Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)

(1)

PENYIMPANAN DENGAN PERTUMBUHAN MINIMAL

DAN REGENERASI IN VITRO PURWOCENG

(Pimpinella pruatjan Molk.)

RITA NINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)” merupakan gagasan dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Rita Ningsih NRP G351060441


(3)

ABSTRACT

RITA NINGSIH. (In Vitro Storage through Minimal Growth and Regeneration

of Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Under supervision of RITA MEGIA and IRENG DARWATI.

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) is an Indonesian indigenous medicinal plant with a high economic value. Its root can be used as an aphrodisiac, diuretic and tonic. Recently its population in natural habit has extinct because of highly exploitation without any replanting activities. So this species is categorized as an endangered plant. Therefore, special effort need to be done to conserve it immediatelly. Preliminary study has found that purwoceng can be conserved by minimal growth not more than four months. This experiment aimed at finding the best treatment to conserve this species for a longer periode storage (8 months), evaluated regenerating ability and leaf anatomical structure after storage. In vitro axillary buds without leaves were conserved on DKW medium suplemented with 2.5% sucrose, combination sorbitol (0,1,2,3,4,5%) and paclobutrazol (0,1,3,5 ppm) for 8 months. Regenerating ability was taken for 3 months on regenerated medium. Leaf anatomical structure was microscopically observed on leaf paradermal and cross section. The results showed that combination between sorbitol and paclobutrazol can preserve purwoceng for 8 months but regenerating ability decreased by the increase of both sorbitol and paclobutrazol consentration.There was difference in the leaf anatomical structure on regenerated after storage culture. The best treatment to preserve purwoceng for 8 months were 1% sorbitol - 0 ppm paclobutrazol (S1P0) or 3% sorbitol - 1 ppm paclobutrazol (S3P1). That because during preservation, the culture of these treatments showed slow growth rate with dwarf morphology in S3P1, but during regeneration they showed high growth rate, high shoots multiplication and 100 % survival with normally culture.

Keywords : preservation, in vitro culture, regeneration ability, sorbitol, paclobutrazol, Pimpinella pruatjan Molk.


(4)

RINGKASAN

RITA NINGSIH. Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Dibimbing oleh RITA MEGIA dan IRENG DARWATI.

Purwoceng merupakan tanaman obat asli Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Akarnya memiliki khasiat afrodisiak yaitu dapat meningkatkan gairah seksual dan meningkatkan ereksi, melancarkan air seni (diuretik) dan meningkatkan stamina tubuh (tonik). Saat ini populasi purwoceng di habitat alaminya sudah punah akibat eksploitasi secara besar-besaran sebagai bahan baku jamu tanpa adanya usaha penanaman kembali. Selain itu purwoceng sulit dibudidayakan di luar habitat alaminya karena memiliki persyaratan tumbuh yang spesifik. Oleh karena itu purwoceng dikategorikan sebagai tanaman langka yang sangat dilindungi. Untuk menghindari kepunahan purwoceng perlu dilakukan upaya konservasi sesegera mungkin.

Konservasi in vitro tanaman purwoceng melalui pertumbuhan minimal menggunakan paklobutrazol 1 ppm pernah dilaporkan, namun hasilnya kurang memuaskan dimana kultur tidak dapat disimpan dalam waktu lebih dari empat bulan. Upaya untuk meningkatkan umur penyimpanan purwoceng dapat dilakukan dengan menggunakan secara bersama-sama dua faktor penghambat pertumbuhan yaitu regulator osmotik sorbitol dan retardan pertumbuhan paklobutrazol. Dalam penyimpanan, diharapkan kultur tidak hanya mampu disimpan lama namun harus memiliki daya regenerasi yang tetap tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan konsentrasi perlakuan terbaik dalam penyimpanan secara in vitro purwoceng dengan periode lebih lama (8 bulan), menguji daya regenerasi, stabilitas struktur morfologi dan anatomi daun regenerasi pasca penyimpanan. Formulasi terbaik diharapkan dapat diterapkan secara rutin sebagai protokol penyimpanan in vitro di bank gen untuk menghindari kepunahan spesies langka ini.

Kuncup aksiler in vitro tanpa daun berukuran ± 2 mm disimpan dalam media DKW + sukrosa 2.5% yang mengandung kombinasi sorbitol (0,1,2,3,4,5%) dan paklobutrazol (0,1,3,5 ppm). Dengan demikian jumlah total perlakuan 24 unit. Satu unit (botol) perlakuan mengandung 3 tunas dengan ulangan 6 kali. Kultur diinkubasi selama 8 bulan pada suhu 20 – 25°C dan fotoperiodisitas 16 jam terang dengan intensitas cahaya 800 – 1000 lux. Pada akhir penyimpanan, kultur disubkultur ke media regenerasi selama 3 bulan untuk menguji daya regenerasi setelah penyimpanan. Media regenerasi yaitu media perbanyakan (multiplikasi) terdiri dari media DKW + BA 4 ppm + Thidiazuron (TDZ) 0.4 ppm + Glutamin 100 ppm dengan penambahan GA3 3 ppm. Pengamatan karakter morfologi dan

anatomi dilakukan secara visual dan mikroskopis pada preparat paradermal dan sayatan melintang daun. Preparat paradermal untuk pengamatan stomata dibuat melalui metoda whole mount dan irisan melintang daun dibuat melalui metoda parafin dengan dehidran n-butanol. Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama konsentrasi sorbitol (S) dan faktor kedua konsentrasi paklobutrazol (P). Data dianalisis dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan Multi Range Test (DMRT) pada taraf α = 5% menggunakan program SPSS for windows 13.


(5)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi sorbitol dan paklobutrazol pada konsentrasi tertentu dapat menyimpan purwoceng selama 8 bulan. Namun daya regenerasi kultur pasca penyimpanan mengalami penurunan seiring peningkatan konsentrasi perlakuan. Selain itu kultur masih mempertahankan morfologi kerdil pada konsentrasi perlakuan tertentu meskipun sudah diregenerasi. Pengaruh sorbitol dan paklobutrazol selama penyimpanan masih bertahan atau persisten. Hasil pengamatan terhadap karakter anatomi menunjukkan terdapat perbedaan antara daun kontrol (yang tidak disimpan) dengan daun regenerasi pasca penyimpanan. Secara umum rata-rata semua karakter anatomi daun perlakuan mengalami penurunan kecuali kerapatan stomata. Kombinasi perlakuan terbaik yaitu sorbitol 1% - paklobutrazol 0 ppm (S1P0) atau sorbitol 3 % - paklobutrazol 1 ppm (S3P1). Kultur pada kedua kombinasi perlakuan tersebut memiliki pertumbuhan lambat saat penyimpanan dengan morfologi kerdil pada S3P1 namun ketika diregenerasi menunjukkan kecepatan pertumbuhan dan multiplikasi tunas yang cukup tinggi, daya hidup mencapai 100% dengan morfologi normal dan subur.

Kata kunci : penyimpanan, kultur in vitro, daya regenerasi, sorbitol, paklobutrazol, Pimpinella pruatjan (molk.)


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(7)

PENYIMPANAN DENGAN PERTUMBUHAN MINIMAL

DAN REGENERASI IN VITRO PURWOCENG

(Pimpinella pruatjan Molk.)

RITA NINGSIH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

Judul Tesis : Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)

Nama : Rita Ningsih

NRP : G351060441

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Rita Megia, D.E.A Dr. Ireng Darwati

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi S, D.E.A Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

PRAKATA

Allhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Rita Megia, D.E.A selaku ketua komisi pembimbing atas semua jerih payah dan waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan, arahan dan kemudahan kepada penulis dari mulai penelitian sampai terselesaikannya tesis ini.

2. Dr. Ireng Darwati selaku anggota komisi pembimbing atas ilmu, waktu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

3. Dr. Ir. Diah Ratnadewi selaku dosen penguji atas kritik dan sarannya untuk kesempurnaan tesis ini.

4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Biologi atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di IPB.

5. Dr. Ir. Juliarni, M.Agr dan Ika Roostika T., SP., Msi atas bimbingan dan nasihat selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) dan Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah menyediakan fasilitas untuk melakukan penelitian.

7. Islamic Development Bank (IDB) dan Proyek Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah membiayai penelitian ini.

8. Retno Agustarini, mbak Susi, bu Rohmah, mbak Tini, Dania, Wirda, Ucu, pa Ujang, pa Naryo, pa Muzuni, bu Sih dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan kerjasama dan dukungannya selama ini.

Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada suami tercinta Drs. H. Abdul Halim L., M.Li atas segala pengorbanan baik moril maupun materil, dorongan, kesabaran, pengertian dan doanya. Kepada bapak dan ibu tercinta yang tiada mengenal lelah selalu mendoakan penulis sampai saat ini, penulis sampaikan terima kasih yang tiada batas. Untuk adikku Acih Astuti W. dan ananda Asykar Fathoni Syukriyah H. terima kasih atas pengorbanan dan perjuangannya melewati hari-hari yang berat bersama penulis. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka, amien.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan purwoceng di Indonesia.

Bogor, Januari 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 11 Agustus 1977 sebagai anak pertama dari pasangan Suparman dan Elis Rohimah. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Drs. H. Abdul Halim L., M.Li dan dikaruniai putra Asykar Fathoni Syukriyah H. berusia 8 tahun.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB Bandung, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pada Program Studi Biologi, Sub Program Studi Fisiologi, Genetika dan Biologi Molekuler, sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan beasiswa dari Proyek Kerjasama Pengembangan Universitas Haluoleo dengan Islamic Development Bank (IDB).

Sejak tahun 2004 penulis terangkat menjadi Pegawai Negri Sipil dan bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi FMIPA Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara.


(11)

PENYIMPANAN DENGAN PERTUMBUHAN MINIMAL

DAN REGENERASI IN VITRO PURWOCENG

(Pimpinella pruatjan Molk.)

RITA NINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)” merupakan gagasan dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Rita Ningsih NRP G351060441


(13)

ABSTRACT

RITA NINGSIH. (In Vitro Storage through Minimal Growth and Regeneration

of Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Under supervision of RITA MEGIA and IRENG DARWATI.

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) is an Indonesian indigenous medicinal plant with a high economic value. Its root can be used as an aphrodisiac, diuretic and tonic. Recently its population in natural habit has extinct because of highly exploitation without any replanting activities. So this species is categorized as an endangered plant. Therefore, special effort need to be done to conserve it immediatelly. Preliminary study has found that purwoceng can be conserved by minimal growth not more than four months. This experiment aimed at finding the best treatment to conserve this species for a longer periode storage (8 months), evaluated regenerating ability and leaf anatomical structure after storage. In vitro axillary buds without leaves were conserved on DKW medium suplemented with 2.5% sucrose, combination sorbitol (0,1,2,3,4,5%) and paclobutrazol (0,1,3,5 ppm) for 8 months. Regenerating ability was taken for 3 months on regenerated medium. Leaf anatomical structure was microscopically observed on leaf paradermal and cross section. The results showed that combination between sorbitol and paclobutrazol can preserve purwoceng for 8 months but regenerating ability decreased by the increase of both sorbitol and paclobutrazol consentration.There was difference in the leaf anatomical structure on regenerated after storage culture. The best treatment to preserve purwoceng for 8 months were 1% sorbitol - 0 ppm paclobutrazol (S1P0) or 3% sorbitol - 1 ppm paclobutrazol (S3P1). That because during preservation, the culture of these treatments showed slow growth rate with dwarf morphology in S3P1, but during regeneration they showed high growth rate, high shoots multiplication and 100 % survival with normally culture.

Keywords : preservation, in vitro culture, regeneration ability, sorbitol, paclobutrazol, Pimpinella pruatjan Molk.


(14)

RINGKASAN

RITA NINGSIH. Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Dibimbing oleh RITA MEGIA dan IRENG DARWATI.

Purwoceng merupakan tanaman obat asli Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Akarnya memiliki khasiat afrodisiak yaitu dapat meningkatkan gairah seksual dan meningkatkan ereksi, melancarkan air seni (diuretik) dan meningkatkan stamina tubuh (tonik). Saat ini populasi purwoceng di habitat alaminya sudah punah akibat eksploitasi secara besar-besaran sebagai bahan baku jamu tanpa adanya usaha penanaman kembali. Selain itu purwoceng sulit dibudidayakan di luar habitat alaminya karena memiliki persyaratan tumbuh yang spesifik. Oleh karena itu purwoceng dikategorikan sebagai tanaman langka yang sangat dilindungi. Untuk menghindari kepunahan purwoceng perlu dilakukan upaya konservasi sesegera mungkin.

Konservasi in vitro tanaman purwoceng melalui pertumbuhan minimal menggunakan paklobutrazol 1 ppm pernah dilaporkan, namun hasilnya kurang memuaskan dimana kultur tidak dapat disimpan dalam waktu lebih dari empat bulan. Upaya untuk meningkatkan umur penyimpanan purwoceng dapat dilakukan dengan menggunakan secara bersama-sama dua faktor penghambat pertumbuhan yaitu regulator osmotik sorbitol dan retardan pertumbuhan paklobutrazol. Dalam penyimpanan, diharapkan kultur tidak hanya mampu disimpan lama namun harus memiliki daya regenerasi yang tetap tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan konsentrasi perlakuan terbaik dalam penyimpanan secara in vitro purwoceng dengan periode lebih lama (8 bulan), menguji daya regenerasi, stabilitas struktur morfologi dan anatomi daun regenerasi pasca penyimpanan. Formulasi terbaik diharapkan dapat diterapkan secara rutin sebagai protokol penyimpanan in vitro di bank gen untuk menghindari kepunahan spesies langka ini.

Kuncup aksiler in vitro tanpa daun berukuran ± 2 mm disimpan dalam media DKW + sukrosa 2.5% yang mengandung kombinasi sorbitol (0,1,2,3,4,5%) dan paklobutrazol (0,1,3,5 ppm). Dengan demikian jumlah total perlakuan 24 unit. Satu unit (botol) perlakuan mengandung 3 tunas dengan ulangan 6 kali. Kultur diinkubasi selama 8 bulan pada suhu 20 – 25°C dan fotoperiodisitas 16 jam terang dengan intensitas cahaya 800 – 1000 lux. Pada akhir penyimpanan, kultur disubkultur ke media regenerasi selama 3 bulan untuk menguji daya regenerasi setelah penyimpanan. Media regenerasi yaitu media perbanyakan (multiplikasi) terdiri dari media DKW + BA 4 ppm + Thidiazuron (TDZ) 0.4 ppm + Glutamin 100 ppm dengan penambahan GA3 3 ppm. Pengamatan karakter morfologi dan

anatomi dilakukan secara visual dan mikroskopis pada preparat paradermal dan sayatan melintang daun. Preparat paradermal untuk pengamatan stomata dibuat melalui metoda whole mount dan irisan melintang daun dibuat melalui metoda parafin dengan dehidran n-butanol. Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama konsentrasi sorbitol (S) dan faktor kedua konsentrasi paklobutrazol (P). Data dianalisis dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan Multi Range Test (DMRT) pada taraf α = 5% menggunakan program SPSS for windows 13.


(15)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi sorbitol dan paklobutrazol pada konsentrasi tertentu dapat menyimpan purwoceng selama 8 bulan. Namun daya regenerasi kultur pasca penyimpanan mengalami penurunan seiring peningkatan konsentrasi perlakuan. Selain itu kultur masih mempertahankan morfologi kerdil pada konsentrasi perlakuan tertentu meskipun sudah diregenerasi. Pengaruh sorbitol dan paklobutrazol selama penyimpanan masih bertahan atau persisten. Hasil pengamatan terhadap karakter anatomi menunjukkan terdapat perbedaan antara daun kontrol (yang tidak disimpan) dengan daun regenerasi pasca penyimpanan. Secara umum rata-rata semua karakter anatomi daun perlakuan mengalami penurunan kecuali kerapatan stomata. Kombinasi perlakuan terbaik yaitu sorbitol 1% - paklobutrazol 0 ppm (S1P0) atau sorbitol 3 % - paklobutrazol 1 ppm (S3P1). Kultur pada kedua kombinasi perlakuan tersebut memiliki pertumbuhan lambat saat penyimpanan dengan morfologi kerdil pada S3P1 namun ketika diregenerasi menunjukkan kecepatan pertumbuhan dan multiplikasi tunas yang cukup tinggi, daya hidup mencapai 100% dengan morfologi normal dan subur.

Kata kunci : penyimpanan, kultur in vitro, daya regenerasi, sorbitol, paklobutrazol, Pimpinella pruatjan (molk.)


(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(17)

PENYIMPANAN DENGAN PERTUMBUHAN MINIMAL

DAN REGENERASI IN VITRO PURWOCENG

(Pimpinella pruatjan Molk.)

RITA NINGSIH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(18)

Judul Tesis : Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)

Nama : Rita Ningsih

NRP : G351060441

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Rita Megia, D.E.A Dr. Ireng Darwati

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi S, D.E.A Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(19)

PRAKATA

Allhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Rita Megia, D.E.A selaku ketua komisi pembimbing atas semua jerih payah dan waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan, arahan dan kemudahan kepada penulis dari mulai penelitian sampai terselesaikannya tesis ini.

2. Dr. Ireng Darwati selaku anggota komisi pembimbing atas ilmu, waktu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

3. Dr. Ir. Diah Ratnadewi selaku dosen penguji atas kritik dan sarannya untuk kesempurnaan tesis ini.

4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Biologi atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di IPB.

5. Dr. Ir. Juliarni, M.Agr dan Ika Roostika T., SP., Msi atas bimbingan dan nasihat selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) dan Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah menyediakan fasilitas untuk melakukan penelitian.

7. Islamic Development Bank (IDB) dan Proyek Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah membiayai penelitian ini.

8. Retno Agustarini, mbak Susi, bu Rohmah, mbak Tini, Dania, Wirda, Ucu, pa Ujang, pa Naryo, pa Muzuni, bu Sih dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan kerjasama dan dukungannya selama ini.

Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada suami tercinta Drs. H. Abdul Halim L., M.Li atas segala pengorbanan baik moril maupun materil, dorongan, kesabaran, pengertian dan doanya. Kepada bapak dan ibu tercinta yang tiada mengenal lelah selalu mendoakan penulis sampai saat ini, penulis sampaikan terima kasih yang tiada batas. Untuk adikku Acih Astuti W. dan ananda Asykar Fathoni Syukriyah H. terima kasih atas pengorbanan dan perjuangannya melewati hari-hari yang berat bersama penulis. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka, amien.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan purwoceng di Indonesia.

Bogor, Januari 2009


(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 11 Agustus 1977 sebagai anak pertama dari pasangan Suparman dan Elis Rohimah. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Drs. H. Abdul Halim L., M.Li dan dikaruniai putra Asykar Fathoni Syukriyah H. berusia 8 tahun.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB Bandung, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pada Program Studi Biologi, Sub Program Studi Fisiologi, Genetika dan Biologi Molekuler, sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan beasiswa dari Proyek Kerjasama Pengembangan Universitas Haluoleo dengan Islamic Development Bank (IDB).

Sejak tahun 2004 penulis terangkat menjadi Pegawai Negri Sipil dan bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi FMIPA Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara.


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Botani Purwoceng ... 5

Mikropropagasi dan Regenerasi Purwoceng... 6

Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal ... 7

Regulator Osmotik dan Retardan Pertumbuhan... 9

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 12

Metode Penelitian ... 12

Penyimpanan In Vitro ... 12

Pengujian Daya Regenerasi Pasca Penyimpanan... 14

Pengujian Stabilitas Karakter Anatomi ... 14

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyimpanan In Vitro ... 17

Regenerasi Pasca Penyimpanan ... 24

Struktur Anatomi Daun ... 29

Penentuan Kombinasi Terbaik ... 40

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Rincian kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol ... 16

2 Pengaruh tunggal sorbitol dan paklobutrazol terhadap jumlah tunas

pada bulan ke-4 penyimpanan ………... 21

3 Pengaruh sorbitol dan paklobutrazol terhadap jumlah tunas pada

bulan ke-8 penyimpanan ……… 21

4 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal epidermis

atas daun regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan ... 34

5 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal

epidermis atas daun regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan ... 35

6 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal epidermis

bawah daun regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan ... 35

7 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal

epidermis bawah daun regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan ... 36

8 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal mesofil

daun regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan ... 36

9 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal

mesofil daun regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan ... 37

10 Rekapitulasi data beberapa kandididat perlakuan terbaik pada


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) ... 5

2 Struktur kimia sorbitol ... 9

3 Struktur kimia paklobutrazol ... 10

4 Diagram alir tahapan penelitian ……….. 13

5 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap pertumbuhan kultur selama 4 dan 8 bulan penyimpanan ... 18

6 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap daya hidup

kultur (%) pada akhir penyimpanan 4 dan 8 bulan... 22

7 Morfologi kultur akhir bulan ke-4 penyimpanan ... 23

8 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap pertumbuhan kultur selama 3 bulan regenerasi ... 25

9 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap jumlah tunas pada

akhir bulan ke-3 regenerasi ... 26

10 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap daya hidup

kultur pada akhir bulan ke-3 regenerasi ... 27

11 Morfologi kultur akhir bulan ke- 3 regenerasi ... 28

12 Variasi morfologi daun hasil regenerasi ... 28

13 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap kerapatan stomata

akhir bulan ke-3 regenerasi ... 30

14 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap

panjang stomata daun akhir bulan ke-3 regenerasi ... 31

15 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap

lebar stomata daun akhir bulan ke-3 regenerasi ... 32

16 Stomata daun bulan ke-3 regenerasi ... 33

17 Sayatan melintang daun purwoceng lapang dan kultur in vitro ... 38

18 Sayatan melintang daun hasil regenerasi


(24)

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Mekanisme penghambatan paklobutrazol

terhadap sintesis giberelin ... 50

2 Perbandingan formulasi media dasar MS dan DKW... 51


(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri obat tradisional Indonesia berkembang pesat, baik sebelum maupun selama krisis multidimensional melanda Indonesia. Pesatnya perkembangan industri obat tercermin dari jumlah perusahaan pendukungnya. Pada tahun 1981, jumlah perusahaan obat baru mencapai 165 buah, namun pada tahun 1991 dan tahun 2000, jumlah tersebut meningkat masing-masing menjadi 427 dan 985 perusahaan (Hasanah & Rusmin 2006).

Sekitar 80% pasokan bahan baku industri obat tradisional masih mengandalkan hasil pemanenan dari hutan atau habitat alami, sisanya dipasok dari hasil budidaya secara tradisional yang pada umumnya sebagai usaha sampingan. Hal ini menyebabkan terjadinya erosi genetik sehingga 54 jenis tanaman obat menjadi langka. (Proyek Pengelolaan dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan dan Fakultas Kehutanan IPB 2001).

Eksploitasi besar-besaran dari habitat alami menimbulkan permasalahan serius bagi kelestarian tanaman obat di Indonesia. Menurut Zuhud et al. (2001) selain pemanenan tanaman obat yang berlebihan, masalah kelestarian juga timbul akibat adanya a) kerusakan habitat karena eksploitasi kayu, konversi hutan, perladangan berpindah dan lain-lain, b) punahnya budaya dan pengetahuan tradisional/lokal di dalam atau sekitar hutan, c) ketidakseimbangan penawaran dan permintaan akan tanaman obat, d) lambatnya pengembangan budidaya, e) rendahnya harga tanaman obat, f) kurangnya kebijakan perundangan pelestarian, g) kelembagaan pelestarian tanaman obat.

Akibatnya banyak tanaman yang terancam punah atau paling tidak sudah sulit dijumpai di alam Indonesia. Salah satunya adalah Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) yang merupakan tanaman obat langka asli Indonesia dengan kategori endangered atau hampir punah (Rivai et al. 1992). Bahkan tanaman ini termasuk dalam Appendix I berdasarkan CITES (Convention on International Trading in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang berarti sangat dilindungi.


(27)

2

Purwoceng hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng (Heyne 1987), namun saat ini keberadaan di habitat alaminya sudah punah (Rahardjo 2003). Selain itu purwoceng juga sulit dibudidayakan di luar habitatnya. Menurut Rahardjo (2004) tanaman purwoceng berhasil dibudidayakan secara kecil-kecilan oleh petani di habitat aslinya yaitu sekitar desa Sekunang Dataran Tinggi Dieng pada ketinggian tempat 1800 - 3500 m dpl, suhu antara 13 – 17°C dan kelembaban udara 65 – 85%.

Purwoceng merupakan tanaman obat bernilai ekonomi tinggi. Akarnya dilaporkan berkhasiat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan air seni) dan tonik (menjaga stamina tubuh). Khasiat utama yang bersifat komersial sebagai obat afrodisiak. Hasil uji klinis membuktikan, ekstrak akar purwoceng mengandung aktivitas androgenik dan estrogenik, (Caropeboka 1980; Heyne 1987; Hernani & Yuliani, 1990). Khasiat purwoceng tidak kalah dengan ginseng yang berasal dari China atau Korea (Hernani & Yuliani 1990; Rahardjo 2004).

Mengingat nilai ekonomis dan statusnya yang langka, untuk menghindari kepunahan tanaman purwoceng, perlu dilakukan upaya konservasi sesegera mungkin. Upaya konservasi secara in situ (pada habitatnya) hampir tidak mungkin dilakukan karena habitat asli tanaman ini sudah punah dengan rusaknya hutan konservasi sebagai akibat kegiatan eksploitasi yang berlebihan. Dengan demikian, konservasi ex situ (di luar habitatnya) lebih sesuai untuk diterapkan.

Konservasi ex situ di lapang menghadapi kendala disebabkan purwoceng sulit dibudidayakan di luar habitatnya, karena memerlukan persyaratan agronomis yang spesifik. Selain itu, konservasi di lapang menghadapi resiko hilangnya populasi tanaman tersebut karena cekaman biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (kekeringan, kebanjiran dan kebakaran). Pemeliharaan tanaman di lapang juga akan membutuhkan lahan, tenaga, waktu, dan biaya yang besar.

Teknologi kultur in vitro merupakan teknologi alternatif yang dapat diterapkan untuk menghindari kepunahan tanaman purwoceng. Teknik ini cukup praktis, hemat lahan, tenaga kerja, biaya dan waktu, kelebihan lainnya kultur dapat segera diperbanyak apabila diperlukan, kemudahan dalam pertukaran


(28)

3

plasma nutfah selain itu lebih menjamin dari kehilangan genotip akibat cekaman biotik dan abiotik yang banyak terjadi di kebun koleksi (Gati dan Mariska 1997).

Konservasi in vitro sebagai koleksi aktif dapat diterapkan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal untuk penyimpanan jangka menengah (Withers 1991). Untuk mencapai tujuan tersebut umumnya digunakan senyawa penghambat pertumbuhan seperti paklobutrazol, cicocel, ancimidol dan inhibitor asam absisat serta komponen osmotik seperti sorbitol atau manitol (Chawla 2002; Whiters 1985; Wilkin & Dodds 1983).

Penyimpanan jangka menengah menggunakan sorbitol 3% sebagai regulator osmotik telah dilakukan oleh Fletcher (1994) terhadap tanaman asparagus. Hasilnya eksplan mampu bertahan sampai 2 tahun dan 100% berhasil ditransfer ke tanah di rumah kaca. Menurut Unnikrishnan et al. (2001) perlakuan sorbitol 5 % dan sukrosa 60 % terhadap kultur meristem ubi kayu, memberikan pengaruh penghambatan yang lebih nyata dibanding manitol selama 4 bulan, sedangkan pemberian sorbitol 30 % dan sukrosa 30% dapat memperpanjang umur simpan sampai 12 bulan dengan viabilitas cukup baik dan daya regenerasi mencapai 78 sampai 90%.

Berbagai jenis tanaman lainnya yang telah berhasil disimpan dengan teknik pertumbuhan minimal adalah ubi jalar (Roostika & Sunarlim 2006), ubi kayu (Sunarlim & Zuraida 2001), kentang hitam (Roostika & Mariska 2004), talas (Dewi 2002), kentang dan pisang (Ashmore 1997), daun dewa (Gati & Purnamaningsih 2005), pule pandak (Gati & Mariska 2001).

Konservasi in vitro tanaman purwoceng melalui pertumbuhan minimal pernah dilaporkan, namun hasilnya kurang memuaskan dimana kultur tidak dapat disimpan dalam waktu lebih dari empat bulan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, media terbaik untuk penyimpanan yaitu DKW dengan retardan yang cocok yaitu paklobutrazol 5 ppm (Rahayu & Sunarlim 2002). Oleh karena itu diperlukan pengembangan metode penyimpanan melalui teknik pertumbuhan minimal untuk memperpanjang masa simpan kultur tanpa tindakan subkultur secara berulang-ulang. Pemberian secara bersama-sama regulator osmotik sorbitol dan retardan pertumbuhan paklobutrazol diharapkan dapat memperpanjang umur simpan kultur purwoceng.


(29)

4

Kondisi yang diharapkan di dalam konservasi in vitro yaitu kultur dapat disimpan selama mungkin dengan viabilitas tinggi tanpa menyebabkan penurunan daya regenerasi. Retardan tumbuh maupun regulator osmotik pada taraf konsentrasi tertentu berpotensi menginduksi perubahan sejumlah karakter morfologi, anatomi, fisiologi bahkan mutasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya regenerasi kultur pasca penyimpanan. Untuk itu pengujian daya regenerasi, karakter morfologi dan anatomi pasca penyimpanan perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan konsentrasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol terbaik untuk menyimpan kultur purwoceng selama 4 dan 8 bulan.

2. Menguji daya regenerasi, stabilitas karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng pasca kedua periode simpan.

3. Membandingkan daya regenerasi, stabilitas karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng pasca kedua periode simpan.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat satu atau lebih konsentrasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol terbaik untuk menyimpan kultur purwoceng selama 4 dan 8 bulan.

2. Tidak terjadi penurunan daya regenerasi maupun perbedaan karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng pasca kedua periode simpan.

3. Tidak terdapat perbedaan daya regenerasi maupun karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng antara kedua periode simpan.

Manfaat Penelitian

Formulasi terbaik sorbitol dan paklobutrazol dalam memperpanjang umur simpan kultur in vitro purwoceng, diharapkan dapat diterapkan secara rutin sebagai protokol penyimpanan melalui pertumbuhan minimal di bank gen. Dengan aplikasi teknik konservasi in vitro ini maka kepunahan spesies langka tersebut dapat dihindari. Selain itu, koleksi aktif (yang disimpan dengan pertumbuhan minimal) dapat diperbanyak kembali untuk keperluan produksi bibit atau produksi metabolit sekunder secara in vitro jika ada pihak yang memerlukan.


(30)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Purwoceng

Purwoceng adalah istilah dalam bahasa Jawa bagi tumbuhan yang memiliki nama ilmiah Pimpinella pruatjan Molk. Biasa juga disebut gebangan depok (Jawa), antanan gunung (Sunda) atau suripandak abang. Purwoceng hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan Iyang di Jawa Timur (Heyne 1987).

Tanaman dari kelas dikotil dan famili apiaceae yang memiliki nama sinonim Pimpinella alpina Kds, merupakan tanaman terna perenial dengan struktur batang roset. Tangkai daun mendatar sehingga tajuk tanaman menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan, dengan diameter 33.9 – 50 cm. Purwoceng memiliki daun majemuk berhadapan berpasang-pasangan berjumlah 18.9 – 24.8 helai/tanaman, di ujung tangkai terdapat daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi. Warna permukaan atas daun hijau dan bawah daun hijau keputihan.Tangkai daun memiliki panjang 8.6 – 13.1 cm tumbuh rapat menutupi batang, seolah batang tidak ada. Warna pangkal daun pada umumnya berwarna merah kecoklatan dan panjang daun 20.1 – 28.2 cm. Tanaman berbunga majemuk membentuk bunga payung, setiap tandan bunga yang berbentuk payung tersebut terdapat lebih kurang 5 – 10 bunga. Sistem perakaran tunggang dengan akar utama membesar seolah membentuk umbi seperti bentuk ginseng tetapi tidak sebesar ginseng (Rahardjo et al. 2005; Rostiana et al. 2007).


(31)

6

Mikropropagasi dan Regenerasi Purwoceng

Purwoceng merupakan tanaman obat langka yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sumber bahan baku afrodisiak. Dalam mendukung budidaya dan pengadaan sumber eksplan untuk keperluan berbagai topik kajian tentang tanaman ini, diperlukan jumlah bahan yang memadai, salah satunya melalui teknik perbanyakan in vitro atau mikropropagasi. Kestabilan teknik mikropropagasi dan regenerasi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan studi penyimpanan secara in vitro.

Metode regenerasi dapat ditempuh melalui organogenesis maupun embriogenesis somatik (Roostika et al. 2005). Purwoceng dapat diregenerasikan secara in vitro melalui organogenesis proliferasi tunas aksilar. Kondisi inkubasi terbaik untuk regenerasi adalah dalam growth chamber dengan temperatur 9°C dan penyinaran dengan insensitas cahaya 1000 lux. Adapun media dasar terbaik yaitu DKW yang mengandung 4 ppm BA dan 100 ppm arginin. Sumber eksplan berupa kuncup aksiler tanpa daun. Dengan kondisi tersebut kultur mampu menghasilkan 2.8 tunas pada minggu ke-10. Induksi perakaran paling cepat 40 hari dengan persentase perakaran paling tinggi (100%) dapat ditempuh melalui penambahan NAA 1 ppm pada media DKW (Roostika et al. 2006).

Kultur yang telah melampaui periode penyimpanan diharapkan tidak mengalami penurunan daya tumbuh pada media regenerasi, dan tidak menimbulkan perubahan karakter morfologi maupun anatomi. Retardan pertumbuhan dan cekaman air menimbulkan perubahan luas daun, kerapatan stomata, kandungan klorofil, protein, bahkan lebih jauh lagi perubahan pada tingkat ultrastruktur (Kasele et al. 1995; Utrillas & Alegre 1997). Pada penelitian Gati dan Purnamaningsih (2005), tunas daun dewa yang telah disimpan selama 7 bulan dalam 4 ppm paklobutrazol tetap memiliki daya tumbuh yang tinggi setelah dikulturkan pada media regenerasi MS + 2 ppm BA, selain itu tunas yang berakar selama masa simpan dapat langsung diaklimatisasi di rumah kaca. Demikian pula Saldana dan Garcia de la Rosa (1996) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan pertumbuhan pada tanaman kentang umur 1 bulan setelah disimpan dalam 250 ppm paklobutrazol selama 4 bulan.


(32)

7

Pengumpulan plasma nutfah di kebun koleksi sangat berisiko dan juga membutuhkan lahan, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Konservasi in vitro merupakan solusi yang tepat untuk permasalahan di atas. Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam penyimpanan in vitro, ada beberapa prinsip yang dapat diterapkan yaitu : meminimumkan pertumbuhan biakan sehingga interval waktu subkultur lebih panjang, memelihara agar viabilitas tunas yang disimpan tidak menurun dan mencegah terjadinya variasi somaklonal (Gati 1999).

Teknik penyimpanan in vitro mempunyai beberapa kelebihan, seperti penghematan lahan, tenaga kerja, biaya dan waktu, biakan dapat segera diperbanyak apabila diperlukan, juga kemudahan dalam pertukaran plasma nutfah dan bebas dari gangguan hama dan penyakit. Namun adapula beberapa kendala dalam pemanfaatannya yaitu butuh tenaga trampil, dan analisis kestabilan genetik pada materi yang disimpan setiap periode tertentu (Ashmore 1997). Selain itu risiko kematian atau kehilangan genotip pun tetap ada. Oleh karena itu kebun koleksi plasma nutfah tetap diperlukan (Mariska et al. 1996).

Penyimpanan plasma nutfah secara in vitro salah satunya ditempuh melalui pertumbuhan lambat atau minimal. Pada penyimpanan ini eksplan dikondisikan tumbuh dalam keadaan sub optimal dimana pertumbuhan berlangsung sangat lambat. Metode ini memiliki beberapa keuntungan antara lain bahan yang disimpan siap pakai apabila diperlukan, mudah diamati kondisinya, dan bahan dengan mudah disimpan kembali (Wilkins & Dodds 1983).

Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk pertumbuhan minimal adalah: 1. Menurunkan temperatur inkubasi (4 – 12°C) atau (20°C) (Hu & Wang 1983).

Sebelum perlakuan, tunas dikultur terlebih dahulu selama 3 – 4 minggu pada kondisi pertumbuhan standar, setelah itu dipindahkan ke kondisi perlakuan dengan fotoperiodisitas 16 jam dan intensitas cahaya rendah, sekitar 50 lux (Chawla 2002).

2. Mengurangi atau menghilangkan beberapa faktor esensial untuk pertumbuhan normal seperti pengenceran media dasar dan mengurangi konsentrasi zat pengatur tumbuh (Debrunais et al. 1992; Wilkin & Dodds 1983).

3. Meningkatkan tekanan osmotik dengan menambahkan bahan osmotik seperti gula alkohol (manitol atau sorbitol) untuk menghambat pembelahan sel.


(33)

8

Dengan adanya bahan osmotik maka potensial osmotik media menjadi lebih rendah dan menyebabkan penyerapan unsur hara oleh sel tanaman menjadi lambat (Bessembinder et al. 1993; Wilkins & Dodds 1983).

4. Menambahkan inhibitor asam absisat dan zat pelambat tumbuh (retardan) ancimidol, cicocel, atau paklobutrazol untuk menghambat pembelahan dan pemanjangan sel (Harijono 1990; Withers 1985).

5. Memperkecil luas tempat penyimpanan (Negri et al. 1995).

Bahan tanaman yang sebaiknya disimpan pada kultur in vitro adalah meristem, karena meristem adalah bagian tanaman yang bebas penyakit dan mudah diregenerasikan karena terdiri dari kumpulan sel yang aktif membelah. Eksplan berupa suspensi sel atau kalus jarang dilakukan karena dikhawatirkan terjadi penyimpangan genetik (Grout 1995). Kultur kalus pun tidak dianjurkan karena menyebabkan penurunan sintesis produk sekunder, dan juga penurunan kecepatan tumbuh pada media pemulihan (Withers 1991).

Penyimpanan dengan menurunkan temperatur sudah banyak memberikan hasil, beberapa keuntungan dari penyimpanan tersebut menurut Mariska et al. (1996) antara lain : (a) suhu rendah menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara alami, dan secara nyata dapat memperpanjang masa simpan; (b) tingkat mutasi pada biakan lebih rendah; (c) lebih praktis sehingga memungkinkan penyediaan plasma nutfah yang siap dimanfaatkan setiap waktu, dan (d) bahan tanaman yang disimpan dapat dipertahankan dalam keadaan haploid karena pada suhu lebih tinggi akan merubah bahan tanaman menjadi diploid. Namun metode tersebut sulit dilakukan di negara-negara berkembang disebabkan mahalnya fasilitas penyimpanan dengan suhu yang dapat diatur, juga pasokan listrik yang kadang-kadang sering terganggu. Beberapa tanaman yang sudah berhasil disimpan menggunakan temperatur rendah antara lain : kentang, ubi kayu dan ubi jalar, pisang, apel (Bannerjee & De Langhe 1985; Wilkins & Dodds 1983). Namun metode yang paling banyak diterapkan adalah dengan menggunakan zat pelambat pertumbuhan (retardan), inhibitor osmotik atau kombinasi keduanya.


(34)

9

Regulator Osmotik dan Retardan Pertumbuhan

Regulator osmotik (osmoregulator) merupakan suatu zat yang dapat menurunkan pertumbuhan tanaman dengan cara mempengaruhi tekanan osmotik dalam media kultur. Sorbitol dan manitol merupakan jenis osmoregulator yang dianjurkan (Grout 1995). Sorbitol adalah gula alkohol yang dimetabolismekan dengan kecepatan sangat rendah, berasal dari glukosa yang mengalami reduksi pada gugus aldehid menjadi hidroksil. Struktur kimia sorbitol adalah sebagai berikut :

Gambar 2 Struktur kimia sorbitol

Penambahan manitol maupun sorbitol ke dalam media kultur menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kultur tanpa mempengaruhi sifat genetiknya (Gamborg & Shyluk 1981 dalam Dewi 2002), sehingga sorbitol dapat digunakan untuk konservasi in vitro. Penyimpanan tiga aksesi talas (Colocasia esculenta) secara in vitro berhasil dilakukan melalui penambahan manitol 40 % pada media MS (Dewi 2002). Penyimpanan talas lebih lama sampai tiga tahun diperoleh melalui kombinasi perlakuan manitol dan temperatur 9°C (Bessembinder et al. 1993). Kultur tunas pisang Musa balbisiana ‘Kluai Hin’ yang disimpan dalam media dengan penambahan sukrosa 10 % memberikan hasil yang lebih baik diikuti berturut-turut oleh perlakuan glukosa 30 % dan sorbitol 50 %, dan lebih baik responnya bila dikultur pada temperatur 25°C dengan fotoperiodisitas 16 jam selama 6 bulan (Promsorn & Kanchanapoom 2006). Tanaman asparagus pun berhasil disimpan selama 2 tahun dalam media MS dengan penambahan sukrosa 3%, sorbitol 4%, 0.4 ppm thiamin, 200 ppm glutamin, 100 ppm inositol, 1 ppm ancimidol dan 0.8% agar, bahkan setelah pemulihan, 100% berhasil tumbuh di rumah kaca (Fletcher 1994).


(35)

10

Retardan pertumbuhan atau zat pelambat pertumbuhan juga biasa digunakan untuk menghambat pertumbuhan kultur, seperti paklobutrazol, ancimidol, cicocel (CCC), Alar, B9, uniconazol, asam absisat, fospon D, maleik hidrazid, diaminiazid (B995) (Chawla 2002; Wilkins & Dodds 1983; Pinhero & Fletcher 1994; Withers 1991). Zat pelambat tumbuh adalah senyawa-senyawa organik sintetik yang dapat menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal, mengurangi laju perpanjangan batang bila diberikan pada tanaman yang responsif, tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun (Dicks 1979 diacu dalam Gati 1999 dan Wattimena 1987). Mekanisme penghambatan oleh retardan pertumbuhan dapat dilihat pada lampiran 1.

Paklobutrazol merupakan anggota golongan triazol mempunyai rumus empirik C15H20ClN3O dengan rumus kimia (2-RS, 3 RS)-1 (4-m klorofenil) – 4,4

dimetil – 2 (1 H-1, 2, 4-triazol 1-Y1)- pentan-3-01. Paklobutrazol disebut juga PP333 (Anonim1, 2005). Paklobutrazol secara komersil memiliki dua

stereoisomer (diastereoisomer 2RS, 3RS). Bentuk enansiomer (2S,3S) memiliki peranan sebagai zat pengatur tumbuh pada tanaman dengan menghambat biosintesis GA lebih spesifik, sedangkan enansiomer (2R, 3R) lebih aktif dalam menghambat biosintesis sterol (Rademacher 2000). Struktur kimia paklobutrazol adalah sebagai berikut :

N N

N

HO

Cl


(36)

11

Pengaruhnya antara lain menghambat panjang batang, meningkatkan panjang trikoma, meningkatkan pembentukan lapisan lilin pada kutikula, meningkatkan kandungan klorofil serta meningkatkan pertumbuhan akar (Pinhero & Fletcher 1994). Zat pelambat tumbuh ini dapat pula menurunkan metabolisme sel dan menghambat pertumbuhan vegetatif. Daya kerjanya antara lain menghambat biosintesis giberelin, menurunkan kadar ABA, etilen dan IAA akan tetapi meningkatkan kandungan sitokinin serta berperan sebagai senyawa proteksi terhadap stress abiotik (Anonim2 2005; Methouachi et al. 1996).

Penyimpanan daun dewa (Gynura procumbens) menggunakan paklobutrazol 4 ppm atau ABA 5 ppm yang dalam media dasar ½ MS (Gati & Purnamaningsih 2005), tanaman pule pandak (Rauvolfia serpentina) menggunakan paklobutrazol 0.75 ppm dalam media MS dapat menghambat kultur selama 6 bulan (Gati & Mariska 2001). Sunarlim et al. (2000) menemukan bahwa semakin tinggi konsentrasi paklobutrazol ataupun ancimidol sampai 5 ppm, semakin pendek kultur purwoceng, daun makin kecil tetapi jumlahnya semakin banyak. Adapun pada tanaman ubi kayu, penambahan paklobutrazol 3 ppm pada media MS dapat menghambat pertumbuhan selama enam bulan, sementara itu pada perlakuan ABA 1 ppm dapat lebih lama lagi sampai 10 bulan (Sunarlim & Zuraida 2001). Penyimpanan purwoceng berhasil dilakukan pada media dasar DKW dengan penambahan ancimidol 1.5 ppm, namun hanya bertahan sampai empat bulan saja (Sunarlim et al. 2000).


(37)

12

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) dan Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA-IPB pada bulan Agustus 2007 sampai Oktober 2008.

Metode Penelitian

Penelitian terdiri dari tiga tahap meliputi : 1) penyimpanan secara in vitro, 2) pengujian daya regenerasi pasca penyimpanan dan 3) pengujian stabilitas karakter morfologi dan anatomi purwoceng pasca penyimpanan. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar 4.

Penyimpanan In Vitro

Eksplan berupa kuncup aksiler in vitro tanpa daun berukuran ± 2 mm disimpan dalam media DKW (lampiran 2) + sukrosa 2.5% yang mengandung kombinasi inhibitor osmotik dan retardan pertumbuhan secara aseptik di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC). Inhibitor osmotik yang diuji yaitu sorbitol dengan lima tingkatan konsentrasi dan satu kontrol (0, 1, 2, 3, 4 dan 5%), sedangkan retardan pertumbuhan yaitu paklobutrazol dengan tiga tingkatan konsentrasi dan satu kontrol (0, 1, 3 dan 5 ppm). Dengan demikian jumlah total perlakuan 24 unit. Satu unit (botol) perlakuan mengandung 3 eksplan dengan jumlah ulangan 6 kali. Kultur diinkubasikan di dalam rak kultur pada suhu 20 – 25°C dan fotoperiodisitas 16 jam terang dengan intensitas cahaya 800 – 1000 lux. Penyimpanan kultur meliputi dua periode yaitu 4 dan 8 bulan.

Peubah yang diamati meliputi : jumlah tunas, daya hidup dan morfologi kultur yang diamati secara visual pada bulan terakhir penyimpanan, sedangkan bobot basah kultur ditimbang setiap bulan .


(38)

13

Kuncup aksiler in vitro

tanpa daun

Disimpan selama 4 dan 8 bulan dalam 24 kombinasi perlakuan

sorbitol dan paklobutrazol

Pengujian daya regenerasi selama 3 bulan setelah penyimpanan 4 dan 8 bulan

Pengujian karakter anatomi daun bulan ke-3 regenerasi setelah penyimpanan

4 dan 8 bulan

Penentuan kombinasi perlakuan terbaik untuk penyimpanan 8 bulan

Kombinasi terbaik sorbitol dan paklobutrazol


(39)

14

Pengujian DayaRegenerasi Pasca Penyimpanan

Pada akhir kedua periode penyimpanan, kultur dipindahkan ke media regenerasi untuk diuji daya regenerasinya pasca penyimpanan. Sebelumnya daun layu dan bagian kultur yang mati dibuang. Media regenerasi yaitu media perbanyakan (multiplikasi) terdiri dari media DKW + BA 4 ppm + TDZ 0.4 ppm + Glutamin 100 ppm (Roostika et al. 2005) dengan penambahan GA3 3 ppm.

Regenerasi berlangsung selama tiga bulan. Peubah yang diamati meliputi : jumlah tunas, daya hidup dan morfologi kultur yang diamati secara visual pada akhir masa regenerasi, sedangkan bobot basah kultur ditimbang setiap bulan.

Pengujian Stabilitas Karakter Anatomi

Pengamatan karakter anatomi daun dilakukan secara mikrokopis terhadap preparat irisan paradermal dan melintang daun. Preparat paradermal daun dibuat dengan metode preparat utuh (whole mount) menurut Johansen (1940) yang dimodifikasi. Tahapannya adalah : daun difiksasi dalam alkohol 70% selama 3 malam, dicuci selanjutnya disayat menggunakan silet. Hasil sayatan paradermal direndam dalam larutan pemutih (sodium hipoklorit 5.25%) (v/v) selama 10 menit, sayatan dicuci, selanjutnya dilakukan pewarnaan menggunakan safranin 2% (b/v) selama 3 menit. Sayatan dicuci kembali kemudian diletakkan di atas gelas objek, ditetesi gliserin 30% lalu ditutup dengan gelas penutup dan diberikan cat kuku pada sekeliling tepi gelas penutup.

Karakter anatomi daun dari preparat paradermal yang diamati adalah bentuk sel epidermis, kerapatan dan ukuran stomata (panjang dan lebar) yang dihitung berdasarkan persamaan :

Kerapatan Stomata = Jumlah Stomata / Luas Daun (mm2)

(Salisbury 1928 diacu dalam Wilmer 1983)

Pengamatan kerapatan stomata dilakukan sebanyak 3 ulangan, setiap ulangan meliputi dua luas bidang pandang yang dipilih secara acak, sedangkan pengukuran panjang dan lebar stomata dilakukan 3 ulangan setiap ulangan meliputi 10 stomata yang dipilih secara acak.


(40)

15

Preparat irisan melintang daun dibuat melalui metoda parafin dengan menggunakan dehidran n-butanol (Nakamura 1995). Sampel daun yang kira-kira berukuran sama difiksasi dalam larutan FAA (formalin, asam asetat glasial, alkohol 50%) selama 24 jam. Selanjutnya dilalukan ke dalam seri larutan dehidran II sampai VII masing-masing selama 1 jam kecuali dehidran VII diulang satu kali. Setelah itu diinfiltrasi dengan parafin dan dehidran VII 1 : 1 selama 8 jam pada suhu kamar, lalu dipindahkan ke oven 58ºC semalam. Selanjutnya campuran parafin dan dehidran VII dibuang lalu diganti parafin murni, infiltrasi dilanjutkan 3 malam. Berikutnya sampel daun dalam parafin dicetak ke dalam wadah khusus, setelah dingin blok sampel ditempelkan pada pemegang bahan (holder) pada mikrotom. Blok sampel diiris melintang dengan ketebalan 10 µm menggunakan mikrotom putar Yamato RV-240. Pita parafin hasil irisan ditempel pada gelas objek yang diberi gliserin-albumin (1 : 1) dan akuades lalu dikeringkan di atas warming tray semalam. Preparat setengah jadi dilalukan pada seri larutan pewarnaan alkohol-xilol. Preparat diwarnai dengan safranin 2% (b/v) selama 3 malam dan fast green 0.5 % (b/v) selama 1.5 jam, ditetesi entelan lalu ditutup dengan gelas penutup.

Karakter anatomi irisan melintang daun meliputi : tebal epidermis atas dan bawah, tebal mesofil serta kualitatif struktur daun. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 ulangan di bawah mikroskop cahaya pada perbesaran 100 dan 400X. Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan fotomikroskop Olympus CX 40 yang disambungkan dengan kamera Olympus OM-20 pada perbesaran yang sama.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama konsentrasi sorbitol dan faktor kedua konsentrasi paklobutrazol. Data dianalisis dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan Multi Range Test (DMRT) pada taraf α = 5% menggunakan program SPSS for windows 13.


(41)

16

Tabel 1 Rincian kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol

Sorbitol (S)

Paklobutrazol (P) 0 1 2 3 4 5

0 S0P0 S1P0 S2P0 S3P0 S4P0 S5P0

1 S0P1 S1P1 S2P1 S3P1 S4P1 S5P1

3 S0P3 S1P3 S2P3 S3P3 S4P3 S5P3

5 S0P5 S1P5 S2P5 S3P5 S4P5 S5P5

Keterangan : S0P0 = kontrol

SxP0 = perlakuan sorbitol x %,

S0Py = perlakuan paklobutrazol y ppm

SxPy = perlakuan kombinasi sorbitol x % dan paklobutrazol y ppm

x = 0,1, 2, 3, 4, 5 y = 0,1, 3, 5


(42)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyimpanan In Vitro

Hasil penelitian sebelumnya tentang penyimpanan in vitro kultur purwoceng menunjukkan bahwa pemberian ancimidol 1.5 ppm maupun paklobutrazol 5 ppm dalam media tidak mampu menyimpan kultur lebih dari 4 bulan (Rahayu & Sunarlim 2002). Upaya peningkatan umur penyimpanan dilakukan melalui pemberian kombinasi regulator osmotik dan retardan pertumbuhan dalam hal ini sorbitol dan paklobutrazol. Perlakuan secara bersamaan kedua faktor tersebut pada tingkatan konsentrasi tertentu dapat menimbulkan cekaman atau mampu menghambat pertumbuhan sehingga kultur dapat disimpan lebih lama. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan pada dua periode penyimpanan yaitu 4 dan 8 bulan.

Penambahan sorbitol dan paklobutrazol secara tunggal pada media penyimpanan sudah banyak dilakukan untuk menghambat laju pertumbuhan sampai kondisi sub optimal, sehingga kultur mampu bertahan selama jangka waktu penyimpanan tertentu. Penggunaan secara bersama-sama regulator osmotik manitol dan zat penghambat tumbuh paklobutrazol secara bersamaan terhadap penyimpanan tunas nilam telah dilaporkan oleh Gati (1999), hasilnya adalah kombinasi manitol 3% dan paklobutrazol 5 ppm mampu menyimpan kultur sampai 6 bulan dan tumbuh normal pada media regenerasi. Kombinasi lebih dari satu macam faktor stres seperti suhu rendah dengan inhibitor osmotik, dalam beberapa kasus memberikan hasil lebih baik tetapi pada kasus lain justru berakibat fatal karena dapat menimbulkan kerusakan pada eksplan (Withers 1991).

Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap pertumbuhan kultur selama penyimpanan, diamati terhadap sejumlah peubah sebagai berikut :

Bobot Basah

Hasil penelitian menunjukkan, kultur pada semua kombinasi perlakuan (24 kombinasi) mampu bertahan hidup sampai bulan ke-4 penyimpanan, namun mengalami penghambatan pertumbuhan (diwakili peubah bobot basah) yang bervariasi. Pertumbuhan maksimum dicapai oleh kultur tanpa perlakuan sorbitol


(43)

18

maupun paklobutrazol (kontrol/S0P0), dimana rata-rata bobot basah bulan ke-4 penyimpanan mencapai 0.36 g. Penghambatan mulai terlihat pada kombinasi perlakuan sorbitol 0% dan paklobutrazol 3 ppm (S0P3) disusul S3P0. Adapun pertumbuhan minimum dicapai oleh kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol konsentrasi tinggi yaitu sorbitol 5% dan paklobutrazol 5 ppm dengan rata-rata bobot basah hanya 0.04 g pada bulan ke-4 penyimpanan. Namun secara umum kultur pada semua kombinasi perlakuan masih berada pada kondisi pertumbuhan yang baik sehingga penyimpanan dilanjutkan sampai 8 bulan (Gambar 5A). 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4

0 2 3 4

Umur Penyimpanan (Bulan)

Bo b o t Ba sa h ( g )

Gambar 5 Pengaruh kombinasi sorbitol (S;%) dan paklobutrazol (P;ppm) terhadap pertumbuhan kultur (bobot basah; g) selama 4 bulan penyimpanan (A) dan 8 bulan penyimpanan (B).

Pada penyimpanan 8 bulan, dari 24 kombinasi perlakuan yang bertahan hidup hanya 17 kombinasi pelakuan, sisanya mati sebelum mencapai 8 bulan. Kultur pada kontrol hanya mampu hidup 6 bulan dan kultur pada 6 kombinasi

S0P0 S0P1 S0P3 S0P5 S1P0 S1P1 S1P3 S1P5

S2P0 S2P1 S2P3 S2P5 S3P0 S3P1 S3P3 S3P5

S4P0 S4P1 S4P3 S4P5 S5P0 S5P1 S5P3 S5P5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

0 2 3 4 5 6 7 8

Umur Penyimpanan (Bulan)

B obot B a sa h ( g)

S0P0 S0P1 S0P3 S0P5 S1P0 S1P1 S1P3 S1P5

S2P0 S2P1 S2P3 S2P5 S3P0 S3P1 S3P3 S3P5

S4P0 S4P1 S4P3 S4P5 S5P0 S5P1 S5P3 S5P5

A


(44)

19

perlakuan yang tidak bertahan hidup mengalami kematian pada bulan ke-6 atau ke-7 penyimpanan.

Pertumbuhan kultur pada perlakuan sangat berbeda dibandingkan kontrol. Pertumbuhan kultur kontrol berlangsung sangat cepat mulai bulan ke-2 sampai bulan ke-5, namun bulan selanjutnya terjadi stagnasi dan akhirnya kultur mati. Pertumbuhan kultur pada kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol selama 8 bulan terlihat bervariasi, ada yang masih tumbuh, ada yang stagnan bahkan adapula yang mati sebelum mencapai bulan ke-8 penyimpanan. Kultur yang tidak bertahan sampai bulan ke-8 berasal dari perlakuan dengan konsentrasi tinggi seperti sorbitol 5% dan paklobutrazol 5 ppm (Gambar 5B). Kematian kultur diduga akibat efek toksik perlakuan selama penyimpanan.

Kombinasi sorbitol dan paklobutrazol berpengaruh nyata dalam menekan pertumbuhan kultur selama 4 bulan. Pertumbuhan paling rendah terdapat pada kombinasi perlakuan dengan konsentrasi paling tinggi yaitu sorbitol 5 % dan paklo 5 ppm (S5P5).

Kultur pada kondisi kontrol pun tidak bertahan, namun penyebabnya karena pertumbuhan yang sangat cepat memicu penuaan dan kematian yang lebih cepat juga. Proses metabolisme yang berlangsung dengan cepat menyebabkan kultur cepat besar sehingga kandungan nutrisi dalam media semakin cepat habis. Menurut (Salisbury & Ross 1992) ketersediaan unsur hara berpengaruh terhadap penuaan dan kematian sel.

Sorbitol merupakan senyawa osmoregulator yang menyebabkan penurunan potensial osmotik dalam media kultur dan menginduksi peningkatan konsentrasi zat terlarut dalam sel sebagai usaha untuk memelihara turgiditas sel (Salisbury & Ross 1992). Pada tanaman yang mengalami stres osmotik, air menjadi faktor pembatas di dalam sejumlah proses fisiologis dan biokimia sehingga dapat mempengaruhi laju pembelahan dan pembesaran sel tanaman.

Paklobutrazol menyebabkan penghambatan pada pembelahan, pembesaran sel dan sedikit mempengaruhi pembentukan daun, sehingga kultur yang dihasilkan kerdil dengan daun yang bertumpuk. Kondisi ini menyebabkan ketidak seimbangan antara laju respirasi dengan fotosintesis. Akibatnya pertumbuhan


(45)

20

kultur terhambat. Apabila hal ini berlangsung dalam periode yang cukup lama dan dalam konsentrasi perlakuan tinggi pada akhirnya akan mengakibatkan kematian.

Kultur pada beberapa kombinasi perlakuan mengalami penghambatan pertumbuhan tanpa menimbulkan efek kematian sampai bulan ke-8 penyimpanan. Kombinasi perlakuan tersebut di antaranya S0P1, S0P3, S1P0, S1P5, S3P1 dan S5P0. Kondisi pertumbuhan yang diharapkan selama penyimpanan yaitu lambat namun tidak sampai tercekam. Pertumbuhan yang terlampau lambat justru menyebabkan kematian pada saat penyimpanan atau saat regenerasi. Grafik pertumbuhan S0P1, S0P3, S1P0, S3P1 dan S5P0 berada di posisi tengah sedangkan S1P5 berada dibawahnya sehingga kombinasi perlakuan ini masih cukup baik untuk penyimpanan.

Pertumbuhan lambat disebabkan karena paklobutrazol pada konsentrasi tertentu mampu menghambat oksidasi prekursor giberelin yaitu ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid yang akhirnya menghambat biosintesis giberelin (Methoachi et al. 1996 dan Rademacher 2000), sedangkan giberelin memiliki peranan penting dalam menginduksi perpanjangan batang dan menghilangkan dormansi tunas (Saliabury & Ross 1992). Menurut Croker et al. (1995) perlakuan paklobutrazol menyebabkan akumulasi ent-kaurene pada skutelum gandum. Hal ini menunjukkan terganggunya aktivitas enzim ent-kaurene oksidase yang berperan dalam mengoksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid. Selain itu, sorbitol dapat menurunkan potensial osmotik media sehingga penyerapan nutrisi oleh sel berlangsung lebih lambat yang pada akhirnya menghambat pembelahan sel (Bessembinder et al. 1993).

Jumlah Tunas

Jumlah tunas dipengaruhi secara nyata oleh faktor sorbitol dan paklobutrazol secara tunggal menurut hasil analisis ragam pada bulan ke-4 penyimpanan. Pada perlakuan sorbitol, jumlah tunas paling tinggi terdapat pada perlakuan sorbitol 1 ppm (2.5 tunas) melebihi kontrol (2.1 tunas), namun menurut hasil uji lanjut Duncan tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Pengaruh sorbitol terhadap jumlah tunas lebih rendah dari kontrol pada konsentrasi 4 dan 5 ppm. Paklobutrazol pada berbagai konsentrasi memberikan pengaruh penghambatan


(46)

21

yang nyata terhadap jumlah tunas dibandingkan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata terhadap sesamanya. Jumlah tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol yaitu 2.1 tunas dan terendah pada perlakuan paklobutrazol 3 ppm yaitu 1.7 tunas (Tabel 2).

Perlakuan tunggal sorbitol dan paklobutrazol menghambat multiplikasi tunas pada bulan ke-4 penyimpanan, namun penghambatan terlihat lebih nyata pada perlakuan paklobutrazol dimana mulai konsentrasi 1 ppm sudah menurunkan jumlah tunas secara nyata terhadap kontrol.

Tabel 2 Pengaruh tunggal sorbitol (S;%) dan paklobutrazol (P;ppm) terhadap jumlah tunas pada bulan ke-4 penyimpanan.

Jumlah Tunas Rataan

Perlakuan P0 P1 P3 P5 Sorbitol

S0 2.5 1.8 2.1 1.8 2.1 ab

S1 2.6 2.1 2.5 2.6 2.5 a

S2 1.8 1.9 1.7 2.0 1.9 bc

S3 2.4 2.1 1.6 1.3 1.9 bc

S4 1.5 1.2 1.1 1.3 1.3 d

S5 1.8 1.4 1.2 1.5 1.5 cd

Rataan 2.1 a 1.8 b 1.7 b 1.8 b Paklobutrazol

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom dan satu baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

Jumlah tunas pada bulan ke-8 bervariasi baik pada perlakuan sorbitol maupun paklobutrazol, hal ini disebabkan banyaknya eksplan yang mati sehingga mempengaruhi nilai rata-rata jumlah tunas (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh sorbitol (S;%) dan paklobutrazol (P;ppm) terhadap jumlah tunas pada bulan ke-8 penyimpanan.

Jumlah Tunas Rataan

Perlakuan P0 P1 P3 P5 Sorbitol

S0 x 1.7 2.5 2.0 2.1

S1 4.4 2.0 x x 3.2

S2 1.5 2.8 x 6.5 3.6

S3 4.1 2.7 x x 3.4

S4 2.4 x x x 2.4

S5 5.1 x x x 5.1

Rataan 3.5 2.3 2.5 4.25

Paklobutrazol

Keterangan : Tidak semua perlakuan memiliki data karena eksplan mati sebelum mencapai 8 bulan penyimpanan.


(47)

22

Paklobutrazol menghambat sintesis giberelin di dalam tanaman, akibatnya pembelahan dan pemanjangan sel terhambat selain itu tunas tetap dorman. Hal ini menyebabkan kultur sulit untuk membentuk tunas baru. Sedangkan pengaruh sorbitol terhadap pembentukan tunas disebabkan karena stres osmotik yang dialami tanaman dapat menghambat pembelahan sel, pemanjangan sel dan sejumlah proses fisiologis penting dalam tanaman yang akhirnya menghambat pembentukkan tunas baru.

Daya Hidup Kultur

Daya hidup kultur pada akhir bulan ke-4 penyimpanan secara umum tinggi sekitar 73 – 100%, namun menurun drastis pada bulan ke-8 penyimpanan. Penurunan drastis umumnya terlihat pada kultur yang diberi perlakuan paklobutrazol seperti S1P5 dan S5P1. Daya hidup kultur kontrol dan beberapa kombinasi perlakuan memiliki persentase 0, sebab tidak mampu hidup sampai akhir bulan ke-8 penyimpanan (Gambar 6).

Kultur yang tidak dapat bertahan sampai akhir bulan ke-8 terdapat pada kombinasi perlakuan berikut : S3P3, S4P1, S4P3, S4P5, S5P3 dan S5P5. Selain kontrol, kombinasi perlakuan yang tidak mampu mempertahankan viabilitas kultur selama penyimpanan terdiri dari sorbitol dan paklobutrazol dengan konsentrasi tinggi. Perlakuan kedua faktor dengan konsentrasi tinggi ini menyebabkan kultur tidak hanya terhambat pertumbuhannya, tapi bahkan mengalami stres, sehingga tidak mampu menjaga viabilitasnya selama periode penyimpanan. 0 20 40 60 80 100 120

S0P0S0P1 S0P3S0P5S1P0 S1P1 S1P3S1P5S2P0 S2P1S2P3S2P5 S3P0S3P1S3P3S3P5S4P0S4P1S4P3 S4P5S5P0S5P1S5P3S5P5

Kombinasi Sorbitol (%) dan Paklobutrazol (ppm)

D aya H idup K ul tur ( % )

PE4 PE8

Gambar 6 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap daya hidup kultur (%) pada akhir penyimpanan 4 bulan (PE4) dan 8 bulan (PE8).


(48)

23

Morfologi Kultur

Pengaruh penghambatan sorbitol dan paklobutrazol terlihat pula pada morfologi kultur. Pada kontrol, daun sudah menyentuh tepi botol dan menunjukkan tanda-tanda penuaan (Gambar 7A), sedangkan kultur pada kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol seperti S3P1 relatif masih hijau dan segar namun kultur tampak roset dan kerdil pada akhir bulan ke-4 penyimpanan (Gambar 7D). Perlakuan sorbitol dan paklobutrazol pada konsentrasi tinggi membuat eksplan tidak mampu lebih lanjut menghasilkan daun maupun tunas selama penyimpanan, eksplan terlihat kuning kecoklatan dan sebagian daun mati pada akhir bulan ke-4 penyimpanan (Gambar 7B & F).

A B

C D E F

G H I J

Gambar 7 Morfologi kultur akhir bulan ke-4 penyimpanan : (A) Kontrol (B) S0P5, (C) S1P0, (D) S3P1, (E) S5P0, (F) S5P5 dan bulan ke-8 penyimpanan : (G) S0P5, (H) S1P0, (I) S3P1 dan (J) S5P0.

Perlakuan kombinasi sorbitol dan paklobutrazol misalnya S3P1 menyebabkan kultur menjadi kerdil, helaian daun relatif lebih tebal dan sempit, tangkai daun pendek dan lebar serta warna kultur lebih hijau pada penyimpanan 4 bulan. Paklobutrazol dikenal sebagai senyawa pengerdil tanaman (Effendi 1992) mempunyai aktivitas menghambat pemanjangan batang dan meningkatkan kandungan klorofil (Wang et al. 1986; Pinhero dan Fletcher 1994), sedangkan sorbitol sebagai pemicu stres kekeringan, menyebabkan penurunan luas daun untuk mengurangi laju transpirasi (Hopkins & Hüner 2004; Pugnaire et al. 1999).


(49)

24

Pada akhir bulan ke-8 penyimpanan, kultur sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan dan kematian (Gambar 6G, H, I & J). Hal ini disebabkan kandungan nutrisi yang semakin berkurang dan stres perlakuan. Kondisi kultur yang diharapkan selama penyimpanan adalah kerdil dengan jumlah tunas sedikit sehingga unsur hara dalam media tidak cepat habis dan botol tidak cepat penuh, sehingga kultur dapat disimpan lebih lama.

Regenerasi Pasca Penyimpanan

Kultur yang masih hidup pada akhir bulan ke-4 dan ke-8 penyimpanan dipindahkan ke media regenerasi selama 3 bulan untuk pengujian daya regenerasi pasca penyimpanan. Sebelum dipindahkan daun layu dan bagian kultur yang mati dibuang terlebih dahulu, untuk menghindari keracunan akibat senyawa toksik dari jaringan mati dan meminimumkan resiko kontaminasi.

Pertumbuhan kultur dalam media regenerasi pasca penyimpanan, diukur dengan cara menimbang bobot basah setiap bulan selama 3 bulan. Pertumbuhan kultur pada berbagai kombinasi perlakuan selama 3 bulan regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan terlihat bervariasi. Kultur pada kombinasi perlakuan S1P0 memiliki kecepatan pertumbuhan paling tinggi melampaui kontrol, disusul kombinasi S1P3 dan S3P1. Kecepatan pertumbuhan rendah dialami kultur yang telah disimpan dalam kombinasi perlakuan dengan konsentrasi tinggi seperti S4P1, S4P3, S5P1, S5P3 dan S5P5 (Gambar 8A).

Kultur yang telah disimpan selama 4 bulan, mengalami pertumbuhan sangat cepat pada media regenerasi. Namun masih terlihat adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan pada berbagai kombinasi perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa efek penghambatan sorbitol dan paklobutrazol selama penyimpanan masih terbawa meskipun kultur sudah dipindah ke media regenerasi selama 3 bulan.

Demikian pula kultur yang telah disimpan 8 bulan menunjukkan pertumbuhan yang bervariasi selama 3 bulan regenerasi. Kultur kontrol tidak diregenerasikan karena sudah mati pada bulan ke-6 penyimpanan. Kultur pada beberapa kombinasi perlakuan mengalami kematian pada bulan ke-1 dan ke-2 regenerasi. Pertumbuhan sangat cepat ditunjukkan oleh kultur pada kombinasi


(50)

25

perlakuan S0P1, S1P0, S5P0 dan S1P5 adapun pertumbuhan kultur pada kombinasi perlakuan S0P3 dan S3P1 cukup cepat (Gambar 8B).

Pertumbuhan yang diwakili peubah bobot basah mengalami penurunan seiring meningkatnya konsentrasi perlakuan. Berbeda dengan hasil penelitian Dewi (2002) yang menyatakan bahwa tanaman talas dari semua perlakuan manitol dapat tumbuh dengan normal pada media regenerasi setelah penyimpanan 6 bulan. Demikian pula Fletcher (1994) menemukan bahwa tanaman asparagus yang disimpan 24 bulan dalam media yang mengandung sorbitol, tidak mengalami penurunan kemampuan propagasi atau tetap vigor pada media regenerasi.

Bobot basah kultur bulan ke-3 regenerasi setelah 4 bulan penyimpanan bila dibandingkan dengan bobot basah kultur yang telah disimpan 8 bulan, secara umum mengalami penurunan.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 3

Umur Penyimpanan (Bulan)

B o bot B a sa h ( g )

Gambar 8 Pengaruh kombinasi sorbitol (S;%) dan paklobutrazol (P;ppm) terhadap pertumbuhan kultur (bobot basah; g) selama 3 bulan regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan (A) dan 8 bulan (B).

0 1

S0P0 S0P1 S0P3 S0P5 S1P0 S1P1 S1P3 S1P5

S2P0 S2P1 S2P3 S2P5 S3P0 S3P1 S3P3 S3P5

S4P0 S4P1 S4P3 S4P5 S5P0 S5P1 S5P3 S5P5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

0 1 2 3

Umur Regeneras i (Bulan)

Bo b o t Ba sa h ( g )

S0P0 S0P1 S0P3 S0P5 S1P0 S1P1 S1P3 S1P5

S2P0 S2P1 S2P3 S2P5 S3P0 S3P1 S3P3 S3P5

S4P0 S4P1 S4P3 S4P5 S5P0 S5P1 S5P3 S5P5

A


(51)

26

Jumlah Tunas

Menurut hasil analisis ragam interaksi sorbitol dan paklobutrazol selama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah tunas pada akhir bulan ke-3 regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan (RPPE4). Rata-rata jumlah tunas paling banyak terlihat pada kontrol (32 tunas) sedangkan paling sedikit (2.33 tunas) terdapat pada kombinasi perlakuan S5P3. Semakin tinggi konsentrasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol kecenderungan semakin menurunkan jumlah tunas yang dihasilkan. Rata-rata jumlah tunas pada semua kombinasi perlakuan berbeda nyata terhadap kontrol kecuali S0P3 dan S1P0 (Gambar 9).

Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Saldana dan Garcia de la Rosa (1996) yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pertumbuhan pada tanaman kentang umur 1 bulan setelah disimpan dalam 250 ppm paklobutrazol selama 4 bulan.

Jumlah tunas akhir bulan ke-3 regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan (RPPE8) cenderung menurun seiring peningkatan konsentrasi. Jumlah tunas paling banyak (23 tunas) terdapat pada kombinasi perlakuan S1P0, paling sedikit (4 tunas) pada kombinasi S2P1 dan kombinasi perlakuan S0P1, S0P3, S1P5, S3P1 dan S5P0 berturut-turut 6; 10.5; 17; 10.7 dan 18.3 tunas. Jumlah tunas pada regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan, sebagian besar mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jumlah tunas pada regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan. Penurunan daya regenerasi kultur selain disebabkan perlakuan sorbitol dan paklobutrazol, lama umur penyimpanan turut berpengaruh pula.

0 5 10 15 20 25 30 35

0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5

Konsentrasi sorbitol (%)

Ju m la h T u n a s

P0 ppm P1 ppm P3 ppm P5 ppm

RPPE4 RPPE8

Gambar 9 Interaksi sorbitol (S) dan paklobutrazol (P) terhadap jumlah tunas pada akhir bulan ke-3 regenerasi. RPPE4 : regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan, RPPE8 : regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan.


(52)

27

Daya Hidup Kultur

Daya hidup kultur pada akhir bulan ke-3 regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan (RPPE4) terlihat bervariasi, mulai dari 33.3% pada kombinasi S4P1 sampai 100%, yang terdapat pada sebagian dari keseluruhan kombinasi yang diuji. Tidak semua kultur yang diregenerasi pasca penyimpanan 8 bulan (RPPE8) mampu hidup sampai akhir bulan ke-3. Kultur dari 17 kombinasi perlakuan hanya 11 kombinasi yang mampu beregenerasi, sisanya mati pada bulan ke-1 atau ke-2. Daya hidup kultur menunjukkan 100% pada semua kombinasi perlakuan yang mampu beregenerasi, kecuali S2P1 (20%) dan S4P0 (50%) (Gambar 10).

Kultur yang telah disimpan 8 bulan mengalami penurunan daya regenerasi, bahkan sebagian mati sebelum mencapai umur 3 bulan. Kultur yang mati berasal dari perlakuan sorbitol dan paklobutrazol konsentrasi tinggi. Stres yang terlampau berat pada masa penyimpanan membuat kultur tidak mampu beregenerasi.

0 20 40 60 80 100 120

S0P0S0P1S0P3S0P5S1P0S1P1S1P3S1P5S2P0S2P1S2P3S2P5S3P0S3P1S3P3S3P5S4P0S4P1S4P3S4P5S5P0S5P1S5P3S5P5

Kombinasi Sorbitol (%) dan Paklobutrazol (ppm)

Da y a Hi d u p Ku lt u r (% ) RPPE4 RPPE8

Gambar 10 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap daya hidup kultur (%) pada akhir bulan ke-3 regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan (RPPE4) dan 8 bulan (RPPE8).

Morfologi Kultur

Pengamatan terhadap morfologi kultur pada akhir bulan ke-3 regenerasi pasca penyimpanan 4 dan 8 bulan (RPPE4 dan 8), menunjukkan masih adanya kultur yang kerdil (Gambar 11 A & E). Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol pada konsentrasi tertentu masih terbawa meskipun kultur telah diregenerasi selama 3 bulan. Penambahan zat pengatur tumbuh GA3 3 ppm dalam


(53)

28

media regenerasi belum mampu sepenuhnya menghilangkan pengaruh sorbitol dan paklobutrazol yang diberikan saat penyimpanan. Namun beberapa kombinasi perlakuan memiliki morfologi kultur yang normal dan subur seperti pada perlakuan S1P0 dan S3P1. Kultur pada kombinasi S5P0 bulan ke-3 RPPE4 tampak normal namun multiplikasi tunas rendah, sedangkan bulan ke-3 RPPE8 tampak normal namun sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan pada beberapa daun.

F

D

E

A B

H C

G

Gambar 11 Morfologi kultur akhir bulan ke-3 regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan (RPPE4) : (A) S0P5 (B) S1P0, (C) S3P1, (D) S5P0 dan 8 bulan (RPPE8) : (E) S0P5, (F) S1P0, (G) S3P1, (H) S5P0.

Morfologi daun saat regenerasi sangat bervariasi. Variasi bentuk daun tidak hanya terdapat pada semua kombinasi perlakuan tetapi pada kontrol pun memilikinya. Sebagai pembanding ditampilkan gambar daun normal dari lapang dan dari kultur in vitro (Gambar 12).

A B C

Gambar 12 Daun dari lapang dan variasi morfologi daun regenerasi pasca

penyimpanan. (A) Normal lapang, (B) Normal in vitro, (C) Variasi in vitro.


(54)

29

Bentuk daun purwoceng dewasa di lapang merupakan daun majemuk berhadapan-berpasangan sedangkan daun purwoceng muda berupa daun tunggal , berwarna hijau tua serta berukuran lebih besar dari daun in vitro. Daun in vitro normal, merupakan daun tunggal atau majemuk beranak daun 3 atau lebih dengan ukuran lebih kecil dan warna tidak sehijau daun dari lapang (Gambar 12).

Variasi morfologi daun pada semua kombinasi perlakuan termasuk kontrol diduga bukan pengaruh dari kedua faktor (sorbitol dan paklobutrazol) saat penyimpanan. Variasi ini merupakan respon terhadap kondisi lingkungan kultur yang berbeda dengan kondisi di lapang.

Lingkungan kultur memiliki kelembaban dan kandungan karbohidrat tinggi dengan intensitas cahaya yang rendah, akumulasi senyawa toksik serta tidak terpajan pada mikroorganisme (Kitaya et al. 1996 dalam Ermayanti et al. 2004). Kelembaban yang tinggi menyebabkan terganggunya perkembangan, fisiologi dan struktur morfologi tanaman kultur ( Kozai et al. 1993). Diharapkan variasi ini hanya terjadi pada kondisi lingkungan kultur in vitro, setelah ditanam dirumah kaca dapat kembali normal seperti tanaman induk.

Struktur Anatomi Daun

Pengamatan stabilitas karakter anatomi dilakukan terhadap sampel daun pada bulan terakhir regenerasi, dari kultur yang sebelumnya telah disimpan 4 dan 8 bulan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perlakuan sorbitol dan paklobutrazol mempengaruhi struktur sel dan jaringan. Daun dari dua kombinasi perlakuan (S5P3 dan S5P5) tidak diamati karena lebar daun sangat kecil (± 0.3 mm) sehingga sulit disayat.

Pengamatan terhadap preparat paradermal dan irisan melintang daun dilakukan secara mikroskopis untuk mendapatkan data dari beberapa karakter anatomi antara lain :

Kerapatan Stomata

Hasil analisis ragam terhadap rata-rata kerapatan stomata menunjukkan bahwa interaksi sorbitol dan paklobutrazol selama penyimpanan 4 bulan berpengaruh nyata meningkatkan kerapatan stomata daun yang telah diregenerasi


(55)

30

(RPPE4). Kerapatan stomata paling tinggi terdapat pada daun dari kultur yang telah mengalami penyimpanan dengan kombinasi perlakuan S4P3 (239/mm2). Kerapatan stomata paling rendah terdapat pada daun yang diberi kombinasi perlakuan S2P1 (133.8/mm2), lebih rendah dibanding kontrol (155.7/mm2) namun secara statistik tidak berbeda. Kerapatan stomata S0P1, S0P3, S1P0, S1P5 dan S5P0 berturut-turut 188, 186, 170, 157 dan 190/mm2 tidak berbeda terhadap kontrol, namun kerapatan pada S3P1 yaitu 232/mm2 berbeda nyata terhadap kontrol (Gambar 13).

0 50 100 150 200 250 300

0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5

Konsentrasi Sorbitol (%)

K er apa ta n S to m at a/ m m 2

P0 ppm P1 ppm P3 ppm P5 ppm

RPPE4 RPPE8

Gambar 13 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap kerapatan stomata/mm2 daun akhir bulan ke-3 regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan

(RPPE4) dan 8 bulan (RPPE8).

Pengamatan karakter anatomi daun pasca penyimpanan 8 bulan (RPPE8) hanya dilakukan terhadap 11 kombinasi perlakuan, hal ini disebabkan sebagian kultur mati pada saat penyimpanan dan regenerasi sebelum mencapai bulan ke-3. Kerapatan stomata daun kultur yang telah diregenerasi selama 3 bulan dari berbagai kombinasi perlakuan yang sebelumnya disimpan 8 bulan, menunjukkan hasil yang bervariasi. Ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi kombinasi perlakuan, semakin tinggi pula nilai kerapatan stomata / mm2 daun. Kerapatan stomata S0P1, S0P3, S1P0, S1P5, S3P1 dan S5P0 berturut-turut 176, 193, 211, 142, 246 dan 199/mm2. Sebagai pembanding, kerapatan stomata daun di lapang adalah 206.3/mm2. Kerapatan stomata daun kultur pada RPPE8 secara umum lebih tinggi dari daun kultur pada RPPE4 ( Gambar 13).


(1)

Sandoval JA, Müller LE, Weberling F. 1994. Foliar morphology and anatomy of Musa cv. Grande Naine (AAA) plants grown in vitro and during hardening as compared to field-grown plants. Fruits 49(1) : 37 – 46.

Sinha N. 1999. Leaf Development in Angiosperms. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 50 : 419 – 446.

Sunarlim N, Zuraida N. 2001. Penyimpanan ubi kayu secara in vitro dengan pertumbuhan minimal. Buletin Plasma Nutfah 7(2) : 7 – 12.

Sunarlim N, Supriati Y, Murtado, Kosmiatin M. 2000. Konservasi tumbuhan obat langka purwoceng melalui pertumbuhan minimal. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor : BALITBIO.

Suradinata T S. 1998. Struktur Tumbuhan. Bandung : Angkasa.

Unnikrishnan, Sheela MN, Gayathri V, Jiji RN. 2001. http//www.danforthcenter. org/media/video/cbnv/session 7/s. [27 Mar 2007].

Utrillas MJ, Alegre L. 1997. Impact of water stress on leaf anatomy and ultrastructure in Cynodon dactylon (L.) Pers. under natural conditions. Int. J. Plant Sci. 158(3) : 313 – 324.

Wang CY. Steffens GL, Fraust M. 1986. Effect of paclobutrazole on accumulation carbohydrates in Apple Wood. Hort Sci 21(6) : 1414 – 1421.

Wattimena GA. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU Bioteknologi. Bogor : IPB. 247 hlm.

Wilmer CM. 1983. Stomata. Department of Biology. New York : University of Stirling.

Wilkin CP, Dodds JH. 1983. Tissue culture conservation of woody species. Di dalam Dodds JH (Editor). Tissue Culture of Trees. London : CROOMHELM.

Withers LA. 1985. Cryoprservation and storage of germplasm. Pp. 169 – 190. Di dalam Dixon DA (editor). Plant Cell Culture. Washington : IRL Press.

Withers LA. 1991. In vitro conservation. Di dalam Hawkes JG. (Editor). Genetic Conservation of World Crop Plant. London : Academic Press.

Zuhud E AM, Azis S, Ghulamahdi M, Andarwulan N, Darusman LK. 2001. Dukungan teknologi pengembangan obat asli Indonesia dari segi budidaya, pelestarian dan pasca panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Hayati mendukung Agribisnis Tanaman Obat.


(2)

(3)

Lampiran 1 Mekanisme penghambatan paklobutrazol terhadap sintesis giberelin.

Dimethylallyl diphosphate (DMAPP)

(Sumber : Buchanan et al. 2000)

Isopentenyl diphosphate (IPP)

1 2

PP

3

Geranyl diphosphate

CH2O PP IPP

CH2O PP IPP

Farnesyl diphosphate

CH2O PP IPP

Geranylgeranyl diphosphate

H

CH2O PP

H H

ent-Kaurene Copalyl diphosphate

Paklobutrazol

3 3

ent-Kaurenoic acid ent-Kaurenal ent-Kaurenol

4

Keterangan :

ent-7α-Hydroxykaurenoic acid

5

1. Copalyl diphosphate synthase (CPS)

2. ent-Kaurene synthase (KS) 3. ent-Kaurene oksidase 4. ent-Kaurenoic acid

hydroxylase

5. GA -aldehyde synthase12


(4)

Lampiran 2 Perbandingan formula media dasar MS (Murashige & Skoog) dan DKW (Driver Kuniyaki & Walnut).

No GARAM MINERAL MS DKW

Hara Makro mg/L mg/L

1 KNO3 1900 -

2 NH4NO3 1650 1417

3 CaCl2. 2H2O 440 147

4 MgSO4.7H2O 370 740

5 KH2PO4 170 258.4

6 Ca(NO3)2.4H2O - 1960

7 NaH2PO4.H2O - -

8 K2SO4 - 1559.5

Hara Mikro mg/L mg/L

1 MnSO4.4H2O 22.3 -

2 MnSO4.H2O - 33.8

3 ZnSO4.7H2O 8.6 -

4 H3BO3 6.2 4.8

5 KI 0.83 -

6 Na2MoO4.2H2O 0.25 0.39

7 CuSO4.5H2O 0.025 0.25

8 CoCl2.6H2O 0.025 -

9 Zn(NO3)2.6H2O - 17

10 FeSO4.7H2O 27.85 33.4

11 Na2EDTA.2H2O 37.25 45

Vitamin mg/L mg/L

1 Inositol 100 1000

2 Thiamine-HCl 0.1 2

3 Nicotinic Acid 0.5 1

4 Pirydoxin-HCL 0.5 -

5 Adenin Sulfat - -

Asam Amino mg/L mg/L

1 Glycine 2 2

2 Glutamin - -


(5)

Lampiran 3 Kisaran lebar bukaan stomata daun pada regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan (RPPE4) dan 8 bulan (RPPE8).

Perlakuan Kisaran Lebar Bukaan Stomata (µm)

RPPE4 RPPE8

S0P0 3.75 – 7.50 x S0P1 1.25 – 5.00 1.3 – 5.0 S0P3 1.25 – 2.50 0.6 – 2.5 S0P5 1.25 – 2.50 1.3 – 3.8 S1P0 2.50 – 7.50 1.3 – 5.0 S1P1 2.50 – 5.00 0.3 – 1.3 S1P3 1.25 – 5.00 x S1P5 0.63 – 2.50 1.3 – 3.8 S2P0 1.25 – 5.00 0.6 – 2.5 S2P1 1.88 – 2.50 0.6 – 2.5 S2P3 0.63 – 3.75 x S2P5 0.63 – 3.75 x S3P0 1.25 – 5.00 x S3P1 0.63 – 3.13 1.3 – 5.0 S3P3 0.63 – 3.13 x S3P5 0.63 – 2.50 x S4P0 2.50 – 1.53 0.6 – 2.5 S4P1 0.63 – 3.13 x S4P3 1.25 – 2.50 x S4P5 0.63 – 2.50 x S5P0 3.75 – 7.50 0.6 – 2.5 S5P1 0.63 – 2.50 x

S5P3 x x


(6)

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol terbaik yaitu sorbitol 1% - paklobutrazol 0 ppm (S1P0) atau sorbitol 3 % - paklobutrazol 1 ppm (S3P1). Kultur pada kedua kombinasi perlakuan tersebut memiliki pertumbuhan lambat saat penyimpanan dengan morfologi kerdil pada S3P1 namun ketika diregenerasi menunjukkan kecepatan pertumbuhan dan multiplikasi tunas cukup tinggi, daya hidup mencapai 100% dengan morfologi normal dan subur.

Kultur yang telah disimpan pada kedua periode penyimpanan (4 dan 8 bulan) mengalami penurunan daya regenerasi dan masih mempertahankan morfologi kerdil pada tahap regenerasi. Pengaruh perlakuan sorbitol dan paklobutrazol selama penyimpanan masih terbawa. Terdapat perbedaan karakter anatomi pada daun regenerasi pasca kedua periode penyimpanan. Secara umum rata-rata semua karakter anatomi daun perlakuan mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol, kecuali kerapatan stomata.

Daya regenerasi kultur pasca penyimpanan 8 bulan lebih rendah dibandingkan penyimpanan 4 bulan. Demikian pula rata-rata nilai semua karakter anatomi secara umum mengalami penurunan, kecuali kerapatan stomata.

SARAN

1. Studi penyimpanan ini perlu dilanjutkan untuk mendapatkan protokol penyimpanan lebih dari 8 bulan, tanpa disertai penurunan daya regenerasi maupun perbedaan karakter anatomi.

2. Perlu adanya optimasi kultur pada tahap regenerasi untuk menghilangkan efek penghambatan sorbitol dan paklobutrazol yang masih terbawa.

3. Untuk lebih jauh perlu juga pengujian pada aspek fisiologi, ultrastruktur sel dan molekular untuk menjamin stabilitas genetik setelah penyimpanan.

4. Terkait dengan munculnya variasi morfologi dan perbedaan bentuk sel epidermis daun, perlu diteliti lebih lanjut tentang hal tersebut.