Dinamika Sistem Pertambahan Nilai Kayu Jati di KPH Banten Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan jati di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan secara baik
dan dikelola menurut asas kelestarian secara ekonomi, ekologi dan sosial. Hutan
jati di Indonesia saat ini merupakan tegakan yang tidak normal, yang didominasi
oleh pohon-pohon muda yang seharusnya tidak dipanen dalam jangka waktu
puluhan tahun.
Permasalahan yang terjadi dalam pengusahaan hutan jati begitu kompleks,
mulai dari kegiatan produksi (pembuatan tanaman), pemeliharaan sampai dengan
pemasaran hasil hutannya. Permasalahan ini tidak hanya dari segi teknis tanammenanam saja tetapi juga menyangkut aspek ekonomi, sosial budaya sampai
dengan kebijakan pemerintah. Permasalahan tersebut menjadi menarik sebagian
orang untuk terus belajar dan mencari tahu. Ada dua permasalahan penting yang
berkaitan dengan pengusahaan kayu jati, yaitu: pertama, batas etat yang
diperbolehkan dalam penebangan dan kedua, nilai jual. Jika batas pasokan yang
pada etat tersebut selalu memperoleh tekanan untuk memenuhi kebutuhan
industri, maka yang terjadi adalah penurunan daya produksi hutan dan kerusakan
sumberdaya hutan dan lingkungan. Ini berarti menjadikan produktivitas hutan
sebagai penjaga gawang terakhir bagi keberlanjutan produksi bahan baku,
produksi industri kerajinan dan kebutuhan konsumen.
Dalam pengembangan pengusahaan kayu jati, informasi tentang pasar
komoditi (kayu) yang dihasilkan hutan, baik yang dikelola pemerintah maupun

rakyat sangatlah penting sehingga pasar sangat berperan dalam menentukan harga
jual, begitu juga faktor kelestarian hutan mutlak dibutuhkan untuk memengaruhi
pasar. Untuk itu diperlukan kajian mengenai sistem pengusahaan hutan dan bisnis
perkayuan, khususnya jati, yang menguntungkan dengan tetap memerhatikan
produktivitas hutan, karena bagaimanapun juga penanam dan aktor bisnis
perkayuan mengharapkan keuntungan dari penjualan kayunya.

2

B. Rumusan Masalah
Penjualan dan perkembangan bisnis kayu jati memiliki andil dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemasukan kas negara. Namun
demikian, pada umumnya keuntungan yang diperoleh petani dalam penjualan
kayu yang dihasilkan masih tergolong rendah dibanding pelaku pasar lainnya.
Selama ini, disinyalir sistem pemasaran yang kurang menguntungkan dipengaruhi
oleh kinerja pengusahaan hutan dan bisnis perkayuan.
Terdapat hubungan tarik menarik antara struktur, perilaku dan kinerja
pengusahaan hutan rakyat dalam batasan kelestarian ekosistem, sosial dan
ekonomi serta sistem pemanenan yang tebang butuh. Hubungan ini membentuk
suatu permasalahan sistemik dimana antara satu dengan yang lainnya saling

terkait dan saling memberikan pengaruh. Untuk itu penelitian ini ingin menjawab
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana penggambaran sistem pengusahaan kayu jati dan simulasi
model dinamik komponen pertambahan nilai dalam sistem pengusahaan
kayu jati?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan nilai produk
kayu jati?
3. Skenario apa yang mendorong bagi kelangsungan kelestarian hutan dan
industri furnitur?

C. Pendekatan masalah
Pengusahaan hutan dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang terbentuk
dari subsistem-subsistem yang mendukungnya dan saling berhubungan. Sistem
yang membentuk pengusahaan hutan dan bisnis perkayuan terdiri dari tiga
subsistem yaitu subsistem produksi, subsistem pengolahan hasil hutan, dan
subsistem pemasaran. Hubungan antar elemen atau subsistem ini kemudian
menimbulkan suatu permasalahan yang kompleks, yang mengarah pada
permasalahan sistemik dan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain
Ruang lingkup kajian ini adalah analisis structure (struktur), conduct
(perilaku), performance (kinerja) pengusahaan hutan rakyat. Dengan menganalisis

ketiga aspek tersebut (struktur, perilaku dan kinerja) yang terjadi dalam

3

pengusahaan hutan jati maupun sifat hubungan antar ketiga aspek tersebut
diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi atau acuan dalam pengambilan
keputusan dalam penentuan kebijakan pengusahaan hutan dan hasil hutan,
khususnya jati, baik dari sisi produksi, pemeliharaan, maupun pemasaran.
Permasalahan ini akan terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu,
sehingga pendekatan yang kemudian digunakan dan dianggap sesuai dalam
penelitian ini adalah dengan melalui pendekatan sistem.
Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan sistem
dinamik, yaitu pendekatan dalam pembuatan model yang menekankan hubungan
sebab akibat antar variabel dan pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan dengan
bertambahnya waktu. Software yang digunakan untuk membantu analisis dalam
pendekatan sistem dinamik adalah STELLA. Penggunaan pendekatan ini lebih
ditekankan kepada tujuan-tujuan peningkatan pemahaman tentang bagaimana
tingkah laku muncul dari struktur kebijakan dalam suatu sistem.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Tergambarkannya sistem pengusahaan kayu jati dalam sebuah model
simulasi serta mempelajarinya dengan pendekatan sistem dinamik.
2. Diperolehnya informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan rantai nilai produk kayu jati.
3. Tersusunnya

rekomendasi

skenario

kebijakan

yang

sesuai

dan

menguntungkan bagi para pelaku pada sistem pengusahaan hutan dan hasil

hutan, khususnya usaha furnitur kayu jati.

E. Output Yang Diharapkan
1. Informasi mengenai keterkaitan antar komponen pada proses pengusahaan
hutan dan hasil hutan, khususnya jati.
2. Tersedianya simulasi model sistem pengusahaan hutan dan hasil hutan,
khususnya jati.
3. Tersedianya dokumen yang berisi gambaran mengenai perilaku dan
kinerja pasokan bahan baku industri furnitur.

4

F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah Daerah
Tersedianya informasi mengenai alternatif peningkatan potensi dan
kesejahteraan bagi masyarakat di daerah yang bisa digunakan sebagai acuan
dalam perumusan kebijakan, khususnya untuk pengembangan hutan rakyat.
2. Bagi masyarakat
Tersedianya informasi mengenai pengembangan pengusahaan hutan
dan industri furnitur kayu jati (furnitur) agar tetap sukses bertahan pada pasar

global.
3. Bagi KPH (Perhutani)
Tersedianya informasi bagi KPH dalam upaya menyeimbangkan rasio
kelestarian

hutan

dengan

pengembangan usaha lainnya.

produksi

yang

dihasilkan

serta

masukan


TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan dan Jati
Dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dijelaskan bahwa hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 telah
dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di
Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki
kualitas awet tinggi yang tahan gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan
hingga 500 tahun (Sumarna, 2003).
Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:
Divisi

: Spermatophyta

Kelas


: Angiospermae

Sub-kelas

: Dicotyledone

Famili

: Verbenaceae

Genus

: Tectona

Spesies

: Tectona grandis Linn. F

Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand,
sampai ke Indonesia khususnya Pulau Jawa. Jati tumbuh di hutan yang

menggugurkan daun di musim kemarau. Menurut sejumlah ahli botani, jati
merupakan spesies asli di Myanmar, yang kemudian menyebar ke semenanjung
India, Muangthai, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati
adalah spesies asli di Myanmar, India, Thailand dan Laos. Sekitar 70% kebutuhan
jati dunia pada saat ini dipasok oleh Myanmar. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh
India, Thailand, Indonesia, Srilangka, dan Vietnam. Pasokan dunia dari hutan jati
alam satu-satunya berasal dari Myanmar. Sedangkan lainnya berasal dari hasil
hutan tanaman jati (Wikipedia Indonesia, 2007).

6

 Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati

(Myanmar, India, Thailand dan Laos) dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai
hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19),
Bangladesh (1871), Vietnam (awal abad ke-20), dan Malaysia (1909). Iklim yang
cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu
panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm pertahun dan dengan
intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang
optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan
hanya terdiri dari satu jenis pohon. Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson
yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon
akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies
pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Tanah yang sesuai adalah
yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik),
mengandung cukup banyak kapur (Ca) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang
air. Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang dimasukkan
(diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu.
Di Jawa, hutan jati tercatat menyebar di pantai Utara Jawa, mulai dari
Kerawang hingga ke ujung Timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak
menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650
meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih dari
200 meter di atas permukaan laut. Di kedua provinsi ini, hutan jati sering
terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan
secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban
Rembang, Blora, Grobogan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik
dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Saat
ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah
perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, luas lahan hutan

Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati
Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini nyaris setara dengan
setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa (Wikipedia
Indonesia, 2007). Di Indonesia sendiri, selain di pulau Jawa dan pulau Muna, jati

7

juga dikembangkan di pulau Bali dan Nusa Tenggara. Dalam beberapa tahun
terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan
Kalimantan Selatan, namun hasilnya kurang menggembirakan.
B. Teori Sistem, Analisis dan Dinamika Sistem
Menurut Amirin (1992), istilah sistem berasal dari istilah Yunani “systema”
yang mengandung arti keseluruhan (a whole) yang tersusun dari sekian banyak
bagian; berarti pula hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau
komponen secara teratur. Istilah sistem dipergunakan untuk menunjukkan banyak
hal diantaranya untuk menunjukkan suatu himpunan bagian yang saling berkaitan;
keseluruhan organ-organ tubuh tertentu; sehimpunan ide-ide, prinsip dan
sebagainya; hipotesis atau teori; metode atau tata cara (prosedur); skema atau
metode pengaturan susunan sesuatu.
Sedangkan menurut Simatupang (1995), sistem adalah kumpulan obyekobyek yang saling berinteraksi dan bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan
tertentu dalam lingkungan yang komplek. Obyek yang dimaksud disini adalah
bagian-bagian dari sistem, seperti input, proses, output, pengendalian umpan
balik, dan batasan-batasan dimana setiap bagian ini mempunyai beberapa nilai
atau harga yang bersama-sama menggambarkan keadaan sistem pada suatu saat
tertentu. Interaksi disini menghasilkan suatu ikatan antar obyek-obyek dalam
proses sistem, antara sistem dengan subsistem, sehingga dihasilkan suatu perilaku
sistem tertentu. Lima unsur utama dalam sistem, yaitu elemen-elemen atau
bagian-bagian yang meliputi:
a. Adanya interaksi atau hubungan antar elemen-elemen atau bagian-bagian
b. Adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen atau bagian-bagian tersebut
menjadi suatu kesatuan
c. Terdapat tujuan bersama, sebagai hasil akhir
d. Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Studi teori sistem dapat didefinisikan sebagai studi transdisiplin tentang
abtraksi organisasi fenomena, yang independen dari substansinya, tipe maupun
skala spasial dan temporal dari keberadaannya. Studi ini menginvestigasi prinsipprinsip umum dari entitas-entitas kompleks, dan biasanya menggunakan model

8

matematika untuk menggambarkan prinsip-prinsip tersebut (Heylighen dan
Joslyn, 1992).
Purnomo (2005) menyebutkan bahwa teori sistem erat hubungannya dengan
sibernetika dan dinamika sistem (system dynamics), yaitu model-model yang
terdiri dari jaringan peubah yang berubah dengan waktu; seperti model-model
“world dynamics” dari Jay Forrester dan Club of Rome. Dijelaskan pula bahwa
model adalah abstraksi dari sebuah sistem. Sistem adalah sesuatu yang terdapat di
dunia nyata (real world). Sehingga pemodelan adalah kegiatan yang membawa
seluruh dunia nyata ke dalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifatsifat utamanya. Melalui model tersebut beragam percobaan dan perlakuan bisa
dimplementasikan, sehingga dampak dari beragam implementasi tersebut dapat
segera diketahui.

C. Analisis dan Desain Sistem
Analisis sistem berguna mendekati masalah yang secara intuitif dapat
digolongkan ke dalam organized complexities atau kompleksitas yang
terorganisasi. Analisis sistem berguna untuk membahas sistem kompleks yang
terorganisasi baik yang terlihat atau tidak terlihat (Purnomo, 2005).
Analisis sistem juga mempersyaratkan adanya dasar pemahaman terhadap
sistem tersebut baik sedikit atau banyak. Pemahaman tersebut dapat dicari melalui
perenungan atau sejumlah pustaka yang ada.
Tahapan pemodelan yang berbasis komputer telah dikemukakan dalam
banyak literatur, salah satunya dikemukakan oleh Grant et al. (1997) yang
menjelaskan tahapan tersebut sebagai berikut:
1. Menentukan batasan sistem yang akan diteliti dan mengidentifikasi
komponen-komponen dari sistem berupa parameter dan peubah sistem.
2. Pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif.
3. Menentukan model matematika yang nenyatakan hubungan fungsional
antar komponen tersebut.
4. Evaluasi model, dimana model dimantapkan dengan percobaanpercobaan melalui komputer dan dibandingkan dengan keadaan sistem
yang sebenarnya atau melalui komputer dan dibandingkan dengan

9

keadaan sistem yang sebenarnya atau melalui uji stastistik dan
observasi.
5. Eksperimen model dengan komputer, termasuk uji kepekaan
(sensitivity analysis).
6. Implementasi hasil simulasi (aplikasi model).

D. Sistem Dinamik
Ford (1999) dalam Purnomo (2005) menjelaskan bahwa sistem dinamik
atau system dynamics secara formal mulai dikenal tahun 1960-an melalui kerja Jay
W. Forrester dan koleganya dari Sloan School of Management di Massachusetts
Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Mereka mengembangkan ide-ide
penerapan konsep teori kontrol umpan balik terhadapa sistem-sistem industri. Ideide ini kemudian dikenal sebagai industrial dynamics yang diimplementasikan
dengan perangkat lunak DYNAMO.
Forrester (1999) dalam Purnomo (2005) mendefinisikan dinamika sistem
sebagai sebuah bidang untuk memahami bagaimana sesuatu berubah menurut
waktu. Dinamika sistem berakar dari atau dibentuk oleh persamaan-persamaan
difference dan diferensial. Purnomo (2005) juga menjelaskan bahwa dinamika
sistem merupakan studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan
memperhatikan faktor umpan balik.

E. Rantai Nilai dan Nilai Tambah
Istilah value chain (rantai nilai) pertama kali dikemukakan oleh Michael
Porter dalam bukunya berjudul "Competitive Advantage: Creating and Sustaining
superior Performance" pada tahun 1985. Analisis rantai nilai ini, menguraikan
aktivitas di dalam dan sekitar organisasi dan menghubungkannya pada posisi dan
suatu analisa organisasi pesaing yang kuat (Recklies, 2001).
Gambar 1 berikut merupakan model dasar rantai nilai dari Porter (1985).
Gambar tersebut menjelaskan bahwa istilah margin (keuntungan) menyiratkan
bahwa kemampuan organisasi atau perusahaan untuk mendapatkan profit margin
tergantung kepada kemampuan mengelola hubungan antar semua aktivitas dalam
rantai nilai, dengan kata lain sebuah organisasi atau perusahaan akan mampu

10

memberikan sebuah barang atau jasa kepada konsumen dengan kemampuan
membayar lebih (willingness to pay) dari jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan
dalam rantai nilai tersebut.
Inbound
Logistics

> Operations > Outbound > Marketing > Service > M
A
Logistics
and
R
Sales
G
I
N
Firm Infrastructure

M
A
R
G
I
N

HR Management
Technology Development
Procurement
Sumber : Porter (1985)
Gambar 1 Model dasar value chain

Gambar 1 di atas juga menjelaskan bahwa kegiatan transformasi input
menjadi output yang meliputi inbound logistik, operasional, outbound logistik,
pemasaran dan penjualan, dan jasa serta berbagai pendukung perusahaan seperti
infrastruktur perusahaan, SDM, pengembangan teknologi, dan pengadaan yang
dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaannya merupakan kegiatan yang saling
terkait dalam value chain.
Menurut sebuah artikel dalam www.quickmba.com, tujuan aktivitas
transformasi yang digambarkan Porter (1985) adalah untuk menciptakan nilai
yang melebihi biaya yang dikeluarkan dalam menyediakan produk atau jasa,
dengan demikian dapat meningkatkan keuntungan. Dalam artikel tersebut juga
menjelaskan proses primer value chain, yaitu :
1. Inbound logistik, proses ini meliputi penerimaan, pergudangan, dan
pengendalian persediaan masukan material
2. Operasional merupakan aktivitas yang berhubungan dengan proses
pembentukan nilai yang mengubah input kepada produk akhir
3. Outbound

logistik

adalah

aktivitas

yang

diperlukan

untuk

mendapatkan produk jadi kepada konsumen, termasuk pergudangan
dan pemenuhan pesanan

11

4. Pemasaran dan penjualan adalah aktivitas yang berhubungan dengan
pembeli yang potensial termasuk di dalamnya pemilihan saluran
penjualan, iklan dan penetapan harga
5. Jasa atau layanan merupakan aktivitas pemeliharaan dan peningkatan
nilai produk termasuk di dalamnya menjaga kepuasan konsumen dan
perbaikan pelayanan.
Rantai nilai menguraikan cakupan aktivitas yang diperlukan untuk
membawa produk atau jasa (layanan) dari konsepsi, sampai tahap produksi yang
berbeda (menyertakan suatu kombinasi perubahan bentuk fisik dan masukan
berbagai produsen jasa), penyerahan ke konsumen akhir, dan penjualan akhir
setelah penggunaannya (Kaplinsky dan Morris, 2000). Empat mata rantai nilai
secara sederhana menurut Kaplinsky dan Morris (2000) dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut :

Desain

Produksi

Pemasaran

Konsumsi dan
pendauran ulang

Gambar 2 Rantai nilai sederhana oleh Kaplinsky dan Morris (2000)
Kaplinsky dan Morris (2000) juga menjelaskan bahwa, dunia produksi dan
pertukarannya yang sering diteliti bersifat kompleks dan heterogen. Tidak hanya
berbeda rantai nilai (keduanya berada di dalam dan antar sektor), tetapi juga
dilakukan dalam konteks lokal dan nasional. Tidak ada metodologi mekanis yang
digunakan melainkan dengan metode rantai nilai. Tiap rantai masing-masing
mempunyai karakteristik tertentu, peneliti dapat membedakan dan mengaitkan
objek penelitiannya lebih luas dan dapat secara efektif ditangkap dan diteliti
dengan pemahaman yang luas pula. Metode rantai nilai dimulai dengan
pemahaman alami pasar akhir (final markets), serta dipengaruhi:

1.

Titik masukan untuk rantai nilai analisa.

2.

Pemetaan rantai nilai.

3.

Segmen produk dan faktor sukses kritis pasar akhir.

12

4.

Bagaimana produsen mengakses pasar akhir.

5.

Benchmarking efisiensi produksi.

6.

Penguasaan berharga rantai.

7.

Meningkatkan mutu rantai nilai.

8.

Distribusi.

Schmitz (2005) dalam Purnomo (2006) menjelaskan bahwa analisa rantai
nilai sangat efektif digunakan pada aliran perdagangan produk, dapat menunjukan
tahapan pertambahan nilai dan mengidentifikasi aktor kunci dan kerjasama
terhadap aktor lainnya dalam sistem.
Menurut Schiebel (2007) Analisis rantai nilai didefinisikan sebagai sebuah
satu kesatuan yang terintegrasi (aktivitas struktur harga dasar, biaya kepemilikan,
biaya eksternal dan internal) dan proses yang digunakan untuk menggambarkan
capaian dan biaya-biaya pada saat ini, seperti halnya dalam menilai dampak
potensi yang diusulkan oleh ECR (Efficient Consumer Response) pada
peningkatan konsep keseluruhan rantai persediaan untuk kategori produk
konsumsi.
Sedangkan dalam artikel yang dimuat oleh www.mindtools.com disebutkan
definisi analisa rantai nilai yaitu suatu alat analisis untuk mendapatkan bagaimana
kemungkinan nilai terbesar bagi konsumen, sebagaimana mendapatkan nilai
keuntungan maksimal bagi produsen/penjual. Pada artikel tersebut juga
menyebutkan tahapan proses analisa rantai nilai yaitu:
1. Analisa aktivitas, langkah pertama yang dilakukan dalam analisa rantai
nilai adalah mengidentifikasi yang dilakukan untuk menciptakan suatu
barang atau jasa.
2. Analisa nilai, langkah kedua adalah menilai aktivitas yang dilakukan
agar mendapat nilai terbesar bagi konsumen
3. Evaluasi dan perencanaan, langkah ketiga adalah mengevaluasi apakah
barang atau jasa yang dihasilkan mengalami perubahan nilai atau tidak,
kemudian merencanakan tindakan kedepan.
Samuelson (1980) dan Gordon (1981) dalam Prahasto (1990) menjelaskan
konsep nilai tambah (value added) pada awalnya merupakan metoda yang
digunakan dalam perhitungan produk nasional kotor (GNP), dengan konsep ini,

13

maka total nasional adalah penjualan dari nilai tambah setiap sektor. Perhitungan
GNP dengan metoda ini terutama ditunjukkan untuk menghindarkan terjadinya
double counting product akibat dihitungnya produk antara (intermediate product)
dalam GNP padahal sebenarnya termasuk pada perhitungan produk akhir.
Nilai tambah adalah seluruh tambahan biaya yang mencakup upah, bunga,
sewa, dan keuntungan akibat bertambahnya rantai kegiatan ekonomi atau tahapan
produksi (Samuelson, 1980 dalam Prahasto, 1990). Perubahan dari ekspor kayu
bulat menjadi ekspor kayu gergajian, selain menambah panjang rantai pengolahan
produk sebelum diekspor juga menambah biaya yang diperlukan untuk
pengolahan yang merupakan nilai tambah.

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di KPH Banten Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat dan Banten, Propinsi Banten. KBM Wilayah II Bogor, dan Industri
pengolahan kayu jati wilayah sekitar Jakarta pada bulan November hingga
Desember 2007.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan meliputi :
a. Seperangkat komputer, software STELLA 8.0 dan Minitab 14
b. Panduan penelitian
c. Kuisioner pertanyaan

2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder untuk proses simulasi dan pemodelan :
a. Data primer, meliputi: catatan lapangan (field report) sebagai hasil
pengamatan langsung, lembar jawaban kuisioner dan hasil
wawancara dari setiap aktor yang terlibat dalam rantai nilai serta
sumber informasi penting lainnya.
b. Data sekunder, meliputi: berbagai dokumentasi administratif
bidang kehutanan, seperti blangko data (form) monografi
kehutanan

pada

berbagai

tingkat

pemerintahan,

blangko

administrasi kayu meliputi daftar penjualan, daftar harga jual dasar
kayu bundar jati, data biaya pengelolaan, data potensi luasan dan
volume, data sosial ekonomi serta sebaran jenis hutan serta data
penunjang lainnya yang dianggap perlu.

15

C. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dari KPH Banten dan KBM Wilayah II Bogor yang
meliputi data luasan hutan kelas perusahaan jati, volume dan luasan tebang,
potensi hutan, data pembiayaan pengelolaan hutan, daftar penjualan, dan daftar
harga jual dasar kayu bundar jati. Pengumpulan informasi lainnya yaitu melalui
wawancara terstruktur dan studi pustaka.
a. Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner. Kuisioner
adalah suatu daftar yang berisi pertanyaan-pertanyaan untuk tujuan
mengumpulkan data dan pendapat dari responden yang ada
hubungannya dengan studi penelitian. Teknik kuisioner dipilih untuk
menggali

informasi

terkait

dengan

objek

penelitian

dengan

mengumpulkan informasi dari broker, dan industri pengolahan kayu
jati yang menggunakan kayu KPH Banten sebagai bahan baku.
b. Studi pustaka. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dari
sumber-sumber

yang

relevan.

Studi

dokumenter

mencakup

dokumentasi administratif dari lembaga yang besangkutan, juga
berbagai literatur dan hasil penelitian lain yang berhubungan. Studi
pustaka adalah mempelajari pustaka yang terkait dengan penelitian
untuk lebih memahami kondisi riil lapangan. Pustaka yang dipilih
difokuskan pustaka-pustaka yang masih terkait dengan tema
penelitian.

D. Metode analisis
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pendekatan sistem. Pendekatan sistem digunakan sebagai metode untuk
mengintegrasikan ragam pengetahuan yang didapat dari beragam metode untuk
menyelesaikan masalah yang kompleks (Purnomo, 2005). Pendekatan sistem
menekankan pada sebuah analisis dan desain secara keseluruhan, dari sebuah
komponen atau bagian-bagian. Pendekatan sistem melihat suatu permasalahan
dari luar dan memperhitungkan dari setiap segi dan variabel, dan hubungan sosial
dengan aspek-aspek teknologi.

16

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pemodelan
sistem yang merupakan bagian dari pendekatan sistem. Pendekatan ini dilakukan
untuk menghadapi permasalahan yang kompleks dan tidak mungkin diselesaikan
dengan pendekatan analitis. Pendekatan analitis adalah suatu pendekatan yang
memanfaatkan

persamaan-persamaan

deduktif

untuk

menggambarkan

keseluruhan sistem dan dinamikanya. Purnomo (2005) menyebutkan bahwa
analisis sistem mendasarkan pada kemampuan untuk memahami fenomena dari
jumlah data yang tersedia. Analisis sistem adalah sebuah pemahaman yang
berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk berusaha memahami prosesproses yang terjadi. Analisis sistem juga menguraikan suatu sistem informasi yang
utuh

ke

dalam

bagian-bagian

komponennya

dengan

maksud

untuk

mengidentifikasikan dan mengevaluasi permasalahan-permasalahan, kesempatankesempatan, hambatan-hambatan dan kebutuhan-kebutuhan yang terjadi pada
dunia nyata yang diharapkan menjadi umpan balik informasi, sehingga dapat
diusulkan perbaikan-perbaikannya.

E. Pengolahan Data, Pembuatan Model, dan Analisis Data
1. Identifikasi isu, tujuan dan batasan.
Identifikasi isu, tujuan dan batasan penting dilakukan untuk mengetahui
dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Membuat tujuan secara spesifik
agar semakin memudahkan proses pembuatan model, dalam hal ini peneliti
membatasi ruang lingkup penelitian pada produk-produk furnitur kayu jati yang
berasal dari satu KPH. Sedangkan isu yang diangkat adalah mencari model
pertambahan rantai nilai serta pihak yang berperan dalam meraih keuntungan.
2. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Pengolahan data wawancara terstruktur (kuisioner). Pengolahan
data tahap ini bertujuan untuk membuat data input model, data
diolah menjadi data kuantitatif (tabulasi) baik dalam bentuk tabel,
grafik ataupun diagram.
b. Pengolahan data sekunder, seperti data produksi, data penjualan
kau bulat Perhutani dan volume. Pengolahan data sekunder ini

17

bertujuan untuk membuat data input model dari sumber yang
relevan yang selanjutnya data tersebut diolah menjadi data
kuantitatif (tabulasi) baik dalam bentuk tabel maupun grafik atau
diagram.
c. Studi

pustaka

digunakan

sebagai

bahan

tambahan,

dasar

perhitungan yang relevan untuk studi ini.
3. Konseptualisasi Model
Pemodelan

dinamik

merupakan

pemodelan

yang

menggambarkan

perubahan yang terjadi pada suatu sistem berdasarkan waktu (bersifat dinamis).
Dalam pemodelan ini satuan waktu yang digunakan adalah tahun. Fase ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model yang
dibuat. Memasukkan data yang telah diolah ke dalam model (sebagai input) dan
membuat simulasi.
4. Spesifikasi Model
Melakukan perumusan yang lebih detil dari setiap hubungan yang ada
dalam model konseptual. Jika pada model konseptual, hubungan dua komponen
dapat digambarkan dengan anak panah, maka pada fase ini anak panah tersebut
dapat berupa persamaan numerik dengan satuan-satuan yang jelas. Peubah waktu
yang dapat digunakan dalam pemodelan juga harus ditentukan.
5. Evaluasi Model
Fase ini bertujuan untuk melihat apakah relasi yang dibuat telah logis sesuai
dengan harapan atau perkiraan. Tahapan dalam fase ini adalah:
a. Pengamatan model dan membandingkan dengan kenyataan pada
dunia nyata
b. Mengamati perilaku model, apakah sesuai dengan harapan/
kenyataan yang digambarkan pada fase konseptualisasi model
c. Membandingkan perilaku model dengan data yang didapat dari
sistem atau dunia nyata
Proses pengujian kewajaran dan kelogisan model adalah melakukan
pembandingan dunia nyata dengan model yang dibuat. Perbandingan dilakukan
dengan uji Khi Kuadrat (χ2) (Walpole, 1995) dengan rumus berikut :
χ2 hitung = ∑ (yriil – ymodel)2/ ymodel

18

= Ho : ymodel = yriil

dengan hipotesis

H1 : yriil
Dengan kriteria hitung uji

≠ ymodel

= χ2 hitung < χ2 tabel : terima Ho
χ2 hitung > χ2 tabel : tolak Ho

6. Penggunaan Model
Model dapat dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan
dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak. Dalam
penggunaan model ini diperlukan kegiatan:
o Membuat daftar panjang skenario dari semua skenario yang
mungkin dapat dibuat dan akan dikembangkan
o Menganalisis hasil dari daftar pendek skenario
o Merumuskan skenario tersebut menjadi pilihan kebijakan.
Tahapan pemodelan dan analisis data pada studi ini disajikan pada Gambar
3 berikut:
Identifikasi Isu,
tujuan dan batasan

Konseptualisasi
model

Spesifikasi
model

Evaluasi
model

Penggunaan
model
Gambar 3 Tahapan Pemodelan

19

Dalam penelitian ini, analisis rantai nilai dilakukan dengan :
1. Penelusuran rantai nilai tataniaga kayu dari produsen (Perhutani)
sampai ke pedagang dan konsumen, serta melakukan pemetaan
aliran produk yang mencakup: a) nilai output kotor, b) nilai input,
dan c) aliran fisik dari produk
2. Analisa nilai tambah dan distribusi nilai tambah yang diterima
masing-masing aktor yang dirumuskan sebagai berikut :
π = Hj – B
Dimana:
π = Keuntungan yang diterima oleh aktor
Hj = Harga jual produk
B = Total biaya
3. Selanjutnya memasukkan nilai-nilai yang telah dicari ke dalam
model simulasi.

KONDISI UMUM PERTAMBAHAN NILAI JATI

Jati merupakan salah satu komoditi berasal dari hutan yang baik dan
bernilai jual tinggi, karena memiliki nilai fisik dan estetika yang tinggi. Di
Indonesia jati banyak diperoleh di Pulau Jawa. Selain di Indonesia jati juga
banyak ditemukan di Kamboja, Thailand, Myanmar dan India. Nilai jati terus
mendapat perhatian karena perannya dalam peningkatan devisa negara serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di Kamboja, pengelolaan hutan jati yang
dikelola oleh negara dengan rotasi 30 tahun dengan perlakuan penjarangan
menghasilkan nilai keuntungan bagi perusahaan sebesar US$ 1.000/Ha pada tahun
ke-3, US$ 2.000/Ha pada tahun ke-8 dan US$ 4.000/Ha pada tahun ke-15 dan 20
sedangkan pada tahun ke-30 pada pengelolaan tersebut mengasilkan keuntungan
US$ 30.000/Ha. Nilai yang hampir sama didapat pada pengelolaan tanpa
penjarangan, yaitu sebesar US$ 30.000/Ha, dengan nilai estimasi pohon berdiri
sebesar US$ 100/pohon dan terdapat 300 pohon/Ha (Agrifood Consulting
International, 2005). Pengelolaan hutan jati tanpa penjarangan memiliki nilai
NPV/Ha/Tahun sekitar US$ 55 pada tingkat suku bunga 10%, sedangkan
penjualan kayu persegi oleh lahan miliki pribadi, dijual seharga US$ 300/m3,
sehingga pada waktu panen perusahaan pengelola hutan jati menjual kayu yang
dipanennya kepada perusahaan penggergajian pribadi untuk meningkatkan nilai
kayu tersebut (Agrifood Consulting International, 2005).
Di Myanmar, produksi kayu bulat jati pada tahun 1971-1997 yang diizinkan
oleh pemerintah adalah rata-rata sebesar 609.500 m3/tahun. Nilai jual kayu bundar
jati berbeda tiap tahunnya. Berikut ini harga jual kayu bundar di Myanmar pada
beberapa tahun :
Tabel 1 Harga jual kayu bundar di Myanmar pada tahun 1994-1998
Tahun
Harga (US$/log)

1994/1995

1995/1996

1996/1997

1997/1998

1.438

1.363

1.233

1.304

Perusahaan perkayuan di Myanmar memiliki efisiensi produksi produk dari
pemanenan dengan nilai tingkat sisa produksi (limbah) sampai produk akhir
sebesar 25%, sehingga pada produk akhir di pasar 100 m3 membutuhkan kayu

21

yang dipanen sebanyak 125 m3 (Castrén, 1999). Ekspor produk hasil hutan di
Myanmar memiliki peran yang cukup penting. Perputaran kayu banyak
didominasi oleh kayu bundar yaitu sebesar 80-85%, hanya sekitar 1/5 dari total
pendapatan ekspor hasil hutan diisi oleh produk pengolahan kayu. Produk olahan
primer seperti penggergajian, kayu lapis, dan kayu vinir mencapai 10-15% serta
pertambahan nilai pada industri kayu lainnya seperti moulding, flooring dan
furnitur hanya 5% dari total ekspor hasil hutan.
Saat ini Myanmar banyak menggunakan hutan alam sebagai penghasil kayu
bulat jati. Harga log kayu jati pada bulan Januari hingga Juni tahun 2007
bervariasi. Harga Kualitas II dihargai sebesar € 4.515/m3, harga kualitas III
dihargai sebesar € 4.288/m3 dan kualitas IV dengan harga € 3.944/m3.
Tabel 2 Harga rata-rata gergajian kayu jati Myanmar (April-Mei 2007)
Kualitas Kayu Gergajian

Harga Rata-rata € perhoppus* Ton
April

Mei

Kualitas I

2.461

2.836

Kualitas II

2.016

2.094

Kualitas III

-

-

Kualitas IV

1.687

1.661

1.325

1.350

Kualitas V
3

Sumber: ITTO (2007); *Hoppus ton = 1,8 m (1 US$ = € 0,726 = Rp 9.042)
Furnitur di negara Cina memiliki peran penting bagi pendapatan negara
tersebut. Asosiasi furnitur Cina secara formal menganugerahi sebuah sebutan
furnitur klasik Eropa pada daerah Yuhuan di Provinsi Zheijiang. Daerah ini dapat
menghasilkan 90% industri furnitur yang memproduksi furnitur klasik Eropa,
dengan rata-rata kapasitas produksi sebesar 900.000 set furnitur pertahun. Hal ini
merupakan produksi terbesar di Cina bagian Timur dan memiliki andil 30% dari
pasar nasional Cina, serta 70% produk furnitur telah dijual kepada 30 negara.
Harga kayu gergajian jati dengan panjang 4 meter dari Cina dihargai sebesar
10.000-12.000 Yuan/m3 atau sebesar 1321-1585 US$/m3 dengan nilai tukar
sebesar 1 US$ = 7,57 Yuan (ITTO, 2007).
Di Amerika Utara, pertumbuhan konsumsi furnitur di Amerika sejalan
dengan pendapatan bersih pajak pada tingkat 6,1% pada tahun 2006, meningkat

22

dari 4,7% dari tahun sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan konsumsi di Amerika
ini, kemungkinan besar membawa peningkatan pada nilai pasar dunia sekitar US$
88,58 milyar pada tahun 2007 dibandingkan pada tahun sebelumnya dengan nilai
US$ 83,82 milyar. Sedangkan harga kayu jati gergajian (yang kasar) di Amerika
Utara merupakan kayu impor dari Taiwan bernilai US$ 2.125/m3 (ITTO, 2007).
Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi persediaan kayu jati.
Indonesia memiliki 31% dari sekitar 94% total luas tanaman jati tropis di Asia
(Bhat, 2003). Di Indonesia, peran yang besar tersebut didominasi oleh pemegang
hak pengelolaan kawasan jati khususnya di Jawa yaitu Perhutani. Perhutani
sebagai pengelola kawasan jati terbesar di Indonesia, memperkirakan penerimaan
pada tahun 2007 sebagai perusahaan pengelolaan hutan negara sebesar Rp 2,415
triliun, suatu kenaikan sebesar Rp 500 milyar dibanding tahun 2006. Pemasukan
terbesar didapat dari hasil hutan kayu sebesar 75% dan 25% dari hasil hutan non
kayu (ITTO, 2007).
Tabel 3 Volume penjualan kayu bulat jati dan penerimaan Perhutani (1998-2002)
Volume (m3)

Tahun

Penerimaan (Rp x 1000)
Total

Rata-rata/m3

1998

703.005

550.602.273

783

1999

567.715

656.779.314

1.156

2000

726.653

675.994.415

930

2001

645.041

813.704.787

1.261

2002

613.219

836.439.281

1.364

Sumber: Siswamartana (2003)
Rata-rata harga kayu bulat jati di atas ditentukan beberapa faktor sebagai
berikut :
o Komposisi kayu menurut kelas diameter dan kualitas.
o Illegal loging yang membuat kelebihan persediaan kayu dan
menurunkan harga.
o Krisis ekonomi yang menyebabkan merosotnya daya beli
konsumen.
Setiap meter kubik kayu jati yang dijual oleh Perhutani menyangkut kepada
hal berikut ini :

23

o Pertambahan nilai pada pajak sebesar 10% dari harga kayu
o Bagian sumberdaya hutan
o Retribusi kepada pemerintah daerah
o Fee lelang dan kepedulian sosial
Setiap meter kubik diprediksi bagian wajib pajak sebesar Rp 450.000 untuk
penjualan

langsung

dan

Rp

650.000

untuk

penjualan

melalui

lelang

(Siswamartana, 2003).
Berikut ini tabel perbandingan nilai kayu gergajian jati di berbagai negara
pada tahun 2007 :
Tabel 4 Nilai Kayu gergajian jati di berbagai negara
Nama Negara

Kualitas

Nilai Kayu Jati (US$)

I

2.026

II

1.572

IV

1.280

V

1.027

Cina*

-

1.453

Taiwan

-

2.125

I

809

II

753

III

677

Myanmar

Indonesia

(penjualan

dalam negeri)

Sumber: ITTO (2007), Perhutani (2007); * 1 US$ = 7,567 Yuan

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengembangan Model
1. Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan
Tingkat kebutuhan kayu semakin meningkat dan diiringi dengan semakin
bertumbuhnya industri pengolahan kayu. Permintaan kebutuhan kayu yang tinggi
tidak diimbangi dengan persediaan sumber daya hutan terutama kayu. Hutan
tanaman yang banyak berdiri menggantikan hutan alam yang kian berkurang juga
berperan sebagai pendukung persediaan kayu bulat untuk memenuhi pasar.
Perhutani sebagai perusahaan pengelolaan hutan tanaman terbesar di pulau Jawa
memiliki andil besar dalam penyediaan kayu jati yang diminta oleh pasar.
Total luas kawasan hutan yang dikelola Perhutani adalah seluas 3.009.771
ha yang meliputi hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi, dan taman
nasional, dengan luas 1.083.925 ha berupa kawasan hutan jati. Pada 2003, sekitar
76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sebagai hutan produksi, yaitu
kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (terutama kayu).
Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung,
suaka alam, hutan wisata, dan cagar alam. Sedangkan KPH Banten yang berada
dibawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten memiliki
luas kawasan hutan jati sebesar 36.438,55 Ha atau sebesar 1,21% dari total luas
hutan Perum Perhutani dan sebesar 3,36% dari luas kawasan jati Perum Perhutani.
Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang memiliki
fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Memiliki nilai yang besar dan penting
untuk pendapatan negara. Begitu juga dengan industri hilir yang berada
setelahnya, seperti penggergajian kayu, industri mebel dan lainnya. Nilai-nilai
tersebut mengalir dari produsen hingga ke konsumen, dengan nilai yang berbeda.
Pada penelitian ini penulis membatasi lingkup penelitian hanya pada jati
yang berasal dari KPH Banten. Selanjutnya melakukan penelusuran aliran kayu
hingga ke industri pengolahan kayu jati (furnitur) di daerah Jakarta dan
sekitarnya.
Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perhutani memiliki banyak tujuan,
selain sebagai pemasok kebutuhan bahan baku kayu, juga dapat meningkatkan

25

kesejahteraan masyarakat dan membuka peluang kerja bagi masyarakat,
mendukung dan berperan serta dalam pembangunan wilayah dan perekonomian
nasional. Dalam rangka pengelolaan hutan lestari, pengelolaan hutan Perum
Perhutani jugs bertujuan meningkatkan produktivitas, kualitas dan nilai sumber
daya hutan. Isu yang diangkat dalam pemodelan ini adalah mencari dinamika
sistem pertambahan nilai jati di KPH Banten melalui penelusuran produk lanjutan
kayu jati.
Pemodelan ini dibuat dengan tujuan untuk menggambarkan sistem
pengusahaan kayu jati, menggambarkan sistem tersebut dalam sebuah model
simulasi serta mempelajarinya dengan pendekatan sistem dinamis, diperolehnya
informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai produk
kayu, serta tersusunnya rekomendasi skenario kebijakan yang sesuai dan
menguntungkan bagi pelaku pada sistem pengusahaan hutan dan kayu jati.
Berdasarkan model tersebut diharapkan dapat menjadi informasi mengenai
alternatif peningkatan potensi dan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah, dapat
memberikan masukan mengenai pengembangan pengusahaan hutan dan industri
pengolahan kayu jati (furnitur) agar tetap sukses bertahan pada pasar global, serta
dapat memberikan masukan bagi KPH agar dapat menyeimbangkan rasio
kelestarian hutan dengan produksi yang dihasilkan serta masukan pengembangan
usaha lainnya. Batasan sistem terkait dengan sumber bahan baku kayu jati yang
dalam hal ini adalah KPH Banten, lingkup pemasaran produk lanjutan kayu jati di
daerah Jakarta dan sekitarnya seperti broker dan industri pengolahan kayu jati.
Batasan sistem ditetapkan dengan tujuan untuk memisahkan komponen yang
berada di dalam sistem dan komponen yang berada di luar sistem. Komponen
yang berada di dalam sistem dibatasi sebagai berikut : (1) Harga jual dasar kayu
bundar jati Perhutani, (2) Harga beli dan harga jual broker, (3) Biaya industri
pengolahan kayu jati dan harga jual produk, (4) Satuan produk dan (5)
Keuntungan.
2. Konseptualisasi
Model konseptual yang dikembangkan dideskripsikan melalui aliran dan
stok. Model yang dibuat terdiri dari beberapa submodel antara lain: areal hutan

26

dan produksi kayu KPH Banten, penjualan kayu, industri pengolahan kayu serta
pasar produk furnitur. Pemodelan dinamik merupakan pemodelan yang
menggambarkan perubahan yang terjadi pada suatu sistem berdasarkan waktu
(bersifat dinamis). Dalam pemodelan ini satuan waktu yang digunakan adalah
tahun. Fase ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh
tentang model yang dibuat.
Kebutuhan akan kayu yang terus meningkat dapat dilihat dari besarnya
permintaan kayu di pasar. Pasar dapat menjadi penentu besaran produksi yang
dihasilkan dari hutan sebagai penghasil kayu (bahan baku), dalam hal penghasil
kayu KPH Banten berperan sebagai penghasil kayu bulat yang dihasilkan dari
kegiatan pemanenan. Kegiatan pemanenan merupakan rangkaian kegiatan
pengelolaan hutan, dimana kegiatan pengelolaan hutan biasanya dimulai dengan
kegiatan penanaman, lalu diikuti oleh kegiatan lainnya seperti pemeliharaan,
penanaman dan sebagainya. Banyaknya penanaman akan mempengaruhi
dinamika tegakan yang akan berhubungan dengan banyaknya penebangan. Jika
yang ditanam banyak memungkinkan akan dapat banyak menebang pada waktu
yang akan datang, yang akan mengahsilkan kayu bulat. Kayu bulat yang
dihasilkan tersebut selanjutnya diolah melalui industri pengolahan kayu primer
yang akan menghasilkan produk kayu olahan.
Pengelolaan hutan lestari diharapkan mampu menghasilkan produk yang
dapat menyeimbangkan permintaan kayu khususnya jati yang menguntungkan
secara sosial ekonomis, produktif, dan berwawasan lingkungan. Sehingga selain
dapat meningkatkan nilai perolehan dari kayu yang dihasilkan juga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan pendapatan masyarakat
lainnya melalui industri pengolahan kayu. Konseptualisasi model dalam penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 4 berikut :

27

Penanaman

(+)

Kayu bulat

penjualan
(+)

(+)

pemanenan

Jati KPH

(+)

(+)

Broker

Ind. pengolahan
(+)

(+)

Pengolahan kayu bulat
(+)
Produk kayu
olahan
(+)
Hutan jati

(+)
pasar
(+)

(+)

Konsumsi
domestik

Industri
furnitur

Penjualan produk
(+)
Ekspor
Gambar 4 Konseptualisasi model yang dikembangkan
Gambar 5 di bawah ini merupakan diagram sebab akibat alir kayu KPH
Banten. Diagram ini meliputi aktor, peran aktor dan aliran kayu. KPH Banten
sebagai salah satu sumber penghasil kayu bulat Perum Perhutani menghasilkan
kayu tiap tahunnya, dengan jumlah volume yang berbeda. Aktor selanjutnya
adalah Broker yang memiliki peran dalam aliran pertambahan nilai kayu KPH
Banten, selanjutnya kayu bulat tersebut akan diproses pada industri pengolahan
kayu yang terdiri dari penggergajian, pembuatan furnitur (produsen), dan terakhir
finishing untuk mempertinggi nilai kualitas furnitur. Selanjutnya produk furnitur
tersebut dijual kepada konsumen.

28

Penanaman
+
+ Jati KPH

Hutan jati
+

broker
++

+
Pemanenan

Pertumbuhan
Jati +
Tegakan jati

+

+
Penggergajian

+
Kayu bulat
+

+
Lelang

Pasar ekspor +

+
Penjualan langsung

Penjual
+
+
Konsumsi domestik

Finishing

+

+
Produsen furnitur

Gambar 5 Diagram sebab akibat alir kayu jati KPH

3. Pertambahan Nilai Jati KPH Banten
Dari hasil studi ini, diperoleh pertambahan nilai jati KPH Banten dengan
nilai yang berbeda pada setiap aktor, perolehan pertambahan nilai dapat dilihat
pada Tabel 4. Nilai output diperoleh dari nilai produk akhir. Nilai pertambahan
kayu yang diperoleh ditentukan dari masukan bahan baku sejumlah 1 m3 yang
akan terus menjadi produk akhir sebanyak 0,285 m3. Tiap aktor memiliki peran
berbeda dalam pertambahan nilai kayu jati, penyumbang terbesar diprediksi dari
perhutani. Sedangkan aktor dalam industri pengolah kayu sebagai penyumbang
pertambahan nilai terbesar dipegang oleh produsen furnitur. Berikut ini
pertambahan nilai kayu per meter kubik jati pada setiap aktor.

29

Tabel 5 Pertambahan nilai kayu jati di tiap aktor dan produk (Rp x 1.000/m3)
Aktor

Nilai Output Nilai Input Output bersih
2.496

1.711

785

497

200

297

Penggergajian

1.011

500

511

Produsen furnitur

2.047

1.260

787

Finishing

1.360

680

680

Penjual

1.052

474

578

Perhutani
Broker

Nilai pada tabel di atas masih memerlukan perhitungan kembali untuk
mendapatkan hasil nyata yang diperoleh dari 1 m3 produk kayu bulat sebagai
bahan baku yang akan menjadi produk akhir sebesar 0,285 m3. Sehingga
diperlukan faktor konversi sebagai pembantu perhitungan, karena tiap aktor
menghasilkan produk tinggal yang berbeda. Tabel 6 berikut ini merupakan
perhitungan yang dilakukan untuk mendapat nilai pada produk akhir :
Tabel 6 Pertambahan nilai kayu jati (Rp x 1000/m3)
Faktor
Konversi
%

Produk
Tinggal
m3

Nilai
Output
Rp

Perhutani

100

1

2.496

1.711

785

Broker

100

1

497

200

297

Penggergajian

50

0,5

505

250

255

Produsen furnitur

60

0,3

614

378

236

Finishing

95

0,285

387

193

193

100

0,285

299

135

164

4.801

2.868

1.933

Aktor

Penjual
Total

Input
Biaya
Rp

Pertambahan
Nilai (bahan)
Rp

Sumber : Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999), Hidayat (2007),
Purnomo (2006)
Produk tinggal merupakan perkalian antara faktor konversi yang digunakan
dari aktor kepada aktor yang selanjutnya. Tabel di atas menunjukan bahwa untuk
mendapatkan produk tinggal berupa produk furnitur sebesar 0,285 m3 yang telah
difinishing dan siap jual membutuhkan kayu bulat sebagai bahan baku sebanyak 1

30

m3, dengan harga akhir sebesar Rp 4.801.000 yang membutuhkan biaya sebesar
Rp 2.868.000 serta pertambahan nilai dari bahan yang digunakan sebesar Rp
1.933.000. Sedangkan pertambahan nilai yang dihasilkan dari produk satu ke
produk selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Pertambahan nilai kayu jati pada bahan dan produk hasil (Rp x 1000)
Aktor

Pertambahan Nilai (bahan)
3

Rp/m3

%

Rp/m

Pertambahan Nilai (produk)
%

Perhutani

785

40,61

785

21,57

Broker

297

15,41

297

8,18

Penggergajian

255

13,23

511

14,05

Produsen

236

12,21

787

21,63

Finishing

193

10,03

680

18,69

Penjual

164

8,52

578

15,88

1.933

100,00

3.639

100,00

furnitur

Total

Total pertambahan nilai bahan per meter kubik sampai produk akhir adalah
sebesar Rp 1.933.000/m3, dengan aktor yang menikmati pertambahan nilai bahan
terbesar adalah Perum Perhutani sebesar 40,61%. Hal ini diprediksi karena
dipengaruhi faktor konversi dan volume penjualan yang besar. Tetapi dengan
melihat waktu yang dibutuhkan untuk memeroleh nilai tersebut broker memiliki
peluang yang cukup besar dibanding Perhutani. Sedangkan pertambahan nilai
yang dihasilkan dari produk adalah sebesar Rp 3.639.000/m3. Pertambahan nilai
produk dari Tabel 5 di atas diperoleh bahwa produsen furnitur mendapat
persentase pertambahan nilai produk terbesar, yaitu sebesar 21,63% atau sebesar
Rp 787.000 dari total pertambahan nilai produk sebesar Rp 3.639.000. hal ini
disebabkan karena pertambahan nilai produk tidak dipengaruhi faktor konversi,
melaikan lebih dipengaruhi oleh keuntungan yang didapat oleh tiap aktornya.
Besaran jumlah pertambahan nilai yang diperoleh aktor terdistribusi secara
bervariasi. Aktor industri pengolahan kayu (penggergajian, produsen furnitur dan
finishing) mendapatkan 35,46% dari pertambahan nilai jati, sedangkan perhutani

31

sebagai produsen mendapatkan 40,61%. Broker mendapatkan 15,41% dan penjual
memperoleh 8,52% dari pertambahan nilai jati dari bahan yang diproduksi.
4. Spesifikasi Model
Pemodelan dinamika sistem pertambahan nilai kayu jati KHP Banten ini
menggunakan software sistem dinamik STELLA 8, terdiri dari beberapa
submodel :
1.

Areal Hutan

Submodel areal hutan menggambarkan sumber daya hutan sebagai tempat
produksi kayu jati dari kawasan hutan KPH Banten sebagai sumber
kebutuhan kayu bulat di berbagai daerah. KPH Banten telah memiliki
komitmen bersama dengan direksi Perum Perhutani tentang pembebasan
wilayah hutan dari tanah kosong, sehingga KPH Banten telah melakukan
pengawalan tanaman secara serius yaitu dengan membentuk brigade hijau
dimana persentase tumbuh tanaman minimal 95% dan laju kerusakan hutan
tidak lebih dari 2% per tahun. KPH Banten tidak hanya berkonsentrasi pada
pembuatan tanaman tetapi juga pada pemeliharaannya. Dalam submodel ini
diasumsikan bahwa penananaman dilakukan dan disesuaikan dengan luasan
kawasan hutan yang dipanen. Ingrowth merupakan jumlah tanaman yang
hidup saat penanaman yang akan masuk menjadi kelas umur (KU) 1.
Sedangkan pembalakan liar dianggap tidak ada (nol). Jumlah pohon pada
tiap kelas umur didekati dengan persamaan yang digunakan oleh Sopari
(2007) :
N = (L KUi x 10.000) : (0,5 x JT2 x 1,73)
Dimana:
N

= Jumlah pohon tiap KU.

L KUi = Luas kelas umur yang akan dicari jumlah pohon.
JT

= Jarak tanam

Tabel 8 Persen penjarangan dan persen tumbuh terhadap jumlah pohon
Jenis persentase
Penjarangan
Tumbuh
Sumber: Data diolah

1

2

3

0,021

1,217

1,39