Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) Yang Menginfeksi Krisan Di Indonesia Karakterisasi Dan Pengembangan Metode Deteksi

(1)

CHRYSANTHEMUM B CARLAVIRUS (CVB) YANG

MENGINFEKSI KRISAN DI INDONESIA: KARAKTERISASI

DAN PENGEMBANGAN METODE DETEKSI

I GEDE RAI MAYA TEMAJA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2008

I Gede Rai Maya Temaja NIM A461050011


(3)

ABSTRAK

I GEDE RAI MAYA TEMAJA. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, dan UTOMO KARTOSUWONDO.

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) dilaporkan telah menginfeksi krisan di berbagai negara. Gejala belang (mottle) ringan, pemucatan tulang daun ( vein-clearing) dan mosaik (mosaic) ringan pada daun; dan pecah warna (color breaking) pada bunga berhasil ditemukan pada tanaman krisan di Cianjur, Jawa Barat, Indonesia. Berdasarkan deteksi serologi (DAS-ELISA) menggunakan antiserum spesifik CVB diketahui bahwa gejala tersebut berasosiasi dengan CVB. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sifat-sifat biologi dan molekuler CVB isolat Indonesia (CVB-Ina) serta mengembangkan teknik serologi untuk deteksi cepat dan akurat.

Analisis mikroskop elektron dan reaksi serologi membuktikan CVB-Ina memiliki karakter yang mirip dengan CVB isolat lainnya. Namun demikian, hasil bioesei menunjukkan bahwa CVB-Ina mengakibatkan munculnya gejala penebalan tulang daun, pemucatan tulang daun, mosaik ringan danbelang ringan pada daun krisan; mampu menginfeksi tanaman Nicotiana benthamiana; dan memiliki efesiensi yang relatif lebih tinggi dalam penularan melalui kutudaun

Macrosiphoniella sanborni. Hal tersebut berbeda dengan CVB isolat lainnya yang umumnya tidak mampu menimbulkan gejala pada tanaman krisan, tidak menginfeksi N. benthamiana, dan ditularkan dengan efisensi rendah melalui kutudaun M. sanborni. Karakter molekuler protein selubung CVB-Ina menunjukkan beberapa perbedaan pada runutan asam aminonya. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan karakter biologi CVB-Ina agak berbeda.

Antiserum yang diproduksi memiliki sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi CVB menggunakan teknik I-ELISA dan TBIA. TBIA mempunyai kelebihan yaitu biayanya lebih murah, lebih mudah dan cepat, blotting sampel dapat dilakukan di lapangan, kemudian membran disimpan untuk proses selanjutnya di laboratorium, oleh karena itu TBIA dapat disarankan sebagai metode deteksi untuk survei CVB skala besar.

Kata kunci: Chrysanthemum B Carlavirus (CVB), chrysanthemum ( Dendran-thema grandiflora), Macrosiphoniella sanborni.


(4)

ABSTRACT

I GEDE RAI MAYA TEMAJA. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) that Infected Chrysanthemum in Indonesia: Characterization and Development of Detection Methode. Under direction of GEDE SUASTIKA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, and UTOMO KARTOSUWONDO.

Infection of chrysanthemum B Carlavirus (CVB) in chrysanthemum has been reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouses) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Through DAS-ELISA, the sap extracted from diseased plant samples were found to be positively reacted with serum anti-CVB. The virus isolate was then designed as CVB Indonesian isolate. The objectives of this research are to study biological and molecular characters of CVB Indonesian isolate and to develop serological technique for raphid and accurate virus detection.

An isolate of CVB obtained from chrysanthemum (Dendranthema grandiflora) plantation in Indonesia was characterized and found to be unique. The virus isolate, shared similar characters with other CVB isolates based on electron microscopy analysis and serological reaction. However, the result of bioassay showed that Indonesian isolate was very distinct from most CVB isolates reported earlier. The virus isolate induced vein banding, vein clearing, mild mosaic and mild mottle on the leaves of chrysanthemum plants, could infect

Nicotiana benthamiana, and was transmitted by chrysanthemum-colonized aphid,

Macrosiphoniella sanborni. In contrast, most CVB isolates were not able to induce any symptoms on chrysanthemum leaves, were not able to infect N. benthamiana, and were transmitted in low efficiency by aphid. Furthermore, molecular characterization of coat protein gene exhibited some differences in amino acid sequences. This might explained distinct biological characters of CVB Indonesian isolate.

The antiserum produced had high sensitivity for detection of CVB when examined by I-ELISA and TBIA. Besides its low cost, TBIA allows the samples to be blotted on the nitrocellulose membranes in the field and storage of the membranes for later processing in the laboratory. This feature makes it the metode of choice for large-scale CVB surveying.

Keywords: Chrysanthemum B Carlavirus (CVB), chrysanthemum ( Dendran-thema grandiflora), Macrosiphoniella sanborni.


(5)

RINGKASAN

I GEDE RAI MAYA TEMAJA. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, dan UTOMO KARTOSUWONDO

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) adalah salah satu jenis bunga yang banyak diminati oleh masyarakat dunia karena daya tarik warna, bentuk, dan ukurannya yang beranekaragam. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) adalah virus utama yang menginfeksi krisan dan dilaporkan telah tersebar pada pertanaman krisan di berbagai negara. Infeksi CVB pada tanaman krisan menyebabkan gejala belang atau pemucatan tulang daunyang sangat ringan pada daun, serta penurunan kualitas bunga. Namun demikian lebih sering kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala (symptomless).

Perdagangan krisan di pasar dunia mensyaratkan bahan tanaman bebas virus. Sertifikasi bahan tanaman krisan bebas virus membutuhkan metode deteksi yang cepat dan akurat. Tantangan ini mendorong penelitian yang mengarah pada penyediaan metode deteksi CVB yang diperlukan dan dapat diterapkan untuk pemenuhan kebutuhan sertifikasi.

Di Indonesia, belum ada informasi lengkap mengenai penyakit pada tanaman krisan yang disebabkan oleh CVB dan keragamannya. Oleh karena itu penelitian mengenai status penyakit di lapangan, karakter biologi dan molekuler CVB isolat Indonesia serta teknik identifikasi cepat dan akurat sangat penting dilakukan dalam usaha menemukan pengendalian CVB pada tanaman krisan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sifat-sifat biologi dan molekuler CVB-Ina serta mengembangkan teknik serologi untuk deteksi cepat dan akurat.

Pengamatan gejala infeksi dilakukan pada areal pertanaman krisan di Brastagi kabupaten Karo (Sumatera Utara); Cibadak dan Cipanas kabupaten Cianjur (Jawa Barat); Kota Batu dan Pujon kabupaten Malang (Jawa Timur); dan Baturiti kabupaten Tabanan dan Pancasari kabupaten Buleleng (Bali). Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan reaksi sampel terhadap antiserum CVB pada metode ELISA. Uji kisaran inang dilakukan menggunakan 26 spesies tanaman dari famili Solanaceae, Leguminosae, Cucurbitaceae, Chenopodiaceae, Cruciferae dan Amaranthaceae. Kajian penularan melalui kutudaun diawali dengan identifikasi kutudaun dan dilanjutkan dengan uji efisiensi penularan menggunakan masing-masing 1, 7, 14, 21 kutudaun setiap tanaman.

Identifikasi karakter molekuler CVB meliputi kegiatan pemurnian virus, pengamatan morfologi virus dengan mikroskop elektron, analisis protein selubung dengan SDS-PAGE dan Western blot, perunutan DNA virus melalui tahapan ekstraksi RNA, amplifikasi DNA, perunutan DNA dan analisis filogenetika.

Pengembangan teknik serologi untuk deteksi cepat dan akurat dimulai dengan pembuatan antiserum, selanjutnya dilakukan pengamatan spesifisitas reaksi antiserum dengan protein selubung CVB melalui analisis Western blot dan ISEM, dan pengembangan metode serologi TBIA dan ELISA untuk deteksi CVB.

Survei pada pertanaman krisan di provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali membuktikan bahwa CVB sudah menginfeksi krisan di empat provinsi tersebut. Infeksi CVB-Ina menimbulkan variasi gejala belang


(6)

ringan, mosaik ringan, pemucatan tulang daun dan penebalan tulang daun pada daun, dan terjadi malformasi daun yaitu ukuran daun lebih kecil, tebal dan menggulung ke atas. Pada bunga menunjukkan gejala pecah warna.

Hasil pengkajian kisaran inang menggunakan 26 spesies tanaman membuktikan bahwa CVB memiliki kisaran inang yang terbatas, yaitu hanya menginfeksi Nicotiana benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var. White Burley, N. tabacum var. Havana, Petunia hybrida, Chenopodium amaranticolor

dan C. quinoa. Pada penelitian ini ditemukan bahwa CVB isolat Indonesia menginfeksi tanaman N. benthamiana dan menimbulkan gejala pemucatan tulang daun dan belang ringan. Belum ada laporan CVB isolat lainnya menginfeksi tanaman N. benthamiana. CVB-Ina terbukti dapat ditularkan oleh kutudaun

Macrosiphoniella sanborni. Efisiensi penularannya lebih tinggi dibandingkan dengan CVB isolat Jepang (CVB-S). Empat belas individu kutudaun setiap tanaman sudah mampu menularkan CVB-Ina, sedangkan CVB-S baru bisa ditularkan menggunakan 21 individu kutudaun setiap tanaman.

Sifat-sifat virus seperti morfologi dan ukuran partikel, ukuran protein selubung, karakter biologi dan urutan asam nukleatnya menunjukkan kesesuaian dengan karakter CVB yang berasal dari lokasi geografi lain. CVB-Ina memiliki partikel berbentuk batang agak lurus dan lentur dengan ukuran panjang 685 nm dan lebar 12 nm, dengan berat molekul protein selubung 34 kDa. Karakter molekuler CVB dikaji berdasarkan susunan nukleotida fragmen DNA yang diperoleh dari perunutan hasil amplifikasi fragmen DNA. Amplifikasi fragmen DNA CVB dengan teknik RT-PCR berhasil mendapatkan fragmen berukuran 739 bp dari sampel daun asal Medan, Cianjur, Malang dan Bali, sesuai dengan ukuran fragmen yang diharapkan berdasarkan analisis runutan primer di Plant Virus GenBank, Soul Women’s University. Analisis filogenetik menggunakan data hasil perunutan fragmen DNA tersebut menunjukkan bahwa isolat-isolat Indonesia berada dalam satu kelompok dan termasuk dalam kelompok yang sama dengan CVB-S dan memiliki jarak genetik terdekat yaitu 0,23–0,25. Isolat CVB Indonesia memiliki tingkat kesamaan runutan nukleotida yang sangat tinggi dengan jarak genetik antara 0,01–0,05, namun demikian isolat-isolat Indonesia tersebut terbagi lagi menjadi dua sub kelompok. Isolat CVB Cianjur dan Medan termasuk satu sub kelompok, dan isolat CVB Bali dan Malang pada sub kelompok lainnya. Analisis runutan asam amino protein selubung empat isolat CVB Indonesia dan isolat CVB-S menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki tingkat kesamaan runutan asam amino yang cukup tinggi (86-90%). Walaupun demikian ada beberapa bagian pada runutan asam amino yang menunjukkan perbedaan. Perbedaan pada runutan asam amino ini yang kemungkinan menyebabkan karakter biologi CVB Indonesia agak berbeda dari isolat CVB lainnya.

Produksi antiserum dilakukan dengan imunisasi dua ekor marmut jantan berumur sekitar 6 bulan. Marmut yang diimunisasi dengan siapan virus murni CVB menghasilkan volume rata-rata antiserum 10,75 ml. Peningkatan kualitas antiserum dilakukan dengan penyerapan menggunakan cairan perasan tanaman N. benthamiana sehat, serta pemurnian gamma-globulin menggunakan amonium sulfat. Konsentrasi antiserum tidak diserap, antiserum yang diserap dan antiserum murni yang dihasilkan berturut-turut 1,121 mg/ml, 0,670 mg/ml dan 0,476 mg/ml.


(7)

Antiserum yang tidak diserap maupun yang diserap mempunyai titer 1/50.000, sedangkan antiserum murni mempunyai titer 1/100.000. Kajian spesifisitas reaksi antiserum dengan protein selubung CVB, dilakukan melalui analisis Western blot dan ISEM. Analisis Western blot terhadap protein selubung virus menggunakan antiserum yang sudah dimurnikan menunjukkan bahwa pita protein berukuran 34 kDa yang diduga sebagai protein selubung CVB pada uji SDS-PAGE, bereaksi positif dengan antiserum. Protein 34 kDa yang terdeteksi pada analisis Western blot sesuai dengan berat molekul protein selubung CVB yang digunakan untuk imunisasi pada hewan percobaan. Pengamatan partikel CVB pada mikroskop elektron dengan metode ISEM menggunakan antiserum yang diproduksi pada penelitian ini memberikan hasil partikel berbentuk panjang agak lentur nampak lebih jelas pada grid yang sebelumnya dicelupkan pada suspensi antiserum, dibandingkan pada siapan virus murni tanpa antiserum. Hal ini menunjukkan bahwa antiserum yang dihasilkan memberikan reaksi yang spesifik terhadap protein selubung virus.

Antiserum CVB yang berhasil diperoleh digunakan dalam penelitian selanjutnya yaitu pengembangan metode deteksi. Dalam kegiatan penelitian tersebut dilakukan kajian terhadap metode TBIA dan ELISA. Sensitifitas I-ELISA dalam mendeteksi CVB cukup tinggi dan virus masih terdeteksi pada pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi 1/256. Pengenceran sampel cairan perasan tanaman terinfeksi 1/16 masih menunjukkan reaksi positif sampai pada pengenceran antiserum 1/100.000. Pada penelitian ini TBIA terbukti cukup sensitif untuk mendeteksi keberadaan CVB pada tanaman krisan. Reaksi positif masih nampak pada pengenceran antiserum 1/10.000.

Menangani sampel jumlah besar, uji serologi secara TBIA lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknik ELISA. Metode TBIAlebih mudah dan cepat, biayanya lebih murah karena hanya diperlukan bahan pereaksi yang lebih sedikit dan dapat menguji sampel lebih banyak. Di samping itu, bloting

sampel pada membran dilakukan beberapa menit dan dapat dikerjakan di lapangan, untuk kemudian membran disimpan untuk proses selanjutnya di laboratorium.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kajian sifat-sifat biologi dan molekuler CVB-Ina dapat disimpulkan bahwa CVB sudah menginfeksi tanaman krisan di Indonesia. CVB-Ina memiliki karakter biologi yang khusus, yakni mengakibatkan muncul variasi gejala pada tanaman krisan, mampu menginfeksi tanaman N. benthamiana, dan memiliki efesiensi yang lebih tinggi dalam penularan melalui kutudaun M. sanborni. Kemungkinan perbedaan karakter biologi tersebut disebabkan beberapa perbedaan pada runutan asam amino protein selubungnya. TBIA merupakan metode deteksi CVB yang memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis.

Kata kunci: Chrysanthemum B Carlavirus (CVB), chrysanthemum ( Dendran-thema grandiflora), Macrosiphoniella sanborni.


(8)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

CHRYSANTHEMUM B CARLAVIRUS (CVB) YANG

MENGINFEKSI KRISAN DI INDONESIA: KARAKTERISASI

DAN PENGEMBANGAN METODE DETEKSI

I GEDE RAI MAYA TEMAJA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc.


(11)

Judul Disertasi : Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi

Nama : I Gede Rai Maya Temaja

NIM : A461050011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Anggota

Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Badung, 9 Oktober 1962. Penulis merupakan anak ke delapan di antara sepuluh bersaudara dari pasangan I Ketut Rideg dan Ni Nengah Kelepon. Penulis menikah dengan Ir. Ni Luh Komang Kusumawati dan dikaruniai dua putera yaitu I Gede Andy Andika Parahita (15 tahun) dan I Made Bayu Puradipa (13 tahun).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, lulus pada tahun 1986. Pendidikan sarjana strata 2 ditempuh di Program Studi Fitopatologi, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1994. Sejak tahun 2005 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor (strata 3) pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1987 penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Denpasar.

Satu artikel bagian dari disertasi ini yaitu dengan judul “Deteksi

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) pada Tanaman Krisan di Indonesia” telah dipublikasikan pada Jurnal Agritrop 26 (1): 6-12, 2007, diterbitkan oleh Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Dua artikel sedang diusulkan untuk diterbitkan yaitu pada jurnal internasional Acta Horticulturae dengan judul “Characterization of a Severe Strain of Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) Isolated from Chrysanthemum in Indonesia” dan pada Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman Tropika, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dengan judul “Karakter Molekuler Chrysanthemum B Carlavirus

(CVB) Isolat Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) di Indonesia” (in press). Bagian dari penelitian ini telah disampaikan pada tiga pertemuan ilmiah internasional yaitu pada: (1) The Third Asian Conference on Plant Pathology di Yogyakarta dengan judul “First Report on Occurrence of Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) on Chrysanthemum in Indonesia”, (2) Plant Science Meeting for Graduate Students in Utsunomiya di Utsunomiya Jepang dengan judul “Study on Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) Indonesian Isolate”, dan (3) The 12th


(13)

International Symposium on Virus Diseases of Ornamental Plants di Harleem Belanda dengan judul “Characterization of a Severe Strain of Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) Isolated from Chrysanthemum in Indonesia”


(14)

PRAKATA

Penulis mengucapkan syukur kehadirat Hyang Widhi - Tuhan Yang Mahaesa karena atas perkenan-Nya disertasi yang berjudul “Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi” dapat diselesaikan.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc., Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS. atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran, serta dukungan moral yang sangat besar peranannya dalam terselesaikannya disertasi ini.

Terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S.Arifin, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Made Sudana, MS. yang bersedia menjadi penguji luar komisi pada sidang tertutup dan terbuka. Terima kasih atas saran yang diberikan untuk perbaikan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Denpasar, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor (S3) di program studi Entomologi dan Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ucapan yang sama disampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB, Ketua dan seluruh staf pengajar program studi Entomologi dan Fitopatologi, Ketua dan seluruh staf pengajar dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Ucapan terima kasih disampaikan juga pada tim manajemen Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dana untuk mengikuti program doktor.

Terima kasih kepada ketua dan staf Laboratorium Imunologi FKH IPB atas bantuannya dalam percobaan produksi antiserum. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman Laboratorium Virologi, Tuti Susanti Legiastuti, Dr.Ir. Noor Aidawati, Dr.Ir. Eliza S. Rusli, Latifah, Mas Khamdan, Pak Irwan, Ibu Ifa Manzila, Ibu Sukendah, Mimi, Endang, Sat Rahayu, Devi, Dedek Hariyadi, adik-adik mahasiswa S1, Pak


(15)

Edi, serta Pak Mpud. Hal yang sama juga disampaikan pada seluruh rekan-rekan mahasiswa program studi Entomologi dan Fitopatologi dan, teman-teman di Punhawacana Bali, dan adik-adik di Brahmacarya (Asrama Bali Cikuray).

Terima kasih kepada keluarga tercinta Ir. Ni Luh Komang Kusumawati, I Gede Andy Andika Parahita dan I Made Bayu Puradipa atas doa tulus, pengorbanan, pengertian, ketabahan, dan dorongan semangat yang tiada pernah putus. Mohon maaf selama tiga tahun terakhir tidak dapat memberikan kasih sayang yang utuh kepada kalian. Semoga apa yang bapak lakukan ini dapat menjadi teladan bagi kalian.

Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang telah dihasilkan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Bogor, September 2008

Penulis


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

Alur penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) ... 7

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 10

BAHAN DAN METODE ... 19

Karakter Biologi Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 19

Karakter Molekuler Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 24

Uji Serologi Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 31

HASIL ... 34

Karakter Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 34

Deteksi Serologi Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 55

PEMBAHASAN ... 65

SIMPULAN DAN SARAN .... 75

Simpulan ... 75

Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Frekuensi infeksi CVB pada sampel tanaman krisan dari sentra produksi krisan di Indonesia ... 35 2. Frekuensi infeksi virus pada sampel tanaman krisan bergejala dari

berbagai lokasi berdasarkan ELISA ... 37 3. Respon berbagai tanaman indikator terhadap infeksi CVB-Ina ... 39 4. Hasil Penularan CVB melalui kutudaun M. sanborni ... 43 5. Tingkat kesamaan isolat CVB yang berasal dari geografi berbeda

berdasarkan runutan gen protein selubung ... 52 6. Tingkat kesamaan empat isolat CVB Indonesia dan isolat CVB-S

berdasarkan runutan asam amino protein selubung ... 54 7. Reaksi antiserum terhadap cairan perasan tanaman terinfeksi CVB

pada uji serologi dengan metode I-ELISA ... 62 8. Kisaran inang dan variasi gejala CVB-Ina dibandingkan dengan isolat


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur Penelitian karakterisasi dan pengembangan metode deteksi CVB Indonesia ...

6

2. Skema organisasi genom CVB ... 13

3. Kondisi pertanaman krisan saat pengambilan sampel di beberapa lokasi ... 19

4. Perbanyakan kutudaun pada tanaman krisan dalam kurungan kedap serangga ... 23

5. Perbanyakan virus pada tanaman N. benthamiana ... 25

6. Gejala infeksi CVB pada tanaman krisan ... 34

7. Variasi gejala CVB pada beberapa tanaman ... 40

8. Imago kutudaun M. sanborni ... 41

9. Gambar mikroskopi kutudaun yang dapat menyerang krisan ... 42

10. Bentuk kepala M. sanborni berkembang sempurna, dan bentuk kepala B. helichrysi, A. gossypii dan C. rufomaculata yang tidak berkem-bang ... 42

11. Kauda M. sanborni berbentuk lidah, kauda B. helichrysi berbentuk helm, kauda A. gossypii agak mengecil pada bagian tengah, dan kauda C. rufomaculata berbentuk kerucut ... 42

12. Sifunkuli M. sanborni meruncing ke arah ujung, sifunkuli B. helichry-si meruncing dengan bibir pada ujungnya, sifunkuli A. gossypii meruncing dari pangkal sampai bagian tengah dan hampir lurus dari bagian tengah sampai ke ujung, dan sifunkuli C. rufomaculata membengkak didekat ujung dengan bibir pada bagian ujungnya ... 43

13. Hasil pemurnian virus dengan pemisahan virus melalui ultrasenrifu-gasi dengan gradien kepekatan sesium sulfat ... 44

14. Profil spektrofotometri siapan virus murni ... 45

15. Jumlah tanaman N. benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var. White Burley, N. tabacum var. Havana, P. hybrida, C. amaranticolor dan C. quinoa yang menunjukkan titer virus tinggi ... 47


(19)

17. Hasil analisis SDS-PAGE dan Western blot ... 49 18. Hasil amplifikasi DNA CVB isolat Indonesia dengan metode RT-PCR

menggunakan sepasang primer CVB 5 dan CVB 3... 49 19. Perbandingan hasil perunutan DNA yang berasal dari 4 isolat

CVB-Indonesia ... 51 20. Filogenetika kekerabatan 4 isolat CVB Indonesia terhadap isolat CVB

dari lokasi geografi lain yang ada di GeneBank ... 53 21. Perbandingan hasil perunutan asam amino empat isolat CVB

Indonesia (Ina) dan isolat CBB S Jepang (Jpn) ... 54 22. Nilai absorbansi antiserum pada panjang gelombang 280 ... 56 23. Titer antiserum tidak diserap, antserum diserap dan antiserum murni

berdasarkan ELISA ... 58 24. Nilai absorbansi antiserum tidak diserap, diserap dan antiserum murni

pada uji ELISA terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi (Cianjur, Medan, Malang dan Bali) ... 59 25. Hasil analisis western blot protein selubung CVB menggunakan

antiserum yang diproduksi ... 60 26. Partikel CVB pada pengamatan dengan mikroskop elektron ... 61 27. Reaktivitas antiserum pada pengenceran 1/100, 1/500, 1/1000, 1/5000

dan 1/10.000 terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi dibandingkan dengan kontrol negatif pada uji serologi dengan TBIA ... 63 28. Deteksi serologis CVB pada tanaman krisan dengan teknik TBIA


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai absorbansi (405 nm) sampel pada reaksi ELISA dengan menggunakan beberapa antiserum ... 84 2. Matrik jarak perbedaan 13 isolat CVB berdasarkan karakter molekuler 91


(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) adalah salah satu jenis tanaman bunga yang banyak diminati oleh masyarakat mancanegara karena daya tarik warna, bentuk, dan ukurannya yang beranekaragam. Di Indonesia, krisan banyak dibudidayakan dalam skala kecil oleh petani maupun dalam skala besar oleh perusahaan agribisnis terutama di daerah sejuk di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Bali. Disamping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, krisan diproduksi terutama untuk memenuhi kebutuhan luar negeri seperti negara-negara Eropa, Jepang, dan negara Asia lainnya. Ekspor krisan Indonesia dalam bentuk bunga potong dan stek batang.

Permintaan bunga potong dan tanaman krisan pot di pasar dalam negeri (domestik) maupun pasar internasional makin meningkat dari tahun ke tahun. Situasi ini memberi peluang bagi petani produsen dan pengusaha bunga krisan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas produksi bunga krisan yang sesuai dengan permintaan pasar (Marwoto, 2000). Pada tahun 2004 luas panen krisan di Indonesia mencapai 154,3 Ha dengan produksi 27.683.449 tangkai, yang sebagian besar ditanam di provinsi Jawa Barat yaitu dengan luas panen 105,6 Ha dengan produksi 23.386.679 tangkai (Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, 2005).

Di samping bunga potong, krisan juga diperdagangkan dalam bentuk bibit yaitu stek pucuk. Produksi bibit krisan dalam negeri meningkat dari 1,7 juta bibit pada tahun 2005 menjadi 5,9 juta bibit di tahun 2006 dan 6,5 juta bibit di tahun 2007. Walaupun terjadi peningkatan produksi bibit krisan, impor bibit tersebut juga mengalami peningkatan dari tahun 2005 ke tahun 2006 dan tahun 2007. Hal ini disebabkan karena kebutuhan bibit krisan meningkat lebih cepat dibanding kemampuan produksi bibit di dalam negeri (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2008).

Salah satu kendala dalam budidaya tanaman krisan adalah serangan patogen. Penyakit-penyakit utama tanaman krisan adalah penyakit karat hitam (Puccinia chrysanthemi), karat putih (P. horiana), bercak daun septoria (Septoria


(22)

2

chrysanthemi Allesch dan S. leucanthemi Sacc. et Speg.), tepung oidium (Oidium chrysanthemi Rab.), kapang kelabu (Botrytis cenerea Pers.), layu cendawan (Fusarium oxysporum Schlecht. ex Fr. dan Verticillium alboatrum Reinke et Bert.), dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh chrysanthemun stunt viroid

(CSVd), chrysanthemun mild mosaic virus (CMMV) atau chrysanthemum B carlavirus (CVB) (Pirone, 1978; Semangun, 1991).

Infeksi virus yang bersifat sistemik akan terbawa pada turunan tanaman krisan yang diperbanyak secara vegetatif. Pengaruh infeksi virus pada tanaman hias, khususnya krisan dapat menyebabkan penurunan kualitas maupun kuantitas. Horst et al. (1977) melaporkan bahwa pengaruh infeksi CVB dapat mengakibatkan kerusakan tanaman rata-rata mencapai 80%. Survei yang dilakukan Verma et al. (2003) di Himachal Pradesh (India) menemukan bahwa CVB menginfeksi tanaman krisan dengan kejadian penyakit mencapai 94,66%.

CVB yang merupakan salah satu penyebab penyakit utama pada tanaman krisan menginduksi berbagai macam gejala. Belang atau pemucatan tulang daun yang sangat ringan adalah gejala yang paling umum (Hollings, 1957; Hollings & Stones, 1972). Beberapa varietas krisan terinfeksi menunjukkan penurunan kualitas bunga dibandingkan dengan tanaman yang bebas virus. Penurunan kualitas bunga terutama karena pada tanaman terinfeksi warna mahkota bunga terputus-putus (pecah warna), mengalami distorsi dan berukuran lebih kecil dari normal. Kadang-kadang pada krisan terinfeksi CVB berkembang gejala garis nekrotik pada bunga, dan sering kali tanaman terinfeksi tidak menunjukkan gejala (symptomless).

CVB dapat ditularkan melalui inokulasi mekanik dan penyambungan, walaupun secara alami virus ini ditularkan secara non persisten oleh kutudaun

Myzus persicae, Macrosiphum euphorbiae, Aulacorthum solani, Coloradoa rufomaculata dan Macrosiphoniella sanborni (Hollings & Stones, 1972). Penyebaran jarak jauh CVB terjadi terutama melalui bahan perbanyakan vegetatif tanaman. Hal inilah yang menyebabkan negara-negara pengimpor krisan menerapkan aturan ketat terhadap semua bahan tanaman krisan yaitu harus bebas virus.


(23)

3

Indonesia sebagai salah satu komunitas dunia, bila ingin produk krisannya diterima di pasar dunia, harus mengikuti aturan perdagangan internasional terutama perlakuan karantina tumbuhan. Sertifikasi bahan tanaman krisan bebas virus membutuhkan metode deteksi yang cepat dan akurat. Tantangan ini mendorong penelitian yang akan dilakukan mengarah pada penyediaan metode deteksi CVB yang diperlukan dan dapat diterapkan untuk pemenuhan kebutuhan sertifikasi. Sertifikasi yang didukung metode deteksi yang handal diharapkan dapat menyelamatkan ekspor krisan Indonesia.

Pada tahun 2005, pengamatan penulis di daerah pertanaman krisan di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat menemukan gejala penyakit belang ringan dan pemucatan tulang daun, mirip gejala yang disebabkan oleh infeksi CVB. Penyakit ini diduga disebabkan oleh virus. Berdasarkan gejalanya yang mirip dengan serangan CVB, maka perlu dilakukan karakterisasi melalui pengujian sifat-sifat suatu virus meliputi deskripsi gejala virus pada tanaman krisan, reaksi sampel terhadap serum anti-CVB, mengamati bentuk dan ukuran partikel virus, ukuran protein selubung virus, respon tanaman indikator terhadap infeksi virus, kajian penularan CVB melalui kutudaun, amplifikasi dan perunutan fragmen gen protein selubung virus.

Kajian serologi CVB dengan menggunakan antiserum CVB pada metode ELISA untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus telah dilakukan di India terhadap kultivar krisan berbeda (Verma et al. 2003; Ram et al. 2005) dan di Jepang untuk mendeteksi CVB pada tanaman Gymnaster savatieri (Suastika et al.

1997).

Sekarang ini, metode deteksi yang didasarkan pada analisis asam nukleat virus telah banyak digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CVB atau genus carlavirus. Sebagai contoh teknik reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) dengan menggunakan primer spesifik telah terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CVB dari tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda (Verma et al. 2003; Ram et al. 2005).

Deteksi carlavirus dengan menggunakan teknik RT-PCR yang dilanjutkan dengan perunutan produk PCR dapat menentukan adanya kedekatan hubungan


(24)

4

antara virus yang termasuk genus carlavirus (Lee et al. 2003; Chen et al. 2002; Zang et al. 1998; Choi & Ryu, 2003).

Di Indonesia, belum ada informasi lengkap mengenai penyakit pada tanaman krisan yang disebabkan oleh CVB dan keragamannya. Oleh karena itu penelitian mengenai status penyakit di lapangan, identifikasi virus penyebab penyakit melalui pengujian sifat-sifat biologi, deteksi dan identifikasi virus melalui kajian serologi, dan kajian karakter molekuler virus dengan RT-PCR dan perunutan nukleotida sangat penting dilakukan dalam usaha menemukan pengendalian CVB pada tanaman krisan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sifat-sifat biologi dan molekuler CVB isolat Indonesia serta mengembangkan teknik serologi untuk deteksi CVB cepat dan akurat pada tanaman krisan.

Hipotesis

1. CVB isolat Indonesia mempunyai karakter biologi dan molekuler khusus, yang berbeda dari isolat-isolat CVB lain.

2. Metode deteksi cepat dan akurat dapat dikembangkan untuk CVB isolat Indonesia.

Alur Penelitian

Penelitian dilakukan melalui survei di lapangan, percobaan di rumah kaca dan laboratorium, yang terdiri atas:

1. Determinasi karakter biologi CVB pada tanaman krisan, meliputi: a) pengamatan keragaman gejala virus pada tanaman krisan; b) reaksi

sampel terhadap antiserum virus yang menginfeksi krisan; c) respon tanaman indikator terhadap infeksi CVB; dan d) kajian penularan CVB dengan serangga vektor kutudaun.

2. Determinasi karakter molekuler CVB, meliputi: a) pemurnian virus; b) karakterisasi virus murni dengan spektrofotometri; c) pengamatan bentuk

dan ukuran partikel virus dengan mikroskop elektron; d) penentuan berat molekul protein selubung virus melalui elektroforesis protein dengan teknik


(25)

5

sodiom dodecyl sulphate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan Western blot; dan e) penentuan keragaman molekuler CVB isolat Indonesia, meliputi ; ekstraksi RNA, amplifikasi DNA (RT-PCR), perunutan fragmen gen protein selubung CVB, dan analisis filogenetika.

3. Kajian serologi, meliputi: a) produksi antiserum; b) ujiELISA dan TBIA); dan c) pengujian metode serologi untuk deteksi sampel.


(26)

Gambar 1. Alur penelitian karakterisasi dan pengembangan metode deteksi CVB Indonesia

Identiikasi CVB  dengan RT‐PCR 

Perunutan  isolat‐isolat CVB 

Analisis keragaman  isolat‐isolat CVB 

Kisaran inang CVB:  •Keragaman 

gejala  •Kisaran inang 

Kajian penularan  CVB melalui 

kutudaun 

Pemurnian CVB

•Karakter morfologi  dengan mikroskop  elektron 

•Analisis protein  selubung 

Produksi antiserum  CVB 

Pengembangan  metode deteksi  CVB: 

•ELISA  •TBIA  Survei pada tanaman krisan di Sumatera 

Utara, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali 


(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.)

Sejarah Tanaman Krisan

Krisan yang merupakan tanaman hias bunga berupa perdu dengan sebutan lain seruni atau bunga emas (golden flower) berasal dari Cina. Tanaman ini sudah ditanam 500 tahun sebelum Masehi, yang semula hanya digemari oleh masyarakat Cina. Sekitar abad ke-8 Masehi krisan dibawa dan dibudidayakan di Jepang. Kebanggaan terhadap bunga krisan menyebabkan bunga ini dijadikan sebagai simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan diintroduksi ke kawasan Eropa pada abad ke-17. Tanaman krisan pun menyebar di kawasan Eropa, kemudian ke Asia. Pada tahun 1753 Karl Linnaeus, ahli botani Swedia, mengkombinasikan kata Latin chrysos yang berarti emas dengan kata

anthemon yang berarti bunga, untuk menamakan tanaman krisan. Jenis atau varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad ke-17 (http//www.mums.org).

Krisan mulai dikoleksi di Indonesia pada tahun 1800an dan dikembangkan secara komersial sejak tahun 1940an. Krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias bunga yang sangat diminati dan memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi di Indonesia serta mempunyai prospek pemasaran cerah, terutama dijual berupa bunga potong dan tanaman hias bunga pot. Sentra produksi krisan di Indonesia antara lain: Bandung, Cianjur, Sukabumi, Lembang, Bogor dan Garut (Jawa Barat), Semarang, Magelang, Karanganyar dan Sukoharjo (Jawa Tengah), Malang dan Pasuruan (Jawa Timur), dan Brastagi (Sumatera Utara). Jenis atau varietas krisan yang dikembangkan di Indonesia umumnya krisan hibrida yang berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang (Rukmana & Mulyana, 1997).

Budidaya Tanaman Krisan

Krisan tumbuh baik di dataran tinggi antara 600 -1000 m dpl, dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah dengan aerasi dan drainase baik, memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dengan kandungan unsur hara dalam jumlah cukup dan bebas dari patogen tanah. Krisan membutuhkan suhu malam sekitar


(28)

8

15,5°C dan suhu siang 32°C (Kofranek, 1992). pH optimum tanah untuk pertumbuhan krisan adalah 5,5-6,7 (Carter, 1992; Konfranek, 1992).

Tanaman ini sangat responsif terhadap lama waktu penyinaran cahaya atau fotoperiode. Agar tanaman dapat berbunga dengan baik, kebanyakan varietas memerlukan hari pendek selama fase pembungaan (Janick, 1972; Kofranek, 1992). Tanaman yang ditanam untuk tujuan produksi bunga diberi penyinaran sekitar 14,5 jam per hari dengan tujuan merangsang pertumbuhan vegetatif dan mencapai panjang batang tertentu sebelum terjadi pembungaan. Untuk daerah tropis, tambahan penyinaran 2,5 jam per hari cukup untuk mempertahankan fase vegetatif dan penghentian penyinaran akan mendorong pembentukan bunga.

Perbanyakan tanaman krisan dapat dilakukan dengan stek pucuk dari tanaman induk dan anakan (Genders, 1961; Crater, 1992). Panjang stek pucuk yang ideal adalah 5 cm dan biasanya sudah memiliki 3 helai daun yang membuka penuh. Anakan bisa diperoleh langsung dari tanaman produksi dengan cara mencabut bersama akarnya. Pembibitan diperlukan jika digunakan stek pucuk dalam perbanyakan tanaman (Kofranek, 1992).

Jarak tanam yang biasa digunakan pada penanaman krisan potong yaitu 10 cm x 10 cm atau 20 cm x 20 cm (Rukmana & Mulyana, 1997). Cara yang paling praktis untuk memulai penanaman yaitu dengan memasang jaring penegak lebih dahulu di atas bedengan. Dengan demikian jarak tanam dapat mengikuti pola kotak-kotak pada jaring yang ukurannya sudah tertentu.

Menurut Laurie & Ries (1950) pemupukan dan drainase sangat berpengaruh pada awal pertumbuhan. Krisan tidak memerlukan pemupukan lebih lanjut bila telah membentuk kuncup bunga berdiameter lebih dari 1,0-1,5 cm. Tahap ini dicapai saat tanaman berumur 10-12 minggu setelah tanam (Kofranek, 1992).

Merangsang pertumbuhan cabang-cabang lateral dengan tujuan mendapat tanaman krisan dengan tipe banyak bunga per tangkai (tipe spray), dilakukan dengan pembuangan titik tumbuh (soft pinch) (Crater, 1992). Pembuangan titik tumbuh umumnya dilakukan pada saat tanaman berumur 10-14 hari setelah tanam. Sedangkan untuk memperolah satu bunga krisan yang berdiameter


(29)

9

besar pertangkai (tipe standard), dilakukan pembuangan kuncup lateral (Kofranek, 1992; Greensill, 1970).

Di daerah beriklim tropis krisan membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan sejak bibit ditanam sampai menghasilkan bunga. Saat panen yang tepat adalah ketika bunga setengah mekar atau 3-4 hari sebelum mekar penuh. Biasanya pada saat ini bunga telah mencapai ukuran penuh, intensitas warna hampir mencapai puncaknya, dan bunga masih kuncup (Rukmana & Mulyana, 1997).

Hama dan Penyakit pada Tanaman Krisan

Kendala utama pada budidaya tanaman krisan adalah gangguan hama dan penyakit. Hama-hama penting yang menyerang tanaman krisan adalah Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae); Thrips sp. (Thysanoptera: Thripidae);

Liriomyza trifolii (Diptera: Agromyzidae); Aphis gossypii (Homoptera: Aphididae) (Elzingga, 1978; Pirone, 1978; Blackman & Eastop, 1984). Pirone (1978) melaporkan bahwa selain A. gossypii¸ tanaman krisan juga dapat diserang oleh kutudaun yang lain seperti Macrosiphoniella sanborni dan Myzus persicae.

Penyakit-penyakit utama tanaman krisan adalah penyakit bercak daun septoria (Septoria chrysanthemi dan S. leucanthemi), karat hitam (Puccinia chrysanthemi), karat putih (P. horiana), tepung oidium (Oidium chrysanthemi), kapang kelabu (Botrytis cenerea), dan layu cendawan (Fusarium oxysporum dan

Verticillium alboatrum (Pirone, 1978; Semangun, 1991).

Beberapa virus dilaporkan menginfeksi tanaman krisan, yang terpenting antara lain Tomato aspermy cucumovirus (TAV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV); Chrysanthemum B carlavirus (CVB); dan Tomato spotted wilt tospovirus (TSWV) (Bouween & Zaayen, 1995). Beberapa virus lainnya yang dapat menginfeksi krisan adalah Turnip mosaic potyvirus (TuMV) (Chen et al.

2000), Tobacco mosaic tobamovirus (TMV), Potato Y potyvirus (PVY), dan

Potato X potexvirus (PVX) (Navalinskiene & Samuitiene, 1996).

Selain dari jenis cendawan dan virus, krisan juga terinfeksi oleh viroid. Ada dua jenis viroid yang menginfeksi tanaman krisan yaitu Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) dan Chrysanthemum chlorotic mottle viroid (CChMVd) (Handley & Horst, 1988; Hosokawa et al. 2004)


(30)

10

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB)

Kisaran Inangdan Gejala Infeksi

CVB atau nama lainnya adalah Chrysanthemum mild mosaic virus, Chrysanthemum virus B, Chrysanthemum Q virus, Chrysanthemum dwarf mottle, Chrysanthemum necrotic mottle, Gynura latent virus, dan Chrysanthemum vein mottle virus adalah virus dari genus carlavirus (Hollings & Stone, 1972; Hakkart & Maat, 1974).

CVB mempunyai kisaran inang yang sempit, menginfeksi tanaman krisan dan sekitar 10 spesies pada 5 famili dikotiledon (Hollings, 1957). Pada penelitian Verma et al. (2003), dari 22 spesies tanaman yang diinokulasi untuk uji kisaran inang, hanya 5 spesies yang terinfeksi, yaitu N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, Petunia hybrida dan Vicia faba. Sedangkan penelitian Suastika et al.

(1997) menemukan bahwa CVB mampu menginfeksi tanaman Gymnaster savateri, N. clevelandii, N. occidentalis, P. hybrida, Helichrysum bracteatum, Zinnia elegans, C. amaranticolor, C. quinoa, Sesamum indicum dan Tetragonia expansa. Sedangkan 13 spesies tanaman lainnya dari 7 famili yang diuji, tidak terinfeksi.

Hollings (1957) melaporkan bahwa beberapa spesies tanaman yang sesuai untuk penyebaran CVB antara lain Aster amellus, Chrysanthemum carinatum, C. morifolium, N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, N. affinis. Sedangkan yang bukan inang CVB antara lain Datura stramonium, C. amaranticolor, C. quinoa, Gomphrena globosa, Capsicum annuum, Cucumis sativus, Licopersicon esculentum.

Walaupun memiliki inang yang terbatas, tetapi CVB dilaporkan tersebar pada pertanaman krisan di seluruh dunia. Infeksi virus ini pada tanaman krisan menyebabkan perubahan fisiologi tanaman, yang berakibat gejala belang daun atau pemucatan tulang daun yang sangat ringan pada beberapa kultivar. Namun demikian sering kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala (symptomless) (Hollings & Stone, 1972). Beberapa varietas terinfeksi menunjukkan penurunan kualitas bunga dibandingkan dengan tanaman yang


(31)

11

bebas virus. Penurunan kualitas bunga terutama karena pada tanaman terinfeksi warna mahkota bunga terputus-putus (pecah warna), mengalami distorsi dan berukuran lebih kecil dari normal. Kadang-kadang pada krisan terinfeksi CVB berkembang gejala garis nekrotik pada bunga (Hollings & Stones, 1972).

Survey Verma et al. (2003) di Himachal Pradesh (India) menemukan bahwa tanaman krisan terserang CVB dengan gejala penebalan tulang daun,

mosaik, belang, dan pemucatan tulang daunyang ringan. Pada tanaman dengan daun menunjukkan gejala mosaik yang keras, bunganya juga mengalami malformasi. Pengamatan Suastika et al. (1997) pada tanaman G. savateri

menemukan bahwa CVB menyebabkan gejala belangringan pada daun dan pecah warna pada bunga. Menurut deskripsi Noordam (1972) kisaran inang dan gejala yang ditimbulkan oleh virus CVB antara lain :

1. P. hybrida menunjukkan gejala bercak kuning lokal setelah 2-5 minggu, beberapa isolat virus dari krisan menyebabkan gejala nekrotik atau bercak hijau atau cincin kuning.

2. N. glutinosa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal setelah 2-3,5 minggu, dan gejala infeksinya non sistemik.

3. N. clevelandii menunjukkan gejala belang ringan dan pemucatan tulang daunsetelah 3 minggu.

4. T. expansa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal memanjang dengan diameter ± 3 mm setelah 2-5 minggu dan infeksinya tidak sistemik.

Penularan CVB

Semua anggota genus Carlavirus diketahui dapat ditularkan secara mekanis, dan sebagian besar juga ditularkan secara non persisten melalui kutudaun (Foster, 1992), walaupun ada yang ditularkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci) yaitu Cowpea mild mottle virus (CPMMV) (Badge et al.1996; Hull, 2002). CPMMV juga dapat ditularkan melalui benih, seperti halnya Pea strike virus

(PeSV) dan Red clover vein mosaic virus (RCVMV) (Hull, 2002).

CVB bisa ditularkan secara non persisten oleh kutudaun, melalui penyambungan dan secara mekanik dengan cairan perasan tanaman sakit, tetapi


(32)

12

tidak dapat ditularkan melalui kontak antar tanaman dan melalui benih. Di lapang virus ini dapat ditularkan oleh kutudaun Myzus persicae, Macrosiphum euphorbiae, Aulacorthum solani, Coloradoa rufomaculata, Macrosiphoniella sanborni dan Aphis gossypii (Hollings & Stone, 1972; Hollings, 1957; Ohkawa et al. 2007). Hollings & Stone (1972) melaporkan bahwa periode makan akuisisi kutudaun 30-45 menit dan periode puasanya hingga 1 jam. Frekuensi penularan virus meningkat setelah serangga dilaparkan 3 jam sebelum periode makan akuisisi.

Morfologi dan Taksonomi CVB

CVB adalah virus yang mempunyai partikel berbentuk batang agak lurus dan lentur, dengan ukuran 680-685 nm x 12-13 nm. Partikel lebih lurus dan kelihatan kurang lentur dibandingkan Carnation latent virus (CLV), dan cenderung terputus-putus bila dilakukan pengecatan dengan phosphotungstate

(Hollings & Stone, 1972; Suastika et al. 1997; Foster, 1992; Verma et al. 2003). Menurut Hull (2002), CVB termasuk ke dalam genus mengambang (floating genera), karena genus-genus pada kelompok ini tidak bisa dimasukkan dalam famili. Sampai saat ini ada 20 genus virus tanaman yang dimasukkan dalam

floating genera ini dengan karakterisasi mempunyai asam nukleat ribonukleat dalam bentuk utas tunggal (single strand (ss) RNA) positive-sense dan tidak memenuhi syarat untuk dikelompokkan pada familia tertentu.

Carlavirus yang anggotanya dicirikan dengan tipe CLV, mempunyai partikel bentuk batang agak lentur dengan ukuran panjang 610-700 nm dan diameter 12-15 nm. Virion mengandung molekul RNA tunggal linier dalam bentuk positive-sense utas tunggal (positive-sense ssRNA), panjangnya 7,4-8,5 nm, dan memiliki polyadenyl (poly A) pada ujung 3’. Asam nukleatnya diselubungi oleh sub unit-sub unit protein selubung sejenis dengan berat masing-masing 31-36 kDa (Hull, 2002; Lee et al. 2003; Zavriev et al. 1991; Foster, 1992; Lawrence et al. 1995).

Lebih dari 35 spesies virus tergolong dalam genus carlavirus, beberapa diantaranya sudah dilaporkan runutan lengkap nukleotidanya yaitu Actonitum latent virus (AcoLV), Blueberry scorch virus (BlScV), Garlic latent virus


(33)

13

(PVM) dan CVB (Cohen et al. 2000; Chen et al. 2002; Fuji et al. 2002; Hataya et al. 2000; Zavriev et al. 1991; Ohkawa et al. 2007). Beberapa spesies dari

carlavirus sudah dirunut pada daerah terminal 3’nya, termasuk diantaranya PVS, HeLVS, CLV, LSV, CVB, CPMMV dan Daphne Virus S (DVS) (Badge et al.

1996; Foster & Mills, 1992; Lee et al. 2003). Semuanya menunjukkan organisasi genom yang mirip, dengan kemiripan ukuran open reading frame (ORF), dan tingkat homologi yang tinggi pada runutan asam amino diantara protein padanannya.

RNA dengan poly A pada ujung 3’, memiliki 6 ORF yaitu ORF1 menyandi polipeptida (223 kDa) yang merupakan replikase virus; ORF2 (25 kDa), ORF3 (12 kDa) dan ORF4 (7 kDa) membentuk triple gene block (TGB) yang berperan dalam pergerakan virus dari sel ke sel; ORF5 menyandi protein selubung (34 kDa) dan ORF6 (11-16 kDa) menyandi protein cystein-rich yang belum diketahui fungsinya (Gambar 2).

Gambar 2. Skema organisasi genom CVB (Sumber : Ohkawa et al. 2007). RNA memiliki 6 ORF dengan poly A pada ujung 3’

Identifikasi dan Deteksi CVB

Bioassay. Identifikasi virus secara biologis (bioesei) dapat dilakukan melalui uji kisaran inang dan atau melalui uji hubungan virus dan serangga vektornya. Cara tersebut telah dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CVB (Hollings & Stones, 1972; Ram et al. 2005; Verma et al. 2003; Suastika et al. 1997).

Uji serologi. Teknik serologi merupakan salah satu cara deteksi dan identifikasi suatu patogen dalam suatu inang, yang memanfaatkan reaksi spesifik antara antigen dan antiserum (Crowther, 1995). Metode ini, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan aplikasinya di bidang penyakit tumbuhan sudah sangat umum digunakan, yaitu untuk mendeteksi suatu patogen khususnya virus dalam tanaman. Kegunaan yang lain dari uji serologi ini adalah


(34)

14

menentukan konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios, 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang digunakan untuk deteksi serologi antara lain immunosorbent electron microscopy

(ISEM) (Dykstra, 1992; Flager et al. 1993), immunoflourescent staining (Hampton et al. 1990), gel double-diffusion test, dot-blot immunobinding assay

(DIBA), tissue-blot immunoassay (TBIA), western blot (Harlow & Lane 1999; Lin et al. 1990), agarose gel presipitation test (AGPT) (Mahmood et al. 1997) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Harlow & Lane 1999; Kumari

et al. 2006).

Metode serologi yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan diantaranya yaitu ELISA dan western blot untuk mendeteksi beberapa protein selubung dari genus Begomovirus (Abouzid et al. 2002), DIBA digunakan untuk mendeteksi Zuccini yellow mosaic virus (ZYMV) (Somowiyarjo

et al. 1989), metode ISEM telah berhasil digunakan untuk deteksi dan identifikasi bentuk partikel Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) oleh Attathom et al.

(1990). Deteksi partikel virus menggunakan antiserum dengan metode immune electron microscopy (IEM) dilakukan oleh Sharma et al. (2005) terhadap virus CMV, Lily mottle virus (LMoV) dan LSV pada tanaman lily. Deteksi dengan metode immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana

et al. (1997) untuk mengetahui dinamika pergerakan Bean dwarf mosaic geminivirus (BDMV) dari sel ke sel pada Phaseolus vulgaris. Pengujian presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi Wheat streak mosaic tritimovirus (WSMV).

TBIA digunakan untuk mengamati keberadaan Chickpea chlorotic dwarf virus (CpCDV) pada jaringan tanaman (Kumari et al. 2006), dan juga cukup sensitif untuk mendeteksi Florida hibiscus virus (Kamenova & Adkins, 2004). TBIA pertama kali dikerjakan oleh Lin et al. (1990) untuk mendeteksi beberapa virus dan mycoplasmalike organism. Teknik TBIA memiliki beberapa kelebihan dibanding ELISA yaitu (Kamenova & Adkins, 2004): 1) memberikan informasi


(35)

15

distribusi virus pada bagian terinfeksi; 2) pengerjaan deteksi lebih cepat dan lebih sedikit membutuhkan tenaga kerja, sebab membran dapat diblot dalam beberapa menit, sehingga dapat diterapkan dalam skala besar; 3) blotting dapat dilakukan di lapangan dan kemudian dikirim ke laboratorium untuk pengerjaan selanjutnya; dan 4) membran dapat disimpan dalam suhu ruang selama 10 hari tanpa kehilangan sensitivitasnya.

Deteksi CVB secara serologi dilaporkan telah dipakai untuk mendeteksi CVB pada tanaman krisan dengan metode double antibody sandwich-ELISA (DAS-ELISA) (Ram et al. 2005; Verma et al. 2003). Verma et al. (2003) juga menggunakan antiserum CVB untuk melihat partikel virus pada kajian IEM. Pada tanaman G. savatieri antiserum CVB digunakan untuk deteksi virus secara serologi dengan metode indirect-ELISA (I-ELISA) dan untuk ISEM (Suastika

et al. 1997).

Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik seperti antiserum dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Antiserum adalah serum yang mengandung antibodi (Noordam, 1973). Antibodi adalah molekul imunoglobulin yang dihasilkan oleh sistem imun dari hewan sebagai tanggapan terhadap suatu rangsangan molekul asing (antigen) (Crowther, 1995). Antibodi banyak dimanfaatkan dalam kajian imunologi untuk mengidentifikasi suatu patogen. Ikatan antigen dengan antibodi sangat spesifik, suatu molekul antigen mempunyai kemampuan untuk bereaksi atau berikatan dengan suatu molekul imunoglobulin (Sambrook et al., 1989). Antigen pada umumnya terdiri atas makromolekul yaitu berupa protein, nukleoprotein ataupun polisakarida yang mempunyai berat molekul lebih dari 10.000 dan akan bereaksi spesifik apabila diinjeksikan ke dalam tubuh hewan percobaan. Molekul dengan berat molekul lebih rendah dari 5000 biasanya tidak efektif sebagai imunogen (Crowther, 1995). Virus mempunyai berbagai macam gen yang masing-masing akan menyandikan pembentukan suatu protein. Untuk membuat antibodi dari suatu virus tumbuhan pada umumnya digunakan protein selubung partikel virus.

Sambrook et al. (1989) membagi antibodi berdasarkan reaksinya terhadap antigen menjadi tiga klas. (1) Antibodi yang bereaksi terhadap banyak epitop dari


(36)

16

suatu antigen, yang disebut dengan antibodi poliklonal. (2) Antibodi yang bereaksi terhadap epitop spesifik disebut dengan antibodi monoklonal. (3) Antibodi yang bereaksi terhadap protein dalam bentuk terdenaturasi. Antibodi ini dapat bersifat monoklonal maupun poliklonal. Antibodi poliklonal dibentuk oleh sejumlah klon limfosit B yang dirangsang oleh banyak epitop dari suatu antigen sehingga variabilitas antibodi tinggi. Antibodi monoklonal, sangat spesifik karena hanya dibentuk oleh satu macam epitop. Produksi antibodi poliklonal lebih mudah dan murah dibandingkan antibodi monoklonal.

Beberapa jenis hewan berdarah panas yang sering digunakan untuk memproduksi antibodi antara lain kelinci, marmut, ayam, mencit, domba dan kuda. Marmut sering menjadi hewan pilihan karena hanya memerlukan sedikit antigen untuk imunisasi, volume serumnya relatif banyak, mudah pemeliharaannya, dan menghasilkan antiserum yang baik kualitasnya. Menurut Rollin & Kesel (1995), marmut adalah sumber komplemen serum yang sangat baik.

Potensi antigen untuk menimbulkan respon kekebalan sangat dipengaruhi oleh berat molekul, struktur dan kompleksitasnya, sedangkan kualitas antibodi dipengaruhi oleh konsentrasi antigen dan cara imunisasi. Respon kekebalan dapat ditingkatkan melalui modifikasi antigen dengan mencampur menggunakan bahan tambahan seperti adjuvant (Duncan, 1980). Antigen dapat memicu respon kekebalan paling kuat apabila diinjeksikan langsung pada kelenjar getah bening poplitea (Sambrook et al., 1989), tetapi memerlukan keterampilan khusus untuk melakukan injeksi. Terdapat berbagai cara imunisasi hewan percobaan yang umum dilakukan yaitu dengan cara menginjeksikan antigen melalui otot paha (intramuscular), pembuluh darah vena (intravenous), di bawah kulit (sub cutaneous), dan rongga perut (intraperitoneal) (Svendsen & Hau, 1994;

Sambrook et al., 1989). Imunisasi secara berulang dengan selang waktu tertentu dapat meningkatkan respon kekebalan suatu individu.

RT-PCR. Karakterisasi virus tanaman dapat dilakukan juga melalui sifat asam nukleat virus tersebut. Saat ini metode deteksi dan identifikasi virus yang akurat banyak dilakukan berbasis pada pengetahuan biologi molekuler yang telah berkembang sangat pesat. Teknik PCR merupakan cara cepat untuk


(37)

17

mengamplifikasi DNA secara invitro, sangat berguna dalam mengidentifikasi virus yang menginfeksi tanaman, hewan dan manusia. Identifikasi virus dengan teknik PCR didasarkan pada sifat primer yang spesifik (Sambrook et al. 1989). Oleh karena itu penentuan primer sangat menentukan spesifisitas hasil deteksi. Identifikasi, studi keragaman dan analisis filogenetika kelompok carlavirus

seringkali menggunakan primer yang disusun berdasarkan informasi gen protein selubung dan ujung 3’ untranslated region (UTR) (Badge et al. 1996; Foster & Mills, 1992; Lee et al. 2003).

Modifikasi teknik PCR yaitu teknik RT-PCR dengan menggunakan primer spesifik terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CMV, LMoV, LSV dan Strawberry latent ringspot virus (SLRSV) pada tanaman lily (Sharma et al. 2005; Choi & Ryu, 2003). Identifikasi molekuler dengan teknik RT-PCR juga telah digunakan untuk mengkarakterisasi Daphne virus S (DVS) pada tanaman Daphne spp. (Lee et al. 2003); Garlic latent virus (GarLV), Onion yellow dwarf virus (OYDV) dan Leek yellow stripe virus (LYSV) pada tanaman bawang putih; Shallot yellow stripe virus (SYSV) pada tanaman Allium fistulosum

var. caespitosum; dan LMoV pada tanaman lily (Chen et al. 2002).

Analisis asam nukleat CVB dengan teknik RT-PCR dilakukan oleh Levay & Zavriev pada tahun 1991. Ram et al. (2005) pada penelitiannya memproduksi tanaman krisan bebas CVB menggunakan teknik RT-PCR untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi CVB dari tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda.

Keunggulan masing-masing metode deteksi sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Identifikasi virus dengan kajian biologis memerlukan waktu yang cukup lama karena harus mempersiapkan tanaman indikator, tetapi biaya yang dikeluarkan tidak banyak. Metode serologi dan RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksi virus atau indexing, dibandingkan dengan kajian biologi. Sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi pada kajian biologi, tetapi menunjukkan hasil posistif dengan metode serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Ram et al. 2005). Namun demikian ELISA dan RT-PCR harus ditunjang dengan laboratorium yang dilengkapi dengan sarana alat-alat ELISA dan PCR.


(38)

18

Pemurnian Virus

Kajian suatu virus penyebab penyakit tumbuhan, khususnya untuk mengetahui morfologi, pengamatan bentuk dan ukuran partikel serta pembuatan antiserum membutuhkan tersedianya virus murni. Sehingga untuk tujuan itu, pemurnian virus merupakan salah satu langkah penting. Berbagai metode dan modifikasi pemurnian suatu virus telah diketahui yang disesuaikan dengan sifat dan jenis virusnya (Matthews 1992). Secara umum pemurnian virus dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1) perbanyakan virus pada inang yang sedikit mengandung atau tidak mengandung zat inhibitor, 2) mengurangi aktivitas enzim inhibitor melalui pemilihan media homogenisasi yang tepat dengan cara menggunakan penyangga pada molaritas dan pH larutan yang tepat, serta penambahan bahan aditif seperti antioksidan atau bahan pengkelat , 3) penjernihan ekstrak tanaman yang terinfeksi virus dengan tujuan untuk menghilangkan molekul makro seperti mitokondria, ribosom, polisom, polisakarida dengan cara menambahkan bahan pelarut organik misalnya eter, kloroform, atau butanol yang dapat mendenaturisasi lemak dan protein tanpa merusak struktur virusnya, dan 4) pemisahan virus dari komponen tanaman dengan presipitasi partikel menggunakan polyethyleneglycole (PEG), dengan cara ultrasentrifugasi dengan gradien kepekatan sukrosa atau sesium sulfat yang dapat memisahkan partikel virus berdasarkan bentuk, ukuran dan berat jenisnya.

Beberapa penelitian sudah berhasil memurnikan carlavirus antara lain adalah CVB, Elderberry carlavirus, DVS dan Nerine latent virus (NLV) menggunakan gradien sukrose (Suastika et al. 1997; Van Lent et al. 1980; Lee et al. 2003; Maat et al. 1978); dan CVB dan LSV menggunakan gradien sesium sulfat (Verma et al. 2003; Sharma et al. 2005). Sedangkan Hollings et al. (1970) memurnikan CVB menggunakan metode pemisahan virus dengan satu atau beberapa siklus sentrifugasi diferensial (10.000 g selama 15 menit; 80.000 selama 90 menit).


(39)

TINJAUAN PUSTAKA

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.)

Sejarah Tanaman Krisan

Krisan yang merupakan tanaman hias bunga berupa perdu dengan sebutan lain seruni atau bunga emas (golden flower) berasal dari Cina. Tanaman ini sudah ditanam 500 tahun sebelum Masehi, yang semula hanya digemari oleh masyarakat Cina. Sekitar abad ke-8 Masehi krisan dibawa dan dibudidayakan di Jepang. Kebanggaan terhadap bunga krisan menyebabkan bunga ini dijadikan sebagai simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan diintroduksi ke kawasan Eropa pada abad ke-17. Tanaman krisan pun menyebar di kawasan Eropa, kemudian ke Asia. Pada tahun 1753 Karl Linnaeus, ahli botani Swedia, mengkombinasikan kata Latin chrysos yang berarti emas dengan kata

anthemon yang berarti bunga, untuk menamakan tanaman krisan. Jenis atau varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad ke-17 (http//www.mums.org).

Krisan mulai dikoleksi di Indonesia pada tahun 1800an dan dikembangkan secara komersial sejak tahun 1940an. Krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias bunga yang sangat diminati dan memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi di Indonesia serta mempunyai prospek pemasaran cerah, terutama dijual berupa bunga potong dan tanaman hias bunga pot. Sentra produksi krisan di Indonesia antara lain: Bandung, Cianjur, Sukabumi, Lembang, Bogor dan Garut (Jawa Barat), Semarang, Magelang, Karanganyar dan Sukoharjo (Jawa Tengah), Malang dan Pasuruan (Jawa Timur), dan Brastagi (Sumatera Utara). Jenis atau varietas krisan yang dikembangkan di Indonesia umumnya krisan hibrida yang berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang (Rukmana & Mulyana, 1997).

Budidaya Tanaman Krisan

Krisan tumbuh baik di dataran tinggi antara 600 -1000 m dpl, dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah dengan aerasi dan drainase baik, memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dengan kandungan unsur hara dalam jumlah cukup dan bebas dari patogen tanah. Krisan membutuhkan suhu malam sekitar


(40)

8

15,5°C dan suhu siang 32°C (Kofranek, 1992). pH optimum tanah untuk pertumbuhan krisan adalah 5,5-6,7 (Carter, 1992; Konfranek, 1992).

Tanaman ini sangat responsif terhadap lama waktu penyinaran cahaya atau fotoperiode. Agar tanaman dapat berbunga dengan baik, kebanyakan varietas memerlukan hari pendek selama fase pembungaan (Janick, 1972; Kofranek, 1992). Tanaman yang ditanam untuk tujuan produksi bunga diberi penyinaran sekitar 14,5 jam per hari dengan tujuan merangsang pertumbuhan vegetatif dan mencapai panjang batang tertentu sebelum terjadi pembungaan. Untuk daerah tropis, tambahan penyinaran 2,5 jam per hari cukup untuk mempertahankan fase vegetatif dan penghentian penyinaran akan mendorong pembentukan bunga.

Perbanyakan tanaman krisan dapat dilakukan dengan stek pucuk dari tanaman induk dan anakan (Genders, 1961; Crater, 1992). Panjang stek pucuk yang ideal adalah 5 cm dan biasanya sudah memiliki 3 helai daun yang membuka penuh. Anakan bisa diperoleh langsung dari tanaman produksi dengan cara mencabut bersama akarnya. Pembibitan diperlukan jika digunakan stek pucuk dalam perbanyakan tanaman (Kofranek, 1992).

Jarak tanam yang biasa digunakan pada penanaman krisan potong yaitu 10 cm x 10 cm atau 20 cm x 20 cm (Rukmana & Mulyana, 1997). Cara yang paling praktis untuk memulai penanaman yaitu dengan memasang jaring penegak lebih dahulu di atas bedengan. Dengan demikian jarak tanam dapat mengikuti pola kotak-kotak pada jaring yang ukurannya sudah tertentu.

Menurut Laurie & Ries (1950) pemupukan dan drainase sangat berpengaruh pada awal pertumbuhan. Krisan tidak memerlukan pemupukan lebih lanjut bila telah membentuk kuncup bunga berdiameter lebih dari 1,0-1,5 cm. Tahap ini dicapai saat tanaman berumur 10-12 minggu setelah tanam (Kofranek, 1992).

Merangsang pertumbuhan cabang-cabang lateral dengan tujuan mendapat tanaman krisan dengan tipe banyak bunga per tangkai (tipe spray), dilakukan dengan pembuangan titik tumbuh (soft pinch) (Crater, 1992). Pembuangan titik tumbuh umumnya dilakukan pada saat tanaman berumur 10-14 hari setelah tanam. Sedangkan untuk memperolah satu bunga krisan yang berdiameter


(41)

9

besar pertangkai (tipe standard), dilakukan pembuangan kuncup lateral (Kofranek, 1992; Greensill, 1970).

Di daerah beriklim tropis krisan membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan sejak bibit ditanam sampai menghasilkan bunga. Saat panen yang tepat adalah ketika bunga setengah mekar atau 3-4 hari sebelum mekar penuh. Biasanya pada saat ini bunga telah mencapai ukuran penuh, intensitas warna hampir mencapai puncaknya, dan bunga masih kuncup (Rukmana & Mulyana, 1997).

Hama dan Penyakit pada Tanaman Krisan

Kendala utama pada budidaya tanaman krisan adalah gangguan hama dan penyakit. Hama-hama penting yang menyerang tanaman krisan adalah Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae); Thrips sp. (Thysanoptera: Thripidae);

Liriomyza trifolii (Diptera: Agromyzidae); Aphis gossypii (Homoptera: Aphididae) (Elzingga, 1978; Pirone, 1978; Blackman & Eastop, 1984). Pirone (1978) melaporkan bahwa selain A. gossypii¸ tanaman krisan juga dapat diserang oleh kutudaun yang lain seperti Macrosiphoniella sanborni dan Myzus persicae.

Penyakit-penyakit utama tanaman krisan adalah penyakit bercak daun septoria (Septoria chrysanthemi dan S. leucanthemi), karat hitam (Puccinia chrysanthemi), karat putih (P. horiana), tepung oidium (Oidium chrysanthemi), kapang kelabu (Botrytis cenerea), dan layu cendawan (Fusarium oxysporum dan

Verticillium alboatrum (Pirone, 1978; Semangun, 1991).

Beberapa virus dilaporkan menginfeksi tanaman krisan, yang terpenting antara lain Tomato aspermy cucumovirus (TAV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV); Chrysanthemum B carlavirus (CVB); dan Tomato spotted wilt tospovirus (TSWV) (Bouween & Zaayen, 1995). Beberapa virus lainnya yang dapat menginfeksi krisan adalah Turnip mosaic potyvirus (TuMV) (Chen et al.

2000), Tobacco mosaic tobamovirus (TMV), Potato Y potyvirus (PVY), dan

Potato X potexvirus (PVX) (Navalinskiene & Samuitiene, 1996).

Selain dari jenis cendawan dan virus, krisan juga terinfeksi oleh viroid. Ada dua jenis viroid yang menginfeksi tanaman krisan yaitu Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) dan Chrysanthemum chlorotic mottle viroid (CChMVd) (Handley & Horst, 1988; Hosokawa et al. 2004)


(42)

10

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB)

Kisaran Inangdan Gejala Infeksi

CVB atau nama lainnya adalah Chrysanthemum mild mosaic virus, Chrysanthemum virus B, Chrysanthemum Q virus, Chrysanthemum dwarf mottle, Chrysanthemum necrotic mottle, Gynura latent virus, dan Chrysanthemum vein mottle virus adalah virus dari genus carlavirus (Hollings & Stone, 1972; Hakkart & Maat, 1974).

CVB mempunyai kisaran inang yang sempit, menginfeksi tanaman krisan dan sekitar 10 spesies pada 5 famili dikotiledon (Hollings, 1957). Pada penelitian Verma et al. (2003), dari 22 spesies tanaman yang diinokulasi untuk uji kisaran inang, hanya 5 spesies yang terinfeksi, yaitu N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, Petunia hybrida dan Vicia faba. Sedangkan penelitian Suastika et al.

(1997) menemukan bahwa CVB mampu menginfeksi tanaman Gymnaster savateri, N. clevelandii, N. occidentalis, P. hybrida, Helichrysum bracteatum, Zinnia elegans, C. amaranticolor, C. quinoa, Sesamum indicum dan Tetragonia expansa. Sedangkan 13 spesies tanaman lainnya dari 7 famili yang diuji, tidak terinfeksi.

Hollings (1957) melaporkan bahwa beberapa spesies tanaman yang sesuai untuk penyebaran CVB antara lain Aster amellus, Chrysanthemum carinatum, C. morifolium, N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, N. affinis. Sedangkan yang bukan inang CVB antara lain Datura stramonium, C. amaranticolor, C. quinoa, Gomphrena globosa, Capsicum annuum, Cucumis sativus, Licopersicon esculentum.

Walaupun memiliki inang yang terbatas, tetapi CVB dilaporkan tersebar pada pertanaman krisan di seluruh dunia. Infeksi virus ini pada tanaman krisan menyebabkan perubahan fisiologi tanaman, yang berakibat gejala belang daun atau pemucatan tulang daun yang sangat ringan pada beberapa kultivar. Namun demikian sering kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala (symptomless) (Hollings & Stone, 1972). Beberapa varietas terinfeksi menunjukkan penurunan kualitas bunga dibandingkan dengan tanaman yang


(43)

11

bebas virus. Penurunan kualitas bunga terutama karena pada tanaman terinfeksi warna mahkota bunga terputus-putus (pecah warna), mengalami distorsi dan berukuran lebih kecil dari normal. Kadang-kadang pada krisan terinfeksi CVB berkembang gejala garis nekrotik pada bunga (Hollings & Stones, 1972).

Survey Verma et al. (2003) di Himachal Pradesh (India) menemukan bahwa tanaman krisan terserang CVB dengan gejala penebalan tulang daun,

mosaik, belang, dan pemucatan tulang daunyang ringan. Pada tanaman dengan daun menunjukkan gejala mosaik yang keras, bunganya juga mengalami malformasi. Pengamatan Suastika et al. (1997) pada tanaman G. savateri

menemukan bahwa CVB menyebabkan gejala belangringan pada daun dan pecah warna pada bunga. Menurut deskripsi Noordam (1972) kisaran inang dan gejala yang ditimbulkan oleh virus CVB antara lain :

1. P. hybrida menunjukkan gejala bercak kuning lokal setelah 2-5 minggu, beberapa isolat virus dari krisan menyebabkan gejala nekrotik atau bercak hijau atau cincin kuning.

2. N. glutinosa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal setelah 2-3,5 minggu, dan gejala infeksinya non sistemik.

3. N. clevelandii menunjukkan gejala belang ringan dan pemucatan tulang daunsetelah 3 minggu.

4. T. expansa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal memanjang dengan diameter ± 3 mm setelah 2-5 minggu dan infeksinya tidak sistemik.

Penularan CVB

Semua anggota genus Carlavirus diketahui dapat ditularkan secara mekanis, dan sebagian besar juga ditularkan secara non persisten melalui kutudaun (Foster, 1992), walaupun ada yang ditularkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci) yaitu Cowpea mild mottle virus (CPMMV) (Badge et al.1996; Hull, 2002). CPMMV juga dapat ditularkan melalui benih, seperti halnya Pea strike virus

(PeSV) dan Red clover vein mosaic virus (RCVMV) (Hull, 2002).

CVB bisa ditularkan secara non persisten oleh kutudaun, melalui penyambungan dan secara mekanik dengan cairan perasan tanaman sakit, tetapi


(44)

12

tidak dapat ditularkan melalui kontak antar tanaman dan melalui benih. Di lapang virus ini dapat ditularkan oleh kutudaun Myzus persicae, Macrosiphum euphorbiae, Aulacorthum solani, Coloradoa rufomaculata, Macrosiphoniella sanborni dan Aphis gossypii (Hollings & Stone, 1972; Hollings, 1957; Ohkawa et al. 2007). Hollings & Stone (1972) melaporkan bahwa periode makan akuisisi kutudaun 30-45 menit dan periode puasanya hingga 1 jam. Frekuensi penularan virus meningkat setelah serangga dilaparkan 3 jam sebelum periode makan akuisisi.

Morfologi dan Taksonomi CVB

CVB adalah virus yang mempunyai partikel berbentuk batang agak lurus dan lentur, dengan ukuran 680-685 nm x 12-13 nm. Partikel lebih lurus dan kelihatan kurang lentur dibandingkan Carnation latent virus (CLV), dan cenderung terputus-putus bila dilakukan pengecatan dengan phosphotungstate

(Hollings & Stone, 1972; Suastika et al. 1997; Foster, 1992; Verma et al. 2003). Menurut Hull (2002), CVB termasuk ke dalam genus mengambang (floating genera), karena genus-genus pada kelompok ini tidak bisa dimasukkan dalam famili. Sampai saat ini ada 20 genus virus tanaman yang dimasukkan dalam

floating genera ini dengan karakterisasi mempunyai asam nukleat ribonukleat dalam bentuk utas tunggal (single strand (ss) RNA) positive-sense dan tidak memenuhi syarat untuk dikelompokkan pada familia tertentu.

Carlavirus yang anggotanya dicirikan dengan tipe CLV, mempunyai partikel bentuk batang agak lentur dengan ukuran panjang 610-700 nm dan diameter 12-15 nm. Virion mengandung molekul RNA tunggal linier dalam bentuk positive-sense utas tunggal (positive-sense ssRNA), panjangnya 7,4-8,5 nm, dan memiliki polyadenyl (poly A) pada ujung 3’. Asam nukleatnya diselubungi oleh sub unit-sub unit protein selubung sejenis dengan berat masing-masing 31-36 kDa (Hull, 2002; Lee et al. 2003; Zavriev et al. 1991; Foster, 1992; Lawrence et al. 1995).

Lebih dari 35 spesies virus tergolong dalam genus carlavirus, beberapa diantaranya sudah dilaporkan runutan lengkap nukleotidanya yaitu Actonitum latent virus (AcoLV), Blueberry scorch virus (BlScV), Garlic latent virus


(45)

13

(PVM) dan CVB (Cohen et al. 2000; Chen et al. 2002; Fuji et al. 2002; Hataya et al. 2000; Zavriev et al. 1991; Ohkawa et al. 2007). Beberapa spesies dari

carlavirus sudah dirunut pada daerah terminal 3’nya, termasuk diantaranya PVS, HeLVS, CLV, LSV, CVB, CPMMV dan Daphne Virus S (DVS) (Badge et al.

1996; Foster & Mills, 1992; Lee et al. 2003). Semuanya menunjukkan organisasi genom yang mirip, dengan kemiripan ukuran open reading frame (ORF), dan tingkat homologi yang tinggi pada runutan asam amino diantara protein padanannya.

RNA dengan poly A pada ujung 3’, memiliki 6 ORF yaitu ORF1 menyandi polipeptida (223 kDa) yang merupakan replikase virus; ORF2 (25 kDa), ORF3 (12 kDa) dan ORF4 (7 kDa) membentuk triple gene block (TGB) yang berperan dalam pergerakan virus dari sel ke sel; ORF5 menyandi protein selubung (34 kDa) dan ORF6 (11-16 kDa) menyandi protein cystein-rich yang belum diketahui fungsinya (Gambar 2).

Gambar 2. Skema organisasi genom CVB (Sumber : Ohkawa et al. 2007). RNA memiliki 6 ORF dengan poly A pada ujung 3’

Identifikasi dan Deteksi CVB

Bioassay. Identifikasi virus secara biologis (bioesei) dapat dilakukan melalui uji kisaran inang dan atau melalui uji hubungan virus dan serangga vektornya. Cara tersebut telah dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CVB (Hollings & Stones, 1972; Ram et al. 2005; Verma et al. 2003; Suastika et al. 1997).

Uji serologi. Teknik serologi merupakan salah satu cara deteksi dan identifikasi suatu patogen dalam suatu inang, yang memanfaatkan reaksi spesifik antara antigen dan antiserum (Crowther, 1995). Metode ini, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan aplikasinya di bidang penyakit tumbuhan sudah sangat umum digunakan, yaitu untuk mendeteksi suatu patogen khususnya virus dalam tanaman. Kegunaan yang lain dari uji serologi ini adalah


(1)

Lokasi No. sampel

Antiserum

CVB TSWV CMV PVY TMV

Cipanas 1 1,099 0,122 0,142 0,189 0,197

2 0,975 0,140 0,152 0,194 0,196

3 0,982 0,126 0,156 0,185 0,214

4 0,979 0,134 0,134 0,209 0,190

5 1,085 0,125 0,148 0,198 0,214 6 0,927 0,125 0,145 0,210 0,196

7 0,147 0,140 0,143 0,195 0,214

8 0,982 0,130 0,144 0,192 0,217 9 0,979 0,125 0,151 0,186 0,209

10 0,148 0,142 0,141 0,214 0,196

11 0,993 0,126 0,146 0,199 0,219 12 0,937 0,134 0,149 0,211 0,214

13 0,144 0,138 0,151 0,198 0,192

14 0,946 0,126 0,141 0,197 0,214

15 0,162 0,139 0,139 0,183 0,214

16 0,899 0,131 0,139 0,196 0,203 17 1,004 0,122 0,145 0,199 0,198

18 0,142 0,140 0,140 0,216 0,214

19 0,957 0,126 0,150 0,185 0,226

20 0,954 0,134 0,139 0,197 0,199

21 0,952 0,129 0,131 0,186 0,210

22 1,085 0,144 0,149 0,221 0,195

23 0,131 0,126 0,145 0,184 0,217

24 1,010 0,123 0,146 0,196 0,209

25 0,150 0,141 0,139 0,199 0,196

26 0,162 0,138 0,137 0,211 0,219

27 0,899 0,137 0,138 0,198 0,190 28 0,951 0,127 0,137 0,192 0,197 29 0,939 0,130 0,143 0,180 0,196

30 0,141 0,128 0,142 0,186 0,214

31 0,921 0,144 0,152 0,194 0,215 32 1,099 0,126 0,156 0,195 0,186

33 0,138 0,130 0,145 0,211 0,214

34 0,992 0,125 0,140 0,194 0,191

35 1,010 0,142 0,150 0,194 0,211

36 0,147 0,126 0,139 0,192 0,186

37 0,924 0,128 0,141 0,189 0,212

38 0,144 0,135 0,134 0,194 0,194

39 0,945 0,125 0,139 0,185 0,197

40 0,139 0,126 0,145 0,211 0,213

41 0,133 0,129 0,143 0,198 0,189

42 1,010 0,144 0,144 0,197 0,190

43 0,975 0,128 0,139 0,194 0,197

Kontrol negatif


(2)

sampel

CVB TSWV CMV PVY TMV Kota Batu 1 0,993 0,140 0,137 0,192 0,203

2 0,945 0,130 0,144 0,180 0,198

3 0,142 0,125 0,146 0,186 0,214

4 0,957 0,142 0,149 0,194 0,226

5 0,154 0,126 0,151 0,195 0,199

6 1,085 0,140 0,151 0,196 0,214

7 0,131 0,130 0,141 0,199 0,214

8 0,149 0,125 0,139 0,211 0,196

9 0,937 0,142 0,145 0,211 0,214

10 0,144 0,126 0,146 0,198 0,217

11 0,927 0,134 0,139 0,197 0,209

12 0,147 0,138 0,137 0,183 0,196

13 0,147 0,126 0,139 0,196 0,219

14 0,924 0,135 0,145 0,192 0,203

15 0,144 0,125 0,140 0,186 0,198

16 0,993 0,126 0,150 0,214 0,214

17 0,150 0,129 0,139 0,199 0,226

18 0,162 0,144 0,145 0,198 0,199

19 0,899 0,128 0,143 0,192 0,210

20 0,951 0,130 0,144 0,216 0,196

21 0,133 0,128 0,151 0,185 0,219

22 0,144 0,144 0,141 0,197 0,190

23 0,139 0,126 0,146 0,186 0,197

24 0,145 0,123 0,149 0,221 0,196

25 0,140 0,141 0,134 0,184 0,214

26 0,150 0,138 0,139 0,185 0,190

27 0,946 0,137 0,145 0,209 0,195 28 1,009 0,127 0,143 0,199 0,192

29 0,139 0,139 0,144 0,211 0,214

30 0,137 0,131 0,139 0,194 0,196

31 0,974 0,122 0,145 0,194 0,215

32 0,139 0,140 0,140 0,211 0,186

33 0,138 0,126 0,150 0,198 0,214

34 0,992 0,134 0,139 0,197 0,191

35 0,139 0,125 0,131 0,194 0,211

36 0,137 0,126 0,149 0,192 0,217

37 0,984 0,128 0,141 0,189 0,209

38 0,139 0,126 0,152 0,194 0,186

39 0,945 0,130 0,156 0,180 0,212

40 0,139 0,125 0,134 0,186 0,194

41 0,921 0,142 0,142 0,194 0,197

42 1,099 0,133 0,150 0,195 0,213

43 0,975 0,139 0,139 0,210 0,189

44 0,139 0,131 0,131 0,195 0,190


(3)

Lokasi No. sampel

Antiserum

CVB TSWV CMV PVY TMV

Pujon 1 0,152 0,134 0,141 0,210 0,210

2 0,147 0,138 0,398 0,195 0,195

3 0,131 0,126 0,427 0,192 0,186

4 0,149 0,129 0,146 0,186 0,212

5 0,150 0,144 0,139 0,186 0,194

6 0,145 0,130 0,149 0,221 0,217

7 0,146 0,125 0,145 0,184 0,209

8 0,139 0,142 0,143 0,186 0,196

9 0,137 0,126 0,144 0,195 0,219

10 0,134 0,134 0,151 0,192 0,214

11 0,139 0,138 0,141 0,186 0,214

12 0,147 0,139 0,146 0,214 0,214

13 0,143 0,131 0,149 0,199 0,203

14 0,144 0,122 0,139 0,216 0,198

15 0,151 0,140 0,145 0,185 0,214

16 0,141 0,126 0,140 0,197 0,226

17 0,143 0,134 0,150 0,198 0,186

18 0,144 0,125 0,139 0,192 0,212

19 0,139 0,140 0,131 0,180 0,194

20 0,139 0,126 0,151 0,186 0,197

21 0,145 0,129 0,141 0,194 0,213

22 0,146 0,144 0,139 0,195 0,189

23 0,131 0,126 0,145 0,210 0,190

24 0,149 0,123 0,446 0,194 0,192

25 0,143 0,126 0,139 0,192 0,199

26 0,144 0,128 0,137 0,189 0,210

27 0,151 0,133 0,134 0,194 0,195

28 0,141 0,141 0,142 0,185 0,196

29 0,143 0,126 0,152 0,209 0,214

30 0,144 0,129 0,156 0,183 0,196

31 0,139 0,144 0,134 0,196 0,215

32 0,152 0,128 0,148 0,199 0,186

33 0,138 0,130 0,145 0,211 0,214

34 0,143 0,128 0,440 0,194 0,191

35 0,144 0,144 0,150 0,194 0,197

36 0,139 0,126 0,139 0,211 0,196

37 0,140 0,130 0,145 0,198 0,214

38 0,144 0,125 0,143 0,197 0,190

39 0,143 0,142 0,144 0,194 0,196

40 0,144 0,141 0,139 0,196 0,211

41 0,151 0,138 0,139 0,199 0,217

42 0,141 0,137 0,141 0,211 0,209

43 0,143 0,127 0,138 0,211 0,196

44 0,144 0,135 0,137 0,198 0,219

45 0,139 0,125 0,143 0,197 0,190

Kontrol negatif


(4)

CVB TSWV CMV PVY TMV Baturiti 1 0,162 0,126 0,356 0,199 0,197

2 0,146 0,123 0,134 0,216 0,213

3 0,149 0,141 0,308 0,185 0,189

4 0,139 0,138 0,297 0,197 0,190

5 0,141 0,137 0,143 0,186 0,192

6 0,144 0,125 0,141 0,221 0,197

7 0,151 0,142 0,146 0,184 0,226

8 0,141 0,126 0,149 0,196 0,199

9 0,146 0,134 0,146 0,186 0,210

10 0,139 0,138 0,139 0,214 0,214

11 0,131 0,126 0,137 0,199 0,203

12 0,149 0,129 0,149 0,194 0,198

13 0,144 0,144 0,145 0,194 0,214

14 0,151 0,126 0,143 0,216 0,219

15 0,141 0,126 0,144 0,185 0,214

16 0,131 0,134 0,151 0,197 0,196

17 0,149 0,125 0,150 0,186 0,215

18 0,139 0,140 0,139 0,211 0,186

19 0,144 0,130 0,131 0,198 0,186

20 0,145 0,139 0,139 0,197 0,212

21 0,143 0,131 0,145 0,194 0,194

22 0,139 0,122 0,140 0,192 0,195

23 0,141 0,140 0,145 0,189 0,196

24 0,138 0,123 0,151 0,194 0,214

25 0,137 0,141 0,141 0,194 0,217

26 0,143 0,138 0,139 0,195 0,209

27 0,145 0,137 0,134 0,210 0,196

28 0,146 0,127 0,139 0,195 0,196

29 0,139 0,135 0,145 0,198 0,219

30 0,151 0,126 0,143 0,192 0,190

31 0,131 0,130 0,144 0,180 0,197

32 0,152 0,125 0,139 0,186 0,214

33 0,138 0,142 0,145 0,192 0,191

34 0,139 0,126 0,140 0,199 0,211

35 0,145 0,128 0,150 0,211 0,217

36 0,147 0,133 0,139 0,211 0,209

37 0,151 0,141 0,141 0,198 0,196

38 0,144 0,128 0,152 0,197 0,190

39 0,131 0,130 0,156 0,183 0,192

40 0,139 0,128 0,134 0,196 0,214

41 0,145 0,144 0,148 0,199 0,213

42 0,146 0,125 0,138 0,211 0,189

Kontrol negatif


(5)

Lokasi No. sampel

Antiserum

CVB TSWV CMV PVY TMV Pancasari 1 0,973 0,127 0,144 0,221 0,215

2 0,152 0,135 0,139 0,184 0,186

3 0,138 0,125 0,145 0,196 0,214

4 0,992 0,128 0,140 0,199 0,191

5 0,927 0,130 0,150 0,211 0,198

6 0,131 0,126 0,143 0,214 0,214

7 0,149 0,123 0,144 0,199 0,226

8 0,937 0,141 0,151 0,216 0,199

9 0,951 0,138 0,141 0,185 0,210

10 0,133 0,137 0,146 0,197 0,195

11 0,927 0,127 0,149 0,186 0,189

12 0,147 0,140 0,151 0,221 0,190

13 0,982 0,130 0,141 0,184 0,192

14 0,979 0,125 0,146 0,196 0,214

15 0,148 0,142 0,139 0,199 0,196

16 0,993 0,125 0,137 0,211 0,214 17 1,004 0,126 0,134 0,211 0,217 18 0,142 0,134 0,143 0,198 0,209 19 0,952 0,122 0,144 0,198 0,196 20 1,085 0,140 0,139 0,197 0,186

21 0,150 0,126 0,139 0,194 0,212

22 0,162 0,126 0,145 0,199 0,194

23 0,899 0,130 0,140 0,211 0,197 24 0,957 0,125 0,150 0,194 0,213 25 0,954 0,138 0,139 0,194 0,219

26 0,144 0,126 0,131 0,211 0,214

27 0,946 0,129 0,149 0,197 0,196

28 0,141 0,144 0,145 0,183 0,215

29 0,973 0,135 0,145 0,196 0,186

30 0,152 0,125 0,138 0,192 0,196

31 0,138 0,126 0,137 0,195 0,219

32 0,989 0,129 0,143 0,210 0,190

33 0,141 0,144 0,145 0,195 0,214

34 0,939 0,128 0,140 0,186 0,191 35 1,009 0,130 0,150 0,194 0,211

36 0,138 0,128 0,149 0,192 0,217

37 0,137 0,144 0,145 0,186 0,209

38 0,944 0,139 0,139 0,198 0,214

39 0,139 0,131 0,141 0,192 0,203

40 0,142 0,134 0,142 0,180 0,186

Kontrol negatif


(6)

5 Ind:Tamilnadu AJ582016 0,75355 0,73658 0,73666 0,75111 - 6 Ind:Leh AJ871367 0,09489 0,75912 0,76886 0,09489 0,75598 -

7 Ind:Arunachal P AJ748852 0,74696 0,77129 0,76156 0,74939 0,71720 0,73966 - 8 Ita:Mgh 57 AY170324 0,10136 0,78167 0,77478 0,09550 0,72929 0,02640 0,76015 - 9 Jpn:S AB245142 0,82482 0,73236 0,74453 0,82238 0,77322 0,75182 0,81752 0,82157 - 10 Ina:Cianjur - 0,81995 0,74939 0,75669 0,82238 0,79275 0,76642 0,81509 0,82258 0,23358 - 11 Ina:Medan - 0,81752 0,74939 0,75669 0,81995 0,79519 0,76156 0,81265 0,81067 0,25061 0,01703 - 12 Ina:Malang - 0,81509 0,74453 0,74939 0,81752 0,80006 0,76399 0,81022 0,81971 0,25791 0,04136 0,05839 - 13 Ina:Bali - 0,82725 0,74696 0,75182 0,82968 0,80006 0,76642 0,82238 0,82680 0,25061 0,02676 0,04380 0,01460 - *) Ind : India, Ita : Italia, Ina : Indonesia, Jpn : Jepang