Peran cacing tanah Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus dalam mengkonsumsi sampah organik:

PERAN CACING TANAH Eisenia fetida DAN Lumbricus
rubellus DALAM MENGKONSUMSI SAMPAH ORGANIK

PUSPA ELIDAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Peran Cacing
Tanah Eisenia fetida Dan Lumbricus rubellus Dalam Mengkonsumsi Sampah
Organik” adalah benar hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009


Puspa Elidar
NRP. G352070131

ABSTRACT

PUSPA ELIDAR. The Role of Earthworms Eisenia fetida and Lumbricus
rubellus in Consumpting Organic Wastes. Under direction of by RIKA
RAFFIUDIN and TRI HERU WIDARTO.

Organic wastes polluting the environment are mainly caused by human
being. Vermicomposting is a process to decompose organic wastes by using
earthworms in interaction with microorganisms. Eisenia fetida and L. rubellus
are the most common earthworm species used in vermicomposting. The aims of
the study were to determine the effect of different earthworm combinations
(single and mixed species) and the ratio between earthworm and vegetable wastes
on (1) consumption rate, (2) growth and reproduction of worms and (3) chemical
composition of produced vermicompost. Ratio earthworm and vegetable wastes
1:1 (R1.1), 1:2 (R1.2) and 2:1 (R2.1) were used to decompose two kinds of waste
(fermented and non fermented). The consumption rate was the percentage of the

wastes consumed by earthworm weekly. Growth and reproduction of earthworm
were measured by weighing their biomass and counting their cocoon production
weekly, respectively the results showed that the consumption rate on fermented
waste in the combination of both species was not significantly different (PL, sedangkan rasio cacing tanah dan bahan organik adalah
R2.1>R1.1>R1.2. Perbedaan laju konsumsi bahan organik ini disebabkan oleh
jumlah populasi cacing tanah, kualitas, dan kuantitas bahan organik. Jumlah
populasi turut mempercepat laju konsumsi bahan organik, karena semakin besar
jumlah populasi cacing tanah, maka semakin cepat aktivitas konsumsi terhadap
bahan organik. Disamping itu, bahan organik yang lunak dan substrat dengan
tingkat nutrisi tinggi dapat mempercepat proses konsumsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan
cacing
tanah
kombinasi E. fetida dan L. rubellus yang ditunjukkan pada R1.1 dan R1.2,
cenderung memiliki berat lebih baik dari E. fetida dan L. rubellus secara tunggal
baik dengan bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi. Sementara L.
rubellus memiliki berat yang lebih rendah. Sebaliknya pada R2.1, L. rubellus
dengan sampah fermentasi dan non-fermentasi menunjukkan berat yang lebih
baik dari E. fetida dan kombinasinya. Pertumbuhan cacing tanah sangat
bergantung pada ketersediaan dan kualitas bahan organik, serta kerapatan jumlah

populasi cacing tanah. Cacing tanah yang mengkonsumsi bahan organik lebih
banyak dapat tumbuh lebih cepat daripada cacing tanah yang mengkonsumsi
sedikit bahan organik. Selain itu, kerapatan populasi cacing tanah dan
ketersediaan pakan yang tidak mencukupi akan menurunkan laju pertumbuhan
cacing tanah.
Kombinasi E. fetida dan L. rubellus menghasilkan kokon dengan jumlah
terbanyak pada R1.2 pada bahan organik fermentasi. Spesies E. fetida
menghasilkan total kokon lebih banyak daripada L. rubellus. Waktu inkubasi

kokon E. fetida lebih rendah daripada L. rubellus. Jumlah juvenil yang dihasilkan
E. fetida lebih banyak daripada L. rubellus.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa struktur media mengalami
perubahan bentuk dan berat. Media L. rubellus mengalami penurunan berat lebih
cepat pada R1.2 dengan bahan organik non-fermentasi.
Kandungan kimiawi pada vermikompos E. fetida dan L. rubellus
menghasilkan bahwa rasio C/N vermikompos lebih rendah daripada substrat awal
baik bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi. Kandungan P pada
vermikompos E. fetida dan L. rubellus menurun pada bahan organik fermentasi
dan meningkat pada non-fermentasi. Kandungan K pada vermikompos E. fetida
dan L. rubellus meningkat dari substrat awal baik bahan organik fermentasi

maupun non-fermentasi. Menurunnya rasio C/N pada vermikompos menunjukkan
terjadi humifikasi dan stabilisasi bahan organik selama proses vermicomposting.
Peningkatan kandungan P dan K pada vermikompos menunjukkan adanya
peningkatan mineralisasi unsur-unsur yang diakibatkan oleh aktivitas enzim dan
mikrob dalam saluran pencernaan cacing tanah.
Kata kunci: cacing tanah, sampah organik, rasio, berat cacing tanah, komposisi
kimia vermikompos.

© Hak Cipta Milik IPB,tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah,
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PERAN CACING TANAH Eisenia fetida DAN Lumbricus

rubellus DALAM MENGKONSUMSI SAMPAH ORGANIK

PUSPA ELIDAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magíster Sains pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Judul Tesis
Nama
NRP

: Peran Cacing Tanah Eisenia fetida Dan Lumbricus rubellus
Dalam Mengkonsumsi Sampah Organik.

: Puspa Elidar
: G.352070131

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rika Raffiudin. M.Si
Ketua

Ir. Tri Heru Widarto. M.Sc
Anggota

Disetujui,

Koordinator Mayor
Biosains Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Bambang Suryobroto


Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro. M.S.

Tanggal Ujian: 21 Agustus 2009

Tanggal Lulus: ………………..

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang
berlimpah kepada penulis sehingga tesis yang berjudul ”Peran Cacing Tanah
Eisenia fetida Dan Lumbricus rubellus Dalam Mengkonsumsi Sampah Organik”
telah dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari masukan dan arahan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih
kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si dan Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc, selaku komisi
pembimbing atas jerih arahan, bimbingan dan dorongan semangat selama proses
awal hingga terselesaikannya tesis ini; Dr. Triadiati M.Si, selaku penguji luar
komisi; Bapak Rudi, budidayawan cacing tanah; Hari Nugroho S.Si, selaku Staf

Peneliti di di Laboratorium Entomologi Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI
yang telah membantu penulis dalam mengidentifikasi cacing tanah; Staf
Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP Bogor atas bantuannya menganalisa
kandungan kimiawi vermikompos; Bapak Nunuk, laboran Lab. Fisiologi
Tumbuham; seluruh Staf Dosen Mayor Biosains hewan yang telah memberikan
bekal ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik; seluruh
staf laboratorium zoologi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang
berguna; Departemen Agama RI yang telah memberikan beasiswa pendidikan
kepada penulis.
Disamping itu, ucapan terima kasih yang sangat dalam kepada suami
tercinta Drs. Mufti Sudibyo, M.Si atas cinta kasih, kesabaran dan dorongan
semangat, keluarga besar Almarhum H. A. Kadir Ahmadi atas doa dan perhatian,
teman-teman satu Tim cacing tanah dan cacing laut: Budi, Ilyas, Sevi dan Sri
terima kasih atas kerjasama, dukungan dan persahabatan kita selama ini, serta
teman-teman mahasiswa BUD Depag RI Angkatan ke-2.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan
ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009

Puspa Elidar

RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Tanjung Pura pada tanggal 15 Januari 1966 dari
Almarhum Bapak H. A. Kadir Ahmadi dan Almarhummah Ibu Hj. Nurbainah.
Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Penulis telah menikah
dengan Drs. Mufti Sudibyo M.Si pada tanggal 7 Januari 2005 dan telah dikaruniai
seorang anak laki-laki Rijalul Akhyar.
Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri Tanjung Pura dan melanjutkan
ke Perg.Tinggi IAIN-SU Medan. Tahun 1994 lulus menjadi PNS dan menjadi
guru Biologi di Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Pura sampai tahun 2005.
Tahun 2002, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan strata S1 di
Universitas Negeri Medan jurusan Pendidikan Biologi dengan dana beasiswa dari
Dept. Agama RI. Tahun 2007, kembali penulis diberi kesempatan untuk
mengikuti pendidikan strata S2 di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi
Mayor Biosains Hewan dengan dana beasiswa dari Dept. Agama RI.
Penulis merupakan salah satu staf pengajar pada mata pelajaran Biologi di
Madrasah Aliyah Negeri 3 Medan sejak tahun 2005 sampai sekarang.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................

Vii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................

Viii

PENDAHULUAN ................................................................................

1

Latar Belakang ............................................................................
Tujuan Penelitian .........................................................................
Manfaat Penelitian .......................................................................


1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................

4

Pengenalan Cacing Tanah ............................................................
Distribusi geografi Lumbricidae .........................................
Fisiologi Cacing Tanah ................................................................
Sistem pencernaan ...............................................................
Sistem ekskresi ....................................................................
Sistem reproduksi dan perkembangan ................................
Sistem saraf .........................................................................
Ekologi dan pola pencarian pakan cacing tanah ................
Cacing Tanah Sebagai Dekomposer ............................................

4
5
5
5
6
7
8
9
10

METODE PENELITIAN ....................................................................

13

Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................
Pemeliharaan dan Budi Daya Cacing Tanah ...............................
Pelaksanaan Penelitian dan Pengumpulan Data ..........................
Laju konsumsi bahan organik .............................................
Pertumbuhan cacing tanah ...................................................
Produktivitas cacing tanah ...................................................
Perubahan kondisi media selama proses vermikompos ......
Analisa Data .................................................................................

13
13
14
16
16
17
17
17

HASIL ..................................................................................................

19

Nilai pH, rH, dan Suhu Media Hidup Cacing Tanah ....................
Laju Konsumsi Bahan Organik Oleh Cacing Tanah ....................
Pertumbuhan Cacing Tanah .........................................................
Produktivitas Cacing Tanah .........................................................
Perubahan Kondisi Media Selama Proses Vermikompos ............

19
23
27
29
35

PEMBAHASAN ..................................................................................

38

Laju Konsumsi Bahan Organik Oleh Cacing Tanah ....................
Pertumbuhan Cacing Tanah .........................................................
Produktivitas Cacing Tanah .........................................................
Perubahan Kondisi Media Selama Proses Vermikompos ............

38
40
42
43

SIMPULAN DAN SARAN .................................................................

48

Simpulan .......................................................................................
Saran .............................................................................................

48
49

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................

50

LAMPIRAN .........................................................................................

57

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Komposisi bahan yang digunakan dalam percobaan
vermikomposting ..........................................................................
2 Hasil analisis laju konsumsi, berat cacing tanah, dan jumlah
kokon ............................................................................................
3 Kandungan kimiawi vermikompos dari kedua spesies cacing
tanah .............................................................................................

16
24
37

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Cacing tanah Eisenia fetida (a) , Lumbricus rubellus (b) .............

4

2

Tahap-tahap reproduksi cacing tanah, mating (a), kokon (b),
juvenil keluar dari kokon(c) ...........................................................

8

3

Pemeliharaan dan budi daya cacing tanah, sistem windrow (a)
sistem bin(b) …………………………………………………….

15

4

Wadah percobaan (a), bahan organik (b), bedding (c) ………….

15

5

pH media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan bahan organik
fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) .................

20

6

Kelembaban (rH) media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan
bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non
fermentasi (○) ...............................................................................
Suhu media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan bahan
organik fermentasi (●), dan bahan organik non- fermentasi (○) ..

21

8

Laju pertumbuhan E. fetida, L. rubellus dan kombinasinya pada
R1.1, R1.2, R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan
bahan organik non-fermentasi (○) ................................................

28

9

Rata-rata jumlah kokon E. fetida, L. rubellus,dan kombinasinya
pada R1.1, R1.2, R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan
bahan organik non-fermentasi (○) ................................................

30

10 Jumlah kokon total kokon tiap spesies dengan bahan organik
fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) .................

32

11 Jumlah kokon total dari wadah yang berisi kombinasi E. fetida
dan L. rubellus dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan
organik non-fermentasi (○) ...........................................................

33

12 Waktu rata-rata inkubasi kokon dari kedua spesies cacing tanah ..

34

13 Jumlah rata-rata juvenil yang diproduksi masing-masing kokon ..

34

7

22

14 Perubahan tekstur media kotoran sapi menjadi vermikompos:
kombinasi kotoran sapi dan tanah (a), minggu pertama sampai
minggu keenam (b-g), vermikompos yang telah diayak (h)
..................................................................................................

35

15 Penurunan berat basah media cacing tanah E. fetida, L. rubellus
dan kombinasinya pada R1.1, R1.2, R2.1 dengan bahan organik
fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) .................

36

\

LAMPIRAN

Halaman

1a Data hasil pengukuran pH media setiap minggu …………………

57

1b

Data hasil pengukuran kelembaban media setiap minggu ……….

57

1c

Data hasil pengukuran suhu media setiap minggu ……………….

57

2a

Data hasil pengukuran berat cacing setiap minggu ………………

58

2b

Data hasil pengukuran jumlah kokon setiap minggu …………….

58

2c

Data hasil pengukuran penurunan berat media cacing setiap
minggu ……………………………………………………………

58

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampah organik maupun anorganik dapat menimbulkan pencemaran
sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti bau yang tidak sedap,
berbagai

penyakit kulit, dan mengganggu resapan air tanah

yang dapat

mencemari sumur penduduk. Sampah dari tahun ke tahun selalu meningkat,
misaknya tahun 2005 di DKI Jakarta dihasilkan sampah sebanyak 6.000 ton/hari
(25.687 m3/hari) atau setara dengan 267 l/jiwa/hari dengan komposisi 65.05%
merupakan bahan organik dan 34.95% non-organik (Sagala 2005).
Pengelolaan sampah organik dapat dilakukan dengan pengurangan sumber
(source reduction), penggunaan kembali (reuse), pemanfaatan ulang (recycling),
pengolahan (treatment), dan pembuangan (disposal) (Janagan 2003). Sampah
organik dapat dikelola melalui proses pengomposan dan ini merupakan salah satu
cara yang baik untuk mereduksi sampah rumah tangga.
Pengomposan adalah proses dekomposisi oksidatif-biologi dari penyusun
bahan-bahan organik dalam limbah (Sharma et al. 1997), yang menghasilkan
kompos kaya unsur hara (Bintoro 2008). Proses dekomposisi bahan organik
dapat dipercepat dengan adanya mikroba dalam lingkungan alami dengan kondisi
hangat, lembab, dan aerobik (Dominguez et al. 1997; Nair 2006).
Pengomposan sampah organik dapat dilakukan dengan cara langsung atau
dengan bantuan cacing tanah yang dikenal dengan istilah vermicomposting.
Kotoran sapi yang sudah matang digunakan sebagai starter dan cacing tanah
Lumbricidae digunakan sebagai dekomposer. Proses ini melibatkan kerjasama
cacing tanah dan mikroba (Ghosh 2004; Naddafi et al. 2004) yang berlangsung
pada suhu mesofilik (35−40

o

C). Hasil akhir vermicomposting berupa

vermikompos dan cacing tanah (Sharma et al. 2005).

Stuktur vermikompos

lembut, warna coklat gelap, tidak berbau dan mudah terserap air (Ismail 1997).
Vermikompos juga memiliki stuktur, porositas, aerasi, drainase dan kapasitas
menahan kelembaban yang sangat baik (Dominguez et al. 1997) selain kaya
dengan keragaman mikroba (Subler et al. 1998).

Cacing tanah berperan penting dalam menghancurkan bahan organik
sehingga dapat memperbaiki aerasi, drainase, dan struktur tanah. Akibatnya tanah
menjadi lebih subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi maksimum.
Selain itu cacing tanah juga dapat meningkatkan populasi mikroba yang
bermanfaat bagi tanaman (Subler et al. 1998).
Cacing tanah yang hidup sebagai epigeic (pada kedalaman 1-7cm) seperti
Eisenia fetida, E. eugeniae, Perionyx excavatus dan Lumbricus rubellus diketahui
sangat potensial untuk degradasi bahan organik (Gajalakshmi et al. 2002; Loh et
al. 2004). Cacing E. fetida sering dimanfaatkan dalam pembuatan vermikompos
karena spesies ini sangat toleran terhadap perubahan lingkungan (Edward 1988).
Satu gram cacing tanah mampu menghancurkan 4 gram lumpur pabrik tekstil
yang dicampur kotoran ternak dalam 5 hari, dengan asumsi bahwa 1 gram cacing
tanah dapat mengolah bahan organik sebanyak 0.8 gr/hari (Hartenstein dan
Hartenstein 1981). Cacing

L. rubellus merupakan spesies cacing tanah lain

yang sangat aktif dalam mengkonsumsi bahan organik, dan bersifat epigeic.
Kombinasi antar keduanya dapat memberikan solusi mengatasi tumpukan bahan
organik untuk lebih cepat terdekomposisi.
Pemberian

kotoran ternak dan ampas tebu meningkatkan reproduksi

cacing tanah, pada rasio kotoran ternak : ampas tebu adalah 1:1 dan 3:1 (Aquino
et al. 1994). Proses dekomposisi bahan organik dengan menggunakan E. fetida, E.
euginae dan P. excavatus serta penggabungan ketiga spesiesnya memberikan hasil
lebih baik dan maksimal (Rao 1997).
Hou et al. (2005) menggunakan spesies E. fetida

untuk mengetahui

pertumbuhan dan kemampuan hidupnya pada bahan yang telah difermentasi
selama berturut-turut 6, 8, 12, 15, 18 hari. Berdasarkan hasil penelitia tersebut
disimpulkan bahwa cacing tanah mampu bertahan hidup pada pH 6.5–8.6.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji peran dua spesies cacing tanah
dalam mengolah bahan organik dengan mengukur: (1) laju konsumsi bahan
organik, (2) pertumbuhan cacing tanah (3) produktivitas cacing tanah, dan (4)
perubahan kondisi media selama proses vermikompos.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan (1) dapat menanggulangi pengolahan
limbah rumah tangga melalui percepatan pengomposan dan peningkatan kualitas
kompos dengan proses vermicomposting, (2) memberikan informasi tentang cara
mengatasi limbah rumah tangga, (3) membuka peluang usaha baru pembuatan
kompos, (4) penghematan dana pengelolaan limbah.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengenalan Cacing Tanah
Cacing tanah E. fetida dan L. rubellus termasuk ke dalam filum Annelida.
Kedua spesies cacing tanah ini banyak dijumpai di tempat yang lembab, dan hidup
dalam kotoran hewan (Hartenstein et al. 1979; Edwards et al. 1988; Gunadi et al.
2003). Cacing belang atau E. fetida, memiliki warna tubuh coklat tua dengan
belang kuning antar segmen (Gambar 1a). Bentuk tubuh bulat dengan panjang ±
32−130 mm dan segmen tubuhnya berjumlah ± 80−110 segmen (Edward & Lofty
1972). Cacing merah atau L. rubellus, memiliki warna merah kecoklatan atau
merah violet pada bagian dorsalnya sedang bagian ventralnya berwarna lebih
pucat (Gambar 1b). Bentuk tubuh agak pipih dengan panjang 25−105 mm, dan
segmen berjumlah 95−120 segmen (Edward & Lofty 1972). Disetiap segmennya
terdapat rambut yang keras, berukuran pendek dan jumlahnya sedikit, yang
disebut sebagai seta. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka kedua spesies
cacing ini dimasukkan ke dalam subkelas Oligochaeta (Brusca & Brusca 2003).
Edward dan Lofty (1972) menyatakan Oligochaeta terdiri dari 5 famili,
satu diantaranya adalah Lumbricidae dengan klasifikasi sebagai berikut:
Filum

: Annelida

Kelas

: Clitellata

Ordo

: Oligochaeta

Famili

: Lumbricidae

a
b
Gambar 1 Cacing tanah E. fetida (a), L. rubellus (b).
(Sumber: Kinderzeichnungen 2005).
Famili Lumbricidae mencakup semua spesies cacing tanah, dengan tubuh
yang relatif besar, dan pemakan serasah. Lumbricidae memiliki seta yang kadang
dengan ornamen sigmoid. Lubang jantan (male pore) umumnya terdapat pada

segmen ke-15, sedangkan lubang betina (female pore) terdapat pada segmen ke14. Testes terdiri dari dua pasang, dan terdapat pada segmen 10 dan 11. Testes
tidak mempunyai prostata, tetapi kadangkala terdapat kelenjar berbentuk prostata,
dan spermatekanya sangat sederhana. Ovari terdapat pada segmen ke-13 bagian
posterior testes. Lambung sederhana dan berkembang baik, terdapat di depan
usus. Esophagus mengandung kelenjar kalsiferus yang berfungsi untuk
menetralisir media jika dalam kondisi asam. Klitelum berbentuk saddle , terdapat
di bagian posterior dari lubang jantan (Edward & Lofty 1972).

Distribusi geografi Lumbricidae
Lumbricidae dengan berbagai spesies banyak dijumpai di seluruh dunia.
Namun jarang sekali terdapat di gurun pasir, lahan yang tetap dilapisi salju, bukit
berbatu, dan kawasan miskin lapisan tanah dan vegetasi (Lee 1985). Cacing
tanah umumnya hidup di darat dan beberapa hidup di air tawar. Cacing tanah
hidup pada suhu sedikit panas sampai daerah lebih dingin di daerah Hemisphere
bagian Utara, Jepang, Siberia, Asia Tengah, Eropa, India Utara dan Pakistan,
Israel, Jordan, dan Amerika Utara. Namun beberapa spesies dapat tersebar luas
atau perigrin (kosmopolitan) dan beberapa bersifat endemik yaitu terdapat di
kawasan tertentu (Edward & Lofty 1972).
Wilayah distribusi Eisenia sp. terdapat di Siberia, Rusia bagian selatan,
Israel, Eropa dan Amerika Utara. Wilayah distribusi Lumbricus sp. terdapat di
Siberia, Eropa, Iceland, Amerika Utara, dan telah tersebar luas di dunia (Edward
& Lofty 1972). Hal ini berkaitan dengan pola distribusi yang meliputi tiga faktor
utama yaitu barrier geografi, distribusi alami dan distribusi oleh manusia
(Monroy et al. 2006).

Fisiologi Cacing Tanah
Sistem pencernaan
Sistem pencernaan cacing tanah berupa tabung lurus dengan spesialisasi
regional

dari rongga mulut, faring, esofagus, tembolok, lambung, dan usus.

Rongga mulut berhubungan secara langsung dengan saluran pencernaan. Bahan
organik atau substrat melalui gerakan silia masuk ke dalam rongga mulut dan

ditarik ke perut depan. Tembolok berupa esofagus yang membesar untuk
menyimpan makanan. Lambung mencerna pakan secara mekanis dengan bantuan
batuan kecil yang turut masuk bersama pakan. Kelenjar kalsiferus yang dihasilkan
oleh organ pencernaan berfungsi untuk menyerap kalsium dari bahan yang
dicerna. Kalsium berguna untuk menetralisir media jika kondisinya asam. Tiflosol
merupakan bagian dari usus yang berlipat-lipat, berguna untuk memperluas
permukaan usus. Lambung dan usus mensekret enzim-enzim seperti protease,
lipase, amilase, sellulase, dan kitinase (Hand

1988). Selain itu fungi, algae,

aktinomisetes, dan mikroba hidup pada usus cacing tanah. Sel kloragen adalah sel
berpigmen pada usus tengah yang berfungsi sebagai tempat metabolisme dan
berperan dalam ekskresi. Bahan organik atau substrat melewati saluran
pencernaan akan dicerna dan diserap, sedangkan bahan yang tidak dicerna akan
dibuang lewat anus (Edward & Lofty 1972). Lambung dan usus bekerja sebagai
bioreaktor dan hanya 5−10%

komponen organik dicerna dan diserap tubuh

selanjutnya dikeluarkan berupa butiran yang dilapisi mukus disebut vermikompos
(Hand 1988).

Sistem ekskresi
Organ ekskresi cacing tanah terdiri atas sepasang

metanefridia yang

terletak di seluruh segmen tubuh kecuali pada tiga segmen pertama dan terakhir.
Sistem ekskresi bersifat sebagai penyaring yang menggerakkan sisa atau sampah
dan mengembalikan substansi yang berguna ke sistem sirkulasi (Edward & Lofty
1972).
Metanefridia cacing tersusun atas preseptal nefrostom, postsegmental
nefridioduct dan nefridiofor. Nefrostom bersilia bermuara di rongga tubuh
(pseudoselom) dan berlanjut pada saluran berliku-liku (nefridioduct). Bagian akhir
dari nefridioduct akan membesar seperti gelembung. Gelembung ini akan
bermuara ke bagian luar tubuh melalui pori yang merupakan lubang nefridiofor.
Ujung nefridiofor berbentuk bulbus berfungsi untuk mendorong sisa atau sampah
keluar tubuh (Edward & Lofty 1972).
Cairan atau larutan yang diserap pada proses ekskresi berupa sisa atau
sampah nitrogen (amonia, urea, asam urat), protein selomik, air dan ion (Na+, K+,

Cl-). Cairan tubuh akan ditarik ke nefrostom dan masuk ke nefridium oleh gerakan
silia dan otot. Saat cairan tubuh mengalir melalui nefridioduct, bahan-bahan yang
berguna seperti air, protein dan ion akan diambil oleh sel-sel tertentu dari tabung.
Bahan-bahan ini akan menembus kapiler dan disirkulasikan kembali. Sedangkan
sampah nitrogen dan sedikit air yang tersisa dalam nefridium akan diekskresikan
keluar melalui nefridiofor (Edward & Lofty 1972).

Sistem reproduksi dan perkembangan
Cacing tanah bersifat hermaprodit atau biseksual, artinya pada setiap tubuh
cacing tanah terdapat alat kelamin jantan dan betina sekaligus (unisex). Namun,
dalam proses kawin (mating) cacing tanah akan berpasangan dengan cacing lain,
dan saling mentransferkan spermanya.
Klitelum adalah bagian dari tubuh yang menebal dan warnanya lebih
terang merupakan ciri cacing yang telah dewasa, fungsinya sebagai produksi
kokon. Struktur klitelum E. fetida terletak pada segmen 24, 25, dan 26−32,
sedangkan klitelum L. rubellus terletak pada segmen 26,
menghasilkan

27−32. Klitelum

tiga tipe kelenjar, yaitu: kelenjar penghasil mukus (untuk

kopulasi), kelenjar pembentuk kokon, dan kelenjar penghasil albumin (dalam
kokon) (Edward & Lofty 1972). Klitelum pada cacing tanah berkembang berusia
± 2−3 bulan (Garg et al. 2005), dan semakin meningkat perkembangannya pada
kelembaban 64% (Reinecke & Venter 1987).
Sistem reproduksi jantan terdiri dari 1−2 pasang testis pada segmen ke
10−11. Sperma yang diproduksi dilepaskan ke rongga selom hingga dewasa.
Selanjutnya, sperma dewasa masuk ke vesikula seminalis hingga matang.
Kemudian melalui corong bersilia, sperma yang matang dibawa menuju gonofor
jantan.
Pada sistem reproduksi betina, terdiri dari sepasang ovarium di bagian
posterior sistem reproduksi jantan (segmen ke 12). Sel telur diproduksi di ovarium
dilepas ke rongga selom, dan disimpan hingga matang pada kantung dinding septa
(ovisac). Melalui corong bersilia, sel telur dibawa menuju gonofor betina (Edward
& Lofty 1972).

Cacing tanah melakukan perkawinan (mating) pada posisi yang
berlawanan bagian anterior (Gambar 2a). Proses perkawinan dapat berlangsung
selama beberapa jam, dan dari klitelum dikeluarkan lendir yang berguna untuk
melindung sel-sel sperma. Pada saat terjadinya kopulasi, kedua cacing tanah tidak
sensitif dalam merespon rangsangan luar seperti sentuhan dan cahaya (Edwards &
Lofty 1972). Setelah cacing berpisah, klitelum akan membentuk selubung kokon
dan bergerak ke arah anterior. Selubung kokon akan bertemu sel telur (keluar dari
gonofor) dan sperma (keluar dari spermateka). Fertilisasi terjadi di dalam
selubung kokon, dan terbentuk zigot yang terselubung di dalam kokon (Gambar
2b). Kokon yang berisi sel telur ini akan bergerak kearah anterior tubuh cacing
berkembang mulai dari telur yang tersimpan dalam kokon. Kokon akan menetas
sekitar 14−21 hari dan menghasilkan juvenil (Gambar 2c) (Edward & Lofty 1972)

a

b

c

Gambar 2 Tahap-tahap reproduksi cacing tanah, mating (a) (modifikasi
dari Tembe dan Dubash 1963), kokon E. fetida (b), juvenil
keluar dari kokon E. fetida (c).

Sistem saraf
Sistem saraf utama pada cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral
dorsal, sepasang konektif atau penghubung sirkumenterik dan satu buah atau lebih
tali saraf longitudinal. Ganglion serebral dorsal mensuplai saraf bagian anterior
tubuh dan saraf prostomial. Pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion
subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal cacing
tanah mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruh dinding tubuh serta organ
di setiap segmen.
Cacing tanah mempunyai prostomium yang terletak di bagian segmen
anterior merupakan kumpulan organ saraf perasa yang berbentuk seperti bibir.

Pada cacing tanah ditemukan dua tipe organ sensoris, yaitu fotoreseptor dan
organ perasa epitelia yang berfungsi sebagai kemoreseptor (Edward & Lofty
1972). Kemoreseptor dapat mendeteksi bahan makanan, dan memberi informasi
tentang kondisi lingkungan. Disamping itu, kemoreseptor juga berperan dalam
proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang dihasilkan oleh cacing
tanah yang lain (Smith 1902).
Cacing tanah sangat respon terhadap rangsangan cahaya, terutama pada
cahaya yang tiba-tiba terpapar setelah berdiam lama dalam kondisi gelap
(Laverack 1963). Lumbricidae bersifat fotopositif terhadap cahaya yang lemah,
dan bersifat fotonegatif pada cahaya yang kuat (Hess 1924).

Ekologi dan pola pencarian pakan cacing tanah.
Cacing tanah dapat hidup hampir pada semua jenis tanah. Tanah sebagai
media hidup cacing harus mengandung bahan organik dalam jumlah yang besar.
Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah (daun yang gugur), kotoran
ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Cacing tanah menyukai bahan-bahan
yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya.
Cacing tanah berdasarkan tempat hidupnya dan ketersediaan pakannya
dikelompokkan sebagai berikut:
1.

Epigeic, spesies cacing tanah yang hidup dan mencari serasah di lapisan
atas tanah. Cacing tanah epigeic memiliki tubuh kecil (1−7 cm), dan
sangat sensitif terhadap perubahan cahaya, contohnya E. fetida
(Hartenstein et al. 1979; Sherman 2003) , L. rubellus dan E. euginiae
(Kale & Bano 1988).

2.

Endogeic, spesies cacing tanah yang mempunyai daerah pakan luas,
membuat liang secara horizontal dengan kedalaman ± 50 cm dan sangat
baik untuk aerasi (Sherman 2003). Cacing tanah ini memiliki ukuran
panjang tubuh 2−12 cm sebagai contoh Aporrectodea calignosa.

3.

Anecic, cacing tanah yang hidup memakan organik debris dan
mengubahnya menjadi humus. Cara hidupnya dengan mengambil serasah
dari permukaan tanah dan membawanya dengan menggali tanah sampai

kedalaman mencapai 2 m. Spesies cacing tanah yang hidup di lokasi ini
memiliki ukuran tubuh yang besar (8−15 cm) contoh L. terrestris.

Cacing Tanah Sebagai Dekomposer
Cacing tanah berperan penting dalam perombakan bahan-bahan organik.
Dekomposisi bahan organik merupakan suatu proses biokimia dan fisik yang
melibatkan berbagai kelompok mikroba dan makroorganisme lainnya seperti
cacing tanah. Proses perombakan bahan organik dapat dilakukan oleh bakteri,
fungi, aktinomisetes, protozoa, dan cacing tanah. Keberadaan cacing tanah dapat
meningkatkan populasi mikroba yang bermanfaat bagi tanaman. Selain itu cacing
tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi humus (Sharma et al.
2005).
Proses perombakan bahan organik dapat berlangsung secara aerobik dan
menghasilkan kompos secara cepat, sedangkan anaerobik membutuhkan waktu
dekomposisi yang lebih lama dan menimbulkan masalah bau (Obeng & Wright
1987). Proses perombakan bahan organik secara aerob merupakan proses
dekomposisi yang berlangsung dengan bantuan oksigen. Hasil akhir dekomposisi
adalah CO2, air, unsur hara, senyawa-senyawa sederhana dan energi (Gaur 1981).
Selama

proses

dekomposisi

bahan

organik

mikroba

berperan

mendegradasi secara biokimia bahan organik ke bentuk yang lebih sederhana dan
mudah diserap tumbuhan seperti nitrogen, kalium, dan fosfor (Ndegwa et al.
2001). Cacing tanah secara fisik dan biokimia menguraikan bahan organik ke
dalam bentuk partikel tanah (Sharma et al. 2005).
Cacing

tanah

vermicomposting.

menguraikan

bahan

organik

melalui

proses

Cacing tanah dan mikroba akan bersimbiosis untuk

mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Ronald et al. 1977).
Vermicomposting merupakan suatu proses perubahan bahan organik menjadi
komponen yang berguna dengan melibatkan kerja sama cacing tanah dan mikroba
(Edward et al. 1988; Dominguez et al. 1997; Aire et al. 2002; Naddafi et al.
2004). Proses ini berlangsung pada rentang suhu mesofilik (35−40 oC). Hasil
akhir proses ini menghasilkan vermikompos dan biomasa cacing tanah itu sendiri
(Sharma et al. 2005). Vermikompos yang dihasilkan memiliki stuktur lebih halus,

warna coklat gelap, tidak berbau dan mudah terserap air (Ismail 1997), memiliki
porositas, aerasi, drainase dan kapasitas menahan kelembaban yang sangat baik
(Dominguez et al. 1997), juga kaya dengan keragaman mikroba (Subler et al.
1998).
Cacing tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Beberapa faktor tersebut antara lain: suhu,
kelembaban, pH, dan rasio C/N.
Suhu media hidup cacing tanah sangat mempengaruhi periode
pertumbuhan mulai dari penetasan sampai dewasa kelamin. Menurut Selden et al.
(2005) suhu media sebaiknya dijaga pada kisaran 21−27 oC. Cacing tanah hidup
pada kisaran suhu 20−30 oC (Khwairakpam et al. 2005).

Spesies E. fetida

merupakan cacing tanah yang sangat peka terhadap suhu lingkungan hidupnya.
Jenis cacing ini akan mengalami perkembangan yang baik pada suhu optimum 25
o

C (Venter & Reinecke 1988; Gunadi et al. 2003).
Kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan daya reproduksi cacing

tanah. Kelembaban yang ideal antara 60−90% (Haukka 1987), dan pada 70−80%
(Khwairakpam et al. 2005). Kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati.
Cacing tanah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang
sedikit asam sampai netral. Kemasaman tanah pada pH 6.0−7.2 merupakan pH
optimum bagi aktivitas cacing (Gaddie & Douglas 1975). Spesies E. fetida hidup
baik pada media dengan pH 6.5–8.6 (Hou et al. 2005). Tanah yang pH-nya asam
dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing tanah serta
kurang mendukung percepatan proses pembusukan bahan-bahan organik. Dengan
demikian tanah yang asam dan ditambah dengan kapur dapat menaikkan pH
tanah. Penambahan kapur sebanyak 0.3% dari berat campuran media akan
menaikkan pH antara 0.14−0.30 (Waluyo 1993)
Kualitas pakan tidak hanya mempengaruhi jumlah populasi cacing tanah
tapi pertumbuhan dan reproduksinya (Aira et al. 2006). Cacing tanah lebih
memilih bahan organik dengan rasio C/N yang rendah sebagai pakannya, dan ini
tergantung kepada spesies cacing tanahnya (Naddafi et al. 2004). Hou et al.

(2005) menyatakan bahwa laju dekomposisi optimum pada rasio C/N substrat 20
pada suhu 20 oC pada bahan organik yang telah difermentasi selama 18 hari.
Vermikompos mengandung banyak zat hara yang berguna untuk
meningkatkan kesuburan tanah. Vermikompos dapat memperbaiki struktur tanah
dan membantu menahan kelembaban dan mineral sehingga tidak hanyut tercuci
air. Pada tanah berpasir atau liat, vermikompos meningkatkan porositas yang
memungkinkan

akar

tanaman

dengan

mudah

menembus

tanah

dan

memungkinkan air permukaan mengalir di antara partikel-partikel tanah.
Vermikompos dapat menyuburkan halaman, kebun, taman, dan lahan pertanian.
Vermikompos dapat juga digunakan untuk lapisan penutup (mulching), seperti
disekeliling pepohonan atau tanaman berbunga. menyatakan Vermikompos dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman, diameter stem, pertumbuhan akar, dan
jumlah bunga (Hidalgo et al. 2006). Selain itu vermikompos juga mengandung
banyak mikroba tanah yang penting seperti aktinomisetes (2.8 x 106 sel/g BK),
bakteri (1.8 x 108 sel /g BK) dan fungi (2.6 x 105 sel/g BK) dan enzim-enzim yang
penting antara lain protease, amilase, lipase dan selulase (Taylor et al. 2004).

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan April 2009.
Penelitian ini terdiri atas dua tahapan. Tahap pertama adalah tahap pemeliharaan,
budi daya cacing tanah. Tahap kedua studi pendahuluan, pengamatan dan
pengambilan sampel yang dilaksanakan di Laboratorium Bagian Fungsi Hayati
dan Prilaku Hewan, Departemen Biologi, FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Sedang analisa vermikompos dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman
SEAMEO BIOTROP, Bogor.

Pemeliharaan dan Budi Daya Cacing Tanah.
Penelitian ini menggunakan dua spesies cacing tanah dewasa E. fetida
dan L. rubellus yang ditandai dengan adanya klitellum (Gambar 1). Kedua
spesies cacing ini diperoleh dari bapak Rudi Rochmat pembudi daya cacing tanah
“Kelompok Cacing Tanah Mandiri” desa Warna Sari Kec. Pengalengan Kab.
Bandung. Identifikasi spesies cacing tanah dilakukan di Laboratorium
Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi – LIPI, Cibinong. Kemudian kedua
spesies ini dibudidayakan sampai menjelang penelitian dengan sistem windrow,
yaitu sistem budidaya cacing tanah dalam barisan yang disusun secara sejajar
(Gambar 3a), dan sistem bin, yaitu sistem budidaya cacing tanah dengan
menggunakan wadah (Gambar 3b). Media hidup cacing tanah digunakan kotoran
sapi yang diperoleh dari kandang Fakultas Peternakan IPB. Sebelum digunakan,
media dikeringanginkan selama ± 10−12 hari bertujuan untuk menguapkan gas
beracun dan memudahkan pencampuran dengan tanah. Tanah

diambil dari

kedalaman 50−100 cm dengan maksud agar yang terambil adalah tanah (bukan
campuran dengan bahan organik lainnya). Tanah dikeringkan selama ± 10 hari
dan diayak untuk memisahkannya dari batuan kerikil, selanjutnya tanah
dihomogenkan dengan kotoran sapi.

Pelaksanaan Penelitian dan Pengumpulan Data
Proses pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data meliputi analisa awal
tanah, kotoran sapi dan bahan organik, persiapan wadah percobaan, media hidup
dan cacing tanah, pemeliharaan dan pengukuran parameter penelitian.
Tahap akhir dilakukan analisa komposisi kotoran sapi, tanah dan bahan
organik. Analisa ketiga bahan tersebut

meliputi: derajat keasaman (pH), C-

organik (%), N total (%), kadar P (mg/100 g), dan kadar K (mg/100 g).
Kotak atau wadah plastik (sebagai wadah percobaan) berukuran 40 cm x
30 cm x 15 cm sebanyak 54 kotak dilubangi bagian dasarnya sebanyak 9−12
lubang dan

ditutupi dengan kain kasa plastik (Gambar 4a). Pemberian lubang

pada wadah tersebut berfungsi sebagai aerasi dan untuk mengalirkan kelebihan air
pada media.
Media berupa kotoran sapi sebagai starter ditimbang masing-masing 300
g dan 200 g tanah dengan timbangan digital AE ADAM QBW-1500 berskala 1500
g dicampur secara homogen dan diletakkan pada tiap dasar wadah. Media yang
digunakan dalam kondisi pH 6.8, kelembaban (rH) 60%, dan temperatur 24 oC.
Untuk

mendapatkan

kelembaban

tersebut

diinginkan

dilakukan

dengan

menambahkan air. Percampuran kotoran sapi dan tanah dilakukan satu hari
sebelum cacing tanah dimasukkan pada media.
Bahan organik berupa sayuran kol atau kubis (Brassica oleracea), sawi (B.
junco), tomat (Solanum lycopersicum) dan wortel (Dancus carota) diperoleh dari
warung-warung sepanjang jalan Babakan Raya Dramaga, Bogor (Gambar 4b)
digunakan sebagai pakan cacing tanah. Bahan organik tersebut dicacah kasar ±
2−3 cm dan diperlakukan pada dua kondisi yaitu fermentasi (F) dengan anaerob
dalam kantung plastik selama tujuh hari dan non-fermentasi (NF). Bahan organik
fermentasi (pH = 5.3) diperoleh dari ekstrak bahan organik ditambahkan aquadest
dan diukur dengan pH meter. Bahan ditimbang dengan timbangan digital ADAM
PGW-4531 berskala 0.001 g untuk persediaan bahan selama enam hari berturutturut sebanyak 60, 120, dan 60 g dan ditumpukkan pada media. Untuk menjaga
kelembaban media dan mengurangi penguapan maka digunakan bedding dari
jerami yang dicacah kasar ± 7−10 cm dan telah direndam dengan air (Gambar
4c). Cacing tanah dewasa ditimbang masing-masing 10 g, 10 g, dan 20 g dan

dimasukkan pada rasio cacing tanah : bahan organik (1:1, 1:2, dan 2:1). Media
biak yang telah berisi cacing tanah ditutupi dengan bedding dari jerami yang
dibatasi dengan kain kasa ukuran 30 cm x 30 cm.
Cacing tanah dimasukkan pada media dan setiap tujuh hari dilakukan
pengukuran pH, rH dan perubahan suhu selama 42 hari. Bedding disemprot
dengan air supaya selalu dalam keadaan lembab tiap tiga hari sekali, kemudian
diamati kondisi tekstur media. Apabila ditemukan media terlalu padat maka
dilakukan pembalikan, agar aerasi berlangsung dengan baik.

a

b

Gambar 3 Pemeliharaan dan budi daya cacing tanah, sistem windrow (a),
sistem bin (b).

a

b

c

Gambar 4 Wadah percobaan (a), bahan organik (b), bedding (c).

Tabel 1 Komposisi bahan yang digunakan dalam percobaan
vermicomposting (kotoran sapi 300 g, tanah 200 g)
No

Perlakuan

1
2
3
4
5
6
7
8
9

E
L
E+L
E
L
E+L
E
L
E+L

Rasio
(C:P)

Biomassa cacing tanah
(g)

Bahan organik
(g)

10
10
5+5
10
10
5+5
20
20
10+10

60
60
60
120
120
120
60
60
60

1:1
(R1.1)
1:2
(R1.2)
2:1
(R2.1)

Keterangan: E = E. fetida; L = L. rubellus; C = cacing tanah; P = bahan organik

Pengukuran parameter penelitian dilakukan setiap tujuh hari meliputi:
Laju konsumsi bahan organik
Pemberian bahan organik pada cacing tanah berlaku setiap tujuh hari.
Perhitungan bahan dilakukan setiap hari dengan cara mengambilnya dari wadah
dengan pinset, menimbang dan mengembalikannya kembali ke dalam wadah.
Untuk perhitungan laju konsumsi diperoleh persentase penguraian mutlak perhari
(Boonruang 1984) dengan menggunakan rumus:
Y=

( BA − BK )
x 100%
BA

Keterangan:
Y

= % bahan organik yang dikonsumsi

BA

= berat awal penimbangan (g)

BK

= berat akhir penimbangan (g)

Pertumbuhan cacing tanah

Setiap tujuh hari dilakukan penimbangan bobot cacing tanah. Cacing tanah
dipisahkan dari media dengan metode hand-sorting yaitu memisahkan secara
manual lalu ditimbang dengan timbangan digital ADAM PGW-4531 berskala
0.001 g.

Produktivitas cacing tanah

Produksi cacing tanah merupakan penjumlahan kokon

yang dihasilkan

dalam tujuh hari. Kokon yang dihasilkan dari dua spesies cacing tanah dipisahkan
dan ditempatkan pada wadah lain hingga menetas. Masa inkubasi kokon dan
jumlah juvenil per kokon diketahui dengan menetaskan enam butir kokon dari
tiap spesies cacing tanah pada wadah lain, dan dihitung jumlah juvenil yang
keluar.

Perubahan kondisi media selama proses vermikompos.

Perubahan struktur media dapat ditunjukkan dengan mengambil sampel
media dari awal (masih berupa kotoran sapi dan tanah) sampai terbentuk
vermikompos setiap tujuh hari. Penurunan bobot media ditimbang setiap tujuh
hari dengan menggunakan timbangan digital AE ADAM QBW-1500 berskala 1500
g.
Cacing tanah dipisahkan dari vermikompos setelah 42 hari pengamatan