Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi terhadap Pengembangan Wilayah Kota Sidikalang

(1)

ANALISIS PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN

DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

KOTA SIDIKALANG

TESIS

Oleh

B. SARMAULI PANGARIBUAN

087003020/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

ANALISIS PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN

DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

KOTA SIDIKALANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalan Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

B. SARMAULI PANGARIBUAN

087003020/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SIDIKALANG

Nama Mahasiswa : B. Sarmauli Pangaribuan Nomor Pokok : 087003020

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE Ketua

)

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE Anggota

) (Ir. Jeluddin Daud, M.Eng Anggota

)

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 16 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE Anggota : 1. Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilan, SE

2. Ir. Jeluddin Daud, M.Eng 3. Dr. Ir. Rahmanta, M.Si 4. Drs. Rujiman, MA


(5)

ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN

KOTA SIDIKALANG ABSTRAK

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dairi sebagai suatu rencana penataan ruang wilayah yang dimaksudkan sebagai alat untuk mengarahkan dan mengendalikan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha serta swadaya masyarakat sehingga tercapai keterpaduan program-program sektoral dan daerah. Pada hakekatnya Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Struktur Ruang merupakan salah satu komponen utama dalam RTRW, untuk Kabupaten, struktur ruang ini terdiri atas Sistem pusat-pusat kegiatan; Sistem jaringan transportasi dan Sistem prasarana & sarana lainnya. Dengan melakukan penelitian deskriftif, penulis mencoba menjelaskan bagaimana perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi berdasarkan RTRW terhadap pengembangan wilayah Kota Sidikalang dan bagaimana cara mengoptimalkan perencanan tersebut.

Oleh karena itu, berdasarkan Analisis studi literature, dalam perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi ditetapkan bahwa Kota Sidikalang sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berfungsi sebagai pelayanan primer dan sekunder. Dan Kota Sidikalang. Dan untuk mengoptimalkan pengembangan wilayah, maka perlu dibangun jalan arteri primer Sopobutar-Aceh serta usulan perencanaan Sopobutar dan Kuta Buluh sebagai PKLp. Dan untuk pengembangan BWK Kota Sidikalang diarahkan dengan membentuk blok-blok pelayanan agar tidak terjadi aglomerasi kegiatan. Jadi perencanaan struktur ruang yang mencakup sistem pusat-pusat pelayanan, sistem transportasi dan prasarana dan sarana merupakan unsure penting dalam pengembangan wilayah.

Kata Kunci : Struktur Ruang; Pengembangan Wilayah; Pusat-Pusat Kegiatan; dan Sistem Transportasi


(6)

ANALYSIS OF DAIRI DISTRICT THE SPATIAL STRUCTURE PLANNING FOR THE DEVELOPMENT OF SIDIKALANG CITY

ABSTRACT

Spatial Plan (Spatial) Dairi is called RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) as a spatial plan which is intended as a tool to direct and control development both by governments, businesses and government organizations in order to reach integrity of sectoral programs and regions. In effect the structure of space is the arrangement of the centers of settlement and network systems infrastructure and facilities that serve as community advocates social and economic activities are hierarchically linked fungsional. Confirmed in Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning.

Structure of Space is one of the major component in Spatial, to Regency, the structure of this space consists of system activity centers; transport network system and system infrastructure & other facilities. By doing a descriptive study, the author tries to explain how the planning of the spatial structure of the Dairi based Spatial development Sidikalang City area and how to optimize such planning.

Therefore, based on analysis of literature studies, in planning the structure of space Dairi determined that the City Sidikalang as Regional Activity Center (FGM) is called PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) which serves as the primary and secondary care. And City Sidikalang. And to optimize the development of the region, it is necessary to build a primary arterial road Sopobutar-Aceh and planning proposals and Kuta Buluh and Sopobutar as Center for Environmental Activities promotions is called PKLp (Pusat Kegiatan Lingkungan promosi). And for the development of the City BWK Sidikalang directed by forming blocks of service to prevent agglomeration of activities. So planning the structure of space which includes a system service centers, transportation systems and infrastructure and facilities is an important element in the development of the region.

Keywords: Structure of Space; Regional Development; Activity Centers, and Transportation Systems.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala limpahan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini

dengan judul Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi terhadap

Pengembangan Wilayah Kota Sidikalang.

Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan penulis sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak dalam penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ketua dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) beserta seluruh dosen dan staf.

2. Bapak Prof. Bachtiar Hasan Miraza sebagai Pembimbing Utama.

3. Bapak Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE sebagai Pembimbing Akademis.

4. Bapak Ir. Jeluddin Daud, M.Eng sebagai Pembimbing Akademis.

5. Bappeda, Dinas Tata Ruang dan Permukiman dan BPS Kabupaten Dairi sebagai

instansi yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

6. Ayahanda Ir. Robinson Pangaribuan dan Ibunda Bonur Ambarita, Amd yang telah

memberikan dorongan mental dan spiritual yang tak ternilai harganya.

7. Abang, Kakak, dan Adik - adik tercinta, khususnya adikku tersayang David

Pangaribuan, SH yang selalu setia memberikan bantuan, dorongan semangat dan doa sehingga membuat hidup jauh lebih berarti.


(8)

8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa dan sahabat yang telah memberikan bantuan dan partisipasi dalam penyelesaian penulisan penelitian ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua yang terkait dalam penulisan ini.

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberi yang terbaik untuk kita semua.

Medan, Agustus 2011 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bunturaja 31 Agustus 1982, sebagai anak kedua dari 6 (enam) bersaudara dari Ayah Ir. Robinson Pangaribuan dan Ibu Bonur Ambarita, Amd.

Pendidikan formal penulis menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri tahun 1995 di Parapat, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 tahun 1998 di Bunturaja, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 tahun 2001 di Sidikalang, serta tahun 2001 masuk di Politeknik Negeri Medan jurusan Teknik Sipil, kemudian tahun 2004 melanjutkan Program Extension di Universitas Sumatera Utara pada Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil dan lulus pada tahun 2007.

Selanjutnya tahun 2008 penulis melanjutkan Studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Konsentrasi Perencanaan Wilayah Kota dengan judul tesis Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi terhadap Pengembangan Kota Sidikalang.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….… i

ABSTRACT……… ii

KATA PENGANTAR………..… iii

RIWAYAT HIDUP …….……… v

DAFTAR ISI………. vi

DAFTAR TABEL………. viii

DAFTAR GAMBAR ..………. ix

DAFTAR LAMPIRAN……… x

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Perumusan Masalah……… 4

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 5

1.4 Manfaat Penelitian ………. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 6


(11)

2.1.1. Teori Kutub Pertumbuhan……….…… 7

2.1.2. Teori Tempat Pusat………... 9

2.2 Struktur Ruang……… 13

2.3 Struktur Ruang & Keberlanjutan Perkotaan..……….… 15

2.4 Kota dan Daerah Dibelakangnya……… 19

2.4.1. Definisi Kota………. 20

2.4.1. Bentuk Hubungan Kota dengan Daerah Dibelakangnya.. 26

2.4.3. Hirarki Perkotaan………... 28

2.4.4. Kota Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Wilayah…... 30

2.5 Penelitian Sebelumnya……… 33

2.6 Kerangka Pemikiran……… 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 37

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 37

3.2 Jenis Penelitian……… 37

3.3 Jenis dan Sumber Data……… 37

3.4 Model Analisis……… 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... 40

4.1 Diskripsi Wilayah Studi……….. 40


(12)

Berdasarkan RTRW Kabupaten Dairi 2010-2030……….. 41

4.2.1. Sistem Pusat-Pusat Kegiatan………. 42

4.2.2. Sistem Transportasi………... 45

4.3 Analisis Optimalisasi Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi untuk Pengembangan Wilayah Kota Sidikalang………… 46 4.3.1. Analisis terhadap Ruang Makro……… 46

4.3.2. Analisis terhadap Ruang Mikro……… 52

4.4 Optimalisasi Perencanaan Struktur Ruang Kota Sidikalang…... 53

4.4.1. Letak Geografis Kota Sidikalang……….. 53

4.4.2. Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kota Sidikalang Berdasarkan RDTR Kota Sidikalang …………..………. 54 4.4.3. Pusat-Pusat Kegiatan di Kota Sidikalang………. 55

4.4.4. Sistem Transportasi di Wilayah Kota Sidikalang………. 56

4.4.5. Arahan Struktur Ruang Kota……… 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 67

5.1 Kesimpulan ……… 67

5.2 Saran ……….. 68

DAFTAR PUSTAKA ………... 69


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Wilayah Adminstrasi Kabupaten Dairi……….. 41 4.2. Rencana Sistem Perkotaan Kabupaten Dairi……….………… 46 4.3. PDRB Kabupaten Dairi Tahun 2007-2009 Atas Dasar Harga Konstan 2000 ……….. 49 4.4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Dairi………... 51


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Skema Kerangka Pemikiran ……….... 36


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Dairi ……… 72

2. Peta Struktur Ruang Kabupaten Dairi ……….. 73

3. Data BPS tentang produksi pertanian Kabupaten Dairi ………... 74

4. Peta Kawasan Strategis Kabupaten Dairi ………. 80

5. Peta Usulan Per encanaan Struktur Ruang Dairi ………... 81

6. Peta Administrasi Kota Sidikalang ………... 82


(16)

ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN

KOTA SIDIKALANG ABSTRAK

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dairi sebagai suatu rencana penataan ruang wilayah yang dimaksudkan sebagai alat untuk mengarahkan dan mengendalikan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha serta swadaya masyarakat sehingga tercapai keterpaduan program-program sektoral dan daerah. Pada hakekatnya Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Struktur Ruang merupakan salah satu komponen utama dalam RTRW, untuk Kabupaten, struktur ruang ini terdiri atas Sistem pusat-pusat kegiatan; Sistem jaringan transportasi dan Sistem prasarana & sarana lainnya. Dengan melakukan penelitian deskriftif, penulis mencoba menjelaskan bagaimana perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi berdasarkan RTRW terhadap pengembangan wilayah Kota Sidikalang dan bagaimana cara mengoptimalkan perencanan tersebut.

Oleh karena itu, berdasarkan Analisis studi literature, dalam perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi ditetapkan bahwa Kota Sidikalang sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berfungsi sebagai pelayanan primer dan sekunder. Dan Kota Sidikalang. Dan untuk mengoptimalkan pengembangan wilayah, maka perlu dibangun jalan arteri primer Sopobutar-Aceh serta usulan perencanaan Sopobutar dan Kuta Buluh sebagai PKLp. Dan untuk pengembangan BWK Kota Sidikalang diarahkan dengan membentuk blok-blok pelayanan agar tidak terjadi aglomerasi kegiatan. Jadi perencanaan struktur ruang yang mencakup sistem pusat-pusat pelayanan, sistem transportasi dan prasarana dan sarana merupakan unsure penting dalam pengembangan wilayah.

Kata Kunci : Struktur Ruang; Pengembangan Wilayah; Pusat-Pusat Kegiatan; dan Sistem Transportasi


(17)

ANALYSIS OF DAIRI DISTRICT THE SPATIAL STRUCTURE PLANNING FOR THE DEVELOPMENT OF SIDIKALANG CITY

ABSTRACT

Spatial Plan (Spatial) Dairi is called RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) as a spatial plan which is intended as a tool to direct and control development both by governments, businesses and government organizations in order to reach integrity of sectoral programs and regions. In effect the structure of space is the arrangement of the centers of settlement and network systems infrastructure and facilities that serve as community advocates social and economic activities are hierarchically linked fungsional. Confirmed in Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning.

Structure of Space is one of the major component in Spatial, to Regency, the structure of this space consists of system activity centers; transport network system and system infrastructure & other facilities. By doing a descriptive study, the author tries to explain how the planning of the spatial structure of the Dairi based Spatial development Sidikalang City area and how to optimize such planning.

Therefore, based on analysis of literature studies, in planning the structure of space Dairi determined that the City Sidikalang as Regional Activity Center (FGM) is called PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) which serves as the primary and secondary care. And City Sidikalang. And to optimize the development of the region, it is necessary to build a primary arterial road Sopobutar-Aceh and planning proposals and Kuta Buluh and Sopobutar as Center for Environmental Activities promotions is called PKLp (Pusat Kegiatan Lingkungan promosi). And for the development of the City BWK Sidikalang directed by forming blocks of service to prevent agglomeration of activities. So planning the structure of space which includes a system service centers, transportation systems and infrastructure and facilities is an important element in the development of the region.

Keywords: Structure of Space; Regional Development; Activity Centers, and Transportation Systems.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sidikalang adalah ibukota Kabupaten Dairi yang terletak di daerah pegunungan. Udara yang sejuk ditambah jumlah penduduk yang masih seimbang dengan luas wilayah menjadikan Sidikalang kota yang enak dijadikan tempat tinggal. Bagi penduduk di Kabupaten Dairi, Sidikalang merupakan kota pusat perdagangan, pendidikan, kesehatan,dan pelayanan umum lainnya. Ada beberapa objek yang patut dikunjungi bagi wisatawan yang berkunjung ke Sidikalang, di antaranya Taman Wisata Iman Sitinjo (sekarang masuk wilayah Kecamatan Sitinjo), Puncak Sidiangkat, dan pusat pembuatan kopi sidikalang.

Mata pencaharian penduduk di kota Sidikalang pada umumnya adalah petani, dan pedagang. Penghasilan daerah ini umumnya adalah kopi. Kopi sidikalang sangat terkenal akan cita rasanya, bukan hanya di dalam negeri saja tetapi juga diluar negeri. Kopi sidikalang mampu bersaing dengan kopi brazil, yaitu salah satu kopi terbaik di dunia. Termasuk juga dari sektor perikanan, budidaya perikanan juga sangat baik di kembangkan di daerah ini di antara lain ikan mas, ikan nila, ikan bawal dan semuanya merupakan ikan tawar masih banyak lagi. Hasil penelitian budidaya ikan tawar kesemuanya cocok untuk dikembangkan di daerah ini. Sektor buah-buahan seperti


(19)

buah jeruk, semangka, apel, stroberry, dan masih banyak lagi yang dapat dikembangkan budidaya ikan disini.

Akan tetapi meski Kota Sidikalang sudah lama diresmikan sebagai Ibukota Kabupaten Dairi, yakni sejak tahun 1964, namun perkembangan dan kemajuan kota ini tergolong lambat jika dibandingkan dengan ibukota kabupaten lainnya yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Contoh terdekatnya saja Kota Kabanjahe Kabupaten Karo, jauh lebih maju dan dinamis dibandingkan dengan Kota Sidikalang. Hal ini dikarenakan Kota Sidikalang yang tertutup, dan tidak dilalui jalan arteri atau Jalan Provinsi serta kondisi topografisnya yang tinggi dan curam sehingga memerlukan waktu tempuh yang cukup lama dari Kota Medan yang merupakan kota pusat perdangangan dan perekonomian. Tidak memiliki laut/pelabuhan, tidak memiliki perkebunan, tidak memiliki sektor-sektor industri sebagaimana yang dimiliki oleh berbagai kabupaten/kotamadya lainnya yang ada di Propinsi Sumatera Utara.

Adapun waktu tempuh yang dicapai dari Kota Sidikalang-Kota Medan adalah ± 5-6 jam dengan jarak 153km. Dan kondisi jalan yang kurang baik serta banyak

tikungan tajam, tidak memungkinkan mobil-mobil container yang berfungsi untuk

mengangkut hasil-hasil pertanian dari Kota Sidikalang yang merupakan pusat distribusi hasil-hasil pertanian dari 15 kecamatan yang ada di Kaupaten Dairi. Selain itu, jalan arteri primer yang menghubungkan Kota Sidikalang-Medan juga sering macet, akibat banyak kendaraan yang menuju Kota Medan dari berbagai kabupaten juga bias mengakibatkan waktu tempuh Kota Sidikalang-Meda menjadi 6-8 jam. Akibatnya, hasil-hasil pertanian dari Kota Sidikalang yang berupa sayur mayur dan


(20)

buah-buahan yang hendak dipasarkan di Kota Medan sudah tidak segar lagi, dan tentunya akan mengurangi harga dari produk tersebut. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi perkeonomian dan perkapita penduduk Kabupaten Dairi khususnya Kota Sidikalang, sebab para pedagang sayur-mayur kebanyakan penduduk Kota Sidikalang.

Selain karena masalah sistem transportasi, Kota Sidikalang juga belum mampu meberikan pelayanan yang optimal dari segi pelayanan primer, khususnya dalam pelayanan pusat perdagangan. Hal ini bisa dilihat dari minimnya jumlah Bank Swasta yang beroperasi di Kota Sidikalang, Sedangkan bank sangat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

Berdasarkan fenomena di atas, perlu dikaji berdasarkan fakta dan analisa seberapa besar pengaruh dari struktur ruang Kabupaten Dairi terhadap pengembangan wilayah Kota Sidikalang, dan sebaliknya pengaruh pengembangan Kota Sidikalang terhadap pengembangan wilayah-wilayah di sekitarnya. Kajian tersebut dirumuskan dalam sebuah Rencana Detail Tata Ruang Khusus Bahagian Wilayah Kota Pusat Kota Sidikalang (RDTR BWK). Penentuan Sistem Perkotaan di Kabupaten Dairi didasari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); menetapkan Kota Sidikalang sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dengan fungsi mendorong pengembangan kota-kota sentra produksi.

Sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), maka perkembangan Kota Sidikalang akan semakin meningkat, sehingga menuntut adanya suatu rencana


(21)

pembangunan kota yang matang denga memperthatikan lingkungan. Pada dasarnya pengelolaan pembangunan Pusat Kota Sidikalang dititikberatkan pada tinjauan terhadap struktur ruang Kabupaten dan penataan ruang yang ada mulai dari penyiapan Rencana Detail Tata Ruang Khusus Bahagian Wilayah Kota Pusat Kota Sidikalang (RDTR BWK) sampai dengan penyiapan rencana unsur kota, pengaturan pemanfaatannya, pengelolaan pengendaliaanya, dan kaitannya dengan aspek-aspek lain terutama dengan aspek: pembangunan ekonomi kota, finansial kota, kelembagaan kota, serta partisipasi swasta dan masyarakat.

Perkembangan pusat kegiatan dan permukiman masyarakat di Pusat Kota Sidikalang yang terjadi saat ini adalah mengarah kepada struktur ruang bertipe liniear, intensitas kegiatan dan permukiman terjadi pada jaringan jalan utama dan pusat pertumbuhan yang memusat (konsentrik), dimana pola yang terjadi belum mencerminkan suatu bentuk grid linear yang ideal, sehingga terjadi ketidakefektifan dan ketidaefisienan tingkat pelayanan antara pusat kota dengan pusat-pusat kegiatan lingkungan kota dan interaksi antar pusat-pusat pertumbuhan kota.

Mengingat setiap perencanaan tata ruang haruslah mengacu pada rencana tata ruang di atasnya, maka perencanaan pengembangan wilayah Kota Sidikalang yang merupakan Ibukota Kabupaten Dairi, tidak lepas dari perencanaan RTRW Kabupaten Dairi, khususnya dalam hal ini adalah perencanaan struktur ruangnya. Karena struktur ruang merupakan salah satu instrument utama pengembangan sebuah wilayah.


(22)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perencanaan sistem pusat-pusat kegiatan Kabupaten Dairi terhadap

pengembangan wilayah Kota Sidikalang?

2. Bagaimana perencanaan sistem transportasi Kabupaten Dairi terhadap

pengembangan wilayah Kota Sidikalang ?

3. Bagaimana mengoptimalkan perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi agar

mampu menggerakkan perekonomian di Kota Sidikalang ?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis perencanaan sistem pusat-pusat kegiatan terhadap pengembangan

wilayah Kota Sidikalang.

2. Menganalisis perencanaan sistem transportasi terhadap pengembangan wilayah

Kota Sidikalang.

3. Untuk merumuskan upaya untuk mengoptimalkan perencanaan struktur ruang

agar mampu menggerakkan perekonomian di Kota Sidikalang.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah:


(23)

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai struktur ruang dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah perkotaan.

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Dairi dalam perencanaan

pengembangan ekonomi Kota Sidikalang.

3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Wilayah

Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk

memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut MT Zen pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga

merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses

tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrumen yang digunakan (Alkadri et.al, 2001).

Berdasarkan filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan

upaya memberdayakan stake holders (masyarakat, pemerintah, pengusaha) di suatu

wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi. Pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri (Alkadri et.al, 2001).


(25)

Tujuan utama dari pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumber daya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan (Ambardi dan Prihawantoro, 2002).

Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut UU No. 26/2007 tentan Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Susilo, 2002).

2.1.1. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori kutub pertumbuhan yang terkenal dikembangkan oleh Francois Perraoux seorang ahli ekonomi Perancis yang berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Adisasmita, 2005).


(26)

Lebih spesifik lagi Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut keseluruh daerah pengaruhnya (Dawkins, 2003). Konsep-konsep yang dikemukakan di dalam teori pusat pertumbuhan antara lain:

1. Konsep leading industries dan perusahaan propulsif, menyatakan bahwa di pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan besar yang bersifat propulsif yaitu perusahaan yang relatif besar, menimbulkan dorongan dorongan pertumbuhan nyata terhadap lingkungannya, mempunyai kemampuan inovasi tinggi, dan termasuk ke dalam industri-industri yang cepat berkembang. Dalam konsep ini leading industries adalah:

a. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang mendorong iklim pertumbuhan kondusif ke dalam suatu daerah permintaan terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi dan biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.

b. Mempunyai kaitan-kaitan antara industri yang kuat dengan sektor-sektor lainnya sehingga terbentuk forward linkages dan backward linkages.

2. Konsep polarisasi. Konsep ini mengemukakan bahwa pertumbuhan leading

industries yang sangat cepat (propulsive growth) akan mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke kutub pertumbuhan.

3. Konsep spread effect. Konsep ini mengemukakan bahwa pada suatu waktu


(27)

memasuki ruang-ruang di sekitarnya. Menurut Myrdal dan Hirschman, spread effect atau trickling down effect merupakan lawan dari back wash effect atau

polarization effect.

Dalam penerapannya, teori kutub pertumbuhan digunakan sebagai alat kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah. Banyak negara telah menerima konsep kutub pertumbuhan sebagai alat tranformasi ekonomi dan sosial pada skala regional. Namun demikian konsep ini banyak mendapat kritik para ahli, yang pada umumnya berpendapat bahwa penerapan konsep ini cenderung semakin meningkatkan disparitas wilayah negara sedang berkembang, terutama antara daerah pusat atau kutub dengan daerah pengaruhnya.

Gejala ini disebabkan karena pusat pertumbuhan yang umumnya adalah kota-kota besar ternyata sebagai pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial adalah cukup kuat, sehingga terjadi tarikan urbanisasi dari desa-desa wilayah pengaruh ke pusat pertumbuhan (kota besar), atau terjadi dampak polarisasi yaitu daerah pusat atau kutub cenderung lebih banyak menarik sumber daya dari daerah belakang daripada spread effect yang ditimbulkannya, akibatnya daerah pusat yang lebih maju akan bertambah maju, sedangkan daerah belakang akan semakin tertinggal.

2.1.2. Teori Tempat Pusat

Teori tempat pusat (Central Place Theory) pertama kali diperkenalkan oleh Walter Christaller seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman. Teori ini timbul dari perhatian Christaller terhadap penyebaran permukiman, desa, dan kota-kota yang


(28)

berbeda-beda ukuran luasnya di Jerman Selatan. Penyebaran tersebut kadang bergerombol atau berkelompok, kadang juga terpisah jauh antara satu dengan yang lainnya. Menurut Christaller dalam Jayadinata (1999), pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terjadi secara jelas di wilayah yang mempunyai syarat: (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batubara.

Menurut proses yang sama, jika perkembangan wilayah meningkat akan berkembang hierarki jenjang ketiga, yaitu salah satu kampung akan tumbuh menjadi kota yang dikelilingi oleh enam kampung yang dilayaninya. Pada hierarki jenjang keempat terdapat kota besar yang dikelilingi oleh enam kota yang dilayaninya. Karena perkembangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kota-kota umumnya timbul sebagai akibat perkembangan potensi wilayah (alam dan manusia), dan kemudian kota sebagai pusat pelayanan berperan dalam mengembangkan wilayah.

Sedangkan ide dasar yang dikemukakan oleh Losch dalam Dawkins (2003) adalah bahwa ukuran relatif wilayah pemasaran suatu perusahaan, digambarkan sebagai tempat penjualan produk perusahaan dipengaruhi oleh biaya-biaya transportasi dan skala ekonomi. Jika pengaruh skala ekonomi relatif lebih besar dari biaya transportasi maka seluruh produksi akan terkumpul pada satu tempat.


(29)

Sedangkan jika pengaruh biaya transportasi relatif lebih besar dari skala ekonomi maka perusahaan akan menyebar keseluruh wilayah.

Pembagian hierarki pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah sering tidak merata sehingga mengakibatkan ketidakmerataan di dalam pelayanan kepada masyarakat. Selain itu kadang akses untuk mencapai pusat pelayanan sulit, sehingga

mengakibatkan wilayah belakang (Hinterland) menjadi terbelakang karena tidak

ditunjang dengan jumlah fasilitas yang memadai untuk dapat meningkatkan produktivitasnya maupun pelayanannya kepada masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan suatu usaha untuk meningkatkan peran pusat-pusat pelayanan, termasuk dengan meningkatkan akses

kemudahan pencapaian dari wilayah belakang (hinterland) menuju pusat pelayanan

yang terdekat. Di dalam sistem pelayanan yang baik harus memiliki keseimbangan antara pola kebutuhan dan jasa pelayanan sehingga dalam peningkatan kebutuhan akan diikuti dengan jasa pelayanan yang semakin besar.

Apabila jumlah penduduk di suatu wilayah dengan satu pusat telah melebihi ambang batas dan terus meningkat hingga mencapai jumlah tertentu, kemungkinan penduduk yang berada jauh dari pusat telah melebihi jarak ekonomi, sehingga mereka akan mencari pelayanan di pusat-pusat lainnya yang terdekat. Dalam melakukan strategi pengembangan wilayah di pusat-pusat pelayanan memiliki beberapa keuntungan:


(30)

a) Adanya penghematan terhadap investasi yang dikeluarkan, karena strategi yang bersifat desentralisasi konsentrasi sehingga tidak semua wilayah mendapatkan investasi tetapi hanya wilayah yang berpotensi saja.

b) Adanya perkembangan pusat-pusat pelayanan hingga ke wilayah belakang (hinterland) melalui akses pencapaian yang memadai untuk mengatasi kesenjangan wilayah.

c) Terselenggaranya pengembangan antara kota dan desa dengan baik karena saling menguntungkan.

Selain itu Fisher dan Rushton menyatakan bahwa jaringan pusat-pusat pelayanan yang memiliki hierarki akan menguntungkan penduduk di sekitar pusat tersebut (Rezeki, 2007). Keuntungan tersebut adalah:

a) Membuat efisiensi bagi konsumen karena pemenuhan terhadap kebutuhan yang berbeda-beda akan didapatkan dengan sekali bepergian keluar dari desa.

b) Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai cara alternatif terhadap jalur hubungan sehingga jalur yang paling penting dan kemampuan pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal. c) Mengurangi panjang jalan yang harus ditingkatkan karena sudah diketahui jalur

yang paling penting bagi setiap desa sehingga dapat ditentukan prioritas dalam pengembangan jalan.

d) Mengurangi biaya untuk penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan bagi fasilitas-fasilitas yang ada, karena biaya tersebut ditanggung secara bersamasama.


(31)

e) Pengawasan lebih efektif dan ekonomis karena berbagai aktivitas bergabung menjadi satu di pusat pelayanan.

f) Memudahkan adanya pertukaran informasi antar berbagai aktivitas yang saling berhubungan.

g) Lokasi-lokasi dengan keunggulan lokasi sumberdaya akan berkembang secara spontan sebagai respon terhadap kebutuhan di wilayah belakangnya (hinterland).

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa wilayah dalam perkembanganya memiliki pusat dan sub pusat sebagai wilayah pengaruhnya. Pusat dapat diartikan sebagai kota yang menjadi pusat pelayanan dan terkonsentrasinya kegiatan. Besarnya wilayah kota dipengaruhi oleh jarak pelayanan bagi penduduknya, sehingga dalam satu pusat dapat memberikan pelayanan maksimalnya. Penduduk yang belum menerima pelayanan, akan dilayani oleh pusat lainnya sehingga hubungan antar pusat tersebut akan membentuk pola heksagonal dimana masing-masing wilayah pengaruh memiliki pusat sendiri.

2.2. Struktur Ruang

Kata kunci di dalam menggambarkan struktur pemanfaatan ruang adalah gambaran mengenai hubungan keterkaitan (linkages) antara aspek-aspek aktivitas-aktivitas pemanfaatan ruang. Salah satu wujud pendeskripsian wilayah sebagai suatu sistem, adalah aspek struktur hubungan antar komponen-komponen yang ada di dalam wilayah tersebut. Deskripsi interaksi antar komponen wilayah yang paling umum adalah aliran penduduk antar wilayah atau pusat-pusat konsentrasi wilayah,


(32)

yang sering digambarkan dengan aliran arus perjalanan (trips) dan migrasi. Aliran jumlah kendaraan baik dalam bentuk tabel maupun peta, merupakan pendekatan yang paling umum. Menurut UU No. 26/2007 tentan Penataan Ruang, Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Di dalam pendeskripsian interaksi spasial di daratan, secara spasial aspek keterkaitan digambarkan melalui unsur jaringan prasarananya (jaringan jalan raya,jaringan rel kereta api, dan lain-lain), sarana angkutan (bis, kendaraan roda empat, sepeda motor, dan lain-lain), oblek yang dialirkan (orang/penumpang, barang), jasa, informasi, dan lain-lain), besaran aliran (jumlah kendaraan, jumlah orang/penumpang, volume barang, nilai barang jasa yang dialirkan, dan lain-lain, hingga aspek tujuan/maksud dari interaksi yang dituju (tujuan pergi bekerja, disrribusi pemasaran output barang/jasa, tujuan-tujuan sosial, bersekolah/pendidikan, dan lain-lain) (Rustadi, dkk, 2011).

Aspek kedua struktur ruang setelah struktur jaringan prasarana adalah aspek struktur pusat-pusat aktivitas permukiman. Pada akhirnya, gambaran mengenai kapasitas atau hierarki pusat-pusat dan linkage berimplikasi pada kebutuhan sarana dan prasarana. Adanya mekanisme pasar menyebabkan terpenuhinya sebagian dari sarana yang dibutuhkan. Di daerah-daerah tertentu, terutama pada kawasan-kawasan permukiman yang tidak terjangkau trayek kendaraan umum, kebutuhan sarana transportasi dipenuhi oleh sektor informal penyedia jasa transportasi seperti ojek


(33)

kendaraan.bermotor roda dua. Fenomena ojek di berbagai lokasi nyaris mendekati fenomena mekanisme pasar yang sempurna berskala local jumlah ojek (sisi supply)

dan penumpang (sisi demand) berada di dalam keseimbangan yang dinamis sesuai

dengan kompetisi pasar di tingkat local, terlihat nyaris tanpa keterlibatan langsung pemerintah. Sarana angkutan umum roda empat umumnya merupakan sektor jasa transportasi yang tergolong sebagai sektor formal.

Pemerintah daerah terlibat langsung di dalam penyediaan sarana angkutan ini melalui mekanisme ijin trayek, kebijakan jalur trayek yang diselenggarakan, dan penetapan tarif angkutan. Sektor swasta yang memiliki ijin trayek menyediakan sarana angkutan roda empatnya. Sektor Prasarana transportasi berupa pembangunan jalan raya, jembatan dan terminal umumnya merupakan tanggungjawab dan kewenangan pemerintah di dalam penyediaannya (Rustadi, dkk, 2011).

2.3. Struktur Ruang dan Keberlanjutan Perkotaan

Pengaruh struktur ruang terhadap keberlanjutan perkotaan telah menjadi perhatian serius di kota-kota di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Studi-studi terhadap kotakota di Amerika Utara yang banyak dikategorikan sebagai “tidak berlanjut” (unsustainable) telah mempersalahkan pola ruang semrawut (sprawling) yang dicirikan antara lain oleh pola penggunaan lahan melompat (leapfrog), tata guna lahan terpencar dan tingkat kepadatan rendah (Gilham, 2002). Kerugian yang diakibatkan oleh pola ruang seperti ini sangat luas, meliputi antara lain konversi lahan hijau secara signifikan menjadi permukiman, komersial atau industri, memicu


(34)

tumbuhnya “lahan tidur”, ancaman pada ekosistem dan daerah yang sensitif secara lingkungan, meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi, dan menuntut pembangunan infrastruktur yang berlebihan (TCRP, 2002). Hal ini telah mendorong kota-kota di negara-negara maju untuk meneliti dampak struktur ruang dan karakteristiknya terhadap keberlanjutan perkotaan (urban sustainability) seperti studi oleh Marshall dan Banister (2005.

Sementara itu pada sisi lain, banyak kota-kota di negaranegara berkembang yang mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius belum melakukan identifikasi empiris yang memadai terhadap pola ruang yang dialami. Studi-studi yang mengamati karakteristik tata ruang di kota-kota berkembang justru sering salah kaprah dengan kenyataan tingginya kepadatan kota yang dalam literatur Barat diasosiasikan sebagai karakteristik kota yang berlanjut (sustainable). Adanya paradoks ini terlihat seperti pada studi yang dilakukan oleh Newman dan Kenworthy (1999) terhadap kota-kota di dunia yang pada satu sisi mengkategorikan kota-kota dengan tingkat kepadatan tinggi seperti Jakarta, Bangkok, Manila sebagai kota yang kompak dan lebih berlanjut, namun pada sisi lain kota-kota ini menderita kemacetan lalu-lintas dan tingkat polusi yang jauh lebih parah dibandingkan kota-kota di negara maju yang memiliki tingkat kepadatan rendah. Studi literature juga menunjukkan bahwa kota-kota berkembang di Asia Tenggara seperti Jakarta, Manila dan Bangkok mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius baik dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan seperti konversi lahan pertanian besar-besaran (Kelly, 1999), gangguan terhadap sistem ekologi dan krisis air bersih (Douglass,


(35)

2005), permasalahan banjir (Murakami dan Palijon, 2005), polusi udara dan kebisingan (Kittiprapas, 2001), polusi air tanah (Kelly, 1999), polusi tanah (Kittiprapas, 2001), penurunan muka tanah (Douglass, 2005), hujan asam dan kemacetan lalu-lintas (Steinberg, 2007).

Permasalahannya adalah bahwa penelitian empiris terhadap kota-kota di negara berkembang kurang memiliki konteks teori di mana distribusi kegiatan sosioekonomi kota dapat dijelaskan. Hal ini bertolak belakang dengan studi-studi empiris kota-kota negara maju, di mana penelitian terfokus pada pengujian pola ruang

monosentris dan polisentris (Anas et al., 1998) serta dampaknya terhadap

keberlanjutan kota, terutama dari sisi keberlanjutan transportasi (transport

sustainability). Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Alpkokin et al. (2008) dan Vichiensan (2007), justru berspekulasi bahwa kota-kota di negara berkembang tengah mengalami dinamika yang mirip dengan kota-kota di negara maju, di antaranya adalah terjadinya desentralisasi fungsi pusat-pusat bisnis di luar pusat kegiatan bisnis di tengah kota, yaitu berupa peralihan dari struktur kota monosentris menuju polisentris. Hal ini bertolak belakang dengan studi yang dilakukan oleh Kelly (1999) dan McGee (2008) yang menyarankan bahwa latar belakang historis dan karakteristik sosioekonomi yang unik telah memberi pengaruh yang kuat terhadap pola pertumbuhan kota-kota di Negara berkembang sehingga menghasilkan struktur ruang yang sangat berbeda dengan yang dialami oleh kota-kota di negara maju.

Model alternatif terhadap struktur ruang di kota-kota di negara berkembang diajukan oleh McGee (2008) yang mengidentifikasi fenomena mega-urbanisasi atau


(36)

extended metropolitan region (EMR) di mana terbentuk urbanisasi pada skala

wilayah (region-based urbanisation) yang menghasilkan suatu wilayah luas yang

terintegrasi secara ekonomi, yang terdiri dari sebuah kota inti (yang pada banyak kasus merupakan ibukota negara atau propinsi), wilayah pinggir kota (peri-urban) di sekeliling kota inti di mana terdapat kota-kota yang lebih kecil, kawasan industri

maupun kota-kota satelit, dan zona paling luar (outer zones) di mana terdapat

pertemuan kegiatan perkotaan dan perdesaan. Pada zona paling luar inilah terdapat kawasan “desakota” yang dicirikan oleh berbaurnya kegiatan kota dan desa. Paradoks pada studi Newman dan Kenworthy (1999) seperti disebutkan di atas timbul karena adanya asumsi bahwa pola urbanisasi kota-kota di Negara maju juga dialami oleh kota-kota negara berkembang di Asia Tenggara tersebut. Bila sudut pandang mega-urbanisasi yang digunakan, sulit untuk mengkategorikan Jabodetabek, misalnya, sebagai unit perkotaan yang kompak. Hanya saja, teori mega-urbanisasi ini belum diteliti secara empiris dalam skala yang detail (Hakim dan Parolin, 2008).

Dalam dua dekade terakhir, kajian-kajian empiris terhadap struktur ruang kota

didominasi oleh usaha untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan (spatial

structure of employment), karakteristik fisik serta dampaknya terhadap pola transportasi, khususnya perjalanan ke tempat kerja (commuting trip). Metode yang sering digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan di wilayah

perkotaan adalah pendekatan cut-off (Giuliano dan Small, 1991) yang menerapkan

batasan kepadatan pekerjaan (employment density) tertentu untuk menentukan apakah


(37)

Walaupun metode ini cukup populer digunakan, kelemahan utama terletak pada subyektifitas dalam menentukan nilai batasan (cut-off) yang digunakan, sehingga mengakibatkan inkonsistensi hasil.

Sejumlah metode yang bersifat non-parametric telah diusulkan untuk

mengatasi kelemahan tersebut. Di antara metode-metode yang diusulkan, metode

analisa eksplorasi data spasial (Exploratory Spatial Data Analysis atau ESDA)

memiliki kelebihan berupa pengikutsertaan aspek kebergantungan spasial (spatial

dependence) atau dikenal dengan autokorelasi spasial (spatial autocorrelation). Metode ESDA memperoleh momentum dalam beberapa tahun terakhir dengan dirumuskannya statistik autokorelasi spasial lokal (local spatial autocorrelation) oleh Anselin (1995) dan Ord dan Getis (1995). Kedua statistik, yaitu lokal banyak digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang kota-kota di dunia seperti studi yang dilakukan Carrol et al. (2008), Riguelle et al. (2007), Guillain dan Gallo (2006), Sohn

et al. (2005), dan Baumont et al. (2004).

2.4. Kota dan Daerah di Belakangnya

Sudah umum diketahui bahwa didalam suatu wilayah ada tempat-tempat

dimana penduduk/kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk/ kegiatan kurang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi penduduk/ kegiatan tersebut, dinamakan dengan berbagai istilah: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman atau daerah nodal. Masing-masing istilah itu bersangkut paut dengan asosiasi pikiran kita tentang fungsi apa yang


(38)

hendak ditonjolkan atas tempat-tempat konsentrasi tersebut. Daerah di luar pusat konsentrasi tersebut dinamakan dengan berbagai istilah seperti daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian atau daerah perdesaan. Didalam bab ini akan dijelaskan apa yang mendorong terjadiny konsentrasi tersebut dan bagaimana bentuk hubungan antara kota dengan daerah belakangnya. Hal ini sangat bermanfaat dalam mengatur pembangunan kota dan daerah belakangnya yang menjamin suatu hubungan yang saling menguntungkan.

2.4.1. Definisi Kota

Didalam perencanaan wilayah sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat pemukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnyapun berbeda dibanding dengan daerah pedesaan/pedalaman, padahal di pedesaanpun terdapat lokasi permukiman plus berbagai kegiatan non-pertanian seperti perdagangan, warung kopi, tukang pangkas, tukang jahit pakaian, dan lain-lain walaupun dalam jumlah dan intensitas yang kecil dan biasanya hanya ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat setempat.

Karena fungsinya yang berbeda, maka kebijakan pembangunan pun bisa berbeda antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan. Di pedesaan umumnya yang menjadi kegiatan basis adalah sektor penghasil barang (pertanian, industri dan pertambangan). Di perkotaan selain sektor penghasil barang maka sektor perdagangan dan jasa dapat menjadi basis asalkan kegiatan tersebut mendatangkan


(39)

uang dari luar wilayah (pelanggannya datang dari luar wilayah). Karena kegiatan sektor penghasil barang, seringkali kegiatannya dibatasi di perkotaan maka kota umumnya mengandalkan kegiatan perdagangan dan jasa sebagai basis utama.

Dengan demikian maka adalah wajar apabila program pemerintah pun seringkali dibedakan antara program untuk perkotaan dan program untuk perdesaan. Namun perlu dicatat disini bahwa sektor perdagangan dan jasa diluar yang melayani pariwisata, bukanlah basis murni. Perkembangan perdagangan dan jasa di perkotaan tergantung pada perkembangan perekonomian wilayah belakangnya. Perkembangan perekonomian wilayah belakangnya tergantung pada sektor basis di wilayah belakang tersebut. Dengan demikian perkembangan perekonomian secara keseluruhan tetap tergantung pada perkembangan sektor basis murni.

Didalam menetapkan apakah sesuatu konsentrasi pemukiman itu sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan kepadatan penduduk. Bagi kota yang dulunya sudah berstatus kotamadya atau sudah dikenal luas sebagai kota, maka permasalahannya adalah berapa besar sebetulnya kota tersebut, misalnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk ataupun luas wilayah yang masuk dalam kesatuan kota. Menggunakan jumlah penduduk berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, seringkali hasilnya tidak tepat untuk menggambarkan besarnya sebuah kota, karena terkadang ada bagian (pinggiran) dari wilayah administrasi kota tersebut yang belum tepat dikatakan sebagai wilayah kota, karena belum memenuhi persyaratan sebagai wilayah kota (misalnya masih sebagai


(40)

wilayah pertanian/ perkebunan). Pada kondisi lain kota itu sebetulnya sudah melebar melampaui batas administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah tetangga yang bukan berada pada wilayah administrasi kota tersebut. Didalam menganalisis fungsi kota ataupun dalam menetapkan orde perkotaan, maka luas dan penduduk sebaiknya didasarkan atas wilayah kota yang benar-benar telah memiliki ciri-ciri perkotaan.

Permasalahan bagi konsentrasi pemukiman atau bagi kota kecil (ibukota kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau masih sebagai desa. Jadi perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi konsentrasi itu sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum. Biro Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan “Survei Status Desa/Kelurahan 2000” yang dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa/ kelurahan itu dikategorikan sebagai desa atau sebagai kota. Kriteria yang digunakan adalah:

1) Kepadatan penduduk per km2

2) Prosentase rumah tangga yang mata-pencaharian utamanya adalah pertanian atau

non-pertanian;

,

3) Prosentase rumah tangga yang memiliki telepon;

4) Prosentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik;

5) Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan tersebut seperti: fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas lain seperti: hotel, bilyar, diskotik, karaoke, panti pijat dan salon. Masing-masing fasilitas ini diberi skor


(41)

(nilai). Atas dasar skor gabungan yang dimiliki desa/kelurahan tersebut, maka ditetapkanlah apakah masuk kategori kota dan dinamakan kelurahan atau masuk kategori desa. Atas dasar gabungan skor beberapa kelurahan/desa yang berada dalam satu wilayah administrasi maka ditetapkanlah wilayah tersebut masuk dalam salah satu kategori berikut: Perkotaan Besar, Perkotaan Sedang, Perkotaan Kecil dan Perdesaan.

Kriteria BPS diatas hanya didasarkan atas kondisi (besaran) phisik dan mestinya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan fungsi perkotaan. Misalnya mengenai mata pencaharian penduduk perlu dibuat ketentuan bahwa mata-pencaharian penduduknya adalah bervariasi, dan tidak tergantung hanya pada satu sektor yang dominan (walaupun itu bukan pertanian), sehingga terdapat transaksi antar berbagai kegiatan/sektor yang bernilai ekonomi. Selain itu perlu ditambah dengan kriteria bahwa konsentrasi itu berfungsi melayani wilayah belakangnya. Artinya berbagai fasilitas yang ada di tempat itu seperti tempat perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain tidak hanya melayani/ dimanfaatkan oleh penduduk kota itu sendiri, tapi juga melayani masyarakat yang datang dari luar kota yang sering disebut sebagai wilayah belakangnya.

Di lain sisi Direktorat Cipta Karya Departemen PU (berubah menjadi KIMPRASWIL tapi kemudian berubah lagi ke nama semula) secara implicit meganggap bahwa suatu konsentrasi pemukiman yang kepadatannya 50 jiwa atau lebih per ha berhak mendapat pelayanan fasilitas perkotaan (seperti pelayanan sampah, air minum, dan lain-lain). Juga ada kriteria bahwa jaringan jalannya sudah


(42)

berlapis (berbentuk grid, bukan berbentuk pita atau ribbon type). Kriteria diatas masih perlu dipertegas tentang berapa luas wilayah minimal yang kepadatannya 50 jiwa atau lebih per ha dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, artinya tidak terputus-putus. Dalam kebutuhan praktis (misalnya dalam menetapkan ibukota kabupaten yang berhak mendapat program P3KT perkotaan), maka Dirjen Cipta Karya Dep. P.U. menetapkan jumlah penduduk ibukota kabupaten itu minimal 10.000 jiwa. Tetapi instansi yang sama untuk kondisi yang berbeda menetapkan bahwa ibukota kecamatan yang perlu disusun Rencana Tata Ruangnya adalah setidak-tidaknya terdapat 10 ha lahan dengan jumlah penduduk minimal 1.000 jiwa.

Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Fasiltas perkotaan/fungsi perkotaan antara lain adalah sebagai berikut:

1) Pusat Perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan atas: melayani masyarakat kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggirannya (daerah yang berbatasan), melayani beberapa kota kecil (misalnya Pusat Kabupaten), melayani beberapa kabupaten/kota yang lebih kecil lainnya (misalnya Pusat Propinsi) dan pusat kegiatan perdagangan antar pulau/ekspor di propinsi tersebut atau Pusat perdagangan beberapa propinsi sekaligus.

2) Pusat Pelayanan Jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan. Jasa

perorangan, misalnya: tukang-pangkas, salon, tukang-jahit, perbengkelan, reparasi alat elektronik, pengacara, dokter, notaris, warung-kopi/nasi, dan lain-lain. Jasa


(43)

perusahaan misalnya: Perbankan, Perhotelan, Asuransi, Pengangkutan, Pelayanan Pos, Tempat hiburan, Jasa Penyewaan Peralatan, dan lain-lain.

3) Tersedianya Prasarana Perkotaan seperti: Sistim Jalan Kota yang baik, Jaringan Listrik, Jaringan Telepon, Jaringan Air Minum, Pelayanan Sampah, Sistim Drainase, Taman Kota, Pasar, dan lain-lain.

4) Pusat Penyediaan Fasilitas Sosial seperti Prasarana pendidikan (Universitas,

Akademi, SMU, SLTP, SD), termasuk berbagai kursus ketrampilan, Prasarana Kesehatan dengan berbagai tingkatannya termasuk Apotik, Tempat beribadah, Prasarana Olahraga, Prasarana Sosial seperti Gedung pertemuan,dan lain-lain. 5) Pusat Pemerintahan, banyak kota adalah sekaligus lokasi pusat pemerintahan. Kota

terbesar di suatu propinsi seringkali adalah pusat pemerintahan tingkat propinsi, demikian pula untuk tingkat kota/kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat kelurahan/desa. Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota, karena banyak masyarakat yang perlu datang ke tempat itu dalam rangka urusan pemerintahan.

6) Pusat Komunikasi dan Pangkalan Transportasi, artinya dari kota tersebut masyarakat bisa berhubungan ke banyak tujuan dengan berbagai pilihan alat penghubung. Masyarakat bisa berkomunikasi ke banyak tempat dengan berbagai pilihan alat penghubung (mis. telepon, telex, internet, radio, faksimil, dan lain-lain). Bisa mengirim uang atau berita dengan banyak cara (bank, kantor pos, perusahaan pengiriman - forwarding, dan lain-lain). Bisa bepergian langsung ke berbagai tujuan


(44)

dengan berbagai pilihan alat transportsi (Bus, Kapal Laut, Kereta Api, dan Pesawat Udara)

7) Lokasi pemukiman yang tertata, sesuatu lokasi dikatakan kota karena jumlah

penduduknya yang banyak. Penduduk membutuhkan tempat tinggal. Hal ini berarti kota adalah sekaligus lokasi pemukiman, dan mestinya di kota, pemukiman itu kelihatan teratur/tertata (karena harus meminta IMB bila ingin membangun).

Makin banyak fasilitas perkotaan yang dimiliki serta makin banyak fungsi perkotaan yang di-embannya, menggambarkan hierarki yang sebenarnya dari kota tersebut. Makin tinggi hierarkinya makin luas wilayah pengaruhnya

2.4.2. Bentuk Hubungan Kota dengan Daerah Dibelakangnya

Hubungan antara kota dengan wilayah belakangnya dapat dibedakan antara:

kota generatip, kota parasitip, dan enclave. Kota generatip ialah kota yang

menjalankan bermacam-macam fungsi baik untuk dirinya sendiri maupun untuk wilayah belakangnya, sehingga bersifat saling menguntungkan/mengembangkan. Kota-kota seperti ini membutuhkan bahan makanan, bahan mentah, dan tenaga kerja dari daerah pedalaman, dengan kata lain dapat menyerap/memasarkan produksi daerah pedalaman dan sekaligus menyediakan kebutuhan daerah pedalaman. Daerah pedalaman menjadi tempat pemasaran produk yang dihasilkan di perkotaan. Dengan demikian terdapat kebutuhan yang timbal balik dan saling menunjang.

Perkembangan perkotaan akan meningkatkan daya serapnya terhadap produk pedalaman sehingga kedua belah pihak akan berkembang sejajar. Selain daripada itu


(45)

perkotaan merupakan sumber inovasi dan modernisasi yang dapat berguna bagi kemajuan wilayah pedalaman.

Kota parasitip adalah kota yang tidak banyak berfungsi untuk menolong wilayah belakangnya dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di pedesaan. Kota parasitip ini umumnya adalah kota yang belum banyak berkembang industrinya dan masih memiliki sifat daerah pertanian tapi juga perkotaan sekaligus. Kegiatan industri/ kerajinan disini sering bersifat duplikatip dengan apa yang dapat dilakukan orang di pedesaan, misalnya: pembuatan minyak kelapa secara sederhana, anyaman tikar, pembuatan tempe, tahu, tape, roti sederhana, kue-kue, dan lainnya. Karena kegiatan yang di kota memiliki pasar yang lebih luas, maka kegiatan yang di desa menjadi kalah bersaing dan tidak mampu bertahan. Padahal kegiatan tersebut di desa merupakan sumber mata-pencaharian tambahan dan banyak dilakukan sebagai pekerjaan pasca panen.

Dengan lumpuhnya kegiatan pasca panen tersebut, maka daerah pedesaan jadi lebih menderita. Hal ini dapat berakibat bertambahnya pengangguran tidak kentara di pedesaan dan tidak dapat ditampung oleh perkotaan karena industrinya sendiri belum berkembang dan belum mampu menembus pasar diluar daerah pengaruhnya yang sempit selama ini. Jadi selama kota itu belum mampu memasarkan hasil produksinya keluar dari wilayah pengaruhnya yang sempit (daerah pedalaman sekitarnya), maka kota itu belum mampu menolong dirinya sendiri untuk berkembang dan dengan sendirinya belum mampu menggerakkan wilayah belakangnya (ingat teori basis ekspor).


(46)

Diluar dua bentuk hubungan yang telah dibicarakan diatas, maka masih ada satu bentuk hubungan yang tidak menguntungkan daerah pedalaman, yaitu suatu kota yang bersifat enclave (tertutup). Hubungan yang tidak menguntungkan ialah apabila kota itu berkembang tapi tidak mengharapkan input dari daerah sekitarnya melainkan dari luar. Dalam hal ini kota itu adalah suatu enclave yaitu seakan-akan terpisah samasekali dari daerah sekitarnya (daerah pedalaman). Buruknya prasarana, perbedaan taraf hidup, perbedaan tigkat pendidikan yang sangat menyolok dan faktor lain dapat membuat kurangnya hubungan antara perkotaan dengan daerah pedalaman di sekitarnya. Kalaupun ada orang pedalaman yang pindah ke kota untuk bekerja di kota tersebut, maka umumnya yang bisa pindah tersebut adalah putra-putra terbaik di desa itu. Hal ini membuat daerah pedalaman itu makin ketinggalan dan keadaan/hubungan ekonomi antara kota dengan desa di sekitarnya makin pincang.

Biasanya enclave ini terjadi pada wilayah pemukiman (kompkeks perumahan) pertambangan besar yang ada di pedalaman. Pemukiman itu biasanya ditata seperti sebuah kota. Untuk menghindari hal ini maka daerah pedalaman perlu lebih didorong sedangkan daerah perkotaan mungkin dapat berkembang atas kemampuan sendiri. Ada baiknya pertambangan itu diminta untuk membantu peningkatan kehidupan masyarakat di sekitar wilayah kerjanya. Secara umum sering kali agar pertumbuhan kota dan daerah belakangnya dapat sejajar maka daerah belakang tersebut memerlukan bantuan yang lebih banyak.


(47)

2.4.3. Hirarki Perkotaan

Hirarki perkotaan adalah menggambarkan jenjang fungsi perkotaan sebagai akibat perbedaan jumlah, jenis dan kualitas dari fasilitas yang tersedia di kota tersebut. Atas dasar perbedaan itu maka volume dan keragaman pelayanan yang dapat diberikan masing-masing jenis fasilitas juga berbeda. Perbedaan fungsi ini umumnya terkait langsung dengan perbedaan besarnya kota (jumlah penduduk). Perbedaan fungsi ini juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas pengaruh atau wilayah belakang dari kota tersebut. Dengan demikian ada kota yang menjalankan banyak fungsi sekaligus dengan kualitas pelayanan yang tinggi dan ada kota yang hanya menjalankan beberapa fungsi saja dengan kualitas yang kurang memadai. Sejalan dengan itu, ada kota yang wilayah pengaruhnya cukup luas bahkan juga termasuk kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya dan ada kota yang pengaruhnya hanya beberapa desa di sekitarnya saja.

Hirarki perkotaan seringkali sudah tercipta secara alamiah (mekanisme pasar), akan tetapi bisa juga dimodifikasi/dirubah sebagai akibat keputusan pemerintah. Misalnya sebuah kota kecil yang diputuskan pemerintah menjadi ibukota kabupaten, secara perlahan akan menaikkan hirarki dari kota tersebut, apabila keputusan itu direspon oleh masyarakat/ pasar. Hirarki perkotaan sangat perlu diperhatikan dalam perencanaan wilayah karena menyangkut fungsi yang ingin diarahkan untuk masing-masing kota.

Terlaksananya fungsi itu berkaitan dengan fasilitas kepentingan umum yang akan dibangun di masing-masing kota. Banyaknya fasilitas yang harus tersedia di


(48)

masing-masing kota harus sejalan dengan luas pengaruh kota tersebut, atau jumlah penduduk yang diperkirakan akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Didalam suatu wilayah, kota orde tertinggi diberi ranking-I. Penentuan orde sangat terkait dengan luas wilayah analisis. Bagi Indonesia, Jakarta adalah kota orde-I. Bagi propinsi Sumatera Utara, Medan adalah kota orde–I. Bagi sebuah kabupaten kemungkinan besar ibukota kabupaten itu yang menjadi orde-I, seandainya ibukota itu adalah kota terbesar di kabupaten tersebut. Untuk kepentingan perencanaan wilayah, maka setiap kota di sesuatu wilayah harus ditetapkan ordenya. Orde itu ditetapkan berdasarkan kondisi riel di lapangan ataupun karena adanya keinginan untuk merubah orde sesuatu kota. Orde suatu kota bisa dirubah secara bertahap dengan merencanakan penambahan berbagai fasilitas di kota tersebut, dimana masyarakat diperkirakan akan mau memanfaatkan fasilitas tersebut sebagaimana mestinya (direspon oleh pasar).

2.4.4. Kota Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dapat diartikan dengan dua cara yaitu

secara fungsional dan secara geographis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya, memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar (ke daerah belakangnya). Secara geographis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas

dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang


(49)

senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Tidak semua kota generatip dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat Pertumbuhan harus memiliki empat karakteristik yaitu:

1. Ada hubungan internal antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai

ekonomi

2. Ada multiplier effect (efek pengganda) 3. Ada konsentrasi geographis

4. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya.

Peranan dari masing-masing karakteristik itu untuk menjadikan kota itu sebagai pusat pertumbuhan akan dikemukakan berikut ini:

Ada hubungan internal dari berbagai macam kegiatan: Hubungan internal berupa adanya transaksi ekonomi diantara berbagai cabang kegiatan sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya, sehingga bila ada satu sektor yang bertumbuh, akan mendorong bertumbuhnya sektor lainnya, karena saling terkait. Jadi kehidupan kota menjadi suatu irama dari berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan synergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan. Pertumbuhan tidak terlihat pincang, pertumbuhan satu sektor diikuti pertumbuhan sektor lainnya. Pertumbuhan dikatakan pincang apabila ada sektor yang bertumbuh cepat tetapi sektor lainnya seperti tidak terkena imbasnya sama-sekali.


(50)

Hal ini dapat terjadi misalnya pada sebuah kota yang fungsinya hanya sebagai perantara (transit). Kota perantara adalah apabila kota itu hanya berfungsi mengumpulkan berbagai bahan dari daerah belakangnya dan menjualnya ke kota lain yang lebih besar/luar wilayah dan membeli dari kota lain berbagai kebutuhan masyarakat dan dijual/didistribusikan ke wilayah belakangnya. Pada kota perantara ini tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang menciptakan nilai tambah. Kalaupun ada pengolahan hanya bersifat penyortiran (seleksi) dan pembungkusan, sedangkan kegiatan yang bersifat mengubah bentuk dan kegunaan barang masih sedikit. Dengan demikian sedikit sekali terjadi interaksi dengan sektor lain di kota tersebut. Pertumbuhan sektor perantara ini tidak banyak mendorong pertumbuhan sektor lain di kota itu.

Ada efek pengganda (multiplier effect): Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu sektor yang karena permintaan dari luar wilayah, produksinya meningkat; karena ada keterkaitan membuat banyak sektor lain juga akan meningkat produksinya dan akan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibanding dengan kenaikan permintaan dari luar untuk sektor tersebut (sektor yang pertama meningkat permintaannya). Unsur efek pengganda ini sangat berperan dalam membuat kota itu mampu memacu pertumbuhan wilayah belakangnya. Karena kegiatan berbagai sektor di kota meningkat tajam, maka kebutuhan kota akan bahan baku/tenaga kerja yang dipasok dari wilayah belakangnya akan meningkat tajam pula.


(51)

Ada konsentrasi geografis: Konsentrasi geografis dari berbagai sektor/fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut. Orang yang datang ke kota tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhannya pada lokasi yang berdekatan. Jadi kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu, tenaga dan biaya. Hal ini membuat kota itu menarik untuk dikunjungi dan karena

volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan economic of scale,

sehingga tercipta efisiensi lanjutan.

Bersifat mendorong wilayah belakangnya: Hal ini berarti antara kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Apabila terdapat hubungan yang harmonis dengan wilayah belakangnya dan kota itu memiliki tiga karakteristik yang disebutkan terdahulu, maka otomatis kota itu akan berfungsi untuk mendorong wilayah belakangnya. Jadi agar sesuatu konsentrasi kegiatan ekonomi dapat dianggap pusat pertumbuhan, apabila konsentrasi itu dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi baik ke dalam (diantara berbagai sektor didalam kota) maupun ke luar (ke wilayah belakangnya).

2.5. Penelitian Sebelumnya

Sasongko (2005), melakukan penelitian dengan judul: Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya (Studi Kasus: Desa Puyung – Lombok Tengah).


(52)

Berdasarkan kajian budaya Sasak di Desa Puyung nampak bahwa determinasi budaya muncul pada ruang permukiman, dan selanjutnya dapat menunjukkan adanya struktur ruang. Seting dan cakupan ruang dalam peristiwa ritual pada dasarnya beragam, serta menunjukkan adanya pengunaan ruang yang tetap maupun temporal.

Kusumastuti (2008), melakukan penelitian dengan judul Penyediaan Prasarana dan Sarana Permukiman sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi dalam Wilayah Pakal Benowo. Kecamatan Pakal merupakan kawasan pinggiran kota yang secara umum kehidupan penduduknya masih berciri pedesaan yang didominasi oleh aktivitas pertanian dan tambak. Tujuan studi adalah untuk mengetahui potensi dan kearifan lokal dalam pengadaan perumahan bagi pekerja-pekerja industri, khususnya yang dilakukan oleh pengembang perumahan informal, tanpa bantuan modal dari institusi keuangan dan teknis, untuk mengetahui keterbatasan penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukimannya. Data didapat melalui daftar pertanyaan, pengamatan dan wawancara langsung dengan penduduk kelurahan Babat Jerawat, Benowo Kecamatan Pakal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah kemungkinan tetap memiliki potensi dengan proses secara informal dan berkesinambungan, dan keterbatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman disebabkan oleh keterbatasan dana, sehingga menemui kendala dalam proses pengembangannya.

Buchori, dkk (2008) melakukan penelitian dengan judul: Efektivitas Rencana Tata Ruang Dalam Mengarahkan Pembangunan Infrastruktur (Kasus: Jalan dan Drainase di Kota Semarang). Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengkaji


(53)

efektivitas rencana tata ruang kota dalam mengarahkan pembangunan prasarana perkotaan. Hasil studi memperlihatkan bahwa rencana tata ruang belum cukup efektif dalam mengarahkan pembangunan infrastruktur di Kota Semarang. Beberapa hal yang menyebabkan antara lain: adanya aspek/tekanan politis dalam kegiatan perencanaan, penganggaran dan pembangunan infrastruktur, kurang akuratnya data dan lemahnya analisis dalam proses penyusunan rencana infrastruktur di dalam dokumen rencana tata ruang, dan masih kentalnya ego sektoral (dinas sektoral) dalam perencanaan, penganggaran dan pembangunan infrastruktur.

2.6. Kerangka Pemikiran

Struktur pemanfaatan ruang merupakan hubungan keterkaitan (linkage) antara aktivitas-aktivitas pemanfaatan ruang, yang dapat disekripsikan melalui interaksi secara spasial melalui unsur prasarananya (sarana transportasi). Aspek kedua struktur ruang adalah pusat-pusat aktivitas permukiman. Struktur pemanfaatan ruang Kabupaten Dairi tertuang dalam RTRW Kabupaten Dairi 2010 – 2030. Dalam rencana struktur ruang Kabupaten Dairi ditentukan bahwa Kota Sidikalang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Kabupaten Dairi dengan fungsi utama sebagai Ibukota Kabupaten Dairi, pusat pelayanan pemerintahan kabupaten, pusat pendidikan kabupaten, pusat pelayanan kesehatan, dan pusat perdagangan dan jasa regiona, pusat koleksi dan distribusi barang dan jasa, pusat permukiman perkotaan, pusat pengembangan kawasan agropolitan.


(54)

Mengacu pada rencana struktur ruang tersebut, maka pengembangan wilayah Kota Sidikalang diarahkan dalam upaya mendukung perekonomian daerah melalui pusat-pusat kegiatan dan transportasi. Pengoptimalan pusat-pusat kegiatan dalam rencana pembangunan dan pembangunan transportasi selanjutnya akan mendukung dalam pengembangan wilayah Kota Sidikalang.

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

RTRW KABUPATEN DAIRI

STRUKTUR RUANG KAB. DAIRI

PUSAT-PUSAT KEGIATAN

SISTEM TRANSPORTASI

ARAHAN PENGEMBANGAN KOTA SIDIKALANG

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011.

3.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu jenis penelitian yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial (Singarimbun dan Effendi, 1989).

3.3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yang bersumber dari Bappeda Kabupaten Dairi, BPS Kabupaten Dairi dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.

Data yang dibutuhkan untuk menjadi bahan penelitian ini adalah RTRW Kabupaten Dairi, RDTRK Pusat Kota Sidikalang, serta Data Statistik Kabupaten Dairi.

3.4. Model Analisis

Tujuan dari analisa dan pembahasan adalah mengolah semua data yang terkumpul untuk mengetahui kaitan antara satu data dengan data lainnya, hal ini


(56)

dipergunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian diskriptif kualitatif dengan metode rasionalistik lebih menekankan pada perubahan-perubahan struktur ruang pemekaran dan perkembangan wilayah yang didapat dari literatur dan fenomena dilapangan. Karena perkembangan yang terjadi merupakan akumulasi dari berbagai keputusan dan kondisi yang ada.

Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, dimana

mendiskripsikan kecendrungan, merumuskan pola perkembangan struktur ruang Kabupaten Dairi sesuai dengan RTRW dihubungkan dengan pengembangan Kota Sidikalang sebagai Pusat Kegiatan Wilayah, melalui RDTR Kota Sidikalang.

Tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Mendiskripsikan perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi berdasarkan

RTRW, khususnya pusat-pusat kegiatan dan sistem transportasinya, dimana Kota Sidikalang merupakan BWK Pusat Kota dan ditetapkan sebagai PKW.

2. Mendeskripsikan perencanaan struktur ruang berdasarkan RDTR Kota

Sidikalang, khususnya pusat-pusat kegiatan dan sistem transportasi Kota Sidikalang dan keterkaitannya dengan wilayah disekitarnya.

3. Merumuskan konsep struktur ruang makro untuk memperoleh konsep

pengembangan struktur ruang BWK Pusat Kota Sidikalang secara makro berdasarkan RTDR Kota Sidikalang.


(57)

4. Merumuskan konsep struktur ruang BWK pusat Sidikalang dalam lingkup mikro (internal) berdasarkan RTDRK Kota Sidikalang.

5. Analisis deskripsi optimalisasi rencana pengembangan transportasi Kabupaten

Dairi agar mampu menggerakkan perekonomian Kabupaten Dairi secara umum yang mendorong pengembangan Kota Sidikalang sebagai pusat kegiatan ekonomi dari Kabupaten Dairi secara khususnya.

6. Analisis deskripsi optimalisasi rencana pengembangan BWK Pusat Kota

Sidikalang agar mampu menggerakkan perekonomian Kota Sidikalang dan wilayah sekitarnya..

7. Analisis deskripsi kesesuaian dan daya dukung lahan Kawasan Pusat Kota untuk

pengoptimalan perencanaan struktur ruang untuk menggerakkan perekonomian Kota Sidikalang.


(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Wilayah Studi

Kabupaten Dairi merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang terletak disebelah Barat Provinsi Sumatera Utara, serta merupakan pintu keluar - masuk dari/ke Provinsi Aceh dari sebelah Barat. Secara geografis Kabupaten Dairi berada pada koordinat 98°00’ - 98°30’ BT dan 2°15’ 00’’-3°00’00’’ LU, dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kabupeten Karo dan Kabupaten Aceh Tenggara

Sebelah Selatan : Kabupaten Pakpak Bharat

Sebelah Timur : Kabupaten Samosir

Sebelah Barat : Provinsi Aceh

Kabupaten Dairi berada di dataran tinggi Bukit Barisan dengan ketinggian sekitar 400 - 1.700 meter diatas permukaan laut (dpl) atau sekitar 200 meter diatas permukaan Danau Toba, dengan karakter topografi yang spesifik dan bervariasi, memiliki ceruk yang cukup dalam dimana pada musim hujan berfungsi sebagai saluran drainase alami. Secara ekologis, Kabupaten Dairi merupakan penyangga


(59)

ekosistem Danau Toba dan menyumbang sebagian besar input air ke Danau Toba melalui belasan sungai-sungainya.

Luas wilayah Kabupaten Dairi adalah 192.780 ha atau sekitar 2,69% dari luas Provinsi Sumatera Utara dengan Ibukota Kabupaten adalah Sidikalang, terdiri dari 15 (lima belas) kecamatan, 169 desa/kelurahan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Wilayah Administrasi Kabupaten Dairi

No. Kecamatan Ibukota

Kecamatan

Jumlah Desa/ Kelurahan

Luas Wilayah (Ha)

1. Sidikalang Sidikalang 11 7.317

2. Sitinjo Sitinjo 4 5.315

3. Berampu Berampu 5 3.168

4. Parbuluan Sigalingging 11 22.700

5. Sumbul Sumbul 19 14.900

6. Silahisabungan Silalahi 5 11.920

7. Silima Punggapungga Parongil 16 10.168

8. Lae Parira Lae Parira 9 4.272

9. Siempat Nempu Buntu Raja 13 6.030

10. Siempat Nempu Hulu Silumboyah 12 9.360

11. Siempat Nempu Hilir Sopobutar 10 10.450

12. Tigalingga Tigalingga 14 20.187

13. Gunung Sitember Gunung Sitember 8 7.520

14. Pegagan Hilir Tiga Baru 13 15.533

15. Tanah Pinem Kuta Buluh 19 43.940

Jumlah 169 192.780

Sumber: Dairi Dalam Angka, 2010.

Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Dairi terdapat pada Lampiran-1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tesis ini.


(60)

4.2. Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi Berdasarkan RTRW Kabupaten Dairi Tahun 2010-2030

Struktur ruang wilayah kabupaten merupakan kerangka tata ruang wilayah kabupaten yang tersusun atas konstelasi pusat-pusat kegiatan yang berhierarki satu sama lain yang dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten terutama jaringan transportasi.

Pusat kegiatan di wilayah kabupaten merupakan simpul pelayanan sosial, budaya, ekonomi, dan/atau administrasi masyarakat di wilayah kabupaten, sedangkan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten meliputi sistem prasarana transportasi, energi, telekomunikasi, dan sumber daya air yang mengintegrasikannya dan memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada di wilayah kabupaten.

4.2.1 Sistem Pusat-pusat Kegiatan

1. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang berada di wilayah kabupaten yaitu kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala wilayah Kabupaten, dan wilayah Nasional/Internasional yang lebih luas, berdasarkan PP No. 26/2008 tidak ada PKN di Kabupaten Dairi.

2. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berada di wilayah kabupaten, yaitu kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Provinsi atau beberapa Kabupaten/Kota, dalam RTRW Kabupaten Dairi PKW berada di Kota Sidikalang-Sitinjo.


(61)

3. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang berada di wilayah kabupaten. yaitu kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kabupaten/Kota atau beberapa Kecamatan, seperti kota-kota sebagai pusat pelayanan tersier yang dikembangkan untuk melayani satu atau lebih Kecamatan. Pusat pelayanan tersier ini terutama dikembangkan untuk menciptakan satuan ruang wilayah yang lebih efisien sebagai sentra pelayanan kegiatan, dalam RTRW Kabupaten Dairi PKL berada di Sumbul, Kecamatan Sumbul.

4. Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN) yang berada di wilayah kabupaten, dalam RTRW Kabupaten Dairi PKSN terdiri atas:

a. Kawasan Danau Toba dan sekitarnya di Kecamatan Silahisabungan;

b. Kawasan Ekosistem Leuser di Kecamatan Tanah Pinem, Gunung Sitember,

Silima Punggapungga dan Siempat Nempu Hilir;

c. Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser di Kecamatan Tanah Pinem.

d. Wilayah Sungai (WS) strategis nasional di Kabupaten Dairi terdiri dari 2

(dua) WS, yaitu:

1) WS Toba – Asahan (Sumatera Utara – Strategis Nasional) dengan tahapan pengembangan I-IV/A/1;

2) WS Toba – Asahan di Kabupaten Dairi terdiri dari 11 anak sungai yang dialirkan ke Danau Toba melalui Waduk PLTA Renun di Kecamatan Sumbul telah dimanfaatkan untuk PLTA Renun dengan kapasitas tenaga 2 x 41 MW atau setara dengan 82 MW.


(62)

3) WS Alas – Singkil termasuk DAS Singkil (Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara - Lintas Provinsi) dengan tahapan pengembangan I-IV/A/1.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten yang berbatasan, sistem perkotaan di Kabupaten Dairi adalah sebagai berikut (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Rencana Sistem Perkotaan Kabupaten Dairi

No. Fungsi Hierarki

Ibukota Kabupaten/

Kecamatan

Fungsi Utama

1. PKW Sidikalang –

Sitinjo

 Pusat pemerintahan Kabupaten

 Pusat perdagangan dan jasa regional

 Pusat koleksi dan distribusi barang dan jasa

 Permukiman perkotaan

 Pendidikan

 Pusat pelayanan sosial  Pusat agribisnis  Transit

 Pusat pelayanan pariwisata

2. PKLp Sumbul  Pusat pemerintahan kecamatan

 Sub pusat perdagangan dan jasa

 Pendidkan kejuruan

 Pengolahan hasil pertanian dan perkebunan

 Pemukiman perkotaan

3. PPK Tigalingga  Pusat pemerintahan kecamatan

 Sub pusat perdagangan dan jasa

 Pendidikan kejuruan

 Pengolahan hasil perkebunan

 Peternakan

Parongil  Pusat pemerintahan kecamatan

 Kawasan pertambangan

 Sub pusat perdagangan dan jasa

 Pengolahan hasil pertanian

 Pendidikan kejuruan


(63)

4. PPL Kutabuluh  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil perkebunan

Silalahi  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengembangan pariwisata

 Sub pusat perdagangan dan jasa

 Pusat koleksi dan distribusi perikanan

 Pendidikan kejuruan

 Pemukiman

Berampu  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil pertanian tanaman

pangan

Sigalingging  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil perkebunan

 Pengolahan hasil budidaya kehutanan

Bunturaja  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil perkebunan

Lae Parira  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil pertanian tanaman

pangan

 Pengolahan hasil budidaya perikanan

Silumboyah  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil pertanian

 Pengolahan hasil budidaya kehutanan

Tiga Baru  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil pertanian dan perkebunan

 Pengolahan hasil budidaya kehutanan

Sopobutar  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil perkebunan

Gunung Sitember  Pusat pemerintahan kecamatan

 Pengolahan hasil perkebunan

 Pengolahan hasil budidaya kehutanan

Sumber: RTRW Kabupaten Dairi 2010 – 2030.

4.2.2 Sistem Tranportasi

Perencanaan sistem transportasi Kabupaten Dairi terdiri atas:

1. Menetapkan pengembangan jaringan jalan strategis keruangan, yaitu jaringan jalan lintas tengah menghubungkan Batas Aceh – Lau Pakam – Sidikalang – Panji – Tele – Dolok Sanggul – Siborong-borong – Tarutung – Sipirok – Lanjutan Tabel 4.2


(64)

Padang Sidempuan – Siabu – Jembatan Merah – Ranjau Batu – batas Sumatera Barat.

2. Pengembangan jaringan jalan kolektor primer (K-1 dan K-2) yang

menghubungkan: Medan – Kabanjahe – Kutabuluh – Lau Pakam – batas Aceh Sidikalang - Kutabuluh – ke arah Tapak Tuan (batas Aceh) Kabanjahe – Merek – Sumbul – Sidikalang Panji – Tele – Dolok Sanggul – Siborong-borong

3. Pemantapan Terminal Penumpang A di Sitinjo Kabupaten Dairi;

4. Peningkatan kapasitas pembangkit listrik PLTA Renun;

5. Pengembangan pengelolaan Wilayah Sungai, meliputi:

6. Wilayah Sungai Strategis Nasional, yaitu WS Toba – Asahan; Wilayah

Sungai Lintas Provinsi, yaitu WS Alas - Singkil

7. Pengembangan pola pengelolaan Cekungan Air Tanah (CAT), yaitu CAT

Sidikalang.

Rencana sistem transportasi Kabupaten Dairi dikembangkan sebagai bagian dari arahan sistem transportasi Nasional dan Provinsi Sumatera Utara untuk mendukung struktur ruang wilayah Kabupaten Dairi sehingga tercipta sinergitas yang hierarkis dalam pengembangannya untuk mewujudkan harmonisasi penataan ruang dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup sesuai dengan daya dukungnya.


(65)

Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Dairi terdapat pada Lampiran-2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tesis ini.

4.3 Analisis Optimalisasi Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi untuk Pengembangan Wilayah Kota Sidikalang

4.3.1 Analisis Terhadap Struktur Ruang Makro

Dalam lingkup ruang makro, konsep struktur ruang yang dituju adalah terbentuknya struktur ruang Kabupaten Dairi yang terintegrasi dengan pengembangan wilayah disekitarnya serta kecamatan-kecamatan lainnya terutama dalam lingkup wilayah kabupaten dairi. Sehingga peran penetapan pusat-pusat kegiatan seperti penetapan PKL, PKLp dan PPL sangat mempengaruhi pengembangan wilayah Kabupaten Dairi secara umum dan pengembangan Kota Sidikalang secara khusus.

Berdasarkan Peta Struktur Ruang (RTRW Kab. Dairi 2010-2030) maka pengembangan pusat kegiatan Kabupaten Dairi adalah Kecamatan Sumbul yang

diusulkan sebagai PKLp. Jarak Kota Sumbul dari Kota Sidikalang hanya ± 16km,


(1)

Tabel

Table Ladang/Gogo Menurut Kecamatan 5. 1. 13. Rata-rata Hasil Per-Hektar Tanaman Padi

Yield Rate of Dry Land Paddy by District 2005 – 2008 (Kw/Ha)

No Kecamatan/

District 2005 2006 2007 2008

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Sidikalang Sitinjo Berampu Parbuluan Sumbul Silahisabungan Silima Pungga-pungga Lae Parira Siempat Nempu Siempat Nempu Hulu Siempat Nempu Hilir Tigalingga Gunung Sitember Pegagan Hilir Tanah Pinem 24,00 * 25,00 - 24,00 * 25,50 25,40 25,00 25,50 25,00 26,00 26,00 25,00 26,00 2,40 - 2,50 - 2,40 - 2,55 2,54 2,50 2,55 2,50 2,60 2,60 2,50 2,60 26,00 25,00 26,50 - 25,00 - 26,50 26,90 26,50 26,60 26,50 27,00 27,00 27,00 27,00 28,00 27,03 28,50 - 27,00 - 28,50 28,00 28,50 28,60 27,50 30,00 30,00 30,00 30,00

Jumlah/Total 25,20 2,55 26,80 29,10

Sumber/ Source : Dinas Pertanian Kabupaten Dairi Agriculture Office Regency of Dairi


(2)

Table Menurut Kecamatan

Yield Rate of Corn by District 2005 – 2008 (Kw/Ha)

No Kecamatan/

District 2005 2006 2007 2008

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Sidikalang Sitinjo Berampu Parbuluan Sumbul Silahisabungan Silima Pungga-pungga Lae Parira Siempat Nempu Siempat Nempu Hulu Siempat Nempu Hilir Tigalingga Gunung Sitember Pegagan Hilir Tanah Pinem 3,95 * 4,10 3,95 3,50 * 4,50 4,50 4,60 4,60 4,50 4,70 4,70 4,55 4,70 3,95 - 4,10 3,95 3,50 3,90 4,50 4,50 4,60 4,60 4,50 4,80 4,80 4,55 4,80 40,50 38,80 42,00 40,00 36,00 37,00 46,00 44,00 47,00 45,50 45,00 49,00 49,00 46,50 49,00 39,50 38,80 41,60 39,00 35,00 37,23 45,00 43,10 46,00 44,50 44,00 48,00 48,50 45,50 48,00

Jumlah/Total 4,35 4,51 46,00 45,20

Sumber/ Source : Dinas Pertanian Kabupaten Dairi Agriculture Office Regency of Dairi


(3)

Lampiran 4.


(4)

(5)

Lampiran 6.


(6)