Penyimpanan in vitro dengan teknik pertumbuhan minimal dan regenerasi pasca penyimpanan kultur purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)

ABSTRAK
ROBERT EDUARD SUEK. Penyimpanan In Vitro dengan Teknik Pertumbuhan Minimal dan
Regenerasi Pasca Penyimpanan Kultur Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Dibimbing oleh
RITA MEGIA dan IRENG DARWATI.
Purwoceng adalah salah satu tumbuhan obat langka Indonesia dengan kategori endangered
atau hampir punah karena eksploitasi tanpa penanaman kembali dan habitat aslinya yang sudah
rusak. Ekstrak akarnya berkhasiat obat sebagai diuretik, tonik dan terutama sebagai afrodisiak.
Penelitian awal menemukan bahwa purwoceng dapat dikonservasi baik secara in vitro dengan
teknik pertumbuhan minimal pada media DKW dengan sukrosa 30 gram, sorbitol 1% tanpa
paklobutrazol (S1P0); dan sorbitol 3% dan paklobutrazol 1 ppm (S3P1) pada masa penyimpanan
empat dan delapan bulan. Namun, regenerasinya pada media DKW + BA 4 ppm + Thidiazuron
(TDZ) 0,4 ppm + Glutamin 100 ppm dengan penambahan GA3 3 ppm selama tiga bulan
menunjukkan kultur tersebut mengalami penurunan daya regenerasi dan masih mempertahankan
morfologi kerdil pada tahap regenerasi. Pengaruh perlakuan sorbitol dan paklobutrazol selama
penyimpanan masih terbawa. Penelitian ini dilakukan melalui penanaman tunas aksilar purwoceng
yang ditumbuhkan pada media penyimpanan dengan masa penyimpanan enam bulan. Regenerasi
dilakukan selama dua bulan pada media DKW dengan sukrosa 30 gram, kombinasi GA3 (0, 1, 3, 5
ppm) dan BAP (0, 1, 2, 3 ppm). Perlakuan sorbitol dan paklobutrazol yang baik pada tahap
penyimpanan adalah S1P0. Perlakuan S1P0 menyebabkan tanaman memiliki pertumbuhan yang
cenderung lambat, tampak normal, memproduksi akar dan daya kultur baik sedangkan eksplan dari
S3P1 tumbuh lebih lambat, kerdil, roset dan jumlah akar sedikit. Perlakuan yang baik pada tahap

regenerasi untuk eksplan dari S1P0 adalah G1B1 (GA3 1 ppm dan BAP 1 ppm) dan G5B0.
Perlakuan tersebut menyebabkan tanaman tumbuh subur, tidak kerdil, daya hidup kultur yang
normal dan memproduksi akar. Walaupun eksplan telah disimpan selama enam bulan, masalah
penurunan daya regenerasi dan morfologi yang kerdil dapat diatasi pada tahap regenerasi.
Kata kunci : in vitro, Pimpinella pruatjan Molk., penyimpanan, regenerasi

ABSTRACT
ROBERT EDUARD SUEK. Storage of In Vitro with Minimal Growth Technique and
Regeneration After Storage of Purwoceng Culture (Pimpinella pruatjan Molk.). Supervised by
RITA MEGIA and IRENG DARWATI.
Purwoceng is one of the rare medicinal plants of Indonesia which is categorized as endangered
plant because of the exploitation without replanting and the damage of natural habitat. Roots
extracts of this medicinal plant can be used as diuretics, tonics, and especially as aphrodisiacs.
Preliminary research found that purwoceng can be good conserved in vitro with minimal growth
technique on DKW medium with 30 grams of sucrose, 1% sorbitol without paklobutrazol (S1P0);
and 3% sorbitol and 1 ppm paklobutrazol (S3P1) in the storage period of four months and eight
months. However, their regeneration within three months in media DKW + BA 4 ppm +
Thidiazuron (TDZ) 0,4 ppm + Glutamin 100 ppm that added with GA3 3 ppm decreased and they
maintained their dwarf morphology in the regeneration stage. Effect of sorbitol and paklobutrazol
treatment during storage was still brought. This research was conducted by planting of axillary

buds purwoceng which was grown on the storage media within six months of storage period. The
regeneration was carried out for two months on DKW medium with 30 grams of sucrose,
combination of GA3 (0, 1, 3, 5 ppm) and BAP (0, 1, 2, 3 ppm). The good treatment in this storage
phase was S1P0. Explants of S1P0 had tend to grow slowly and normally, produced good roots
and good condition; whereas explants of S3P1 slow growth rate, dwarf and poor of root. The good
combination at regeneration phase from explants of S1P0 was G1B1 (GA3 1 ppm and BAP 1 ppm)
and G5B0. The treatment of G1B1 and G5B0 produced fertile and no dwarfts plants which have
high growth rate, their culture vitality were normal, and they produce root.
Keyword : in vitro, Pimpinella pruatjan Molk., storage, regeneration

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tumbuhan obat memiliki potensi dan
pemanfaatan yang semakin meningkat
melalui industri agromedisin. Hal ini dilihat
dari semakin banyaknya penduduk dunia
yang kembali beralih pada obat alami.
Agromedisin adalah rangkaian proses
pengolahan bahan-bahan nabati mulai dari
budidaya tumbuhan berkhasiat obat yang

kemudian diolah menjadi bahan baku baik
berupa simplisia, produk olahan berupa
ekstrak, minyak atsiri maupun sediaan obat
jadi. Peluang ini sudah dimanfaatkan oleh
industri jamu Indonesia. Salah satu tumbuhan
obat terkenal adalah purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk.). Tumbuhan ini telah lama
dimanfaatkan oleh penduduk sekitar daratan
Dieng sebagai salah satu obat tradisional.
Sejauh ini pasokan bahan baku obat sebagian
besar (± 80%) masih mengandalkan hasil
penambangan dari alam (Rostiana et al.
2006). Ekstrak akarnya digunakan sebagai
diuretik (melancarkan saluran air seni), tonik
(meningkatkan stamina tubuh), dalam
seduhan, dan terutama sebagai afrodisiak
(meningkatkan gairah seksual) (Heyne 1987).
Ekstrak akar purwoceng mempunyai daya
kerja mempertinggi aktifitas motorik,
mempertinggi

tonus
otot-otot
lurik,
menstimulasi susunan syaraf pusat pada titik
tangkap kerja pada medula oblongata, dan
meningkatkan tingkah laku seksual tikus
jantan (Caropeboka et al. 1979). Metabolit
sekunder yang terdapat pada akar purwoceng,
yaitu: turunan kumarin, sterol, saponin, dan
alkaloid. Bahan-bahan tersebut berkhasiat
sebagai
obat
analgetik,
antipiretika,
antithelmitika, sedative, anti fungi, anti
bakteri dan anti kanker (Caropeboka & Lubis
1975) tetapi khasiat utamanya sebagai
afrodisiak.
Purwoceng merupakan tumbuhan langka
yang hampir punah dengan kategori

endangered atau hampir punah (Rivai et al.
1992) bahkan termasuk dalam Appendix I
berdasarkan
CITES
(Convention
on
International Trading in Endangered Species
of Wild Floral and Fauna) yang berarti
sangat dilindungi. Tanaman ini memerlukan
persyaratan
agronomis yang spesifik
sedangkan habitat aslinya sudah rusak akibat
perubahan peruntukan lahan sehingga
konservasi in situ (di dalam habitatnya)
hampir tidak mungkin dilakukan. Pencegahan
terhadap kepunahan perlu dilakukan dengan
konservasi sesegera mungkin. Teknologi

kultur in vitro merupakan teknologi yang
dapat

diterapkan
untuk
menghindari
kepunahan tumbuhan ini. Teknik ini
mempunyai beberapa keuntungan seperti
tidak memerlukan areal yang luas, bebas dari
gangguan hama (penyakit), memudahkan
pertukaran, dan biakan dapat segera
diperbanyak apabila diperlukan (Lestari &
Mariska 1997).
Penyimpanan secara in vitro dengan
teknik pertumbuhan minimal adalah suatu
teknik memperlambat pertumbuhan agar
waktu subkultur dapat diperpanjang. Pada
penyimpanan ini eksplan dikondisikan
tumbuh dalam keadaan sub optimal dimana
pertumbuhan berlangsung lambat (Engelman
1991). Berbagai cara dapat dilakukan, antara
lain:
pengaturan kondisi lingkungan,

penggunaan regulator osmotik seperti
sukrosa, sorbitol, dan manitol (Bessembinder
et al. 1993) dan pemberian zat penghambat
tumbuh seperti paklobutrazol, acymidol, dan
cycocel (Withers 1985). Zat penghambat
tumbuh “growth retardants” didefinisikan
sebagai senyawa organik sintetik: apabila
diberikan pada tumbuhan yang responsif akan
menghambat perpanjangan sel pada meristem
sub apikal, mengurangi laju perpanjangan
batang tanpa mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan daun (William 2003).
Penelitian awal konservasi in vitro
sebagai koleksi aktif menemukan bahwa
purwoceng dapat dikonservasi terbaik secara
in vitro dengan teknik pertumbuhan minimal
pada media perbanyakan Driver Kuniyaki
dan Walnut (DKW) dengan retardan
paklobutrazol 5 ppm dan masa simpan
kurang dari empat bulan (Rahayu & Sunarlim

2002). Penelitian lanjutan mendapatkan hasil
yang baik menggunakan media DKW dengan
sukrosa 30 gram, S1P0 dan S3P1 pada masa
penyimpanan empat dan delapan bulan.
Namun, regenerasinya pada media DKW +
BA 4 ppm + Thidiazuron (TDZ) 0,4 ppm +
Glutamin 100 ppm dengan penambahan GA3
3 ppm selama tiga bulan menunjukkan kultur
tersebut
mengalami
penurunan
daya
regenerasi dan masih mempertahankan
morfologi kerdil sebagai pengaruh perlakuan
sorbitol
dan
paklobutrazol
selama
penyimpanan masih terbawa (Ningsih 2009).
Kondisi

yang
diharapkan
dalam
konservasi in vitro, yaitu: kultur dapat
disimpan selama mungkin dengan viabilitas
tinggi tanpa menyebabkan penurunan daya
regenerasi. Untuk itu, pengujian daya

regenerasi menggunakan zat
tumbuh tertentu perlu dilakukan.

pengatur

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah membandingkan
pertumbuhan purwoceng pada media
penyimpanan in vitro S1P0 dan S3P1 dengan
teknik
pertumbuhan
minimal

dan
mendapatkan konsentrasi kombinasi zat
pengatur tumbuh Giberelin (GA3) dan
Sitokinin (BAP) yang tepat untuk
regenerasinya yang optimal.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah ada
perbedaan pertumbuhan purwoceng pada
media penyimpanan secara in vitro S1P0 dan
S3P1 dengan teknik pertumbuhan minimal
selama enam bulan dan ada perbedaan respon
terhadap perlakuan Giberelin (GA3) dan
Sitokinin (BAP) yang optimal untuk
regenerasi kultur purwoceng selama dua
bulan.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Februari 2009 sampai bulan April 2010 di
Laboratorium Tanaman Obat dan Aromatik

(Balittro).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tunas pucuk in vitro purwoceng
dan media DKW (Lampiran 1), sorbitol,
paklobutrazol, GA3 (Giberelin A3), dan BAP
(Benzil Amino Purin).
Alat yang digunakan antara lain botol
kultur, alat-alat diseksi, autoklaf, pH meter,
thermometer, timbangan, laminar air flow
cabinet (LAFC), lampu, gelas piala, penangas
air, bulb, pipet, batang pengaduk, magnet
pengaduk, kertas alumunium, karet, kertas
label dan alat tulis.
Metode Penelitian
Sterilisasi alat dan bahan. Sterilisasi
botol kultur, cawan petri dan alat-alat diseksi
dilakukan dengan penyimpanan pada oven
dengan suhu 150 0C selama minimal 3 jam.
Sterilisasi aquades dan media kultur
dilakukan dengan menggunakan autoklaf
pada tekanan 15 psi dan suhu 121 0C selama
20 menit.
Pembuatan
media.
Media
yang
digunakan berupa media perbanyakan DKW.
Metode pembuatan media DKW untuk 1 liter

diawali dengan pemipetan 5 hara makro
(Lampiran 1) masing-masing sebanyak 50
ml, hara mikro (Lampiran 1) sebanyak 10 ml,
Fe-EDTA sebanyak 10 ml, myoinositol
sebanyak 1 g dan vitamin sebanyak 1 ml
berturut-turut dari masing-masing stok. Zat
pengatur tumbuh dan zat penghambat
pertumbuhan dimasukkan pada media.
Selanjutnya dilakukan penambahan sukrosa
sebanyak 30 g. Aquades ditambahkan hingga
volume 1 liter. Bahan-bahan tersebut
kemudian diukur pH-nya.
pH media
diusahakan mencapai 5,6-5,8 dengan
penambahan 0,1-0,01 KOH atau HCl.
Kemudian media ditambahkan 3 g phytagel
sebagai pemadat. Media didihkan sambil
diaduk hingga larutan mendidih dan bening.
Media dituangkan ke botol kultur masingmasing 25 ml dan ditutup dengan kertas
alumunium.
Perbanyakan
sumber
eksplan.
Perbanyakan sumber eksplan dilakukan
dengan penanaman eksplan dari subkultur
purwoceng pada media DKW dengan sukrosa
3%. Eksplan berukuran ± 1 cm, 2-4 helai
daun, tunas tunggal dan dibersihkan dari
bagian tumbuhan yang layu. Tindakan
subkultur dilakukan sampai diperoleh tunas
yang cukup untuk percobaan.
Pertumbuhan minimal selama enam
bulan. Penyimpanan in vitro eksplan tanpa
daun berukuran ± 0,8 cm dari bagian
meristem pucuk disimpan dalam media DKW
dengan sukrosa 3% yang mengandung
sorbitol 1% tanpa paklobutrazol (S1P0); dan
kombinasi sorbitol 3% dan paklobutrazol 1
ppm (S3P1). Satu unit (botol) perlakuan
mengandung 3 eksplan dengan jumlah
ulangan 10 kali. Setiap ulangan terdiri dari 10
unit. Percobaan disusun secara faktorial
dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap
(Lampiran 2).
Pengujian daya regenerasi pasca
penyimpanan selama dua bulan. Setelah
penyimpanan selama enam bulan, eksplan
dipindahkan ke media regenerasi untuk
pengujian daya regenerasinya. Eksplan
berukuran ± 0,8-1 cm dari tunas tunggal.
Eksplan dibersihkan dari daun layu dan
bagian kultur yang mati untuk menghindari
keracunan metabolit sekunder dan resiko
kontaminasi. Zat pengatur tumbuh yang diuji
yaitu GA3 (G) dengan 3 tingkatan dan satu
kontrol (0, 1, 3, dan 5 ppm) dan BAP (B)
dengan 3 tingkatan juga dan satu kontrol (0,
1, 2, dan 3 ppm) pada media DKW dengan
sukrosa 3%. Satu unit perlakuan mengandung
2 eksplan dengan jumlah ulangan 3 kali.

regenerasi menggunakan zat
tumbuh tertentu perlu dilakukan.

pengatur

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah membandingkan
pertumbuhan purwoceng pada media
penyimpanan in vitro S1P0 dan S3P1 dengan
teknik
pertumbuhan
minimal
dan
mendapatkan konsentrasi kombinasi zat
pengatur tumbuh Giberelin (GA3) dan
Sitokinin (BAP) yang tepat untuk
regenerasinya yang optimal.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah ada
perbedaan pertumbuhan purwoceng pada
media penyimpanan secara in vitro S1P0 dan
S3P1 dengan teknik pertumbuhan minimal
selama enam bulan dan ada perbedaan respon
terhadap perlakuan Giberelin (GA3) dan
Sitokinin (BAP) yang optimal untuk
regenerasi kultur purwoceng selama dua
bulan.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Februari 2009 sampai bulan April 2010 di
Laboratorium Tanaman Obat dan Aromatik
(Balittro).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tunas pucuk in vitro purwoceng
dan media DKW (Lampiran 1), sorbitol,
paklobutrazol, GA3 (Giberelin A3), dan BAP
(Benzil Amino Purin).
Alat yang digunakan antara lain botol
kultur, alat-alat diseksi, autoklaf, pH meter,
thermometer, timbangan, laminar air flow
cabinet (LAFC), lampu, gelas piala, penangas
air, bulb, pipet, batang pengaduk, magnet
pengaduk, kertas alumunium, karet, kertas
label dan alat tulis.
Metode Penelitian
Sterilisasi alat dan bahan. Sterilisasi
botol kultur, cawan petri dan alat-alat diseksi
dilakukan dengan penyimpanan pada oven
dengan suhu 150 0C selama minimal 3 jam.
Sterilisasi aquades dan media kultur
dilakukan dengan menggunakan autoklaf
pada tekanan 15 psi dan suhu 121 0C selama
20 menit.
Pembuatan
media.
Media
yang
digunakan berupa media perbanyakan DKW.
Metode pembuatan media DKW untuk 1 liter

diawali dengan pemipetan 5 hara makro
(Lampiran 1) masing-masing sebanyak 50
ml, hara mikro (Lampiran 1) sebanyak 10 ml,
Fe-EDTA sebanyak 10 ml, myoinositol
sebanyak 1 g dan vitamin sebanyak 1 ml
berturut-turut dari masing-masing stok. Zat
pengatur tumbuh dan zat penghambat
pertumbuhan dimasukkan pada media.
Selanjutnya dilakukan penambahan sukrosa
sebanyak 30 g. Aquades ditambahkan hingga
volume 1 liter. Bahan-bahan tersebut
kemudian diukur pH-nya.
pH media
diusahakan mencapai 5,6-5,8 dengan
penambahan 0,1-0,01 KOH atau HCl.
Kemudian media ditambahkan 3 g phytagel
sebagai pemadat. Media didihkan sambil
diaduk hingga larutan mendidih dan bening.
Media dituangkan ke botol kultur masingmasing 25 ml dan ditutup dengan kertas
alumunium.
Perbanyakan
sumber
eksplan.
Perbanyakan sumber eksplan dilakukan
dengan penanaman eksplan dari subkultur
purwoceng pada media DKW dengan sukrosa
3%. Eksplan berukuran ± 1 cm, 2-4 helai
daun, tunas tunggal dan dibersihkan dari
bagian tumbuhan yang layu. Tindakan
subkultur dilakukan sampai diperoleh tunas
yang cukup untuk percobaan.
Pertumbuhan minimal selama enam
bulan. Penyimpanan in vitro eksplan tanpa
daun berukuran ± 0,8 cm dari bagian
meristem pucuk disimpan dalam media DKW
dengan sukrosa 3% yang mengandung
sorbitol 1% tanpa paklobutrazol (S1P0); dan
kombinasi sorbitol 3% dan paklobutrazol 1
ppm (S3P1). Satu unit (botol) perlakuan
mengandung 3 eksplan dengan jumlah
ulangan 10 kali. Setiap ulangan terdiri dari 10
unit. Percobaan disusun secara faktorial
dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap
(Lampiran 2).
Pengujian daya regenerasi pasca
penyimpanan selama dua bulan. Setelah
penyimpanan selama enam bulan, eksplan
dipindahkan ke media regenerasi untuk
pengujian daya regenerasinya. Eksplan
berukuran ± 0,8-1 cm dari tunas tunggal.
Eksplan dibersihkan dari daun layu dan
bagian kultur yang mati untuk menghindari
keracunan metabolit sekunder dan resiko
kontaminasi. Zat pengatur tumbuh yang diuji
yaitu GA3 (G) dengan 3 tingkatan dan satu
kontrol (0, 1, 3, dan 5 ppm) dan BAP (B)
dengan 3 tingkatan juga dan satu kontrol (0,
1, 2, dan 3 ppm) pada media DKW dengan
sukrosa 3%. Satu unit perlakuan mengandung
2 eksplan dengan jumlah ulangan 3 kali.

Percobaan disusun secara dua faktor dalam
Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama
adalah S1P0 dan S3P1. Faktor kedua adalah
G0B0, G0B1, G0B2, G0B3, G1B0, G1B1,
G1B2, G1B3, G3B0, G3B1, G3B2, G3B3,
G5B0, G5B1, G5B2, dan G5B3 (Lampiran
3).
Pengamatan. Peubah yang diamati
meliputi jumlah tunas, jumlah daun segar,
jumlah daun layu, dan jumlah akar setiap
bulan; tinggi tumbuhan dan bobot basah
setiap dua bulan. Pengamatan kualitatif
dilakukan pada akhir tahap penyimpanan
(bulan keenam) dan akhir tahap regenerasi
(bulan kedua). Eksplan difoto di dalam
laminar. Warna eksplan hasil foto diolah
dengan Photoshop CS3. Besaran angka yang
menggambarkan
kondisi
eksplan
dikelompokkan dalam tiga kategori; yaitu:
nilai 3 untuk warna hijau, nilai 2 untuk warna
coklat dan nilai 1 untuk warna putih (Tabel
1).
Tabel 1. Standar warna kode desimal RGB
Green (G) Blue (B)
Warna
Red (R)
Hijau
0-173
100-255 0-170
Coklat
128-255 0-248
0-220
Putih
240-255 235-255 215-255
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar
_warna [20 Maret 2011]
Kondisi Kultur dan Anova. Kondisi
inkubasi untuk penyimpanan dan regenerasi
adalah di ruang kultur bersuhu 18 ± 2 0C pada
intensitas penyinaran 800-1000 lux dengan
fotoperiodisitas 16 jam. Data dianalisis
dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji
Duncan Multi Range Test (DMRT) pada taraf
α = 5% mengunakan program SAS for
Windows 9.1.

HASIL
Pertumbuhan minimal selama enam
bulan. Penelitian awal mengggunakan
eksplan berukuran ± 0,2 cm tetapi hanya
6,67% yang tumbuh setelah empat bulan.
Ukuran eksplan diganti menjadi ± 0,8 cm.

Presentasi pertumbuhan meningkat menjadi
100% dengan ukuran tersebut.
Hasil
pengamatan
penyimpanan
purwoceng dengan teknik pertumbuhan
minimal selama enam bulan (Gambar 1 F & 2
F) menunjukkan semua ulangan pada kedua
perlakuan mampu bertahan dengan hambatan
pertumbuhan
yang
berbeda.
Bebas
kontaminasi bakteri dan/atau jamur mencapai
92% pada S1P0 dan 91% pada S3P1. Semua
eksplan tumbuh sampai bulan kedua tetapi
pada bulan ketiga terdapat beberapa eksplan
berhenti pertumbuhannya dan menghitam.
Beberapa eksplan tersebut tumbuh kembali
setelah 1 sampai 2 bulan kemudian.
Perlakuan S1P0 menghasilkan rata-rata
jumlah daun segar lebih banyak dari pada
S3P1 dan berbeda nyata pada setiap bulan,
hal ini diikuti dengan peningkatan jumlah
daun layu. Hasil pengamatan sampai bulan
keenam rata-rata jumlah daun segar dan layu
S1P0 sebesar 12,2 dan 7,0 (Tabel 2). Hasil
pengolahan data statistik penyimpanan dapat
dilihat pada lampiran 4. Perlakuan S1P0 juga
memiliki jumlah akar terbanyak dengan ratarata 1,3 dan berbeda nyata dengan S3P1
(Tabel 3). Jumlah eksplan yang berakar
sebanyak 83 eksplan (27%) dari 300 eksplan
pada S1P0 (Gambar 1C) dan 9 eksplan dari
300 eksplan (3%) pada S3P1. Rata-rata
jumlah tunas S1P0 lebih banyak sebesar 3,9
(Tabel 3) dan berbeda nyata dengan S3P1.
Bobot basah S1P0 tidak berbeda nyata
dengan S3P1 walaupun memiliki rata-rata
lebih berat, yaitu: 261,7 mg (Tabel 4). Ratarata tinggi eksplan S1P0 lebih tinggi 2,7 cm
dan berbeda nyata dibanding rata-rata tinggi
eksplan S3P1 (Tabel 4). Pada pengamatan
kualitas warna, walaupun tidak berbeda nyata
tetapi warna eksplan S3P1 lebih hijau dari
S1P0 dengan nilai sebesar 3,0 (Tabel 4).
Pada eksplan S1P0 menunjukkan
pertumbuhan jumlah daun segar dan tinggi
tanaman lebih tinggi dari pada eksplan S3P1
sejak bulan pertama. Bahkan pada bulan
kedua hingga keenam pertumbuhan S1P0
lebih tinggi dari pertumbuhan S3P1.

Percobaan disusun secara dua faktor dalam
Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama
adalah S1P0 dan S3P1. Faktor kedua adalah
G0B0, G0B1, G0B2, G0B3, G1B0, G1B1,
G1B2, G1B3, G3B0, G3B1, G3B2, G3B3,
G5B0, G5B1, G5B2, dan G5B3 (Lampiran
3).
Pengamatan. Peubah yang diamati
meliputi jumlah tunas, jumlah daun segar,
jumlah daun layu, dan jumlah akar setiap
bulan; tinggi tumbuhan dan bobot basah
setiap dua bulan. Pengamatan kualitatif
dilakukan pada akhir tahap penyimpanan
(bulan keenam) dan akhir tahap regenerasi
(bulan kedua). Eksplan difoto di dalam
laminar. Warna eksplan hasil foto diolah
dengan Photoshop CS3. Besaran angka yang
menggambarkan
kondisi
eksplan
dikelompokkan dalam tiga kategori; yaitu:
nilai 3 untuk warna hijau, nilai 2 untuk warna
coklat dan nilai 1 untuk warna putih (Tabel
1).
Tabel 1. Standar warna kode desimal RGB
Green (G) Blue (B)
Warna
Red (R)
Hijau
0-173
100-255 0-170
Coklat
128-255 0-248
0-220
Putih
240-255 235-255 215-255
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar
_warna [20 Maret 2011]
Kondisi Kultur dan Anova. Kondisi
inkubasi untuk penyimpanan dan regenerasi
adalah di ruang kultur bersuhu 18 ± 2 0C pada
intensitas penyinaran 800-1000 lux dengan
fotoperiodisitas 16 jam. Data dianalisis
dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji
Duncan Multi Range Test (DMRT) pada taraf
α = 5% mengunakan program SAS for
Windows 9.1.

HASIL
Pertumbuhan minimal selama enam
bulan. Penelitian awal mengggunakan
eksplan berukuran ± 0,2 cm tetapi hanya
6,67% yang tumbuh setelah empat bulan.
Ukuran eksplan diganti menjadi ± 0,8 cm.

Presentasi pertumbuhan meningkat menjadi
100% dengan ukuran tersebut.
Hasil
pengamatan
penyimpanan
purwoceng dengan teknik pertumbuhan
minimal selama enam bulan (Gambar 1 F & 2
F) menunjukkan semua ulangan pada kedua
perlakuan mampu bertahan dengan hambatan
pertumbuhan
yang
berbeda.
Bebas
kontaminasi bakteri dan/atau jamur mencapai
92% pada S1P0 dan 91% pada S3P1. Semua
eksplan tumbuh sampai bulan kedua tetapi
pada bulan ketiga terdapat beberapa eksplan
berhenti pertumbuhannya dan menghitam.
Beberapa eksplan tersebut tumbuh kembali
setelah 1 sampai 2 bulan kemudian.
Perlakuan S1P0 menghasilkan rata-rata
jumlah daun segar lebih banyak dari pada
S3P1 dan berbeda nyata pada setiap bulan,
hal ini diikuti dengan peningkatan jumlah
daun layu. Hasil pengamatan sampai bulan
keenam rata-rata jumlah daun segar dan layu
S1P0 sebesar 12,2 dan 7,0 (Tabel 2). Hasil
pengolahan data statistik penyimpanan dapat
dilihat pada lampiran 4. Perlakuan S1P0 juga
memiliki jumlah akar terbanyak dengan ratarata 1,3 dan berbeda nyata dengan S3P1
(Tabel 3). Jumlah eksplan yang berakar
sebanyak 83 eksplan (27%) dari 300 eksplan
pada S1P0 (Gambar 1C) dan 9 eksplan dari
300 eksplan (3%) pada S3P1. Rata-rata
jumlah tunas S1P0 lebih banyak sebesar 3,9
(Tabel 3) dan berbeda nyata dengan S3P1.
Bobot basah S1P0 tidak berbeda nyata
dengan S3P1 walaupun memiliki rata-rata
lebih berat, yaitu: 261,7 mg (Tabel 4). Ratarata tinggi eksplan S1P0 lebih tinggi 2,7 cm
dan berbeda nyata dibanding rata-rata tinggi
eksplan S3P1 (Tabel 4). Pada pengamatan
kualitas warna, walaupun tidak berbeda nyata
tetapi warna eksplan S3P1 lebih hijau dari
S1P0 dengan nilai sebesar 3,0 (Tabel 4).
Pada eksplan S1P0 menunjukkan
pertumbuhan jumlah daun segar dan tinggi
tanaman lebih tinggi dari pada eksplan S3P1
sejak bulan pertama. Bahkan pada bulan
kedua hingga keenam pertumbuhan S1P0
lebih tinggi dari pertumbuhan S3P1.

4

Tabel 2 Pengaruh pemberian sorbitol dan paklobutrazol terhadap rata-rata jumlah daun segar dan
jumlah daun layu.
Perlakuan
S1P0

Jumlah daun segar

Jumlah daun layu

B1

B2

B3

B4

B5

B6

B1

B2

B3

B4

B5

B6

2,9a

6,9a

8,1a

10,2a

11,0a

12,3a

0,0

0,2

1,8a

3,6a

4,9a

7,0a

S3P1
1,9b 3,9b 6,0b 7,0b 7,4b
7,9b 0,0
0,3
1,5b 2,7b 3,8b 5,6b
Ket: -angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
-B1: Bulan ke-1, dst
Tabel 3 Pengaruh pemberian sorbitol dan paklobutrazol terhadap rata-rata jumlah akar dan jumlah
tunas.
Perlakuan
S1P0

Jumlah akar

Jumlah tunas

B1

B2

B3

B4

B5

B6

B1

B2

B3

B4

B5

B6

0,0

0,1a

0,5a

0,7a

1,0a

1,3a

1,0

1,6a

2,1a

2,9a

3,2a

3,9a

S3P1
0,0 0,0b 0,0b
0,0b
0,0b 0,1b 1,0
1,1b 1,5b 2,0b 2,1b 2,4b
Ket: -angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
-B1: Bulan ke-1, dst
Tabel 4 Pengaruh pemberian sorbitol dan paklobutrazol terhadap rata-rata bobot basah, tinggi dan
kualitas warna.
Bobot Basah (mg)
Tinggi (cm)
Kualitas Warna
Bulan ke- Bulan ke- Bulan ke- Bulan Bulan Bulan
Bulan ke-6
2
4
6
ke-2
ke-4
ke-6
S1P0
81,0a
199,4a
261,7
2,6a
3,0a
2,7a
2,9
S3P1
49,2b
127,2b
235,4
0,8b
0,8b
0,8b
3,0
Ket: -angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
Perlakuan

Gambar 1 Morfologi kultur S1P0 pada tahap penyimpanan : (A) Bulan ke-1, (B) Bulan ke-2, (C)
Bulan ke-3, (D) Bulan ke-4, (E) Bulan ke-5, dan (F) Bulan ke-6.

5

Gambar 2 Morfologi kultur S3P1 pada tahap penyimpanan : (A) Bulan ke-1, (B) Bulan ke-2, (C)
Bulan ke-3, (D) Bulan ke-4, (E) Bulan ke-5, dan (F) Bulan ke-6.
Pengujian daya regenerasi pasca
penyimpanan selama dua bulan. Bebas
kontaminasi bakteri dan/atau jamur masingmasing mencapai 97% pada eksplan dari
S1P0 dan S3P1. Semua eksplan yang
diregenerasikan menghasilkan daun pada
bulan pertama. Pada bulan pertama, faktor
pertama (S1P0 dan S3P1) dan faktor kedua
(Kombinasi GA3 dan BAP) berbeda nyata
tetapi tidak memiliki interaksi dalam
peningkatan jumlah daun segar sedangkan
interaksi faktor pertama dan kedua
berpengaruh nyata dalam meningkatkan
jumlah daun segar pada bulan kedua. Hasil
pengolahan data statistik regenerasi dapat
dilihat pada lampiran 5. Pada eksplan dari
hasil penyimpanan S1P0 dihasilkan rata-rata
jumlah daun segar terbanyak pada perlakuan
G5B2 sebesar 41,0
dan berbeda nyata
dibanding kontrol pada bulan kedua (Tabel
5). Hal ini berbeda pada eksplan hasil
penyimpanan S3P1, dimana jumlah daun
segar lebih banyak diperoleh pada perlakuan

G5B0 sebesar 33,3 namun tidak berbeda
nyata dengan kontrol (Tabel 5).
Hasil pengamatan sampai pada bulan
kedua. Pengamatan jumlah daun layu
menunjukkan eksplan dari hasil penyimpanan
S1P0 menghasilkan jumlah daun layu
terendah pada perlakuan G5B3 sebesar 1 dan
terendah pada perlakuan G5B1 dari eksplan
S3P1 sebesar 0,2 (Tabel 6). Hasil secara
statistik menunjukkan rata-rata jumlah daun
layu berbeda nyata pada kedua faktor pada
dua bulan dimana pada bulan kedua tidak
terjadi interaksi yang berpengaruh nyata
dalam penurunan jumlah daun layu.
Terdapat perbedaan laju pertumbuhan
pada eksplan yang berasal dari perlakuan
S3P1. Perbedaan ini terutama terlihat pada
perlakuan dengan jumlah daun segar maupun
jumlah daun layu terbanyak yang berbeda
pada bulan pertama dan bulan kedua. Hal ini
terlihat pada perubahan jumlah daun segar
terbanyak eksplan hasil penyimpanan dari
S3P1 pada bulan pertama adalah G3B1 tetapi
pada bulan kedua adalah G5B0 (Tabel 5).

6

Tabel 5 Pengaruh kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan hasil penyimpanan perlakuan S1P0 dan
S3P1 terhadap rata-rata jumlah daun segar pada 2 bulan regenerasi
Jumlah Daun Segar
Bulan 1
Bulan 2
S1P0
S3P1
Rerata
S1P0
S3P1
Rerata
G0B0
14,3
19,7
17,00bc 13,7efg
20,8bcdefg
17,25
G0B1
20,3
8,7
14,50c
22,8bcdefg
15,3efg
19,08
G0B2
17,3
15,5
16,41c
24,2bcdefg
16,3defg
20,25
G0B3
18,5
9,8
14,16c
21,7bcdefg
14,3efg
18,00
G1B0
15,0
14,7
14,83c
17,0defg
23,5bcdefg
20,25
G1B1
16,8
16,7
16,75c
18,8cdefg
25,8abcdefg 22,33
G1B2
26,0
18,7
22,33
25,7abcdefg 18,7 cdefg
22,16
G1B3
10,2
21,5
15,83c
16,5defg
21,8bcdefg
19,16
G3B0
17,7
16,8
17,25bc 18,3cdefg
22,3bcdefg
20,33
G3B1
31,0
29,75a
36,7ab
32,0abcde
34,33
28,5
G3B2
11,0
17,7
14,33c
20,0bcdefg
23,2bcdefg
21,58
G3B3
26,8
9,2
18,00bc 35,0abc
11,2efg
23,33
G5B0
11,7
15,2
13,41c
15,0efg
24,16
33,3abcd
G5B1
24,5
12,0
18,25bc 29,2abcdef
17,7defg
23,41
G5B2
19,7
27,41ab 41,0a
24,7 abcdefg 32,83
35,2
G5B3
15,5
12,5
14,00c
20,8bcdefg
14,7efg
17,75
Rerata
19,49a 16,04b
23,55
20,97
Ket: -angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
Kombinasi Media

Tabel 6 Pengaruh kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan hasil penyimpanan perlakuan S1P0 dan
S3P1 terhadap rata-rata jumlah daun layu pada 2 bulan regenerasi
Jumlah Daun layu
Bulan 1
Bulan 2
S1P0 S3P1 Rerata S1P0 S3P1
Rerata
G0B0
2,8cd 1,3de 2,08
7,3
6,5
6,91ab
G0B1
2,8cd 1,7de 2,25
5,2
2,5
3,83bcde
G0B2
6,5a
1,0de 3,75
8,8
5,8
7,33a
G0B3
2,8cd 0,5e
1,66
5,7
3,8
4,75d
G1B0
1,3de 1,5de 1,41
4,2
4,0
4,08bcde
G1B1
3,8bc 2,0cde 2,91
5,0
2,3
3,66cde
G1B2
3,8bc 1,7de 2,75
7,5
4,0
5,75
G1B3
1,8de 1,8de 1,83
3,2
2,7
2,91cde
G3B0
0,7e
0,7e
0,66
2,2
1,2
1,66de
G3B1
5,0ab 0,3e
2,66
6,8
0,3
3,58cde
G3B2
1,2de 0,8de 1,00
4,2
1,5
2,83cde
G3B3
1,3de 0,3e
0,83
3,2
0,7
1,91de
G5B0
0,5e
1,0de 0,75
1,0
1,8
1,41e
G5B1
1,0de 0,0e
0,50
2,2
1,16e
0,2
G5B2
0.3e
0,5e
0,41
2,3
1,3
1,83de
G5B3
0,2e
0,25
0,8
0,91e
0,3e
1,0
Rerata
2,26 0,95
4,35a 2,46b
Ket: -angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
Kombinasi Media

Hormon giberelin dan sitokinin yang
digunakan pada media regenerasi dalam
bentuk GA3 dan BAP pada semua perlakuan
mampu menumbuhkan tunas pada minggu
pertama dengan persentasi 100%. Tunas yang
tumbuh beregenerasi dengan kecenderungan

tunas banyak. Persentasi kemunculan tunas
terbanyak pada perlakuan G5B2 sebesar 12, 7
untuk eksplan dari S1P0 dan perlakuan G3B1
sebesar 13,7 pada ekplan dari S3P1 pada
bulan kedua (Tabel 7). Interaksi faktor
pertama dan faktor kedua berpengaruh nyata

7

pada peningkatan jumlah tunas pada bulan
kedua namun pada bulan pertama tidak
terjadi.
Pada masing-masing perlakuan terdapat 6
eksplan. Walaupun rata-rata jumlah akar
terbanyak dihasilkan dari perlakuan G1B3
dari eksplan S1P0 sebanyak 3,5 (Tabel 8),
namun jumlah eksplan berakar terbanyak
dihasilkan dari perlakuan G5B2 sebanyak

lima eksplan pada eksplan dari S1P0
(Gambar 3). Perlakuan G3B1 pada eksplan
yang berasal dari S3P1 memiliki rata-rata
jumlah akar terbanyak sebesar 5,2 pada bulan
kedua (Tabel 8). Faktor tunggal dan
interaksinya tidak berpengaruh nyata pada
bulan pertama namun interaksi kedua faktor
berpengaruh nyata dalam peningkatan
jumlah akar pada bulan kedua.

Tabel 7 Pengaruh kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan hasil penyimpanan perlakuan S1P0 dan
S3P1 terhadap rata-rata jumlah tunas pada 2 bulan regenerasi
Jumlah Tunas
Bulan 1
Bulan 2
S1P0 S3P1 Rerata
S1P0
S3P1
Rerata
G0B0
4,2
3,2
3,66cd
5,3de
6,2cde
5,75
G0B1
6,2
2,0
4,08cd
7,7bcde
3,8e
5,75
G0B2
4,5
3,3
3,91cd
5,7de
4,8de
5,25
G0B3
4,3
1,7
3,00d
5,3de
4,5de
4,91
G1B0
3,3
3,8
3,58cd
4,2de
5,3de
4,75
G1B1
4,0
3,2
3,58cd
4,5de
6,3cde
5,41
G1B2
7,8
3,8
5,83bc
9,2abcd
5,2de
7,16
G1B3
3,3
3,5
3,41cd
4,7de
4,7de
4,66
G3B0
4,3
4,0
4,16cd
5,3de
6,0cde
5,66
G3B1
8,8
8,41a
12,2ab
12,91
8,0
13,7a
G3B2
4,7
4,3
4,50cd
5,7de
6,2cde
5,91
G3B3
7,7
1,7
4,66cd 10,7ab
3,5e
7,08
G5B0
2,7
3,3
3,00d
4,0e
7,7bcde
5,83
G5B1
5,5
2,8
4,16cd
7,7acde
5,8cde
6,75
G5B2
5,2
7,58ab 12,7a
8,0bcde 10,33
10,0
G5B3
4,2
2,8
3,50cd
5,3de
5,7de
5,50
Rerata
5,34a 3,54b
6,87
6,08
Ket: -angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
Kombinasi Media

Jumlah eksplan

6
5
4
3
2
1

0

Kombinasi GA3 dan BAP
Gambar 3 Pengaruh GA3 kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan hasil penyimpanan perlakuan
S1P0 ( ) dan S3P1 ( ) terhadap eksplan berakar pada bulan kedua regenerasi

8

Tabel 8 Pengaruh kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan hasil penyimpanan perlakuan S1P0 dan
S3P1 terhadap rata-rata jumlah akar pada 2 bulan regenerasi
Jumlah Akar
Bulan 1
Bulan 2
S1P0 S3P1 Rerata S1P0 S3P1 Rerata
G0B0
0,0
0,0
0,00
0,0b
0,0b 0,00
G0B1
0,0
0,0
0,00
0,3b
0,0b 0,16
G0B2
0,2
0,75
1,0b
0,5b 0,75
1,3
G0B3
0,0
0,0
0,00
0,0b
0,0b 0,00
G1B0
0,0
0,0
0,00
0,0b
0,0b 0,00
G1B1
1,2
0,0
0,58
3,0ab 0,0b 1,50
G1B2
1,3
0,0
0,66
2,8ab 0,0b 1,41
G1B3
0,8
0,3
0,58
3,5ab 0,0b 1,75
G3B0
0,7
0,0
0,33
2,0ab 4,8a
3,41
G3B1
0,0
0,2
0,08
0,3ab 5,2a 2,75
G3B2
0,0
0,0
0,00
0,0b
2,0ab 1,00
G3B3
0,0
0,0
0,00
2,7b
0,8b 1,75
G5B0
0,0
1,00
3,3ab 0,3b 1,83
2,0
G5B1
0,0
0,0
0,00
0,3b
0,0b 0,16
G5B2
0,2
0,0
0,08
3,0ab 0,2b 1,58
G5B3
0,7
0,0
0,33
1,7ab 0,0b 0,83
Rerata
0,43 0,11
1,50
0,86
Ket: -angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
Kombinasi Media

Pengamatan bobot basah pada bulan
pertama dan kedua menunjukkan perlakuan
G0B2 memiliki rata-rata bobot basah terberat
sebesar 341,8 g dan 829,9 g eksplan dari
S1P0
dan perlakuan G5B0 dan G3B1
memiliki rata-rata bobot basah terberat
sebesar 134,0 g dan 1033,8 g eksplan dari
S3P1 (Tabel 9). Interaksi kedua faktor
berpengaruh nyata dalam peningkatan bobot
basah eksplan selama dua bulan regenerasi.
Peningkatan pertumbuhan pada bobot basah
bervariasi. Pada eksplan dari S1P0, sepuluh
perlakuan memiliki bobot basah di atas
kontrol berurut mulai dari yang paling berat,
yaitu: G0B2, G5B2, G5B3, G3B5, G1B2,
G3B2, G3B1, G1B1, G5B1 dan G0B1, meski
bulan pertama hanya terdapat tiga perlakuan
yang memiliki bobot di atas kontrol. Berbeda
dengan eksplan dari S3P1, dengan dua
perlakuan yang memiliki bobot basah di atas
kontrol, yaitu: G3B1 dan G5B2 walaupun
pada bulan pertama terdapat tigabelas
perlakuan yang memiliki bobot basah di atas
kontrol (Tabel 9).

Tinggi tanaman pada bulan keenam
menurun. Tinggi tanaman diukur dari
pangkal tangkai hingga ujung daun dari
tangkai yang masih segar pada masingmasing eksplan. Pada tahap regenerasi terjadi
peningkatan tinggi yang signifikan pada
kedua perlakuan. Rata-rata tinggi paling
besar pada bulan kedua terjadi pada eksplan
dari S1P0 mencapai 5,2 cm pada perlakuan
G1B1 sedangkan S3P1 hanya memiliki ratarata tinggi sebesar 3,9 cm pada perlakuan
G5B1 (Tabel 10). Pertumbuhan tunas secara
statistik menunjukkan berbeda nyata pada
kedua faktor dan interaksinya berpengaruh
nyata pada peningkatan tinggi tanaman pada
dua bulan regenerasi.
Pengamatan kualitas warna dari eksplan
yang difoto. Warna eksplan dari hasil foto
diolah dengan Photoshop CS 3 dan
dibandingkan hasilnya. Pengamatan kualitas
warna tidak berbeda nyata pada kedua faktor.
Hanya kontrol yang eksplannya berwarna
coklat (Tabel 11).

9

Tabel 9 Pengaruh kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan hasil penyimpanan perlakuan S1P0 dan
S3P1 terhadap rata-rata bobot basah pada 2 bulan regenerasi
Bobot Basah (g)
Kombinasi Media
G0B0
G0B1
G0B2
G0B3
G1B0
G1B1
G1B2
G1B3
G3B0
G3B1
G3B2
G3B3
G5B0
G5B1
G5B2
G5B3
Rerata

Bulan 1
S1P0
S3P1
143,0d
61,6z
80,1p
98,0i
44,8cc
341,8a
48,6bb
39,8ff
89,4l
75,4q
94,0k
66,5u
227,2c
96,0j
72,9r
83,2n
40,7ee 102,1h
68,9s
132,8f
315,4b
62,4y
65,9w
44,7dd
66,1v
134,0e
80,8o
63,0x
50,7aa
67,7t
102,3g
88,5m
118,0
78,8

Rerata
102,3
89,3
193,3
44,2
82,4
80,3
161,6
78,1
71,4
100,9
188,9
55,3
100,1
71,9
59,2
95,4

S1P0
277,1y
312,2v
892,9b
116,5ff
227,8aa
352,4s
492,2i
266,8z
190,0bb
402,6i
485,2j
543,9g
166,4dd
324,8u
595,5d
546,7f
387,1

Bulan 2
S3P1
556,8e
158,6ee
354,1r
296,9w
381,5m
361,7q
332,2t
296,1x
427,9k
1033,8a
372,1n
362,1p
523,4h
363,8o
823,6c
179,0cc
426,9

Rerata
417,0
235,4
623,5
206,7
304,7
357,1
412,2
281,5
309,0
720,7
429,7
453,0
344,9
344,3
709,6
362,9

Ket: angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
Tabel 10 Pengaruh kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan hasil penyimpanan perlakuan S1P0 dan
S3P1 terhadap rata-rata tinggi tunas pada 2 bulan regenerasi
Tinggi (cm)
Bulan 1
Bulan 2
S1P0 S3P1 Rerata S1P0 S3P1 Rerata
G0B0
3,1f
0,3cc 1,70
2,6r
0,9bb 1,77
G0B1
4,2d
0,6aa 2,35
4,4d 2,1x
3,22
G0B2
2,6i
0,9x
1,75
3,6i
2,3v
2,97
G0B3
0,5bb 0,9w 0,67
0,8cc 2,4t
1,57
G1B0
2,3l
3,45
4,1f
2,4u
3,22
4,6a
G1B1
4,5b
0,2dd 2,37
5,2a 0,5dd 2,85
G1B2
1,3t
1,1v
1,17
1,7aa 2,9p
2,27
G1B3
2,2m 1,9p
2,07
5,0c
3,0n
3,95
G3B0
3,0g
2,5k
2,75
3,2m 3,8h
3,47
G3B1
1,6s
0,8y
1,15
2,4t
3,5j
2,92
G3B2
1,1u
0,6z
0,85
2,1y 2,3w 2,15
G3B3
2,6j
2,3m 2,42
2,8q 3,3l
3,02
G5B0
4,3c
1,9q
3,07
5,0b 2,0z
3,47
G5B1
2,0o
1,6r
1,77
2,9o 3,9g
3,37
G5B2
3,0g
2,2n
2,57
3,4k 2,5s
2,90
G5B3
3,8e
4,3e
2,7r
3,47
2,8h 3,35
Rerata
2,7
1,41
3,32 2,50
Ket: angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%
Kombinasi Media

10

Tabel 11 Pengaruh kombinasi GA3 dan BAP dari eksplan pada hasil penyimpanan perlakuan S1P0
dan S3P1 terhadap rata-rata jumlah tunas pada 2 bulan regenerasi
Warna

Kombinasi Media
G0B0
G0B1
G0B2
G0B3
G1B0
G1B1
G1B2
G1B3
G3B0
G3B1
G3B2
G3B3
G5B0
G5B1
G5B2
G5B3
Rerata

S1P0
2,5
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
2,96

S3P1
2,5
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
2,96

Rerata
2,5
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0
3,0

PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman purwoceng dapat
dilihat dari pertumbuhan daunnya. Pemberian
sorbitol dan paklobutrazol memberikan
pengaruh pada pembentukan daun. Pada
media perbanyakan DKW dengan gula 30
gram perliter, eksplan menghasilkan tunas
dan daun pertama pada minggu pertama pada
penelitian pendahuluan sedangkan pada
perlakuan S1P0 dan S3P1 tumbuh pada
minggu kedua bahkan semuanya bertunas
pada minggu ketiga. Pengaruh awal yang
dapat dilihat adalah munculnya tunas dan
daun pertama melambat. Pembentukan daun
terhambat diduga karena adanya stres
osmotik oleh sorbitol. Sorbitol merupakan
gula alkohol yang merupakan monosakarida
poliol (1, 2, 3, 4, 5, 6 – Hexanehexol) dengan
rumus kimia C6H14O6. Sorbitol menyebabkan
potensial osmotik media menjadi rendah dan
menyebabkan penyerapan unsur hara oleh sel
tanaman menjadi lambat (Bessembinder et al.
1993; Shibli et al. 2006). Selain itu,
paklobutrazol mengakibatkan pertumbuhan
sel
terhambat
karena
paklobutrazol
menghambat sintesis GA3 (Lampiran 6).
Pengaruh sorbitol dan paklobutrazol
masih terlihat jelas pada eksplan yang berasal
dari S3P1. Hal ini terlihat pada daun yang
masih
kecil
walaupun
GA3
dapat
meningkatkan perluasan daun (Suwasono
1986) tetapi
jumlah daun segar dapat

ditingkatkan secara menyeluruh bahkan
eksplan dari S3P1 memiliki jumlah helaian
daun
segar
terbanyak.
Selain
itu,
pertumbuhan daun pertama berlangsung
cepat dimana semua eksplan sudah
membentuk tunas dan daun baru pada
minggu
pertama.
Pertumbuhan
daun
dipengaruhi oleh sitokinin karena sitokinin
merupakan hormon yang berperan penting
dalam propagasi pertumbuhan tunas dan
pembelahan sel (Wetherell 1982). Jumlah
daun layu cenderung berkurang dengan
peningkatan
konsentrasi
GA3
karena
giberelin
menghasilkan awal siklus
pembelahan
sel
dengan
menstimulir
penbentukkan gen CDK (Cyclin-dependent
Protein Kinase) sehingga memacu sel pada
fase G1 untuk memasuki fase S dan
memperpendek fase S tersebut, sehingga
peningkatan jumlah sel yang menyebabkan
sel tumbuh dengan cepat (Salisbury & Ross
1992).
Paklobutrazol merupakan jenis retardan
yang memiliki rumus kimia 1-(4-kloro-fenil)4, 4-dimetil-2-(1H-1, 2, 4-triazol-l-ylpentana-3-ol).
Paklobutrazol
yang
menghambat sintesis giberelin di dalam
tumbuhan sehingga tunas tumbuh setelah
minggu kedua karena pembelahan dan
pemanjangan sel terhambat (Withers 1985).

11

Sorbitol yang meningkatkan tekanan osmotik
sehingga kecepatan metabolisme tumbuhan
rendah.
Paklobutrazol yang menghambat sintesis
giberelin di dalam tumbuhan sehingga tunas
tumbuh setelah minggu kedua karena
pembelahan dan pemanjangan sel terhambat
(Withers 1985). Sorbitol yang meningkatkan
tekanan
osmotik sehingga
kecepatan
metabolisme tumbuhan rendah.
Giberelin di dalam tanaman berperan
dalam merangsang pembelahan sel dan
menghilangkan dormansi tunas (Wattimena
1988) dan GA3 dilaporkan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan tunas (Roest
& Bokelmann 1976) sehingga seluruh
eksplan pada tahap regenerasi tumbuh pada
minggu pertama. Ratio GA3 dan BAP
mempengaruhi perbanyakan tunas secara
nyata pada kentang. GA3 dapat meningkatkan
pemanjangan pucuk selama perbanyakan
pucuk in vitro berlangsung pada konsentrasi
tinggi. BAP dapat memberikan dampak
kemajuan secara nyata pada induksi
perbanyakan pucuk dengan konsentrasi
sedang (Rabbani et al. 2001). Kombinasi
perlakuan yang diberikan memberikan hasil
yang sama pada kultur purwoceng. Adanya
kemajuan pada perbanyakan pucuk dan
peningkatan pemanjangan pucuk selama dua
bulan.
Penambahan
Paklobutrazol
pada
perlakuan S3P1 sangat mempengaruhi
pertumbuhan ke arah tinggi sehingga terjadi
perbedaan yang sangat mencolok dengan
perlakuan S1P0. Retardan ini dapat
menghambat pertumbuhan tanaman dengan
cara menekan pertambahan tinggi tanaman,
pemanjangan ruas, dan luas daun (Wattimena
1988). Pada Ipomea batatas, sorbitol dapat
memperpendek fase lag kemudian memasuki
fase stress shock tetapi morfologi tumbuhan
tetap normal hanya tumbuhan menjadi lebih
kecil termasuk sel-selnya (Wang et al. 1999).
Pada penelitian ini pengukuran dilakukan di
dalam LAFC karena tangkai daun tumbuh
tidak teratur dan tidak tegak serta tanaman
akan melengkung jika sudah mencapai tinggi
botol ± 5 cm. Selain itu, bias kaca pada botol
dapat menyebabkan pengukuran tidak tepat.
Pada satu eksplan terdapat beberapa tunas
dengan tinggi yang berbeda jauh.
Pada tahap regenerasi, tinggi tunas yang
berasal dari satu eksplan merata dan cepat
pertumbuhannya. Hormon giberelin dapat
merangsang pertumbuhan pada batang
(Suwasono 1986). GA3 secara nyata
meningkatkan pemanjangan pucuk selama

perbanyakan pucuk pada konsentrasi tinggi
tetapi tangkai daun tetap tumbuh tidak teratur
dan tidak tegak. Kombinasi perlakuan yang
diberikan dapat mengatasi pengaruh sorbitol
dan paclobutrazol pada tahap penyimpanan.
Pembentukan akar tetap terjadi walaupun
auksin tidak ditambahkan karena auksin
endogen
sudah
mencukupi
untuk
pembentukan akar (Agustarini 2009).
Pemberian
paklobutrazol
sangat
mempengaruhi produksi akar walaupun
dosisnya hanya 1 ppm. Paklobutrazol
menghambat
tanaman
purwoceng
memproduksi akar pada tahap penyimpanan
seperti pada kultur temulawak (Syahid 2007).
Konsentrasi NH+ pada media DKW yang
rendah menyebabkan sintesis sitokinin
berkurang. Pengurangan tersebut dapat
mengubah ratio sitokinin terhadap auksin
yang menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan lebih mengarah ke
proses pembentukan akar terutama akar
primer (Fabijan et al. 1981). Keadaan ini
tidak sama dengan penelitian dimana eksplan
bertumbuh lebih mengarah kepada proses
pertunasan. Tampaknya respon terhadap
perlakuan berbeda pada tanaman berbeda.
Tanaman purwoceng dalam kultur in vitro
memiliki kemampuan memproduksi akar
yang rendah. Perbedaan ini juga disebabkan
oleh adanya GA3 yang lebih mengarahkan
pertumbuhan kepada proses pertunasan.
Adanya sorbitol dan paklobutrazol yang
menghambat pertumbuhan planlet, perakaran,
tinggi dan jumlah tunas tentunya mengurangi
bobot basah planlet. Paklobutrazol memiliki
sifat translokasi yang lebih baik sehingga
lebih berpengaruh dalam menghambat
pertumbuhan (Wattimena & Mattjik 1992).
Sorbitol mengurangi kandungan air pada sel
yang menjadi komponen utama tanaman.
Walaupun kultur telah disimpan selama
enam bulan, kultur mengalami pertumbuhan
yang cepat pada media regenerasi. Jumlah
daun menjadi lebih banyak, jumlah daun layu
menjadi lebih sedikit, jumlah tunas
meningkat, dan tanaman memiliki tinggi
yang merata. Namun, ada perbedaan
kecepatan pertumbuhan pada beberapa
perlakuan baik pada bulan pertama maupun
kedua. Ada beberapa perlakuan tidak
menghasilkan bobot basah lebih baik dari
kontrol. Hal ini menunjukkan tidak semua
kombinasi perlakuan dapat mengatasi
pengaruh penghambatan pertumbuhan oleh
sorbitol dan paklobutrazol pada tahap
penyimpanan. Respon yang berbeda-beda
disebabkan
oleh

12

eksplan yang berasal dari mother plant yang
bervariasi.
Perlakuan pada tahap penyimpanan tidak
menurunkan daya hidup kultur. Hasil
penelitian menunjukkan kultur mampu
bertahan hidup pada tahap penyimpanan
selama enam bulan maupun pada tahap
regenerasi selama dua bulan. Perlakuan yang
diberikan pada tahap penyimpanan tidak
sampai memberikan cekaman pada tanaman.
Pengamatan kualitas warna dilakukan karena
warna dapat digunakan sebagai bioindikator
hidup. Pada umumnya warna daun semuanya
berwarna hijau pada S3P1 maupun S1P0.
Warna hijau menunjukkan daya hidup kulur
yang baik. Paklobutrazol meningkatkan
kandungan klorofil (Wang et al. 1999)
sehingga S3P1 tampak lebih hijau dan tegak.
Tingginya kemampuan kultur purwoceng
untuk tumbuh kembali setelah penyimpanan
sangat menguntungkan karena masa simpan
kultur dapat diperpanjang, lebih efisien dalam
penggunaan tenaga, tempat, dan biaya yang
dibutuhkan.
Kultur purwonceng tumbuh berbeda pada
media S1P0 dan S3P1. Perlakuan yang baik
adalah S1P0. Eksplan pada media S1P0
cenderung tumbuh lambat, memiliki tunas
lebih banyak, lebih tinggi, lebih bobot,
memproduksi akar dan daya kultur lebih baik.
Kultur purwoceng pada media S3P1 tampak
kerdil, roset dan jumlah akar yang dihasilkan
sangat sedikit.
Perlakuan yang baik pada tahap
regenerasi untuk ekplan dari S1P0 adalah
G1B1 dan G5B0. Perlakuan tersebut
menyebabkan tanaman memiliki kecepatan
tumbuh yang cepat, subur, tidak kerdil, daya
hidup kultur yang baik, memproduksi akar,
jumlah tunas dan bobot basah yang cukup.
Walaupun eksplan telah disimpan selama
enam bulan, masalah penurunan daya
regenerasi dan morfolgi yang kerdil dapat
diatasi pada tahap regenerasi.
Adanya
kecenderungan tanaman yang tinggi memliki
jumlah tunas yang sedikit terlihat pada
perlakuan G1B1 dan G5B0 memiliki rata-rata
tinggi yang tinggi tetapi rata-rata jumlah
tunas yang sedikit.

SIMPULAN
Kultur purwonceng tumbuh berbeda pada
media S1P0 dan S3P1. Eksplan pada media
S1P0 lebih baik karena cenderung tumbuh
lambat, memiliki jumlah tunas, daun segar
dan daun layu lebih banyak; lebih tinggi,
lebih berat, memproduksi akar, dan daya

kultur lebih baik. Kultur purwoceng pada
media S3P1 tumbuh lebih lambat, kerdil dan
jumlah akar yang dihasilkan sangat sedikit.
Perlakuan yang baik pada tahap regenerasi
untuk eksplan dari S1P0 adalah G1B1 dan
G5B0. Perlakuan tersebut menyebabkan
tanaman subur, tidak kerdil, daya hidup
kultur yang baik, memproduksi akar, jumlah
tunas dan bobot basah yang cukup untuk
regenerasi. Walaupun eksplan telah disimpan
selama enam bulan, masalah penurunan daya
regenerasi dan kerdil dapat diatasi pada tahap
regenerasi.

SARAN
Penyimpanan kultur perlu dilanjutkan
untuk mendapatkan protokol penyimpanan
lebih dari enam bulan. Regenerasi juga perlu
dilanjutkan untuk mendapatkan protokol
regenerasi lebih dari dua bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Agustarini R. 2009. Enkapsulasi Untuk
Konservasi In Vitro Pimpinella Pruatjan
Molk.: Efek Cahaya dan Kombinasi
Media (Sorbitol-Paklobutrazol) [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Bessembinder JJE, Stanitsky G, Zandvoort
EA .1993. Long-term in vitro storage of
Colocasia esculenta under minimal
growth conditions. Plant CelI, Tissue
and Organ Culture 33:121-127.
Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. 2000.
Biochemistry & Molecular Biology of
Plants. America: American Society of
Plant Physiologists.
Caropeboka AM, Lubis I. 1985.Pemeriksaan
pendahuluan kandungan bahan kimia
dalam
akar
Pimpinella
alpine
(Purwoceng).
Prosiding
Simposium
Penelitian Tanaman Obat I; Bogor, 08-09
Desember 1975. Bogor: FarmakologiDept. Fisiologi dan Farmakologi, Fak.
Kedokteran Hewan-IPB. hlm 153- 158.
_____, Iskandar, Paridjo P. 1979. Pengaruh
Ekstrak Akar Pimpinella alpina Koord.
terhadap Reproduksi Hewan. Bogor:
Dept. Fifarm, Fakultas Kedokteran
Hewan-IPB.

12

eksplan yang berasal dari mother plant yang
bervariasi.
Perlakuan pada tahap penyimpanan tidak
menurunkan daya hidup kultur. Hasil
penelitian menunjukkan kultur mampu
bertahan hidup pada tahap penyimpanan
selama enam bulan maupun pada tahap
regenerasi selama dua bulan. Perlakuan yang
diberikan pada tahap penyimpanan tidak
sampai memberikan cekaman pada tanaman.
Pengamatan kualitas warna dilakukan karena
warna dapat digunakan sebagai bioindikator
hidup. Pada umumnya warna daun semuanya
berwarna hijau pada S3P1 maupun S1P0.
Warna hijau menunjukkan daya hidup kulur
yang baik. Paklobutrazol meningkatkan
kandungan klorofil (Wang et al. 1999)
sehingga S3P1 tampak lebih hijau dan tegak.
Tingginya kemampuan kultur purwoceng
untuk tumbuh kembali setelah penyimpanan
sangat menguntungkan karena masa simpan
kultur dapat diperpanjang, lebih efisien dalam
penggunaan tenaga, tempat, dan biaya yang
dibutuhkan.
Kultur purwonceng tumbuh berbeda pada
media S1P0 dan S3P1. Perlakuan yang baik
adalah S1P0. Eksplan pada media S1P0
cenderung tumbuh lambat, memiliki tunas
lebih banyak, lebih tinggi, lebih bobot,
memproduksi akar dan daya kultur lebih baik.
Kultur purwoceng pada media S3P1 tampak
kerdil, roset dan jumlah akar yang dihasilkan
sangat sedikit.
Perlakuan yang baik pada tahap
regenerasi untuk ekplan dari S1P0 adalah
G1B1 dan G5B0. Perlakuan tersebut
menyebabkan tanaman memiliki kecepatan
tumbuh yang cepat, subur, tidak kerdil, daya
hidup kultur yang baik, memproduksi akar,
jumlah tunas dan bobot basah yang cukup.
Walaupun eksplan telah disimpan selama
enam bulan, masalah penurunan daya
regenerasi dan morfolgi yang kerdil dapat
diatasi pada tahap regenerasi.
Adanya
kecenderungan tanaman yang tinggi memliki
jumlah tunas yang sedikit terlihat pada
perlakuan G1B1 dan G5B0 memiliki rata-rata
tinggi yang tinggi tetapi rata-rata jumlah
tunas yang sedikit.

SIMPULAN
Kultur purwonceng tumbuh berbeda pada
media S1P0 dan S3P1. Eksplan pada media
S1P0 lebih baik karena cenderung tumbuh
lambat, memiliki jumlah tunas, daun segar
dan daun layu lebih banyak; lebih tinggi,
lebih berat, memproduksi akar, dan daya

kultur lebih baik. Kultur purwoceng pada
media S3P1 tumbuh lebih lambat, kerdil dan
jumlah akar yang dihasilkan sangat sedikit.
Perlakuan yang baik pada tahap regenerasi
untuk eksplan dari S1P0 adalah G1B1 dan
G5B