Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
SALISILAT PADA TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
TRIONO BASUKI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(2)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi saya dengan judul:
EFEKTIFITAS SUKRALFAT DALAM MENGHAMBAT GASTRITIS AKIBAT PENGGUNAAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
merupakan karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi dan Dr. drh. Min Rahminiwati, MS. Penelitian ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 22 Januari 2008
Triono Basuki
(3)
ABSTRAK
TRIONO BASUKI. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan MIN RAHMINIWATI.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas sitoproteksi sukralfat pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dengan bobot badan 300 g. Sebanyak 30 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kontrol (-) atau plasebo, kontrol (+) diberi obat anti inflamasi non steroid (OAINS) berupa asam asetil salisilat (AAS) dosis 400 mg/tikus, dan kelompok perlakuan diberi sukralfat dosis 200 mg/tikus, kemudian setelah tiga jam diberikan AAS dosis 400 mg/tikus. Pengamatan dilakukan secara histopatologi pada lambung dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB). Parameter yang dipakai adalah jumlah infiltrasi sel radang, jumlah sel parietal dan sel chief, proliferasi sel goblet, keutuhan lapisan epitel dan kerusakan mukosa lambung. Uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukan bahwa sukralfat kurang efektif menghambat gastritis yang diinduksi oleh AAS di lapis mukosa, submukosa dan tunika muskularis lambung secara signifikan (α<0,05). Kata kunci: Sukralfat, Sitoproteksi, Asam Asetil Salisilat, OAINS dan Lambung
ABSTRACT
This research was aimed to examine effectivity of sucralfate cytoprotective agent on male white rat (Rattus norvegicus) with 300 g BW. This research used 30 rats strain Sprague-Dawley, were divided into 3 groups consist of: (a) negative control or plasebo, (b) positive control was given 400 mg/rat acetyl salicylic acid (ASA) as non steroid anti inflammation drug (NSAID) and (c) the treatment group was given 200 mg/rat sucralfate, and then after 3 hours was given 400 mg/rat ASA. The studied was done on histopathology of gastric which stained with Hematoksilin-Eosin (HE) and Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB) stain. The parameters used were: total infiltration of inflammatory cells, amount of parietal cells and chief cells, proliferation of goblet cell, erosion and ulceration of epithelial layer of gastric mucosa. The ANOVA test were continued with Duncan test as significant showed that sucralfate less effective to inhibit of gastritis induced by ASA in mucosa, submucosa and gastric tunica muscularis, but sucralfate gave the effect to proliferation of goblet cells. (α<0,05).
(4)
EFEKTIFITAS SUKRALFAT DALAM MENGHAMBAT
GASTRITIS AKIBAT PENGGUNAAN ASAM ASETIL
SALISILAT PADA TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
TRIONO BASUKI B04103059
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(5)
Judul Skripsi : Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Nama : Triono Basuki NRP : B04103059
Disetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi Dr. drh. Min Rahminiwati, MS
NIP. 131 878 929 NIP. 131 473 989
Mengetahui, Wakil Dekan I
FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP. 131 669 942
(6)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur atas segala curahan rahmat dan karunia yang telah Allah SWT berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan doa, nasihat, membantu baik materi, motivasi, serta kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Sebentuk kasih untuk kakak-kakak penulis: Mas Masyu, Mas Heru Setiawan, SKom, Mba Iyam, dan Mba Ayu.
2. DR. Bambang Kiranadi, selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia membimbing dengan memberikan masukkan dan dorongan kepada penulis selama melakukan studi di FKH-IPB.
3. Dr. drh. Sri Estuningsih, Msi. dan Drh. Min Rahminiwati, PhD. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penyusunan skripsi.
4. dr. Chudahman Manan, SpPD, KGEH Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini.
5. Drh. Hernomo Adi Huminto, MVS selaku dosen penguji yang telah menguji, mengkritik dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, Pak Edi, Bu Melli, Bibi, Mba Yanti dan Pak Ugan di Laboratorium Patologi, Farmakologi dan Reproduksi FKH-IPB.
7. Dyah AP atas kerjasama, bantuan dan dukungannya selama penelitian. 8. Mba Nitha dan Pak Ali di BPPT Ciawi-Bogor, Mba Karen’39, Mba
(7)
9. Intan Permata Sari, Sandhy, Mungki, Getri, Ditha, Riza, Elpita, Ais, Mudia, Ayu, Prita, Lilis, Lia, Ramlah, Bayu, Reni, Rhiska, Indra, Zaldi, Intan, Rikki, Au, Pegi, Swardi, Setyo, Nurman, Anton, Agus Dompu, Dathuko, mba Irao, Iwid, Elia, Irma, Wiwiko, Sari, Yeyen, Restu, Rahma, Puji, Gaince, Hendro, Gusra, Togu, Wywy, Irvan, Mammi, Metha, Fajri dan semua teman-teman Gymnoleymata’40 yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu. Thanks for all.
10. Persekutuan Fakultas FKH-IPB: Saltliers, Orniters, Ruminers, HKSA, DKM An-Nahl dan FIM FKH IPB, terima kasih atas kebersamaan yang telah dilalui.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademik Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Tak cukup kata bagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas segala bantuan, semangat dan doa yang dipanjatkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.
Bogor, 22 Januari 2008
Triono Basuki
(8)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan, DKI Jakarta pada tanggal 19 September 1984 dari Ayah Tino Sanama dan Ibu Harsiti. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara.
Pada tahun 1990 penulis mendapat pendidikan awal di taman kanak-kanak Nol Sembilan Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1991. Penulis mengikuti pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 01 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1997. Pendidikan tingkat pertama diselesaikan penulis pada tahun 2000 di SLTP Negeri 31 Jakarta Selatan. Pendidikan tingkat atas diselesaikan penulis pada tahun 2003 di SMU Negeri 90 Jakarta Selatan. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan penulis aktif di organisasi Himpro Satwa Liar periode 2004-2006, Himpro Ornitologi periode 2005-2006, DKM An-Nahl FKH IPB periode 2005-2007, FIM FKH IPB periode 2005-2006, dan anggota IMAKAHI FKH IPB. Selain itu, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Bedah Umum Veteriner (IBUV) dan Patologi Sistemik II. Penulis juga menerima beasiswa dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 2004-2006. Tugas akhir penulis di Fakultas Kedokteran Hewan IPB diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Hipotesa ... 2
Manfaat ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Taksonomi Tikus Putih ... 3
Pengenalan Lambung ... 4
Anatomi Lambung ... 4
Histologi Lambung ... 5
Fisiologi Lambung ... 9
Patologi Lambung ... 9
Pertahanan Mukosa Lambung ... 12
Pengenalan Asam Asetil Salisilat ... 14
Senyawa Asam Asetil Salisilat ...…... 14
Farmakologi Asam Asetil Salisilat ... 14
Mekanisme Kerja Asam Asetil Salisilat ... 15
Penggunaan Asam Asetil Salisilat ... 16
Efek Samping Umum Asam Asetil Salisilat ... 16
Kontraindikasi ... 17
Overdosis ... 17
Pengenalan Sukralfat ………....…… 17
Farmakologi Sukralfat ... 18
Mekanisme Kerja Sukralfat ... 18
Penggunaan Sukralfat ... 19
Efek Samping Umum Sukralfat ... 19
METODE PENELITIAN ... 20
Tempat dan Waktu Penelitian ... 20
Materi ... 20
Hewan Coba ... 20
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) ... 20
Obat Sitoproteksi ... 21
Bahan dan Alat ... 21
Prosedur ... 21
(10)
Kelompok Kontrol Negatif ... 22
Kelompok Kontrol Positif ... 22
Kelompok Perlakuan Mukoprotektan ... 22
Tahap Nekropsi Tikus ... 22
Parameter Pengamatan ... 24
Desain Penelitian ... 24
Analisa Data ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
Pengaruh Sukralfat Pada Lapisan Mukus ... 27
Pengaruh Sukralfat Pada Sel Parietal Dan Sel Chief ... 30
Pengaruh Sukralfat Pada Proses Peradangan ... 31
KESIMPULAN ... 46
SARAN ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
(11)
SALISILAT PADA TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
TRIONO BASUKI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(12)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi saya dengan judul:
EFEKTIFITAS SUKRALFAT DALAM MENGHAMBAT GASTRITIS AKIBAT PENGGUNAAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
merupakan karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi dan Dr. drh. Min Rahminiwati, MS. Penelitian ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 22 Januari 2008
Triono Basuki
(13)
ABSTRAK
TRIONO BASUKI. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan MIN RAHMINIWATI.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas sitoproteksi sukralfat pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dengan bobot badan 300 g. Sebanyak 30 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kontrol (-) atau plasebo, kontrol (+) diberi obat anti inflamasi non steroid (OAINS) berupa asam asetil salisilat (AAS) dosis 400 mg/tikus, dan kelompok perlakuan diberi sukralfat dosis 200 mg/tikus, kemudian setelah tiga jam diberikan AAS dosis 400 mg/tikus. Pengamatan dilakukan secara histopatologi pada lambung dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB). Parameter yang dipakai adalah jumlah infiltrasi sel radang, jumlah sel parietal dan sel chief, proliferasi sel goblet, keutuhan lapisan epitel dan kerusakan mukosa lambung. Uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukan bahwa sukralfat kurang efektif menghambat gastritis yang diinduksi oleh AAS di lapis mukosa, submukosa dan tunika muskularis lambung secara signifikan (α<0,05). Kata kunci: Sukralfat, Sitoproteksi, Asam Asetil Salisilat, OAINS dan Lambung
ABSTRACT
This research was aimed to examine effectivity of sucralfate cytoprotective agent on male white rat (Rattus norvegicus) with 300 g BW. This research used 30 rats strain Sprague-Dawley, were divided into 3 groups consist of: (a) negative control or plasebo, (b) positive control was given 400 mg/rat acetyl salicylic acid (ASA) as non steroid anti inflammation drug (NSAID) and (c) the treatment group was given 200 mg/rat sucralfate, and then after 3 hours was given 400 mg/rat ASA. The studied was done on histopathology of gastric which stained with Hematoksilin-Eosin (HE) and Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB) stain. The parameters used were: total infiltration of inflammatory cells, amount of parietal cells and chief cells, proliferation of goblet cell, erosion and ulceration of epithelial layer of gastric mucosa. The ANOVA test were continued with Duncan test as significant showed that sucralfate less effective to inhibit of gastritis induced by ASA in mucosa, submucosa and gastric tunica muscularis, but sucralfate gave the effect to proliferation of goblet cells. (α<0,05).
(14)
EFEKTIFITAS SUKRALFAT DALAM MENGHAMBAT
GASTRITIS AKIBAT PENGGUNAAN ASAM ASETIL
SALISILAT PADA TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
TRIONO BASUKI B04103059
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(15)
Judul Skripsi : Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Nama : Triono Basuki NRP : B04103059
Disetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi Dr. drh. Min Rahminiwati, MS
NIP. 131 878 929 NIP. 131 473 989
Mengetahui, Wakil Dekan I
FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP. 131 669 942
(16)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur atas segala curahan rahmat dan karunia yang telah Allah SWT berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan doa, nasihat, membantu baik materi, motivasi, serta kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Sebentuk kasih untuk kakak-kakak penulis: Mas Masyu, Mas Heru Setiawan, SKom, Mba Iyam, dan Mba Ayu.
2. DR. Bambang Kiranadi, selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia membimbing dengan memberikan masukkan dan dorongan kepada penulis selama melakukan studi di FKH-IPB.
3. Dr. drh. Sri Estuningsih, Msi. dan Drh. Min Rahminiwati, PhD. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penyusunan skripsi.
4. dr. Chudahman Manan, SpPD, KGEH Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini.
5. Drh. Hernomo Adi Huminto, MVS selaku dosen penguji yang telah menguji, mengkritik dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, Pak Edi, Bu Melli, Bibi, Mba Yanti dan Pak Ugan di Laboratorium Patologi, Farmakologi dan Reproduksi FKH-IPB.
7. Dyah AP atas kerjasama, bantuan dan dukungannya selama penelitian. 8. Mba Nitha dan Pak Ali di BPPT Ciawi-Bogor, Mba Karen’39, Mba
(17)
9. Intan Permata Sari, Sandhy, Mungki, Getri, Ditha, Riza, Elpita, Ais, Mudia, Ayu, Prita, Lilis, Lia, Ramlah, Bayu, Reni, Rhiska, Indra, Zaldi, Intan, Rikki, Au, Pegi, Swardi, Setyo, Nurman, Anton, Agus Dompu, Dathuko, mba Irao, Iwid, Elia, Irma, Wiwiko, Sari, Yeyen, Restu, Rahma, Puji, Gaince, Hendro, Gusra, Togu, Wywy, Irvan, Mammi, Metha, Fajri dan semua teman-teman Gymnoleymata’40 yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu. Thanks for all.
10. Persekutuan Fakultas FKH-IPB: Saltliers, Orniters, Ruminers, HKSA, DKM An-Nahl dan FIM FKH IPB, terima kasih atas kebersamaan yang telah dilalui.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademik Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Tak cukup kata bagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas segala bantuan, semangat dan doa yang dipanjatkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.
Bogor, 22 Januari 2008
Triono Basuki
(18)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan, DKI Jakarta pada tanggal 19 September 1984 dari Ayah Tino Sanama dan Ibu Harsiti. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara.
Pada tahun 1990 penulis mendapat pendidikan awal di taman kanak-kanak Nol Sembilan Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1991. Penulis mengikuti pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 01 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1997. Pendidikan tingkat pertama diselesaikan penulis pada tahun 2000 di SLTP Negeri 31 Jakarta Selatan. Pendidikan tingkat atas diselesaikan penulis pada tahun 2003 di SMU Negeri 90 Jakarta Selatan. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan penulis aktif di organisasi Himpro Satwa Liar periode 2004-2006, Himpro Ornitologi periode 2005-2006, DKM An-Nahl FKH IPB periode 2005-2007, FIM FKH IPB periode 2005-2006, dan anggota IMAKAHI FKH IPB. Selain itu, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Bedah Umum Veteriner (IBUV) dan Patologi Sistemik II. Penulis juga menerima beasiswa dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 2004-2006. Tugas akhir penulis di Fakultas Kedokteran Hewan IPB diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).
(19)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Hipotesa ... 2
Manfaat ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Taksonomi Tikus Putih ... 3
Pengenalan Lambung ... 4
Anatomi Lambung ... 4
Histologi Lambung ... 5
Fisiologi Lambung ... 9
Patologi Lambung ... 9
Pertahanan Mukosa Lambung ... 12
Pengenalan Asam Asetil Salisilat ... 14
Senyawa Asam Asetil Salisilat ...…... 14
Farmakologi Asam Asetil Salisilat ... 14
Mekanisme Kerja Asam Asetil Salisilat ... 15
Penggunaan Asam Asetil Salisilat ... 16
Efek Samping Umum Asam Asetil Salisilat ... 16
Kontraindikasi ... 17
Overdosis ... 17
Pengenalan Sukralfat ………....…… 17
Farmakologi Sukralfat ... 18
Mekanisme Kerja Sukralfat ... 18
Penggunaan Sukralfat ... 19
Efek Samping Umum Sukralfat ... 19
METODE PENELITIAN ... 20
Tempat dan Waktu Penelitian ... 20
Materi ... 20
Hewan Coba ... 20
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) ... 20
Obat Sitoproteksi ... 21
Bahan dan Alat ... 21
Prosedur ... 21
(20)
Kelompok Kontrol Negatif ... 22
Kelompok Kontrol Positif ... 22
Kelompok Perlakuan Mukoprotektan ... 22
Tahap Nekropsi Tikus ... 22
Parameter Pengamatan ... 24
Desain Penelitian ... 24
Analisa Data ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
Pengaruh Sukralfat Pada Lapisan Mukus ... 27
Pengaruh Sukralfat Pada Sel Parietal Dan Sel Chief ... 30
Pengaruh Sukralfat Pada Proses Peradangan ... 31
KESIMPULAN ... 46
SARAN ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
(21)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sifat fisika dan kimia asam asetil salisilat ... 14 2. Sifat fisika dan kimia sukralfat ... 17 3. Rataan jumlah sel goblet pada lambung kelenjar
kelompok perlakuan dan kontrol ... 28 4. Rataan sel parietal dan sel chief pada regio fundus/korpus
dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol ... 30 5. Rataan sel radang pada lambung non-kelenjar kelompok
perlakuan dan kontrol ... 31 6. Persentase skoring inflamasi pada lambung non-kelenjar
dan kelenjar ... 36 7. Rataan sel radang pada lambung kelenjar regio fundus dan korpus
kelompok perlakuan dan kontrol ... 42 8. Rataan sel radang pada lambung kelenjar regio pilorus
(22)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia ... 4 2. Histologi lapisan lambung ... 5 3. Skema sel-sel penyusun lambung kelenjar ... 7 4. Tikus laboratoriumdan keadaan kandangnya ... 20 5. Teknik potongan lambung ... 23 6. Bagan skematis desain penelitian ... 25 7. Histogram persentase sel goblet pada lambung kelenjar
kelompok perlakuan dan kontrol ... 28 8. Gambaran histopatologi proliferasi sel goblet di lambung kelenjar ... 29 9. Histogram persentase sel parietal dan sel chief regio fundus
dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol ... 30 10.Histogram persentase sel radang di lambung non-kelenjar
kelompok perlakuan dan kontrol ... 32 11.Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa
lambung non-kelenjar ... 35 12.Mekanisme perusakan mukosa gastrointestinal oleh NSAID ... 37 13.Konsekuensi patofisiologi dari difusi balik ion H+ melalui
kerusakan epitel ... 38 14.Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung
kelenjar regio fundus dan korpus ... 39 15.Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung
kelenjar regio pilorus ... 40 16.Histogram persentase sel radang di regio fundus dan pilorus
kelompok perlakuan dan kontrol ... 42 17.Patogenesis peradangan dan kerusakan mukosa lambung ... 44
(23)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perhitungan Dosis Obat ... 51 2. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi ... 53 3. Pewarnaan Hemaktosilin-Eosin (HE) menurut
metode Meyer ... 54 4. Pewarnaan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS) ... 55 5. Olahan Data Sel Radang di Lambung Non-Kelenjar ... 56 6. Olahan Data Sel Radang di Regio Fundus dan Corpus ... 58 7. Olahan Data Sel Radang di Regio Pilorus ... 60 8. Olahan Data Sel parietal (red cell) dan sel chief (blue cell)
di Lambung kelenjar ... 62 9. Olahan Data Sel Goblet di Lambung Kelenjar ... 64
(24)
PENDAHULUAN
Latar BelakangPerkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi terutama di bidang kedokteran, khususnya dalam pencegahan maupun pengobatan penyakit dapat memperpanjang harapan hidup. Hal ini akan berdampak pada peningkatan jumlah kelompok usia lanjut. Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang sering didapatkan pada kelompok usia lanjut, diantaranya adalah penyakit degeneratif sendi (osteoartrosis). Dengan bertambahnya populasi usia lanjut memungkinkan jumlah penderita osteoartrosis juga meningkat. Resiko peningkatan osteoartrosis ini akan diikuti oleh peningkatan konsumsi obat-obat golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS atau NSAIDs). Obat anti inflamasi non steroid merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia untuk mengatasi penyakit degeneratif tersebut, kondisi ini juga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat khususnya pada saluran cerna bagian atas. Kelainan yang terjadi terbanyak pada lambung dalam bentuk ringan yaitu hiperemia, sedang dalam bentuk inflamasi, sampai dengan yang paling berat dalam bentuk erosi dan/ulkus. Dapat pula terjadi perdarahan dan perforasi.
Hasil evaluasi endoskopi pada penderita yang mendapatkan OAINS menunjukan adanya iritasi mukosa lambung dan ptechiae, bahkan dapat timbul ulkus pada mukosa lambung secara lokal. Umumnya asam asetil salisilat/AAS (salah satu OAINS) telah menyebabkan iritasi mukosa bila terjadi kontak selama 3 jam, dengan endoskopi tampak tanda-tanda pendarahan. Secara sistemik OAINS ini menghambat pembentukan prostaglandin E2 (PGE2) yang berfungsi sebagai
proteksi mukosa lambung (Wongso et al. 1992). Studi epidemiologi yang dilakukan terhadap pemakaian OAINS menunjukan 20-30 % pemakai mempunyai komplikasi pada lambung, berupa ulkus peptikum. Namun demikian, komplikasi ini timbul akibat perbedaan respon individu terhadap OAINS (Myrnawati 2005). Secara tidak langsung dapat disebutkan bahwa terdapat perbedaan kualitas mukosa antara penderita yang mengalami kelainan dengan yang tanpa kelainan. Sitoproteksi atau mukoproteksi adalah kemampuan suatu zat untuk mencegah kerusakan mukosa lambung akibat zat ulcerogenik tanpa mengurangi asam
(25)
lambung (Wongso et al. 1992).Pemikiran dan penelitian masih terus diupayakan untuk memperoleh sitoprotektor yang handal. Obat sitoprotektor yang telah lama dikenal diantaranya ialah sukralfat yang cara kerjanya membentuk lapisan pelindung pada permukaan mukosa yang mengalami erosi atau tukak (Adi 2002).
Pada penelitian ini akan dipelajari gambaran histopatologis (HP) mukosa lambung akibat pemberian AAS yang didahului dengan pemberian sukralfat sebagai obat golongan sitoproteksi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran patologis sel dan lapisan lambung tikus akibat pemberian AAS yang didahului dengan pemberian sukralfat sebagai indikator efektifitas sitoprotektor dalam menghambat gastritis oleh AAS.
Hipotesa
Terdapat perbedaan gambaran histopatologi sel penyusun lambung antara tikus pengguna AAS dengan kelompok tikus yang diberi AAS yang didahului dengan pemberian sukralfat.
Manfaat
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dipahami lebih mendalam mengenai konsep pertahanan tiap lapis lambung dalam mencegah efek samping AAS untuk diterapkan pada manusia. Dapat pula dipelajari respon mukosa terhadap pengaruh OAINS dengan bantuan pemberian sukralfat.
(26)
TINJAUAN PUSTAKA
TAKSONOMI TIKUS PUTIHTikus (Rattus norvegicus atau tikus laboratorium) merupakan spesies pertama mamalia yang didomestikasi untuk tujuan ilmiah. Tikus ini hidup komensal disekitar manusia dan sudah menjadi bagian dari hidup manusia, kadang-kadang hidup di tempat yang sama dengan manusia seperti di ruang bawah tanah dan di loteng (Wiehe 1989). Tikus laboratorium memiliki berbagai macam galur, dan galur yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur Sprague-Dawley. Sprague-Dawley albino merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley memiliki panjang leher yang sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekor. Bobot badan tikus galur Sprague-Dawley adalah paling besar dari semua galur tikus laboratorium, atau hampir sebesar tikus liar (Rattus rattus). Hewan ini jinak dan mudah ditangani (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).
Tikus laboratorium memiliki daya adaptasi yang baik dan besar sehingga cocok sebagai model dari berbagai jenis penelitian yang berbeda-beda misalnya endokrinologi, biokimia, farmakologi, toksikologi, fisiologi, neurofisiologi, onkologi, parasitologi, patologi dan nutrisi (Smith dan Mangkoewidjojo 1987; Stevens and Hume 1996).
Robinson (1979) mengklasifikasikan tikus laboratorium ke dalam taksonomi sebagai berikut:
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Superfamili : Muroidea Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus
(27)
PENGENALAN LAMBUNG Anatomi Lambung
Gambar 1. Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia (Tortora and Grabowski 1996)
Ikan, amfibi, reptil dan kebanyakan mamalia, termasuk tikus, memiliki lambung yang relatif sederhana berbentuk tabung sepanjang saluran pencernaan. Lambung tikus berbentuk seperti huruf J dan merupakan pembesaran dari saluran pencernaan. Bagian superior lambung merupakan kelanjutan dari esophagus dan inferior berdekatan dengan duodenum. Struktur dan garis regio epitel lambung mamalia menggambarkan batas yang jelas dengan variasi ukuran pada tiap spesies. Mulai dari gastroesophageal junction, lambung manusia, anjing dan mamalia lainnya memiliki urutan regio yang sama (Stevens and Hume 1996).
Telford dan Bridgman (1995) menyatakan bahwa lambung mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu (1) Cardiac, pada tikus merupakan bagian dengan luas kecil dan zona pembatas dekat gastrophageal junction; (2) Fundus, pada mamalia merupakan regio yang banyak terdapat sel kelenjar; (3) Badan atau Corpus, merupakan bagian yang membentang dari fundus inferior sampai ke pylorus; dan (4) Pylorus, merupakan bagian yang paling akhir. Pilorus berbentuk corong dengan perluasan kerucut, pada sambungan dengan korpus disebut pyloric antrum
(28)
dan batang corongnya disebut pyloric canal. Bagian akhir pilorus terdapat sphincter yang berhubungan dengan duodenum.
Pada lambung tikus dan beberapa mamalia lainnya terdapat regio tambahan sebelum kardiak, yaitu nonglandular stratified squamous epitelium (Stevens and Hume 1996). Tepi bagian tengah yang berbentuk cekung dari lambung disebut lesser curvature atau lekukan kecil. Tepi bagian lateral yang berbentuk cembung disebut greater curvature atau lekukan besar (Miller 1996).
Histologi Lambung
Gambar 2. Histologi lapisan lambung (Tortora and Grabowski 1996)
Dinding lambung disusun oleh 4 lapisan dasar yang sama dengan dinding saluran pencernaan, dengan beberapa modifikasi pada berbagai hewan (Telford dan Bridgman 1995). Menurut Telford dan Bridgman (1995); Bevelander dan Ramaley (1998), lapisan lambung dapat diringkas sebagai berikut: mukosa, submukosa, tunika muskularis dan serosa.
Mukosa
Permukaan mukosa lambung berbentuk lipatan-lipatan (rugae) yang tinggi dan jumlahnya tergantung dari tinggi rendahnya rentangan organnya (Bevelander dan Ramaley 1998). Rugae menyebabkan lambung dapat berdistensi sewaktu diisi makanan. Mukosa lambung tebal, mengandung kelenjar dan sumur lambung
(29)
(foveolae/gastric pits) dengan sedikit lamina propia. Mukosa lambung juga menghasilkan asam dan enzim pencernaan, dan mengabsorsi sejumlah air (Wilson dan Lesser 1994; Swan 2003). Sel yang terdapat di permukaan mukosa lambung dan sumur lambung disusun oleh epitel silinder sebaris yang dinamakan sel mukus permukaan. Sel ini menghasilkan mukus yang membentuk lapisan tebal yang melindungi sel-sel ini terhadap pangaruh asam kuat yang dihasilkan lambung dan mencegah otodigestion mukosa lambung (Swan 2003). Bevelander dan Ramaley (1998) menyatakan bahwa bentuk dan kedalaman proporsional lubang dan sifat-sifat kelenjarnya berbeda pada berbagai bagian dari lambung.
Cardiac glands (kelenjar kardiak), dilapisi oleh epitel kubus selapis dan mempunyai lumen yang lebar dan mengeluarkan sekresi lendir encer (Bevelander dan Ramaley 1998). Kelenjar kardiak sedikit jumlahnya karena luas regio kardiak yang sangat kecil pada organ lambung tikus. Kelenjarnya agak lebar, terbuka, berbentuk pipa bercabang dan di dalam lubang yang pendek dengan sel tipe mukus. Pada daerah ini sel parietal hampir tidak ada (Telford dan Bridgman 1995). Fundic glands (kelenjar fundus), mukosa lebih dalam dan mengandung lebih banyak kelenjar. Kelenjar-kelenjar itu disebut kelenjar fundus karena mereka terdapat di semua bagian organnya, kecuali regio kardiak dan pilorus, maka dapat juga mereka disebut kelenjar lambung (Bevelander dan Ramaley 1998). Kelenjar lambung ini berbentuk pipa yang panjang dan meluas dari muskularis mukosa sampai menuju sumur lambung. Setiap kelenjar tersusun atas bagian dasar, leher dan isthmus. Kelenjar lambung sepanjang korpus dan fundus berbentuk tubuli bercabang sederhana, dengan sel-sel yang terdiri dari:
a. Sel zimogen/chief: melapisi bagian bawah kelenjar lambung. Mereka merupakan sel torak rendah dan mempunyai bentuk sel serosa yang khas. Sel-sel ini umumnya basofilik dengan granul zymogen dan menghasilkan enzim pepsin, renin dan lipase lambung (Bevelander dan Ramaley 1998; Swan 2003).
b. Sel oksintik/parietal: relatif besar dan sangat asidofil. Mereka terdapat dalam jumlah paling besar pada leher kelenjar. Mereka tidak langsung berbatasan dengan lumen tetapi berkerumun terpisah dari lumen itu oleh sel-sel chief. Sel parietal memproduksi asam hidroklorida (asam HCl) dan
(30)
pendahulu dari asam hidroklorat; sebagai faktor intrinsik dalam membantu penyerapan vitamin B12 di usus halus. Sel ini juga memiliki sekresi kanalikuli yang panjang dan dilapisi oleh mikrovili (Bevelander dan Ramaley 1998; Swan 2003; Dunlop dan Charles 2004).
c. Sel mukosa leher: relatif sedikit jumlahnya, mempunyai dasar yang lebar, menyempit dibagian puncaknya dan bersifat basofilik (Bevelander dan Ramaley 1998). Sel ini dipusatkan dekat leher kelenjar dari sumur lambung dan menghasilkan mukus dan enzim peptidase. Sel leher ini merupakan progenitor epitel permukaan dan kelenjar lambung yang aktif berperan dalam karsinogenesis lambung. Granul bulat atau lonjong di bagian apikal dan terpulas gelap dengan PAS stain (Swan 2003).
d. Endokrin/enteroendokrin/argentaffin/enterokromaffin/sel Kultschitsky: jumlahnya sedikit dan dapat dilihat dengan pewarnaan metode silver. Sel tersebut berwarna kuat dengan garam-garam bikromat. Dengan pewarnaan HE dikenal dengan sel kosong. Sel tersebut sedikit menghasilkan hormon (gastrin, histamin, endorphins, serotonin dan somatostatin) dan asam amino. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen (Bevelander dan Ramaley 1998; Swan 2003).
Gambar 3. Skema sel-sel penyusun lambung kelenjar (Tortora and Grabowski 1996)
(31)
Pyloric glands (kelenjar pilorus), kelenjar ini dibatasi oleh regio pilorus dan menyerupai kelenjar kardiak. Kelenjar ini terdiri dari beberapa sel parietal dan sel G (sekresi gastrin) diantara sel-sel mukus. Pada pilorus, sumur lebih dalam dan paling sedikit meluas sampai separuh jalan ke muskularis mukosa (Telford dan Bridgman 1995).
Swan (2003) menyebutkan bahwa sel mukus bukan merupakan sel goblet yang sebenarnya di lambung. Sel ini menghasilkan mukus alkalin untuk melindungi keasaman permukaan lambung hingga mencapai pH 1,5-3,5. Sel goblet dapat meningkat jumlahnya dengan proses proliferasi dan metaplasia bila mukosa saluran pencernaan mengalami sakit atau inflamasi (Atuma 2000).
Submukosa
Submukosa tersusun dari jaringan areoler dan tidak mengandung kelenjar di bagian manapun dari lambung. Pada irisan dari tempat bertemunya esofagus dan lambung, beberapa potongan ujung dari kelenjar lendir yang letaknya dapat menjorok ke dalam submukosa lambung, tetapi, karena saluran mereka bermuara ke dalam esofagus, maka mereka harus dipandang sebagai bagian dari dinding organ terakhir. Submukosa juga mengandung arteri kecil, vena dan saluran limpa yang mudah terlihat, serta pleksus saraf Meissner dan ganglion yang tidak begitu mencolok (Wilson dan Lesser 1994; Telford dan Bridgman 1995; Bevelander dan Ramaley 1998).
Muskularis Mukosa
Muskularis mukosa tersusun dari 3 lapisan otot polos, yaitu lapis longitudinal dibagian luar, lapis sirkuler dibagian tengah, dan lapis oblique dibagian dalam. Susunan serat otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung ke arah duodenum (Wilson dan Lesser 1994). Pada serat melingkar terdapat pleksus Auerbach yang diperlukan untuk mengkoordinasi kontraksi-kontraksi intrinsik otot polos yang biasanya lemah dan kurang efektif. Pelepasan parasimpatis menjamin bahwa sel-sel melakukan kontraksi lebih secara massal daripada secara sendiri-sendiri (Bevelander dan Ramaley 1998).
(32)
Serosa
Organ lambung tertutup oleh lapisan mesotel yang terdapat di luar jaringan ikat longgar yang membungkus lapisan-lapisan otot. Lapisan ini biasanya rusak pada pembuatan preparat potongan jaringan untuk irisan. Pada lapis serosa terlihat suatu selaput dari jaringan areoler yang mengandung pembuluh darah, jaringan lemak dan batang syaraf (Bevelander dan Ramaley 1998).
Fisiologi Lambung
Lambung merupakan bagian sistem pencernaan pada manusia dan hewan yang banyak menghasilkan enzim dan asam lambung yang berguna dalam pencernaan makanan. Pencernaan di lambung terjadi secara mekanik dan kimiawi yaitu dengan adanya gerakan lambung mengaduk makanan dan dengan disekresikannya getah lambung. Lambung berfungsi sebagai tempat pencampuran dan penyimpanan makanan, dan tempat awal proses pencernaan protein dan lemak untuk dicerna. Fungsi yang paling utamanya adalah penyimpanan makanan untuk dilanjutkan menuju duodenum (Swenson 1984).
Kandungan cairan yang disekresikan lambung terdiri dari air; elektrolit (K, Na, Cl, HCO3); enzim (pepsin, lipase); glikoprotein (faktor intrinsik, mucin); dan trace element (Zn, Fe, Mg, Ca) serta hormon gastrin yang masuk ke dalam darah. Asam hidroklorida yang terkandung di dalamnya berfungsi untuk supresi mikro organisme di makanan, memperoleh pH optimal untuk fungsi enzimatik pepsin dan lipase, memudahkan absorbsi besi di duodenum, negative feedback pada gastrin dan stimuli sekresi bikarbonat pankreas. Kerja pepsin mengawali hidrolisis protein dan memisah vitamin B12 dari protein makanan. Lipase mengawali hidrolisis trigliserida. Mucin dan bikarbonat berperan dalam fungsi proteksi terhadap bahan-bahan yang bisa merusak mukosa (Feldman dalam Adi 2002).
Patologi Lambung
Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor-faktor defensif (resistensi mukosa) pada mukosa lambung-duodenum menyebabkan terjadinya gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Asam lambung yang bersifat korosif dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan kerusakan
(33)
mukosa lambung-duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah garam empedu, obat-obat ulcerogenik (aspirin dan anti inflamasi non steroid lainnya, kortikosteroid dosis tinggi), merokok, etanol, bakteria, leukotrien B4 dan lain-lain (Julius 1992; Setiawati 1992). Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) merusak mukosa gastroduodenal lewat mekanisme langsung dengan terjadinya ion trapping dan efek sistemik menurunkan sintesis prostaglandin E2(PGE2). Tukak
lambung karena OAINS tidak disertai gastritis kronik. Kemungkinan disertai erosi dengan sel radang yang sifatnya setempat dan tidak banyak (Cryer dalam Adi 2002).
Asam asetil salisilat (AAS) dapat menyebabkan terjadinya tukak lambung yang bersifat akut. Tukak akut biasanya multipel dan lebih sering pada lambung daripada duodenum, kecuali tukak curling. Tukak ini dangkal dan ukurannya bervariasi serta tidak mempunyai tempat tertentu (predileksi); membesarnya cepat dan dapat pula menyebabkan perforasi dan perdarahan, tetapi kebanyakan hanya superfisial mengenai mukosa dan submukosa, batas-batasnya tidak jelas dan disertai tanda-tanda radang akut. Tukak lambung akut dapat mengalami persembuhan tanpa disertai fibrosis dengan re-epitelisasi (Widjaja 1973).
Tukak kronis disebut pula ulcus peptikum, karena berhubungan dengan ”peptic juice”, yaitu asam lambung. Istilah tukak peptik mencangkup tukak duodenum dan tukak di lambung yang benigna. Disebut tukak bila terjadi robekan mukosa berdiameter 5 mm atau lebih dengan kedalam sampai ke submukosa. Robekan mukosa kurang dari 5 mm disebut dengan erosi asalkan secara histopatologi nekrosis yang lebih dalam dari muskularis mukosa digolongkan sebagai tukak (Spechler dalam Adi 2002). Tukak peptik biasanya tunggal, bundar atau lonjong. Tukak peptik lambung biasanya tidak ditemukan pada fundus atau korpus yaitu daerah-daerah yang membuat asam. Tukak peptik biasanya ditemukan di distal ”acid line”, yaitu batas antara daerah yang membuat asam dan daerah yang tidak membuat asam. Secara mikroskopis dapat dilihat 4 lapisan pada tukak lambung, yaitu: lapisan radang, terdiri atas fibrin dan leukosit; lapisan jaringan granulasi nekrotik; lapisan jaringan granulasi hidup dan lapis jaringan parut padat (Widjaja 1973).
(34)
Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung dan memiliki 2 jenis keadaan, yaitu gastritis akut dan kronis. Gastritis akut ringan adalah Inflamasi akut mukosa lambung dengan reaksi neutrofil pada lapis superfisial mukosa yang sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna (Mac Farlane et al. 2000).
Menurut Widjaja (1973) ada 4 jenis gastritis akut, yaitu gastritis irritasi, gastritis corrosiva, gastritis phlegmonosa acuta (gastritis purulenta) dan gastritis acuta hemorrhagica. Gastritis iritasi dapat disebabkan oleh makanan dan/minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung, seperti: asam asetil salisilat (AAS), makanan pedas, alkohol, air panas, serta agen infeksius bakterial dan virus (Mac Farlane et al. 2000). Gastritis akuta hemoragika atau gastritis erosif kadang terlihat sebagai perdarahan yang tersebar, selaput lendir bengkak dan rugae melicin. Keduanya disebabkan oleh asam atau alkali keras, aspirin atau OAINS; dan kemungkinan terdapat tukak di mukosa kurvatura mayor (Widjaja 1973; Macfarlane et al. 2000).
Terjadinya gastritis kronis bila adanya infiltrasi sel radang pada lamina propria dan/epitelial terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran neutrofil pada daerah tersebut menandakan peningkatan aktivitas gastritis kronis (Mac Farlane et al. 2000). Berdasarkan distribusi anatomisnya (topografi), gastritis kronis dibagi atas 3 regio, yaitu antrum, korpus dan multifokal. Sedangkan berdasarkan histologi yang sering digunakan, gastritis kronis dibagi atas 4 jenis, yaitu (1) Gastritis kronis superfisialis apabila sel radang kronis terbatas pada lamina propria mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh; (2) Gastritis kronis atrofik apabila sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai distorsi dan destruksi sel-sel kelenjar mukosa yang lebih nyata; (3) Metaplasia intestinalis dimana terjadi perubahan-perubahan histopatologik kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan tersebut dapat terjadi hampir pada seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung; dan (4) Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronis. Pada keadaan ini struktur kelenjar-kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata
(35)
dengan jaringan ikat, sedangkan jumlah sel radang menurun (Mac Farlane et al. 2000).
Pertahanan Mukosa Lambung
Faktor-faktor yang merupakan mekanisme proteksi mukosa lambung adalah sel-sel mukus-bikarbonat, sel epitel mukosa, aliran darah mukosa dan regenerasi mukosa (Chisholm 1998). Mekanisme proteksi mukosa lambung terhadap kerusakan oleh faktor-faktor agresif ini disebut dengan istilah sitoproteksi. Meskipun mekanisme sitoproteksi ini belum diketahui secara pasti, ada bukti bahwa prostaglandin endogen memegang peranan penting (Setiawati 1992). Menurut Julius (1992), epitel saluran pencernaan mempertahankan integritasnya melalui beberapa cara, antara lain sitoproteksi seperti pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan aliran darah. Di samping itu ada beberapa mekanisme protektif di dalam mukosa epitel sendiri antara lain pembatasan dan mekanisme difusi balik ion hidrogen melalui epitel, netralisasi asam oleh bikarbonat dan proses regenerasi epitel. Semua faktor tadi mempertahankan integritas jaringan mukosa saluran cerna; berkurangnya mukosa yang disebabkan oleh satu atau beberapa faktor mekanisme pertahanan mukosa akan menyebabkan timbulnya tukak peptik. Jadi terlihat bahwa untuk terjadinya tukak peptik selain adanya faktor agresif (asam dan pepsin), yang lebih penting adalah integritas faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran cerna; jika ini terganggu maka baru timbul tukak peptik. Berikut di bawah ini yang termasuk dalam faktor defensif antara lain:
1. Pembentukan dan Sekresi Mukus
Mukus disekresi oleh sel-sel goblet dan kelenjar Brunner, berupa gel kental yang lengket dan tidak larut dalam air, yang melapisi seluruh permukaan mukosa lambung-duodenum secara merata dengan ketebalan 5-10 kali tinggi sel mukosa. Fungsinya untuk memberikan perlindungan mekanis pada epitel lambung-duodenum, untuk mengurangi difusi balik ion hidrogen, barier terhadap enzim proteolitik (pepsin) dan pertahanan terhadap organisme patogen. Mukus merupakan polimer yang mengandung 4 sub-unit glikoprotein. Degradasi mukus oleh pepsin atau zat mukolitik menyebabkan
(36)
lapisan mukus berkurang tebalnya.Sebaliknya, prostaglandin menambah tebal mukus (Julius 1992; Setiawati 1992).
2. Sekresi Bikarbonat
Ion bikarbonat disekresi oleh sel-sel epitel permukaan lambung dan duodenum proksimal, berdifusi melalui lapisan gel mukus ke arah lumen. Fungsinya untuk menetralkan asam lambung yang berdifusi masuk dari lumen. Akibatnya terdapat gradien pH dari pH 2 di lumen ke pH 7-8 di permukaan sel epitel (Setiawati 1992).
3. Aliran Darah Mukosa
Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau sebagai buffer difusi kembali dari asam (Julius 1992; Setiawati 1992).
4. Mekanisme Permeabilitas Ion Hidrogen
Proteksi untuk mencapai mukosa dan jaringan yang lebih dalam diperoleh dari resistensi elektris dan permeabilitas ion yang selektif pada mukosa. Pada hewan percobaan terlihat esofagus dan fundus lambung kurang permeabilitasnya dibanding dengan antrum lambung dan duodenum. Pergerakan ion hidrogen antar epitel dipengaruhi elektrisitas negatif pada lumen; kation polivalen (Ca2+, Mg2+ dan Al2+) dapat menutupi tekanan elektris negatif dari ion hidrogen sehingga mempunyai efek pada pengobatan tukak peptik (Julius 1992).
5. Regenerasi Epitel
Regenerasi mukosa dimulai dari prolifersi sel di zone proliferatif yang kemudian bermigrasi ke permukaan untuk menggantikan sel-sel epitel permukaan yang rusak. Proses re-epitelisasi ini berjalan dengan cepat (kurang dari 48 jam) asal terlindung dari suasana asam yang merusak sel-sel tersebut. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Respon kerusakan mukosa (ulcerasi) pada manusia belum jelas (Julius 1992).
(37)
PENGENALAN ASAM ASETIL SALISILAT Senyawa Asam Asetil Salisilat
Tabel 1. Sifat fisika dan kimia asam asetil salisilat
Sumber : Anonim 2006b
Asam asetil salisilat/AAS (acetyl salicylic acid) merupakan salah satu turunan asam salisilat (salicylic acid). Asam asetil salisilat dapat disentesis oleh proses esterifikasi asam salisilat (asam-o-hidrosibenzoat) dan asam asetat (Ebel 1992; Anonim 2006b). Kunci sintesis AAS ditemukan oleh ahli kimia Jerman Herman Kolbe dari fenol pada 100 tahun yang lalu. Dalam sintesis Kolbe, sodium phenoxide dipanaskan dengan CO2 di bawah tekanan dan campuran reaksi,
sesudah itu diasamkan untuk menghasilkan asam salisil (Anonim 2006b)
Asam asetil salisilat akan larut dalam air apabila ditambahkan natrium hidroksida (NaOH). NaOH dapat mengubah AAS menjadi garamnya yang tidak larut dalam metilena klorida tetapi larut dalam air (Ebel 1992).
Farmakologi Asam Asetil Salisilat
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorbsi (70 %) dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung, dan sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertingggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan absorbsi tergantung dari kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Pendistribusian terjadi pada seluruh tubuh dan
Asam asetil salisilat O
OH O
O CH3
Nama Kimia 2-(acetyloxy)benzoic acid Formula Kimia C9H8O4
C6H4(OCOCH3)COOH
Sinonim
2-acetyloxybenzoic acid 2-acetoxybenzoic acid Acetylsalicylate Acetylsalicylic acid O-acetylsalicylic acid Massa Molekul 180.57 g/mol
Densitas 1.40 g/cm3
(38)
cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, liur dan air susu (Wimana 1995)
Metabolisme obat ini melalui hati dan diekskresikan lewat ginjal dan feses. Ekskresi salisilat dapat meningkat dengan meningkatkan pH urine 5-8. Kadar AAS tertinggi ada pada hati, jantung, korteks renal dan plasma. (Donald 1995).
Mekanisme Kerja Asam Asetil Salisilat
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim cyclooxigenase (COX).
Mekanisme AAS sebagai OAINS dapat diterangkan dengan mengikuti alur biosintesis prostaglandin. Terdapat dua jalur utama reaksi-reaksi yang dialami oleh asam arachidonat pada metabolismenya, yaitu jalur COX yang bermuara pada prostaglandin E2 (PGE2), prostasiklin dan tromboksan serta jalur
lipoksigenase yang menghasilkan asam-asam hidroperoksieikosatetraenoat (HPETE). Reaksi tahap pertama jalur siklooksigenase dikatalisis oleh dua jenis enzim, yaitu COX dan hidroperoksidase (Kartasasmita 2002).
Asam asetil salisilat menghambat biosintesis PGE2, prostasiklin, dan
tromboksan melalui penghambatan aktivitas enzim COX. Asam asetil salisilat merupakan inhibitor irreversibel COX dengan mekanisme kerja melalui asetilasi residu asam amino pada enzim tersebut. Karena PGE2 berperanan penting pada
timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan, maka AAS melalui penghambatan aktivitas enzim COX, mampu menekan gejala-gejala tersebut. Namun demikian, PGE2 juga berperan penting pada proses-proses fisiologis
normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ (Kartasasmita 2002). Pada selaput lendir traktus gastrointestinal, PGE2 berefek protektif.
Keberadaan PGE2 meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis,
osmotis, termis atau kimiawi. Pengurangan PGE2 pada selaput lendir lambung
memicu terjadinya tukak. Hal ini membuktikan peranan penting PGE2 untuk
(39)
AAS sekaligus menjelaskan profil efek utama maupun efek samping obat ini terutama toksisitasnya pada traktus gastrointestinal (Kartasasmita 2002).
Penggunaan Asam Asetil Salisilat
Menurut Wimana (1995) dan Anonim (2006b) terdapat tiga kegunaan AAS, yaitu (1) anti nyeri (analgesic). Preparat AAS dapat meringankan jenis dan/gejala penyakit seperti sakit kepala, kesakitan otot, sakit gigi dan kesakitan kronik seperti kanker; (2) anti peradangan, dalam hal ini AAS bersifat kuat dan efek sampingnya tergantung dari dosis yang diambil; dan (3) anti demam (antipyretic), AAS dapat menurunkan atau meredakan demam dan menghentikan selesma.
Penggunaan AAS dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Pada dosis ini laju metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksis, obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis pada keracunan berat. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik, kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 mcg/ml (Wimana 1995).
Efek Samping Umum Asam Asetil Salisilat
Asam asetil salisilat (AAS) mempunyai efek samping terhadap kerusakan topikal mukosa lambung (Wallace et al. 1995; Takeuchi et al. 1998). Ada 2 cara AAS menyebabkan efek ulcerogenik pada lambung, yaitu aksi iritasi topikal pada epitelium dan hambatan sintesis PGE2 (Takeuchi et al. 1998). Asam asetil salisilat
pada dosis terapeutik dapat menyebabkan iritasi lambung atau usus dalam berbagai tingkatan disertai dengan pendarahan saluran pencernaan. Iritasi saluran cerna tersebut dapat menyebabkan vomiting dan anorexia. Pendarahan tersebut dapat menyebabkan anemia atau hipoproteinemia (Donald 1995).
Efek samping akibat penggunaan AAS antara lain gangguan perut (ulceration dan hemorrhagi); sakit kepala, tinnitus dan hilang pendengaran. Dosis yang lebih tinggi lagi, efek sampingnya dapat terjadi pada system saraf pusat; berkeringat, efek dari antipiretic dengan dosis tinggi; dosis tinggi untuk perawatan jangka panjang seperti radang sendi dan demam rematik dapat meningkatkan sekresi enzim hati tanpa gejala, tetapi hati bersifat reversible terhadap kerusakan; nephritis kronik pada penggunaan jangka panjang, yang biasa digunakan dalam kombinasi dengan penawar sakit lainnya. Kondisi ini
(40)
mendorong ke arah gagal ginjal kronis; waktu beku darah menjadi lebih lama; dan reaksi kulit, angioedem dan bronchospasmus (Anonim 2006a; Anonim 2006b).
Kontraindikasi
Asam asetil salisilat (AAS) sebaiknya tidak diberikan pada hewan yang memiliki reaksi hipersensitivitas juga pasien dengan ulkus berdarah. Relatif kontraindikasi untuk pasien dengan hemorrhagic disorder, asma dan insufisiennsia renalis. Pada pasien hiperalbuminemia dianjurkan diberikan AAS dengan dosis rendah karena obat ini bekerja dengan mengikatan plasma albumin (Donald 1995).
Overdosis
Asam asetil salisilat (AAS) yang terlalu banyak mempunyai konsekwensi yang serius dan berpotensi untuk mematikan. Kematian saat pemakaian AAS dosis toksik umumnya terjadi noncardiogenic pulmonary edema. Proses terjadinya kematian akibat overdosis aspirin adalah nyeri abdominal, hypokalemia, hypoglycemia, pyrexia, hyperventilasi, disarhythmia, hypotensi, halusinasi, gagal ginjal, gelisah, seizure, koma dan mati (Anonim 2006b).
PENGENALAN SUKRALFAT
Tabel 2. Sifat fisika dan kimia sukralfat
Sukralfat
Sinonim
Alumane; 3,4,5-trisulfooxy-2-(sulfooxymethyl)-6-[3,4,5-trisulfooxy-2-(sulfooxymethyl) oxolan-2-y1] oxy-oxane; icosahydrate.
Formula Kimia C11H87Al9O55S8
Massa Molekul 1599.14 g/mol.
Bioavailabilitas 3-5% (bekerja secara lokal). Metabolisme Gastrointestinal dan hati. Waktu Paruh Tidak diketahui.
Ekskresi Feces dan urine
Sumber : Anonim 2007a
Sukralfat adalah obat oral gastrointestinal pertama yang diindikasikan untuk mengobati duodenal ulcer aktif. Sukralfat juga digunakan untuk mengobati
(41)
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan stress ulcer. Sukralfat adalah sucrose sulfate-aluminum complex atau disebut juga garam aluminium dari sukrose sulfat yang mengikat asam hydrochloric di dalam lambung dan bekerja seperti buffer asam dengan sifat sitoprotektif (Anonim 2007a).
Farmakologi Sukralfat
Sukralfat adalah sitoprotektor atau mukoprotektor yang melindungi ulkus terhadap difusi asam, pepsin dan garam empedu (proteksi lokal). Sukralfat mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui 2 mekanisme yang terpisah, yakni (a) melalui pembentukan prostaglandin endogen dan (b) efek langsung meningkatkan sekresi mukus (Setiawati 1992).
Percobaan laboratorium dan klinis menunjukan bahwa sukralfat menyembuhkan tukak dengan 3 cara, yaitu (1) membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat ulkus sehingga merupakan lapisan pelindung; (2) menghambat aksi asam pepsin dan garam empedu; dan (3) menghambat difusi asam lambung. Penelitian menunjukan bahwa sukralfat dapat berada dalam jangka waktu lama dalam saluran cerna sehingga menghasilkan efek obat yang panjang (Anonim 2006a). Sukralfat sangat sedikit terabsorbsi di saluran cerna sehingga menghasilkan efek samping sistemik yang minimal, kebanyakan bersifat asymtomatis. Toksisitas akut (LD50) aplikasi secara oral pada mencit adalah lebih
dari 8000 mg/kg. Cara kerja sukralfat adalah dengan membentuk selaput pelindung di dasar ulkus untuk mempercepat persembuhan (Anonim 2007b).
Mekanisme Kerja Sukralfat
Sukralfat adalah substansi yang bekerja lokal pada lingkungan asam (pH<4). Mekanisme kerjanya belum jelas, kemungkinan melalui pelapisan permukaan ulkus dimana anion sukralfat berikatan dengan kutub positif molekul protein pada dasar ulkus (Anonim 2007b). Sukralfat bereaksi dengan asam hidroklorik dalam lambung membentuk sebuah cross-linked yang memiliki konsistensi kental seperti bahan perekat yang mampu bereaksi sebagai buffer asam untuk waktu yang lama, yaitu 6-8 jam setelah dosis tunggal. Sukralfat mengikat protein (albumin dan fibrinogen) pada permukaan ulkus dengan stabil dan tidak dapat dipecahkan atau tahan terhadap hidrolisis pepsin. Perlindungan
(42)
fisik atau kompleks itu besifat melindungi permukaan ulkus dan mencegah kerusakan lebih lanjut oleh asam, pepsin dan empedu. Kemungkinan sukralfat juga mencegah kembalinya difusi ion hidrogen, penyerapan pepsin dan asam empedu, dan dapat menstimulasi peningkatan protaglandin E2, epidermal growth
factors (EGF), fibroblast growth factor dan mukus lambung (Anonim 2007a).
Penggunaan Sukralfat
Sukralfat digunakan untuk pengobatan jangka pendek (sampai 8 minggu) pada ulkus duodenum aktif (Anonim 2007b) dan tidak digunakan untuk ulkus lambung yang berhubungan dengan pemakaian OAINS jangka panjang, karena adanya mekanisme sekresi asam yang berlebih. (Anonim 2007a). Sukralfat (4 x 1 g sehari pada perut kosong) efektif untuk mengurangi kerusakan mukosa lambung (ulcus peptikum) dan gejala-gejala saluran cerna akibat penggunaan OAINS (Setiawati 1992). Pada hewan kemungkinan sukralfat dapat mencegah terjadinya ulcer akibat AAS atau OAINS lainnya (Anonim 2007c).
Efek Samping Umum Sukralfat
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan sukralfat antara lain konstipasi, mulut terasa kering (Xerostomia), diare, mual, muntah, tidak nyaman di perut, kembung (Flatulentsi), pruritus, rash, mengantuk, nyeri pada bagian belakang, hypophosphatemia dan sakit kepala atau Cephalalgia (Anonim 2006a; Anonim 2007a). Sukralfat menyebabkan konstipasi ringan pada 2-10 % penderita karena mengandung aluminium, dan dapat menimbulkan toksisitas aluminium pada penderita gagal ginjal. Kerugiannya yang utama adalah cara pemberiannya; biasanya 4 kali sehari, terutama pada ulkus lambung, serta tidak diberikan bersama antasida ataupun makanan (Setiawati 1992). Pada penggunaan jangka panjang alumunium dalam sukralfat dapat terakumulasi dalam otak dan tulang; penyebab kelemahan tulang (Anonim 2007c).
(43)
METODE PENELITIAN
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi Veteriner; Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi; Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Januari sampai Agustus 2007.
MATERI Hewan Coba
Gambar 4.Tikus laboratoriumdan keadaan kandangnya. Keterangan: a=air minum, b=tikus laboratorium dan c=pakan.
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan model adalah tikus putih Ratus norvegicus galur Sprague-Dawley sebanyak 30 ekor jantan dengan bobot badan awal 250 g dan umur 2 bulan. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 10 ekor kelompok perlakuan (sukralfat + AAS), 10 ekor kelompok kontrol positif (AAS) dan 10 kelompok kontrol negatif (plasebo). Sebelumnya hewan coba dilakukan adaptasi selama tiga minggu di Bagian Patologi FKH IPB.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Pada penelitian ini dipakai golongan obat OAINS yang tertua yaitu asam asetil salisilat (AAS) murni dengan dosis toksik 400 mg/tikus (LD50 1,5 g/kg pada
tikus) (Anonim 2007d).
a
c
(44)
Obat Sitoproteksi
Pada penelitian ini dipakai obat golongan sitoproteksi yang telah lama dikenal yaitu sukralfat dengan dosis 200 mg tiap tikus.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian antara lain 60 buah box plastik (kandang), 30 buah botol air minum, timbangan digital (Precisa 3000 D), 1 bungkus kantung plastik putih @1,2 kg, 1 bungkus kantung plastik hitam, 2 buah pinset besar, 1 buah teko air, 1 buah wadah aquades, 1 paket note book dan alat tulis, 1 paket sikat dan alat cuci piring, tissu gulung, 2 buah sonde lambung tikus (1,5 x 80 mm) Knopfkanüle 370144 buatan Jerman, syrinx 1 ml, gelas ukur 50 ml, preparat AAS dan sukralfat (PT. Pratapa Nirmala).
Alat nekropsi yang digunakan antara lain 1 paket alat bedah (gunting, scapel dan pinset), 1 gulung alumunium foil, jarum fiksator, 4 buah sterofom, kaca pembesar berlampu untuk pengamatan patologi anatomi, kantung kresek hitam, wadah plastik untuk jaringan dan kertas label, spidol waterproof permanen, larutan pengawet buffer neutral formaldehid (BNF) 10 %, NaCl fisiologis, alkohol 70 %, aquades, ether, 1 gulung kapas, tissue gulung, potongan kertas karton dan 1 paket stepler.
Bahan dan alat yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi antara lain pinset sirurgis, mikrotom, kaset jaringan, BNF 10 %, alkohol konsentrasi bertingkat (70 %, 80 %, 90 %, 95 % dan absolut), xylol, blok (cetakan), parafin, gelas objek, cover glass, inkubator, aquades, Hematoksilin-Eosin (HE), lithium karbonat, asam asetat 1%, periodic acid 1 %, Schiff reagent, air bisulfit dan perekat entelen. Sedangkan alat untuk pengamatan histopatologi antara lain mikroskop cahaya, video mikrometer, mikrometer dan counter.
PROSEDUR
Persiapan pakan dan adaptasi tikus
Sebelum tikus dipersiapkan untuk penelitian, dilakukan persiapan kebutuhan pakan berbentuk pelet (formulasi dan pembuatan pakan dilakukan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, IPB) dan dilakukan proses adaptasi dalam kandang. Pakan diirradiasi di Batan, Jakarta
(45)
dengan kekuatan 10 kg untuk sterilisasi. Kandang dan alas diganti dan dibersihkan setiap harinya. Selama penelitian berlangsung tikus diberi pakan pelet dan air minum ad libitium sesuai kebutuhan.
Tikus yang digunakan adalah tikus Non-spesifik Pathogen Free (NSPF), sehingga perlu dilakukan pre treatment sebelum penelitian, yaitu diberikan anthelmintica Albendazole® 5 % (Sanbe®) dengan dosis 10 mg/kg BB. Dosis tunggal diberikan sebanyak 2 kali dengan selang waktu 2 minggu. Selain itu diberi antibiotika Tertracyclin dengan dosis 500 mg/kg BB serta Fluconazole 50 mg/kg BB sebagai anti jamur yeast (khamir). Pemberian kedua obat tersebut dilakukan selama 3 hari, kemudian tikus diistirahatkan selama 6 hari agar residu obat hilang. Pre treatment diberikan dalam penelitian ini, mengingat, pada penelitian pendahuluan ditemukannya cacing pita, cryptococcus sp. dan bakteri sebagai penyebab gastritis superfisial.
Kelompok Kontrol Negatif
Tikus kelompok kontrol negatif (plasebo) hanya diberikan minuman aquades.
Kelompok Kontrol Positif
Tikus kelompok kontrol (+) diberikan AAS dengan dosis tunggal 400 mg/tikus selama 3 hari. Pemberian AAS dilakukan 1 kali sehari pada pagi hari.
Kelompok Perlakuan Sitoproteksi
Tikus kelompok perlakuan diberi sukralfat 3 jam sebelum pemberian AAS. Dosis sukralfat yang diberikan adalah 200 mg tiap tikus, sedangkan AAS dengan dosis tunggal 400 mg/tikus BB. Keduanya diberikan selama tiga hari, kemudian selama seminggu tikus perlakuan diberi sukralfat dengan dosis yang sama tanpa AAS. Pemberian sukralfat diikuti pemberian AAS dilakukan 1 kali sehari pada pagi hari.
Tahap Nekropsi Tikus
Setelah selesai pemberian sukralfat pada kelompok perlakuan, kemudian dilakukan euthanasia tikus menggunakan ether dalam anaerobic jar. Selanjutnya dilakukan nekropsi untuk melihat perubahan organ yang diamati secara patologis
(46)
anatomi (PA) dan pengambilan sample organ untuk pengamatan histopatologis (HP). Organ yang diambil sebagai sampel untuk pengamatan adalah lambung.
1. Teknik Nekropsi
Sebelum dimulai nekropsi, tikus diletakkan di atas stiroform beralas alumunium foil kemudian difiksasi ekstrimitasnya. Permukaan abdomen disemprot alkohol 70 % lalu dilakukannekropsi pada linea alba dengan membuka lapisan kulit, fascia, rongga abdomen dan selanjutnya dilakukan pemotongan otot abdomen sampai dengan di bawah diafragma (prosessus xyphoideus). Organ lambung diambil, kemudian diinsisi dan diamati perubahan patologis anatomisnya sebelum dimasukan ke dalam larutan BNF 10 % sampai proses berikutnya.
2. Trimming kasar organ dan prosesing jaringan
Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera dalam Gambar 2
dibawah ini:
Bagian lambung non-kelenjar : 3 potong Bagian fundus dan korpus : 4 potong
Bagian pilorus : 3 potong
Gambar 5. Teknik Potongan Lambung
Sebelum dilakukan tahap proses dehidrasi dan embedding, organ dipotong tipis berukuran 5 mm sesuai dengan bagian yang akan diamati yaitu bagian lambung non-kelenjar, fundus, korpus dan pilorus dengan potongan melintang terhadap kurvatura major. Potongan tipis organ kemudian dimasukan dalam tissue cassete dan dimasukan dalam tissue processor (SakuraTM, Japan) untuk proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat mulai dari 70 %, 80 %, 90 %, 95 %, 100% (absolut); diikuti clearing dengan larutan Xylene sebanyak 3 kali dan kemudian embedding menggunakan paraffin (ShendonTM, UK), kemudian jaringan diblok dalam paraffin cair yang memiliki titik leleh 56-57°C dengan dimasukan dalam mesin embedding tissue-tek (SakuraTM, Jepang). Blok kemudian dibiarkan mengeras.
(47)
3. Trimming halus organ
a. Blok yang sudah mengeras kemudian disimpan dalam refrigerator hingga akan dipotong menggunakan mikrotom setebal 5 µm (Spencer, USA). b. Hasil potongan mikrotom dibentangkan di atas permukaan air dengan suhu
40°C, diletakkan di atas gelas objek dan kemudian dikeringkan di udara terbuka.
c. Potongan organ di atas gelas objek ini diinkubasikan dalam alat inkubator (Memert, Jerman) dengan suhu 55°C selama semalam sebelum diwarnai. d. Pewarnaan menggunakan teknik pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
menurut metode Meyer dan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB).
PARAMETER PENGAMATAN
Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan video mikrometer. Parameter yang diamati antara lain adanya infiltrasi sel radang di tiap lapis lambung non kelenjar dan kelenjar, jumlah sel parietal dan chief, proliferasi sel goblet, keutuhan lapisan epitel penutup dan kerusakan mukosa berupa erosi dan/ulkus mukosa lambung. Pengamatan tersebut diatas dilakukan pada 10 lapang pandang dengan pembesaran 40× objektif dan 10× okuler.
DESAIN PENELITIAN
Penelitian mempergunakan tikus putih (plasebo, kontrol (+) dan perlakuan). Tikus perlakuan mendapat sukralfat dosis 200 mg tiap tikus, kemudian setelah tiga jam diberi AAS dengan dosis tunggal 400 mg/tikus, selama 3 hari (1 kali sehari). Kemudian tikus perlakuan diberikan sukralfat selama 6 hari dengan dosis 200 mg tiap tikus. Tikus kontrol (+) diberi AAS dengan dosis 400 mg/tikus selama 3 hari. Sedangkan tikus plasebo hanya diberikan aquades. Obat sukralfat dan AAS diberikan secara oral dengan sonde lambung. Nekropsi dari kelompok plasebo dan kontrol (+) dilakukan setelah 3 hari pemberian AAS pada kelompok kontrol (+). Nekropsi kelompok perlakuan setelah seminggu pemberian sukralfat. Organ lambung dikoleksi sebagai bahan untuk pemeriksaan histopatologi (HP).
(48)
Gambar 6. Bagan skematis desain penelitian
ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini akan diperoleh data dalam bentuk foto bergambar (kualitatif), angka hasil perhitungan (kuantitatif) dan grafik persentase dari nilai skoring perubahan HP dari organ. Nilai data kuantitatif dikemukakan dalam bentuk Mean ± Standar Deviation, dan dilanjutkan dengan Duncan test untuk membandingkan kedua kelompok. Kebermaknaan dalam perbedaan hasil didapatkandengan metode one-way ANOVA untuk menilai multi kelompok. Nilai p<0,05, ditetapkan hasilnya bermakna atau signifikan berbeda nyata.
Tikus (30 ekor )
Kontrol (-) Kontrol (+) Perlakuan
Sitoproteksi
Nekropsi Tikus
tanpa perlakuan hanya diberi
Aquadest
ASA 400 mg/tikus (3 hari)
Sukralfat 200 mg/tikus + ASA 400 mg/tikus (3 hari)
Sukralfat 200 mg/tikus (6 hari)
(49)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus laboratorium (Rattus norvegicus) jantan dewasa (Gambar 4). Tikus laboratorium memiliki daya adaptasi yang baik dan besar terhadap lingkungan sehingga cocok sebagai model dari berbagai penelitian; khususnya patofisiologi dan farmakologi (Smith dan Mangkoewidjojo 1987; Stevens and Hume 1996). Penggunaan jenis kelamin jantan karena ratio kejadian gastritis pada jantan dan betina adalah 1:1, ratio kejadian Peptic Ulcer Disease (PUD) pada jantan dan betina adalah 2:1 (Shayne 2006), serta untuk menghindari adanya faktor hormonal (siklus estrus) pada hewan betina.
Telford dan Bridgman (1995) menyatakan bahwa mamalia memiliki empat regio pada lambung kelenjarnya, yaitu kardiak, fundus, korpus dan pilorus. Stevens and Hume (1996) menambahkan bahwa pada lambung tikus terdapat regio tambahan sebelum kardiak, yaitu nonglandular stratified squamous epithelium. Semua bagian lambung, baik lambung non-kelenjar maupun kelenjar akan dibahas berdasarkan parameter uji secara kualitatif, kuantitatif dan persentase, kecuali regio kardiak. Kelenjar kardiak sedikit jumlahnya karena luas regio kardiak yang sangat kecil pada organ lambung tikus (Telford dan Bridgman 1995). Keadaan ini yang mengakibatkan sulitnya mengamati regio kardiak berdasarkan parameter uji dalam penelitian, sehingga bagian lambung kelenjar diwakili oleh regio fundus, korpus dan pilorus.
Menurut Wilson dan Lesser (1994) serta Chisholm (1998), terdapat tiga fase pelepasan asam HCl yang menyebabkan suasana asam dalam lumen lambung yaitu cephalic, gastric, dan intestine. Cephalik adalah fase produksi asam hidroklorida yang dimulai bahkan sebelum makanan masuk ke dalam lambung karena adanya induksi pada syaraf vagus. Dunlop dan Charles (2004) menyatakan bahwa suasana lambung basa (alkalosis) selalu berhubungan dengan ketidakseimbangan diet, tidak adanya makanan yang masuk ke dalam lambung dan hilangnya periode transit makanan dalam lambung. Sekresi lambung normal dalam keadaan puasa atau lambung kosong terutama terdiri dari mukus; dan hanya sedikit asam (1-5 mEq/jam) dan pepsin (Wilson dan Lesser 1994). Penelitian ini menggunakan sukralfat sebagai obat sitoproteksi dosis 200 mg/tikus dalam
(50)
menghambat gastritis yang diinduksi oleh OAINS berupa asam asetil salisilat (AAS) dosis 400 mg/tikus.
PENGARUH SUKRALFAT PADA LAPISAN MUKUS
Lambung normal memiliki faktor protektif atau defensif penting seperti sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa, faktor pertumbuhan sel epitel dan prostaglandin (Julius 1992; Chisholm 1998). Mukus atau lendir dapat disekresikan oleh sel leher (mucous neck cell) dan sel goblet. Mukus tersebut menutupi lumen lambung yang berfungsi sebagai proteksi pre-epitelial (Malik 1992; Chisholm 1998). Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa antara lain pelicin/barier dari kerusakan mekanis (Wilson dan Lesser 1994), barier terhadap asam, barier terhadap pepsin, pertahanan terhadap organisme patogen dan senyawa-senyawa berbahaya (Julius 1992), menjaga pH antara sel permukaan dan neutralisasi difusi kembali ion H+ (Setiawati 1992).
Lesi mukosa yang terjadi akibat OAINS, dapat dinilai dari ketahanan mukosa lambung, yang dimulai dari mukus, baik ketebalan maupun kualitas mukus, struktur epitel serta kemampuan reparasi epitel. Menurut Wallace et al. (1995) dan Halter et al. (2001), kontak langsung obat dengan epitel mukosa lambung akan terjadi bila lapisan mukus yang merupakan pertahanan terdepan tidak berfungsi dengan baik. Fungsi mukus ini akan dipengaruhi oleh ketebalan dan kualitas mukus. Ketebalan mukus akan berhubungan erat dengan aktifitas sel goblet sebagai penghasil mukus. Gangguan dari fungsi mukus akan menyebabkan penetrasi obat akan mencapai epitel lambung. Reaksi epitel terhadap terjadinya kontak langsung dengan obat dapat digambarkan dengan meningkatnya growth factor, meningkatnya infiltrasi granulosit dan peningkatan proliferasi seluler.Pada hewan coba yang diberi aspirin atau indometasin terjadi kerusakan mukosa lambung disertai berkurangnya glikoprotein mukus dan hipersekresi asam lambung. Terjadinya hipersekresi asam lambung dan pepsin atau berkurangnya mikrosirkulasi dari lambung menjadi penyebab utama timbulnya lesi mukosa lambung (Nadi 1992). Asam asetil salisilat (AAS) adalah bahan yang sangat kuat menembus barier musin dan efektif dalam konsentrasi rendah sekalipun (Malik 1992).
(51)
Tabel 3. Rataan jumlah sel goblet pada lambung kelenjar regio fundus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol
Kelompok Lambung Kelenjar
Regio Fundus Regio Pilorus
Plasebo 11,890±6,104a*) 11,680±4,509a
Kontrol (+) 18,510±10,032 b 17,180±9,734a
Perlakuan 27,110±3,760c 27,630±4,038b
*) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
20.7 32.2 47.1 20.7 30.4 48.9 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0
Plasebo Kontrol (+) Perlakuan
Kelompok % S e l go bl e t Fundus Pilorus
*) Superskrip yang berbeda pada regio yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05) Gambar 7. Histogram persentase sel goblet pada lambung kelenjar regio fundus
dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol Keterangan : Plasebo : diberi aquades
Kontrol (+) : diberi AAS dosis 400 mg/tikus
Perlakuan : diberi kombinasi sukralfat dosis 200 mg/tikus dan AAS dosis 400 mg/tikus
Persentase jumlah sel goblet di regio fundus dan pilorus kelompok kontrol (+) lebih besar dari plasebo, sedangkan kelompok perlakuan lebih besar dari kontrol (+) (Tabel 3 dan gambar 7). Walaupun nilai sel goblet regio pilorus kelompok kontrol (+) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan plasebo, tetapi ada peningkatan jumlah sel goblet dari kelompok kontrol (+). Menurut Atuma (2000) sel goblet dapat meningkat jumlahnya dengan proses proliferasi dan metaplasia bila mukosa saluran pencernaan mengalami sakit atau inflamasi. Proliferasi sel goblet pada kelompok kontrol (+) diperlukan untuk meningkatkan sekresi mukus guna melindungi mukosa dari agen ulcerogenik AAS, tetapi AAS dapat menyebabkan perubahan kualitatif mukus (pengurangan glikoprotein) lambung yang dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin (Wilson dan Lesser 1994). a*) a b c b a
(52)
Gambar 8. Gambaran histopatologi proliferasi sel goblet di lambung kelenjar. Keterangan: (A) plasebo regio fundus, (B) plasebo regio pilorus, (C)kontrol (+) regio fundus, (D) kontrol (+) regio pilorus, (E) perlakuan regio fundus dan (F) perlakuan regio pilorus; a=sel goblet, ab=proliferasi sel goblet, c=mukus. Pewarnaan PAS perbesaran 100x. Bar 2µm.
A
E
F
B
a
a
c
ab
ab
ab
ab
D
C
ab
c
(1)
Duncan test
EpitelSubset for alpha = .05 KELOMPO
K
N 1 2
- 10 35.8000
P 10 37.1600
+ 10 63.4000
Sig. .882 1.000
Lamina muskularis
Subset for alpha = .05 KELOMPO
K
N 1 2
- 10 23.7000
+ 10 36.0800
P 10 41.8300
Sig. 1.000 .339
Sub mukosa
KELOMP
OK N Subset for alpha = .05
1 2
- 10 15.8500
+ 10 35.1500
P 10 44.2100
Sig. 1.000 .255
Tunika muskularis
Subset for alpha = .05 KELOMP
OK
N 1 2
- 10 1.2000 P 10 1.8900
+ 10 4.1400
Sig. .466 1.000
Serosa
Subset for alpha =
.05 KELOMPOK N
1
- 10 .9300
P 10 1.1700
+ 10 2.1900
Sig. .400
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
(2)
Lampiran 7. Olahan Data Sel Radang di Regio Pilorus
Descriptives
95% Confidence Interval for Mean Lapisan
lambung
Kel. N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minim um
Maxi mum
+ 10 68.2000 27.17834 8.59455 48.7578 87.6422 29.60 134.60
- 10 45.4300 29.32447 9.27321 24.4525 66.4075 20.80 114.10
Epitel
P 10 46.9700 9.85867 3.11759 39.9175 54.0225 32.50 63.20
Total 30 53.5333 25.25767 4.61140 44.1020 62.9647 20.80 134.60
+ 10 36.7300 9.22822 2.91822 30.1285 43.3315 22.90 51.20
- 10 25.7100 5.97392 1.88912 21.4365 29.9835 13.10 32.00
Lamina muscular
is P 10 35.5400 10.82869 3.42433 27.7936 43.2864 22.20 60.10
Total 30 32.6600 9.95610 1.81773 28.9423 36.3777 13.10 60.10
+ 10 32.3500 11.67840 3.69303 23.9958 40.7042 16.50 52.60
- 10 17.8700 9.34476 2.95507 11.1852 24.5548 7.00 37.00
Sub mukosa
P 10 48.0600 13.39794 4.23680 38.4757 57.6443 21.70 69.80
Total 30 32.7600 16.80377 3.06793 26.4854 39.0346 7.00 69.80
+ 10 4.2300 3.08979 .97708 2.0197 6.4403 .80 9.30
- 10 .4600 .62574 .19788 .0124 .9076 .00 1.60
Tunika muscular
is P 10 2.8100 4.08859 1.29293 -.1148 5.7348 .00 11.90
Total 30 2.5000 3.28214 .59923 1.2744 3.7256 .00 11.90
+ 10 11.4700 21.54092 6.81184 -3.9394 26.8794 .00 72.00
- 10 .4800 .57116 .18062 .0714 .8886 .00 1.50
Serosa
P 10 7.7000 12.22756 3.86670 -1.0471 16.4471 .00 28.20
Total 30 6.5500 14.56069 2.65841 1.1129 11.9871 .00 72.00
Test of Homogeneity of Variances
Lapisan Lambung Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Epitel 1.617 2 27 .217
Lamina muskularis .916 2 27 .412
Sub mukosa .484 2 27 .622
Tunika muskularis 8.075 2 27 .002
Serosa 3.774 2 27 .036
ANOVA
Lapisan Lambung
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig. Epitel Between Groups 3238.525 2 1619.262 2.865 .074
Within Groups 15262.022 27 565.260
Total 18500.547 29
Lamina muskularis
Between Groups
731.618 2 365.809 4.609 .019
Within Groups 2142.974 27 79.369
Total 2874.592 29
Sub mukosa Between Groups 4559.702 2 2279.851 16.963 .000
Within Groups 3628.930 27 134.405
Total 8188.632 29
Tunika muskularis
Between Groups
72.506 2 36.253 4.080 .028
Within Groups 239.894 27 8.885
(3)
Duncan test
EpitelSubset for alpha =
.05 KELOMPOK
N 1
- 10 45.4300
P 10 46.9700
+ 10 68.2000
Sig. .051
Lamina muskularis
Subset for alpha = .05 KELOMP
OK
N 1 2
- 10 25.7100
P 10 35.5400
+ 10 36.7300
Sig. 1.000 .767
Sub mukosa
Subset for alpha = .05 KELO
MPOK N
1 2 3
- 10 17.870 0
+ 10 32.350 0
P 10 48.060
0 Sig. 1.000 1.000 1.000
Tunika muskularis
Subset for alpha = .05 KELOMPO
K
N 1 2
- 10 .4600
P 10 2.8100 2.8100
+ 10 4.2300
Sig. .089 .296
Serosa
Subset for alpha =
.05 KELOMPOK N
1
- 10 .4800
P 10 7.7000
+ 10 11.4700
Sig. .115
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
(4)
Lampiran 8. Olahan Data Sel parietal dan sel chief di Lambung Kelenjar
Descriptives
95% Confidence Interval for Mean Sel Kel. N Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minim um
Maxi mum
+ 10 199.0900 41.38114 13.08587 169.4877 228.6923 134.10 276.70
- 10 239.8100 41.67630 13.17920 209.9966 269.6234 165.80 290.40
Fundus red cell
P 10 243.6500 48.99443 15.49340 208.6015 278.6985 174.10 313.10
Total 30 227.5167 47.28591 8.63319 209.8598 245.1735 134.10 313.10
+ 10 254.2300 59.66322 18.86717 211.5495 296.9105 185.20 387.10
- 10 277.1300 98.17297 31.04502 206.9013 347.3587 163.70 462.60
Fundus blue cell
P 10 304.8100 40.55861 12.82576 275.7961 333.8239 244.70 374.50
Total 30 278.7233 71.05448 12.97271 252.1912 305.2555 163.70 462.60
+ 10 7.1400 3.49132 1.10405 4.6425 9.6375 2.20 14.40
- 10 8.3100 5.91090 1.86919 4.0816 12.5384 2.00 19.30
Pylorus red cell
P 10 13.1500 10.35881 3.27574 5.7398 20.5602 .00 29.70
Total 30 9.5333 7.41142 1.35313 6.7659 12.3008 .00 29.70
+ 10 322.9500 55.14156 17.43729 283.5041 362.3959 202.00 394.80
- 10 316.5500 81.86630 25.88840 257.9864 375.1136 214.20 486.90
Pylorus blue cell
P 10 323.6900 56.34080 17.81652 283.3862 363.9938 204.80 391.00
Total 30 321.0633 63.39831 11.57489 297.3900 344.7366 202.00 486.90
Test of Homogeneity of Variances
Sel
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Fundus red cell .447 2 27 .645
Fundus blue cell 2.886 2 27 .073
Pylorus red cell 4.848 2 27 .016
Pylorus blue cell .977 2 27 .389
ANOVA
Sel
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 12194.859 2 6097.429 3.127 .060
Fundus red cell
Within Groups 52647.903 27 1949.922
Total 64842.762 29
Between
Groups 12829.763 2 6414.881 1.297 .290
Fundus blue cell Within Groups 133583.691 27 4947.544
Total 146413.454 29
Between
Groups 203.049 2 101.524 1.972 .159
Pylorus red cell Within Groups 1389.898 27 51.478
Total 1592.947 29
Between
Groups 308.291 2 154.145 .036 .965
Pylorus blue cell
Within Groups 116252.719 27 4305.656
(5)
Duncan test
Fundus red celllSubset for alpha = .05 KELOMP
OK N
1 2
+ 10 199.0900
- 10 239.8100
P 10 243.6500
Sig. 1.000 .847
Fundus blue cell
Subset for alpha =
.05 KELOMPOK N
1
+ 10 254.2300
- 10 277.1300
P 10 304.8100
Sig. .140
Pylorus red cell
Subset for alpha = .05 KELOMPO
K
N
1
+ 10 7.1400
- 10 8.3100
P 10 13.1500
Sig. .087
Pylorus blue cell
Subset for alpha = .05 KELOMPO
K N
1
- 10 316.5500
+ 10 322.9500
P 10 323.6900
Sig. .821
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
(6)
Lampiran 9. Olahan Data Sel Goblet di Lambung Kelenjar
Descriptives
95% Confidence Interval for Mean Sel Kel. N Mean
Std. Deviatio
n
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minim um
Maxim um
+ 10 18.5100 10.03211 3.17243 11.3335 25.6865 6.50 38.70
- 10 11.8900 6.10381 1.93020 7.5236 16.2564 4.80 24.80
Sel goblet
fundus P 10 27.1100 3.75957 1.18888 24.4206 29.7994 20.60 33.00 Total 30 19.1700 9.34600 1.70634 15.6801 22.6599 4.80 38.70
+ 10 17.1800 9.73388 3.07812 10.2168 24.1432 7.70 36.70
- 10 11.6800 4.50871 1.42578 8.4547 14.9053 5.80 21.50
Sel goblet
pilorus P 10 27.6300 4.03761 1.27681 24.7417 30.5183 19.50 34.10 Total 30 18.8300 9.27597 1.69355 15.3663 22.2937 5.80 36.70
Test of Homogeneity of Variances
Sel
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Sel goblet fundus 2.343 2 27 .115
Sel goblet pilorus 3.924 2 27 .032
ANOVA
Sel
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 1164.776 2 582.388 11.492 .000
Within Groups 1368.307 27 50.678
Sel goblet fundus
Total 2533.083 29
Between
Groups 1312.850 2 656.425 14.989 .000
Within Groups 1182.413 27 43.793
Sel goblet pilorus
Total 2495.263 29
Duncan Test
Sel goblet fundusKELOM
POK N Subset for alpha = .05
1 2 3
- 10 11.890 0
+ 10 18.510 0
P 10 27.110
0 Sig. 1.000 1.000 1.000
Sel goblet pilorus
KELOMPOK N
Subset for alpha = .05
1 2
- 10 11.6800 + 10 17.1800
P 10 27.6300
Sig. .074 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.