2. SUBJEK HASIL PENELITIAN 1. Hasil Observasi

Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan. Wawancara mendalam yang dilakukan terhadap subjek dan sejumlah informan lainnya dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pengalaman spiritual subjek, sehingga ia berada dalam kondisi mental-spiritual seperti saat ini. la merasa memiliki dan menjalani hidup yang penuh keterlangan dan keharmonisan. Selain itu juga dilakukan observasi untuk memperoleh gambaran tentang dinamika psikologis dari kondisi yang dihadapi melalui interaksi interpersonalnya dengan orang lain, termasuk pula suasana keseharian di rumahnya.

B. 2. SUBJEK

Subjek adalah seorang pria berusia sekitar 44 tahun. la memiliki seorang anak perempuan. Isterinya termasuk kerabat keraton Kasunanan Solo yakni salah seorang anak dari Raja Susuhunan Paku Buwono XII. Subjek sendiri dilahirkan oleh ibu yang bersuku Madura, sedangkan ayahnya berasal dari suku Sindh di daerah Kashmir India. Kedua orangtuanya saat ini telah meninggal, ayahnya meninggal pada waktu subjek berusia 10 tahun. Selepas mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Surakarta, ia sempat kuliah di Institut Teknologi Bandung. Namun tidak sampai tamat, ia terkena skorsing Drop Out sehingga harus keluar dari ITB. Kemudian ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Dr. Sutomo di Surabaya sampai selesai sehingga bergelar sarjana hukum. Riwayat pekerjaan pertama yang dijalani adalah di kantor pengacara sebuah badan hukum di Surabaya. Pekerjaan ini ditekuninya sambil kuliah sampai lulus sarjana. Setelah itu ia pindah ke Jakarta bekerja sebagai ahli spiritual yang ditempatkan di kantor sekretariat negara dan juga di perusahaan PT. Citra milik Tutut, putri mantan presiden Suharto. Kemudian pada Februari 1998, subjek memutuskan kembali tinggal di Surakarta sampai saat ini. Bersama isterinya sekarang ini ia berwiraswasta berdagang batik yang dilakukannya di sela-sela waktunya menekuni masalah spiritualitas.

C. HASIL PENELITIAN 1. Hasil Observasi

Observasi dilakukan dalam dua seting lingkungan yang berbeda, yaitu di rumah subjek dan di ruang kelas aula tempat diselenggarakannya kursus pengenalan tentang spritualitas manusia. Di rumahnya subjek tinggal bersama isteri dan seorang anak. Di rumahnya juga tinggal bersama mereka dua orang mahasiswa, yang setiap harinya juga sering mengikuti langkah spiritual yang dilakukan oleh subjek. Pada waktu penulis datang ke rumah sebanyak empat kali subjek selalu mempersilakan untuk berbincang-bincang sambil duduk di lantai, meskipun ada ruang tamu yang berkursi. la lebih suka duduk di lantai dengan meja rendah ada di samping bantal-bantal untuk duduk. Dari atas meja tercium bau wangi dupa yang dibakar yang diletakkan di cawan di atas meja. Wawancara yang berfokus pada diri subjek dengan pengalaman- pengalamannya ini berlangsung sekitar dua jam setiap kali pertemuan la sangat lancar dan penuh semangat dalam berbicara, argumentatif, dan terkesan menguasai pembicaraan. Suaranya cukup tegas, terkadang intonasi suaranya meninggi. Dari cara berbicara terkesan subjek adalah orang yang kokoh kuat memgang prinsip pendiriannya, banyak wawasan, dan terkadang tidak peduli dengan pendapat orang e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 3 lain. Namun ia juga bersikap rendah hati karena menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanyalah setitik kecil ilmu Tuhan yang tidak terbatas luasnya. Observasi kedua dilakukan di suatu ruang kelas yang berupa aula dimana subjek berperan sebagai instruktur pelatihan. Dalam observasi partisipan ini, penulis menjadi peserta pelatihan yang mengikuti kursus yang diberikan. Separuh dan waktu pelatihan, yakni sekitar satu jam, dipergunakan oleh subjek untuk menjelaskan secara teori tentang masalah spiritualitas manusia. Kemudian sejam berikutnya dipergunakan untuk praktek secara langsung membimbing peserta kursus untuk melatih kemampuan spiritual yang dimiliki. Pelatihan dilakukan sebanyak delapan kali, yang dilakukan pada malam hari yakni setiap Kamis pukul 20.00 sampai 22.00 WIB. Setiap kali memberikan pelatihan, ia didampingi oleh tua orang muridnya yang telah lebih dahulu dibimbingnya. Dalam salah satu penyampaiannya di kelas, subjek mengajarkan bahwa manusia dapat mengambil manfaat dari energi alam. Bila energi alam ini disimpan di dalam did manusia, maka simpanan energi ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai tu juan seperti misalnya untuk penyembuhan penyakit, kekuatan fisik, ataupun kekuatan mental. Energi alam ini dapat diambil dengan cara meditasi atau samadhi. Delapan sumber energi alam yang disebut sebagai hasta brata ini adalah matahari, bulan, bintang, awan, air, angin, api, dan bumi. Pada waktu berlatih mengenal energi alam, peserta dirninta untuk mengambil sikap samadhi. Kemudian subjek membimbing agar peserta mulai menyerap satu per satu energi alam. Pada kesempatan tersebut, penulis sebagai peserta pelatihan merasakan betul sensasi fisik seolah-olah berada di alam semesta. Sewaktu menyerap energi awan, seluruh tubuh merasa dingin. Pada waktu menyerap energi angin, di seluruh tubuh terasa seperti terhembusi angin. Sedang pada waktu menyerap energi matahari, tubuh merasakan sensasi rasa panas terutama di depan wajah terasa sekali panas dan silau, padahal mata tertutup rapat. Peserta latihan juga merasakan berat menahan rasa panas dan tekanan yang sangat kuat. Demikianlah setelah itu kembali cooling down, pelatihan samadhi diakhiri dengan mengucap syukur atas kebesaranNYA. Bila latihan terus menerus dilakukan, pelatih mengatakan bahwa tubuh akan merasa sehat, kuat, dan keseimbangan fisik terjaga. Secara umum pelatihan tersebut bertujuan agar peserta mampu mengenali dan selanjutnya mengembangkan kemampuan spiritual yang dimiliki sehingga dapat bermanfaat untuk memperoleh ketenangan. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah agar manusia dapat hidup secara sempurna, sehingga selanjutnya kehidupan masyarakat yang damai, aman, dan sejahtera dapat terwujud. 2. Hasil Wawancara Wawancara diawali dengan pernyataan subjek bahwa di era kehidupan manusia modern dewasa ini, banyak manusia yang merasakan hidupnya hampa, mereka tidak mengenal jati dirinya, sehingga hidup menjadi kehilangan makna. Menurutnya hal ini terjadi karena manusia modern melihat segala sesuatu hanya ada sudut pandang di pinggiran eksistensi, tidak pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga berakibat manusia lupa siapa dirinya. Dalam keseluruhan hidupnya, menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri, ternyata amat dangkal yang diketahui. Dekadensi atau kejatuhan manusia di jaman modern ini terjadi karena manusia kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya itu. Dan selanjutnya menjadi bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tidak langsung berhubungan e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 4 dengan dirinya. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapakah manusia itu, bagaimana asal usulnya, dan apa tugasnya di dunia ini. Subjek mengatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya sangat banyak penderitaan dan pengorbanan yang hams dijalaninya akibat konsekuensi pilihan sikap yang diyakininya. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri I Surakarta, ia berhasil diterima di Institut Teknologi Bandung. Namun hanya beberapa semester dijalaninya dan tidak sempat menyelesaikan studi karena ia terkena skorsing DO dari universitas. Penyebab jatuhnya skorsing dikatakan karena keaktifannya dalam demonstrasi politik melawan pemerintah raja saat itu. la ikut berpartisipasi dalam penulisan buku putih yang berjudul Indonesia di bawah sepatu lars. Akibatnya ia mendapat skorsing harus keluar dari ITB, selain juga mengalami kekerasan secara fisik dan mental dari aparat. Dari pengalamannya ini ia berpendapat bahwa menegakkan kebenaran itu harus dibayar dengan pengorbanan yang sangat besar. Karena itulah pada umumnya orang lebih suka mencari yang aman, meskipun kadang harus menempuh jalan yang tidak benar. Namun bagaimanapun harus ada sebagian kecil dari masyarakat yang bersedia berjuang menegakkan kebenaran. Karena kalau tidak demikian, maka seluruh manusia akan tersesat dan menjalani hidup secara salah. Setelah keluar dari ITB, subjek kembali tinggal di Surakarta. Saat itu ia merasa dirinya menjalani kehidupan yang benar-benar kacau, disebutkannya sebagai kehidupan yang sungguh bejad. la tenggelam dalam pengaruh buruk narkotika. Namun di puncak kesesatannya tersebut, tiba-tiba ia tersentak karena ada kekuatan lain yang menyadarkannya. la menjadi tersadar, apalagi ketika ia mulai menatap alam semesta yakni menatap bintang di langit tubuhnya menjadi bergetar penuh keringat. Seolah ia tersadar bahwa ada dzat yang Maha Kuasa yang mengatur kehidupan ini. Kemudian dari dalam sanubarinya timbul dorongan yang sangat mendesaknya untuk mencari tabu lebih lanjut tentang kekuatan Yang Maha tersebut. Dorongan hati membawanya pergi ke Gunung Lawu untuk bersamadhi. Selama sekitar satu setengah tahun sendirian ia menjalani samadhi disana. Dalam samadhinya itu ia merasa dibimbing oleh sang guru. Yang dimaksud dengan guru tersebut sebenarnya tidak lain adalah roh atau sukma dari jati diri setiap manusia. Karena sifat orang suci, maka ruh itu bisa membimbing manusia untuk menjalani kehidupan yang baik sesuai kehendak Ilahi. Pada suatu ketika subjek diperintahkan untuk duduk di tepian lereng sebuah kawah yang di bawahnya mengeluarkan asap belerang. Mengetahui bahwa asap belerang itu mengandung racun yang dapat mematikan manusia, maka timbul sikap ragu-ragu subjek untuk melaksanakannya. Sempat hampir seharian ia berpikir untuk menjalankan perintah itu atau tidak. Akhirnya ia diingatkan Apakah kamu ragu terhadap guru sehingga kamu kira aku akan mencelakakanmu?. Kemudian akhirnya ia berangkat dan mencari lereng kawah yang dimaksud. Lalu ia mengambil posisi duduk di tepian lereng yang di bawahnya mengeluarkan asap. Tidak lama setelah ia duduk, tubuhnya jatuh rebah ke belakang tersandar pada tepian lereng. la merasa mengalami mati suri dalam jangka waktu yang lama. Dalam kondisi mati suri itu subjek merasa ruhnya terlepas dari tubuh dan melayang, lalu berada pada suatu kehidupan pada dimensi ruang dan waktu yang jauh sebelumnya dari saat itu. la melihat secara tiga dimensi suatu kehidupan dalam sejarah kerajaan-kerajaan masa lampau. Bahkan juga kehidupan manusia pada jaman pea sejarah. Selain melihat kehidupan yang terjadi di masa lampau, subjek juga dibawa melihat kehidupan di atas langit yang berlapis-lapis. Pada lapisan yang e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 5 tertinggi, yakni tempat terdekat dengan hadirat Ilahi, nampak cahaya yang amat menyilaukan yang tidak mampu ditangkap oleh keterbatasan indera manusia. Banyak lagi pengalaman-pengalaman lain yang terjadi, dari mulai subjek digoda oleh makhluk cantik, binatang buas harimau dan ular besar yang hendak memangsa sampai dengan makhluk yang berbentuk besar dan menyeramkan, yang semuanya ingin menguji ketahanan mental subjek. Dalam menghadapi semua godaan tersebut, ia berserah diri sepenuhnya dan ikhlas menjalani apapun kehendak IIahi. Dan ternyata ia selamat dari semua godaan tersebut. Pada tahun 1987, setelah ia dinyatakan cukup menerima pelajaran dari guru, kemudian ia turun gunung dan kembali menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Dari pengalamannya samadhi di Gunung Lawu, subjek mengatakan bahwa melalui pengenalan terhadap alam semesta manusia dapat mengenal Tuhan. Untuk menjadi beriman, yakni mempercayai adanya Tuhan, bisa saja seseorang memperolehnya tidak harus melalui teks-teks. Kitab Suci melainkan bisa juga melalui penalaran, pengalaman, dan perenungan hidup. Yaitu berupaya sekuat kemampuannya untuk menjelaskan Kekuatan Gaib atau Misteri yang menguasai alam semesta ini, bahkan juga misteri yang ada dalam diri setiap individu. Tuhan disebut Misteri dalam arti manusia meyakini akan pengaruh dari keberadaan dan kekuatanNYA, namun sepanjang zaman manusia merasa tidak mampu untuk mengetahui secara pasti dengan kekuatan nalar dan inderanya Hidayat Nafia, 1995. Setelah beberapa saat di Surakarta, subjek memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Di kota ini ia kuliah sambil bekerja. la bekerja untuk suatu kantor pengacara sebagai law investigator. Tugasnya adalah mengumpulkan data tentang apa saja yang berkaitan dengan kasus hukum yang sedang ditangani. Sambil bekerja ia berhasil menyelesaikan studi sehingga bergelar sarjana hukum dari Universitas Dr. Sutomo Surabaya. Selama menjalankan tugas tersebut, ada satu pengalaman yang berkesan sangat mendalam bagi subjek. Karena tugasnya membela orang yang berperkara, maka ia harus berhadapan dengan mafia tanah yang ingin menguasai tanah rakyat. Pihak yang ingin menguasai tanah berusaha membujuknya agar ia mau menerima uang sogok sebesar lima puluh juta rupiah, dengan syarat ia mau berhenti membela si empunya tanah. Subjek menolak karena ia ingin membela pihak yang lemah. Tidak disangka ternyata mafia tanah tadi menjadi marah dan dendam, lalu mengancam akan memenjarakan subjek agar keinginannya berhasil. Ternyata betul, tidak lama kemudian subjek dimasukkan ke penjara tanpa tahu apa kesalahannya. Selama di penjara, ia merasakan siksaan fisik dan mental serta penganiayaan, agar ia mau mengaku bersalah. Semua penderitaan yang dialaminya tersebut diterimanya dengan tabah. la berprinsip bahwa untuk membela yang benar memang harus dibayar dengan pengorbanan yang mahal. Dengan demikian rasa sakit dan penderitaan secara fisik yang dialami tidak dirasakannya sebagai beban mental. Kemudian tiba-tiba pada hari yang kesepuluh ia dipenjara, datang guru yang selama ini menempanya. Dikatakan oleh guru tersebut bahwa besok pagi ia akan keluar dari sel. Tidak lama setelah guru pergi, tiba-tiba tanpa ada hujan atau pertanda alam yang lain, datang petir yang sangat hebat sehingga semua peralatan elektronik di kantor polisi itu terbakar dan rusak. Ternyata betul, esok paginya tanpa ada proses apapun yang menyulitkan, subjek diminta keluar dari sel. Merasa usahanya memenjarakan subjek gagal, si mafia tanah menjadi penasaran dan mengancam untuk mengirimnya lagi ke penjara. Tunggu, tidak lama lagi saya akan panen udang. Saya akan punya cukup uang untuk memberi pelajaran e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 6 kepadamu. Begitulah ancaman yang ditujukan kepada subjek. Banyak teman-teman subjek yang menyarankan agar ia menyerah dan minta maaf saja agar ia terhindar dari celaka. Namun subjek tetap teguh pada pendiriannya yakni kejahatan harus dilawan dengan kebenaran. Maka pada malam harinya, subjek bersamadhi sambil memohon kekuatan Ilahi untuk memancarkan energi alam, sehingga air sungai meluap ke arah tambak udang tersebut. Selang beberapa hari kemudian teman-temannya mengabarkan bahwa orang tadi tidak jadi panen udang karena tambaknya terkena banjir. Dengan demikian subjek terhindar dari ancaman akan dipenjarakan lagi. Dari kejadian ini subjek semakin yakin bahwa kebenaran Ilahi akan dapat mengalahkan segala kejahatan yang diupayakan oleh manusia. Setelah beberapa lama tinggal di Surabaya, subjek memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Selama hidup di Jakarta secara materi ia sangat berkecukupan karena memperoleh gaji yang cukup besar. Dengan kemampuannya untuk melihat visi ke depan secara spiritual, keahliannya dimanfaatkan sebagai star ahli pendamping di kantor sekretariat negara dan juga di perusahaan PT. Citra milik Tutut putri mantan presiden Suharto. Pada awal tahun 1998 ia melihat bahwa situasi kehidupan masyarakat akan mengalami kekacauan, maka pada Februari tahun itu juga ia memutuskan untuk kembali ke Surakarta. Selain itu ia juga merasa banyak idenya yang tidak dimanfaatkan. Karena merasa pendapatnyalah yang benar, maka ia lebih memilih untuk mengundurkan diri. Selang tiga bulan setelah itu, tepatnya pada bulan Mei 1998 memang betul terjadi kekacauan masyarakat yang menandai runtuhnya pemerintahan orde baru. Dari pengalamannya selama hidup di Jakarta, subjek menarik kesimpulan bahwa ternyata kebanyakan orang belum memiliki kejujuran dan keberanian untuk berkata benar. Saat ini subjek berupaya memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana bisa menyebarkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kebaikan agar manusia dapat hidup selaras dengan alam dan sesuai dengan hukum alam. Apabila manusia dapat hidup sesuai dengan kehendak Ilahi, maka hidup yang penuh dengan ketenangan dan keharmonisan akan terwujud. Subjek juga menjelaskan bahwa kemampuan spiritual yang berkembang dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan hidup hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah mencapai kedewasaan spiritual, selain sebelumnya juga telah mencapai kedewasaan individual dan kedewasaan sosial. Kedewasaan spiritual ditandai dengan kemampuan untuk memahami Sangkan Paraning Dumadi atau mampu bersikap bijaksana dalam menghadapi hidup. Kedewasaan individual ditandai oleh kematangan jasmani dan jiwa, yaitu berani mengambil alternatif dan mandiri. Sedang kedewasaan sosial ditandai oleh aktualisasi potensi dialogis, mengendapnya rasa, tanggung jawab, kesediaan untuk mencintai dan dicintai orang lain, dan kerelaan berkorban Damardjati Supadjar, 1984. Dalam melakukan samadhi atau meditasi, subjek percaya bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan melalui tanggapan batin. Alat untuk menghampiri ke hadirat Tuhan ini bukan panca indera atau akal, melainkan mata hati. Jalan untuk mencapai penghayatan ini adalah penyucian hati dan meditasi. Sesudah hatinya menjadi suci, tidak memikirkan dan tidak terikat dengan dunia apa- apa selain Tuhan, baru melangkah ke meditasi atau samadhi. Samadhi dilakukan dengan cara mengkonsentrasikan seluruh pikiran dan kesadaran untuk merenungkan keagungan Tuhan. Meditasi pada hakekatnya berusaha mengalihkan kesadaran terhadap dunia luar untuk dipusatkan ke alam batin. Orang yang mampu mendekati ke hadirat Tuhan ini disebut sebagai orang yang sanggup mencapai makrifat, dan dianggap sebagai orang sempurna. Hidupnya diliputi ketenangan, keharmonisan, dan selalu ingin menyucikan diri sehingga selalu e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 7 berjalan lurus sesuai dengan kehendak Tuban. Nafsu-nafsu materi yang sifatnya duniawi tidak lagi menarik perhatiannya. Orang yang telah mencapai kesempurnaan ini hidupnya diimbasi sifat-sifat ke Tuhanan, laksana bayang-bayang Tuhan di atas alam semesta Simuh, 1984.

D. PEMBAHASAN