkelompok, dengan jumlah oosit sebanyak 40-100 oosit tiap drop
dengan volume media sebanyak 5 µL/oosit.

27

Fertilisasi In vitro
Semen beku yang digunakan untuk fertilisasi in vitroadalah semen dari bangsa
sapi Bali dan sapi Simmental yang merupakan perlakuan dalam penelitian ini. Semen
beku dicairkan dengan air hangat dengan suhu 37 °C, kemudian dicuci dengan
medium BO (Brackett and Oliphant) ditambah 10 mM kafein dan 4 µg/mL heparin
yang merupakan agen kapasitasi, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1800 rpm
selama 5 menit, prosedur ini dilakukan sebanyak 2 kali. Sedimen yang terbentuk
ditambahkan larutan pencuci sebanyak 300 µL dan dilakukan penghitungan
konsentrasi sperma, untuk selanjutnya diencerkan dengan konsentrasi 12,5 x 106
sperma/mL. Campuran sperma tersebut dibuat drop dengan volume tiap drop 100 µL
pada cawan petri kemudian ditutup dengan mineral oil dan diinkubasi selama minimal
1 jam pada inkubator 5% CO2, suhu 38,5 °C dan kelembaban 90%. Oosit yang telah
matang dipindahkan ke dalam drop campuran sperma tersebut agar terjadi fertilisasi.
Proses fertilisasi dilakukan selama 5 jam. Setelah 5 jam difertilisasi, zigot dicuci dan
dipisahkan dari sperma.
Kultur dan Evaluasi Embrio
Zigot yang telah dicuci dan dan dipisahkan dari sperma dikultur dengan media
kultur CRlaa yang disuplementasi dengan calf serum 5% dan antibiotik (penisilin dan
streptomisin). Zigot yang telah dicuci dikultur dalam inkubator 5% CO2, suhu 38,5 °C
dan kelembaban 90%, hari saat dilakukan fertilisasi dihitung sebagai hari ke-0.
Setelah 48 jam (2 hari) dilakukan pengamatan terhadap pembelahan embrio yaitu
pembelahan >2 sel, pengamatan morula pada hari kelima, sedangkan pengamatan
blastosis dilakukan pada hari ke-6 (H6), hari ke-7 (H7), hari ke-8 (H8), dan hari ke-9
(H9).
Rancangan dan Analisis Data
Peubah
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :
a. Pembelahan sel pada hari Kedua, yaitu menghitung secara langsung jumlah zigot
yang membelah >2sel pada hari kedua (48 jam) setelah fertilisasi. Jumlah zigot
yang membelah dihitung sebagai oosit yang terfertilisasi.

28

Tingkat pembelahan =



x 100%



b. Tingkat Pembentukan Morula, yaitu menghitung secara langsung embrio yang
mencapai fase morula pada hari kelima.
Tingkat Pembentukan Morula =



x 100%



c. Tingkat Pembentukan Blastosis, yaitu menghitung secara langsung embrio yang
mencapai fase blastosis. Penghitungan embrio yang mencapai fase blastosis
dilakukan pada hari ke-6 (H-6), 7 (H-7), 8 (H-8) dan 9 (H-9). Blastosis Total
merupakan akumulasi jumlah pembentukan blastosis yang terjadi pada hari keenam
sampai kesembilan.
Tingkat Pembentukan Blastosis H-6 =



Tingkat Pembentukan Blastosis H-7 =



Tingkat Pembentukan Blastosis H-8 =



Tingkat Pembentukan Blastosis H-9 =



Tingkat Pembentukan Blastosis Total =
Analisis Data










x 100%
x 100%
x 100%
x 100%
x 100%

Hasil penelitian ini diolah dengan analisis data enumerasi chi-kuadrat yang
menurut Gaspersz (1991) dinyatakan dengan istilah uji Khi-kuadrat (Chi-square test).
Dijelaskan lebih lanjut bahwa data

enumerasi bukan diperoleh melalui hasil

pengukuran yang menggunakan alat ukur tertentu, melainkan dihitung. Data hasil
penelitan merupakan nilai frekuensi pengamatan, dan dihitung menurut Gaspersz
(1991), dengan formula :

E =
Keterangan :Bi

BK
T

= Total frekuensi pengamatan pada baris ke-i

Kj = total frekuensi pengamatan pada kolom ke-j
T = total seluruh frekuensi pengamatan.

29

Dengan menggunakan uji khi-kuadrat dengan formula berikut ini.
=
,

Keterangan :

(O − E )
E

= nilai Khi-kuadrat
Oij = frekuensi pengamatan (observasi)
Eij = frekuensi yang diharapkan mengikuti hipotesis yang dirumuskan

Bila
bila

<
>

,

;

,

;

maka tidak ada pengaruh perlakuan (tidak nyata) dan

maka ada pengaruh perlakuan (nyata).

30

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ovarium dan Perolehan Oosit per Ovarium
Ovarium yang digunakan dalam penelitian ini adalah ovarium dari sapi betina
Brahmancross.Ovarium yang digunakan sebanyak 121 ovarium yang berasal dari 64
ekor betina. Oosit yang diperoleh dari 121 ovarium tersebut sebanyak 1.042 oosit
dengan rataan perolehan oosit per ovarium sebanyak 8,83 ± 2,36 oosit(Tabel 1). Sapi
betina yang dipotong merupakan sapi betina yang sudah tidak produktif, tua dan sapi
betina produktif yang terlanjur dipotong.Produksi embrio in vitro dengan
menggunakan ovarium dari rumah potong hewan merupakan alternatif pemanfaatan
ovarium dari sapi-sapi betina yang dipotong, dengan memanfaatkan ovarium tersebut
diharapkan dapat diperoleh embrio yang dapat digunakan untuk program kelahiran
ganda dengan bioteknologi Transfer Embrio (TE), sehingga populasi sapi dapat
dipertahankan.
Table 1. Jumlah Ovarium, Jumlah Oosit yang Diperoleh dan Rataan Perolehan
Oosit/Ovarium.
Bangsa
Betina

Jumlah
Ovarium

Jumlah
Betina yang
Dipotong

Jumlah
Oosit
Total

Rataan
Jumlah
Oosit/ovarium

Sapi Bali

BX

54

29

547

10,40 ± 1,94

Sapi Simmental

BX

67

35

495

7,27 ± 1,60

121

64

1.042

Perlakuan

Jumlah
Rataan

8,83 ± 2,36

Tingkat Fertilisasi dan Pembelahan
Tingkat fertilisasi dari perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini dapat
ketahui dari jumlah zigot yang membelah.Hasil pengamatan pembelahan yang
dilakukan pada hari kedua, fase pembelahan > 2sel, pada sapi Bali diperoleh sebanyak
257 embrio dari 438 oosit yang difertilisasi (58,68%) dan pada sapi Simmental
sebanyak 200 embrio dari 394 oosit yang difertilisasi (50,76%) (Tabel 2).Tingkat
pembelahan pada hari kedua antara sapi Bali dan sapi Simmental menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata (P2 sel pada Sapi Bali dan Simmental.
Ooosit difertilisasi
n

Pembelahan 2 sel
n (%±SB)

Semen Sapi Bali

438

257(58,68±8,51)a

Semen SapiSimmental

394

200(50,76±12,84)b

Perlakuan

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P