Konservasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi: analisis ekologi politik

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI:
ANALISIS EKOLOGP POLlTlK

ELISABET REPELITA KUSWIJAYAh'TI

SEKOLAN PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INPORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "KONSERVASI
SUMBERDAYA ALAM Dl TAMAN NASIONAL GUNUNG MERASI:
ANALISIS EKOLOGI POLITIK" adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal danlatau d i i t i p dari karya yang
diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Februari 2007

Elisabet Repelita Kuswijayanti

ABSTRAK
ELISABET REPELITA KUSWIJAYANTI. Konservasi Sumberdaya Alam di
Taman Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik. Di bawah biibingan
ARYA HAD1 DHARh4AWAN dan H A W 1 KARTODIHARDJO.
Gunung Merapi terletak di Pulau Jawa bagian tengah, secara admistratif
berada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Jawa
Tengah. Semenjak tanggal 4 Mei 2004 melaiG SK Menhut 13412004, kawasan ini
telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Pro-kontra
terhadap penetapan TNGM muncul sebelum keluarnya SK penetapan, bahkan
pro-kontra tersebut masih terus berlangsung sampai sekarang. Penelitian ini
dilakukan di tiga kawasan yaitu. 1) Ds. Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa
Tengah, 2) Kawasan Tambang Pasir Jumngjero, Ds. Ngargosoka, S m b u n g ,
Magelang, Jawa Tengah; 3) Kawasan Wisata Kaliurang, Ds. Hargobinangun,
Pakem, Sleman, DIY pada bulan Juli 2005 dilanjutkan dengan pada bulan h i Juli 2006. Penelitian ini bertujuan untuk 1) memetakan mekanisme akses dan hak
dan 2) menganalisis konfli antara Organisasi Non-pemerintah di bidang
iingkungan (Omop-L) clan Pemerintah. Hasil analisis dengan menggunakan

perspektif ekologi politik menunjukkan bahwa penetapan TNGM hanya
menguntungkan mereka yang tinggal di kawasan tambang pasir dan kawasan
wisata dam, tetapi memberikan ketidakpastian pada mereka yang tinggal di
kawasan pemukiman penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani-petemak.
Penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa konflik yang terjadi antara Pemerintah
dan Ornop-L adalah konflik wacana. Strategi untuk pengelolaan TNGM di masa
depan diwankan sebagai berikut: 1) Pemerintah hendaknya memahami
bagaimana mekauisme akses sumberdaya dam yang selama ini bekeja di
kawasan Merapi; dan 2) Pemerintah hendaknya bekerjasama dengan organismi
akar nunput untuk menerapkan kebijakan di tingkat lapangan dan bekejasama
dengan Omop-L untuk mengembangkan wacana konsewasi di Indonesia.
Kata kunci: taman nasional, akses, konilik, ekologi politik, wacana konsewasi

ABSTRACT

1

ELISABET REPELlTA KUSWIJAYANTI. The Natural ~eAourceConservation
in Gunuag Merapi National Park: A Political Ecology ~nalbsis.Supervised By
ARYA HAD1 DHARMAWAN and HARIADI KARTODIHA&DJO.

Gunung Merapi is located in the center of ~svaiIsland under the
administration of Yogyakarta Special Province and Central Jkva Province. Since
May 4", 2004, Gunung Merapi has been declared as Gunyg Merapi National
Park under the decree of Minister of Forestry Number 13412004. Polemic over the
declaration has been emerged before the decree issued and skll continuing after.
This research has been conducted in 1) Ngargomulyo village! Dukun, Magelang,
Ccntral Java Province, 2) Jurangjero sand mining area in Ngdgosoka, Srumbung,
Magelang, Central Java Province and 3) Kaliurang tourism 1 destination area in
Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Special province on July 2005 and
June-July 2006. This research aimed to 1) mapping natural &sources rights and
access mechanism and 2) adysing conflict between ~kvironmental NonGovernment Organizations (ENGOs) and Government. usidg political ecology
analysis, the research S ~ ~ O Wthat
S the declaration of Gunung M!erapi National Park
only benefiting people living in tourism destination and sadd mining area, but
giving uncertainty for village's farmers. The research also (identified that the
conflict between government and ENGOs is the conflift of conservation
discourses. The strategy for the future development of Gunyg Merapi National
Park is suggested as follows: 1) government should understand the natural
~
and 2)

resource access mechanism which has been worked in ~ u n ? nMerapi
government should work together with the grassroot organidtions to implement
policies in the field level and with the ENGOs to develod natural resources
conservation discourses.
Key words: national park, access, conflict, political ecology, conservation
discourse

OHak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dun memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak,fotokopi, milwofilm dun sebagainya

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM
DI TAMAN NASEQNAL GUNUNG MERAPI:
ANALISIS EKOLOGI POLITIK

ELISABET REPELITA KUSWIJAYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sain pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAN PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis

. KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN

Nama Mahasiswa

: Elisabet Repelita Kuswijayanti

NRP

: PO52040321


NASIONAL GUNUNG
EKOLOGI POLITIK

MERAPI:

ANALISIS

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardio M.S
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Lingkungan

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.

Tanggal Ujian: 8 Januari 2007

Tanggal Lulus:

16 F {B 2007

Keagungan Tuhan Yang Maha Esa sangatlah besar dan nyata dalam
kehidupan yang diciptakanNya dengan sangat sempurna Oleh karena ity puji dan
syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
karunia dan pertolongan-Nya, penelitian dengan judul KONSERVASI
SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI:
ANALISIS EKOLOGI POLITIK, dapat terselesaikan. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis konsewasi sumberdaya dam di Taman Nasional Gunung
Merapi dari perspektif ekologi politik: yakni dengan melakukan pemetaan
mekanisme akses dan hak terhadap sumberdaya alam di kawasan Merapi sebelum
dan sesudah menjadi Taman Nasional Gunung Merapi dan melakukan analisis
konflik pro-kontra terhadap penetapan status Taman Nasional Gunung Merapi
Penulis menyadari penelitian ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya
bantuan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima
kasih kepada yang terhormat:

1) Dr. Ir. Sujono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta seluruh staf atas
kemudahan yang diberikan dalam penyelesaian studi di IPB.
2) Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr., selaku Ketua Komisi
Pembimbmg yang telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan
berbagai aspek pada proses penulisan tesis.
3) Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., selaku Anggota Komisi Pembirnbing
yang telah memberikan masukan dan koreksi yang mendalam terhadap hasil
penelitian dan proses penulisan tesis.
Dr.
Ir. Soejo Adiwibowo, MS, selaku Penguji Luar yang telah memberikan
4)
masukan demi penyempurnaan tesis.
Dr.
Ir. Djojo Winoto M. Sc. yang telah banyak membantu penulis selama
5)
mengikuti pendidikan di h t i t u t Pertanian Bogor, pada program studi Ilmu
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlimdungan Masyamkat Provinsi Jawa Barat,

6)
Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa
Tengah dan Badan Perencanaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin untuk melakukan
kegiatan penelitian.
Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
7)
yang memberikan kesempatan pada peneliti untuk mengakses informasi
mengenai k o d i k pro-kontra Taman Nasional Gunung Merapi seoptimal
mungkin.
8) Kesatuan Pemangku Hutan Perhutani Wilayah Kedu Utara yang
berkedudukan di Magelang beserta segenap jajaran staf. Terima kasih atas
penerimaannya selama peneliti melakukan penelitian.
9) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Y~gyakarta.
10) Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang
11) Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Pemerintah
Daerah gabupaten Magelang yang membetikan data penunjang penelitian.

12) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman

13) Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Pernerintah
Daerah Kabupaten Slernan yang rnemberikan data penunjang penelitian.
Romo
V. Kirdjito, Pr., para suster, staf Paroki Gereja Surnber, Kec. Dukun.
14)
Terima kasih atas dukungan moril dan fasilitas akornodasi.
15) Kawan-kawan dari Organisasi Non-Pernerintah dan Organisasi
Kemasyarakatan: Walhi Pusat, Walhi DIY, Lessan, Yawama, Kappala
Indonesia, Pasag Merapi, GMCA, Perdikan, dan GORO. Terima kasih atas
informasi clan pendampingan di lapangan.
Kanjeng
Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, selaku Penghageng Kawedanan
16)
Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Kraton Yogyakarta. Terirna kasih
atas penerimaan dan informasi yang diberikan.
Masyarakat
desa Ngargomulyo, desa Ngargosoka, dan desa Hargobinangun.
17)
Terirna kasih atas kesediaan rnenerima penulis dengan tulus.
18) Osi, Tini, Chana, dan sernua ternan-teman PSL angkatan 2004.

Penulis mempersernbahkan tesis ini untuk keluarga tercinta: Romy dan
Bintang yang memberikan perhatian dan kasih selama penulis menempuh
pendidikan di IPB.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis rnengharapkan berbagai
masukan d a l m 3paya penyempurnaan tesis ini. Sekian dan terirna kasih.
Bogor, Februari 2007
Elisabet Repelita Kuswijayanti

Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 6 Februari 1969 dari ayah
bernama Yohanes Babtista Soenarjono (alm.) dan ibu bernama Theresia Soekartinah.
Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara.
Tahun 1993, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Hubungan Intemasional, Universitas
Gadjah Mada yang berlokasi di Yogyakarta
Tahun 1994-1998, penulis bekerja sebagai Redaktur di Majalah Eksekutifmajalah yang mengupas dunia bisnis dan manajemen, berlokasi di Jakarta. Pada
tahun 1995-1997 penulis mendapatkan pelatihan Leadership for Environment and
Development dari Lead International yang bekerjasama dengan Rockefeller
Foundation. Pelatihan diadakan di Jakarta dan di Costa Rica (Amerika Tengah),
Okinawa (Jepang), dan Zimbabwe (Afrika Selatan).
Tahun 1998-2000, penulis bekerja sebagai Redaktur di Majalah Indikator,
majalah yang mengupas dunia ekonomi politik, berlokasi di Jakarta. Di samping itu
pada tahun 1997-1998 penulis bekerja sebagai staf paruh waktu pada Yayasan Syarifa
yang bergerak di bidang Komunikasi Lingkungan Hidup, berlokasi di Jakarta.
Tahun 2000-2002, penulis bekerja sebagai Staf pada Marketing and
Communication Group, Kantor Pusat LippoBank, berlokasi di Lippo Karawaci,
Tangerang.
Penulis menikah dengan Ronny Agustinus pada bulan September 2001, dan
kini memiliki satu orang putera bernama Maro Bintang Timurlangit (4 th.)
Pada bulan Agustus 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program Pasca
Sarjana (S2) pada program Studi Ilmu Pengetahuan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

DAFTAR IS1
Haiaman

DAFTAR IS1 ................................................................................................
DAFTAR TABEL .........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
I.
PENDAHULUAN
1.l. Latar Belakang ........ .................................................................. .
..
1.2. Kemgka Pem~kuan.......................................................... .........
1.3. Perumusan Masalah ........................................................... .........
..
1.4. Tujuan Penelitian .............................................................. ..........
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................

11.

111.

IV.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konservasi dalam Perspektif Biofisik dan Ekonomi ..................
2.2. Globalisasi Wacana Pengelolaan Sumberdaya Alam clan
Keanekaragaman l~ayati.............................................................
2.3. Konservasi dalam Perspektif Pergerakan Sosial di Negara
Dunia 111.....................................................................................
2.4. Ekologi Politik Kawasan Konservasi .........................................
2.5. Teori Akses .................. ..........................................................
2.6. Teori Konflik Sumberdaya Alam ...............................................

18
23
32
34

METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................
3.2. Rancangan Penelitian ...............................................................
3.2.1. Metode Pengumpulan Data ..............................................
3.2.2. Metode Analisis Data .................. ........................... . . .

39
40
40
41

HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sejarah Pemanfaatan, Pengelolaan, dan Konflik Sumberdaya
Alam di Kawasan Merapi .........................................................
4.1.1. Sejarah Pola Pemanfaatan Kawasan Merapi oleh
Masyarakat Lokal ............................................
4.1.2. Sejarah Pemikiran Perubahan Pola Pengelolaan dan
Pemanfaatan Gunung Merapi Sampai Dengan
Munculnya SK Penetapan TNGM ................... .....
4.1.3. Sejarah Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan
Merapi............................................................................
4.2. Identifikasi Aktor, Peran, dan Kepentingannya ........................
4.2.1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa
Yogyakarta ............................... ..................... .................
4.2.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa
Yogyakarta ........................ .............................................
4.2.3. Perusahaan Kehutanan Indonesia (Perhutani) Unit I
Jawa Tengah ..................................................................

11
15

4.2.4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman ..........................
4.2.5. Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang ......................
4.2.6. Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGM ..................
4.2.7. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan .............
4.2.8. Organisasi Akar Rurnput ................................................
4.2.9. Organisasi Kemasyarakatan ...........................................
4.3. Dinamika Politik Organisasi Gerakan Lingkungan dan
Kernasyarakatan ........................................................................
4.3.1. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan .............
4.3.2. Organisasi k a r Rurnput ................................................
4.3.3. Organisasi Kernasyarakatan ...........................................
4.3.4. Pola Interaksi Organisasional Penyelamatan
Lingkungan TNGM ........................................................
4.4. Analisis Akses dan Hak Sumberdaya Alam di TNGM ..........
4.4.1. Akses Sumberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi .........
4.4.2. Dominasi Akses Sumberdaya Alam di Tiga
Kawasan Studi ...............................................................
4.4.3. Keadilan Akses di Tiga Desa .........................................
4.4.4. Ikhtisar ............................................................................
4.5. Analisis Konflik Sumberdaya Alam di TNGM
4.5.1. Dimensi Konflik Pro-kontra TNGM di Tiga Kawasan
Studi ................................................................................
4.5.2. Penahapan Konflik Pro-kontra TNGM ...........................
4.5.3. Pemetaan Konflik Pro-Kontra TNGM ............................
4.5.4. Ikhtisar ............................................................................

V

.

KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan .................................................................................
5.2. Saran ...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN

DAFTAR TABEL

Pengelolaan kawasan di Merapi sebelum TNGM......................
Perbandingan luas tanah Sultan Ground/Pakualam Ground di
lima Kabupaten di DIY...............................................................
Wacana konservasi sumberdaya alam........................................
Kepentingan dan ideologi politik aktor di Dunia IIL ..................
Daftar responden.........................................................................
Unsur-unsw dalam pembiayaan retribusi penambangan pasir di
Kabupaten Magelang ..................................................................
Besarnya pajak yang hams ditanggung pengusaha
pertambangan pasir .....................................................................
Besarnya pendapatan Pemda Kab. Magelang dari penarikan
pajak pertambangan BGG- C...........................
Karakteristik ekologi politik tiga kawasan studi
Profil orgilnisasi akar nunput dan organisasi Kemasyarakatan
di TNGM ..................................................................................
Aktor dan wacana konsewasi.....................................................
Kerugian atau biaya langsung yang dibayar pemerintah di
kawasan pertambangan Merapi di Kabupaten Magelang ..........
Fendapatan Pemda Kabupaten Sleman dari pengelolaan
gerbang pintu masuk kawasan Kaliurang...................................
Pendapatan Pemda Kabupaten Sleman dari pengelolaan
fasilitas wisata di kawasan Kaliurang melalui Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan...........................................................................
Pendapatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY dari
pengelolaan retribusi di TWA Plawangan Turgo........................
Pendapatan PD Anindya dari pengelolaan fasilitas wisata di
Kaliurang dan Tlogo Putri...........................................................
Pendapatan PD Anindya dari pengelolaan parkir dan penarikan
ongkos trayek angkutan umum Kaliurang Yogyakarta..............
Pendapatan PD Anindya dari penjualan air minum di
Kaliurang.....................................................................................
Perbandingan Pendapatan Aktor di Kawasan Wisata Kzliurang
di Tahun 2004 .............................................................................
Peta k o d i k di tiga kawasan studi..............................................
Urutan Kejadian Pro-Kontra TNGM ..........................................
Tahapan sosialisasi TNGM ........................................................
Luas area masing-masing zonasi TNGM.. .........................

24
25

Relasi kekuasaan antar aktor di TNGM ....................................
Relasi kekuasaan antar aktor Ds. Ngargomulyo, Kec. Dukun
dan Ds. Ngargosoka, Kec. Srumbung, Kab. Magelang, Prop.
Jateng ...................................................................

26

Relasi kekuasaan antar aktor di kawasan wisata Kdiurang, Ds.
Hagobinangun, Kec. Pakem, Kab. Sleman, Provinsi DIY .......
Agenda politik aktor ..................................................

27

DAPTAR GAMBAR

1

Kerangka Pemikiran ...................................................................

2

Lokasi Penel~t~an
........................................................................

39

3

Penahapan Konflik Pro-kontra TNGM ......................................

95

4

Pemetaan Konflik Pro-kontra TNGM ........................................

..

...

Xlll

8

110

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu ekosistem
pegunungan di Pulau Jawa bagian tengah yang mempunyai nilai tinggi bagi
kehidupan manusia di sekitar kawasan ini baik dari kajian ekologis, ekonomis,
sosial dan budaya. Dari kajian ekologis, komponen biologis ekosistem hutan
Gunung Merapi mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Di samping itu, gunung
ini telah menciptakan ekosistem yang spesifik yaitu hutan tropika pegunungan dan
pola suksesi vegetasi yang berkembang secara dinamis. Dari kajian ekonomis,
sumberdaya dam Gunung Merapi telah lama dimanfaatkan masyarakat baik
berupa material maupun jasa lingkungan. Material yang dimanfaatkan masyarakat
antara lain pasir dan batu, hijauan pakan ternak, kayu bakar. Jasa lingkungan yang
dinikmati masyarakat sekitarnya adalah keindahan alam yang dikelola sebagai
bisnis pariwisata, tata air yang menyediakan air bersih dan air pertanian sepanjang
tahun melalui sejumlah mata air yang berada di kawasan ini. Dari kajian sosial
budaya, masyarakat di lereng-lereng kawasan hutan Gunung Merapi telah
berinteraksi dalam jangka waklu ratusan tahun, interaksi-interaksi tersebut
memunculkan beragam budaya hasil dari olah rasa antara manusia dan alam
sekitarnya. Interaksi ini telah menciptakan sistem sosial dan budaya yang khas.
Masyarakat di sekitar Gunung Merapi temtama bagian selatan (Yogyakarta dan
sekitarnya) berpandangan, Gunung Merapi dan dinamikanya sangat terkait dengan
misterilkeajaiban dan supranatural. Semua dinamika Gunung Merapi selalu
membawa berkah, termasuk guguran lava-nya. Tanda-tanda alam tersebut telah
menyikapi kehidupan masyarakat terhadap aktivitas Gunung Merapi, sehingga
menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia dan alam lingkungannya yang
hannonis sebagai pandangan hidup dan budaya yang luhur bagi masyarakat di
sekitarnya (BKSDA dan Fakultas Kehutanan UGM 2003).
Semenjak tanggal 4 Mei 2004, kawasan Gunung Merapi dialih hngsikan
menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) melalui SK Menhut No.
13412004. Pertimbangannya adalah usulan Pemda DIY untuk menaikkan status
beberapa kawasan k o n s e ~ a s iyang ada di Merapi yang berupa Cagar Aim,

Taman Wisata Alam, dan Hutan Lindung. Status taman nasional dianggap Pernda
DIY dan Jateng mampu mengakomodir kebutuhan akan dana pengelolaan
kawasan konservasi yang terbatas dan manajemen kawasan konservasi di bawah
satu payung.(Pemda DIY dan Jateng 2002). Sebelumnya, kawasan Gunung
Merapi yang terletak di dua Provinsi yaitu DIY dan Jateng ini dikelola oleh
beberapa instansi yang berbeda yaitu: BKSDA DIY, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan DIY, Perum Ecrkrltani Wilayah I Surakarta Prop. Jateng, dan Perum
Perhutani Wilayah Kedu Utara Prop. Jateng (lihat tabel 1.)

Tabel 1. Pengelolaan kawasan di Merapi sebelum TNGM
No
Fungsi Kawasan
lnstitusi
Luas (Ha)
1 Cagar Alam Plawangan Turgo, BKSDADIY
164,75
Sleman, DIY
2 Taman Wisata Alam Pla~vangan Dinas Kehutanan &
1 1 7,50
Turgo, Sleman, DIY
Perkebunan DIY
3 Hutan Lindung, Sleman, DIY
Dinas Kehutanan &
1.146,13
Perkebunan DIY
Wilayah kerja KPH
4 Hutan Lindung, Klaten, Jateng
Surakarta Peru~nPerhutani
Unit I Jateng
2645,51
5 Hutan Lindung, Boyolali, Jateng
Wilayah kerja KPI-I Perum
Perhutani Unit I Jateng
6 Hutan Lindung, Magelang, kteng
Wilayah kerja KPH Kedu
2480,5
Utara Perum Perhutani
Unit 1 Jateng
Sumber: Dishutbun DIY, BKSDA DJY & Perum Perhutani Unit 1 Jateng 2006 . Diolah.
SK Menhut No. 13412004 menuai kritik karena diterbitkan di saat
kesepakatan untuk penetapan status kawasan antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan masyarakat belum tercapai. Sebelum SK tersebut diterbitkan,
pemerintah merevisi SK Menhut No. 7012001 tertanggal 15 Maret 2001 menjadi
SK Menhut No. 4812004 tertanggal 23 Januari 2004 yang menyatakan bahwa
Menteri Kehutanan dapat menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan tanpa
melalui persyaratan adanya persetujuan DPRD KabupatedKota dan DPRD
Provinsi untuk yang lintas KabupatedKota. Melalui upaya ini, langkah-langkah
dalam rangka pengembangan TNGM yang telah dilakukanl ditempuh, baik oleh
Provinsi DIY maupun Provinsi Jawa Tengah dinilai telah memenuhi syarat untuk
merubah fungsi kawasan hutan dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutafian

No. SK.481Menhut-IU2004 tersebut di atas (Dinas Kebutanan dan Perkebunan
2004). Sementara itu, kekecewaan masyarakat serta Omop-L (Organisasi non
pemerintah yang bergerak di bidang Lingkungan) bergulir dan membesar karena
merasa tidak mendapat tanggapan dari pemerintah sebagaimana yang diharapkan.
WLH yang mempakan konsorsium dari 33 Omop-L di DIY mendesak pemerintah
untuk mencabut kembali sehelum kesepakatan mengenai bentuk konservasi
kawasan Merapi :~icapai.Kritik terbadap SK tersebut ada!ah minimnya partisipasi
masyarakat dalam peQetapan TNGM serta manajemen taman nasional di
Indonesia yang dirasakan belurn berjalan dengan baik sehingga dikhawatirkan
TNGM juga akan mengalami ha1 sempa. Omop-L juga mencurigai adanya agenda
tersembunyi dari pemerintah berkenaan dengan pemhahan status kawasan ini
(Nugroho 2004, Hartono 2005). Sebagaimana diketahui, dengan status taman
nasional, kepentingan yang akan ada di sana bukan saja dari tingkat lokal, ataupun
nasional melainkan juga pada tingkat global.
Menurut sejarah pengelolaan kawasan Gunung Merapi, pengelolaan
kawasan Merapi dimulai pertama kali semenjak tahun 1912. Pengelolaan ini
merupakan kebijakan resmi yang pertama dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda untuk mengatur kawasan Merapi dan masyarakatnya. Kebijakan
pengelolaan kawasan ini lebih pada pertimbangan lereng Merapi sebagai daerah
rawan bencana (akibat letusan Gunung Merapi). Pada tahun 1931, Pemerintah
Kolonial Belanda menetapkan kawasan Merapi dengan status hutan lindung seluas

* 8.752,83 Ha yang meliputi * 1.791,03 Ha di Provinsi DIY dan seluas i 6.961,8
Ha di Provinsi Jateng dengan pertinbangar untuk pelestarian ekosistem di
Merapi. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda ini sebagian masih diadaptasi
oleh Pemerintah Indonesia semenjak kemerdekaan, bahkan hingga kini. Beberapa
pennasalahan menonjol dari sejarah pengelolaan kawasan Merapi adalah relokasi
masyarakat ke daerah transrnigrasi (1961-1975), masalah ganti mgi lahan yang
dialihfungsikan menjadi kawasan lindung (1972-kini) dan pesatnya pembangunan
kawasan utara DIY (1,2% lahan pertanian produktif di Sleman setiap tahunnya
menciut akibat pembangunan perkantoran, perumahan, industri, perguruan tinggi).
Pennasalahan yang terakhir ini menjadi salah satu pertimbangan dari Pemda DIY

untuk kemudian mengajukan usulan perubahan status kawasan menjadi taman
nasional (Sulistyo 2002).
Runutan pengelolaan terhadap kawasan Merapi memperlihatkan adanya
dinamika akses masyarakat terhadap sumberdaya dam, ini nanlpak pada
perubahan status fungsi lahan dari yang semula milik pribadi (privale property)
menjadi hutan lindung (public properly). Ini berarti ada penghilangan alas hakhak yang semnla dinikmati oleh masyarakat seperti hak menentukan bentuk
manajemen pengelolaan sumberdaya dam, hak menetapkan siapa yang dapat ikut
serta memanfaatkan sumberdaya alam, dan hak memperjual belikan atau
mengubah fungsi peruntukan sumberdaya dam (Kartodihardjo 2006). Ketiga hak
tersebut kini diatur oleh lembaga publik yaitu negara yang dalam pelaksanaannya
dijalankan oleh Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan. Satu-satunya hak
yang dimiliki oleh masyarakat adalah memasuki dan memanfaatkan sumberdaya
dam yang dalam ha1 ini adalah mencari rumput dan renceklranting kecil. Meski
begitu, didapati adanya penduduk desa yang melakukan bndidaya palawija dan
singkong di kawasan lindung dan melakukan aktivitas tambang pasir secara ilegal
(BKSDA dan Pusat Studi Agroekologi 2004).
Terbitnya SK Menhut 13412002 tidak hanya merubah fimgsi hutan lindung
namun sekaligus mempersempit akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Ini
diperlihatkan dari adanya Zona Tanaman Rumput Bawah Tegakan seluas total
486,5 hektar'. Sementara pelaku bisnis seperti penambang pasir relatif tidak
mengalami banyak persoalan karena TNGM memberikan tempat berupa Zona
Pemanfaatan Pasir seluas 146,87 hektar. Pelaku bisnis yang bergerak di bidang
pariwisata memperoleh akses terbanyak yang tersebar di 5 zona yaitu Zona Wisata
Alam (WA) Turgo-Plawangan (141,69 ha), WA New Selo (27,03 ha), WA Deles
(27,43 ha), WA Musuk (18,7 ha), WA Tambang Pasir Srumbung (14,39 ha).
Dalam upaya konsemasi keanekaragaman hayati di kawasan Merapi ini,
terdapat dimensi politis ekologis (agraria) yang khas yaitu keberadaan Keraton
I

Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang berada antara taman nasional dan
tanah milik masyarakat selebar sekitar 100 meter di bawah tegakan hutan. Secara fisik mempakan
bagian zona pemanfaatan yang berupa areal batas kawasan, dengan batas-batas sejaub-jauhnya 100
meter dari luar kawasan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Zona ini dihngsikan sebagai batas
hidup sekaligus dimungkinkan adanya kegiatan masyarakat menunjang kebutuhan bempa kayu
bakar, bambu, madu, dan lain-lain (BKSDA dan Puszt Studi Agroekologi UGM 2004)

Yogyakarla dan Pura Paku Alaman yang memiliki hak atas sen'ua tanah di
wilayah Yogyakarta yang disebut sebagai Sultan Ground (SG) dan Paku Alaman
Ground (PAG)~.Hingga sekarang luas tanah SG dan PAG belum diketahui secara
pasti. Menurut prakiraan BPN dari hasil pendataan semenjak tahun 2002, luas SG
dan PAG hanya tinggal 1,1% (3.562 hektar) dari total luas wilayah DIY (318.580
hektar). Luas Tanah SG dan PAG bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.

Perbandinean luas tanah Sultan Groundmakualam Ground di lima
~ a b u p a t e n d DIY
i
Kabupaten
Luas Kab.1
Sultan Ground/
Kota (Ha)
Paku Alam Ground ([Ha)
Kota Yogyakarta
3.250
43
Sleman
Kulon Progo
Bantul
Gunung Kidul
148.536
60 1
Sumber: SKH Kompas Ydgyakarta, 2 8 Januari 2005

Berdasar data tersebut nampak bahwa peran Sultan Hamengku Buwono X
yang kini juga menjabat sebagai Gubemur Provinsi DIY bisa jadi sangat
menentukan upaya konservasi di TNGM yang sebagian wilayahnya masuk
Kabupaten Sleman.
Perubahan tata kepernerintahan dari Pemerintah Kolonial Belanda ke
Pemerintah Republik Indonesia turut berpengaruh terhadap status kepemilikan
dan fungsi lahan SG di kawasan Merapi. Sama seperti adanya perubahan hak atas
lahan privat (SG) menjadi milik publik (hutan lindung) seperti yang dialami
masyarakat kawasan Merapi, hak akses Sultan sebagai pemilik lahan terhadap
sumberdaya di Merapi juga rnengecil. Posisi Sultan sebagai GubemurIKepala

Menmut Perjanjian Giyanti 1755, selllruh wilayah DIY sebenamya adalah tanah swapraja (milik
Keraton Yogyakarta). Namun, karena pergolakan sejarah, perubahan tata negara, dan lain hal,
tanah swapraja tadi berubah kepemilikannya. Peraturan yang menunjuk Keraton sebagai pengelola
belum ada. Secara yuridis status tanah diatur dalam Rijkblad 1918 dan UU No.3 tahun i950
tentang Pembentukan DIY. Status tanah tidak bisa dialihkan menjadi hak milik perorangan
maupun tanah negara. Rijkblad 1918 pasal 1 menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan dengan hak milik oleh pihak lain adalah tanah Keraton Yogyakarta. Berdasar aturan
tersebut, menurut BPN, pada:dasarnya tidak ada tanah negara di DIY kecuali wedhi kengse: (lahan
pada sempadan sungai yang terbentuk secara alami akibat pengendapan pasir yang terbawa aliran
sungai). Sedangkan pada W!, No.3 tahun 1950Bab II. pasal4 (1) disebutkan bahwa urusan asaria
merupakan urusan rumah tangga DIY sebagai daerah istimewa. Tanah SG dan PAG bisa
dimacfaatkan masyarakat melalui pemberian sertifikat hak pakai oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN).

Daerah Provinsi DIY bisa jadi mengaburkan status sumberdaya dam di kawasan
Merapi apakah sebagai properti privat atau properti publik.
Keberadaan TNGM mengubah hak akses Sultan sebagai GubernurIKepala
Daerah I'rovinsi DIY terhadap sumberdaya alam di kawasan Merapi, karena
pengelolaannya kini bqrada di tangan Pemerintah Pusat. Meski begitu, untuk
menghorrnati keberadaan Keraton, TNGM menyisihkan lahan seluas 15,82 hektar
sebagai Zona Budaya ~abllhzn~.
Sebagai representasi kehadiran Kraton, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX telah menunjuk seorang Abdi Dalem Keraton yang
bertindak sebagai Juru Kunci Merapi di sana4.
Perkembangan terakhir dari pro-kontra upaya konservasi di kawasan Merapi
dari pihak pemerintah adalah melakukan sosialisasi dan pemantapan rencana
pengelolaan TNGM. Sementara dari pihak Omop-L dan masyarakat di kawasan
Merapi yang tidak setuju, upaya yang dilakukan adalah penguatan jaringan setelah
upaya penolakan rnelalui jalur hukum yang pertama gaga1 (PTUN tanggal 24
Januari 2005). Mereka terus mendesak agar SK Menhut No.13412004 dicabut,
tidak tertutup kemungkinan mereka akan melalui jalw hukum kembali. Kondisi
konflik yang berlarut ini akan berpotensi menghambat dan mengganggu
konservasi sumberdaya alam di kawasan Merapi.

1.2. Kerangka Pemikiran
Kawasan Gunung Merapi adalah kawasan yang dimiliki oleh para pihak
yaitu Negara, Kraton Yogyakarta, masyarakat, Omop-LIOAR (Organisasi Akar
Rumput) dan bisnis. Paia pihak tersebut secara garis besar memiliki kesamaan
kepentingan yaitu pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di
kawasan Gunung Merapi. Upaya konservasi disepakati sebagai cara untuk
menjaga pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya dam secara berkelanjutan.
Namun, bagaimana mekanisme konservasi yang sesuai di kawasan Gunung
3

Zona Budaya Labuhan adalah zona khusus yang merupakan bagian dari Zona Pemanfaatan. Zona
khusus ini merupakan kawasan untuk melaksanakan upacara labuhan di bulan Suro (Muharram)
sebagai bentuk ekspresi proses simbolik filosofik Laut Selatan dan Gunung Merapi (BKSDA dan
Pusal Studi Agroekologi 2004).
4 ~ b d Dalem
i
Keraton ini adalah seseorang yang dituakan di kawasan Merapi. Masyarakal
menyebutnya Mbah Marijan. Pada tahun 1995 Mbah Marijan mendapal anugerah gelar Wlusus
Mas Ngabehi Suraksol~argodari Sri Sultan I-lanengku Buwono IX yang rnemberikan amanat agar
Mbah Marijan menjaga 'tata krama' yang ada di Merapi (Kompas-Yogya, 5 Agustus 2004) .

Merapi menjadi suatu perdebatan tersendiri dan r~emunculkandua perspektif
dalam memandang konsep konservasi.
Kedua perspektif tersebut adalah pertanlo, biofisik dan ekonomi yang
meinandang konservasi untuk pelestarian sumberdaya alam sekaligus untuk
memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Kedua, perspektif
pergerakan sosial yang memandang keberadaan sumberdaya alam tak dapat
dipisahkan dengan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut Mereka menjadi
satu kesatuan ekologi yang saling mempengaruhi, sehingga upaya konservasi
terhadap sumberdaya alarn di kawasan tersebut seharusnya mempertimbangkan
keberadaan masyarakat berikut tradisi mereka. Perspektif ini menganggap
manajemen pengelola& konservasi yang dilakukan pemerintah seperti halnya
mekanisme taman nasiozal banyak didominasi pengaruh global dan merugikan
masyarakat di kawasan konservasi.
Mekanisme konsemasi yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah pusat
adalah taman nasional yang diyakini mampu mengakomodir semua kepentingan
para pibak. Adanya perbedaan perspektif melahirkan konflik kepentingan yang
berpotensi mengganggu upaya konservasi. Bagaimana peta konflik kepentingan,
siapa saja aktor yang berperan di dalamnya, bagaimana kekuatan dan apa
potensinya perlu dianalisa dengan menggunakan piranti analisa kekuatan
slakeholder sebagai masukan bagi langkah pemerintah dalam menyikapi konflik

dan mengevaluasi kebijakan. Pemahaman terhadap peta konflik mampu
mengarahkan pada penyusunan suatu altematif pengelolaan kawasan taman
nasional yang berkelanjutan (Lihat Gambar 1)

I

1

Negara

Kenton

!

1

1

Omop-LIOAR

Masyarakat

Bisnis

Pemanfaatan SDA

a
Konservasi

Perspektif
Pergerakan Sosial

Teori Konflik

Pro-Kontra

*
Rekomendasi

Kebijakan Pengelolaan

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Perspektif
Teori Akses

1.3. Perurnusan Masalah

Konflik pertentangan antara Omop-L dan masyarakat di kawasan Merapi
yang menolak TNGM dengan pemerintah sebenarnya mempakan masalah
pengelolaan common pool resources. Pemerintah menyikapi pennasalahan dengan
pendekatan sentralistik melalui penetapan bentuk taman nasional sebagai upaya
konservasi. Sementara Ornop-L dan masyarakat di kawasan Merapi yang menolak

TNGM menginginkan pendekatan komunitas (community based management)
dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap
pengelolaan common pool resources. Untuk menganalisa konflik ini digunakan
pendekatan teori kontlik dari Malik et al. (2003) agar diperoleh gambaran tentang
dinamika konflik. Pendekatan ini mengasumsikan konflik sumberdaya alam sama
seperti karakteristik konflik secara m u m . Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi yaitu: (1) hubungan antar manusia, (2) kepentingan, (3)
kerbedaan] data, (4) perbedm nilai, dan (5) struktural.
Pengelolaan kawasan Merapi juga adalah masalah pengelolaan akses
masyarakat terhadap sumberdaya dam. Oleh karena itu, dalam menganalisa
fenomena di kawasan Merapi ini digunakan pula pendekatan teori akses dari Ribot
dan Peluso (2003) yang mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk
memperoleh keuntungan dari segala hal (ability to derive benefirs from things).
Gagasan ini merujuk pada adanya ikatan kekuasaan (bundle of powers) dan
bukannya pada ikatan hak (bundle of rights). Rumusan ini adalah tentang
bagaimana aktor bisa memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya
melalui suatu hubungan sosial yang luas dan bukannya pada hubungan properti
semata. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa ada seseorang atau
beberapa orang ataupun lembaga yang bisa memperoleh keuntungan dari
memanfaatkan sumberdaya, tidak peduli apakah memiliki hak atas sumberdaya
tersebut atau tidak.
Berdasarkan pen&usan pennasalahan yang dikemukakan dan pendekatan
yang digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

-

Siapa saja aktor yang ierlibat?

-

Apa latar belakang para aktor tersebut dan apa kepentingannya?

-

Bagaimana cara para aktor menggalang formasi kekuasaan tersebut?

-

Bagaimana hubungan antar para aktor yang berkepentingan tersebut?

-

Seperti apa rnekanisme yang digunakan para aktor untuk mencapai tujuan,
mengendalikan akses, dan mempertahankan alur keuntungan dan sekaligus
mendistribusikannya?

-

Siapa yang paling mendapatkan keuntungan, dan siapa yang dirugikan?

1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:

1. Memetakan kep~ntingandan relasi kekuasaan para aktor dalam konsemasi
sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi.

2. Menganalisis konflik kepentingan dan relasi kekuasaan para aktor dalam
konservasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi.

3. Mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan,
dan pengendalian akses sumberdaya dam di Taman Nasional Gunung
Merapi.

1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi
pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi dengan mempertimbangkan
kekuatadpotensi konflik ekologi yang ada. Hasil studi ini juga diharapkan mampu
memperkaya khasanah studi ekologi politik di Indonesia.

11. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Konservasi datam Perspektif Biofisik dan Ekonomi
Konsep-konsep konsewasi kini mengalami perluasan definisi. Menurul
MacKinnon dalam Alikodra (2005), konsep konsewasi yang modem adalah suatu
pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
bijaksana Konsep ini berdasar!:an

2dclanj.a duz kebutuhm; pertama, kebutuhan

untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat.

Kedua, kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak
habis.
Paradigma ini menggeser paradigma lama yang selama ini memahami
konservasi sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam zrtian tertutup
bagi upaya pemanfaatan dan anti pembangunan. Paradigma ymg baru
memberikan saran bahwa jika suatu kawasan konsewasi dilindungi, dirancang,
dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi keuntungan yang lestari bagi
masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri akan penting artinya dalam
pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan turut mengembangkan
peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan, serta meningkatkan
kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan kawasan dilindungi
merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam dapat
dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan di
masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat pertumbuhan dan kegiatan
manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan lingkungannya (Alikodra
2005).
Menurut Ehrlich dan Wilson dalam Alikodra (2005), manusia seharusnya
mengkhawatirkan fenomena berkmangnya keanekaragaman hayati karena tiga
alasan: Pertama, manusia sebagai homo sapiens yang merupakan spesies dominan
di bumi ini, sehingga sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk
melindungi semuanya yang telah tumt menemani tinggal di alam semesta. Kedua,
manusia menerima keuntungan ekonomi secara langsung dalam bentuk makanan,
obat-obatan, dan produk industri, dan berpotensi untuk menerima lebih lagi.

Kzfiga, adanya jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem seca& alami,

seperti penleliharaan kornposisi gas-gas di atn~osfer, proses fotosintesa yang
membuat bumi mengalami kecukupan oksigen.
Effendi (2001) rnenganlati terdapatnya miskonsepsi dalam pemahaman
terhadap kawasan

konsemasi. Ia

mengatakan bahwa miskonsepsi

itu

dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kawasan konservasi merupakan
sumberdaya dam yang "hilang" dalam mendukung kepentingan pembangunan
ekonomi. Kesalahpahaman itu diperkuat ketika pmI~rintahmenunjuk suatu areal
sebagai kawasan konservasi dan kemudian membatasi kegiatan manusia dalam
kawasan tersebut, sehingga masyarakat berpendapat bahwa kawasan konsemasi
tersebut hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir pada masyarakat
lokal atau negara. Penilaian ekonomi sumberdaya (resources valuation) dapat
digunakan sebagai peralatan kebijakan untuk membantu para perencana
pemerintahan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi dengan
mempertimbangkan nilai ekonomi dari berbagai altematif pilihan penggunaan
lahan, termasuk kawasan konsemasi.
Konsemasi sumberdaya dam di kawasan Merapi pada mulanya bettujuan
untuk perlindungan masyarakat di sekitamya dengan alasan bencana alam namun,
alasan perlindungan ini kemudian diperluas menjadi perlindungan terhadap
keanekaragaman hayati di kawasan itu sendiri. Sebagai daerah resapan air bagi
masyarakat yang tinggal di sekitarnya, kawasan Merapi adalah conzmon property
yang akan mudah disalah gunakan pemanfaatannya oleh individu atau kelompok
pengguna yang bertindak atas kepentingannya sendiri. Menurut model padang
rumpdt milik Hardin, pemecahan permasalahan common property untuk
mencegah tragedy of common adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan
sentralisasi atau privatisasi sumberdaya dam tersebut (Hardin 1968). Selain kedua
pendekatan tersebut, Ostrom (1990) dalam Van Vugt (2002) mengemukakan
pendekatan ketiga berupa rancangan kerjasama kelembagaan yang kuat yang
diorgariisir

dan diatur oleh pengguna sumberdaya itu sendiri. Ostrom

mengupayakan agar kelompok-kelompok utama yang berada dalam situasi yang
saling bergantung satu sama lain ini mampu mengorganisir dan mengatw dirinya
sendiri untuk memperoleh keuntungan yang terus menerus sementara menghadapi

kendala adanya kelompok pendompleng Cfree rider), tak mematuhi F2raturan
(shirk), atau oportunis.
Semenjak tanggal 4 Mei 2004. kawasan Merapi teiah berubah menjadi
Taman Nasional Gunung Merapi melalui SK MenHut No.134/2004. Keputusan
ini mencerminkan sistem sentralisasi pengelolaan sumberdaya yang dianut
pemerintah. Kebijakan ini mengundang kontroversi dari masyarakat dan lembaga
legislatif daerah. Pemerintah menyikapi kontroversi tersebut dengan merevisi SK
MenHut No.7012001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Pembahan Status dan
Fungsi Kawasan Hutan dengan SK MenHut No. 04812004 tanggal 23 Januari
2004. Revisi SK ini mengisyaratkan tidak diperlukannya lagi izin DPRD dalam
proses pembahan status kawasan Merapi oleh Pemerintah Pusat. Uniknya, SK
MenHut No. 13412004 sendiri masih mencanturnkan SK MenHut No.7012001
sebagai salah satu SK yang menjadi salah satu dasar keputusan. Mengapa
pemerintah terkesan memaksakan din dalam menetapkan keputusan pembahan
status kawasan Merapi?
Pengelolaan sumberdaya dengan sistem sentralisasi mempakan salah satu
cara untuk mengatasi dilema sumberdaya. Tujuannya adalah mengatur akses
individu terhadap sumberdaya. Strategi yang dilakukan adalah dengan
meningkatkan kontrol dari pusat dan meningkatkan kontrol individu. Meskipun
demikian, sistem sentralisasi tidak selalu dianut individu pengguna karena mereka
tidak sertamerta memberikan kebebasan yang selama ini dimilikinya dalam
mengakses sumberdaya kepada pemerintah. Ini disebabkan dua hal, pertama;
individu tidak percaya sistem yang diberlakukan marnpu menghentikan mereka
yang bisa menggunakan sumberdaya secara berlebihan. Kedua, individu
mengkhawatirkan adanya praktik kompsi dan eksploatasi oleh pemerintah itu
sendiri. Pada suatu masyarakat yang sebenarnya memiliki altematif pilihan untuk
menciptakan suatu sistem pengaturan akses sumberdaya, sistem sentralisasi
menjadi sistem yang sangat tidak populer (Van Vugt 2002). Menurut Ostrom
dalam Vugt (2002), sistem sentraiisasi tidak cukup efisien dalam mengatasi
permasalahan sumberdaya. Penyebabnya, pertama, diperlukan suatu sistem
pengawasan yang ketat untuk bisa mengontrol pasokan sumberdaya yang ada.
Kedua, pemerintah kemungkinan tidak cukup memahami pengetahuadkearifan

iokai un~uknlemoniror konaisi sumkraaya aan n~erencanaicanaturan yang
optimal dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya (Van Vugt 2002).
Kenyataannya memang, hampir semua pengelolaan taman nasional di
Indonesia mengalami permasalahan baik sod pendanaan maupun dalam
menghadapi ilegal logging maupun perambahan waayah. Menurut lbyanto
(2005), beberapa kendala dalam pengelolaan kawasan konsewasi di Indonesia
adalah:

1. Kurangnya sumberdaya manusia yang profesional di bidang konservasi
sumberdaya alam;
2.

Kondisi lapangan yang berat sehingga terjadi kesulitan membangun
infrastruktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
suaka dam dan pelestarian alam;

3. Pendanaan dalam bidang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam masih minim, sehingga perlu adanya dukungan dana
untuk mendukung program tersebut.
4. Peran serta masyarakat di dalam bidang konsewasi sumberdaya alam
hayati masih rendah.
Menurut Sumardja (2004), kebanyakan kawasan konsewasi di Indonesia lnemang
sangat minim sumberdaya, beberapa di antaranya bahkan tidak menenma bujet
reguler sama sekali, dan hanya bergantung pada pendanaan dari lembaga donor
suplementer, yang memberikan dana untuk proyek yang terbatas durasinya.
Pemerintah Indonesia selama ini berupaya mencari alternatif pencarian dana
melalui program mekanisme peningkatan pendapatan konsewasi yang disebut

Integrated Consetvation and Development Project (ICDP) yang didukung oleh

Bank Dunia.
Jika memang, kondisi pengelolaan tarnan nasional di tanah air tidak terlalu
baik, bukankah keputusan menetapkan Taman Nasional Gunung Merapi justru
menambah panjang daftar permasalahan yang akan dihadapi pcmerintah dalam ha1
pengelolaan kawasan konservasi? Apakah dana pengelolaan kawasan konservasi
akan dapat berkelanjutan jika ketergantungan terhadap lembaga donor begitu
besar? Bagaimana melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman
:

nasional?

2.2. Globalisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keanekaragarnan
IIayati

Sebagai negara anggota CBDIConvention on Biological Diversig~,
kebijakan penetapan Taman Nasional merupakan salah satu kewajiban Indonesia.
Konvensi keanekaragaman hayati ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara
danlatau kepala pemcrintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi
diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Penandatanganan ini terlaksana selama
penyelenggaraan United Nations Conference and Developnzent (UNCED) tanggal
3-14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara ke delapan yang menandatangani
Konvcnsi di Rio de Janeiro, Brazil, 5 Juni 1992 (Penjelasan UU RI No.511994,
IB). Selanjutnya pemerintah Indonesia mengamandemen Konvensi tersebut dan
menerbitkan UU No. 511995 Tentang Pengesahan United Nations Convention on

Biological Diversity. Dilihat dari perspektif Globalocentric, kebijakan pemerintah
ini mengartikan bahwa wacana keanekaragaman hayati yang selama ini diakui
Indonesia mempakan pemahaman sebagaimana telah disebarluaskan oleh
institusi-institusi global. Oleh karenanya pengelolaan terhadap keanekaragaman
hayati pun dilakukan dengan menganut mekanisme yang disepakati bersama.
Menurut Escobar (1998), perspcklif Globalocentric merupakan perspektif
yang

memahami

keanekaragaman hayati

scturut wacana-wacana

yang

disebarluaskan oleh institusi-institusi dominan, terutama Bank Dunia dan Ornop-

L utara (seperti World Conservation Union, World Resources Institute, dan World
Wildlife Fund), dan dukungan dari negara-negara G7. Pemahaman ini
mendasarkan pada adanya suatu "ancaman terhadap keanekaragaman hayati" yang
lebih menekankan pada hilangnya habitat, introduksi spesics di habitat alien, dan
fragmentasi terkait dengan pengurangan habitat, ketimbang pada hal-ha1 yang
menjadi penyebab; pemahaman ini menawarkan resep-resep untuk konservasi dan
pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan pada tingkatan lokal, nasional, dan
intemasional; juga menyarankan mekanisme yang tepat untuk pengelolaan
keanekaragaman hayati, termasuk riset ilmiah, konservasi in-situ dan eks-situ,
perencanaan keanekaragaman hayati nasional, dan penetapan mekanismc yang
sesuai untuk kompensasi dan pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati
secara ekonomis, melalui pemberian hak-hak kekayaan intelektual. Wacana

7engelolaa.n ini didiseminasikan melalui serangkaian kegiatan seputar CBD,
termasuk kegiatan lanjutan yang diberinama Confirences of the Parties (COP).
CBD merupakan organisasi peletak arstitektur dasar bagi kerangka kerja
keanekaragaman hayati.
Menurut Duarte (2001), di era globalisasi terdapat dua perspektif dalam
memandang pengelolaan sumberdaya dam, pertama adalah perspektif Globalisasi
Ekosentrisme (1960an-1970an) yang melinat bumi sebagai ekosistem ra