Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir : kasus Pantai Utara Kabupaten Bekasi

(1)

North Coastal Area. Promotors : Kadarwan Soewardi as Chair, Luky Adryanto as

members and Budhy Tjahjati as members,

The propose of the study is to purposes as spatial planning model for coastal areas, integrating land and marine aspect. The complexity of issues in coastal areas such as heterogentiy of life, potentials of economic resources, and tobe explored and developed.

Coastal areas as the basic matrix for development is dynamic, difficult for clear and exact delineation, and do not have clear management boundaries.

The approach employed to formulate the spatial planning model for coastal areas is a descriptive method both quantitative and qualitative. The dynamics taking place in coastal areas require different planning approach from a land based spatial planning, and the main indicators are its carrying capacity, land suitability and economic value of each land utilitation. These indicators also be applied in the coastal zone spatial planning model purposed in this study, with the necessary modification as appropriate in coastal zone.

The main issue in developing coastal zones are the heterogeneity of resources and activities in coastal areas which need to be planned and developed, which conserving its sustainability. Development of the coastal area planning model will be based on three analysis :

1. Land sustainability analysis 2. Land carrying capacity analysis 3. Economic valuation analysis

Activity taking place in the land part of the coastal area will have an impact on its water condition such as pollution levels of the BOD, COD, TSS and water turbidity. Changes in water condition are integrated by population activities on the land part of the coastal zone. Change in the ecosystem is represented by the aggregate changes taking place in the land and the water part of the coastal zone.

Main factors influencing the spatial planning process of the coastal zone are: 1. Land sustainability factors, which originaled from; a) the ocean based factors

such as depth of the water, basic sediments, speed of the current, temperature, water clanity, salinity, O2, N and P; b) land based factors such as coastal areas activities.

2. Carrying capacity of the water part of the coastal area include : a) water carrying capacity and b) ecosystem capacity of the coast.

3. Economics factors of the land utilization of; a) type of land use and b) the intensity of the land use in the coastal zone.

Analysis of the coastal zone characteristics ( land and ocean) in the case study area yields the following findings. The land carrying capacity and sustainability of coastal zones can be classified into 3 catogories of sustainability.

1. Land uses with high level of sustainability such as fish ponds ( tambak), fishery whaif/port, floating fish cultivations;

2. Land uses with medium level sustainability such as; settlements, general seaport, sea weed cultivation, agriculture and industries;

3. Land use with low level of sustainability on restricted land use such as tourism, conservation and preservation.

Parameter use as the basis for model development for coastal zone spatial planning can be classified based on ocean characteristics. The main parapemeters for


(2)

Saveral important factors associefed with coastal land utilization and its economics valuation and among others; a) types of utilization (settlements, agriculture) which will increase pollutant levels such as BOD; b) type of industrial land use which will increase level of COD; c) increase of construction activities particulary and conversion which will increase TSS levels and turbidity; d) land use intensity.

The varion utilization of land will have an impact on the environmental quality of the coastal zone and therefore its economic value. The model spatial planning process that is developed in this study is conceptual model. The analysis on land carrying capacity and sustainability plus the economic analysis of each land utilization, will provide different size and utilization pattern of the coastal area.

Space allocation are proportionally based on land suitability and its carrying capacity coastal zone region could be classified as preservation zone ( least suitable for development); concservation zone ( suitable with restriction), and the utilization zone ( high level of suitability).

Key words : Coastal zone planning, land suitability, land carrying capacity and economic valuation of coastal zone land utilization.


(3)

didelineasi dan memiliki batas yang tidak jelas dalam pengelolaan. Pendekatan yang digunakan untuk merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yaitu metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dinamika yang terjadi di wilayah pesisir menuntut pula pendekatan perencanaan yang berbeda pula jika dibandingkan dengan perencanaan tata ruang yang berbasis daratan. Indikator utamanya adalah daya dukung dan kesesuaian lahan, dan nilai ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan.

Kompleksnya permasalahan yang ada di wilayah pesisir seperti heterogenitas sumberdaya, kegiatan yang berlangsung di wilayah pesisir, dan sumberdaya ekonomi yang potensial, perlu direncanakan, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya.

Perencanaan tata ruang selama ini berlangsung masih berorientasi pada perencanaan sumberdaya daratan yang pada dasarnya sudah sangat terbatas jumlah dan kapasitasnya. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir perlu dikembangkan guna pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi antara kegiatan pembangunan di wilayah daratan dengan lautan. Struktur dan Pola pemanfaatan ruang yang selama ini kental di dalam penataan ruang wilayah yang berbasis daratan, seperti dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang maka struktur ruang seperti ruang daratan tidak dapat diberlakukan sepenuhnya untuk wilayah pesisir, khususnya wilayah pesisir bagian lautan.

Penyusunan Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir dilakukan melalui beberapa analisis:

1. Analisis berdasarkan pada kesesuaian lahan 2. Analisis berdasarkan daya dukung lahan, 3. Analisis berdasarkan pada valuasi ekonomi.

Hasil analisis terhadap karakteristik wilayah pesisir (daratan dan lautan) di wilayah penelitian, maka dapat dideskripsikan berdasarkan kesesuaian lahan wilayah pesisir dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok kesesuaian lahan yaitu : 1) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SANGAT SESUAI, yaitu; tambak, pelabuhan perikanan, budidaya jaring apung; 2) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI, yaitu; permukiman, pelabuhan umum, budidaya rumput laut, pertanian dan industri; 3) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI BERSYARAT, yaitu; pariwisata, lindung dan konservasi.

Peningkatan kegiatan pemanfaatan lahan sesuai dengan rencana tata ruang berbasis daratan memberikan konsekuensi pada terjadinya konversi penggunaan lahan, lahan lindung menjadi budidaya, lahan pertanian menjadi lahan permukiman, industri dan lainnya. Analisis ruang di wilayah pesisir sebagai dasar dalam penyusunan model perencanaan tata ruang perlu dilihat dari setiap fungsi pemanfaatan dengan dampaknya terhadap kondisi ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang bersangkutan, hal ini ditunjukkan oleh wilayah pesisir Kabupaten Bekasi sebagai berikut::

1. Peningkatan aktivitas masyarakat di darat memberikan dampak pada peningkatan kadar pencemaran, yaitu semakin tingginya kadar BOD,COD, TSS dan kekeruhan.

2. Terjadinya peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman dan industri dari 16.848 ha tahun 2002 menjadi 17.417 ha tahun 2005. memberikan dampak pada peningkatan paramater BOD dan COD yaitu: 20,88 dan 16,5 (Tahun 2006) menjadi 33,2 dan 204,0 (Tahun 2007). Peningkatan aktivitas masyarakat di wilayah bagian daratan pesisir yang dicirikan dari peningkatan konversi lahan melalui peningkatan luas penggunaan lahan bagi sektor permukiman, industri dan perikanan ternyata mengakibatkan penurunan


(4)

3. Di perairan terjadinya peningkatan zat pencemar sejalan dengan penurunan luas lahan mangrove dan non-mangrove secara linier, ini mengindikasikan bahwa ada kaitan antara berkurangnya luas lahan mangrove dan lahan basah dengan peningkatan kadar pencemar. Penyebabnya adalah salah satu fungsi ekologis hutan mangrove dan lahan basah yaitu kemampuan mengencerkan dan mendegredasikan limbah yang berasal dari aktivitas di wilayah pesisir.

Aktivitas yang berlangsung di wilayah pesisir bagian daratan memberikan dampak pada kondisi perairan wilayah pesisir seperti terlihat kadar pencemar BOD,COD, TSS, Kekeruhan. Perubahan itu disebabkan oleh aktivitas manusia yang ada di wilayah pesisir bagian daratan. Oleh karena itu, gambaran adanya perubahan dari setiap ekosistem dipresentasikan dari perubahan yang terjadi dari setiap agregat yang ada pada lahan daratan dan perairan.

Dari gambaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi dalam proses penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir adalah : 1) faktor kesesuaian lahan, terdiri dari; a) faktor yang berasal dari unsur lautan berupa; kedalaman perairan, sedimen dasar perairan, kecepatan arus, suhu., kecerahan air, kekeruhan, salinitas. dan O2, N, P; b) faktor yang berasal dari unsur daratan berupa aktivitas yang terjadi di wilayah pesisir . 2). faktor daya dukung wilayah perairan meliputi; a) kemampuan kapasitas perairan pesisir. dan b). Kemampuan ekosistem wilayah pesisir. 3) faktor ekonomi lahan berupa; a) jenis penggunaan lahan wilayah pesisir dan b) Intensitas penggunaan lahan wilayah pesisir.

Dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir ditentukan pula parameter-parameter perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Parameter tersebut diklasifikasikan berdasarkan kesesuaian dan daya dukung lahan dengan parameter utama adalah; a) pasut dan tinggi gelombang; b) kecepatan arus; c) aksessibilitas; d) amplitudo; e) ketgerlindungan; f) pH; dan i) salinitas.

Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan ini adalah model emprik dari proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Analisis kesesuian lahan, daya dukung, dan analisis ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan yang direncanakan menghasilkan luas dan pola pemanfaatan lahan di wilayah pesisir. Sesuai dengan konsep dasar yang membedakan rencana tata ruang wilayah pesisir dengan rencana tata wilayah berbasis daratan adalah pada faktor penentu yaitu kesesuaian dan daya dukung wilayah pesisir dan nilai manfaat ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan.

Dalam rencana tata ruang wilayah pesisir alokasi ruang dilakukan secara proporsional berdasarkan pada pertimbangan daya dukung, kesesuaian lahannya dan nilai ekonomi. Alokasi ruang terdiri dari; zona preservasi, zona konservasi, dan zona pemanfaatan.


(5)

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar ... vii

Daftar Lampiran ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah... 7

Tujuan Penelitian ... 11

Manfaat Penelitian ... 12

Novelty (Kebaruan) ... 12

STUDI PUSTAKA Pengertian Wilayah Pesisir ... 14

Ekosistem Wilayah Pesisir ... 19

Konsep Daya Dukung Wilayah Pesisir ... 24

Konsep Kertkaitan Wilayah Pesisir ... 27

Pengertian Penataan Ruang ... 30

Proses Penataan Ruang ... 35

Konsep Valuasi Ekonomi Terhadap Wilayah Pesisir ... 37

Pengertian Model Dalam Penataan Ruang ……… 42

Penelitian Terdahulu ………..………….……... 46

Hasil Penelitian Tentang Wilayah Pesisir ……….…. 46

KERANGKA PEMIKIRAN Gagasan Awal Penyusunan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ……….. 50

Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir……… 57

Kedudukan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Terhadap Teori Perencanaan ………. 57 Perbadingan Penelitian ang Akan Dilakukan dengan Penelitian Terdahulu. 63


(6)

v

Data dan Variabel Penelitian ……… 72

Metode Pengumpulan Data ………. 71

Metode Analisa Data ………. 72

Analisis Tata Ruang Wilayah Pesisir ………. 72

Analisa Hidro-pseanografi ……….. 73

Analisa Kesesuaian Lahan ……….… 74

Analisa Daya Dukung Lahan ………. 78

Analisa Sosial Ekonomi ………. 82

Merumuskan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir …. 84

KONDISI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BEKASI Kondisi Biofisik Topografi, Geologi, Geomorfologi dan Hidrologi ... 88

Batimetri, Pola arus dan Gelombang ………. 94

Abrasi dan Akresi ... . 98

Koalitas Perairan Pantai Utara Kabupaten Bekasi ……… 99

Kondisi Perairan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ……… 100

Kondisi Perairan Sungai Kabupaten Bekasi ……….. 103

Analisis Ekosistem Pesisir ... 106

Mangrove ... 106

Terumbu karang ... 108

Kondisi Sosial Ekonomi ... 109

Karakteristik Rumah Tangga Responden ... 109

Kependudukan ... 114

Analisis Ekonomi Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 117

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Hasil Penelitian 120

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 120

Analisis Kesesuaian Lahan ... 122


(7)

vi

Konsentrasi Pencemar Pemanfaatan Lahan dalam Kebijakan

Penataan Ruang dengan Kualitas Air Laut ... 151 Perbandingan Konsentrasi Pencemar Beberapa Jenis

Penggunaan Lahan dengan Perubahan Kualitas Air Laut ... 152 Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 165 Karakteristik Wilayah Pesisir ... 165 Parameter-paramater dalam penyusunan model Perencanaan

tata ruang wilayah pesisir ... 167 Faktor-faktor yang menjadi pokok dalam dalam penyusunan

model perencanaan tata ruang wilayah pesisir... 168 Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 176 Rencana Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir

Kabupaten Bekasi... 180 Rencana Pemanfaatan untuk Kawasan Konservasi dan

Preservasi ... 180 Rencana Pemanfaatan untuk Kawasan budidaya... 181

KESIMPULAN DAN SARAN PENELITIAN

Kesimpulan Penelitian ... 188 Saran ... 194

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

vii

Tabel 1 Definisi Daya Dukung di Wilayah Pesisir ………. 27

Tabel 2 Perkembangan Teori Perencanaan ………. 56

Tabel 3 Matrik Perbedaan Penelitian yang Akan dilakukan dengan Penelitian Terdahulu ... 64 Tabel 4 Jumlah dan Kelompok Responden... 70 Tabel 5 Parameter dan Metode Analisis Kualitas Air Laut……….. 73 Tabel 6 Parameter-Parameter Kesesuaian Lahan dalam

Peruntukan Lahan ... 75 Tabel 7 Keseuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak Udang... 76 Tabel 8 Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Laut ... 76 Tabel 9 Pendugaan Limbah berdasarkan pada Jenis Aktivitas

pemanfaatan lahan daratan Kabupaten Bekasi ...

80

Tabel 10 Kualitas Sedimen di Muara dan Pantai Wilayah Pesisir

Kab.Bekasi ... 106 Tabel 11 Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Bekasi... 108 Tabel 12 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur.. 110 Tabel 13 Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan 110 Tabel 14 Karakteristik Responden berdasarkan Anggota Keluarga 111 Tabel 15 Karakteristik Responden berdasarkan Mata Pencaharian 112 Tabel 16 Karakteristik Responden berdasarkan Pendapatan... 113 Tabel 17 Karakteristik Responden berdasarkan Kepemilikan Lahan 113 Tabel 17 Jumlah dan distribusi Penduduk Wilayah Pesisir Kab.Bekasi 115 Tabel 18 Jumlah Penduduk Wlayah Pesisir Kabupaten Bekasi... 116 Tabel 19 Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan

Harga Berlaku Wilayah Pesisir

Kabupaten Bekasi ... 118 Tabel 20 Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan

Harga Konstans Wilayah Pesisir

Kabupaten Bekasi ... 119 Tabel 21 Luas Alih Fungsi Lahan Tahun 2006-2006 ... 120 Tabel 22 Penggunaan Lahan Kawasan Pantura Kabupaten Bekasi

Tahun 2007 ... 121 Tabel 23 Profil Rata-Rata Kedalaman Laut Kab.Bekasi ... 123 Tabel 24 Pendugaan Limbah berdasarkan jumlah Penduduk... 138


(9)

viii

Tabel 27 Kualitas Perairan Zona B... 163 Tabel 28 Kualitas Perairan Zona C... 164 Tabel 29. Matrik Perbedaan Mendasar dalam Perencanaan Wilayah


(10)

ix

Gambar 1 Konsep SDA dan Jasa Lingkungan ... 25

Gambar 2 Tipe Daya Dukung Pesisir ... 25

Gambar 3 Kurva Permintaan dan Willingness to Pay ……….. 26

Gambar 4 Wilayah Pesisir dan Laut sebagai Kawasan Multi-Use ... 29

Gambar 5 Keterpaduan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir... 30

Gambar 6 Hubungan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Dalam Suatu Wilayah ... 33

Gambar 7 Total Utilitas ... 38

Gambar 8 Kurva Permintaan ... 39

Gambar 9 Klasifikasi Konsep Valuasi Ekonomi... 42

Gambar 10 Proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 67

Gambar 11 Lokasi Penelitian Wilayah Kabupaten Bekasi ... 68

Gambar 12 Proses Analisis Sistem Informasi Geografis... 87

Gambar 13 Satuan Geologi Dataran Pantai Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 90

Gambar 14 Peta Salinitas Air Laut di Perairan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 93

Gambar 15 Peta Batimetri Wilayah Pesisir Kab. Bekasi 95

Gambar 16 Peta Arus Permukaan ... 97

Gambar 17 Peta Kualitas Perairan Kabupaten Bekasi ... 104

Gambar 18 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pesisir ... 118

Gambar 19 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sangat Sesuai... 126

Gambar 20 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai ... 130

Gambar 21 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai bersyarat Wilayah Pesisir ... 132

Gambar 22 Peta Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan Pada Kesesuaian Lahan ... 134

Gambar 23 Faktor Penentu Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan pada Daya Dukung Fisiknya ... 135

Gambar 24 Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir untuk Permukiman .. 138

Gambar 25 Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir untuk Tambak ... 140


(11)

North Coastal Area. Promotors : Kadarwan Soewardi as Chair, Luky Adryanto as

members and Budhy Tjahjati as members,

The propose of the study is to purposes as spatial planning model for coastal areas, integrating land and marine aspect. The complexity of issues in coastal areas such as heterogentiy of life, potentials of economic resources, and tobe explored and developed.

Coastal areas as the basic matrix for development is dynamic, difficult for clear and exact delineation, and do not have clear management boundaries.

The approach employed to formulate the spatial planning model for coastal areas is a descriptive method both quantitative and qualitative. The dynamics taking place in coastal areas require different planning approach from a land based spatial planning, and the main indicators are its carrying capacity, land suitability and economic value of each land utilitation. These indicators also be applied in the coastal zone spatial planning model purposed in this study, with the necessary modification as appropriate in coastal zone.

The main issue in developing coastal zones are the heterogeneity of resources and activities in coastal areas which need to be planned and developed, which conserving its sustainability. Development of the coastal area planning model will be based on three analysis :

1. Land sustainability analysis 2. Land carrying capacity analysis 3. Economic valuation analysis

Activity taking place in the land part of the coastal area will have an impact on its water condition such as pollution levels of the BOD, COD, TSS and water turbidity. Changes in water condition are integrated by population activities on the land part of the coastal zone. Change in the ecosystem is represented by the aggregate changes taking place in the land and the water part of the coastal zone.

Main factors influencing the spatial planning process of the coastal zone are: 1. Land sustainability factors, which originaled from; a) the ocean based factors

such as depth of the water, basic sediments, speed of the current, temperature, water clanity, salinity, O2, N and P; b) land based factors such as coastal areas activities.

2. Carrying capacity of the water part of the coastal area include : a) water carrying capacity and b) ecosystem capacity of the coast.

3. Economics factors of the land utilization of; a) type of land use and b) the intensity of the land use in the coastal zone.

Analysis of the coastal zone characteristics ( land and ocean) in the case study area yields the following findings. The land carrying capacity and sustainability of coastal zones can be classified into 3 catogories of sustainability.

1. Land uses with high level of sustainability such as fish ponds ( tambak), fishery whaif/port, floating fish cultivations;

2. Land uses with medium level sustainability such as; settlements, general seaport, sea weed cultivation, agriculture and industries;

3. Land use with low level of sustainability on restricted land use such as tourism, conservation and preservation.

Parameter use as the basis for model development for coastal zone spatial planning can be classified based on ocean characteristics. The main parapemeters for


(12)

Saveral important factors associefed with coastal land utilization and its economics valuation and among others; a) types of utilization (settlements, agriculture) which will increase pollutant levels such as BOD; b) type of industrial land use which will increase level of COD; c) increase of construction activities particulary and conversion which will increase TSS levels and turbidity; d) land use intensity.

The varion utilization of land will have an impact on the environmental quality of the coastal zone and therefore its economic value. The model spatial planning process that is developed in this study is conceptual model. The analysis on land carrying capacity and sustainability plus the economic analysis of each land utilization, will provide different size and utilization pattern of the coastal area.

Space allocation are proportionally based on land suitability and its carrying capacity coastal zone region could be classified as preservation zone ( least suitable for development); concservation zone ( suitable with restriction), and the utilization zone ( high level of suitability).

Key words : Coastal zone planning, land suitability, land carrying capacity and economic valuation of coastal zone land utilization.


(13)

didelineasi dan memiliki batas yang tidak jelas dalam pengelolaan. Pendekatan yang digunakan untuk merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yaitu metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dinamika yang terjadi di wilayah pesisir menuntut pula pendekatan perencanaan yang berbeda pula jika dibandingkan dengan perencanaan tata ruang yang berbasis daratan. Indikator utamanya adalah daya dukung dan kesesuaian lahan, dan nilai ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan.

Kompleksnya permasalahan yang ada di wilayah pesisir seperti heterogenitas sumberdaya, kegiatan yang berlangsung di wilayah pesisir, dan sumberdaya ekonomi yang potensial, perlu direncanakan, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya.

Perencanaan tata ruang selama ini berlangsung masih berorientasi pada perencanaan sumberdaya daratan yang pada dasarnya sudah sangat terbatas jumlah dan kapasitasnya. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir perlu dikembangkan guna pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi antara kegiatan pembangunan di wilayah daratan dengan lautan. Struktur dan Pola pemanfaatan ruang yang selama ini kental di dalam penataan ruang wilayah yang berbasis daratan, seperti dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang maka struktur ruang seperti ruang daratan tidak dapat diberlakukan sepenuhnya untuk wilayah pesisir, khususnya wilayah pesisir bagian lautan.

Penyusunan Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir dilakukan melalui beberapa analisis:

1. Analisis berdasarkan pada kesesuaian lahan 2. Analisis berdasarkan daya dukung lahan, 3. Analisis berdasarkan pada valuasi ekonomi.

Hasil analisis terhadap karakteristik wilayah pesisir (daratan dan lautan) di wilayah penelitian, maka dapat dideskripsikan berdasarkan kesesuaian lahan wilayah pesisir dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok kesesuaian lahan yaitu : 1) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SANGAT SESUAI, yaitu; tambak, pelabuhan perikanan, budidaya jaring apung; 2) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI, yaitu; permukiman, pelabuhan umum, budidaya rumput laut, pertanian dan industri; 3) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI BERSYARAT, yaitu; pariwisata, lindung dan konservasi.

Peningkatan kegiatan pemanfaatan lahan sesuai dengan rencana tata ruang berbasis daratan memberikan konsekuensi pada terjadinya konversi penggunaan lahan, lahan lindung menjadi budidaya, lahan pertanian menjadi lahan permukiman, industri dan lainnya. Analisis ruang di wilayah pesisir sebagai dasar dalam penyusunan model perencanaan tata ruang perlu dilihat dari setiap fungsi pemanfaatan dengan dampaknya terhadap kondisi ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang bersangkutan, hal ini ditunjukkan oleh wilayah pesisir Kabupaten Bekasi sebagai berikut::

1. Peningkatan aktivitas masyarakat di darat memberikan dampak pada peningkatan kadar pencemaran, yaitu semakin tingginya kadar BOD,COD, TSS dan kekeruhan.

2. Terjadinya peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman dan industri dari 16.848 ha tahun 2002 menjadi 17.417 ha tahun 2005. memberikan dampak pada peningkatan paramater BOD dan COD yaitu: 20,88 dan 16,5 (Tahun 2006) menjadi 33,2 dan 204,0 (Tahun 2007). Peningkatan aktivitas masyarakat di wilayah bagian daratan pesisir yang dicirikan dari peningkatan konversi lahan melalui peningkatan luas penggunaan lahan bagi sektor permukiman, industri dan perikanan ternyata mengakibatkan penurunan


(14)

3. Di perairan terjadinya peningkatan zat pencemar sejalan dengan penurunan luas lahan mangrove dan non-mangrove secara linier, ini mengindikasikan bahwa ada kaitan antara berkurangnya luas lahan mangrove dan lahan basah dengan peningkatan kadar pencemar. Penyebabnya adalah salah satu fungsi ekologis hutan mangrove dan lahan basah yaitu kemampuan mengencerkan dan mendegredasikan limbah yang berasal dari aktivitas di wilayah pesisir.

Aktivitas yang berlangsung di wilayah pesisir bagian daratan memberikan dampak pada kondisi perairan wilayah pesisir seperti terlihat kadar pencemar BOD,COD, TSS, Kekeruhan. Perubahan itu disebabkan oleh aktivitas manusia yang ada di wilayah pesisir bagian daratan. Oleh karena itu, gambaran adanya perubahan dari setiap ekosistem dipresentasikan dari perubahan yang terjadi dari setiap agregat yang ada pada lahan daratan dan perairan.

Dari gambaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi dalam proses penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir adalah : 1) faktor kesesuaian lahan, terdiri dari; a) faktor yang berasal dari unsur lautan berupa; kedalaman perairan, sedimen dasar perairan, kecepatan arus, suhu., kecerahan air, kekeruhan, salinitas. dan O2, N, P; b) faktor yang berasal dari unsur daratan berupa aktivitas yang terjadi di wilayah pesisir . 2). faktor daya dukung wilayah perairan meliputi; a) kemampuan kapasitas perairan pesisir. dan b). Kemampuan ekosistem wilayah pesisir. 3) faktor ekonomi lahan berupa; a) jenis penggunaan lahan wilayah pesisir dan b) Intensitas penggunaan lahan wilayah pesisir.

Dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir ditentukan pula parameter-parameter perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Parameter tersebut diklasifikasikan berdasarkan kesesuaian dan daya dukung lahan dengan parameter utama adalah; a) pasut dan tinggi gelombang; b) kecepatan arus; c) aksessibilitas; d) amplitudo; e) ketgerlindungan; f) pH; dan i) salinitas.

Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan ini adalah model emprik dari proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Analisis kesesuian lahan, daya dukung, dan analisis ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan yang direncanakan menghasilkan luas dan pola pemanfaatan lahan di wilayah pesisir. Sesuai dengan konsep dasar yang membedakan rencana tata ruang wilayah pesisir dengan rencana tata wilayah berbasis daratan adalah pada faktor penentu yaitu kesesuaian dan daya dukung wilayah pesisir dan nilai manfaat ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan.

Dalam rencana tata ruang wilayah pesisir alokasi ruang dilakukan secara proporsional berdasarkan pada pertimbangan daya dukung, kesesuaian lahannya dan nilai ekonomi. Alokasi ruang terdiri dari; zona preservasi, zona konservasi, dan zona pemanfaatan.


(15)

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar ... vii

Daftar Lampiran ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah... 7

Tujuan Penelitian ... 11

Manfaat Penelitian ... 12

Novelty (Kebaruan) ... 12

STUDI PUSTAKA Pengertian Wilayah Pesisir ... 14

Ekosistem Wilayah Pesisir ... 19

Konsep Daya Dukung Wilayah Pesisir ... 24

Konsep Kertkaitan Wilayah Pesisir ... 27

Pengertian Penataan Ruang ... 30

Proses Penataan Ruang ... 35

Konsep Valuasi Ekonomi Terhadap Wilayah Pesisir ... 37

Pengertian Model Dalam Penataan Ruang ……… 42

Penelitian Terdahulu ………..………….……... 46

Hasil Penelitian Tentang Wilayah Pesisir ……….…. 46

KERANGKA PEMIKIRAN Gagasan Awal Penyusunan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ……….. 50

Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir……… 57

Kedudukan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Terhadap Teori Perencanaan ………. 57 Perbadingan Penelitian ang Akan Dilakukan dengan Penelitian Terdahulu. 63


(16)

v

Data dan Variabel Penelitian ……… 72

Metode Pengumpulan Data ………. 71

Metode Analisa Data ………. 72

Analisis Tata Ruang Wilayah Pesisir ………. 72

Analisa Hidro-pseanografi ……….. 73

Analisa Kesesuaian Lahan ……….… 74

Analisa Daya Dukung Lahan ………. 78

Analisa Sosial Ekonomi ………. 82

Merumuskan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir …. 84

KONDISI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BEKASI Kondisi Biofisik Topografi, Geologi, Geomorfologi dan Hidrologi ... 88

Batimetri, Pola arus dan Gelombang ………. 94

Abrasi dan Akresi ... . 98

Koalitas Perairan Pantai Utara Kabupaten Bekasi ……… 99

Kondisi Perairan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ……… 100

Kondisi Perairan Sungai Kabupaten Bekasi ……….. 103

Analisis Ekosistem Pesisir ... 106

Mangrove ... 106

Terumbu karang ... 108

Kondisi Sosial Ekonomi ... 109

Karakteristik Rumah Tangga Responden ... 109

Kependudukan ... 114

Analisis Ekonomi Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 117

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Hasil Penelitian 120

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 120

Analisis Kesesuaian Lahan ... 122


(17)

vi

Konsentrasi Pencemar Pemanfaatan Lahan dalam Kebijakan

Penataan Ruang dengan Kualitas Air Laut ... 151 Perbandingan Konsentrasi Pencemar Beberapa Jenis

Penggunaan Lahan dengan Perubahan Kualitas Air Laut ... 152 Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 165 Karakteristik Wilayah Pesisir ... 165 Parameter-paramater dalam penyusunan model Perencanaan

tata ruang wilayah pesisir ... 167 Faktor-faktor yang menjadi pokok dalam dalam penyusunan

model perencanaan tata ruang wilayah pesisir... 168 Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 176 Rencana Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir

Kabupaten Bekasi... 180 Rencana Pemanfaatan untuk Kawasan Konservasi dan

Preservasi ... 180 Rencana Pemanfaatan untuk Kawasan budidaya... 181

KESIMPULAN DAN SARAN PENELITIAN

Kesimpulan Penelitian ... 188 Saran ... 194

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(18)

vii

Tabel 1 Definisi Daya Dukung di Wilayah Pesisir ………. 27

Tabel 2 Perkembangan Teori Perencanaan ………. 56

Tabel 3 Matrik Perbedaan Penelitian yang Akan dilakukan dengan Penelitian Terdahulu ... 64 Tabel 4 Jumlah dan Kelompok Responden... 70 Tabel 5 Parameter dan Metode Analisis Kualitas Air Laut……….. 73 Tabel 6 Parameter-Parameter Kesesuaian Lahan dalam

Peruntukan Lahan ... 75 Tabel 7 Keseuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak Udang... 76 Tabel 8 Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Laut ... 76 Tabel 9 Pendugaan Limbah berdasarkan pada Jenis Aktivitas

pemanfaatan lahan daratan Kabupaten Bekasi ...

80

Tabel 10 Kualitas Sedimen di Muara dan Pantai Wilayah Pesisir

Kab.Bekasi ... 106 Tabel 11 Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Bekasi... 108 Tabel 12 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur.. 110 Tabel 13 Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan 110 Tabel 14 Karakteristik Responden berdasarkan Anggota Keluarga 111 Tabel 15 Karakteristik Responden berdasarkan Mata Pencaharian 112 Tabel 16 Karakteristik Responden berdasarkan Pendapatan... 113 Tabel 17 Karakteristik Responden berdasarkan Kepemilikan Lahan 113 Tabel 17 Jumlah dan distribusi Penduduk Wilayah Pesisir Kab.Bekasi 115 Tabel 18 Jumlah Penduduk Wlayah Pesisir Kabupaten Bekasi... 116 Tabel 19 Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan

Harga Berlaku Wilayah Pesisir

Kabupaten Bekasi ... 118 Tabel 20 Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan

Harga Konstans Wilayah Pesisir

Kabupaten Bekasi ... 119 Tabel 21 Luas Alih Fungsi Lahan Tahun 2006-2006 ... 120 Tabel 22 Penggunaan Lahan Kawasan Pantura Kabupaten Bekasi

Tahun 2007 ... 121 Tabel 23 Profil Rata-Rata Kedalaman Laut Kab.Bekasi ... 123 Tabel 24 Pendugaan Limbah berdasarkan jumlah Penduduk... 138


(19)

viii

Tabel 27 Kualitas Perairan Zona B... 163 Tabel 28 Kualitas Perairan Zona C... 164 Tabel 29. Matrik Perbedaan Mendasar dalam Perencanaan Wilayah


(20)

ix

Gambar 1 Konsep SDA dan Jasa Lingkungan ... 25

Gambar 2 Tipe Daya Dukung Pesisir ... 25

Gambar 3 Kurva Permintaan dan Willingness to Pay ……….. 26

Gambar 4 Wilayah Pesisir dan Laut sebagai Kawasan Multi-Use ... 29

Gambar 5 Keterpaduan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir... 30

Gambar 6 Hubungan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Dalam Suatu Wilayah ... 33

Gambar 7 Total Utilitas ... 38

Gambar 8 Kurva Permintaan ... 39

Gambar 9 Klasifikasi Konsep Valuasi Ekonomi... 42

Gambar 10 Proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 67

Gambar 11 Lokasi Penelitian Wilayah Kabupaten Bekasi ... 68

Gambar 12 Proses Analisis Sistem Informasi Geografis... 87

Gambar 13 Satuan Geologi Dataran Pantai Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 90

Gambar 14 Peta Salinitas Air Laut di Perairan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ... 93

Gambar 15 Peta Batimetri Wilayah Pesisir Kab. Bekasi 95

Gambar 16 Peta Arus Permukaan ... 97

Gambar 17 Peta Kualitas Perairan Kabupaten Bekasi ... 104

Gambar 18 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pesisir ... 118

Gambar 19 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sangat Sesuai... 126

Gambar 20 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai ... 130

Gambar 21 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai bersyarat Wilayah Pesisir ... 132

Gambar 22 Peta Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan Pada Kesesuaian Lahan ... 134

Gambar 23 Faktor Penentu Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan pada Daya Dukung Fisiknya ... 135

Gambar 24 Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir untuk Permukiman .. 138

Gambar 25 Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir untuk Tambak ... 140


(21)

x

Gambar 29 Peta Rencana Tata Ruang berdasarkan Valuasi Ekonomi 150 Gambar 30 Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat

Pencemaran Air Laut ... 152 Gambar 31 Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat

Pencemaran Air Laut ... 153 Gambar 32 Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat

Pencemaran Air Laut ... 154 Gambar 33 Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat

Pencemaran Air Laut ... 155 Gambar 34 Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat

Pencemaran Air Sungai Kali CBL... 156 Gambar 35 Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat

Pencemaran Air Sungai Kali Sadang ………. 156 Gambar 36 Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat

Pencemaran Air Sungai Kali Cilemah ………. 157 Gambar 37 Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan

Terhadap Koalitas Air Sungai Citarum ……….. 157 Gambar 38 Model Proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir… 179 Gambar 39 Rencana Pemanfaatan Lahan Wlilayah Pesisir

Berdasarkan Kesesuaian Lahan ……… 186

Gambar 40 Rencana Pemanfaatan Lahan Wlilayah Pesisir

Berdasarkan Daya Dukung ………. 186

Gambar 41 Rencana Pemanfaatan Lahan Wlilayah Pesisir

Berdasarkan Kondisi Eksisting ………. 186

Gambar 42 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir


(22)

xi

Lampiran 1 Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Berdasarkan Matriks Kesesuaian Lahan

Lampiran 2 Hasil Hitung Daya Dukung Wilayah Pesisir

Lampiran 3 Data Primer Kadar Pencemar Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi berdasarkan Jarak Pengambilan Sampel


(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah pesisir memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi khususnya Indonesia sebagai negara kepulauan. Potensi sumberdaya alam, yang menjadi tulang punggung (backbone) dari pertumbuhan ekonomi dan asset bangsa

yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan kesinambungan (sustainability) dari

sumberdaya alam ini menjadi sangat penting bagi kelangsungan pembangunan, Dalam pengelolaannya tergantung oleh setiap stake holders yakni masyarakat dan

pemerintah.

Perencanaan pengelolaan kawasan pesisir (coastal management planning )

dengan sendirinya merupakan instrumen yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Dengan adanya rencana pengelolaan pesisir yang sistematis maka pengelolaan wilayah pesisir dan laut disuatu wilayah akan menjadi lebih efisien untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Salah satu prinsip dasar penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir adalah prinsip keterpaduan dan prinsip aspiratif. Terpadu dalam konteks pendekatan komprehensif yang memadukan antara dinamika sistem alam (ecosystem) dan sistem manusia

(human system), antara wilayah daratan dan lautan, sedangkan aspiratif lebih pada

pendekatan dari bawah, dimana proses perencanaan wilayah pesisir dan laut dilakukan dengan melibatkan masyarakat pesisir sebagai subyek sekaligus obyek dari perencanaan itu sendiri (Adrianto, 2005).

Tekanan penduduk dengan aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan di wilayah pesisir sering menimbulkan masalah bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik, begitu juga kesadaran masyarakat akan pentingnya


(24)

menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Meningkatnya kebutuhan ekonomi yang berbasis sumberdaya alam (resource base), memberikan tekanan yang tinggi terhadap

sumberdaya alam itu sendiri, sehingga kebutuhan akan pengelolaan sumberdaya alam yang baik menjadi kebutuhan yang mendesak.

Pembangunan wilayah pesisir dan lautan sebagai sebuah model pemikiran yang dapat diimplementasikan tergolong relatif baru di Indonesia. Pustaka yang mengangkat masalah pesisir dan lautan masih “jarang” ditemukan terutama segi penataan ruangnya. Padahal makna ruang seperti tertuang dalam UU. No. 26 tahun 2007, adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Makna tersebut menjelaskan bahwa disamping daratan yang lazim direpresentasikan sebagai lahan, maka lautan juga merupakan wujud yang nyata dari ruang.

Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir ke arah daratan dapat sampai ke daerah hulu sungai apabila disitu terdapat kegiatan manusia yang secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya dibagian hilir. Sedangkan kearah laut disesuaikan dengan batas yurisdiksi yang berlaku disetiap propinsi dan kabupaten/kota. Untuk kemudahan perolehan data sosial-ekonomi, maka kearah darat adalah sebatas wilayah administrasi kecamatan pantai, yaitu kecamatan yang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan laut atau yang memiliki garis pantai.

Dengan arti kata bahwa membangun wilayah pesisir dan laut tidaklah mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah, harus ada semacam pewilayahan atau zonasi pembangunan sesuai dengan kondisi fisik alam, potensi pembangunan (sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan) yang tersedia serta


(25)

kondisi sosio-kultural masyarakatnya (UU No.27/2007). Selain itu sehubungan dengan banyaknya sektor-sektor pembangunan (seperti perikanan tangkap, perkanan budidaya, industri pengolahan produk perikanan, pariwisata bahari dll) yang terdapat di wilayah pesisir dan laut, maka diperlukan pula prioritas pembangunan di wilayah tersebut secara sinergis dengan dimensi waktu.

Proses perencanaan tata ruang yang berbasis “daratan” dipandang seringkali hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah dengan kategori lindung dan budidaya. Didalam pelaksanaannya perencanaan tata ruang juga seringkali dimonopoli oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang berorientasi kepada kepentingan stakeholders. Aktivitas pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang dilakukan masyarakat sering bias dengan penetapan peruntukannya.

Perencanaan tata ruang juga dianggap sebagai proses dimana perencana mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya (top-down process).

Dalam perencanaan tata ruang modern perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial, ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (public) secara berkelanjutan (Rustiadi, 2003).

Pemanfaatan ruang di wilayah pesisir sering terjadi tumpang tindih hak penguasaan dan pengelolaan ruang, hal ini tercermin dari keterlibatan berbagai pihak (stakeholders) dan institusi pemerintah untuk dapat mengatur dalam

pemanfaatannya; seperti Departemen Kelautan dan Perikanan UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.23/1997 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU No.32/2004 tentang Otonomi Daerah dan beberapa Peraturan Pemerintah. Namun dalam kenyataannya selama ini pemanfaatan wilayah pesisir


(26)

sering menimbulkan konflik, karena masing-masing pihak memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Tentunya bila konflik terus berlangsung, jelas akan bermuara pada degradasi biofisik seperti hilangnya hutan mangrove, sumberdaya perikanan yang semakin menurun, kerusakan ekosistem pantai lainnya, dan tidak meratanya pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir.

Beberapa contoh kasus kerusakan ekosistem pesisir (dari berbagai sumber), terungkap beberapa fakta baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain

1. Perubahan alih fungsi lahan di kawasan daratan memberi dampak pada ekosistem di wilayah pesisir, karena wilayah pesisir merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar. Aliran air dari hulu ke hilir banyak membawa endapan akibat erosi. Demikian pula pengerukan dan pengambilan pasir pantai untuk bahan bangunan penduduk, penimbunan (reklamasi pantai) telah mempercepat tingkat abrasi pantai dan mempercepat kerusakan fisik lingkungan pantai.

2. Bentangan mangrove (hutan bakau) semakin berkurang karena ditebang dan dikonversi menjadi pertambakan, kawasan industri, permukiman penduduk dan lahan pertanian, serta dipakai untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Padahal selain manfaatnya sebagai ekosistem yang amat produktif, mangrove merupakan pelindung pantai untuk menahan erosi akibat gempuran gelombang laut (abrasi).

3. Intensifikasi pertanian, perkembangan kawasan perkotaan, industri, wisata pantai dan bertambah padatnya permukiman, memperbesar limbah yang dihasilkan sehingga proses pencemaran terus berlangsung di wilayah pesisir.

4. Reklamasi pantai untuk pembangunan di wilayah pesisir telah mengubah proses-proses geomorfologi pantai. Akibatnya, terjadi perubahan pola arus air laut yang menyebabkan kawasan laut dan pantai mengalami


(27)

sedimentasi atau pendangkalan, disisi yang lain terjadi proses abrasi sehingga luas daratan semakin berkurang.

5. Pemanfaatan lahan yang dilakukan belum sepenuhnya memperhatikan karakteristik dan daya dukung lingkungan pantai.

6. Keberadaan lokasi dan aktifitas industri yang belum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTR), termasuk membangun dan mengubah lingkungan fisik pantai untuk kepentingan investasinya (antara lain pembelokan muara sungai, pengerukan dan penimbunan pantai, pendirian bangunan serta perluasan areal, sumbangan polutan berupa limbah cair, limbah padat, maupun debu), semakin memperburuk keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir.

7. Sistem pengawasan yang lemah dan pola penerapan kebijakan pemerintah yang kurang optimal, kurang antisipatif dan reaktif (political will) terhadap

kerusakan biogeofisik wilayah pesisir, menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem di wilayah pesisir.

Permasalahan diatas pada dasarnya disebabkan oleh karena belum adanya konsep pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu (Integrated coastal zone management), meliputi tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian

pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Dengan demikian model perencanaan tata ruang wilayah pesisir dapat dinilai sebagai strategi penataan ruang berwawasan lingkungan guna mendukung pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Oleh karena itu kajian secara mendalam mengenai penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir perlu dilakukan. Terdapat beberapa alasan, antara lain:

1. Komponen-komponen wilayah pesisir merupakan objek fisik yang berdimensi ruang, mempunyai wilayah sebaran, dan dapat ditata menjadi ruang kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.


(28)

2. Pemanfaatan wilayah pesisir yang berbasis ekosistem dapat dilakukan sebagai pendekatan untuk mengatasi kerusakan lingkungan wilayah pesisir, akibat pencemaran, tumpang tindih kegiatan, dan aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan cara-cara tidak arif lingkungan. Zona-zona pemanfaatan yang dihasilkan dapat dijadikan dasar untuk mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama nelayan yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan.

3. Adanya kenyataan bahwa tata ruang dan rencana tata ruang dibuat dan selalu direvisi setiap tahunnya masih berorientasi pada raung wilayah daratan, maka studi ini dinilai perlu agar hasilnya dapat dijadikan dasar dalam menata ruang dengan mengintegrasikan ruang daratan dengan ruang lautan, terutama berkenaan dengan berlakunya UU No.26 Tahun 2007 dan tentang Penataan Ruang dan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) menyangkut kewenangan daerah atas wilayah teritorial lautnya.

Melihat berbagai potensi dan masalah seperti telah dijelaskan diatas, maka untuk mengintegrasikan berbagai aktivitas diwilayah pesisir dalam upaya untuk meminimalisasi kerusakan ekosistem, mengurangi adanya konflik, degradasi biogeofisik dan mengoptimalkan potensi sumberdaya wilayah pesisir, maka perlu dirumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Agar model yang dihasilkan dapat dipergunakan secara universal, mulai dari proses input data, proses dan out data dari proses penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, maka wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dapat mewakili permasalahan wilayah pesisir seperti yang dijelaskan diatas.


(29)

Rumusan Masalah

Menurut UU No. 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang. Tata ruang didefinisikan sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang atau wadah, baik direncanakan maupun tidak. Perencanaan tata ruang sendiri lebih berfokus pada pemanfaatan ruang daratan itu sendiri, karena di wilayah inilah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya berinterkasi menjaga keseimbangan ekosistem. Artinya perencanaan tata ruang tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha menjaga kelestarian lingkungan, keseimbangan ekosistem dan bermuara pada tercapainya kenyamanan hidup bagi segenap penghuninya.

Perencanaan tata ruang sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari perencanaan dan pengaturan tempat baik secara vertikal maupun horizontal, berskala makro maupun mikro. Secara horizontal saja, penataan ruang menyimpan banyak persoalan serius untuk dicarikan solusinya. Sedemikian komplek persoalan penataan ruang ini terkait keseimbangan antar makhluk hidup, serta kenyamanan masyarakat yang hidup di dalamnya, diperlukan perencanaan yang terintegrasi antara nilai ekologi dan ekonomi ruang tersebut.

Pengertian ruang dalam UU.No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa ruang secara geografis terdiri dari ruang darat, laut,dan udara, ketiganya memiliki interaksi satu sama lainnya dan memiliki fungsi untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Antara ruang darat dan laut terdapat ruang pesisir. Ruang pesisir ini memiliki keunikan ekologis dan heterogenitas dalam pemanfaatan nya, Pemanfaatannya sering menimbulkan berbagai permasalahan, terutama dalam sistem ekologi dan ekonomi dari potensi sumberdaya yang ada di wilayah pesisir. Karena itu sangat diperlukan perencanaan tata ruang yang dapat mengatasi permasalahaan tersebut, yaitu adanya keterpaduan dalam perencanaan wilayah pesisir ( laut dan darat). Rencana tata ruang wilayah pesisir menurut hemat


(30)

penulis yang dibuat selama ini masih berorientasi pada lahan daratan (land-base),

Pada hal perbedaan karakteristik wilayah pesisir dengan wilayah daratan sangat berbeda sekali. Dalam kenyataannya pengelolaan wilayah pesisir sering menimbulkan pada kerusakan ekosistem, misalnya berkurangnya luas kawasan lindung atau hutan mangrove, berkurangnya potensi perikanan, kadar pencemaran perairan yang semakin bertambah, intrusi air laut semakin jauh ke darat dan hal yang paling penting adalah masyarakat nelayan masih berada dibawah garis kemiskinan. Karena itu penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir secara terpadu sangat dibutuhkan.

Wilayah pesisir adalah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan (intrusi) air asin. Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia.

Pengertian diatas mencerminkan bahwa wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi satu sama lainnya. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia, umumnya kegiatan pembangunan.

Karakteristik wilayah pesisir berbeda dengan wilayah daratan. Wilayah pesisir terdiri dari wilayah daratan dan wilayah lautan yang merupakan satu kesatuan pemanfaatan, dampak pemanfaatan di wilayah daratan (lahan atas) berupa limbah dan sedimentasi pada akhirnya akan terakumulasi di wilayah pesisir. Di wilayah pesisir ada lokasi (habitat) yang mengandung “dimensi dan proses ekologis” yang menentukan daya dukung lingkungan wilayah pesisir. Karakteristik


(31)

lainnya adalah sifat wilayah pesisir yang multi uses zone, common property resource, dan tunduk di bawah rejim oppen access (Dahuri, 2000). Karakteristik di

atas menunjukkan fungsi wilayah pesisir sangat majemuk. Oleh karena itu, pola pemanfaatan ruang pesisir akan sangat rumit, sehingga perlu suatu model perencanaan yang spesisfik pula agar sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir itu sendiri.

Untuk menyusun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir diambil Kasus

wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi merupakan kawasan pesisir dengan kompleksitas permasalahan, baik akibat kegiatan pembangunan maupun pengaruh lainnya. Dalam aspek dinamika pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi merupakan salah satu kawasan penting yang perkembangannya perlu diatur. Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi secara administratif berbatasan dengan DKI Jakarta dengan kegiatan Pelabuhan Tanjung Priok dan Kawasan Berikat Nasional Marunda. Kawasan ini telah dijadikan salah satu fokus utama pembangunan wilayah Kabupaten Bekasi sebagai pendukung pelabuhan internasioanl dan nasional Tanjung Priok. Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi 2003-2013, dimana di dalamnya diatur tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi. Pembangunan kawasan diupayakan agar terjadi keterpaduan dalam pelaksanaannya dengan pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan dan tahapan pelaksanaan pembangunan kawasan ini adalah memperhatikan keberadaan para ekosistem dan para nelayan laut dan nelayan tambak yang membentang sepanjang pantai tersebut. Demikian pula, keberadaan permukiman nelayan dan aktivitasnya tidak dapat dilupakan begitu saja dalam konteks pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Oleh karena itu, upaya


(32)

pengembangan kawasan pesisir ini harus didukung oleh suatu arahan rencana tata ruang sebagai “tools” keterpaduan program-program pemanfaatan ruang.

Dalam rangka merencanakan dan memanfaatkan ruang di kawasan tersebut, maka Pemerintah Kabupatren Bekasi melakukan Perencanaan tata ruang kawasan Pesisir Kabupaten Bekasi. Perencanaan ini secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan ruang untuk mengakomodasikan kegiatan sosial-ekonomi, terutama nelayan dan petambak yang jumlahnya cukup besar, yang diinginkan dan pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan prasarana dan sarana perkotaan dan pengembangan wilayah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, jika tidak direncanakan dengan baik akan mengancam pada ekosistem wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, ada beberapa alasan Kabupaten Bekasi dijadikan wilayah sampel dalam penelitian ini, antara lain :

1. Rencana tata ruang wilayah pesisir Kabupaten Bekasi saat ini disusun berdasarkan pada rencana tata ruang yang berbasis daratan. Rencana tata ruang yang dibuat berbasis pada lahan daratan (land-base) yang selama ini

ternyata memberikan dampak pada kerusakan ekosistem wilayah pesisir. 2. Wilayah pesisir di Kabupaten Bekasi memiliki ekosistem dan kegiatan

pembangunan yang sangat kompleks. Keunikan ekologis dan heterogenitas dalam pemanfaatannya. Sekitar 19.745 Ha (15,5 persen) wilayah pesisir Kabupaten Bekasi memiliki air tanah yang terintrusi air laut (terutama Kecamatan Muaragembong dan Kecamatan Cabangbungin), sedangkan 25.605 Ha (20,1 persen) memiliki air tanah dangkal dan 82.038.023 Ha (64,4 persen) memiliki 104.185 Ha (81,79) dari luas kabupaten memiliki kedalaman efektif air tanah di atas 90 meter (Bappeda Kab.Bekasi,2006).


(33)

Kadar pencemar yang melebihi baku mutu umumnya ditemukan di muara-muara sungai. Hal ini menunjukkan bahwa bahan polutan tersebut berasal dari kegiatan didarat yang terbawa oleh air sungai. Di Sungai Citarum misalnya kadar sedimen yang tinggi yaitu Cu (36,30 mg/l), timah hitam (21,13 mg.l), Cr ( 23,77 mg/l) Ni ( 5,21 mg/l), Cd ( 0,23 mg/l), Zn ( 215,10 mg/l, Fe ( 3452,0 mg/l), Mn ( 886,20 gr/kg) dan Hg ( 1,16 gr/kg) (hasil pengolahan data primer di laboratorium, 2006).

3. Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi belum memiliki dasar aturan yang jelas dalam pemanfaatan ruang.

4. Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi memberikan konstribusi PAD Kabupaten Bekasi yang signifikan terutama sektor perikanan dan pertanian.

Dari gambaran permasalahan yang dikemukakan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Perbedaan karakteristik wilayah pesisir dengan wilayah daratan menuntut pendekatan perencanaan tata ruang yang berbeda pula;

2. Parameter-parameter apa yang merupakan penentu dalam penyusunan pola keterkaitan penggunaan lahan wilayah pesisir bagian daratan dengan bagian lautan;

3. Faktor-faktor yang menjadi pokok dalam menyusun model perencanaan tata ruang untuk dapat menentukan alokasi pemanfaatan yang optimum;

4. Belum adanya model perencanaan tata ruang yang mengintegrasikan wilayah pesisir bagian daratan dengan wilayah pesisir bagian lautan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk dapat merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yaitu :


(34)

1. Mengetahui karakteristik lahan di wilayah pesisir berdasarkan pada kesesuaian lahan, daya dukung dan nilai ekonomi;

2. Identifikasi parameter-parameter pembatas (daya dukung) dalam menyusun pola keterkaitan penggunaan lahan di wilayah pesisir bagian daratan dengan bagian lautan;

3. Mengidentifikasi faktor-faktor pokok dalam menyusun model perencanaan tata ruang untuk dapat menentukan alokasi pemanfaatan yang optimum;

4. Merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir.

Manfaat Penelitian

Keluaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1.

Sebagai acuan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir sesuai dengan karakteristik ekosistem, fisik, ekonomi dan sosial masyarakat;

2.

Rumusan model perencanaan tata ruang yang dapat mengintegrasikan antara wilayah darat dengan laut;

3.

Rumusan saran tindak dalam rangka melengkapi konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

Novelty ( kebaruan)

Kebaruan dari penelitian ini adalah :

1. Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan, merupakan model yang disusun dengan pendekatan kesesuaian lahan, daya dukung lahan dan valuasi ekonomi. Faktor laut berupa karakteristik ekosistem, (sifat fisik, kimia dan biologi) lebih dominan mempengaruhi dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang kompleks dan bersifat dinamis, maka penyusunan model


(35)

rencana tata ruang wilayah pesisir dilakukan dengan pendekatan yang berbeda pula bila dibandingkan dengan model rencana tata ruang wilayah yang berbasis daratan.

2. Model rencana tata ruang wilayah pesisir ini mengandung nilai manfaat sebagai pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan wilayah. Dalam penyusunannya perlu dilakukan secara terpadu dan sistematis dengan mepertimbangkan adalah parameter-parameter kesesuaian lahan berupa; pasut dan tinggi gelombang; kecepatan arus; aksesibilitas; amplitudo; keterlindungan; pH dan salinitas 3. Dapat disimpulkan bahwa perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang

dihasilkan merupakan model baru untuk merencanakan wilayah pesisir yang lebih baik, yang sebelumnya penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir masih berbasis daratan. Peneliti terdahulu melihat wilayah pesisir masih dalam konteks perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara parsial dan tidak terintegrasi. Peneliti melihat adanya ketimpangan dalam proses dan pelaksanaan pembangunan yang selama ini terjadi, yaitu bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masih berorientasi pada sumberdaya daratan yang pada dasarnya sudah sangat terbatas jumlah dan kapasitasnya. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir perlu dikembangkan guna pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi antara kegiatan pembangunan di wilayah daratan dengan lautan. Struktur dan Pola pemanfaatan ruang yang selama ini kental di dalam penataan ruang wilayah yang berbasis daratan, seperti dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang maka struktur ruang seperti ruang daratan tidak dapat diberlakukan di wilayah pesisir bagian lautan.


(36)

STUDI PUSTAKA

Pengertian Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan (intrusi) air asin. Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam

batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang

tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Dalam UU No.27/2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir, wilayah pesisir didefinisikan sebagai kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti pasang surut, intrusi air laut; dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu, pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah yang administrasi pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota. Sedangkan dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penangangan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab.

Menurut IPCC (1994) dalam Dahuri (1996), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) merupakan cabang ilmu baru bukan


(37)

substansial sama, namun kemudian timbul beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut seperti Coastal Management (CM), Integrated Coastal Management (ICM), Integrated Coastal Area Management (ICAM), Integrated Coastal and River Basin Management (ICRBM), Integrated Coastal Zone Planning and Management (ICZPM), dan lain sebagainya. Substansi pengelolaan wilayah pesisir

dan laut secara terpadu adalah pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk dalam lingkup ini pemanfaatan. Untuk keperluan pengelolaan penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah.

Kondisi suatu wilayah pesisir erat kaitannya dengan sistem sungai yang bermuara di wilayah itu. Perubahan sifat sungai yang mungkin terjadi disebabkan karena proses alami maupun sebagai akibat kegiatan manusia, perubahan yang terjadi di hulu maupun di daerah hilir sungai, akan mempengaruhi wilayah pesisir yang bersangkutan. Oleh karenanya secara alami wilayah pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem wilayah sungai. Di samping itu, beberapa pakar berpendapat bahwa wilayah pesisir juga tidak dapat lepas dari permasalahan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.

Pembangunan yang berbasis pada interkasi wilayah pesisir daratan dan lautan merupakan sebuah model pemikiran yang dapat diimplementasikan dengan kondisi ekosistem yang sangat kompleks. Pustaka yang mengangkat masalah pesisir dan lautan masih sangat terbatas jumlahnya terutama yang membahas dalam aspek penataan ruangnya. Padahal makna ruang seperti tertuang dalam UU. No. 26 tahun 2007, adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. (UU Nomor : 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Pasal 1) .Makna tersebut menjelaskan bahwa

disamping daratan yang lazim direpresentasikan sebagai lahan, maka lautan juga merupakan wujud yang nyata dari ruang.


(38)

Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup termasuk wilayah pesisir. Pemerintah Indonesia melalui UU No.4/1982 yang diperbaharui dengan UU No.23/1997, tentang Lingkungan Hidup, mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup sebagai peristiwa masuknya unsur-unsur makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Menurut Soegiarto (1976), definisi Wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi; bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, perembesan air asin; sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran.

Definisi wilayah pesisir diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antar habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia, umumnya kegiatan pembangunan.

Menurut kesepakatan Internasional wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan. Kearah darat mencakup daerah yang terkena pengaruh percikan air pasang surut, dan kearah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.,1994).


(39)

Berdasarkan dua definisi diatas, maka untuk kepentingan pengelolaan adalah kurang begitu penting untuk menetapkan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku (rigid). Akan lebih berarti, jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir

didasarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan)

dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya yang ada didalamnya., serta tujuan pengelolaan itu sendiri atau yang dikenal dengan batas fungsional dan batas administratif.

Dahuri dkk (2001) mengatakan dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem dapat bersifat

alami atau buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir

antara lain; terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun (sea grass),

pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan Delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa; tambak, sawah

pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan permukiman.

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh suatu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacam ini sering menimbulkan konflik antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktifitas pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang sama.

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam secara luas Hanson (1988), mendefinisikan perencanaan sumberdaya secara terpadu sebagai upaya bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumberdaya alam secara optimal dengan meperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan


(40)

yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran rakyat.

Lang (1986) dalam Dahuri dkk (2001) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti pesisir dan lautan hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level), teknis, konsultatif dan koordinasi. Pada

tataran teknis segenap pertimbangkan teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan hendaknya secara seimbang atau proporsional dimasukan kedalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan luatan.

Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (stakeholders) atau terkena dampak pembangunan sumberdaya pesisir dan

lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat umum.

Dari aspek ekonomi wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah dengan aktifitas ekonomi manusia yang sangat kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang sehat menjadi issue yang cukup kompleks dalam pembangunan wilayah pesisir. Meskipun sumberdaya pesisir dikategorikan sebagai sumberdaya yang tidak terbaharukan, namun pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar potensi sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat tanpa harus menimbulkan dampak yang negatif untuk masa mendatang.

Keberlanjutan adalah merupakan kata kunci dalam pembangunan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya wilayah pesisir itu sendiri. Walaupun konsep keberlanjutan ini sudah mulai dapat dipahami, namun sampai saat sekarang kita masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis/mengevaluasi keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir itu sendiri. Khususnya kita akan


(41)

dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen (secara holistik) baik aspek ekologi, sosial, ekonomi dan etnik.

Ekosistem Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir memiliki beberapa komponen spesifik ekosistem dengan berbagai fungsi ekologis yang menuntut kehati-hatian dalam pemanfaatan dan pengembangannya, juga dalam penanganan dampak yang ditimbulkannya.

Berikut ini akan diuraikan karakteristik setiap ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir.

Estuaria

Estuaria adalah teluk di pesisir tempat pertemuan antara air tawar dengan air asin (air laut). Ekosistem estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Kebanyakan dari partikel endapan tersebut bersifat organik, sehingga menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuaria (Dahuri, R, dkk, 1996. Ada dua hal utama yang mempengaruhi

ekosistem estuaria, yaitu aliran sungai yang mengangkut limbah, toksikan (zat beracun), sedimen, dan nutrien yang dikandungnya; serta sifat-sifat fisik air laut, seperti pasang surut dan gelombang.

Fauna yang terdapat dalam ekosistem estuaria terdiri dari jenis hewan laut (yang terbatas kemampuannya mentolerir perubahan salinitas hingga 300/00), hewan air tawar (tidak mampu mentolerir perubahan salinitas), dan hewan payau (yang tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun air tawar). Dibandingkan di perairan tawar dan laut, maka estuaria miskin akan flora dan jumlah organisme, karena fluktuasi salinitas yang sangat besar.

Hutan Bakau

Hutan bakau merupakan sekumpulan tumbuhan spesifik yang terdapat di perairan yang bersalinitas tinggi. Perkembangan maksimumnya ditentukan oleh


(42)

sirkulasi air permukaan yang memungkinkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Hutan bakau menjadi tempat pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi ikan, udang, dan kerang. Hutan bakau ini memberi perlindungan bagi udang dari serangan virus. Beberapa jenis bangau, cangak, kuntul dan bebek yang terdapat di sekitar pantai, juga membangun sarang-sarangnya di hutan bakau. Di samping itu reruntuhan dedaunan dan bagian lain dari hutan bakau yang terbawa air, menyediakan sumber hara penting bagi ekosistem pesisir dan ekosistem sekitar muara, walaupun tidak selalu harus berkaitan langsung antara jumlah hutan bakau dan produktifitasnya. Secara fisik keberadaan hutan bakau juga melindungi pantai dari kekuatan ombak (Whitten,T,dkk,1999. Ekologi Jawa dan Bali, Prenhallindo, Jakarta. Halaman 387). Perakarannya yang kokoh mampu

meredam gelombang, menahan lumpur, gelombang pasang dan angin topan

(Dahuri,R,dkk,).

Ada beberapa kondisi yang dapat mengancam kelestarian hutan bakau, yaitu: - Berkurangnya kadar oksigen dalam air, misalnya akibat sedimentasi yang

berlebihan dan tumpahan minyak.

- Penebangan hutan bakau untuk berbagai keperluan, seperti kayu bakar, bahan baku kimia, atau untuk mengkonversikannya menjadi lahan pemukiman, industri, tambak udang dan lain-lain.

Padang Lamun

Padang lamun merupakan kumpulan tumbuhan perairan pesisir yang dapat ditemukan di laguna atau pantai-pantai berpasir yang dangkal dan berlereng. Lamun tumbuh cepat dan mengikat endapan-endapan di tempat yang dangkal. Untuk syarat tumbuhnya, diperlukan kedalaman maksimum 20 M, intensitas masuknya sinar matahari yang tinggi, sirkulasi air yang baik dan kontinu, nutrien yang tinggi, serta pergerakan substrat yang akan mengalihkan sisa metabolisme. (Supriharyono, loc. cit).


(43)

Diantara tumbuhan lamun kadang-kadang terdapat ganggang-ganggang yang berbeda, yang umumnya lebih sering terdapat bersama terumbu karang. Padang lamun juga merupakan habitat berbagai jenis moluska, termasuk siput (lambis) berukuran besar (paling banyak dieksploitasi), jenis kepala kambing (strombus), tripang (synapta), keong laut, bintang laut, dan tripang hitam berlapis pasir (holothuira atra). Dalam satu hektar padang lamun dapat ditemukan hampir sebanyak 25.000 ekor tripang.

Daun-daun lamun memberikan tempat berlindung atau menjadi habitat bagi ikan-ikan muda dari ancaman berbagai jenis pemangsa yang berukuran lebih besar. Keragaman habitat padang lamun menentukan banyaknya jenis ikan yang ada di dalamnya. Padang lamun sangat diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan kestabilan sistem pantai, serta untuk mendukung ekosistem lepas pantai melalui rantai makanan yang tergantung pada bahan-bahan terurai. Padang lamun juga membantu terumbu karang dengan cara menstabilkan endapan-endapan di laguna, sehingga dapat mengurangi kekeruhan. Dengan demikian ekosistem padang lamun berperan penting dalam menjaga kestabilan pantai dan mendukung kelestarian perikanan pantai.

Adapun tumbuhan lamun tidak hanya berperan dalam menstabilkan pantai, tetapi juga menghasilkan pasir-pasir yang sebagian besar terdiri dari tetrahedral test atau cangkang-cangkang jenis bentik foraminifera. Hilangnya padang lamun dapat menurunkan produksi foraminifera dan mempercepat kehilangan pasir pantai. Akibat lainnya adalah energi yang masuk ke dalam perairan wilayah pantai akan berkurang, produsen plankton primer akan menggantikan produsen bentik, morfologi pantai akan berubah karena pasirnya tidak terikat lagi, serta hilangnya keragaman struktural dan biologis akibat lahan pasir yang gundul.


(44)

Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang unik, yang hanya terdapat di perairan tropik dangkal (kedalaman kurang dar 30 Meter) dengan suhu diatas 200 C. Ekosistem terumbu karang umumnya ditandai dengan menonjolnya kekayaan jenis biota yang hidup di dalamnya. Air laut yang jernih dan salintas yang tinggi merupakan faktor utama bagi kehidupan terumbu karang. Dalam wilayah pesisir, ekosistem terumbu karang memiliki peran sebagai berikut :

- sebagai pelindung garis pantai dari hantaman ombak dan gelombang laut, sehingga dapat melindungi garis pantai dari kemungkinan abrasi

- sebagai habitat bagi beragam jenis ikan (100 – 200 jenis dalam satu hektar) yang mempunyai produktifitas hayati tinggi

- sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari karena memiliki beraneka ragam biota dan panorama yang sangat indah,

- sebagai sumber produksi bagi kegiatan perdagangan karena di terumbu karang hidup berbagai jenis hewan moluska bernilai komersil, seperti kima raksasa atau kima raja (tridacna gigas, moluska bercangkang terbesar di dunia), triton terompet

(charonica tritonis), kepala kambing (cassis cornuta), lola (trochus niloticus), dan

batulaga (turbo marmoratus).

Secara fisik maupun biologis, terumbu karang mempunyai struktur yang sangat kompleks. Terumbu karang yang ada sekarang ini sebenarnya merupakan hasil keseimbangan secara simultan antara faktor-faktor yang bersifat membangun (konstruktif) dan merusak (destruktif). Faktor-faktor yang bersifat membangun sebagian besar terdiri dari unsur-unsur organik yang dihasilkan oleh berbagai biota laut penghasil kapur, seperti karang batu, algae berkapur, molusca, crustacea, dan porifera. Sedangkan faktor-faktor yang bersifat merusak adalah semua kekuatan yang dapat menghancurkan kerangka karang batu, atau algae berkapur, melalui berbagai proses fisik, biologis, maupun kimiawi, misalnya:


(1)

199

Krutila, J. 1967. Conservation Reconsidered. American Economic review. 57, 787-796.

Krutilla, J., and O. Eckstein. 1958. Multiple Purpose River Development : Studies in Applied Economic Analysis. Baltimore : Johns Hopkins Press.

Lancaster, K. J. 1966.”A New Approach to Consumer Theory” Journal of Political Economy 74 : 132-157

McKean, R. Efficiency in Government through System Analysis. New York : Wiley, 1958. Mishan, E. J. Cost-Benefit Analysis. New York : Praeger, 1976.

Myrdal, G. 1968. Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations. London. Allen Lane, 1968.gy and regional Development Policy.

Mac.Kinnon, J., K. Phillips., B. Van Balen. 1992. Burung-burung Di Sumatera, Jawa, Bali Dan Kalimantan, Puslitbang Biologi – LIPI.

Ministry of the Environment, Action Plan For The Management Of Indonesia Wetlands. Tahun 1996

Muara Wisesa Samudra, Studi Evaluasi Lingkungan Pembangunan Pantai Mutiara,1996.

Nagamine, H. 2000. Regional Development in Third World Countries, Paradigms and Operational Principles. Int. Dev Journal. Tokyo.

Pemda Kabupaten Bekasi. 2003. Penyusunan Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Sepanjang Pesisir Pantura Kabupaten Bekasi, Kerawang, Subang, Indramayu, Cirebon dan Kota Cirebon. Dinas Tata Ruang dan Permukiman. Pemda Kabupaten Bekasi. Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Kota Dalam Derap Langkah

Pembangunan. 2001

Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Selayang Pandang.1995 Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Kota Sejarah.1996. Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Lingkungan.2001 Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Waterfront City. 2001

Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Peraturan Daerah DKI Nomor 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi Dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta

Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta1996. Kebijaksanaan Air Minum Dan Prosedur Sambungan Baru Di Kwasan Real Estate.


(2)

200

Puri Fadjar Mandiri, JAKARTA WATERFRONT.1995: Rebirth of Jayakarta (Rencana Induk Pantura Jakarta), bagian II : Studi Lingkungan Dan Rencana Lingkungan, Planning Workshop International. Rais.Yacub, Sulistiyo,Budi dkk ( 2004). Menata Ruang Laut Terpadu. PT.Pradnya

Paramita Jakarta.

Rachmansyah, 2004. “Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi IPB Bogor.

Rosen, S. 1974. “Hedonic Prices and Implicit Markets : Product Differentiation in Pure Competition” Journal of Political Economy 82 : 34-55. Ruitenbeek, H.J. 1992. Mangrove Management: An economic Analysis of

Management Options with a focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI Enviromental Report No. 8.

Royat, Sunjana, 1997. Perencana Tata Ruang Dalam Mengantisipasi Keseimbangan Sumber Air Wilayah, Biro Perkotaan, Pemukiman, Perumahan Rakyat dan Penataan Ruang, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Rusila, Y. 1996. Burung Air Migran Di Indonesia, Warta Konservasi Lahan Basah, Vol 5(2) : 12 –13.

Rustuiadi, dkk. 2003 . Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan, IPB Bogor.

Rustam, 2005 “ Analisis Dampak Kegiatan Pertambakan terhadap Daya Dukung Kawasan Pesisir. Disertasi IPB Bogor.

Schaefer,M.B 1954. Some Aspects of Dynamics of Populations Important to the Management of the Commercial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am.Trop, Tuna Comm I: 27.

Schaefer,M.B 1957. A Study of the Dynamics of the Fishery for Yellofin Tuna in the Eastern Tropical Pasicis Ocew. Bull. Int-AmTrop Tuna.Com2 : 247.

Siloan, N. A. 1993. Effects Of Oil On Marine Resources : A Worldwide Literature, Review Relevant T0 Indonesia.

Sitorus, 2005 “ Estimasi Daya Dukung Lingkungan Pesisir untuk Pengembangan Areal Tambak Berdasarkan Laju Biodegradasi Limbah Tambak Terhadap Pesisir Kabupaten Serang. Disertasi IPB Bogor. Sulistijo, Coastal and Marine Quality of Jakarta Bay. 1993. Institute of Ecology,


(3)

201

Sumanjaya, Nyoman, Kebutuhan Sumber Dan Pemanfaatan Air Bersih DKI Jakarta, Puslitbang Geotehnologi – LIPI.1996.

Sekretariat Negara RI, 2007. Undang-Undang Penataan Ruang N0.26 tahun 2007. Sekneg RI. Jakarta

Tjahjati, Budhy S. dkk. 2006. Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Bunga Rampai Buku I. URDI Jakarta.

Tjahjati, Budhy S. dkk. 2006. Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Bunga Rampai Buku II. URDI Jakarta.

The Study On Comprehensive River Water Management Plan In Jabotabek, 1996. Nippon Consultants, Inc., Nippon Koei Co, Ltd., dan Japan International Cooperation Agency

The Study On The Revise OF Jakarta Water Supply Development Project. Nihon Suido Consultans, Inc., Nippon Koei Co, Ltd., dan Japan International Cooperation Agency. 1996.

The Study On The Urban Drainage Wasterwater Disposal Project In The City Of Jakarta, Nippon Consultants, Inc., Nippon Koei Co, Ltd., dan Japan International Cooperation Agency, dan The Goverment of the Republic of Indonesia. 1996

Turner . 2000. Development Poles: Do They Exist?”. Growth Pole Strategy and regional Development Policy. I

Van Steenis, C.G.G.J., Ecologi. 1993: The Intoduction Part To The Monograph Of Rhizophoraceace, by Ding Hou, Flora Malesiana

Wood, S., and Trice, A. 1958. Measurement of Recreational Benefits. Land Economics 34, 195-207.

Waterston, W.L.C. 1965. Development Planning: Lessons of Experience, Baltimore. Johns Hopkins Univ. Press.

Whitten,T,dkk,1999. Ekologi Jawa dan Bali, Prenhallindo, Jakarta. Halaman 387 Laporan Akhir Studi Geologi Pantai Wilayah Jakarta, Pusat Pengembangan

Geologi Kelautan Bandung – Departemen Pertambangan dan Energi, 1995

Laporan Akhir Studi Pengembangan Sedimentasi Pasir Laut Teluk Jakarta, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Bandung – Departemen Pertambangan dan Energi, 1995 dan 1996


(4)

xii

Lampiran 1

Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Berdasarkan Matriks

Kesesuaian Lahan


(5)

xiii

Lampiran 2


(6)

xiv

Lampiran 3

Data Primer Kadar Pencemar Wilayah Pesisir Kabupaten

Bekasi berdasarkan Jarak Pengambilan Sampel