Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula

KARYA TULIS

DINAMIKA SPORULASI
CENDAWAN MIKORIZA
ARBUSKULA

Oleh:
Dr. Delvian, SP.MP.
NIP. 132 299 348

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

2006
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan tentang Dinamika
Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula ini dengan baik.
Tulisan ini berisi informasi tentang dinamika sporulasi cendawan mikoriza
arbuskula.

Banyak informasi yang menyebutkan bahwa perkembangan

cendawan mikoriza arbuskula sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman
inangnya danm faktor lingkungan. Dengan kata lain perkembangan cendawan
mikoriza mempunyai pola musiman atau bersifat seasonal. Pada sisi lain banyak
studi tentang keanekaragaman cendawan mikoriza ini hanya dengan satu kali
eksplorasi lapangan dan tidak memperhatikan faktor musim atau iklim. Dalam
tulisan ini coba dibahas dengan data-data hasil eksplorasi lapangan tentang pola
sporulasi cendawan mikoriza yang bersifat musiman ini.
Penulis berharap tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat sebagai
bahan bacaan bagi para mahasiswa yang berminat dan dapat menjadi salah satu
sumber referensi dalam melakukan penelitian dalam bidang yang berkaitan.
Akhirnya, pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulusuran
bahan tulisan ini.


Medan, Juli 2006

Penulis

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN

1

II. DINAMIKA SPORULASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA


5

III. ULASAN

11

IV. KESIMPULAN

17

DAFTAR PUSTAKA

21

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

DINAMIKA SPORULASI
CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA


DELVIAN
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Jl. Tri Darma Ujung No. 1 Kampus USU Padang Bulan
Medan
e-mail : dvilly6@yahoo.co.uk

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

PENDAHULUAN
Cendawan mikoriza arbuskula dapat ditemukan hampir pada semua
ekosistem di dunia, bahkan lebih dari dua per tiga spesies tanaman yang ada di
dunia membentuk simbiosis dengan cendawan ini (Fitter dan Merryweather,
1992).

Keberadaan dan keanekaragaman CMA dalam ekosistem dapat


meningkatkan keanekaragaman tanaman. Menurut van Der Heijden at el. (1998)
keanekaragaman CMA adalah faktor utama yang memelihara keanekaragaman
tanaman dan fungsinya dalam ekosistem.
mikroba

tanah

lainnya

dapat

Selain itu interaksi CMA dengan

mengatur

fungsi

ekosistem

seperti


keanekaragaman, produktivitas dan variabilitas tanaman. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya peranan CMA dan fungsinya dalam pengelolaan lingkungan.
Mempelajari keanekaragaman CMA cukup rumit dan kekhususan
inangnya adalah salah satu aspek lain dari keanekaragaman CMA.

Jika

kekhususan inang dari CMA kecil dalam komunitas yang beragam maka
keanekaragaman CMA akan sangat besar.

Sebaliknya jika kekhususan ini

sangat tinggi maka akan mengurangi keanekaragaman CMA dalam suatu
ekosistem (Abbott dan Gaezy, 1994). Di samping itu stabilitas atau perubahan
komunitas CMA juga sangat penting dalam menentukan keanekaragaman dan
keberlanjutan dari tanaman yang obligat mikotrofik. Lebih lanjut, keberadaan
CMA pada suatu ekosistem ditentukan oleh komposisi dan keberadaan vegetasi
yang menjadi inangnya.
Keberadaan dan peranan CMA telah dipelajari secara ekstensif pada

beberapa komunitas tanaman, seperti di hutan tropis (Pacioni, 1986) dan bukitbukit pasir (Puppi, 1986 ; Louis, 1990 ; Semones dan Young, 1995 ; Siguenza et
al., 1996), tetapi informasi tentang ekologi CMA masih sangat kurang. Faktorfaktor yang mempengaruhi ketahanan CMA, perkecambahan spora, kolonisasi
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

akar, dan pembentukan spora CMA akan menentukan keberadaan dan
keanekaragaman CMA di alam.

Oleh karena itu studi yang mengarah pada

faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan CMA masih perlu terus
dikembangkan. Pemahaman akan hal ini sangat penting dalam pemanfaatan
CMA guna meningkatkan produksi pertanian dalam arti luas.
Menurut Johnson et al. (1982) sporulasi CMA terjadi sebagai rsepon
terhadap fluktuasi pertumbuhan akar, akan tetapi produksi spora mungkin
meningkat setelah periode pertumbuhan akar yang ekstensif atau penuaan dan
proses senescen tanaman inang.

Perbedaan tanaman inang dan kesuburan


tanah akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap sporulasi setiap
spesies (Hayman, 1975;

McGraw dan Hendrix, 1984).

Di samping itu di

beberapa habitat ditemukan bahwa pembentukan spora CMA bersifat musiman
(Bargett et al., 1999; Mohammad et al., 1998; Puppi et al., 1986; Siguenza et al.,
1996).
Umumnya studi tentang variasi musiman dalam populasi CMA
didasarkan pada jumlah spora yang diisolasi (Abbott dan Gazey, 1994). Apakah
puncak produksi spora terjadi pada musim semi-musim panas atau musim
panas-musim gugur tampaknya berhubungan dengan iklim dan tanaman tetapi
penurunan jumlah spora yang nyata terjadi selama musim dingin. Selanjutnya
inokulum

yang


mampu

bertahan

selama

musim

mengkolonisasi akar tanaman pada musim semi.

dingin

akan

segera

Jumlah spora meningkat

selama musim pertumbuhan dan kemudian menurun dengan berlalunya musim
semi.

Saif (1977) dalam Hetrick (1984) membuat model siklus biologi CMA
pada tanaman semusim yang dibagi menjadi 3 fase. Fase pertama atau lag
fase, berhubungan dengan perkecambahan spora CMA yang diikuti oleh
penetrasi ke dalam akar yang merupakan proses awal kolonisasi. Selama fase
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

ini jumlah spora tinggi sebaliknya persentase kolonisasi masih rendah. Pada
fase kedua, kolonisasi menyebar dalam kortek akar dan fase ini ditandai dengan
kelimpahan arbuskula dalam akar tanaman.
Fase ketiga atau fase konstan, berhubngan dengan fase reproduktif
tanaman inang.

Selama fase ini kolonisasi berada pada level konstan dan

umumnya terjadi pembentukan vesikula. Pada saat yang sama jumlah spora
yang terbentuk di daerah perakaran meningkat. Ini adalah bentuk pertahanan
hidup CMA dalam keadaan tidak aktif, sampai pembentukan asosiasi mikoriza
yang baru (Puppi et al., 1986).

Banyak

studi

yang

menunjukkan

bahwa

dipengaruhi oleh musim atau bersifat musiman.

perkembangan

CMA

Tidak sedikit pula yang

melaporkan bahwa perkembangan CMA tidak bersifat musiman.

Gay et al.

(1982) mempelajari pengaruh musim terhadap kolonisasi CMA pada Abronia
umbellata dan Camissonia californica.

Hasilnya menunjukkan kolonisasi CMA

berkurang selama atau sesudah periode pembungaan, yaitu antara April – Juni
untuk Abronia umbellata dan Mei – Nopember untuk Camissonia californica.
Penelitian lain yang dilakukan Saif dan Khan (1975) dan Bethlenfalvay
et al. (1982) mempelajari penghentian pertumbuhan CMA berhubungan dengan
fase reproduktif tanaman.

Selama musim dingin CMA umumnya ditemukan

dalam akar tanaman sementara jumlah spora di daerah perakaran lebih sedikit,
dan sebaliknya pada musim panas dimana pembentukan spora akan meningkat.
Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Sparling dan Tinker (1978) untuk
padang rumput di dataran tinggi, dimana kolonisasi CMA tidak berfluktuasi
dengan musim. Persentase kolonisasi CMA pada rumput di latitud rendah (Pond
et al., 1984; Puppi et al., 1986) dan pada semua seri bukit pasir di laut Adriatik
(Pacioni, 1986) adalah tetap sepanjang tahun.

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Rozema et al. (1986) menyatakan bahwa distribusi CMA di salt marsh
di Netherlands lebih dipengaruhi oleh filogeni tanaman inang (famili tanaman
bermikoriza versus tidak bermikoriza) daripada posisi spasial di lapangan.
Sedangkan Johnson-Green et al. (1995) melaporkan bahwa distribusi dan
aktivitas CMA lebih berhubungan dengan perbedaan fenologi pertumbuhan akar,
bukan faktor iklim atau tanah.
Belum ada informasi tentang pola sporulasi CMA di daerah tropis
khususnya di ekosistem hutan pantai, apakah juga bersifat musiman mengingat
untuk daerah tropis tidak adanya perbedaan musim yang cukup tegas.

Diduga

setiap jenis CMA mempunyai pola pembentukan spora dan kolonisasi yang
berbeda sebagai respon terhadap perubahan musim.

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

DINAMIKA SPORULASI
CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA
Dinamika sporulasi CMA dapat dilihat dengan melakukan pengukuran
jumlah spora dan penentuan jenis CMA yang ada. Untuk dapat melihat dinamika
sporulasi CMA maka pengamatan/pengukuran harus dilakukan secara periodik
dalam waktu satu tahun. Di samping itu perlu juga dihitung persentase kolonisasi
yang terjadi pada tanaman inang di lapangan karena besarnya persentase
kolonisasi juga dipengaruhi oleh kondisi musim dan ada hubungannya dengan
proses pembentukan spora atau sporulasi.
Pada kondisi basah atau banyak hujan umumnya persentase kolonisasi
meningkat dan pembentukan spora baru berkurang. Hal ini disebabkan karena
kelembaban tanah yang tinggi pada kondisi basah akan merangsang
perkecambahan spora dan terbentuknya kolonisasi dengan tanaman inang.
Sebaliknya pada kondisi kering atau sedikit hujan pembentukan spora baru akan
meningkat dan persentase kolonisasi akan menurun.

Kondisi kering akan

merangsang pembentukan spora yang banyak sebagai respon alami dari CMA
serta upaya untuk mempertahankan keberadaannya di alam.
Dalam studi ini jenis tanaman sampel untuk pengukuran persentase
kolonisasi dan kepadatan spora pada setiap PUP berbeda, kecuali pada PUP IV
dan V. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jenis tanaman sampel dan tingkat salinitas setiap PUP
PUP
I (A3)
II (B1)
III (C1)
IV (D2)
V (E1)

Salinitas (mmho/cm)
7,5
9,9
11,5
8,3
11,0

Tanaman Inang
Buchanania arborescen
Planchella nitida
Alstonia sp.
Vitex quinata
Vitex quinata

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Persentase kolonisasi dan kepadatan spora

CMA bervariasi dan

berfluktuasi pada setiap tanaman dalam setiap pengambilan contoh tanah.
Setiap tanaman mempunyai pola fluktuasi yang berbeda yang tidak menunjukkan
suatu kecenderungan tertentu terhadap perbedaan waktu pengamatan. Akan
tetapi variasi persentase kolonisasi dan kepadatan spora dipengaruhi oleh tingkat
salinitas tanah. CMA. Hasil penghitungan persentase kolonisasi dan kepadatan
spora

CMA pada setiap tanaman disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2

sedangkan data jumlah curah hujan pada Gambar 3.

30
28

Persentase kolonisasi

27,33
25,33

25

24,67
22,67

20

18,67

17,67

17,67

16,33

15
12,33
11,33

10

13

15,67
13,67
12,67

8

13,67

11,33
9,67

10,67

6,67

14,33

11,33
8,33

7,33

5
0
N-2000

F-2001

M-2001

A-2001

N-2001

Waktu pengamatan
B. arburescens
Vitex quinata

Gambar 1.

Planchella nitida
Vitex quinata

Alstonia sp.

Rata-rata persentase kolonisasi CMA pada setiap
tanaman dalam lima kali pengamatan

Pada B. arburescens persentase kolonisasi cenderung menurun
dengan berkurangnya curah hujan kecuali pada pengamatan keempat (A-2001)
dengan persentase kolonisasi sebesar 27,33%.

Sementara itu persentase

kolonisasi CMA untuk Vitex quinata pada PUP IV dan PUP V mempunyai pola
yang hampir sama. Puncak kolonisasi terjadi pada pengamatan ketiga (M-2001)
masing-masing sebesar 18,67% dan 16,67%.

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Pada Alstonia sp. persentase kolonisasi cenderung tetap tanpa
perubahan yang cukup berarti dengan tingkat kolonisasi berkisar antara 11,3314,33%. Tanaman Planchella nitida mempunyai persentase kolonisasi terkecil
dibandingkan empat jenis tanaman lainnya dan fluktuasi kolonisasi yang terjadi

Jumlah spora (per 50 gr tanah)

pada setiap pengamatan relatif rendah (6,67-9,67%).

60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10

51
46
39

40
34
32

29
26
22
20

24
23

N-2000

F-2001

39
38
36

46
42

31

35
34
30
29

M-2001

A-2001

36
30
27

N-2001

Waktu pengamatan
B. arburescens
Vitex quinata

Planchella nitida
Vitex quinata

Alstonia sp

Gambar 2. Jumlah spora CMA (per 50 gr tanah) yang diperoleh
dari lima kali pengamatan.

Pembentukan spora pada B. arburescens juga berfluktuasi dimana
pembentukan spora cenderung meningkat dengan berkurangnya curah hujan
dan jumlah spora terbanyak diperoleh pada pengamatan ke-empat (51 spora per
50 gr tanah). Dilihat dari perubahan musim (curah hujan) produksi spora CMA
terjadi pada periode kering dengan curah hujan berkisar antara 212-440 mm
(Gambar 3).
Untuk tanaman Vitex quinata jumlah spora terbanyak juga diperoleh
pada pengamatan ketiga masing-masing 38 spora dan 36 spora per 50 gr tanah.
Sedangkan pada Alstonia sp. produksi spora CMA berfluktuasi dengan waktu

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

pengamatan dimana jumlah spora terbanyak diperoleh pada pengamatan ke-tiga
(M-2001), yaitu 39 spora per 50 gr tanah.

Dari Gambar 14 terlihat bahwa

pembentukan spora CMA cenderung meningkat dengan berkurangnya curah
hujan, meskipun fluktuasi peningkatannya bervariasi antar jenis tanaman. Tidak
demikian halnya dengan pembentukan spora pada Planchella nitida dimana
jumlah spora terus meningkat dengan perubahan waktu pengamatan.

Jumlah curah hujan (mm)

800
708

700

637

620

600

562

500
440

412

400
300

290
205

200

240

212

188

180

168

100
0
N

D

J

F

M

A

M

J

J

A

S

O

N

Waktu pengamatan (2000-2001)

Gambar 3. Rata-rata curah hujan yang terjadi selama masa
penelitian (Sumber : PTPN VIII Perkebunan Mira
Mare)

Hasil identifikasi spora-spora yang diperoleh pada setiap pengamatan
menunjukkan terjadinya perubahan tipe spora yang terbentuk, seperti terlihat
pada Tabel 2. Dari lima PUP dengan lima kali pengamatan tampak tidak ada
satu pun PUP yang mempunyai komposisi tipe CMA yang persis sama. Setiap
kali pengamatan jenis spora CMA yang diperoleh berbeda dengan jenis CMA
yang diperoleh pada pengamatan sebelumnya.
Jumlah tipe spora yang diperoleh pada setiap PUP berbeda, baik antar
PUP dalam waktu pengamatan yang sama maupun dalam PUP yang sama tetapi

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Tabel 8. Dinamika jenis cendawan mikoriza arbuskula yang diperoleh pada setiap petak ukur
permanen dalam lima kali pengamatan

Petak
Ukur

Jenis cendawan mikoriza arbuskula pada setiap waktu pengamatan
Nopember
Februari 2002
Mei 2002
Agustus 2002
Nopember 2001
2000
CH = 708 mm
CH = 440 mm
CH = 212 mm
CH = 180 mm
CH = 637 mm

A3

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. – 2
Gigaspora sp.
Sclerocystis sp.

Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. – 1
Gigaspora sp.
Sclerocyctis sp.

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 7
Glomus sp. – 8
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 6
Glomus sp. – 7
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 6
Glomus sp. – 8
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2
Gigaspora sp.

B1

Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. - 1
Gigaspora sp.

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 6
Glomus sp. – 7
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2

Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2
Acaulospora sp. – 3

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp.-2

Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 6
Glomus sp. – 7
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2
Gigaspora sp.

C1

Glomus sp. – 2
Gilomus sp. – 5
Acaulospora sp. – 2
Gigaspora sp.
Sclerocystis sp.

Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 8
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2

Glomus sp. – 7
Glomus sp.-8
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 8
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2

Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 7
Acaulospora sp. – 2
Gigaspora sp.

D2

Glomus sp. – 6
Glomus sp. – 2
Acaulospora sp. – 2
Gigaspora sp.
Sclerocystis sp.

Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. – 1
Acaulospora sp. – 2
Acaulospora sp. – 3

Glomus sp.-5
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. – 2
Gigaspora sp.

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 5
Glomus sp. – 6
Sclerocystis sp.

Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 7
Acaulospora sp. – 1

E1

Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 1
Acaulospora sp - 2
Gigaspora sp.

Glomus sp. – 2
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 7
Acaulospora sp. – 2

Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 4
Glomus sp. – 6
Acaulospora sp. – 1
Sclerocystis sp.

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 3
Glomus sp. – 5
Acaulospora sp. – 1
Gigaspora sp.

Glomus sp. – 1
Glomus sp. – 7
Acaulospora sp. – 2

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

waktu pengamatan yang berbeda.

Secara umum dalam lima kali pengamatan

jumlah tipe spora pada PUP A3 selalu lebih banyak daripada empat PUP lainnya.
Jika diamati perubahan tipe spora yang terdapat pada suatu PUP antar
waktu pengamatan tampak frekuensi munculnya suatu tipe spora sangat
bervariasi.

Ada tipe spora yang dapat ditemukan pada setiap waktu

pengamatan, yaitu Acaulospora sp.-2 dan ada yang hanya ditemukan dalam satu
kali pengamatan, yaitu Acaulospora sp.-3.
Perubahan tipe spora CMA yang ada pada setiap pengamatan
tampaknya berhubungan dengan jumlah spora yang diperoleh pada setiap PUP
dan waktu pengamatan. Bertambahnya tipe spora CMA yang diperoleh akan
diikuti oleh peningkatan jumlah spora yang terbentuk. Jika kita lihat pada PUP
A3, pada pengamatan pertama (N-2000) diperoleh 8 jenis CMA dengan 32 spora
per 50 gr tanah. Kemudian pada pengamatan kedua (F-2001) diperoleh 10 jenis
CMA dengan 58 spora per 50 gr tanah.

Dari kedua pengamatan tersebut

diperoleh penambahan 4 jenis baru, yaitu Glomus sp.-3, Glomus sp.-4, Glomus
sp.-5, dan Acaulospora sp.-1, tetapi kehilangan dua jenis, yaitu Glomus sp.-8 dan
Gigaspora sp. Dari penambahan jenis CMA ini diperoleh penambahan 26 spora
baru.
Dari lima kali pengamatan pada lima PUP diperoleh total 13 tipe spora.
Tipe spora Glomus adalah yang paling dominan, yaitu 8 tipe spora diikuti oleh
Acaulospora dengan 3 tipe spora serta Gigaspora dan Sclerocystis masingmasing 1 tipe spora.

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

ULASAN

Keanekaragaman jenisCMA (dilihat dari tipe spora yang terbentuk) di hutan
pantai cukup tinggi, dimana pada satu individu pohon yang berbeda ditemukan 3-10
tipe spora. Total tipe spora yang ditemukan dalam lima kali pengamatan adalah 13
tipe spora, terdiri atas 8 tipe spora Glomus, 3 tipe spora Acaulospora dan masingmasing 1 tipe spora Gigaspora dan Scelrocyctis.
Seperti diketahui bahwa CMA mempunyai kisaran jenis inang yang sangat
luas (Smith dan Read, 1987) dan tidak ada kekhususan inang untuk membentuk
simbiosis (Abbott dan Gazey, 1994). Dengan demikian dapat dibayangkan betapa
besar keanekaragaman CMA yang mungkin ada di hutan pantai. Terlebih lagi jika
dilihat data keanekaragaman ini hanya diperoleh dari 1 jenis inang dalam luasan
areal yang kecil (5x20 m) dengan radius 0-60 m dari garis pantai. Di samping itu
interval waktu antar pengamatan juga masih cukup lebar, yaitu 3 bulan.
Keanekaragaman tipe spora CMA selalu berubah dengan perubahan waktu
pengamatan, jenis inang dan tingkat salinitas (ditunjukkan oleh letak petak ukur).
Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman CMA dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan tanaman inang (Johnson-Green et al., 1995; Siguenza et al., 1996).
Faktor lingkungan di sini dibedakan menjadi tingkat salinitas tanah dan musim (curah
hujan).
Secara umum salinitas berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman tipe
spora yang ada (lihat bab Status dan Kelimpahan Cendawan Mikoriza Arbuskula
di Hutan Pantai Berdasarkan Gradien Salinitas). Perubahan musim (curah hujan)
juga mempengaruhi komposisi tipe spora yang ditemukan pada suatu PUP.
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Pengaruh perubahan musim ini berhubungan dengan aktivitas tanaman inang dan
CMA itu sendiri (McGraw dan Hendrix, 1984). CMA adalah simbion obligat sehingga
semua faktor yang mempengaruhi tanaman inang juga akan mempengaruhi CMA
sebagai simbionnya (Smith dan Read, 1997). Kondisi terbaik bagi pertumbuhan dan
perkembangan inang akan memberikan pertumbuhan dan perkembangan terbaik
bagi CMA.
Di samping itu sebagai individu setiap CMA mempunyai faktor intrinsik
(Ocampo et al., 1986) yang akan mempengaruhi responya terhadap perubahan
musim.

Hal ini ditunjukkan oleh frekuensi munculnya suatu tipe spora dengan

perubahan musim. Ada tipe spora yang selalu ditemukan dalam setiap pengamatan
yang menunjukkan bahwa aktivitas tipe spora ini tidak dipengaruhi oleh perubahan
musim, tetapi ada juga yang hanya muncul dalam satu kali pengamatan saja. Hal
ini mempertegas bahwa pengaruh perubahan musim terhadap aktivitas CMA
tergantung pada tipe spora (faktor intrinsik). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Sparling dan Tinker (1978), Pond et al. (1984), Puppi et al. (1986), dan
Pacioni (1986).
Hasil penelitian ini mungkin belum dapat memberikan gambaran pasti
tentang potensi keanekaragaman CMA di hutan pantai. Akan tetapi hasil ini lebih
komprehensif karena data diperoleh dari lima kali pengamatan dan data yang ada
juga menunjukkan adanya perubahan jumlah dan tipe spora CMA pada setiap
pengamatan.

Selama ini informasi tentang keanekaragaman CMA pada suatu

ekosistem atau tegakan atau individu pohon diperoleh hanya dari satu kali
pengamatan, seperti yang dilakukan oleh Ervayenri (1998) dan Ekamawanti (1999)
pada ekosistem gambut, Purwanto (1999) pada ekosistem hutan pantai, Maryadi
(2002) pada tegakan jati, dan Silviana et al. (1999) pada rizosfir manggis.
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Hall

(1984) menyatakan bahwa jumlah dan jenis CMA yang dihasilkan setiap tahunnya
mungkin tidak sama dan ada kecenderungan satu atau beberapa genus CMA
sangat terbatas penyebarannya.

Oleh karena itu sporokarp atau spora yang

terkumpul dari satu wilayah dalam suatu waktu tertentu mungkin tidak mewakili
seluruh spora yang ada dari jenis CMA yang ada pada wilayah tersebut.
Dari lima kali pengamatan selama kurun waktu satu tahun diperoleh hasil
bahwa persentase kolonisasi dan produksi spora bervariasi dan berfluktuasi pada
setiap tanaman dan petak ukur. Variasi persentase kolonisasi dan jumlah spora
antar jenis tanaman tampaknya menunjukkan pola yang tidak sama terhadap
perubahan musim (curah hujan). Hasil ini menunjukkan bahwa dinamika kolonisasi
dan pembentukan spora atau sporulasi lebih berhubungan dengan tanaman inang
daripada perubahan musim. Menurut Johnson-Green et al. (1995), jika simbiosis
antara CMA dan inangnya adalah sesuatu yang penting maka waktu pertumbuhan
terbaik dari tanaman inang adalah merupakan puncak aktivitas CMA.
Jika melihat respon kolonisasi pada setiap jenis tanaman terhadap waktu
pengamatan tampak bahwa pola perkembangan kolonisasi setiap tanaman berbeda.
Menurut Puppi et al. (1996) kolonisasi CMA pada tanaman berhubungan dengan
situasi tanaman inang sebagai responnya terhadap kondisi lingkungan. Umumnya
pada daerah dengan salinitas tinggi kolonisasi CMA sangat jarang dan kalupun
terjadinya persentasenya rendah.

Pada sisi lain Abbott dan Gazey (1994)

menyatakan bahwa kolonisasi CMA lebih tinggi pada kondisi ketersediaan air cukup.
Pada keadaan ini persentase dan kecepatan perkecambahan spora

meningkat

(Ocampo et al., 1986) sehingga kolonisasi pada akar tanaman juga akan meningkat.
Adanya curah hujan yang tinggi pada daerah bersalinitas tinggi diharapkan
akan dapat meningkatkan kolonisasi akar (Puppi et al., 1996; Abbott dan Gazey,
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

1994). Ada dua pendekatan untuk hal ini, yaitu curah hujan yang tinggi diharapkan
akan mengurangi konsentrasi garam dalam tanah. Menurut Young (1976), air hujan
dapat dengan cepat membuat garam-garam pada tanah tercuci.

Berkurangnya

kadar garam dalam tanah ini diharapkan akan mengurangi hambatan bagi proses
kolonisasi akar. Selain itu adanya air yang cukup dari curah hujan akan membantu
proses perkecambahan spora CMA (Clark, 1997) sehingga juga akan dapat
meningkatkan kolonisasi akar.
Dari hasil penelitian ini secara umum tidak terjadi fluktuasi persentase
kolonisasi CMA yang besar dengan perubahan musim (curah hujan), kecuali pada
tanaman B. arburescens dimana persentase kolonisasi cenderung menurun dengan
berkurangnya curah hujan. Tidak adanya respon persentase kolonisasi yang tegas
dengan perubahan curah hujan ini mungkin berhubungan dengan masalah contoh
akar tanaman yang diamati.

Contoh akar tanaman diambil dari tanaman yang

berbeda pada setiap periode pengamatan, meskipun dari jenis yang sama.
Perbedaan asal akar tanaman ini diduga menjadi alasan mengapa fluktuasi
persentase kolonisasi akar terhadap perubahan curah hujan tidak tegas.
Seperti halnya kolonisasi akar, pembentukan spora atau sporulasi CMA
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tanaman inang dan cendawan lain.
Menurut Bardgett et al. (1999) dalam banyak kasus faktor-faktor yang merangsang
atau menghambat proses kolonisasi akar akan juga merangsang atau menghambat
pembentukan spora CMA. Akan tetapi walaupun kolonisasi akar dan pembentukan
spora mempunyai hubungan yang erat, menurut Abbott dan Gazey (1994) kedua
fenomena ini tidak dapat dikatakan selalu mempunyai hubungan yang positif.
Dalam penelitian ini ada kecenderungan peningkatan jumlah spora dengan
berkurangnya jumlah curah hujan.

Menurut Lewis (1986) fluktuasi kelembaban

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

tanah dapat mempengaruhi pembentukan spora atau sporulasi, mungkin karena hifa
eksternal dipengaruhi secara drastis daripada hifa di dalam kortek akar. Sedangkan
Hernandez et al. (1986) menyatakan bahwa cekaman air pada tanaman bermikoriza
akan menginduksi peluruhan (senescen) miselia CMA, keadaan ini akan memacu
pembentukan spora lebih awal.
Banyak penelitian di daerah temperate yang menghubungkan produksi
spora CMA dengan fenologi tanaman inang. Menurut Siguenza et al. (1996) selama
fase perkembangan buah jumlah karbon yang tersedia bagi CMA akan berkurang
hal ini menyebabkan produksi spora atau kolonisasi akan menurun. Produksi spora
paling tinggi terjadi pada akhir musim pertumbuhan (Dehne, 1986), dan
kecenderungan ini telah dilaporkan oleh banyak peneliti (Hayman, 1970 ; Sutton dan
Barron, 1972 ; Ebbers et al., 1987).
Untuk daerah tropis, seperti Indonesia, pembentukan spora CMA pada
tanaman tahunan mungkin tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan fenologi
tanaman inang ataupun perubahan musim. Sulit untuk menentukan fenologi yang
tegas dari tegakan yang sudah stabil sehingga untuk mencari hubungan antara
fenologinya dengan perkembangan CMA cukup rumit. Begitu juga dengan pengaruh
musim terhadap perkembangan CMA, dimana tidak adanya perbedaan musim yang
tegas seperti halnya di daerah dengan empat musim akan menyulitkan dalam
mempelajari hubungan musim dengan produksi spora.
Meskipun banyak penelitian yang melaporkan bahwa cekaman air akan
merangsang pembentukan spora CMA, belum dapat disimpulkan bahwa kondisi
kering akan selalu menghasilkan spora yang lebih banyak. Penelitian Sieverding
dan Toro (1988) memberikan fenomena lain dimana mereka mempelajari pengaruh
cekaman terhadap tujuh jenis CMA (Acaulospora longula, A. myriocarpa,
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Entrophospora colombiana, Glomus fasciculatum, G. manihotis, G. occultum, dan
Scutellospora heterogama). Pada akhir penelitian jumlah total spora yang terbentuk
dari semua jenis CMA yang digunakan menurun secara signifikan pada kondisi
kering, kecuali pada S. Heterogama yang relatif meningkat dengan perlakuan
pengeringan. Hal ini terjadi karena perlakuan kering akan menurunkan produksi
bahan kering tanaman, maka produksi spora CMA juga akan menurun.
Dari hasil-hasil penelitian yang ada tampak bahwa pengaruh curah hujan
terhadap pembentukan spora sangat tergantung dari jenis CMA yang ada, dalam hal
iini faktor intrinsik CMA lebih berperan (Ocampo et al., 1986). Mungkin terdapat
perbedaan dalam kebutuhan air bagi setiap CMA untuk tahapan perkembangannya
sehingga hubungan antara ketersediaan air tanah dengan pembentukan spora
belum dapat disimpulkan secara lebih tegas.
Adanya

perubahan

tipe

spora

CMA

dalam

setiap

pengamatan

menunjukkan bahwa setiap jenis CMA membentuk spora pada saat yang berbeda,
tergantung fenologi dan responnya terhadap tanaman inang. Di samping itu hal ini
memberikan informasi bahwa keanekaragaman CMA pada suatu lokasi tergantung
pada jenis CMA yang bersporulasi pada saat tersebut, meskipun belum
menggambarkan keanekaragaman CMA yang sesungguhnya.
Dengan demikian apabila kita ingin mengetahui keanekaragaman CMA
pada suatu tegakan atau ekosistem maka harus dilakukan pengamatan secara
periodik. Dengan demikian peluang untuk mendapatkan semua jenis CMA yang ada
pada suatu tegakan atau ekosistem akan lebih besar, sehingga informasi yang kita
dapatkan tentang keanekaragaman CMA yang ada lebih lengkap.

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Keanekaragaman CMA di hutan pantai cukup tinggi dimana pada satu individu
pohon terdapat 3-10 tipe spora CMA.
2. Glomus adalah tipe spora CMA yang paling banyak ditemukan pada ekosistem
hutan pantai.
3. Terdapat dinamika sporulasi CMA di hutan pantai sehingga untuk mengetahui
keanekaragaman CMA yang ada harus dilakukan pengamatan secara periodik.

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

DAFTAR PUSTAKA

Abbott LK dan Gazey C. 1994. An ecological view of the formation of VA
mycorrhizas. Plant and Soil 159 : 69-78
Bardgett RD, Lovell RD, Hobbs PJ, dan Jarvis SC. 1999. Seasonal changes in soil
microbial communities along a fertility gradient of temperate grasslands.
Soil Biology and Biochemistry 31 : 1021-1030
Bethlenfalvay GJ, Pakovsky RS, Brown MS, dan Fuller G. 1982. Mycrotrophic
growth and mutualistic development of host plant and fungal endophyte in
an endomycorrhizal symbiosis. Plant Soil 68 : 43-54
Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root
colonization, and hoast plant growth and mineral acquisition at low pH.
Plant and Soil 192 : 15-22
Dehne HW. 1986. Influence of VA mycorrhizae on host plant physiology. Di Dalam
: Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (Eds). Physiological and genetical
aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on
Mycorrhizae. Hal. 431-435
Ebbers BC, Anderson RC dan Liberta AE. 1987. Aspect of the mycorrhizal ecology
of prairie dropseed Sporobolus heterolepis (Poaceae). Am. J. Bot. 74 :
564-573

Ekamawanti HA. 1999. Biodiversity of Arbucular mycorrhizal fungi in peat
ecosystems in West Kalimantan. Di Dalam : Smith FA, Kramadibrata K,
Simanungkalit RDM, Sukarno N, dan Nuhamara ST (Eds.) Mycorrhizas in
sustainable tropical agriculture and forest ecosystems. Proceedings of
International Conference on Mycorrhiza. Bogor, Indonesia. Hal. 77-84
Ervayenri. 1998. Studi keanekaragaman dan potensi inokulan cendawan mikoriza
arbuskula (CMA) di lahan gambut (studi kasus di Kabupaten Bengkalis,
Propinsi Riau). Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Fitter AH dan Merryweather JW. 1992. Why are some plants more mycorrhizal than
others? An ecological enquiry. ?. Di Dalam : Read DJ, Lewis DH, Fitter
AH, dan Alexander IJ (Eds).
Mycorrhizas in ecosystems.
C.A.B.
International. Hal. 26-36
Gay pe, Grubb PJ dan Hudson HJ. 1982. Seasonal changes in the consentrations
of nitrogen phosphorus and potassium and in the density of mycorrhiza in
biennial and matrix-forming perennial species of closed chalkland turf. J.
Ecol. 70 : 571-593
Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Giovannetti M dan Mosse B. 1980. An evaluation of technique for measuring
vesicular-arbuscular mycorrhizal infection in roots. New Phytol 84 : 489500
Hayman DS. 1970. Endogone spore numbers in soil and vesicular arbuscular
mycorrhiza in wheat as influenced by season and soil treatment. Trans. Br.
Mycol. Soc. 54 : 53-63
Hayman DS. 1975. The occurrence of mycorrhizas in field crops as affected by soil
fertility. Di dalam : Sanders FE, Mosse B dan Tinker PB (Eds.).
Endomycorrhizas. Academic Press. New York. Hal. 495-509
Hernandez AP, El-Sharkawy, Sieverding E, dan Toro S. 1986. influence of water
stress on growth and formation of VA mycorrhiza of 20 cassava cultivars.
Di Dalam : Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (Eds). Physiological and
genetical aspect of mycorrhizae.
Proceeding of the 1st Europens
Symposium on Mycorrhizae. Hal. 717-720
Hetrick BAD. 1984. Ecology of Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Fungi. pp. 3556.
In : Powell CL and Bagyaraj DJ. (Eds). Vesicular-Arbuscular
Mycorrhiza. CRC Press. Inc. Boca Raton. Florida.
Johnson CR, Menge JA, Schwab S, dan Ting IP. 1982. Interaction of photoperiod
and vesicular-arbuscular mycorrhizae on growth and metabolism of sweet
orange. New Phytol. 90 : 665-673
Johnson-Green PC, Kenkel NC dan Booth T. 1995. The distribution and phenology
of arbuscular mycorrhizae along an inland salinity gradient. Can. J. Bot. 73
: 1318-1327
Kormanik PP dan McGraw AC. 1982. Quantification of VA mycorrhizae in plant
root. Di Dalam : N.C.Schenk (Ed.) Methods and principles of mycorrhizae
research. The American Phytop. Soc. 46 : 37-45
Lewis D.H. 1986. Inter-relationships between carbon nutrition and morphogenesis
in mycorrhizas. Di Dalam : Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (Eds).
Physiological and genetical aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st
Europens Symposium on Mycorrhizae. Hal. 85-100
Louis I. 1990. A mycorrhizal survey of plant species colonizing coastal reclaimed
land in Singapore. Mycologia 82 (6) : 772-778
Maryadi F. 2002. Status dan keragaman CMA di bawah tegakan klonal jati
(Tectona grandis L.f) pada umur 4-7 tahun di kebun benih klonal padangan.
Skripsi. Fakulta Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 53 hal.
McGraw AC dan Hendrix JW. 1984. Host and fumigation effects on spore
population densities of species of endogonaceous mycorrhizal fungi.
Mycologia. 76 : 122-131

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Ocampo JA, Cardona FL dan El-Atrach F. 1986. Effect of root extracts of non host
plants on VA mycorrhizal infection and spore germination. Di Dalam :
Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (Eds). Physiological and genetical
aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on
Mycorrhizae. Hal. 721-724
Pacioni G. 1986. Sporulation of the VAM fungi stimulated by water stress in natural
conditions. Di Dalam : Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (Eds).
Physiological and genetical aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st
Europens Symposium on Mycorrhizae. Hal. 713-716
Puppi G, Tabacchini P, Riess S, dan Sanvito A. 1986. Seasonal pattern in
mycorrhizal associations in maritime sand dune system (Castelporziano,
Italy).
Di Dalam : Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S (Eds).
Physiological and genetical aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st
Europens Symposium on Mycorrhizae. Hal. 245-249
Purwanto A.
1999.
Studi hubungan salinitas dengan kelimpahan cendawan
mikoriza arbuskula (CMA) pada lahan hutan pantai dan hutan mangrove di
cagar alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Skripsi
Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 33 hal.
Rozema J, W. ARP, Van Esbroek M, Broekman R, Punte H, dan Schat H. 1986.
Vesicular arbuscular mycorrhiza in salt marsh plants in response to soil
salinity and flooding and the significance to water relations. Di Dalam :
Physiological and genetical aspect of mycorrhizae. Proceeding of the 1st
Europens Symposium on Mycorrhizae. Hal. 657-660.
Saif SR dan Khan G. 1975. The influence of season and stage of development of
plant on Endogone mycorrhiza of field-grown wheat. Can J. Microbiol 21 :
1020-1024
Semones SW dan Young DR. 1995. VAM association in the shrub Myrica cerifera
on a Virginia, USA barrier island. Mycorrhiza 5 : 423-429
Siguenza C, Espejel I dan Allen EB. 1996. Seasonality of mycorrhizae in coastal
sand dunes of Baja California. Mycorrhiza 6 ; 151-157
Sieverding E and Toro TS.
1988.
Influence of Soil Water Regimes on VA
Mycorrhiza. V. Performance of Different Fungal Species with Cassava. J.
Agron. Crop Sci. 161 : 322-332.
Silviana, Gunawan AW dan Kramadibrata K. 1999. Biodiversity of arbucular
mycorrhizal fungi in the rhizospheres of mangosteen. Di Dalam : Smith
FA, Kramadibrata K, Simanungkalit RDM, Sukarno N, dan Nuhamara ST
(Eds.)
Mycorrhizas in sustainable tropical agriculture and forest
ecosystems. Proceedings of International Conference on Mycorrhiza.
Bogor, Indonesia. Hal. 97-100

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006

Smith SE and Read DJ.
1997.
Mycorrhizal symbiosis.
Second edition.
Academic Press. Harcourt Brace & Company Publisher. London. pp.
32-79
Sparling GP dan Tinker PB. 1978. Mycorrhizal infection in Pennine grassland I
Level infection in the field. J. Appl. Ecol. 15 : 943-950
Sutton JC dan Barron GL. 1972. Population dynamics of Endogone spores in soil.
Can. J. Bot. 54 : 326-333
Sylvia DM and Schenck NC. 1982. Effect of Post-colonization Treatments on
Sporulation of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Phytopathology.
72 : 950-957.
van der Heijden MGA, Klironomos JN, Ursic M, Moutoglis P, Streitwolf-Engel R,
Boller T, weimken A, dan Sanders IR. 1998. Mycorrhizal fungal diversity
determines plant biodiversity, ecosystems variability and productivity.
Nature 5 : 69-72
Wetzel PR dan van der Valk A. 1996. Vesicular-arbuscular mycorrhizae un prairie
pothole wetland vegetationin Iowa and North Dakota. Can. J. Bot. 74 :
883-890
Young A. 1976. Tropical soil and soil survey.
Cambridge.

Cambridge University Press.

Delvian: Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula, 2006

USU Repository©2006