KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA INSISI YANG DIBERI AMOKSISILIN DAN ASAM MEFENAMAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus).

(1)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

Gambar 2. Gambar 3.

Gambar 4.

Gambar 5.

Gambar 6.

Gejala Peradangan……….. Kerangka Konsep.……... Gambaran histopatologis kulit tikus putih kelompok I pada hari ke- 7 (No. 1) dan hari ke- 14 (No. 2). Terlihat adanya proliferasi fibroblas (A), infiltrasi sel radang (B), neovaskularisasi (anak panah) dan sel epitel belum terbentuk

(H&E, 40x.)……….

Gambaran histopatologis kulit tikus putih kelompok I pada hari ke- 7 (No. 1) dan hari ke- 14 (No. 2) Terlihat adanya proliferasi fibroblas (A), infiltrasi sel radang (B) dan neovaskularisasi (tanda panah) (H&E, 400x.)……… Gambaran histopatologis kulit tikus putih kelompok II pada hari ke 7 (No. 1) dan Hari ke- 14 (No.2). Terlihat adanya proliferasi fibroblas (A), infiltrasi sel radang (B), neovaskularisasi (anak panah) (H&E, 40x.)………... Gambaran histopatologis kulit tikus putih kelompok II pada hari ke- 7 (No. 1) dan hari ke- 14 (No. 2). Terlihat adanya proliferasi fibroblas (A), infiltrasi sel radang (B) dan neovaskularisasi (tanda panah) (H&E, 400x.)………

14 19

31

32

32


(2)

ix

DAFTAR ISI

Halaman JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

RIWAYAT HIDUP……….. ABSTRAK………. ABSTRACT……….. UCAPAN TERIMA KASIH……… DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL…..... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... 1.2 Rumusan Masalah... 1.3 Tujuan Penelitian... 1.4 Manfaat Penelitian...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit………. 2.1.1 Lapisan epidermis………... 2.1.2 Lapisan dermis………... 2.1.3 Lapisan subkutis (hipodermis)……….. 2.2 Luka………... 2.2.1 Kesembuhan luka…………... 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka... 2.3 Inflamasi (Peradangan)... 2.3.1 Mediator peradangan... 2.3.2 Gejala peradangan... 2.4 Asam Mefenamat………... 2.5 Antibiotik Amoksisilin………... 2.6 Tikus Putih (Rattus norvegicus)………...……….. 2.7 Kerangka Konsep……….. 2.8 Hipotesis... BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Materi Penelitian……….. 3.1.1 Hewan percobaan………... 3.1.2 Bahan dan obat ………... 3.1.3 Alat penelitian...

i ii iii iv vi viii ix x 1 2 2 2 3 3 5 5 6 7 10 11 12 13 14 15 16 17 19 20 20 20 20


(3)

x

3.2 Metode Penelitian……….. 3.2.1 Perlakuan pada tikus……….…… 3.2.2 Pembuatan preparat mikroskopik………..………… 3.2.3 Prosedur pewarnaan harris hematoksilin-eosin………. 3.2.4 Standarisasi pemeriksaan preparat mikroskopik……… 3.3 Rancangan penelitian... 3.4 Variabel Penelitian... 3.4.1 Variabel kendali………... 3.4.2 Variabel bebas………... 3.4.3 Variabel tergantung... 3.5 Cara Pengumpulan Data………. 3.6 Analisis Data... 3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian………. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengamatan Makroskopis……….. 4.2 Pengamatan Histopatologis... 4.3 Pengujian Hipotesis………...

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan... 5.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 21 21 21 22 23 23 23 23 23 23 24 24 25 26 30 35 37 37 38 43


(4)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1.

Lampiran 2.

Lampiran 3.

Lampiran 4.

Lampiran 5.

Lampiran 6.

Skoring hasil pengamatan mikroskopis terhadap sel epitel, sel radang dan jaringan kolagen pada tikus putih jantan... Hasil uji statistik tanda kemerahan (Pemeriksaan Makroskopis) dengan menggunakan piranti SPSS 16.0... Hasil uji statistik tanda kebengkakan (Pemeriksaan Makroskopis) dengan menggunakan piranti SPSS 16.0... Hasil uji statistik tanda kebengkakan (Pemeriksaan Makroskopis) dengan menggunakan piranti SPSS 16.0... Hasil pemeriksaan histopatologis kulit tikus terhadap sel epitel, sel radang dan jaringan kolagen pada hari ketujuh dengan menggunakan piranti SPSS 16.0... Hasil pemeriksaan histopatologis kulit tikus terhadap sel epitel, sel radang dan jaringan kolagen pada hari keempatbelas dengan menggunakan piranti SPSS 16.0...

43

44

50

56

63


(5)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.

Tabel 2.

Hasil Pemeriksaan Makroskopis Tikus Putih Jantan ... Rerata Sel Epitel, Sel Radang dan Jaringan Kolagen Tikus Jantan Pada Hari Ketujuh dan Hari Keempatbelas...

26


(6)

xiii

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh, kami berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.

Ditetapkan di Denpasar, tanggal :

Panitia Penguji :

Drh. AA Gde Jaya Wardhita, M.Kes Ketua

Drh. I Gusti Agung Putra Pemayun, MP. Dr. drh. I Ketut Anom Dada, M.S

Sekretaris Anggota

Drh. I Wayan Gorda. M.Kes Drh. Luh Made Sudimartini, M.Sc


(7)

xiv

KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA INSISI YANG DIBERI AMOKSISILIN DAN ASAM MEFENAMAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus

norvegicus)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Diajukan oleh

I WAYAN FANDHI WIBAWA LOSTAPA NIM. 1009005031

Menyetujui/Mengesahkan

Pembimbing I Pembimbing II

Drh. AA Gde Jaya Wardhita, M.Kes Drh. I G A Putra Pemayun, MP.

NIP. 19600201 198702 1 002 NIP. 19610612 198903 1 004

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

DEKAN

Dr. drh. I Nyoman Adi Suratma, M.P. NIP. 19600305 198703 1 001


(8)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Timor Timur, tepatnya kota Lospalos pada tanggal 16 November 1992. Penulis merupakan putra pertama pasangan I Made Sukana, S.P. dan Ni Ketut Sari.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD 3 Antosari pada tahun 1998, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Selemadeg pada tahun 2007 dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Selemadeg pada tahun 2010.

Penulis kemudian diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada tahun 2010. Selanjutnya penulis melakukan penelitian di Laboratorium Bedah Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana tentang “Kecepatan Kesembuhan Luka Insisi Yang Diberi Amoksisilin Dan Asam Mefenamat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.KH) pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.


(9)

xvi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Kecepatan Kesembuhan Luka Insisi yang Diberi Amoksisilin Dan Asam Mefenamat pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)” tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menerima banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. drh. I Nyoman Adi Suratma, M.P., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

2. Drh. Anak Agung Gde Jaya Wardhita, M.Kes. sebagai pembimbing I dan drh. I Gusti Agung Putra Pemayun, M.P. sebagai pembimbing II, yang tidak henti-hentinya memberikan tuntunan, dukungan, kesempatan dan kepercayaan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Dr. drh. I Ketut Anom Dada, M.S, drh. I Made Kardena, MVS., dan drh. Luh Made Sudimartini, M.Sc., selaku dosen penguji, yang telah memberikan tuntunan dan saran-saran dalam penyusunan skripsi ini. 4. Dr. drh. I Ketut Anom Dada, M.S selaku Direktur Rumah Sakit Hewan

Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan para staf lainnya atas dukungan dan bantuan serta fasilitas selama penelitian berlangsung.


(10)

xvii

5. Keluarga tercinta Bapak I Made Sukana, SP., Ibu Ni Ketut Sari, dan adik tercinta I Kadek Restu Bharata Lostapa yang selalu memberikan doa dan dukungan semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

6. Teman – teman satu perjuangan Andriana, Laura, Enco dan Egar yang telah berjuang bersama – sama dalam penelitian.

7. Kepada P. Vindhy Chempaka Putri yang selalu memberikan semangat dan bantuan serta doa kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat penulis Arya Upadana, Komang Juanda Rasmana, Agung Winata Sindhu, Angga Caka dan teman-teman angkatan 2010 lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu atas kerjasamanya selama ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih belum sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Februari 2015


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Luka didefinisikan suatu kerusakan integritas epitel dari kulit (Brown, 2004) atau definisi yang lain terputusnya kesatuan struktur anatomi normal dari suatu jaringan akibat suatu trauma atau rusaknya sebagian jaringan tubuh (Enoch dan Price, 2007). Berdasarkan kedalaman dan luasnya, maka luka terbagi atas luka superficial, luka partial thickness, luka full thickness tidak mengenai otot, luka full thickness mengenai otot dan tendon serta tulang. Setiap terjadi luka tubuh secara alami mengembalikan komponen jaringan yang rusak dengan membentuk struktur baru. Luka bisa terjadi karena berbagai hal diantaranya trauma benda tajam atau tumpul, tertabrak, jatuh atau gigitan dari hewan.

Kesembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan saling berhubungan, dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi jaringan yang rusak kembali seperti normal atau mendekati normal. Kesembuhan luka melibatkan proses seluler, fisiologis, biokemis dan molekuler yang menghasilkan pembentukan jaringan parut dan perbaikan dari jaringan ikat (Cockbill, 2002). Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh (Ingold, 1993). Terdapat tiga fase dalam proses kesembuhan luka, yaitu fase inflamatori, fase proliferasi dan fase remodeling (Fishman, 2010). Pengetahuan tentang tahap-tahap dalam kesembuhan luka mempunyai arti penting bagi para praktisi, sehingga luka yang terjadi pada pasien dapat diatasi secara tepat dan efektif (Gabriel dan Mussman, 2009).

Tujuan dari penanganan luka adalah untuk menyembuhkan luka lebih cepat dengan meminimalkan rasa sakit, bekas luka, dan ketidaknyamanan pada pasien. Untuk mempercepat kesembuhan luka pasca operasi, disamping pemberian antibiotika juga diberi anti radang dan analgesika. Salah satu antibiotika yang digunakan adalah amoksisilin sedangkan obat antiradang yang umum digunakan di masyarakat adalah asam mefenamat.


(12)

2

Asam mefenamat merupakan obat antiinflamasi golongan non steroid yang mempunyai khasiat sebagai analgetik dan antiinflamasi. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer (Goodman, 2007). Sampai saat ini, asam mefenamat digunakan sebagai analgesik dan anti radang pasca operasi di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali (RSH FKH ) dan belum ada penelitian mengenai kecepatan kesembuhan luka pada tikus pasca pemberian amoksisilin yang dikombinasikan dengan asam mefenamat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai kecepatan kesembuhan luka pada tikus pasca pemberian amoksisilin yang dikombinasikan dengan asam mefenamat.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka diperoleh rumusan masalah, bagaimana kecepatan kesembuhan luka insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberikan obat asam mefenamat.

1.3Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui waktu kesembuhan luka insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberikan obat asam mefenamat ditinjau dari gambaran makroskopik dan mikroskopik.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi kalangan praktisi bedah dalam praktek sehari-hari, dimana praktisi dapat mengetahui kecepatan kesembuhan luka insisi yang diberi obat asam mefenamat pascaoperasi.


(13)

viii


(14)

viii BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Integumentum atau kulit merupakan organ tebesar dalam tubuh yang memenuhi sekitar 1,8 m2 dari seluruh permukaan tubuh dan mempunyai berat

sekitar 16% dari total berat badan (Marino, 2006). Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur jenis kelamin, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Tortora dan Derrickson, 2009). Karena kulit berhubungan langsung dengan lingkungan luar, maka kulit memiliki 4 fungsi yang penting bagi tubuh, antara lain : 1) Menahan atau mempertahankan kelembaban dan mencegah hilangnya molekul-molekul yang penting bagi tubuh, 2) Mengatur suhu tubuh dan tekanan darah, 3) Melindungi tubuh dari mikroba-mikroba maupun pengaruh yang berbahaya dari luar seperti sinar ultraviolet ataupun agen toksik dan 4) Sebagai organ sensoris atau reseptor sensoris dari rasa sakit (nyeri), sentuhan, tekanan dan suhu (Gordon, 2010).

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak (Tortora dan Derrickson, 2009).

2.1.1 Lapisan epidermis

Epidermis merupakan bagian terluar yang paling tipis, tersusun atas beberapa lapis epithel squamous dan berasal dari ektoderm (Bucks, 2008). Epidermis berperan sebagai penyangga atau barier fisik yang mencegah hilangnya cairan tubuh dan mencegah masuknya berbagai substansi maupun organisme ke dalam tubuh (Yung, 2007). Regenerasi sel-sel kulit akan terus terjadi akibat pengikisan sel-sel luar dan akan diganti sel-sel lain yang matang dan bergerak ke atas untuk menggantikan sel-sel yang rusak tersebut (Muller et al., 2001). Lapisan epidermis terdiri dari 4 macam sel utama yaitu, Keratinosit yang merupakan sel


(15)

ix

kulit itu sendiri, Melanosit yang merupakan sel penghasil pigmen, sel langerhans yang merupakan sel imun dan sel merkel yang biasa banyak ditemukan pada ujung jari ataupun bibir. Keratinosit akan terdiferensiasi dan mengakumulasi keratin saat bergerak menuju ke arah luar, dan gugur atau rontok membentuk 4 lapisan (Yung, 2007).

Lapisan epidermis terdiri dari 4 lapisan yaitu stratum korneum yang merupakan lapisan pemisah (barier), stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basalis (Bucks, 2008). Stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri dari atas beberapa sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk) (Djuanda, 2003). Keratin yang terkandung dalam sel-sel tersebut juga berfungsi dalam menyerap air sehingga kulit akan menjadi lembab (Timmons, 2006).

Pada stratum granulosum, sel akan semakin pipih, inti sel akan menghilang dan akan tampak adanya granulasi pada sitoplasma (Marino, 2006). Sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin (Djuanda, 2003). Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jermih karena banyak mengandung glikogen dan inti terletak di tengah-tengah. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans (Djuanda, 2003). Sel tersebut berperan dalam reaksi imun kulit yaitu sebagai antigen-presenting cell (Gawkrodger, 2002). Sel Langerhans memecah alergen menjadi bentuk yang lebih kecil dan bermigrasi dari epidermis ke dalam dermis, hingga mencapai pembuluh darah dan mengekspresikan alergen terhadap sel imun (limfosit) yang kemudian akan menginisiasi reaksi imun untuk menghancurkan materi-materi asing dan menstimulasi proliferasi limfosit untuk mengenali atau mememori alergen (Yung, 2007).

Stratum basalis merupakan lapisan terdalam dari epidermis yang berdekatan dengan dermis dan terdiri dari keratinosit yang belum maupun yang sudah membelah serta menempel pada membrana basalis melalui hemidesmosom (Marino, 2006). Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu


(16)

x

dengan lain oleh jembatan antar sel dan sel pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosom) (Djuanda, 2003).

2.1.2 Lapisan dermis

Lapisan dermis terletak di profundal epidermis, mengambil posisi terbesar dari integument dan menjadi pembentuk struktur kulit serta menjadi penyokong lapisan kulit diatasnya (Muller et al., 2001). Selain menyokong epidermis secara struktural, dermis juga menyediakan nutrisi untuk lapisan epidermis (Timmons, 2006). Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut (Djuanda, 2003). Secara garis besar lapisan dermis terdiri dari 2 lapisan utama yaitu 1) Lapisan papilar yang tipis yang berbatasan dengan epidermis serta membentuk dermal papillae (Muller et al., 2001) yang berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah (Djuanda, 2003) dan 2) Lapisan retikuler yang lebih tebal (Muller et al., 2001) yang terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin dan retikulin (Djuanda, 2003). Serat-serat yang terkandung dalam lapisan dermis berfungsi dalam menjaga elastisitas kulit dan kekuatan tensil dermis itu sendiri untuk mencegah dari kerusakan akibat faktor mekanik (Timmons, 2006).

2.1.3 Lapisan subkutis (hipodermis)

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah (Djuanda, 2003). Lapisan ini dapat digunakan untuk mengestimasi total lemak tubuh dengan cara mengukur ketebalan lipatan kulit, selain itu lapisan ini merupakan area dimana injeksi subkutan biasanya dilakukan. Tipe sel-sel utama pada lapisan hipodermis ini antara lain fibroblast, sel adiposa dan makrofag serta ikut mensuplai pembuluh darah maupun syaraf (Seeley, 2004).

Trauma jaringan atau kulit akibat perlakuan mekanik seperti jahitan operasi ataupun karena agen kimia dapat menyebabkan terjadinya luka,


(17)

xi

memperburuk kejadian luka, memperbesar ukuran luka, memperlambat kesembuhan luka bahkan membahayakan hidup dari penderitanya sehingga sangat penting untuk diperhatikan dari segi penanganannya (Cutting, 2008). Kulit yang terdiri dari beberapa lapisan dan perbedaan ketebalan tersebut, menyebabkan proses kesembuhan yang berbeda-beda bila terjadi luka pada tiap lapisannya, misalnya pada daerah kulit yang tebal dan hanya pada bagian epidermis yang mengalami luka, maka hanya permukaan epidermisnya saja yang perlu diperbaiki dan sel-sel epithel progenitor (sel yang lama) akan tetap utuh ada dibawah luka sehingga deposisi dan sintesis kolagen tidak diperlukan (Stroncek et al., 2008). Lain halnya bila membrana basalis mengalami kerusakan pada daerah kulit yang tebal dan sebagian besar lapisan dermis hilang atau rusak, maka kesembuhan luka tidak dapat hanya dicapai melalui reepithelialisasi saja, tetapi diperlukan produksi matriks ekstraseluler dari fibroblast yang bermigrasi ke daerah luka (Martin, 2007).

2.2 Luka

Luka didefinisikan suatu kerusakan integritas epithel dari kulit (Brown, 2004) atau definisi yang lain terputusnya kesatuan struktur anatomi normal dari suatu jaringan akibat suatu trauma atau rusaknya sebagian jaringan tubuh (Enoch dan Price, 2007). Menurut Pemayun et al. (2009), secara umum luka dibedakan menjadi dua, yaitu luka terbuka (vulnus apertum) dimana pada luka ini kulit yang rusak melampaui tebalnya kulit dan luka tertutup (vulnus occlusum) dimana luka yang terjadi tidak melampaui tebalnya kulit (epidermis dan dermis). Luka terbuka dibagi atas beberapa macam, meliputi : a) luka tajam yaitu luka oleh benda tajam dengan ciri-ciri tepi luka licin, tidak terdapat jembatan-jembatan jaringan, tidak ada jaringan nekrosis, seperti luka iris (vulnus scissum) dimana panjang luka lebih besar dari dalamnya luka; b) luka tusuk tajam (vulnus ictum) yaitu luka yang dalamnya lebih besar dari pada lebar lukanya; c) luka tumpul yaitu luka karena benda tumpul, contohnya luka tembak karena peluru (vulnus sclopetum); d) luka laserasi (vulnus laceratum) luka karena benturan yang luas sehingga mengakibatkan terjadinya memar; e) luka penetrasi yaitu luka yang dapat


(18)

xii

menembus rongga tubuh; f) luka avulsi (vulnus avulsum) yaitu luka yang terjadi disertai lepasnya sebagian atau seluruh jaringan, contohnya : telinga lepas, pengangkatan tumor dimana sebagian organ yang sehat juga ikut terbuang; dan g) luka gigit (vulnus mortum). Sedangkan luka tertutup dibagi atas beberapa macam, yaitu: a) luka lecet (vulnus abrasi) yaitu luka yang hanya bagian superficial kulit yang mengalami kerusakan; b) luka memar (vulnus contusion); c) bulla (lepuh) hanya terjadi dibawah kulit epidermis sehingga timbul ruangan berisi cairan; d) hematoma yaitu darah yang mengelompok disuatu tempat sehingga harus dikeluarkan supaya tidak terjadi infeksi yang dapat menghambat kesembuhan luka; dan e) laserasi organ dalam.

2.2.1 Kesembuhan luka

Menurut Dunn (2005), tujuan dari manajemen luka adalah campur tangan untuk proses kesembuhan yang efisien melalui rangkaian perbaikan biologi ataupun regenerasi. Status kesehatan pasien juga akan mempengaruhi proses kecepatan kesembuhan. Berikut adalah beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum dan selama melakukan prosedur operasi diantaranya umur, berat badan, status gizi, status dehidrasi, suplai darah ke luka, respon imun, penyakit kronis dan terapi radiasi.

Kesembuhan luka baik luka karena kecelakaan maupun tindakan operasi, melibatkan aktivitas jaringan sel darah yang rumit, jaringan sitokin dan faktor pertumbuhan (MacKay dan Miller, 2003). Menurut sifatnya, kesembuhan luka terdapat beberapa kategori, yaitu kesembuhan luka primer, sekunder dan tersier. Pada kesembuhan luka primer akan terjadi penutupan luka dalam waktu beberapa jam setelah terjadinya luka, pada kesembuhan luka sekunder, penutupan luka terjadi akibat adanya kontraksi dan reepithelialisasi secara spontan, sedangkan pada kesembuhan luka tersier yang disebut juga dengan delayed primary closure atau tertundanya penutupan luka terjadi perpanjangan waktu kesembuhan karena adanya debris-debris dari luka sehingga membutuhkan penanganan lanjut (misalnya : jahitan pada daerah luka) agar luka dapat menutup kembali (Gabriel dan Mussman, 2009). Proses kesembuhan luka meliputi 3 fase yaitu diawali


(19)

xiii

dengan pembentukan jendalan darah (hemostasis) serta inflamasi (keradangan), proliferasi dan remodeling (Singer dan Clark, 1999).

Inflamasi merupakan respon protektif jaringan saat terjadi luka dan merupakan fase awal dari kesembuhan luka. Karakteristik dari fase ini ditandai dengan adanya rasa nyeri, panas, kemerahan dan bengkak serta hilangnya fungsi daerah sekitar luka (Cockbill, 2002). Proses kesembuhan sebenarnya sudah dimulai pada saat respon radang itu terjadi. Diawali dengan mengalirnya darah di daerah luka tersebut dan segera mengaktifkan proses pembekuan darah dimana terjadi degranulasi dari platelet/trombosit dan diikuti aktivasi faktor Hageman. Kemudian akan diikuti oleh aktifnya komponen biologi seperti kinin dan siklus cascade serta plasmin. Semua komponen yang terlibat ini tidak hanya membekukan darah dan menyatukan ujung luka, tetapi juga dapat mengakumulasi sejumlah mitogen dan kemoatraktan lainnya untuk aktif menuju daerah luka yang mengalami proses kesembuhan. Kemoatraktan yang dilepaskan oleh trombosit akan menstimulasi masuknya neutrofil dan monosit dari sirkulasi ke daerah luka (Cockbill, 2002). Infiltrasi neutrofil yang paling tinggi terjadi dalam waktu 24 jam setelah terjadinya luka, dan akan menurun jumlahnya saat monosit mulai masuk ke daerah luka (Kaewloet, 2008). Neutrofil dan monosit yang masuk ke daerah luka akan mengingesti bakteri dan debris-debris sel melalui proses fagositosis, dan pada saat melakukan fungsinya dalam menfagositosis tersebut, monosit disebut sebagai makrofag (Cockbill, 2002). Adanya infiltrasi neutrofil, dapat dipergunakan sebagai petanda bahwa inflamasi terjadi pada fase awal, sedangkan bertambahnya jumlah makrofag untuk menggantikan neutrofil dalam melakukan fagositosis, merupakan penentu bahwa proses tersebut memasuki fase akhir dari inflamasi (Kaewloet, 2008).

Fase kedua dari kesembuhan luka yaitu fase proliferasi yang memiliki karakter berupa formasi granulasi pada jaringan luka/cedera. Fase proliferasi dimulai kira-kira pada hari ke-3 dan hampir bersamaan dengan fase akhir dari inflamasi (Gabriel dan Mussman, 2009). Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi elemen seluler termasuk matrik kolagen dan sel radang bersamaan dengan terbentuknya kapiler-kapiler baru. Fibroblast pertama muncul pada hari ketiga


(20)

xiv

pasca cedera dan mencapai puncaknya pada hari ketujuh (Berata et al., 2011). Fibroblast akan bermigrasi ke daerah luka yang kemudian akan mulai mensintesis matriks ekstraseluler yang secara bertahap akan digantikan oleh matriks kolagen dan berlangsung hingga dua minggu setelah terjadinya luka (Singer dan Clark, 1999). Tetapi produksi fibroblast tertinggi terjadi pada hari ke-7 setelah terjadinya luka (Gabriel dan Mussman, 2009). Setelah matriks kolagen terdeposisi dalam jumlah yang cukup pada daerah luka, fibroblast akan berhenti memproduksi kolagen (Singer dan Clark, 1999). Selain menghasilkan kolagen, fibroblast juga berperan dalam proses angiogenesis dengan cara menstimuli makrofag untuk menghasilkan berbagai macam growth factor (Gabriel dan Mussman, 2009). Proses angiogenesis ini berperan dalam pembentukan pembuluh darah baru yang penting dalam meneruskan pembentukan jaringan granulasi. Setelah daerah luka terisi oleh jaringan granulasi baru, maka proses angiogenesis akan berhenti melalui apoptosis (programmed cell death) (Singer dan Clark, 1999). Fase ini dapat berlangsung selama 2-4 minggu setelah terjadinya luka (Kaewloet, 2008).

Fase ketiga yaitu remodeling atau maturasi merupakan fase terpanjang dalam kesembuhan luka dan dapat berlangsung dalam waktu 3 minggu hingga 2 tahun (Cockbill, 2002). Awalnya akan terbentuk matriks ekstraseluler yang kaya akan fibronektin. Jaringan ini penting dalam hal proses migrasi dan pertumbuhan dari sel-sel epitel, serta sekaligus merupakan tempat dari deposisi kolagen oleh fibroblast. Lambat laun kolagen mendominasi dari isi matriks yang kemudian membentuk ikatan-ikatan fibril dan secara perlahan-lahan membentuk jaringan baru yang semakin tebal dan kuat. Umumnya hari kelima setelah cedera/luka dimana terbentuk jaringan granulasi dan matriks yang tersusun oleh fibronektin dan asam hyaluronat, kekuatan dari jaringan yang baru semakin meningkat akibat dari proses fibrinogenesis. Perubahan dari kekuatan jaringan baru tidak hanya dipengaruhi oleh deposisi dari kolagen secara kontinu, tetapi juga dipengaruhi oleh remodeling dari kolagen itu sendiri. Remodeling dari kolagen itu sendiri sangat tergantung dari sintesis dan katabolisme dari kolagen, dimana proses degradasi dari kolagen dikontrol oleh berbagai enzim yang terdapat pada kolagen itu sendiri. Proses sintesis dari kolagen dapat berlangsung antara 6-12 bulan


(21)

xv

sedangkan bersama dengan proses remodeling, dapat mencapai waktu 1 tahun untuk membentuk jaringan yang baru (Berata et al., 2011).

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka

Menurut Perdanakusuma (2007), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesembuhan luka adalah sebagai berikut :1) Koagulasi ; adanya kelainan pembekuan darah (koagulasi) akan menghambat penyembuhan luka sebab homeostasis merupakan tolak ukur dan dasar dari fase imflamasi; 2) Gangguan sistem imun (infeksi, virus) ; gangguan system imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi. Bila sistem daya tahan tubuh, baik seluler maupun humoral terganggu, maka pembersihan kontaminasi dan jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan baik; 3) Gizi (kelaparan, malabsorbsi) ; gizi kurang juga mempengaruhi system imun; 4) Penyakit kronis, penyakit kronis seperti TBC dan diabetes juga dapat mempengaruhi system imun; 5) Keganasan agen infeksi, keganasan tahap lanjut pada agen infeksi dapat menyebabkan gangguan sistem imun yang akan mengganggu penyembuhan luka; 6) Obat-obatan, pemberian obat penekan reaksi imun, kortikosteroid dan sitotoksik mempengaruhi penyembuhan luka dengan menekan pembelahan fibroblast dan sintesis kolagen; 7) Teknik penjahitan, teknik penjahitan luka yang dilakukan secara berlapis akan mengganggu penyembuhan luka; 8) Kebersihan / personal hygiene, kebersihan akan mempengaruhi proses kesembuhan luka, karena kuman setiap saat dapat masuk melalui luka bila kebersihan tubuh berkurang, 9) Vaskularisasi, akan berlangsung baik bila proses penyembuhan berlangsung cepat. Sementara daerah yang memiliki vaskularisasi yang kurang baik proses penyembuhannya memerlukan waktu lama, 10) Pergerakan ; daerah yang relatif sering bergerak penyembuhannya akan terjadi lebih lama, 11) Ketegangan tepi luka ; pada daerah yang tegang (tight) penyembuhan lebih lama dibandingkan dengan daerah yang longgar.


(22)

xvi

Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel (Abbas et al., 2010). Inflamasi diperlukan tubuh untuk mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan tetapi juga dapat memperbaiki kerusakan struktur serta gangguan fungsi jaringan (Baratawidjaja, 2004). Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di dalam jaringan. Proses tersebut merupakan langkah pertama untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak (Judarwanto, 2012).

Kerusakan sel terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim lisosomal yaitu arachidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan fosfolipid, dan berbagai eicosanoid akan disintesis (Katzung, 2002). Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat noksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin dan leukotrien (Mansjoer, 1999).

2.3.1 Mediator Peradangan

Banyak substansi endogen yang dikeluarkan yang telah dikenal sebagai mediator peradangan, diantaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin dan leukotrien. Histamin merupakan produk dekarboksilasi asam amino histidin yang terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru-paru, kulit dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leuokosit basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik dan disimpan terikat pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler, 1999). Bradikinin dan kalidin merupakan mediator radang yang secara lokal menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan


(23)

xvii

potensi prostaglandin (Mansjoer, 1999). Serotonin berasal dari asam amino esensial triptamin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan dibeberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin disimpan dalam granula, terikat dengan ATP serta protein dan dibebaskan jika sel dirangsang melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada trombosit, serotonin berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan darah sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999).

2.3.2 Tanda peradangan

Proses terjadinya peradangan dapat diamati dari tanda-tanda utama peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), peningkatan panas (kalor), pembengkakan (tumor), rasa sakit (dolor) dan gangguan fungsi jaringan (fungsio laesa). Kemerahan atau rubor merupakan keadaan awal yang menandakan dimulainya peradangan. Hal ini disebabkan oleh melebarnya suplai darah ke daerah radang oleh arteriol, sehingga banyak darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal. Timbulnya kemerahan pada permulaan peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia. Peningkatan panas atau kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan akut. Panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37˚C yaitu suhu di dalam tubuh. Peningkatan panas pada daerah peradangan disebabkan oleh darah dengan suhu 37˚C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang mengalami radang lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah normal (Price dan Wilson, 1995). Pembengkakan atau tumor disebabkan oleh leukotrein yang dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah peradangan sehingga terjadi peningkatan jumlah cairan dan terlihat bengkak atau odema serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil dan makrofag. Selain itu, akibat adanya tekanan dari akumulasi cairan plasma pada saraf tepi di sekitar peradangan akan menimbulkan rasa sakit (dolor) (Beltrani, 2006). Fungsio laesa atau gangguan fungsi jaringan adalah reaksi peradangan di mana saja terjadi pembengkakan yang lazimnya disertai


(24)

xviii

nyeri dan sirkulasi yang abnormal. Tetapi belum diketahui secara pasti bagaimana fungsi jaringan tersebut terganggu (Kee dan Evelyn, 1996). Mekanisme terjadinya gejala peradangan ditunjukkan pada Gambar 1.

.

Gambar 1. Tanda Peradangan (Mutschler, 1999)

2.4 Asam Mefenamat

Asam mefenamat merupakan derivat asam antranilat dengan khasiat analgesik, antipiretik, dan antiradang yang cukup baik dan termasuk kedalam golongan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Dalam pengobatan, asam mefenamat digunakan untuk meredakan nyeri dan rematik. Obat ini cukup toksik terutama untuk anak-anak dan janin, karena sifat toksiknya, asam mefenamat tidak boleh dipakai selama lebih dari 1 minggu dan sebaiknya jangan digunakan untuk anak-anak yang usianya di bawah 14 tahun (Munaf, 1994).

Asam mefenamat mempunyai khasiat sebagai analgetik dan anti inflamasi. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer. Mekanisme kerja asam mefenamat adalah dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase (Goodman, 2007). Enzim

Noksi

Kerusakan

Pembebasan Bahan Mediator

Eksudasi Gangguan

Sirkulasi Lokal

Perangsangan reseptor nyeri

Rubor Kalor Tumor Fungsio Dolor

Emigrasi


(25)

xix

siklooksigenase (COX) mengubah asam arakidonat (AA) menjadi Prostaglandin G2 (PGG2) dan Prostaglandin H2 (PGH2), yang akan diubah menjadi tromboksan A2 (TXA2) dan bentuk prostaglandin lainnya. Dosis terapeutik OAINS menurunkan biosintesis prostaglandin dengan menghambat COX, dan terdapat korelasi antara potensi sebagai penghambat COX dan aktivitas antiinflamasi (Brunton et al., 2008).

Pada tikus, pemberian asam mefenamat dapat diberikan secara oral dengan dosis 45 mg/kg BB (Romadhoni, 2012). Diberikan melalui mulut dan diabsorbsi pertama kali dari lambung dan usus selanjutnya obat akan diserap darah dan dibawa oleh darah sampai ke tempat kerjanya. Konsentrasi puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi. dan 20% obat ini ditemukan dalam feses sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi (Goodman, 2007).

Asam mefenamat merupakan bahan yang dapat menembus barrier mukosa lambung sehingga sering dilaporkan asam mefenamat memberi efek iritasi terhadap mukosa lambung. Asam mefenamat dapat menyebabkan pengelupasan pada sel epitel permukaan dan mengurangi sekresi mukus yang merupakan barrier protektif terhadap asam (Loho, 2002).Asam mefenamat bekerja dengan cara menekan produksi prostaglandin (Setiawan, 2010). Oleh karena itu pemberian obat ini harus dipertimbangkan sejak awal terapi, terutama menyangkut cara pemberian, dosis, dan lama pemberian.

2.5 Antibiotik Amoksisilin

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Gunawan et al., 2007). Definisi lain menyebutkan bahwa antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia, yang harus memiliki sifat toksisitas yang selektif, artinya obat tersebut bersifat toksik pada mikroba, tetapi tidak toksik pada sel inang atau manusia (Pelczar, 1988).


(26)

xx

Amoksisilin adalah salah satu contoh antibiotika yang umum diberikan kepada hewan pasca operasi. Amoksisilin digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Salmonella. Amoksisilin juga digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumoniae, Enterococci, Listeria dan

Staphylococcus yang tidak menghasilkan penisilinase (McEvoy, 2002).

Mekanisme kerja amoksisilin adalah menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan Ganiswarna, 1995).

Amoksisilin sering diberikan dalam bentuk sediaan injeksi kering. Sediaan injeksi kering diformulasikan untuk senyawa-senyawa yang tidak stabil dalam bentuk larutan tetapi stabil dalam bentuk kering. Injeksi ini diberikan dalam bentuk serbuk kering yang telah disterilkan dan dalam kemasannya disertai dengan pelarutnya (aqua pro injeksi). Dalam penggunaanya, air ditambahkan secara aseptis ke dalam vial obat untuk menghasilkan obat suntik yang diinginkan (Ansel, 1989). Pada tikus, penggunaan amoksisilin dapat diberikan dengan dosis 150 mg /kg BB per hari secara intramuskuler (Bishop, 1996), disamping pemberian obat dilakukan dengan cara injeksi amoksisilin dapat juga diberikan secara oral.

2.6 Tikus putih (Rattus norvegicus)

Tikus putih merupakan spesies yang paling sering ditemukan di daerah perkotaan. Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan ( Kohn dan Barthold, 1987). Ukuran tubuh tikus yang lebih besar daripada mencit membuat tikus lebih disukai untuk berbagai penelitian. Beda dengan hewan laoratorium lainnya, tikus tidak pernah muntah. Disamping itu tikus tidak mempunyai empedu. Lambung tikus terdiri dari dua bagian yaitu non glandular dan glandular, dan small intestine terdiri dari duodenum, jejunum dan ilium (Farris dan Griffith, 1971). Pada dasarnya, seluruh strain tikus pada tikus laboratorium berasal dari tikus liar yang kemudian mengalami pemilihan selektif


(27)

xxi

dan domestikasi. Tikus laboratorium pertama dikembangkan di AS antara tahun 1877 dan tahun 1893 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus (Rattus norvegicus) strain albino merupakan tikus yang sudah kehilangan pigmennya. Sifat ini sudah menurun pada keturunannya dan hal ini disebabkan karena adanya seleksi yang dilakukan oleh manusia untuk memudahkan dalam menangani tikus putih di laboratorium (Kohn dan Barthold, 1987).

Adapun klasifikasi dari tikus putih menurut Natawidjaya (1983) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Subordo : Odontoceti Familia : Muridae Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus.

2.7 Kerangka Konsep

Luka merupakan keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan serangga (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997). Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Proses kesembuhan luka harus terjadi pada kondisi yang mendukung jaringan tubuh untuk melakukan proses perbaikan dan regenerasi (Taylor dan Johnson, 1997).

Tidak jarang luka bekas operasi sembuh dengan waktu yang agak lama dan akan terinfeksi oleh bakteri, sehingga akan mengalami peradangan. Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004). Oleh karena itu, untuk menyembuhkan luka lebih cepat dengan meminimalkan rasa sakit, bekas luka, dan


(28)

xxii

ketidaknyamanan pada pasien pemberian antibiotika dan antiinflamasi sangat diperlukan.

Antibiotika yang sampai saat ini masih digunakan di RSH FKH UNUD dalam penanganan kasus infeksi adalah antibiotika amoksisilin. Amoksisilin digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif dan bakteri gram positif (McEvoy, 2002). Sedangkan obat antiinflamasi non steroid yang paling sering digunakan di RSH FKH UNUD adalah asam mefenamat. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer. Mekanisme kerja asam mefenamat adalah dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase (Goodman, 2007). Enzim siklooksigenase (COX) mengubah asam arakidonat (AA) menjadi Prostaglandin G2 (PGG2) dan Prostaglandin H2 (PGH2), yang akan diubah menjadi tromboksan A2 (TXA2) dan bentuk prostaglandin lainnya. Dosis terapeutik obat anti inflamasi non steroid (OAINS) menurunkan biosintesis prostaglandin dengan menghambat COX dan terdapat korelasi antara potensi sebagai penghambat COX dan aktivitas antiinflamasi (Brunton et al., 2008).

Dengan memberikan amoksisilin dan asam mefenamat pasca operasi, diharapkan luka operasi akan lebih cepat sembuh dibandingkan dengan hanya memberikan amoksisilin. Berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap suatu perlakuan, diantaranya faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam seperti strain, umur, berat badan tikus dan lokasi insisi yang telah dikendalikan, sedangkan faktor luar seperti pakan, minum dan kandang telah diseragamkan. Hubungan antara variabel tersebut tersaji pada Gambar 1.

Tikus Putih


(29)

xxiii

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis

Kesembuhan luka insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) lebih cepat terjadi pasca pemberian amoksisilin dan asam mefenamat ditinjau dari pemeriksaan makroskopis maupun mikroskopis.

Variabel terkendali :  Strain tikus  Umur tikus  Berat Badan

tikus

 Lokasi Insisi 

Variabel bebas :  Amoksisilin  Amoksisilin dan

Asam Mefenamat

Variabel tergantung : Kesembuhan luka

(Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis


(1)

xviii

nyeri dan sirkulasi yang abnormal. Tetapi belum diketahui secara pasti bagaimana fungsi jaringan tersebut terganggu (Kee dan Evelyn, 1996). Mekanisme terjadinya gejala peradangan ditunjukkan pada Gambar 1.

.

Gambar 1. Tanda Peradangan (Mutschler, 1999)

2.4 Asam Mefenamat

Asam mefenamat merupakan derivat asam antranilat dengan khasiat analgesik, antipiretik, dan antiradang yang cukup baik dan termasuk kedalam golongan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Dalam pengobatan, asam mefenamat digunakan untuk meredakan nyeri dan rematik. Obat ini cukup toksik terutama untuk anak-anak dan janin, karena sifat toksiknya, asam mefenamat tidak boleh dipakai selama lebih dari 1 minggu dan sebaiknya jangan digunakan untuk anak-anak yang usianya di bawah 14 tahun (Munaf, 1994).

Asam mefenamat mempunyai khasiat sebagai analgetik dan anti inflamasi. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer. Mekanisme kerja asam mefenamat adalah dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase (Goodman, 2007). Enzim

Noksi

Kerusakan

Pembebasan Bahan Mediator

Eksudasi Gangguan

Sirkulasi Lokal

Perangsangan reseptor nyeri

Rubor Kalor Tumor Fungsio Dolor

Emigrasi


(2)

siklooksigenase (COX) mengubah asam arakidonat (AA) menjadi Prostaglandin G2 (PGG2) dan Prostaglandin H2 (PGH2), yang akan diubah menjadi tromboksan A2 (TXA2) dan bentuk prostaglandin lainnya. Dosis terapeutik OAINS menurunkan biosintesis prostaglandin dengan menghambat COX, dan terdapat korelasi antara potensi sebagai penghambat COX dan aktivitas antiinflamasi (Brunton et al., 2008).

Pada tikus, pemberian asam mefenamat dapat diberikan secara oral dengan dosis 45 mg/kg BB (Romadhoni, 2012). Diberikan melalui mulut dan diabsorbsi pertama kali dari lambung dan usus selanjutnya obat akan diserap darah dan dibawa oleh darah sampai ke tempat kerjanya. Konsentrasi puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi. dan 20% obat ini ditemukan dalam feses sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi (Goodman, 2007).

Asam mefenamat merupakan bahan yang dapat menembus barrier mukosa lambung sehingga sering dilaporkan asam mefenamat memberi efek iritasi terhadap mukosa lambung. Asam mefenamat dapat menyebabkan pengelupasan pada sel epitel permukaan dan mengurangi sekresi mukus yang merupakan barrier protektif terhadap asam (Loho, 2002).Asam mefenamat bekerja dengan cara menekan produksi prostaglandin (Setiawan, 2010). Oleh karena itu pemberian obat ini harus dipertimbangkan sejak awal terapi, terutama menyangkut cara pemberian, dosis, dan lama pemberian.

2.5 Antibiotik Amoksisilin

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Gunawan et al., 2007). Definisi lain menyebutkan bahwa antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia, yang harus memiliki sifat toksisitas yang selektif, artinya obat tersebut bersifat toksik pada mikroba, tetapi tidak toksik pada sel inang atau manusia (Pelczar, 1988).


(3)

xx

Amoksisilin adalah salah satu contoh antibiotika yang umum diberikan kepada hewan pasca operasi. Amoksisilin digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Salmonella. Amoksisilin juga digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumoniae, Enterococci, Listeria dan Staphylococcus yang tidak menghasilkan penisilinase (McEvoy, 2002). Mekanisme kerja amoksisilin adalah menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan Ganiswarna, 1995).

Amoksisilin sering diberikan dalam bentuk sediaan injeksi kering. Sediaan injeksi kering diformulasikan untuk senyawa-senyawa yang tidak stabil dalam bentuk larutan tetapi stabil dalam bentuk kering. Injeksi ini diberikan dalam bentuk serbuk kering yang telah disterilkan dan dalam kemasannya disertai dengan pelarutnya (aqua pro injeksi). Dalam penggunaanya, air ditambahkan secara aseptis ke dalam vial obat untuk menghasilkan obat suntik yang diinginkan (Ansel, 1989). Pada tikus, penggunaan amoksisilin dapat diberikan dengan dosis 150 mg /kg BB per hari secara intramuskuler (Bishop, 1996), disamping pemberian obat dilakukan dengan cara injeksi amoksisilin dapat juga diberikan secara oral.

2.6 Tikus putih (Rattus norvegicus)

Tikus putih merupakan spesies yang paling sering ditemukan di daerah perkotaan. Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan ( Kohn dan Barthold, 1987). Ukuran tubuh tikus yang lebih besar daripada mencit membuat tikus lebih disukai untuk berbagai penelitian. Beda dengan hewan laoratorium lainnya, tikus tidak pernah muntah. Disamping itu tikus tidak mempunyai empedu. Lambung tikus terdiri dari dua bagian yaitu non glandular dan glandular, dan small intestine terdiri dari duodenum, jejunum dan ilium (Farris dan Griffith, 1971). Pada dasarnya, seluruh strain tikus pada tikus laboratorium berasal dari tikus liar yang kemudian mengalami pemilihan selektif


(4)

dan domestikasi. Tikus laboratorium pertama dikembangkan di AS antara tahun 1877 dan tahun 1893 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus (Rattus norvegicus) strain albino merupakan tikus yang sudah kehilangan pigmennya. Sifat ini sudah menurun pada keturunannya dan hal ini disebabkan karena adanya seleksi yang dilakukan oleh manusia untuk memudahkan dalam menangani tikus putih di laboratorium (Kohn dan Barthold, 1987).

Adapun klasifikasi dari tikus putih menurut Natawidjaya (1983) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Subordo : Odontoceti Familia : Muridae Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus.

2.7 Kerangka Konsep

Luka merupakan keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan serangga (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997). Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Proses kesembuhan luka harus terjadi pada kondisi yang mendukung jaringan tubuh untuk melakukan proses perbaikan dan regenerasi (Taylor dan Johnson, 1997).

Tidak jarang luka bekas operasi sembuh dengan waktu yang agak lama dan akan terinfeksi oleh bakteri, sehingga akan mengalami peradangan. Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004). Oleh karena itu, untuk menyembuhkan luka lebih cepat dengan meminimalkan rasa sakit, bekas luka, dan


(5)

xxii

ketidaknyamanan pada pasien pemberian antibiotika dan antiinflamasi sangat diperlukan.

Antibiotika yang sampai saat ini masih digunakan di RSH FKH UNUD dalam penanganan kasus infeksi adalah antibiotika amoksisilin. Amoksisilin digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif dan bakteri gram positif (McEvoy, 2002). Sedangkan obat antiinflamasi non steroid yang paling sering digunakan di RSH FKH UNUD adalah asam mefenamat. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer. Mekanisme kerja asam mefenamat adalah dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase (Goodman, 2007). Enzim siklooksigenase (COX) mengubah asam arakidonat (AA) menjadi Prostaglandin G2 (PGG2) dan Prostaglandin H2 (PGH2), yang akan diubah menjadi tromboksan A2 (TXA2) dan bentuk prostaglandin lainnya. Dosis terapeutik obat anti inflamasi non steroid (OAINS) menurunkan biosintesis prostaglandin dengan menghambat COX dan terdapat korelasi antara potensi sebagai penghambat COX dan aktivitas antiinflamasi (Brunton et al., 2008).

Dengan memberikan amoksisilin dan asam mefenamat pasca operasi, diharapkan luka operasi akan lebih cepat sembuh dibandingkan dengan hanya memberikan amoksisilin. Berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap suatu perlakuan, diantaranya faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam seperti strain, umur, berat badan tikus dan lokasi insisi yang telah dikendalikan, sedangkan faktor luar seperti pakan, minum dan kandang telah diseragamkan. Hubungan antara variabel tersebut tersaji pada Gambar 1.

Tikus Putih


(6)

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis

Kesembuhan luka insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) lebih cepat terjadi pasca pemberian amoksisilin dan asam mefenamat ditinjau dari pemeriksaan makroskopis maupun mikroskopis.

Variabel terkendali :

 Strain tikus

 Umur tikus

 Berat Badan tikus

 Lokasi Insisi

Variabel bebas :

 Amoksisilin

 Amoksisilin dan Asam Mefenamat

Variabel tergantung :

Kesembuhan luka (Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis


Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR ANTARA PEMBERIAN MADU DAN KLINDAMISIN SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

2 16 60

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

1 17 71

PERBEDAAN KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA INSISI ANTARA OLESAN EKSTRAK ETANOLIK TEMULAWAK DAN POVIDONE IODINE PADA TIKUS PUTIH

0 3 83

PERBEDAAN KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA INSISI ANTARA OLESAN GEL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala) DAN POVIDONE IODINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

0 3 78

PERBEDAAN KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA INSISI ANTARA OLESAN GEL LIDAH BUAYA (aloe vera) DAN OLESAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG KUNYIT (curcuma longa linn) PADA TIKUS PUTIH (rattus norvegicus)

0 4 80

EFEK PEMBERIAN GERUSAN DAUN PEGAGAN ( Centella asiatica (L) Urban ) TERHADAP KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus).

0 0 14

KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA INSISI YANG DIBERI AMOKSISILIN DAN DEKSAMETASON PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus).

1 24 28

PERBANDINGAN KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA INSISI YANG DIBERI AMOKSISILIN KOMBINASI DEKSAMETASON DAN AMOKSISILIN KOMBINASI ASAM MEFENAMAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus).

0 0 31

EFEKTIVITAS GEL PUTIH TELUR PADA LUKA INSISI TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) MELALUI PENGAMATAN PANJANG AREA LUKA DAN KEPADATAN DEPOSIT KOLAGEN

0 0 16

Efek Serbuk Daun Gulma Babadotan (Ageratum conyzoides L) Terhadap Kesembuhan Luka Insisi Pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) - UWKS - Library

0 0 14