Peran Budaya Mandailing Dalam Pengembangan Modal Sosial Untuk Meningkatkan Keefektifan & Keefisienan MSDM

(1)

Peran Budaya Mandailing

Dalam Pengembangan Modal

Sosial Untuk Meningkatkan

Keefektifan & Keefisienan

MSDM

0leh :

Umi Salmah, SKM, M.Kes

19730523 200812 2 002

Arfah Mardiana Lubis. M.Psi

19820301 200812 2 002

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN BUDAYA MANDAILING

DALAM PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL

UNTUK MENINGKATKAN

KEEFEKTIFAN & KEEFISIENAN MSDM

Umi Salmah

1

dan Arfah Mardiana Lubis

2

Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKM USU Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, 20155

BAB I

PENDAHULUAN

Untuk menjalankan atau mengembangkan suatu usaha dibutuhkan modal. Menurut Fukuyama (dalam Adam, 2002), ada tiga macam modal, yaitu : fisik atau physical capital, seperti dana, tanah dan pabrik; manusia atau human

capital, yaitu Sumber Daya Manusia; dan sosial atau social capital, seperti

lingkungan hidup dan kepercayaan masyarakat. Menurut Adam (2002), yang sering terabaikan adalah modal sosial. Menurut Fukuyama (dalam Ancok, 2007), modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Oleh karena itu, Menurut Adam (2002), betapapun besarnya modal fisik dan baiknya sumber daya manusia, tanpa modal sosial yang memadai tidak akan banyak artinya. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme ibarat lagu lama dengan aransemen baru. Penegakan hukum dan keadilan belum juga berjalan semestinya, dan ditambah pula oleh tindakan-tindakan anarkis sebagian kalangan masyarakat. Kondisi sosial seperti itu akan berdampak pada pengembangan sumber daya manusia yang tersendat.

Akan tetapi menurut Ikhsan (2007), modal sosial di Indonesia justru berkembang dalam sisi gelapnya. Contohnya adalah dominasi praktik kolusi-nepotisme dan berbagai bentuk praktik mafia. Indikasi nyata dari gejala ini adalah


(3)

naiknya peringkat kebusukan praktik korupsi. Akar praktik kolusi-nepotisme adalah kuatnya tradisi "anak babe" (anak penguasa) yang selalu mendapat kemudahan berusaha karena jaringan kekuasaan yang dibangun oleh orang tua mereka. Dengan modal sosial yang kuat, mereka tak mengeluarkan sepeser pun untuk berusaha.

Hanya saja, di beberapa budaya dalam Indonesia, ada yang sudah melihat dan mengembangkan sisi terang dari Modal Sosial ini. Salah satu contoh budaya yang sudah menjalankan modal sosial ini adalah budaya Mandaling.

“Orang mandailing, sekarang semakin ‘cinta’ adat. Di Depok, usaha fotocopy orang-orang Cina kalah dengan orang mandailing. Dengan kwalitas fotokopi yang sama, harga jauh lebih murah…… Orang karyawan2nya para anak-muda yang dipanggil dari kampungnya dan ‘tidak digaji selama lima tahun’. Apabila bisa bertahan sampai ‘magang’ 5 tahun, ‘bos’nya berkewajiban menyewakan tempat di lokasi lain dan membelikan mesin fotokopi bekas bagi mereka untuk memulai usaha. Bekas karyawan ini juga akan memanggil saudaranya dikampung untuk bekerja ‘tidak digaji’. Begitu seterusnya,…seperti konsep bisnis Sel yang membelah terus menerus..” (Tambunan, 2007).

Dari contoh kasus di atas, terlihat bahwa modal sosial yang baik ini telah dimiliki oleh orang Mandailing, terutama yang merantau di kota-kota besar. Akan tetapi, kenapa orang Mandailing bisa berhasil mengembangkan Modal Sosial yang baik? Sedangkan Modal Sosial di Indonesia sendiri berkembang dalam sisi gelapnya?


(4)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Modal Sosial

II.A.1. Definisi Modal Sosial

Menurut Birdsall (dalam Kartasasmita, 1997), modal sosial merupakan sumber kekuatan yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam masyarakat sendiri tersimpan sejumlah potensi dan kekuatan, yang bila didayagunakan secara baik akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan. Modal sosial itu sendiri menurut Cohen dan Prusak (dalam Ancok, 2007) adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia; rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama.

Sedangkan menurut Fukuyama (dalam Ancok, 2007), modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Pendapat Fukuyama ini sejalan dengan pendapat Coleman (dalam Arifin, 2003) bahwa Modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama dengan mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Modal sosial menunjuk pada ciri-ciri pada organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota organisasi (Putnam, dalam Rajab, 2005).

Dari beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal, seperti rasa saling percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan perilaku, yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang


(5)

memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka dan akhirnya mencapai tujuan bersama.

II.A.2. Cara kerja Modal Sosial

Menurut Fukuyama (dalam Rahardjo, 2003; Rajab, 2005), kerjasama yang ada dalam modal sosial membentuk suatu organisasi dimana para anggotanya secara sukarela menyerahkan sebagian hak-hak individunya untuk bekerja bersama-sama mencapai suatu tujuan, berdasarkan aturan-aturan yang disepakati. Kesepakatan tersebut menyebabkan setiap orang melaksanakan kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi, karena satu sama lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya. Itulah yang disebut saling percaya (mutual trust), karena setiap orang berusaha untuk mengemban amanah. Apabila anggota kelompok mengharapkan anggota-anggotanya berperilaku jujur dan terpercaya, mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya organisasi menjadi lebih efisien dan efektif. Sedangkan menurut Coleman (dalam Rajab, 2005), modal sosial yang efektif cenderung lebih tertutup dan lebih ketat. Jaringan komunitas yang dikembangkan kelompok-kelompok perantau di berbagai daerah lazimnya dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari relasi kekerabatan dan kesamaan daerah, bahasa, etnis, dan agama.

II.A.3. Dampak positif dan negatif Modal Sosial

Dampak positif dari penerapan dan pengembangan modal sosial menurut Putnam (dalam Ikhsan, 2007) adalah :

a. semangat charity (amal)

b. volunteerism (kesukarelawanan)

c. civil involvement (keaktifan warga).

Sedangkan dampak negatifnya menurut Putnam (dalam Rajab, 2005) dan Sciarrone (dalam Ikhsan, 2007) adalah berkembangnya praktik mafia. Jaringan internal yang kuat dan kemampuan dalam menjual security (perlindugan) adalah resep dasar suksesnya kejahatan terorganisasi ini.


(6)

II.B. Manajemen Sumber Daya Manusia

II.B.1. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Handoko (dalam Sutejo, 2007), manajemen sumber daya manusia adalah penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu maupun organisasi. Untuk itu manajemen sumber daya manusia perlu dikelola secara profesional dan baik agar dapat terwujudnya keseimbangan antara kebutuhan pegawai dengan tuntutan perkembangan teknologi dan lingkungan serta kemampuan organisasi. Keseimbangan tersebut merupakan kunci utama suatu organisasi agar dapat berkembang secara produktif dan wajar. Sedangkan menurut Mondy dan Noe (dalam Sutejo, 2007), manajemen sumber daya manusia merupakan pendayagunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan organisasi.

Dari kedua definisi di atas, maka yang dimaksud dengan manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan sumber daya manusia dengan cara penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan, yang profesional untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi.

II.B.2. Tanggung Jawab Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Dessler (dalam Sutejo, 2007), tanggung jawab manajemen sumber daya manusia adalah :

a. Menempatkan orang yang benar pada pekerjaan yang tepat

b. Memulai pegawai baru dalam organisasi (orientasi)

c. Melatih pegawai untuk jabatan yang bagi mereka masih baru

d. Meningkatkan kinerja jabatan dari setiap orang

e. Mendapatkan kerja sama kreatif dan mengembangkan hubungan kerja

sama yang mulus

f. Menginterpretasikan kebijakan dan prosedur organisasi

g. Mengendalikan biaya pegawai


(7)

i. Menciptakan dan mempertahankan semangat kerja organisasi j. Melindungi kesehatan dan kondisi fisik pegawai.

II.C. Budaya Mandailing

Menurut Ritonga (2002), orang Mandailing memperhitungkan hubungan keturunannya secara patrinieal. Suatu kelompok kekerabatan dihitung berdasarkan satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Perhitungan berdasarkan satu ayah disebut dengan saamang, satu kakek disebut saompung. Orang Mandailing biasanya dapat menunjukkan garis hubungan kekerabatan dengan kaum kerabatnya sampai jauh kembali ke atas beberapa generasi. Tiap-tiap desa di Mandailing mempunyai sebuah balai desa tempat pelaksanaan sidang-sidang pengadilan dan sidang-sidang adat lainnya. Adat Mandailing sudah banyak dipengaruhi oleh agama Islam selain dipengaruhi beberapa bagian unsur Minangkabau.

Orang Mandailing tinggal di desa-desa yang terdiri atas 100 sampai 200 rumah. Pedesaan ini terbentang di antara Bukit Barisan di kabupaten Tapanuli Selatan dan kabupaten Mandailing Natal. Kota-kota pasar berperan sebagai pusat kegiatan bagi desa-desa. Rumah-rumah yang didirikan mengambil arsitek Melayu. Rumah ini terdiri atas beberapa kamar dan menggunakan atap seng.

Dari segi geografis, Mandailing berada di sepanjang jalan raya lintas sumatera di daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal sekitar 40 km dari Padang Sidimpuan ke selatan dan sekitar 150 km dari Bukit Tinggi ke utara. Budaya Mandailing Berbatasan dengan :

1. Sebelah utara dengan daerah Angkola 2. Sebelah barat dengan daerah Pesisir

3. Sebelah selatan dengan daerah Minangkabau

4. Sebelah timur dengan daerah Padang Lawas

Budaya Mandailing didukung oleh suku Mandailing yang terbagi ke dalam beberapa marga. Marga didasarkan atas generasi keturunan ayah. Marga-marga di Mandailing meliputi :

1. Nasution

2. Lubis

3. Pulungan

4. Rangkuti

5. Batubara

6. Daulae

7. Matondang

8. Parinduri


(8)

Bahasa Mandailing merupakan media utama budaya Mandailing. Bahasa Mandailing memiliki ragam bahasa seperti bahasa andung (bahasa ratapan), bahasa adat (bahasa untuk upacara adat), bahasa perkapur (bahasa waktu di hutan), bahasa na biaso (bahasa sehari-hari), dan bahasa bura (bahasa kasar). Untuk bahasa Mandailing ini, budaya Mandailing memiliki sistem tulisan Mandailing yang dikenal dengan Aksara Mandailing.

Menurut struktur masyarakat Mandailing, kekuasaan berada di bawah prinsip Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu ini meliputi unsur-unsur kekuasaan seperti Raja dan Namora Ba Toras. Kekuasaan Raja dibagi lagi ke dalam kelompok yang berada di bawah Raja Panusunan, Raja Ihutan, Raja Pamusuk, Taja Sioban, Ripe dan Suhu.

Menurut Nasution (2005), sifat orang Mandailing adalah suka merantau, religius, kritis, mudah menyesuaikan diri, berani menegakkan kebenaran dan mempunyai rasa malu yang besar (parsulaha). Sifat perantau orang Mandailing telah menyebabkan mereka tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai profesi, bahkan sampai ke luar negeri, seperti Malaysia, Saudi Arabia, Eropa dan lain-lain.

II.C.1. Definisi Budaya Mandailing

Menurut Griffin dan Ebert (dalam Sutejo, 2007), budaya adalah suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok atau organisasi yang membedakannya dengan kelompok atau organisasi yang lain. Sedangkan menurut Schein (dalam Sutejo, 2007), budaya adalah asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan dasar yang dirasakan bersama-sama oleh para anggota dari suatu kelompok atau organisasi. Asumsi-asumsi dan keyakinan tersebut menyangkut pandangan kelompok mengenai dunia dan kedudukannya, dalam dunia tersebut, sifat dari ruang lingkup, sifat manusia, dan hubungan manusia.

Dari kedua definisi di atas, maka yang dimaksud dengan budaya mandailing adalah asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan dasar yang dirasakan bersama-sama oleh orang-orang Mandailing.


(9)

II.C.2. Nilai-Nilai Budaya Mandailing

Menurut Ritonga (2002) ada beberapa nilai yang dipegang teguh oleh orang-orang mandailing dari zaman dahulu sampai sekarang. Nilai-nilai tersebut adalah :

a. Nilai budaya manusia dengan manusia

1) Nilai budaya musyawarah : Setiap keputusan yang menyangkut

kepentingan pribadi, keluarga ataupun masyarakat banyak selalu diambil dengan menggunakan cara musyawarah. Musyawarah ini melibatkan unsur-unsur masyarakat mandailing yang dikenal dengan unsur Dalihan na tolu.

2) Nilai budaya belas kasihan : Mengutamakan kemanusiaan daripada

nafsu untuk melukai ataupun membunuh. Rasa belas kasihan mengalahkan keinganan untuk melakukan sesuatu yang kasar dan kejam.

3) Nilai budaya kasih sayang : Nilai kasih dan sayang kepada sesama, baik yang sedang mengalami penderitaan yang sama ataupun tidak. Nilai ini juga dapat menggambarkan nilai budaya solidaritas kepada orang lain.

4) Nilai budaya tenggang rasa : nilai dan perilaku yang toleran dan

simpati terhadap sesama manusia, khususnya di dalam keadaan duka atau ditimpa musibah. Nilai ini cenderung berfungsi sebagai perekat ikatan sosial di antara sesama manusia.

b. Nilai budaya manusia dengan hidup

1) Nilai budaya keberanian : menggambarkan sifat keberanian terhadap kebenaran.

2) Nilai budaya penegakan hukum : mengandung ajaran yang

menganjurkan masyarakat untuk menghargai hukum adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Melalui ajaran ini hukum adat tidak memandang bulu apakah itu anak raja atau


(10)

rakyat biasa, semuanya harus tunduk kepada keputusan hukum adat. Sekali hukum diputuskan, maka hukum harus ditegakkan.

3) Nilai budaya menjunjung adat dan pekerti : nilai budaya yang

menekankan kepatuhan terhadap adat istiadat serta budi pekerti yang luhur.

4) Nilai budaya keteguhan hati dan kepatuhan : keteguhan hati dan

kepatuhan terhadap keputusan yang telah disepakati. Meskipun keputusan yang telah diambil mungkin tidak menguntungkan dan memerlukan pengorbanan, keputusan tersebut tetap akan dijalankan karena sudah menjadi keputusan bersama.

5) Nilai budaya kebijaksanaan : kebijaksanaan mengambil keputusan di dalam waktu yang sangat mendesak. Di dalam situasi yang sulit, seseorang harus mempu menetapkan secara bijaksana langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk menghadapi masalah yang muncul.

6) Nilai budaya kerendahan hati : nilai budaya yang menunjukkan

kerendahan hati dalam menghadapi kehidupan di dunia. Meskipun anak raja, seseorang tidak boleh merasa tinggi hatinya dan bersikap sombong. Seseorang harus merendahkan hatinya walaupun berhadapan dengan orang lain yang mungkin memerlukan bantuannya atau belas kasihannya.

7) Nilai budaya persatuan : mengutamakan persatuan daripada

kepentingan pribadi sendiri. Seseorang yang mengalami kesulitan dianggap sebagai bagian dari diri atau kelompok sendiri sehingga demi persatuan, orang itu harus dibantu untuk mengatasi kesulitannya.

8) Nilai budaya menuntut ilmu : menuntut ilmu merupakan suatu

keharusan. Tanpa ilmu seseorang akan mengalami kesulitan di dalam hidupnya dan tidak dapat mengatasi masalahnya dengan baik. Ilmu dapat membawa kebaikan bagi seseorang. Oleh karena itu tuntutlah ilmu walau harus dilakukan selama kita hidup.


(11)

9) Nilai budaya kejujuran : manusia harus jujur di dalam hidupnya. Ketidakjujuran akan mengakibatkan kerugian yang besar bagi manusia karena ketidakjujuran dapat memerangkap diri sendiri ke dalam kesulitan bahkan kematian.

c. Nilai budaya manusia dengan alam

1) Nilai budaya kepercayaan kepada kekuatan gaib : manusia cenderung melakukan usaha-usaha yang dapat melindungi dirinya dari perbuatan-perbuatan gaib yang mungkin bertujuan tidak baik kepada dirinya.

2) Nilai budaya kepercayaan kepada takdir : takdir merupakan sesuatu yang dating dari Tuhan dan manusia harus dapat menerima dan mempercayainya. Sesuatu yang terjadi, dianggap karena takdir dan diterima dengan pasrah.

3) Nilai budaya suka berdoa : berdoa kepada Yang Maha Kuasa sangat

dianjurkan untuk dilakukan sambil berusaha untuk mewujudkan keinganan atau rencana yang sudah dibuat. Musibah atau cobaan dianjurkan dihadapi sambil berdoa kepada Yang Maha Kuasa.

d. Nilai budaya manusia dengan kerja.

Nilai budaya ini dapat dijelaskan dengan nilai yang berhubungan dengan nilai budaya manusia dan kerja, yaitu Nilai budaya keteguhan terhadap pekerjaan : keteguhan pekerja keras akan dapat memberikan manfaat kepada seseorang.


(12)

BAB III

PEMBAHASAN

Peran Budaya Mandailing Dalam Pengembangan Modal Sosial

Untuk Meningkatkan Keefektifan Dan Keefisienan Manajemen

Sumber Daya Manusia.

Dari pendapat Ikhsan pada Bab I di atas, modal sosial yang berkembang di Indonesia justru memberikan dampak negatif pada Manajemen Sumber Daya Manusia, khususnya pada tahap tanggung jawab penarikan calon tenaga kerja. Dimana calon-calon tenaga kerja yang ditarik bukan berdasarkan keprofesionalan dan kompetensi yang dimilikinya, tapi hanya berdasarkan kedekatan hubungan-hubungan tertentu dengan atasan perusahaan atau organisasi. Sesuai dengan peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 38/PRT/M/2006 (dalam Kirmanto, 2006), pengembangan modal sosial dilakukan dengan pendekatan budaya, sehingga kedekatan hubungan-hubungan tersebut lebih difokuskan pada kedekatan budaya. Modal sosial seperti ini bukan hanya akan menimbulkan kerugian pada individu/ calon tenaga kerja (ia tidak akan berkembang dan merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya) tetapi juga akan menimbulkan kerugian pada perusahaan itu sendiri (perusahaan tidak akan berkembang dan mengalami kerugian karena sumber daya manusianya yang tidak bisa bekerja sesuai dengan jabatannya).

Modal sosial seperti inilah yang disebut dengan Nepotisme. Sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme sangat ditentang di Indonesia, sehingga Modal sosial yang berkembang di Indonesia ini sudah terlanjur di cap jelek oleh orang Indonesia itu sendiri. Akhirnya orang Indonesia menentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penarikan calon tenaga kerja yang memiliki kesamaan atau kedekatan hubungan-hubungan tertentu, khususnya kesamaan budaya dengan atasan perusahaan atau organisasi.


(13)

Bagaimana kita mengatasi dampak negatif dari modal sosial di atas? Menurut Kartasasmita (1997), modal sosial yang dikelola dengan profesional dapat memperkecil dampak negatif yang ada dan memperbesar manfaatnya. Hal ini dikarenakan profesionalisme mencerminkan sikap seseorang terhadap profesinya, kesungguhan hati untuk mendalami, menerapkan, dan bertanggung jawab atas profesinya.

Keprofesionalan ini telah dilakukan oleh orang-orang Mandailing dalam berusaha dan menarik orang untuk menjadi pekerja. Hal ini didukung dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang Mandailing. Untuk lebih jelasnya mengenai hubungan nilai-nilai budaya Mandailing dengan sifat keprofesionalan orang Mandailing dalam bekerja, lihat tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Nilai-Nilai Budaya Mandailing Dan Keprofesionalan

No. Nilai-nilai budaya Mandailing Keprofesionalan

Nilai budaya musyawarah

Setiap keputusan yang menyangkut kepentingan perusahaan atau organisasi selalu diambil dengan menggunakan cara musyawarah.

Nilai budaya belas kasihan

Dalam dunia kerja, orang Mandailing tidak ingin melakukan cara-cara yang kasar dan kejam. Ia akan bekerja sesuai dengan kode etik pekerjaannya.

Nilai budaya kasih sayang

Orang Mandailing cenderung menyayangi orang-orang yang ada di luar dan di tempat kerjanya, baik yang sedang mengalami penderitaan yang sama maupun yang tidak. Hal ini menimbulkan suasana kerja yang baik di tempat kerja. 1 Nilai budaya manusia dengan manusia Nilai budaya tenggang rasa

Orang Mandailing cenderung berperilaku toleran dan simpati terhadap orang-orang yang ada di luar dan di tempat kerjanya, khususnya di dalam keadaan duka atau ditimpa musibah. Hal ini juga menimbulkan suasana kerja yang baik di tempat kerja. 2 Nilai budaya manusia dengan hidup Nilai budaya keberanian, Nilai budaya penegakan

hukum dan Nilai budaya

menjunjung adat dan pekerti

Dalam dunia kerja, orang mandailing cenderung berani membela kebenaran. Ia tidak perduli apakah ia akan bertentangan dengan orang yang lebih berkuasa atau siapa saja yang menghalanginya menegakkan kebenaran. Menurutnya semua orang harus tunduk dan patuh pada peraturan yang ada.


(14)

Nilai budaya keteguhan hati dan kepatuhan

Dalam dunia kerja, orang Mandailing cenderung patuh pada peraturan dan keputusan yang sudah disepakati bersama. Meskipun keputusan yang telah diambil mungkin tidak menguntungkan dan memerlukan pengorbanan, keputusan tersebut tetap akan dijalankan karena sudah menjadi keputusan bersama.

Nilai budaya kebijaksanaan

Ketika menghadapi situasi yang sulit dalam bekerja, orang Mandailing cenderung ingin mengmbil suatu langkah yang bijak.

Nilai budaya kerendahan hati

Dalam dunia kerja, orang Mandailing dalam segala tingkatannya cenderung merendahkan hatinya.

Nilai budaya persatuan

Ketika ada orang Mandailing lain yang memerlukan bantuan pekerjaan, orang Mandailing cenderung membantunya untuk mencarikan pekerjaan.

Nilai budaya menuntut ilmu

Orang Mandailing cenderung ingin menggali dan menuntut ilmu setinggi mungkin.

Nilai budaya kejujuran

Orang Mandailing cenderung ingin bersikap jujur, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.

3 Nilai budaya manusia dengan alam Nilai budaya kepercayaan kepada kekuatan gaib, Nilai budaya suka berdoa dan Nilai budaya

kepercayaan kepada takdir

Ketika orang Mandailing menemui orang-orang yang mungkin bertujuan tidak baik kepada dirinya, ia cenderung melakukan usaha-usaha yang dapat melindungi dirinya. Hal ini banyak terjadi di Indonesia yang memiliki banyak aliran ilmu sesat yang digunakan untuk mencelakai orang lain. Akan tetapi karena budaya Mandailing lebih banyak dipengaruhi oleh agama Islam, maka usaha yang digunakan bukan pergi ke dukun, tetapi lebih banyak berusaha dan berdoa. Jika memang musibah atau cobaan telah datang, maka dianggap sebagai takdir yang datang dari Tuhan dan harus dapat menerima dan mempercayainya. 4 Nilai budaya manusia dengan kerja Nilai budaya keteguhan terhadap pekerjaan

Ketika menghadapi halangan atau kegagalan dalam bekerja, orang Mandailing akan mencoba terus berusaha sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.


(15)

Dari contoh kasus yang diberikan oleh Tambunan pada Bab I di atas, Modal Sosial dilakukan dengan tertutup dan ketat, hanya untuk orang yang berbudaya Mandailing saja. Dimana ada seorang Mandailing yang memiliki suatu badan usaha dan membantu orang Mandailing lain yang sedang memerlukan bantuan. Walaupun ia percaya pada calon pekerjanya, akan tetapi di era yang sulit ini, ia harus mengambil langkah bijak sehingga ia tidak mengalami kerugian. Oleh karena itu ia menerapkan sistem ‘magang’ 5 tahun tanpa di bayar. Akan tetapi demi keadilan, setelah 5 tahun ia berkewajiban menyewakan tempat di lokasi lain dan membelikan mesin fotokopi bekas bagi mereka untuk memulai usaha. Dari contoh kasus ini terlihat nilai-nilai budaya Mandailing yang dipergunakan dalam Modal sosial ini adalah nilai budaya kasih sayang, tenggang rasa, kebijaksanaan, keberanian, penegakan hukum, menjunjung adat dan pekerti, keteguhan hati dan kepatuhan juga nilai budaya persatuan.

“Na joman ma huristak, sayuran harambir di Portibi, na bahat ma

huida jolam manisia, ngada hum jolma-pajolma-jolma, anak ni Sutan, anak ni Raja, dung hupaandungkon napuran, dison dope mulak gaja mangaan tobu, anggi! Baun Pejel! Lehen di bayo dongan saparsaitan on ampilta i sada, isi rongkop di hasajana, muda iba saparsaitan na dapot hita i, na dapot ia do i”, ning Tunggane Apur “ (Ritonga, 2002).

“Dari zaman ke zaman, kelapa mati karena tuanya di Portibi, saya sudah banyak melihat manusia, bukan manusia sembarang manusia, anak sutan anak dari Raja, setelah kuserahkan sirih, sekarang baru gajah makan tebu adikku! Karena itu Pejel! Berikan sumpit itu satu kepada laki-laki sependeritaan ini, isi semua keperluannya, kalau kita sependeritaan apa yang kita dapat itu, itu juga yang didapatnya”, kata Tunggane Apur” (Ritonga, 2002).

Bagi calon pekerja sendiri, ia mau menerima sistem ‘magang’ 5 tahun tanpa di bayar karena ia percaya pada calon atasannya tersebut. Kemudian ia bekerja secara sunguh-sunguh selama 5 tahun tersebut. Akhirnya badan usaha yang dikelola oleh orang Mandailing ini lebih berhasil dibandingkan dengan orang Cina. Oleh karena itu ia mendapatkan kesempatan berusaha sendiri dari atasannya. Akhirnya ia juga membantu orang Mandailing lain yang memerlukan bantuannya. Dari contoh ini, selain nilai-nilai budaya Mandailing yang sudah di


(16)

sebutkan sebelumnya, nilai-nilai budaya Mandailing lain yang terlihat dipergunakan untuk Modal Sosial adalah nilai budaya kerendahan hati dan keteguhan terhadap pekerjaan.

Dari keseluruhan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran Budaya Mandailing sangat besar dalam mengembangkan Modal sosial yang baik sehingga berdampak pada peningkatan keefektifan dan keefisienan kerja Manajemen Sumber Daya Manusia dan akhirnya mencapai tujuan bersama (baik itu tujuan individu maupun tujuan organisasi.

Hanya saja menurut Kartasasmita (1997) tidak boleh dilupakan bahwa profesionalisme merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan kompetensi dan komitmen. Kompetensi menurut beliau adalah yaitu suatu keadaan yang seseorang dapat dipercaya berdasarkan kemampuannya. Sedangkan komitmen menurut beliau adalah suatu sikap pribadi dan sikap moral, yang ditandai oleh kesetiaan, loyalitas, dan pertanggungjawaban terhadap suatu pekerjaan. Jika dilihat dari contoh kasus di atas, karyawan tersebut memiliki kompetensi dan komitmen untuk bekerja sungguh-sungguh selama 5 tahun. Hal ini dilatar belakangi oleh nilai budaya keteguhan terhadap pekerjaan, keteguhan hati dan kepatuhan. Untuk itu, ketika menarik dan memilih orang-orang Mandailing yang professional, perlu diperhatikan juga kompetensi dan komitmennya dalam bekerja.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, N. D., (2002). Modal Orang Percaya. http://www.sahabatsurgawi.net/cgi/ pelangijiwa2.cgi?20041126. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Ancok, D., (2007). Konsep Modal Manusia. http://ancok.staff.ugm.ac.id/h-18/konsep-modal-manusia.html. Tanggal akses : 6 Desember 2007. Arifin, S., (2003). Modal Sosial Parpol-parpol Islam. http://www.republika.co.id

/kolom_detail.asp?id=120068&kat_id=16. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Ikhsan, S., (2007). Apakah Dampak Positif Dan Negatif Modal Sosial Dalam Masyarakat Kita?. http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid= 20071101032840AAVQVfs. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Kartasasmita, G., (1997). Membangun Sumber Daya Sosial Profesional. http:// www.ginandjar.com/public/10MembangunSumberdaya.pdf. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Kirmanto, D., (2006). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 38/PRT/M/2006 : Tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum Yang Merupakan Kewenangan Pemerintah Dan Dilaksanakan Melalui Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan Tahun

2007. http://sda.pu.go.id/hukum/hukum/DATA/produk%20hukum/PEr

men/PERMEN_38%202006%20(SKPD).pdf. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Nasution, P., (2005). Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, hal: 18. Medan: FORKALA.

Rahardjo, M. D., (2003). Pemahaman Dan Pemberdayaan Masyarakat Madani[1]. http://www.kongresbud.budpar.go.id/dawam_rahardjo.htm. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Rajab, B., (2005). Membincangkan Modal Sosial (1). http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/22/0803.htm. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Ritonga, P., (2002). Nilai Budaya Dalam Turi-Turian Mandailing Raja Gorga Di

Langit Dan Sutan Suasa Di Portibi, hal: 17-44. Medan: PT. Yandir

Agung

Sutejo, B., (2007). Peminatan Manajemen Strategi 001. http://peminatan manajemenstrategi001.blogspot.com/. Tanggal akses : 6 Desember 2007.


(18)

_________, (2007). Peminatan Manajemen Strategi 002. http://peminatan manajemensdm002.blogspot.com/. Tanggal akses : 6 Desember 2007. Tambunan, S., (2007). Satu Tinjauan Historis-Singkat Terhadap Pertumbuhan

Dan Perkembangan Keturunan Borsak Sirumonggur Mulai Dari Abad Ke-16 Hingga Masa Kini. http://sihombing.lumbantoruan.net/?p=90. Tanggal akses : 6 Desember 2007.


(1)

Bagaimana kita mengatasi dampak negatif dari modal sosial di atas? Menurut Kartasasmita (1997), modal sosial yang dikelola dengan profesional dapat memperkecil dampak negatif yang ada dan memperbesar manfaatnya. Hal ini dikarenakan profesionalisme mencerminkan sikap seseorang terhadap profesinya, kesungguhan hati untuk mendalami, menerapkan, dan bertanggung jawab atas profesinya.

Keprofesionalan ini telah dilakukan oleh orang-orang Mandailing dalam berusaha dan menarik orang untuk menjadi pekerja. Hal ini didukung dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang Mandailing. Untuk lebih jelasnya mengenai hubungan nilai-nilai budaya Mandailing dengan sifat keprofesionalan orang Mandailing dalam bekerja, lihat tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Nilai-Nilai Budaya Mandailing Dan Keprofesionalan

No. Nilai-nilai budaya Mandailing Keprofesionalan Nilai budaya

musyawarah

Setiap keputusan yang menyangkut kepentingan perusahaan atau organisasi selalu diambil dengan menggunakan cara musyawarah.

Nilai budaya belas kasihan

Dalam dunia kerja, orang Mandailing tidak ingin melakukan cara-cara yang kasar dan kejam. Ia akan bekerja sesuai dengan kode etik pekerjaannya.

Nilai budaya kasih sayang

Orang Mandailing cenderung menyayangi orang-orang yang ada di luar dan di tempat kerjanya, baik yang sedang mengalami penderitaan yang sama maupun yang tidak. Hal ini menimbulkan suasana kerja yang baik di tempat kerja. 1 Nilai budaya manusia dengan manusia Nilai budaya tenggang rasa

Orang Mandailing cenderung berperilaku toleran dan simpati terhadap orang-orang yang ada di luar dan di tempat kerjanya, khususnya di dalam keadaan duka atau ditimpa musibah. Hal ini juga menimbulkan suasana kerja yang baik di tempat kerja. 2 Nilai budaya manusia dengan hidup Nilai budaya keberanian, Nilai budaya penegakan

hukum dan Nilai budaya

menjunjung adat dan pekerti

Dalam dunia kerja, orang mandailing cenderung berani membela kebenaran. Ia tidak perduli apakah ia akan bertentangan dengan orang yang lebih berkuasa atau siapa saja yang menghalanginya menegakkan kebenaran. Menurutnya semua orang harus tunduk dan patuh pada peraturan yang ada.


(2)

Nilai budaya keteguhan hati dan kepatuhan

Dalam dunia kerja, orang Mandailing cenderung patuh pada peraturan dan keputusan yang sudah disepakati bersama. Meskipun keputusan yang telah diambil mungkin tidak menguntungkan dan memerlukan pengorbanan, keputusan tersebut tetap akan dijalankan karena sudah menjadi keputusan bersama.

Nilai budaya kebijaksanaan

Ketika menghadapi situasi yang sulit dalam bekerja, orang Mandailing cenderung ingin mengmbil suatu langkah yang bijak.

Nilai budaya kerendahan hati

Dalam dunia kerja, orang Mandailing dalam segala tingkatannya cenderung merendahkan hatinya.

Nilai budaya persatuan

Ketika ada orang Mandailing lain yang memerlukan bantuan pekerjaan, orang Mandailing cenderung membantunya untuk mencarikan pekerjaan.

Nilai budaya menuntut ilmu

Orang Mandailing cenderung ingin menggali dan menuntut ilmu setinggi mungkin.

Nilai budaya kejujuran

Orang Mandailing cenderung ingin bersikap jujur, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.

3 Nilai budaya manusia dengan alam Nilai budaya kepercayaan kepada kekuatan gaib, Nilai budaya suka berdoa dan Nilai budaya

kepercayaan kepada takdir

Ketika orang Mandailing menemui orang-orang yang mungkin bertujuan tidak baik kepada dirinya, ia cenderung melakukan usaha-usaha yang dapat melindungi dirinya. Hal ini banyak terjadi di Indonesia yang memiliki banyak aliran ilmu sesat yang digunakan untuk mencelakai orang lain. Akan tetapi karena budaya Mandailing lebih banyak dipengaruhi oleh agama Islam, maka usaha yang digunakan bukan pergi ke dukun, tetapi lebih banyak berusaha dan berdoa. Jika memang musibah atau cobaan telah datang, maka dianggap sebagai takdir yang datang dari Tuhan dan harus dapat menerima dan mempercayainya. 4 Nilai budaya manusia dengan kerja Nilai budaya keteguhan terhadap pekerjaan

Ketika menghadapi halangan atau kegagalan dalam bekerja, orang Mandailing akan mencoba terus berusaha sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.


(3)

Dari contoh kasus yang diberikan oleh Tambunan pada Bab I di atas, Modal Sosial dilakukan dengan tertutup dan ketat, hanya untuk orang yang berbudaya Mandailing saja. Dimana ada seorang Mandailing yang memiliki suatu badan usaha dan membantu orang Mandailing lain yang sedang memerlukan bantuan. Walaupun ia percaya pada calon pekerjanya, akan tetapi di era yang sulit ini, ia harus mengambil langkah bijak sehingga ia tidak mengalami kerugian. Oleh karena itu ia menerapkan sistem ‘magang’ 5 tahun tanpa di bayar. Akan tetapi demi keadilan, setelah 5 tahun ia berkewajiban menyewakan tempat di lokasi lain dan membelikan mesin fotokopi bekas bagi mereka untuk memulai usaha. Dari contoh kasus ini terlihat nilai-nilai budaya Mandailing yang dipergunakan dalam Modal sosial ini adalah nilai budaya kasih sayang, tenggang rasa, kebijaksanaan, keberanian, penegakan hukum, menjunjung adat dan pekerti, keteguhan hati dan kepatuhan juga nilai budaya persatuan.

“Na joman ma huristak, sayuran harambir di Portibi, na bahat ma

huida jolam manisia, ngada hum jolma-pajolma-jolma, anak ni Sutan, anak ni Raja, dung hupaandungkon napuran, dison dope mulak gaja mangaan tobu, anggi! Baun Pejel! Lehen di bayo dongan saparsaitan on ampilta i sada, isi rongkop di hasajana, muda iba saparsaitan na dapot hita i, na dapot ia do i”, ning Tunggane Apur “ (Ritonga, 2002).

“Dari zaman ke zaman, kelapa mati karena tuanya di Portibi, saya sudah banyak melihat manusia, bukan manusia sembarang manusia, anak sutan anak dari Raja, setelah kuserahkan sirih, sekarang baru gajah makan tebu adikku! Karena itu Pejel! Berikan sumpit itu satu kepada laki-laki sependeritaan ini, isi semua keperluannya, kalau kita sependeritaan apa yang kita dapat itu, itu juga yang didapatnya”, kata Tunggane Apur” (Ritonga, 2002).

Bagi calon pekerja sendiri, ia mau menerima sistem ‘magang’ 5 tahun tanpa di bayar karena ia percaya pada calon atasannya tersebut. Kemudian ia bekerja secara sunguh-sunguh selama 5 tahun tersebut. Akhirnya badan usaha yang dikelola oleh orang Mandailing ini lebih berhasil dibandingkan dengan orang Cina. Oleh karena itu ia mendapatkan kesempatan berusaha sendiri dari atasannya. Akhirnya ia juga membantu orang Mandailing lain yang memerlukan bantuannya. Dari contoh ini, selain nilai-nilai budaya Mandailing yang sudah di


(4)

sebutkan sebelumnya, nilai-nilai budaya Mandailing lain yang terlihat dipergunakan untuk Modal Sosial adalah nilai budaya kerendahan hati dan keteguhan terhadap pekerjaan.

Dari keseluruhan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran Budaya Mandailing sangat besar dalam mengembangkan Modal sosial yang baik sehingga berdampak pada peningkatan keefektifan dan keefisienan kerja Manajemen Sumber Daya Manusia dan akhirnya mencapai tujuan bersama (baik itu tujuan individu maupun tujuan organisasi.

Hanya saja menurut Kartasasmita (1997) tidak boleh dilupakan bahwa profesionalisme merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan kompetensi dan komitmen. Kompetensi menurut beliau adalah yaitu suatu keadaan yang seseorang dapat dipercaya berdasarkan kemampuannya. Sedangkan komitmen menurut beliau adalah suatu sikap pribadi dan sikap moral, yang ditandai oleh kesetiaan, loyalitas, dan pertanggungjawaban terhadap suatu pekerjaan. Jika dilihat dari contoh kasus di atas, karyawan tersebut memiliki kompetensi dan komitmen untuk bekerja sungguh-sungguh selama 5 tahun. Hal ini dilatar belakangi oleh nilai budaya keteguhan terhadap pekerjaan, keteguhan hati dan kepatuhan. Untuk itu, ketika menarik dan memilih orang-orang Mandailing yang professional, perlu diperhatikan juga kompetensi dan komitmennya dalam bekerja.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, N. D., (2002). Modal Orang Percaya. http://www.sahabatsurgawi.net/cgi/ pelangijiwa2.cgi?20041126. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Ancok, D., (2007). Konsep Modal Manusia. http://ancok.staff.ugm.ac.id/h-18/konsep-modal-manusia.html. Tanggal akses : 6 Desember 2007. Arifin, S., (2003). Modal Sosial Parpol-parpol Islam. http://www.republika.co.id

/kolom_detail.asp?id=120068&kat_id=16. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Ikhsan, S., (2007). Apakah Dampak Positif Dan Negatif Modal Sosial Dalam Masyarakat Kita?. http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid= 20071101032840AAVQVfs. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Kartasasmita, G., (1997). Membangun Sumber Daya Sosial Profesional. http:// www.ginandjar.com/public/10MembangunSumberdaya.pdf. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Kirmanto, D., (2006). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 38/PRT/M/2006 : Tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum Yang Merupakan Kewenangan Pemerintah Dan Dilaksanakan Melalui Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan Tahun 2007. http://sda.pu.go.id/hukum/hukum/DATA/produk%20hukum/PEr men/PERMEN_38%202006%20(SKPD).pdf. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Nasution, P., (2005). Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, hal: 18. Medan: FORKALA.

Rahardjo, M. D., (2003). Pemahaman Dan Pemberdayaan Masyarakat Madani[1]. http://www.kongresbud.budpar.go.id/dawam_rahardjo.htm. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Rajab, B., (2005). Membincangkan Modal Sosial (1). http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/22/0803.htm. Tanggal akses : 6 Desember 2007.

Ritonga, P., (2002). Nilai Budaya Dalam Turi-Turian Mandailing Raja Gorga Di

Langit Dan Sutan Suasa Di Portibi, hal: 17-44. Medan: PT. Yandir

Agung

Sutejo, B., (2007). Peminatan Manajemen Strategi 001. http://peminatan manajemenstrategi001.blogspot.com/. Tanggal akses : 6 Desember 2007.


(6)

_________, (2007). Peminatan Manajemen Strategi 002. http://peminatan manajemensdm002.blogspot.com/. Tanggal akses : 6 Desember 2007. Tambunan, S., (2007). Satu Tinjauan Historis-Singkat Terhadap Pertumbuhan

Dan Perkembangan Keturunan Borsak Sirumonggur Mulai Dari Abad Ke-16 Hingga Masa Kini. http://sihombing.lumbantoruan.net/?p=90. Tanggal akses : 6 Desember 2007.