µmml -IC Kajian pertumbuhan dan bioaktivitas antibakteri spons laut petrosia nigricans yang ditransplantasikan pada lingkungan perairan yang berbeda
Laju Pertumbuhan
Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran panjang, lebar dan tebal spons secara langsung dalam air. Pengukuran ini menggunakan jangka
sorong caliper. Pengukuran dilakukan terhadap 30 buah spons dalam rak transplantasi per lokasi Tabel 6.
Laju pertumbuhan yang diukur adalah laju pertumbuhan relatif. Rumus laju pertumbuhan spons dirujuk oleh Ferretti et al. 2009 dari Duckworth dan
Battershill 2001. Rumus laju pertumbuhan dari Duckworth dan Battershill 2001 dimodifikasi dengan mengalikan 100 untuk menyatakan persentase laju
pertumbuhan spons. Laju pertumbuhan per bulan dihitung dari tiap sampel spons menggunakan rumus:
GR = V
m
-V
m-1
X 100 V
m-1
n Dimana:
GR = Laju pertumbuhan per bulan
V
m
= PanjangLebarTebal spons yang diukur pada bulan m V
m-1
= PanjangLebarTebal yang diukur pada bulan m-1 n
= Jumlah bulan diantara dua pengamatan
Kelangsungan Hidup
Pengukuran tingkat kelangsungan hidup spons diakhir penelitian adalah dengan membandingkan jumlah fragmen spons yang hidup diakhir penelitian dan
jumlah fragmen spons pada awal penelitian. Rumus yang digunakan adalah:
Dimana: S = Kelangsungan hidup spons Nt = Jumlah spons yang hidup pada akhir penelitian
No = Jumlah spons pada awal penelitian Tabel 6. Jumlah sampel dalam rak transplantasi untuk pengukuran pertumbuhan
Lokasi Rak Spons ke n
Jumlah Buah
Pari 7m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30
30 Pari 15m
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30 30
Pramuka 7m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30
30 Pramuka 15m
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30 30
Jumlah Total 120
S = Nt x 100 No
Analisis Data Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Analisis pengaruh kedalaman lokasi dan waktu bulan terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons dilakukan dengan analisa Varian
Anova dengan Rancangan Acak Kelompok RAK dengan model linier Steel dan Torrie 1993 sebagai berikut:
Y
ij
= µ + J
i
+ D
j
+ ε
ij
Y
ij
= Respon laju pertumbuhankelangsungan hidup pada waktu ke i, kedalaman lokasi ke j
µ = Rataan umum J
i
= Pengaruh waktu ke i D
j
= Pengaruh kedalaman lokasi ke j ε
ij
= Pengaruh acak pada waktu ke -i dan kedalaman lokasi ke-j Uji lanjut yang digunakan adalah uji Beda Nyata Terkecil BNT
0.05
pada selang kepercayaan 95 dengan rumus sebagai berikut Steel dan Torrie 1993:
BNT
α
=t
α
Sd Sd
= √2S
2
r D
iji
= X
i
-X
j
Dimana: X
i
dan X
j
adalah rataan perlakukan ke-i dan ke-j D
ij
= perbedaan selisih rata-rata antar perlakukan ke-i dan ke -j sd = galat baku beda rata-rata
r = banyaknya ulangan yang sama untuk kedua perlakukan S
2
= kuadrat tengah galat t
α
= t tabel pada taraf nyata
α
2 dengan n derajat bebas Penggunaan rancangan Rancangan Acak Kelompok dalam penelitian ini
adalah pengelompokan berdasarkan waktu pengamatan bulan. Perlakuan kedalaman berdasarkan lokasi perairan di Pramuka yang lebih jauh dari daratan
Teluk Jakarta dan perairan Pulau Pari yang lebih dekat dengan daratan Teluk Jakarta sebagai daerah yang lebih banyak mendapat masukan nutrien.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji F untuk melihat pengaruh waktu dan kedalaman lokasi terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup
spons. Analisis lebih lanjut dengan uji Beda Nyata Terkecil BNT untuk rancangan kelompok lengkap teracak dilakukan jika hasil uji F berbeda nyata.
Jika DBNT berarti selisih rata-rata antar perlakuan tidak berbeda nyata, dan bila DBNT maka selisih rata-rata antar perlakuan berbeda nyata.
Kualitas Air
Perbedaan kualitas air pada kedua lokasi penelitian diuji dengan uji t berpasangan ditentukan dengan membandingkan parameter kualitas air Pulau
Pramuka dan Pulau Pari. Rumus uji t berpasangan Walpole 1995:
Dimana : t = uji berpasangan x
1
= rata- rata populasi 1 x
2
= rata-rata populasi 2 d = µ
1
- µ
2
µ = nilai tengah populasi s
2 p
= ragam populasi gabungan
Keterkaitan Laju Pertumbuhan Spons dan Kualitas Air
Untuk melihat keterkaitan antara laju pertumbuhan spons dengan kualitas air, digunakan analisis statistik multivariat yang berdasarkan Analisis Komponen
Utama atau Principal Component Analysis; PCA Legendre dan Legendre 1983;
Ludwig dan Reynolds 1988.
Hasil dan Pembahasan Kualitas Lingkungan Perairan
Parameter lingkungan perairan yang diamati meliputi suhu, kecerahan, kecepatan arus permukaan, salinitas, derajat keasaman pH, padatan
tersuspensi total TSS, kelarutan oksigen DO, fosfat dan nitrat. Pengukuran kualitas air dilakukan selama satu tahun mulai bulan Juli 2007 sampai Juli 2008.
Secara umum hasil pengukuran kualitas perairan suhu, kecerahan, kecepatan arus permukaan,TSS, DO, fosfat dan nitrat memperlihatkan adanya variasi
t = X
1
–X
2
-d Sp
√1n1 + 1n2 S
2 p
= n
1
-1S
2 1
+n
2
-1S
2 2
n
1
+n
2
-2
antara lokasi penelitian Tabel 7. Hasil uji t berpasangan terhadap parameter fisika-kimia lingkungan kecerahan, kecepatan arus, TSS, DO, nitrat, dan fosfat
antara lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata P0.05 dan tidak berbeda nyata antara kedalaman perairan P0.05. Nilai suhu, salinitas dan pH
tidak menunjukkan perbedaan nyata antara lokasi dan kedalaman perairan P0.05.
Sedangkan nilai TOM menunjukkan perbedaan yang nyata P0.05 antara lokasi dan kedalaman perairan Pulau Pari dan Pramuka. Hasil
pengukuran parameter kualitas air menunjukkan nilai yang masih berada di bawah ambang batas baku mutu, kecuali konsentrasi nitrat.
Tabel 7 Rata-rata hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian di perairan Pulau Pari dan Pulau Pramuka.
Parameter Satuan Lokasi
Baku Mutu
Pari 7m Pari 15m
Pramuka 7m Pramuka 15m
Suhu
o
C 29.5 ±0.7
29.2 ±0.7 29.5 ±0.8
29.1 ±0.9 28-30
Salinitas
‰ 32.2 ±1.1
32.3 ±1.1 32.8 ±0.9
32.8 ±0.9 33-34
Kecerahan
m 6.58 ±0.57
7.23 ±1.25 7.00 ±0.00
11.42 ±0.96 5
Arus permukaan
mdet 0.48 ±0.25
0.35 ±0.23 -
pH
8.00 - 8.14 8.00 - 8.15
8.00 - 8.13 8.00 - 8.13
7-8.5
TSS
mgl 5.92 ±1.80
6.00 ±1.73 4.54 ±1.39
4.62 ±1.32 20
TOM
mgl 18.09 ±2.64
20.14 ±2.55 12.64 ±1.74
14.29 ±1.98 -
DO
mgl 6.25 ±0.63
6.22 ±0.63 7.01 ±0.79
6.84 ±0.85 5
Fosfat
mgl 0.010 ±0.003
0.011 ±0.003 0.008±0.002
0.008±0.002 0.015
Nitrat
mgl 0.084 ±0.014
0.085 ±0.014 0.076±0.015
0.077±0.015 0.008
Keterangan: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 Perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu berada di bawah pengaruh
angin musim monsoon yang menurut Wyrtki 1961 dapat dibagi menjadi: a. Musim Barat berlangsung dari bulan Desember hingga Februari,
merupakan musim hujan; b. Musim peralihan ke Musim Timur atau Musim peralihan I dari bulan Maret
hingga Mei; c. Musim Timur berlangsung bulan Juni hingga Agustus merupakan musim
kemarau; d. Musim peralihan ke Musim Barat atau Musim Peralihan II berlangsung
mulai bulan September hingga Nopember.
Suhu
Pengukuran suhu pada kedalaman 7m dan 15m di perairan Pulau Pramuka dan Pari menunjukkan nilai yang tidak bervariasi. Hasil penelitian
menyatakan rata-rata suhu antara kedalaman lokasi berkisar antara 29.1±0.9
o
C sampai 29.5±0.7
o
C. Rata-rata suhu yang tinggi terjadi pada musim timur dengan nilai rata-rata 30.1±0.3
o
C dan suhu yang rendah pada musim barat dengan nilai 28.5±0.5
o
C Lampiran 1. Hasil uji t berpasangan menunjukkan bahwa nilai suhu antara lokasi dan kedalaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
p0.05Lampiran 2. Berdasarkan hasil pengamatan suhu terendah terjadi pada musim barat dan suhu tertinggi terjadi pada musim timur. Variasi bulanan dengan
suhu terendah terjadi pada musim barat dikarenakan curah hujan yang tinggi, angin yang kencang dan awan yang tebal. Penelitian Rudi 2006 menyatakan
nilai suhu terendah terjadi pada musim barat dan nilai suhu tertinggi pada musim timur dan Nontji 1984 suhu rendah pada musim barat.
Suhu perairan yang tidak bervariasi diantara kedalaman lokasi karena masih dalam lapisan perairan yang homogen. Ilahude 1999 menyatakan
lapisan homogen suhu air umumnya sama mulai dari permukaan laut hingga kedalaman 100m. Keadaan yang homogen dicapai karena adanya pengaruh
kegiatan angin, gelombang dan turbelensi yang mengaduk massa air di lapisan ini sehingga suhu hampir homogen. Di daerah tropis suhu lapisan homogen
berkisar di sekitar 29
o
C. Wyrtki 1961 menyatakan lapisan homogen dimulai dari permukaan hingga kedalaman 50-100m dengan nilai suhu berkisar 26-30
o
C.
Salinitas
Hasil pengukuran terhadap salinitas di lokasi penelitian memperlihatkan kisaran nilai yang tidak terlalu besar yaitu antara 30.0-34.0‰ Lampiran 3.
Salinitas yang tinggi terjadi pada bulan September-Nopember musim peralihan II dengan nilai rata-rata 33.5±0.3‰ dan salinitas yang rendah pada bulan
Desember-Februari musim barat dengan nilai 31.2±0.8‰. Rata-rata nilai salinitas di perairan Pramuka lebih tinggi dari pada perairan Pulau Pari. Hasil uji
t berpasangan menunjukkan nilai salinitas antara lokasi penelitian dan antara kedalaman perairan Pulau Pramuka dan Pulau Pari tidak menunjukan
perbedaan yang nyata p 0.05Lampiran 4. Berdasarkan hasil pengamatan salinitas nilai yang rendah terjadi pada
musim barat Januari-Februari dan nilai salinitas yang tinggi terjadi pada peralihan II September-Nopember. Hasil penelitian salinitas terlihat bahwa
salinitas perairan Pulau Pari lebih rendah dari pada Pulau Pramuka. Hal ini karena lokasi spons di perairan Pulau Pari yang lebih dekat dengan daratan
sehingga lebih banyak mendapat masukan air tawar dari muara sungai di Teluk Jakarta dan Tangerang. Salinitas terendah terjadi pada bulan Januari karena
pada waktu ini adalah musim penghujan. Penelitian Rudi 2006 dan Nontji 1984 salinitas lebih rendah terjadi pada musim barat musim hujan. Spons
hidup pada salinitas 28.00 – 34.00‰ Voogd 2005. Salinitas maksimum di Teluk Jakarta hampir selalu dijumpai pada bulan Nopember, selain disebabkan karena
pengaruh meterologi setempat, juga disebabkan karena pengaruh air yang bersalinitas tinggi dari Laut Flores yang dibawa oleh arus musim timur Juni-
Agustus baru mencapai mencapai Teluk Jakarta bulan Nopember Nontji, 1984. Wyrtki 1961 menyatakan setiap tahun Laut Jawa mengalami perubahan dua
kali perubahan musim yang nyata. Pada musim timur arus utama di Laut Jawa bergerak ke barat membawa air dengan salinitas tinggi yang masuk dari Laut
Flores.
Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi yang dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi. Hasil
penelitian menyatakan kecerahan antara lokasi penelitian berkisar antara 5.50m sampai 13.50m. Rata-rata kecerahan yang tinggi terjadi pada peralihan II dengan
nilai rata-rata 8.96±2.73m dan kecerahan yang rendah pada musim barat dengan nilai 7.17±1.85m. Rata-rata nilai kecerahan di perairan Pramuka lebih
tinggi dari pada perairan Pulau Pari Lampiran 5. Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai kecerahan antara lokasi penelitian menunjukkan perbedaan
yang nyata p0.05Lampiran 6. Berdasarkan hasil pengamatan kecerahan yang rendah terjadi pada
musim barat Desember-Februari dan kecerahan yang tinggi terjadi pada musim peralihan I Maret-Mei dan Peralihan II September-Nopember. Nontji
1984 mengemukakan bahwa perairan Teluk Jakarta bagian barat pada musim peralihan biasanya tenang dan kecerahan maksimum, sedangkan pada musim
barat dengan angin dan ombak besar dengan kecerahan biasanya menurun.
Arus Permukaan
Hasil penelitian menyatakan rata-rata kecepatan arus permukaan yang tinggi terjadi pada bulan Desember- Februari musim barat dengan nilai rata-
rata 0.80±0.11 mdet dan kecepatan arus yang rendah pada bulan Maret-Mei
musim peralihan I dengan nilai 0.21±0.07 mdet. Rata-rata nilai kecepatan arus permukaan di perairan Pramuka lebih rendah dengan nilai 0.36 ±0.23 mdet
daripada perairan Pulau Pari dengan nilai 0.48 ±0.25 mdet Lampiran 7. Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai kecepatan arus permukaan antara lokasi
penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05 Lampiran 8. Berdasarkan hasil pengamatan rata-rata kecepatan arus permukaan
yang rendah terjadi pada musim peralihan I Maret-Mei dan peralihan II September- Nopember dan kecepatan arus yang tinggi terjadi pada musim
barat Desember-Januari. Hasil penelitian rata-rata kecepatan arus permukaan terlihat bahwa kecepatan arus Pramuka lebih rendah dari pada Pulau Pari. Hal
ini karena lokasi spons di Pramuka terletak pada perairan Gosong yang lebih terlindung dari perairan Pulau Pari yang lebih terbuka. Pardjaman 1977 arus
laut pada Teluk Jakarta pada musim barat berkecepatan rata-rata 0.75 mdet dengan arah barat ke tenggara sedangkan pada musim timur terjadi sebaliknya
dengan arus yang lebih lemah. Penelitian Rudi 2006 di perairan Pulau Lancang, Payung dan Pari kecepatan arus berkisar antara 0.18-0.82 mdet,
musim barat arus bergerak dari barat laut menuju ke bagian tenggara. Sebaliknya selama musim timur arus laut secara umum dari timur menuju bagian
barat dan barat laut. Pada musim peralihan I dan Peralihan II kecepatan arus cenderung menurun dan arahnya relatif berubah.
Derajat Keasaman pH
Hasil pengamatan pH perairan di Pulau Pramuka dan Pari berkisar antara 8.00 sampai 8.15. Nilai pH antara di perairan Pramuka dan perairan Pulau Pari
tidak jauh beda Lampiran 9. Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai pH antara lokasi dan kedalaman penelitian menunjukkan nilai pH yang tidak berbeda
yang nyata p 0.05Lampiran 10. Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH antara musim dan kedalaman 7
m dan 15 m adalah tidak berbeda nyata homogen. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi, karena adanya sistem karbon dioksida dalam air laut
mempunyai kapasitas penyangga buffering capacity yang kuat. Ini berarti bahwa pH air laut tidak mudah mengalami perubahan. Menurut Millero dan Sohn
1992 air laut mempunyai kemampuan sebagai penyangga buffer dalam mempertahankan pH air laut untuk selalu basa dan sehingga nilainya relatif stabil
dan sistem ini dikenal dengan sistem karbonat air laut.
Nilai pH yang terendah yang teramati terjadi pada bulan Januari bertepatan dengan musim barat dan musim hujan. Penelitian lain di Kepulauan
Seribu dilaporkan bahwa nilai pH berkisar 7.60-8.16 dengan nilai tertinggi pada musim peralihan ke timur dan terendah pada musim barat Rudi 2006. Nontji
1984 nilai di Teluk Jakarta dan sekitarnya berkisar antara 7.53-8.51 dengan nilai pH terendah pada bulan Januari. Helfinalis 2004 penelitian di perairan
Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, nilai pH berkisar antara 7.56-8.50 dengan
rata-rata nilai pH antara permukaan laut dan dasar tidak ada perbedaan. Padatan Tersuspensi Total TSS
Padatan tersuspensi total Total Suspended SolidTSS adalah bahan- bahan tersuspensi diameter1µm yang tertahan pada saringan millipore
dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah
yang terbawa badan air Effendi 2003. Hasil pengamatan TSS perairan berkisar antara 2.0 mgl sampai 9.0 mgl. Rata-rata TSS adalah diperairan Pramuka 7m
4.54±1.39 , Pramuka 15m 4.62±1.32, Pari 7m 5.92±1.80 dan Pari 15m 6.00±1.73 Lampiran 11. Nilai TSS yang relatif tinggi bulan Desember sampai
Februari musim barat sebesar 6.92±0.99 dan TSS yang relatif rendah terjadi pada bulan September sampai Nopember peralihan II 4.00±0.95 dan Maret
sampai Mei peralihan I 3.50±0.52. Hasil uji t menunjukkan perbedaan yang nyata pada p0.05 antara lokasi perairan Pramuka dan Pari sedangkan antara
kedalaman perairan Pulau Pramuka 7m dengan Pramuka 15m dan perairan Pulau Pari 7m dengan Pari 15m tidak menunjukan perbedaan yang nyata
p0.05 Lampiran 12. Nilai TSS yang tinggi teramati terjadi pada bulan Januari bertepatan
dengan musim barat dan musim hujan, dimana angin dan arus lebih kencang sehingga perairan mudah teraduk dan masukkan padatan tersuspensi dari Teluk
Jakarta lebih besar. Nilai TSS perairan Pulau Pari lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Pramuka disebabkan jarak Pulau Pari lebih dekat ke Teluk Jakarta
yang banyak mendapat masukan padatan tersuspensi dari daratan dibandingkan dengan perairan Pramuka. Penelitian Rudi 2006 nilai TSS perairan di
Kepulauan Seribu berkisar antara 3.00-10.00 mgl. Canter dan Hill 1981 memperlihatkan hubungan antara indeks kualitas air dengan kandungan muatan
padatan tersuspensi. Kandungan 3.00-10.00 mgl merupakan kategori yang baik untuk kualitas lingkungan perairan.
Bahan Organik Total TOM
Hasil pengamatan TOM perairan berkisar antara 10.70 mgl sampai 24.45 mgl. Rata-rata TOM diperairan Pramuka 7m 12.64±1.74 mgl, Pramuka
15m 14.29±1.98 mgl, Pari 7m 18.09±2.64 mgl dan Pari 15m 20.14±2.55 mgl. Nilai TOM yang relatif tinggi bulan Desember sampai Februari musim
barat dan TOM yang relatif rendah terjadi pada bulan September-Nopember peralihan II 14.41±2.83 mgl dan Maret-Mei peralihan I14.51±2.95 mgl
Lampiran 13. Hasil uji t menunjukkan perbedaan yang nyata pada p0.05 antara lokasi dan kedalaman di perairan Pulau Pramuka dan Pari Lampiran
14. Nilai rata-rata TOM tertinggi yang teramati terjadi pada bulan Januari
bertepatan dengan musim hujan, masukkan bahan organik dari muara sungai ke Teluk Jakarta lebih besar. Nilai TOM perairan Pulau Pari lebih tinggi
dibandingkan dengan Pulau Pramuka disebabkan jarak Pulau Pari lebih dekat ke Teluk Jakarta yang banyak mendapat masukan bahan organik dari daratan
dibandingkan dengan perairan Pramuka. Penelitian Rudi 2006 nilai TOM di perairan Lancang, Pari dan Payung berkisar antara 10.11-20.42 mgl.
Kelarutan Oksigen DO
Hasil pengukuran terhadap DO di lokasi penelitian memperlihatkan kisaran nilai DO yaitu antara 5.52-7.96 mgl. Rata-rata DO tertinggi terjadi pada
musim barat dengan nilai rata-rata 7.54±0.35 mgl dan DO terendah pada musim peralihan II dengan nilai 5.87±0.21 mgl. Rata-rata nilai DO di perairan
Pramuka lebih tinggi dari pada perairan Pulau Pari Lampiran 15. Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai DO antara lokasi penelitian menunjukkan
perbedaan yang nyata p0.05, kecuali nilai DO antar kedalaman Pramuka 7m dan Pramuka 15m serta serta Pari 7m dan Pari 15m pada p 0.05 Lampiran 16.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai DO yang tinggi terjadi pada musim barat Desember-Februari dan nilai DO yang rendah terjadi pada peralihan 1
dan musim peralihan 2. Nilai DO antar kedalaman 7m dan 15m tidak berbeda nyata. Hasil penelitian terlihat bahwa DO perairan Pulau Pari lebih rendah dari
pada Pulau Pramuka. Hal ini karena lokasi spons di perairan Pulau Pari yang
lebih dekat dengan daratan sehingga lebih banyak mendapat masukan bahan organik yang dapat menurunkan DO perairan. DO yang tinggi terjadi pada bulan
Januari karena pada waktu ini adalah musim barat dimana terjadi gelombang dan arus yang besar sehingga kelarutan oksigen di perairan bertambah.
Kelarutan oksigen diperairan dipengaruhi oleh suhu dan dekomposisi bahan organik. Perairan yang kaya bahan organik memerlukan oksigen yang
banyak untuk proses dekomposisi bahan organik tersebut. Oksigen yang tidak cukup tersedia akan berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Salmin 2005
menyatakan oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi
bahan organik dan anorganik. Dalam kondisi anaerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhir adalah
nutrien yang dapat menyuburkan perairan.
Fosfat
Hasil pengukuran terhadap fosfat di lokasi penelitian berkisar antara 0.005-0.018 mgl. Rata-rata fosfat yang tinggi terjadi pada musim barat dengan
nilai rata-rata 0.013±0.003 mgl dan nilai fosfat yang rendah pada musim timur dengan nilai 0.005±0.001 mgl. Rata-rata nilai fosfat di perairan Pari lebih tinggi
dari pada perairan Pulau Pramuka. Lampiran 17. Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai fosfat antara lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang
nyata p0.05, kecuali nilai fosfat antara kedalaman Pramuka 7m dan Pramuka 15m serta Pari 7m dan Pari 15m pada p0.05 Lampiran 18.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai fosfat yang tinggi terjadi pada musim barat Desember-Februari dan nilai fofat yang rendah terjadi pada timur Juni -
Agustus. Nilai fosfat antar kedalaman 7m dan 15m tidak berbeda nyata. Hasil penelitian terlihat bahwa fosfat perairan Pulau Pari lebih tinggi dari pada Pulau
Pramuka. Hal ini karena Pulau Pari lebih banyak mendapat masukan fofat berasal dari muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta. Berdasarkan
penelitian Rudi 2006 bahwa rata-rata fosfat berkisar antara 0.003-0.013 mgl dan tertinggi pada musim barat. Riley dan Chester 1971 menyatakan
kandungan fosfat di perairan alami sekitar 0.07 mgl.
Nitrat
Hasil pengukuran terhadap nitrat di lokasi penelitian berkisar antara 0.059-0.109 mgl. Rata-rata nitrat yang tinggi terjadi pada musim barat dengan
nilai rata-rata 0.102±0.003 mgl dan nitrat yang rendah pada musim timur dengan nilai 0.062±0.003. Rata-rata nilai nitrat di perairan Pari lebih tinggi dari
pada perairan Pulau Pramuka. Lampiran 19. Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai nitrat antara lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang
nyata p0.05, kecuali nilai fosfat antara kedalaman Pramuka 7m dan Pramuka 15m serta Pari 7m dan Pari 15m pada p 0.05 Lampiran 20.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai nitrat yang tinggi terjadi pada musim barat Desember-Februari dan nilai nitrat yang rendah terjadi pada timur Juni-
Agustus. Nilai nitrat antara kedalaman 7m dan 15m tidak berbeda nyata. Hasil penelitian terlihat bahwa nitrat perairan Pulau Pari lebih tinggi dari pada Pulau
Pramuka. Hal ini karena Pulau Pari lebih banyak mendapat masukan nitrat berasal dari muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta. Berdasarkan
penelitian Rudi 2006 bahwa rata-rata nitrat berkisar antara 0.043-0.104 mgl dan tertinggi pada musim barat. Riley dan Chester 1971 menyatakan
kandungan nitrat di perairan alami 0.001-0.5 mgl.
Regenerasi Fragmen Spons P. nigricans
Perkembangan transplantasi spons dimulai dari pengambilan dari induk, pengangkatan, pemotongan dan pengikatan fragmen. Spons dipotong dalam
wadah yang berisi air dan terjadi perubahan warna spons menjadi lebih pucat. Spons mengsekresikan cairan sehingga terjadi perubahan air pada wadah
berwarna merah kecoklatan Gambar 11. Pada awal peletakan fragmen pada rak di dalam air, kondisi spons masih dalam keadaan stres. Lapisan sel yang
transparan terbentuk setelah satu hari ditransplantasikan ditemukan oleh Pronzato et al. 1999 pada spons jenis Hippospongia communis dan Spongia
officinalis dan Scheffers 1995 menyatakan setelah satu hari ditransplantasikan spons banyak mengeluarkan lendir pada permukaan yang luka. Lendir yang
dikeluarkan oleh fragmen spons merupakan suatu strategi pertahanannya terhadap organisme fouling, mikroorganisme dan predasi.
Proses pemulihan terjadi setelah satu hari ditransplantasikan, permukaan spons yang terluka atau terpotong sudah tertutupi oleh lapisan sel yang
berbentuk lapisan film yang transparan. Memasuki hari ke dua sampai hari ke empat setelah ditransplantasikan sebagian besar permukaan spons sudah
terbentuk lapisan pinacoderm. Pada hari ke empat sebagian besar fragmen yang terluka sudah mulai berwarna kecoklatan. Tujuh hari setelah ditransplantasikan,
bagian yang terluka sudah berwarna coklat muda. Pada waktu ini terlihat ada pemulihan pada bagian yang terpotong, dimulai pada batas yang terpotong terus
bertambah ke arah tengah bagian yang terpotong. Satu bulan setelah ditransplantasikan, fragmen spons sudah
terpigmentasi secara keseluruhan dan warnanya sudah sama seperti induknya coklat. Pada umur satu bulan ini, oskula dan ostianya sudah terbentuk kembali
pada bagian yang luka Gambar 12. Fenomena ini ditemukan oleh Pronzato el al. 1999 pada spons jenis Hippospongia communis dan Spongia officinalis yang
ditransplantasikan. Satu tahun setelah ditransplantasikan, fragmen spons memperlihatkan
penampilan yang sempurna dengan warna yang mirip dengan induknya yaitu kecoklatan. Perbedaan antara fragmen spons dengan induknya pada bentuknya.
Fragmen spons hasil transplantasi berbentuk kotak karena proses awal pemotongan dan substratnya berupa tali yang menggantung, sedangkan
induknya berbentuk mangkuk karena substratnya berupa karang mati. Regenerasi fragmen spons P. nigricans berumur 1 hari sampai berumur 12 bulan
dapat dilihat pada Tabel 8.
Gambar 11 Pemotongan dan peletakkan spons dalam rak transplantasi pada hari pertama
Tabel 8 Regenerasi fragmen spons P. nigricans Usia
Regenerasi Fragmen Spons Hari ke 1
Terbentuk lapisan film yang transparan pada spons yang luka. Hari ke 2-4
Sebagian besar permukaan yang terluka terbentuk lapisan pinacoderm, pada hari ke 4 sebagian besar spons mulai
berwarna kecoklatan.
Hari ke 7 Bagian terluka coklat muda dan terdapat pemulihan pada
bagian yang terpotong, fragmen sudah menempel erat pada tali
Bulan 1 Spons sudah terpigmentasi secara keseluruhan dan warna
mirip dengan induknya coklat, oskula dan ostia sudah terbentuk pada bagian yang luka. Terjadi kematian spons
ditandai spons berwarna putih dan mudah hancur. Bulan ke 2
Spons terus tumbuh dan pada kedalaman 7m mulai ditumbuhi alga, masih terdapat kematian spons
Bulan ke 3 Masih terdapat kematian spons.
Bulan ke 4- 12 Spons tumbuh mulai lebih cepat dengan laju pertumbuhan
panjang 4.42±0.66-6.15±0.88 per bulan, kematian spons tidak ada lagi
Kecepatan regenerasi jaringan spons yang terluka sampai terpigmentasi secara sempurna dan terbentuknya saluran air memerlukan waktu satu bulan
dan sama dengan spons Aaptos aaptos. Hoppe 1988 melaporkan sampai terpigmentasi secara sempurna dan terbentuknya sistem saluran air spons
Neofibularia nolitangere membutuhkan waktu 5-20 hari, spons Chondrosia candelabrum memerlukan waktu 2-4 minggu Caralt 2003 dan A. aaptos
memerlukan waktu 4 minggu Haris 2005. Perbedaan kecepatan regenerasi jaringan spons tergantung perbedaan bentuk pertumbuhan, kekerasan jaringan,
dan ukuran rata-rata bagian spons yang terluka waktu pemotongan. Spons P. nigricans mempunyai jaringan yang keras, sedangkan spons N. nolitangere
memiliki jaringan yang relatif tidak keras. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan ini adalah perbedaan ukuran rata rata bagian yang terluka. Duckworth
2003 menyatakan kecepatan regenerasi dan pertumbuhan spons setelah terluka tergantung pada besarnya luka. Laju regenerasi dan pertumbuhan spons
umumnya menurun dengan meningkatnya luka.
1 hari 1 bulan 2 bulan
4 bulan
6 bulan 8 bulan
10 bulan 12 bulan
Gambar 12 Perkembangan fragmen spons dari hari pertama sampai 1 tahun di
Perairan Pulau Pari
Laju Pertumbuhan Spons P. nigricans
Hasil pengamatan laju pertumbuhan spons P. nigricans selama 12 bulan selengkapnya disajikan pada Gambar 13, 14 dan 15 dan Lampiran 27,31 dan
35. Pada Gambar 13, 14, 15 terlihat rata-rata laju pertumbuhan panjang, lebar dan tebal spons P. nigricans tidak sama antara kedalaman lokasi dan waktu
pengamatan. Laju pertumbuhan spons di perairan Pulau Pari lebih tinggi dibandingkan perairan Pulau Pramuka. Hasil analisis sidik ragam Anova
menunjukkan laju pertumbuhan panjang, lebar dan tebal spons P. nigricans antara kedalaman lokasi dan waktu pengamatan berbeda nyata
P0.05Lampiran 28, 32 dan 36. Dari uji rataan laju pertumbuhan panjang, lebar, dan tebal antara kedalaman lokasi dengan uji BNT P 0.05 diperoleh
laju pertumbuhan yang berbeda nyata antara semua kedalaman Lampiran 29, 32 dan 36. Uji BNT terhadap laju pertumbuhan panjang, lebar dan tebal
menunjukkan perbedaan yang nyata P0.05 dengan semua bulan pengukuran spons Lampiran 30, 34 dan 38.
Laju pertumbuhan bulan pertama Agustus fragmen spons di kedua lokasi penelitian menunjukkan nilai yang rendah. Laju pertumbuhan rata-rata
pada bulan ke dua September sampai akhir penelitian menunjukkan laju pertumbuhan yang meningkat antar bulan yang satu dengan lainnya.
Peningkatan laju pertumbuhan ditandai dengan semakin sempurnanya sistem saluran air dan semakin sempurna pigmentasi warna spons. Sempurnanya
sistem saluran air ditandai dengan semakin banyaknya jumlah ostia dan oskula. Sempurnanya pigmentasi dan meningkatnya jumlah mikroba simbion ditandai
dengan kembalinya warna asli spons P. nigricans yaitu warna kecoklatan. Amir dan Budiyanto 1996 menyatakan spons memiliki warna yang berbeda
walaupun dalam satu jenis, spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang
cerah. Warna spons sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya yaitu cyanobakteri dan eukariot alga seperti dinoflagella atau zooxanthella.
Menurut Osinga et al. 1999 pertumbuhan spons yang ditransplantasikan dimulai setelah fase statis pertumbuhan tidak bertambah selama 5-20 hari
pertama. Hasil uji t berpasangan menyatakan laju pertumbuhan panjang dan lebar
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05. Sedangkan hasil uji t berpasangan antara panjang dan tebal, serta laju pertumbuhan lebar dan tebal
menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05Lampiran 39. Hasil penelitian laju pertumbuhan spons ini dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan panjang dan
tebal hampir sama, sedangkan laju pertumbuhan tebal spons lebih kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan panjang dan lebarnya. Laju
pertumbuhan panjang spons di perairan Pulau Pari 7m, Pari 15m, Pramuka 7m dan Pramuka 15m berturut-turut 5.53±0.75bulan, 6.15±0.88bulan,
4.42±0.66bulan, dan 4.90±0.71bulan. Laju pertumbuhan lebar spons di perairan Pari 7m, Pari 15m, Pramuka 7m dan Pramuka 15m berturut-turut
sebesar 5.50±0.69bulan, 6.15±0.78bulan, 4.41±0.62bulan, dan 4.88±0.67bulan. Sedangkan laju pertumbuhan tebal spons pada perairan Pari
7m, Pari 15m, Pramuka 7m dan Pramuka 15m berturut-turut 3.67 ±0.44bulan, 4.38±0.57 bulan, 2.80±0.27 bulan,dan 3.15 0.35bulan. Voodg dan Soest
2002 menyatakan P. nigricans bentuknya menyerupai lembaran. Penelitian Ferretti et al. 2009 menyatakan laju pertumbuhan spons P. ficiformis di Laut
Ligurian Italia hampir mirip antara musim, tetapi berbeda nyata antara kedalaman. Rata-rata laju pertumbuhan spons Petrosia ficiformis pada
kedalaman 10m 0.73 dan kedalaman 20m 1.30 per bulan.
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15
Jul Agu Sep Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul
Bulan
La ju P
e rt
um b
uha n
bul a
n
Pari 7m Pari 15m
Pramuka 7m Pramuka 15m
Gambar 13 Laju pertumbuhan panjang spons P. nigricans per bulan
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15
Jul Agu Sep Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Bulan
La ju
P e
rt um
bu ha
n b
u la
n
Pari 7m Pari 15m
Pramuka 7m Pramuka 15m
Gambar 14 Laju pertumbuhan lebar spons P. nigricans per bulan
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15
Jul Agu Sep Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Bulan
La ju
P e
rt um
b uha
n bul
a n
Pari 7m Pari 15m
Pramuka 7m Pramuka 15m
Gambar 15 Laju pertumbuhan tebal spons P. nigricans per bulan
Gambar 16 Analisis komponen utama kualitas air. A. Korelasi antara variabel pada sumbu 1 dan sumbu 2. B. Distribusi stasiun
penelitian pada sumbu 1 dan sumbu 2.
Analisis komponen utama terhadap variabel kualitas air digunakan untuk melihat distribusinya berdasarkan lokasi penelitian. Hasil analisa terhadap matrik
korelasi data kualitas air memperlihatkan ragam pada komponen utama sangat tinggi. Sumbangan dua komponen utama terhadap ragam total mencapai
A
B
K om pone n U t a m a Sum bu 1 7 7 .8 3
95.73, dimana komponen utama pertama dan kedua secara berturut-turut mempunyai akar ciri 10.014 dan 2.327 dapat menjelaskan 77.83 dan 19.90
keragaman dari gugus data. Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama Gambar 16 bahwa bahan organik total TOM mempunyai keterkaitan yang erat
dengan laju pertumbuhan spons perairan Pulau Pari. Penelitian Rosmiati et al. 2002 tentang budidaya tiga spons di Teluk
Awarange, Kabupaten Barru di Sulawesi Selatan dengan perbedaan ukuran transplantasi, laju pertumbuhan spons tinggi dengan nilai TOM 11.21- 16.00
mgl. Tingginya kandungan TOM digunakan spons sebagai sumber makanan dengan filter feeder. Jorgensen 2008 menyatakan bahwa umumnya spons,
lamella branchia dan ascidians tumbuh optimal pada kondisi bahan organik 15.00 – 20 mgl air laut. Brusca dan Brusca 1990 menyatakan spons dapat
mengkomsumsi bahan organik dalam jumlah yang signifikan dengan cara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran airnya. Ketersediaan makanan
yang banyak dalam bentuk bahan organik akan memicu pertumbuhan spons yang tinggi. Koopmans dan Wijffels 2008 rata-rata laju pertumbuhan spons
Haliclona oculata di Belanda dipengaruhi oleh lingkungan perairan. Dalam penelitian ini rata-rata pertumbuhan spons berkorelasi positif dengan perairan
partikel organik karbon yang tersuspensi di perairan. Berdasarkan Gambar 12, 13 dan 14 laju pertumbuhan spons P. nigricans
lebih tinggi di perairan Pulau Pari dibandingkan Pulau Pramuka. Spons memiliki beberapa tipe sel dengan fungsi yang berbeda-beda, yang terbagi atas tiga
bagian yaitu lapisan choanosome dalam, lapisan ectosome bagian tepi terdiri sel pinacocytes, sel spherulous, collencytes dan serat kolagen Osinga et al.
1999; Caralt et al. 2003 dan lapisan bagian dalam mengandung sel-sel bergerak bebas archaoecytes dan bahan rangka Osinga et al. 1999.
Elastisitas sel pada spons memudahkan untuk memperbaharui dan menyesuaikan bentuknya dengan kondisi lingkungan Caralt et al. 2003.
Kelangsungan hidup spons dan laju pertumbuhan spons dari spesies yang sama dapat memberikan hasil yang berbeda jika dilakukan pada kondisi lingkungan
yang berbeda Voogd 2005. Penelitian Gerrodette dan Flechsig 1979 menyatakan ketersediaan nutrisi merupakan faktor yang menentukan populasi
dan biomassa spons di ekosistem terumbu karang. Total biomassa spons 5 kali lebih tinggi pada spons di ekosistem terumbu yang dekat pantai pada
kedalaman yang sama dari pada biomassa spons yang jauh pantai. Besarnya
nutrien di ekosistem terumbu karang dekat pantai sangat mempengaruhi besarnya biomassa spons.
Laju pertumbuhan spons lebih tinggi pada kedalaman 15m baik pada perairan Pulau Pari dan Pramuka dibandingkan pada kedalaman 7m diakibatkan
oleh pengaruh radiasi matahari, faktor kesediaan makanan, dan kompetisi merebutkan ruang. Sebagai hewan filter feeder yang menetap spons
kehidupannya sangat tergantung kepada makanan terutama bahan organik. Wilkinson dan Trott 1985 menyatakan spons di Great Barrier Reef umumnya
pada kedalaman kurang dari 10m sinar UV menjadi faktor pembatas distribusi spons yang mengakibatkan spons stress. Penelitian Lesser 2005 tentang
makanan dan pertumbuhan spons Callyspongia vaginalis, Angelas conifera dan Aplysina fistularis dari Florida dan Bahama terdapat perbedaan yang nyata dan
lebih besar hasil transplantasi spons terhadap biomassa, pertumbuhan dan makanan dengan bertambahnya kedalaman. Penelitian dilakukan di kedalaman
7m,15m, 23m dan 30m. Spons bertambah ukuran dan laju pertumbuhannya dengan bertambahnya kedalaman, hal ini dikarenakan adanya bertambahnya
ketersediaan makanan dan berbeda nyata proses-proses di dasar perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan spons. Pada penelitian
tersebut ditunjukkan bahwa ukuran dan pertumbuhan spons bertambah dengan bertambahnya kedalaman karena kontribusi langsung dari ketersediaan bahan
makanan yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Makanan yang banyak dimakan adalah partikel organik karbon. Karibian spons seperti
Callyspongia vaginalis, Angelas conifera dan Aplysina fistularis mendapatkan makanan melalui proses heterotropik, tidak seperti tipe spons fotoautotropik di
Great Barrier Reef. Penelitian Trussel et al. 2006 menyatakan laju pertumbuhan spons Callyspongia vaginalis di pantai Florida pada perbedaan kedalaman
menyatakan pertumbuhan spons lebih besar pada perairan yang dalam dari pada spons yang ditransplantasikan pada perairan yang dangkal. Hal ini
dikarenakan bertambahnya ketersedian makanan pada perairan yang lebih dalam merupakan faktor penting untuk pertumbuhan spons sebagai hewan filter
feeder. Untuk mendapat sinar matahari pada perairan dangkal terdapat
persaingan antara karang dan alga dalam hal melakukan fotosintesa, dengan bertambahnya kedalaman terjadi penurunan cahaya matahari dan kompetisi
ruang spons dan alga menurun. Pada perairan yang lebih dalam spons
mendapatkan energi yang lebih besar dari bertambahnya konsentrasi picoplankton Lesser 2005. Spons berkompetisi untuk mendapat ruang dan
cahaya dengan alga dan karang pada perairan dangkal, sehingga spons beradaptasi dengan perairan yang lebih dalam Amir dan Budiyanto 1996.
Pertumbuhan spons lebih baik pada kedalaman 12m dari pada 3m di perairan Barranglompo Suharyanto 2008. Penelitian spons di Daviest Reef Great
Barrier Reef bahwa total biomassa spons mencapai maksimum pada kedalaman 20m Wilkinson dan Trott 1985, sedangkan di perairan Sulawesi
Selatan Kepulauan Spermonde kelimpahan spons optimum pada kedalaman 10-15m Voogd 2005. Pada semua lokasi penelitian yang diteliti di Great Barrier
Reef populasi spons menurun pada perairan yang dangkal 10m dibandingkan pada perairan yang lebih dalam. Cahaya dalam bentuk radiasi UV adalah faktor
pembatas perairan dangkal kurang dari 10m Wilkinson dan Trott 1985. Penelitian spons Hibah Pasca IPB Soedharma et al. 2007 bahwa distribusi
spons melimpah pada kedalaman 7-15m di perairan Pulau Lancang, Pari dan Pramuka.
Spons P. nigrican termasuk spons yang menyukai habitat perairan yang lebih dalam, termasuk spons berukuran besar dan mempunyai penyebaran yang
luas. Voogd 2007 menyatakan habitat spons P. nigricans pada kedalaman 3- 45 meter dan spons yang berukuran besar tumbuh di lereng pasir terumbu
karang. P. nigricans mempunyai penyebaran yang luas di wilayah Indo-Australia Voogd dan Soest 2002. Spons berbentuk mangkok seperti P. nigricans jarang
ditemukan pada lokasi yang dangkal. P. nigricans dapat tumbuh mencapai diameter 1-2 meter pada lingkungan yang dalam Voogd 2007. P. nigricans
merupakan salah satu spons yang dominan terdapat di Kepulauan Seribu Voogd dan Cleary 2008; Estradivari et al. 2007.
Spons P. nigricans menyukai perairan yang lebih dalam dan laju pertumbuhan perairan yang dalam 15m lebih tinggi dari pada perairan yang
dangkal 7m. Pada perairan kedalaman 15m kandungan bahan organik lebih tinggi, sehingga aktifitas filter feeder spons berjalan optimal dengan sedikit
persaingan dengan biota laut lainnya. Verdenal dan Vacelet 1985 menyatakan spons mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat pada perairan yang kaya
nutrien. Thacker 2005 pada kondisi yang gelap perairan dalam, bakteri fotosimbion sering tidak ditemukan karena kurangnya sinar matahari sehingga
spons untuk mendapatkan makanan melalui mekanisme filter feeder.
Berdasarkan kategori Wilkinson dan Trott 1985 spons Petrosia sp untuk mendapatkan makanan termasuk spons campuran heterotropik dan fototropik
spons. Penelitian di Great Barrier Reef berdasarkan rasio produktifitas primer bersih dan respirasi, spons dikategorikan fototropik, campuran fototropik dan
heterotropik, dan heterotropik. Spons fototropik mendapatkan makanan dari simbion cyanobakteri. Sedangkan spons heterotropik mendapatkan makanan
dari filter feeder: detritus, bahan organik terlarut, plankton dan lain-lain. Laju pertumbuhan spons lebih tinggi kedalaman 15m dibandingkan 7m di
Pulau Pari dan Pramuka. Parameter lingkungan yang mempengaruhi budidaya spons adalah salinitas, cahaya, oksigen, makanan, dan substrat Yi et al. 2005.
Wilkinson dan Anthony 1990 menyatakan biomassa spons di perairan Belize Karibia menunjukkan kenaikkan dengan bertambahnya kedalaman. Biomassa
umumnya spons rendah pada perairan dangkal kurang dari 10m dan bertambah naik mencapai maksimum pada kedalaman 15-20m. Wikinson dan Cheshire
1989 menyatakan kenaikkan biomassa spons dengan bertambahnya kedalaman juga terjadi di perairan karang di Great Barrier Reef dimana biomassa
populasi spons maksimal terjadi pada kedalaman 15-20m. Wilkinson dan Anthony 1990 bahwa tingginya biomassa heterotropik spons pada kedalaman
15-20m berhubungan langsung dengan ketersediaan bahan organik di perairan terumbu karang. Tingginya biomassa spons menunjukkan indikator adanya
bahan organik yang tinggi pada perairan. Penelitian Lesser 2005 beberapa lokasi perairan di Karibia, ukuran spons, pertumbuhan dan ketersediaan
makanan bertambah besar dengan bertambahnya kedalaman. Spons mengkonsumsi 65-93 partikel bahan organik dari makanannya dari semua
stasiun penelitian. Yahel et al. 2003 partikel organik karbon dan organik karbon terlarut merupakan sumber karbon yang sangat penting bagi spons.
Perbedaan lain laju pertumbuhan spons lebih tinggi kedalaman 15m dibandingkan 7m di Pulau Pari dan Pramuka adalah kondisi hidrooseanografi
dimana perairan dangkal lebih dinamis dan perairan dalam lebih stabil. Amir dan Budiyanto 1996 menyatakan spons pada perairan yang lebih dalam spons
cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari kondisi lingkungan yang lebih stabil jika dibandingkan dengan jenis yang sama
yang hidup pada perairan yang dangkal. Suharyanto 2008 menyatakan bahwa pertumbuhan spons lebih baik pada kedalaman 12m dibandingkan 3m di
perairan Barranglompo diakibatkan pengaruh makanan, sinar matahari, dan
kecepatan arus, dimana arus pada kedalaman 12m lebih tenang daripada kedalaman 3m. Palumbi 1986 menyatakan kondisi hidrodinamik diantaranya
dipengaruhi arus yang semakin membesar pada spons di perairan dangkal.
Kelangsungan Hidup Spons
Kelangsungan hidup spons P. nigricans pada dua lokasi dan kedua kedalaman setelah 1 tahun transplantasi berkisar 90.0-100.0, rata-rata
kelangsungan hidup spons perairan Pulau Pari lebih tinggi dari pada perairan Pulau Pramuka dengan nilai pada lokasi Pari 7m 94.61±2.09, Pari 15m
100±0.00, Pramuka 7m 91.28±2.78 dan Pramuka 15m 97.44±1.40. Rata-rata kelangsungan hidup spons kedalaman 15m lebih tinggi dari pada
kedalaman 7m Lampiran 41 dan Gambar 17. Hasil analisis ragam terhadap kedalaman lokasi dan waktu pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda
nyata p0.05Lampiran 42. Berdasarkan uji rataan kelangsungan hidup antara kedalaman lokasi dengan uji BNT P0.05 diperoleh kelangsungan hidup yang
berbeda nyata antar semua kedalaman lokasi Lampiran 43. Uji BNT terhadap bulan pengamatan menunjukkan perbedaan yang nyata pada bulan Juli bulan
0, Agustus bulan ke satu dan September bulan ke tiga dengan semua bulan pengukuran spons Lampiran 44.
Hasil penelitian kelangsungan hidup spons P. nigricans pada perairan Pulau Pari dan Pramuka setelah 1 tahun berkisar antara 90.0-100.0 lebih tinggi
dari pada beberapa hasil penelitian transplantasi spons. Kelangsungan hidup spons Aaptos aaptos berkisar antara 35.87-60.83 Haris 2005; spons
Callyspongia biru berkisar 82.00-100.00 Voogd 2005, spons jenis Latrunculia brevis 2.5-100.00 dan Polymastia croceus 78.00-100.00Duckworth et
al.1999. Spons P. nigricans termasuk spons bertekstur keras sehingga tahan terhadap predasi ikan. Spons ini juga melekat kuat pada tali substrat dan tidak
terlepas oleh hempasan gelombang dan arus sampai akhir penelitian. Kelangsungan hidup spons termasuk tinggi dan spons P. nigricans di alam
tergolong spons berukuran besar mempunyai potensi besar untuk dibudidayakan sebagai bahan bioaktif.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Pari 7m Pari 15m
Pramuka 7m Pramuka 15 m
Lokasi perairan
K e
la ngs
unga n hi
dup
Gambar 17 Kelangsungan hidup spons setelah 1 tahun
80 82
84 86
88 90
92 94
96 98
100
Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Bulan
Ke la
n g
su n
g an
H id
u p
Pari 7m Pari 15m
Pramuka 7m Pramuka 15m
Gambar 18 Kelangsungan hidup spons di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Pari pada kedalaman 7m dan 15m
Gambar 19 Penempelan dan kompetisi ruang spons dengan makroalga pada kedalaman 7m di perairan Pulau Pari
Gambar 20 Kematian spons di perairan Pramuka pada bulan ke tiga Kelangsungan hidup spons pada 1 minggu pertama baik kedua lokasi di
perairan Pulau Pari dan Pulau Pramuka dan kedalaman 7m dan 15m mencapai 100. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahwa spons P. nigricans memiliki
kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap proses pemotongan, pengangkutan dan perlakuan transplantasi. Pada bulan ke satu Agustus, dua September,
tiga Oktober fragmen spons terjadi kematian. Memasuki bulan ke empat Nopember sampai akhir penelitian, fragmen spons sudah tidak ada lagi
mengalami kematian spons Gambar 18. Kematian pada bulan pertama sampai tiga disebabkan karena bulan-bulan tersebut spons yang ditransplantasikan
melakukan proses adaptasi terhadap lingkungannya Gambar 20. Memasuki bulan ke empat dan seterusnya, spons yang ditransplantasikan sudah
beradaptasi secara sempurna dan kemampuan pertahanan kimianya chemical defense yang sudah terbentuk dengan baik untuk merespon gangguan
lingkungan. Pertahanan kimia chemical defense yang diproduksi spons memiliki peranan secara ekologi di alam Wright et al. 1997; Lozano et al. 1998 untuk
pertahanan terhadap faktor-faktor tekanan lingkungan seperti antipredasi dan aktivitas antifouling Pawlik et al. 2002 mencegah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogenik Lozano et al.1998 dan berkompetisi ruang Proksch 1994.
Kelangsungan hidup spons yang ditransplantasikan pada kedalaman 15m lebih tinggi daripada spons pada kedalaman 7m hal ini diantaranya disebabkan
oleh perbedaan intensitas cahaya dan penempelan alga Gambar 19. Wilkinson dan Trott 1985 menyatakan spons pada kedalaman kurang dari 10m sinar UV
menjadi faktor pembatas distribusi spons yang mengakibatkan spons stress. Duckworth et al. 1997 menyatakan bahwa radiasi UV mempengaruhi
kelangsungan hidup spons. Penelitian spons Psammocinia hawere lebih baik pada kedalaman 17m dibandingkan dengan kedalaman 5m, hal ini diakibatkan
tingginya cahaya pada kedalaman tersebut. Cahaya yang tinggi pada kedalaman perairan dangkal 5m akan meningkatkan derajat penempelan alga.
Penempelan alga dapat menyebabkan kematian dan mengurangi penyembuhan luka.
Simpulan
Hasil simpulan penelitian tentang laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons P. nigricans sebagaimana diuraikan diatas adalah:
1. Kualitas air sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup spons P. nigricans.
2. Paramater kualitas air yang paling berpengaruh terhadap laju pertumbuhan spons adalah Total Bahan Organik TOM.
Daftar Pustaka
Amir I, Budiyanto A. 1996. Mengenal Spons Laut Demospongiae Secara Umum. Oseana 21: 15 – 31.
Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrates. Massachusetts: Inc. Publishers. Sunderland. hlm 181 – 207.
Caralt S de, Agell G, Uriz MJ. 2003. Long Term Culture of Sponge Explant: Conditions Enhancing Survival and Growth, and Assessment of
Bioactivity. Biomolekuler Engineering 20: 339-347. Canter LW, Hill LG. 1979. Handbook of Variables for environmental Impact
Assessment. Michigan: Aan Arbor Science Publisher Inc. hlm 75- 102.
Duckworth AR, Battershill CN, Bergquist PR. 1997. Influence of Explant Procedures and Environmental Factors on Culture Success of Three
Sponges. Aquaculture 165: 251-267. Duckworth AR, Battershill CN, Schiel DR, Bergquist PR. 1999. Farming Sponges
for the Production of Bioactive Metabolites. Memoir of the Queensland Museum 44: 155 – 159.
Duckworth AR, Battershill CN. 2001. Population Dynamics and Chemical Ecology of New Zealand Demospongiae Latrunculia sp and Polymastia croceus. J
Mar Freshw Res 35: 935 – 949. Duckworth AR. 2003. Effect of Wound Size on the Growth and Regeneration of
Two Temperate Subtidal Sponge. J Exp Mar Biol Ecol 287: 139-153 Duckworth AR, Battershill CN. 2003. Developing Farming Structures for the
Production of Biologically Active Sponge Metabolites. Aquaculture 217: 139-156.
Duckworth AR, Battershill CN, Schiel DR. 2004. Effects of Depth and Water Flow on Growth, Survival and Bioctivity of Two temperate Sponges
Cultured in Different Seasons. Aquaculture 242: 237- 250. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius. hlm 50-112.
Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang Jakarta. Jakarta: Yayasan Terumbu Karang Indonesia. hlm 25- 36.
Ferretti C, Vacca S, Ciucis C D, Marengo B, Duckworth A, Manconi R, Pronzato R, Domenicotti C. 2009. Growth Dynamics and Bioactivity Variation of the
Mediterranean Demosponges Agelas oroides Agelasidae and Petrosia ficiformis Petrosiidae. Marine Ecologi 10:1-10.
Gerrodette T, Flechsig AO. 1979. Sedimen Induced Reduction in the Pumping Rate of the Tropical Sponge Verongia lacunosa. Mar Biol 55: 103-110.
Hadas E, Sphigel M, Ilan M. 2005. Sea Ranching of the Marine Sponge Negombata magnifica Demospongiae, Latruncullidae as a First Step for
Latrunculin B Mass Production. Aquaculture 244: 159-169. Haris A. 2005. Pertumbuhan, Sintasan, Perkembangan Gamet, dan Bioaktivitas
Ekstrak dan Fraksi Spons Aaptos aaptos yang Ditransplantasikan pada Perairan yang Berbeda [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor Hefinalis. 2004. Penelitian Dinamika Sumberdaya Laut Perairan Teluk Jakarta
dan Kepuluan Seribu. Jakarta: Puslit Oseanografi LIPI. hlm 8-30. Hooper JNA. 2000. Sponguide: Guide to Sponge Collection and Identification.
South Brisbane: Queensland Museum. hlm 50-62. Hoppe WF. 1988. Growth, Regeneration and Predation in Three of Coral Reef
Sponges. Mar Ecol Prog Ser 50: 117-125.
Ilahude AG. 1999. Pengantar ke Oseanografi Fisika. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm 105-133.
Ismet MS. 2007. Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp dari Lokasi yang Berbeda [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor Jorgensen CB. 2008. Quantitative Aspects of Filter Feeding in Invertebrates.
Biologycal Reviews. London. hlm 391-453. Kawaroe M. 2009. Fragmentasi Buatan dan Reproduksi Seksual Spons Aaptos
aaptos dalam upaya Perbanyakan Stok Koloni di Alam. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Koopmans M, Wijffels RH. 2008. Seasonal Growth Rate of the Sponge Haliclona aculata Demospongiae: Haplosclerida. Mar Biotechnol 10: 502-510.
Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical Ecology. London: Elsevier Scientific Publishing Company.hlm 1-419.
Lesser MP. 2005. Benthic Pelagic Coupling on Coral Reefs: Feeding and Growth of Caribbean Sponges. J Exp Mar Biol Ecol 328: 277 -288.
Lozano MB, Farias FG, Acosta BG, Gasca AG, Zavala JRB. 1998. Variation of Antimicrobial Activity of Sponge Aplysina fistularis Pallas, 1766 and Its
Relation to Associated Fauna. J Exp Mar Biol Ecol 223:1-18. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, Primer on Methods and
Computing. Singapore: John Wiley and Sons. Hlm 1-338. Masak PRP. 2003. Studi Budidaya Sponge Auletta sp Secara Transplantasi
pada Substrat Berbeda . Maritek 3:1-9. Millero FJ, Sohn ML. 1992. Chemical Oceanography. London: CRC Press.hlm
45-75. Nontji A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk
Jakarta serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Osinga, R. Redeker D, Beukelaer PB de. 1999. Wijffels measurement of Sponge Growth by Projected Body Area and Underwater Weight. Di dalam:
Hooper JNA, editor. Proceedings of the 5
th
international Sponges Symposium; Brisbane 30 June 1999. Queensland: Memoir of the
Qeensland Museum 44: hlm 419-426. Pardjaman D. 1977. Akresi dan Abrasi Pantai Teluk Jakarta Disebabkan oleh
Kondisi Fisik dan Sosial. Hutomo M, Romimohtarto K dan Burhanuddin, editor. Teluk Jakarta: Sumberdaya, Sifat-Sifat Oseanologis serta
Permasalahannya. Jakarta: LON-LIPI. hlm 83-106. Pawlik JR, McFall G, Zea S. 2002. Does the Odor from Sponges of the Genus
ircinia Protect them from Fish Predators?. J Chem. Ecol 28:3-15.
Proksch P. 1999. Pharmacologically Active Natural Products from Marine Invertebrates and Associated Microorganisms. Di dalam: Soemodihardjo
S, Rachmat R, Saono S, editor. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I; Jakarta 14 – 15 Oktober 1998. Jakarta: LIPI. hlm
33-44.
Proksch P, Estrada ERA, Ebel R. 2003. Drugs from the Sea : Opportunities and Obstacles. Marine Drugs 1: 5-17.
Proksch P. 2004. Defensive Roles for Secondary Metabolites from Marine Invertebrates and Associated Microorganism. Di dalam: Soemodihardjo S,
Rachmat R, Saono S, editor. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I; Jakarta 14 – 15 Oktober 1998. Jakarta: LIPI. hlm 33-40.
Pronzato R, Bavestrello G, Cerrano C, Magnino G, Manconi R, Pantelis J, Sara A, Sidri M. 1999. Sponge Farming in the Mediterranian Sea: New
Perspectives. Memoir of the Queensland Museum 44: 485 – 491. Riley JP, Chester R. 1971. Introduction to Marine Chemistry. London: Academic
Press. hlm 56-90. Romihmohtarto K, Juwana S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm 115 – 128.
Rosmiati, Masak PRP, Suryati E, Tjaronge M. 2008. Sponge Callyspongia sp, Callyspongia basilana, and Haliclona sp Culture with Different Initial
Explant Sizes. Indonesian Aquaculture Journal 3: 125-132. Rudi E. 2006. Rekruitmen Karang Skleraktinia di Ekosistem Terumbu Karang
Kepulauan Seribu DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut DO dan Kebutuhan Oksigen Biologi BOD Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Air. Oseana 30:
21-26. Scheffers S. 1995. Ecological Aspects of the Tropical Reef Sponge
Desmapsamma anchorata on the Reefs of Curacao. Amsterdam: Departemen of Biology University of Amsterdam. hlm 1-54.
Soedharma D, Zamani NP, Aktani U. 2007. Teknik Reproduksi Spons Laut Kelas Demospongiae untuk Sediaan Senyawa Bioaktif Penelitian Hibah
Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor. hlm 55-101. Subhan B. 2009. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Spons Jenis
Petrosia nigricans dan Aaptos aaptos yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Suharyanto. 2008. Distribusi dan Persentase Tutupan Sponge Porifera pada
Kondisi Terumbu karang dan Kedalaman yang Berbeda di perairan Pulau Barranglompo, Sulawesi Selatan. Biodiversitas 9: 2009- 212.
Susanna. 2006. Kajian Kualitas Perairan Terhadap Kelimpahan dan Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae Di Kepulauan Seribu DKI
Jakarta [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Steel RGD, Torrie J H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. Sumantri, Penerjemah; Jakarta: PT Gramedia. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics. hlm 236 – 283.
Thacker RW. 2005. Impact of Shading on Sponge Cyanobacteria Syambiose: A Comparison between Host Specific and Generalis Association. Integr
Com Biol 45: 369-376. Trussell GC, Lesser MP, Patterson MR, Genovese SJ. 2006. Depth-Specific
Differences in Growth of the Reef Sponge Callyspongia vaginalis: Role of Bottom-up Effects. Mar Ecol Prog Ser 323:149-158.
Verdeal B, Vacelet J. 1985. Mediterranean Sponge Culture on Vertical Ropes. Ruttzler K, editor. New Perspectives in Sponge Biology. Washington, D.C:
Smithsonian Institution Pess. hlm 416-424. Voogd NJ de dan Soest RWM van . 2002. Indonesian Sponges of the Genus
Petrosia Vosmaer Demospongiae: Haplosclerida. Zool Med Leiden 76: 193-2009.
Voogd NJ de. 2005. Indonesian Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential [disertasi]. Netherlands: University of Amsterdam.
Voogd NJ de. 2007. The Mariculture Potential of the Indonesian Reef-Dwelling Sponge Callyspongia Euplacella biru: Growth, Survival and Bioactive
Compounds. Aquaculture 262: 54-64. Voogd NJ de, Cleary DFR. 2008. An Analysis of Sponges Diversity and
Distribution at Three Taxonomic Levels in the Thousand IslandsJakarta Bay Reef Complex, West Java, Indonesia. Mar Ecol 29: 205- 215.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Sumantri, Penerjemah; Jakarta: PT Gramedia. Terjemahan dari: Introduction to Statistics. hlm 302-308.
Wilkinson CR. 1978. Microbial Associations in Sponges: Ecology, Physiology and Microbial Populations of Coral Reef Sponges. Mar Biol 49:161-167.
Wilkinson CR, Anthony C C. 1990. Comparison of Sponge Population Across the Barrier Reefs of Australia and Belize: Evidence for Higher Productivity in
the Caribbean. J Mar Ecol Prog Ser 67: 285-294. Wilkinson CR, Trott LA. 1985. Light as a Factor Determining The Distribution of
Sponges Across the Central Great Barrier Reef. Proceeding of the 5
th
International Coral Reef Congress; Tahiti, 27 May-1 June 1985. hlm 125- 130.
Wilkinson CR, Cheshire AC. 1989. Patterns in the Distribution of Sponge Population Across the Central Great Barrier Reef. Coral Reefs 8: 127-
134.
Wilkinson Cr, Roger ES, Elizabeth E. 1999. Nitrogen Fixation in Symbiotic Marine Sponges : Ecological Significance and Difficulties in Detection. Didalam:
Hooper JNA, editor. Proceeding of the 5
th
International Sponge Symposium; Brisbane, 30 June 1999. Gueensland: Memoir of the
Queensland Museum 44. hlm 667-673. Wright JT, Benkendorff K, Davis AR. 1997. Habitat Associated Difference in
Temperate Sponge Assemblage: the Importance of Chemical Defence. J Exp Mar Biol Ecol 213: 199-213.
Wytki K. 1961. Physical Oceanography of the Souteast Asian Waters. Naga Rep.2: Scripps Institute Oceanography, La Jolla.
Yahel G, Sharp J, Marie D, Hase C, Genin A. 2003. In Situ Feeding and Element Removal in the Symbiont-Bearing Sponges Theonella swinhoei, Bulk
DOC is the Major Source for Carbon. Limnol Oseanogr 48: 141-149. Yi G, Wei Z, hua L, Xingju Y, Meifang J. 2005. Cultivation of Marine Sponges.
Chinese Journal of Oceanology and Limnology 23: 194- 198. Zheng L, Cheng H, Han X, Yan X. 2005. Antimicrobial Screening and Active
Compound Isolation from Marine Bacterium NJ6-3-1 Associated with the Sponge Hymeniacidon parleve. Word J Microbiol Biotech 21: 201-206.
BIOAKTIVITAS ANTIBAKTERI SPONS Petrosia nigricans
PADA LINGKUNGAN PERAIRAN YANG BERBEDA
Abstrak
Spons perairan tropis memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber senyawa bioaktif dapat dikembangkan menjadi komoditi bernilai ekonomis tinggi.
Kegiatan yang dilakukan terkait dengan uji bioaktivitas spons adalah pembuatan ekstrak kasar, fraksinasi, isolasi, uji toksisitas dan identifikasi dengan
kromatografi gas spektroskopi massa GC-MS. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak kasar spons dari alam dan hasil transplantasi dengan konsentrasi 15
mgml menunjukkan aktif pada bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Hasil uji bioautografi terhadap fraksi hasil Kromatografi Lapis Tipis dan
Kromatografi Kolom menunjukkan keaktifannya dalam menghambat bakteri S. aureus dan E. coli. Identifikasi senyawa berdasarkan analisis GC-MS
menunjukkan keberadaan senyawa aktif spons Petrosia nigricans dari hasil transplantasi diduga senyawa 2-Pentanone,4-hydroxy-4-methyl CAS dan untuk
spons dari alam diduga senyawa 2-Cyclohexan-1-one, 3,5,5-trimethyl.
Abstract
Tropical seawater sponge has a large potential as bioactive compoud resources that can be developed into high commercial commodities. The
research on sponge bioactivities which examination were crude extract, fractination, isolation, toxicity examination, and active compound identification
using gas cromatography mass spectroscopy GC-MS. Research result showed that crude extracts examination of natural sponge and transplanted sponge
content 15 mgml showed an activity on impede S. aureus and E. coli bacteria. Result of bioautography examination to fraction of thin layer cromatography and
column cromatography showed an activity on impede S. aureus and E. coli bacteria. Identification of compound according to GC-MS analysis showed the
existence of sponge P. nigricans active compound from transplantation was 2- Pentanone,4-hydroxy-4-methyl CAS compoud, while natural sponge was 2-
Cyclohexan-1-one, 3,5,5-trimethyl compound.
Pendahuluan Latar Belakang
Spons menghasilkan beragam metabolit sekunder yang memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif yang dilaporkan dari beberapa hasil penelitian.
Metabolit sekunder dianggap produk buangan dari tiap biota yang merupakan sisa proses metabolisme. Semula hal ini berangkat dari asumsi bahwa metabolit
sekunder merupakan chemical defense bagi biota tertentu dapat pula melindungi makluk hidup lainnya; kemudian berkembanglah penelitian
pemanfaatan metabolit sekunder untuk kesehatan manusia. Penelitian biota laut untuk menghasilkan obat-obatan berkembang sejak tahun tujuh puluhan, dan
dalam 30 tahun terakhir sekitar 6000 senyawa telah diisolasi dari biota laut algae, coelenterata, echinodermata, spons, mikroba, bryozoa, dan tunicates; 40 dari
algae mikro dan makro, 35 dari spons , 25 dari lain-lainnya Rachmat 2005.
Spons merupakan salah satu hewan yang diketahui menghasilkan senyawa bioaktif yang bermanfaat sebagai antibiotik, anti jamur, anti kanker, anti
inflamasi, antioksidan yang selama ini terus dieksplorasi. Senyawa bioaktif tersebut jika terbukti bermanfaat, kemudian dikembangkan guna memperoleh
lead compound, kemudian disintesis sebagai obat-obatan bagi kesehatan manusia dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu dalam
rangka memperoleh obat baru, spons menjadi filum yang paling banyak dieksplorasi karena memiliki banyak senyawa bioaktif dari berbagai tipe Proksch
et al. 2004; Munro 1989. Ekstrak metabolit sekunder dari spons mengandung senyawa bioaktif
yang diketahui mempunyai sifat aktifitas seperti sitotoksik dan antitumor Kobayashi dan Rahmat 1999; Garson et al. 1999, antivirus Munro et al. 1989,
anti HIV dan antiinflamasi Proksch 1999, antibakteri Ireland et al. 1989; Munro et al. 1989; Muniarsih dan Rachmat 1999, antifungi Muliani et al. 1998,
antileukemia Soediro 1999, antimalaria Konig dan Wright 1999, antibiofouling Suryati et al. 1999, penghambat enzim Soest dan Braekman, 1999 dan
ichtytoksik Parenrengi et al. 1999. Spons asal perairan tropis Indonesia khususnya dari Kepulauan Seribu
memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber senyawa bioaktif untuk dapat dikembangkan lebih jauh menjadi komoditi bernilai ekonomis tinggi. Hasil
penelitian Wikanta et al. 2005 menunjukkan bahwa dari 38 sampel spons asal Kepulauan Seribu terdapat beberapa sampel yang menunjukkan potensi
bioaktivitas antibakteri yang menjanjikan; penelitian Nursid et al. 2006 bahwa fraksi metanol spons P. nigricans dari perairan gosong Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu memiliki aktifitas sitotoksik terhadap sel tumor Hela dengan nilai LC
50
sebesar 11,9 µgml; penelitian Murniasih dan Rachmat 1999 spons asal Pulau Pari aktif terhadap bakteri Staphylococcuc aureus, Bacillus substilis
dan Vibrio eltor dan Penelitian Hanani et al. 2005 spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu mempunyai aktifitas sebagai antioksidan.
Spons yang dijadikan obyek penelitian ini adalah spons P. nigricans yang mempunyai potensi senyawa bioaktif. Genus Petrosia banyak ditemukan di
perairan terumbu karang Indonesia. Voogd dan Soest 2002 menemukan 7 spesies spons Petrosia di Sulawesi Selatan yaitu Petrosia alfiani, Petrosia
corticata, Petrosia hoeksemai, Petrosia strongylata, Petrosia lignosa, Petrosia plana dan Petrosia nigricans. Penelitian Ashour 2005 dari Universitas
Dusseldorf meneliti P. nigricans dari perairan Pulau Barang Lompo ditemukan 17 senyawa, 10 senyawa bahan alam yang sudah diketahui, 2 new cerebrosides,
satu senyawa turunan bis- indole dan 4 senyawa turunan new 2- oxo-purine. Sementara upaya transplantasi spons di Indonesia dengan tujuan
memperoleh biomassa spons dalam jumlah besar sebagai bahan baku untuk menghasilkan lead compoud belum dilakukan. Penelitian transplantasi dan
bioaktivitas antibakteri spons telah dilakukan terhadap Aaptos aaptos di Sulawesi Selatan Haris 2004. Penelitian bioaktivitas antibakteri spons pada lingkungan
perairan yang berbeda, diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan budidaya spons di masa yang akan datang, terutama untuk menghasilkan
senyawa bioaktif. Upaya pengembangan budidaya spons melalui transplantasi ini, diharapkan aktivitas pengambilan spons secara langsung dari alam dapat
dikurangi sehingga kelestarian sumberdaya laut dapat terjaga.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa bioaktivitas antibakteri spons P. nigricans termasuk komponen kimia yang bersifat antibakteri yang diperoleh
dari alam dan hasil transplantasi pada kondisi perairan yang berbeda.
Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian di laboratorium bertujuan untuk menguji dan mengisolasi bioaktivitas antibakteri spons berlangsung mulai bulan Agustus 2007 sampai
Januari 2009. Sampel spons sebagai bahan transplantasi diambil dari perairan terumbu karang di perairan Pulau Pari. Transplantasi spons dilakukan di
perairan Pulau Pari dan Pulau Pramuka dengan masing-masing pada kedalaman 7m dan 15m.
Analisis dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen THP IPB, Laboratorium Biologi Laut Departemen ITK IPB, Laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan Departemen MSP IPB, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB, Laboratorium PPLH-IPB, dan isolasi senyawa dengan GC-MS di Laboratorium Forensik Mabes Polri, Jakarta.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan antara lain adalah: erlenmeyer, gelas piala, corong, batang pengaduk, corong pisah, soklet, tabung reaksi, pipet ukur,
pipet volume, cawan petri, jarum ose, paper disc, vaccum rotary evaporator, centrifuge, blender, waterbath, shaker, pH meter, refrigerator, inkubator, oven,
autoclave, lampu bensin, kertas saring, neraca analitik, uv kabinet,vottex mixer, aluminium foil, TLC, kolom pemisah dan GC-MS.
Bahan Penelitian Sampel Spons
Pengambilan sampel spons dari alam dan spons hasil transplantasi dilakukan per bulan selama 12 bulan. Jumlah sampel untuk uji bioaktivitas
antibakteri dari hasil transplantasi berjumlah 240 buah. Untuk uji ekstrak kasar dipanen 3 buah sampel per bulan per 4 lokasi kedalaman. Sehingga
dalam 1 tahun dibutuhkan 3 x 12x 4 = 144 buah sampel spons transplantasi. Sedangkan sisa sampel spons hasil transplantasi sebanyak 96 buah
dilanjutkan proses fraksinasi setelah berumur 1 tahun. Hal sama dilakukan spons dari alam yang berjumlah 120 buah. Untuk uji bioaktivitas dibutuhkan 3
x 12 x 2 = 72 buah sampel spons. Sisa sampel spons dari alam sebanyak 48 buah dilanjutkan proses fraksinasi setelah berumur 1 tahun. Kode sampel
spons hasil transplantasi, sampel spons alam dari perairan Pari, dan Pramuka terdapat pada Tabel 9. Pengambilan spons per bulan untuk melihat
hubungan perbedaan zona hambat dengan usia spons. Sampel spons yang dipanen dimasukkan ke dalam cool box yang berisi es untuk dibawa ke
laboratorium. Sebelum dilakukan ekstraksi, sampel-sampel tersebut disimpan pada suhu -20
°
C.
Bakteri uji dan Artemia salina
Bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Staphyloccus aureus dan Escherichia coli diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi
Departemen THP IPB. Uji toksisitas menggunakan larva A. salina yang telah ditetaskan selama 48 jam.
Kultur Media
Media kultur bakteri yang digunakan adalah berupa tryptic soy broth, agar plate, agar miring Rachmat 1994.Cara pembuatan masing-masing
media kultur tersebut adalah sebagai berikut: Typtic soy broth: 40 gr tryptic soy broth agar disuspensikan ke dalam 1
liter aquadest. Campuran dipanaskan hingga larut. Kemudian disterilkan pada autoclave selama 15 menit pada suhu 121
o
C. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar.
Agar plate: tryptic soy agar dituangkan ke dalam cawan petri masing- masing 15 ml setiap petri. Kemudian disterilkan pada autoclave pada suhu
121
o
C. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar. Agar miring: trytic soy agar dituangkan ke dalam tabung-tabung reaksi
yang dimiringkan. Kemudian disterilkan pada autoclave pada suhu 121
o
C. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar.
Tabel 9 Jumlah sampel dalam rak transplantasi untuk uji bioaktivitas antibakteri Lokasi Rak
Kode Sampel
Spons ke- n Jumlah
Buah
Rak 1 transplan
Pari 7m
Pi7mn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ..30 30
Pari 15m Pi15mn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
..30 30 Pramuka
7m Pa7mn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
..30 30 Pramuka
15m Pa15mn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 .30 30
Rak 2 transplan
Pari 7m Pi7mn
31 32
33 34
35 36
37 38
39 40 ..60 30
Pari 15m Pi15mn
31 32
33 34
35 36
37 38
39 40 ..60 30
Pramuka 7m Pa7mn
31 32
33 34
35 36
37 38
39 40
..60 30
Pramuka 15m
Pa15mn 31 32 33
34 35
36 37
38 39 40 ..60 30
Jumlah 240
Alam
Pari Pin
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ..60 60
Pramuka PaPin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
..60 60 Jumlah
120
Kegiatan Penelitian Pembuatan Ekstrak Kasar
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menurut petunjuk Rachmat 1994. Metode tersebut adalah sebagai berikut: spons yang sudah
dibersihkan ditimbang sebanyak 25 gr, setelah ditimbang, dipotong kecil-kecil, selanjutnya diblender sampai halus. Setelah halus dipindahkan ke dalam
beaker glass 100 mL dan ditambahkan 25 ml metanol p.a., kemudian diaduk- aduk hingga metanol meresap ke dalam sampel. Alur kerja ekstraksi spons
diterangkan pada Gambar 21.
Gambar 21 Diagram alur ekstraksi spons Residu
Dipekatkan
Pasta alam=0.30gr dan tranplantasi =0.18 gr
Filtrat Diblender
sampai halus
Maserasi dengan metanol p.a 25 ml;24 jam
Disentrifuge selama 15 menit, 3500 rpm dan disaring dengan kertas saring
Ekstrak disimpan dalam lemari pendingin Spons ditimbang 25 gr
Dipotong kecil-kecil
Beaker glass ditutup plastik dan disimpan selama 24 jam dalam suhu kamar. Setelah 24 jam, disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3500
rpm. Disaring dengan kertas saring untuk memisahkan cairan dengan endapannya. Cairan ditampung di dalam labu takar 25 mL ekstrak. Ekstrak
dipekatkan dengan evaporator pada suhu 50-60
°
C. Ekstrak siap untuk diuji, kalau belum langsung diuji, disimpan di botol ekstrak dalam lemari pendingin.
Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar Pembiakan Bakteri Uji
Biakan bakteri uji ditanam dengan metode agar miring. Biakan bakteri dioleskan secara aseptis pada media agar miring yang telah memadat secara
steril. Kemudian disimpan dalam inkubator pada suhu 37
o
C selama 24 jam. Setelah itu ditambahkan aquades steril dan dibuat suspensi bakteri dengan
konsentrasi sebesar 10
6
selml. Konsentrasi sebesar itu dibuat dengan menentukan optical density-nya OD-nya 0.1. Alat yang digunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 650 nm. Pada optical density OD ini konsentrasi bakteri setara dengan 10
6
selml .
Uji Bioktivitas Antibakteri dari Ekstrak Kasar
Uji bioktivitas antibakteri menggunakan bioindikator berupa bakteri patogen S. aureus dan E. coli. Uji bioktivitas ini menggunakan metoda difusi
agar menurut Rachmat 1994. Alur kerja uji bioaktifitas antibakteri diterangkan pada Gambar 22.
Larutan tryptic soy agar TSA dicairkan dan kemudian ditunggu hingga suhu 45
o
C-50
o
C. Suspensi bakteri 10
6
dipipet sebanyak 1 ml dan dituang ke dalam media tryptic soy agar. Di kocok dengan alat vortex-mixer.
Suspensi bakteri dalam media tryptic soy agar yang telah dikocok, dituang seluruhnya ke dalam cawan petri. Kemudian diputar-putar agar tercampur
rata. Mulai dari pembuatan suspensi bakteri dalam media tryptic soy agar sampai dengan menuang dan mencampurnya, dilakukan dengan cepat agar
tidak membeku sebelum waktunya. Selanjutnya didiamkan sehingga membeku dan petri dapat dibalik. Setelah media membeku, paper disc
ditetesi sampel berupa cude ekstrak dengan pipet mikro sebanyak 20 µl. Setelah semua petri terisi sampel, selanjutnya disimpan dalam inkubator
dalam keadaan terbalik selama 24 jam suhu 37
o
C. Setelah 24 jam keaktifan
suatu ekstrak kasar akan terlihat dengan adanya zona hambat di sekitar paper disc. Sebagai antibiotik pembanding adalah kloramfenikol dengan
konsentrasi 10 μgml. Zona hambatan tersebut diukur diameternya dengan
jangka sorong.
Gambar 22 Diagram alur uji bioaktifitas antibakteri estrak kasar
Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar dengan Artemia salina
Uji aktivitas dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test BSLT McLaughlin dan Rogers 1998. Pada uji ini digunakan
Artemia salina sebagai hewan uji. Mula-mula telur A. salina ditetaskan di dalam air laut buatan 38 gram garam dapur dalam 1000 ml air biasa
dibawah lampu TL 40 watt. Setelah 48 jam telur menetas menjadi naupli instar IIIIV dan siap digunakan sebagai hewan uji. Sepuluh larva A. salina
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan ekstrak sampel Penghomogenan dengan vortex
Penuangan agar ke dalam cawan petri steril
Pendinginan sampai agar beku
Paper disc diberi ekstrak dengan pipet mikro 20
μl
Paper disc diletakkan di cawan petri yang berisi bakteri uji
Inkubasi cawan petri suhu 37°C selama 24 jam dalam posisi terbalik
Suspensi bakteri dipipet sebanyak 1 ml Dituangkan dalam media
Pengamatan dan pengukuran zona hambat
dengan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm dan 1000 ppm dan ditambahkan air laut buatan sampai volume 5 ml. Air laut buatan tanpa pemberian ekstrak 0 ppm
digunakan sebagai kontrol. Setiap perlakuan serta kontrol dibuat tiga kali ulangan. Sebanyak 72 tabung reaksi diinkubasi pada suhu kamar selama 24
jam di bawah penerangan lampu TL 40 watt. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah A. salina yang mati pada tiap konsentrasi.
Alur kerja uji toksisitas diterangkan pada Gambar 23. Penentuan harga LC
50
µgml dilakukan dengan menggunakan analisis probit dan persamaan regresi.
Gambar 23 Diagram alur uji toksisitas dengan A. salina
Fraksinasi
Ekstrak kasar dilanjutkan dengan fraksinasi dari spons alam perairan Pari [Pi37-47] dan spons hasil transplantasi Pulau Pari kedalaman 15 m [Pi15m37-
47]. Fraksinasi didasarkan pada prosedur fraksinasi menurut Parenrengi et al.
Pemasukan dalam 500 ml air laut 38 ‰, pH 7,5
Pencahayaan 48 jam sampai menetas
Pemasukan 10 ekor A. salina ke dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml air laut yang tercampur
ekstrak 1000, 100, 10 ppm dan kontrol
Pencahayaan 24 jam
Pengamatan dan penghitungan A.salina yang mati
Penentuan LC
50
20 mg telur A.salina
LC
50
1999. Prosedur fraksinasinya adalah : Ekstraksi dengan metanol 500 g spons dihaluskan dengan blender dan diekstraksi secara maserasi dengan
menggunakan pelarut metanol 500 ml selama 24 jam, kemudian filtrat yang dihasilkan dipisahkan dengan pelarutnya menggunakan vaccum evaporator.
Melarutkan ekstrak dalam 500 ml air. Ekstraksi dengan etil asetat sehingga didapatkan dua fraksi yatu larutan oganik dan lapisan air. Alur kerja fraksinasi
diterangkan pada Gambar 24.
Gambar 24 Diagram alur proses fraksinasi Maserasi 24 jam dengan metanol
sebanyak 500 ml Setelah 24 jam kemudian difiltrasi
Residu Filtrat
Dipekatkan Pasta alam=4.15gr dan
transplantasi=6.65 gr Melarutkan ekstrak senyawa dalam
500 ml air
Ekstraksi dengan EtOAc 3x500ml
Mendiamkan hingga terbentuk dua larutan fraksi yaitu larutan organik dan air
Menimbang 500 gr sample, blender, menempatkan ke wadah beaker glass
1000 ml
Fraksi Etil Asetat 1400 ml
Fraksi air 600 ml
Metode selanjutnya dilakukan dalam sebuah tabung separasi, dimana pelarut organik etOAc dan air dicampur sedemikian rupa dengan komponen
campuran yang ingin dipisahkan, lalu didiamkan beberapa waktu sampai membentuk dua larutan fraksi yang berbeda. Kemudian lapisan paling bawah,
yaitu fraksi air karena pelarut organik yang digunakan memiliki berat jenis yang lebih rendah daripada air dikeluarkan dari tabung dan dipisahkan dari fraksi
organik.
Uji Aktifitas Antimikroba dengan metode Bioautografi
Bahan yang digunakan adalah gel silica TLC yang mengandung senyawa yang sudah difraksinasi. Aluminium silca gel tersebut disterilkan menggunakan
sinar UV selama 30 menit, lalu diletakkan di atas agar nutrien cair yang mengandung bakteri dengan metode agar tuang, kemudian diinkubasi pada suhu
ruang selama 24 jam. Setelah masa inkubasi zona bening yang terbentuk diamati dengan bantuan pewarna metiltiazoletetrazoluem, untuk melihat spot
komponen senyawa organik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Zheng et al. 2005.
Isolasi Bioaktivitas Antibakteri Kromatografi Lapis Tipis
Isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif sampel dilakukan dengan melakukan kromatografi lapis tipis Thin Layer ChromatographyTLC terhadap
senyawa organik hasil fraksinasi ekstrak kasar spons. TLC dilakukan dengan plat TLC Aluminium Sheets Gel 60 F
254
produksi Merck. Sampel senyawa organik diteteskan pada plat yang diberi tanda sebagai titik awal. Kemudian plat
direndam dalam larutan terpilih yang telah dioptimasi selama 2 jam selama beberapa saat pada kotak kromatografi chamber. Setelah senyawa bergerak
sampai garis batas, plat dikeluarkan dan dikeringkan. Komponen senyawa organik yang terpisah akan berbentuk spot-spot di sepanjang plat, kemudian
dilihat dan ditandai dibawah sinar uv dengan panjang gelombang 256 dan 365 nm Zheng et al. 2005. Nilai retardation factor Rf masing-masing spot yang
terbentuk dihitung. Rf = Jarak tempuh analit dari titik awal
Jarak tempuh pelarut
Kromatografi Kolom dan Kromatografi Gas
Fraksi organik hasil fraksinasi yang telah melalui tahap kromatografi lapis tipis TLC disiapkan sebanyak 5 ml. Kolom pemisah dibersihkan kemudian diisi
dengan glass wool lalu pasir silika dan silika gel secara berturut-turut hingga ¾ bagian kolom. Setelah merata, kemudian diisi dengan pelarut atau eluen terpilih
hasil pemanduan kromatografi lapis tipis hingga melebihi silika gel. Kemudian menuangkan fraksi organik sebanyak 5 ml, membuka penutup kran corong
bagian bawah dan membiarkan pelarut atau eluen sebagai fase gerak melarutkan fraksi, silika gel berperan sebagai fase diam dan senyawa dari fraksi
yang polar akan keluar terlebih dahulu kemudian ditampung pada gelas, fraksi kolom kromatografi yang keluar hingga diperkirakan senyawa pada fraksi
sebanyak 5 ml. Alur kerja fraksinasi GC-MS terdapat pada Gambar 25.
Gambar 25 Diagram alur proses fraksinasi GC-MS Dipekatkan
Fraksi dalam bentuk pasta alam=1420 mg, transplantasi= 810 mg
Melarutkan dengan EtoAc hingga mencapai 5 ml
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Kolom
Heksan : Etil Asetat = 4:1
Fraksi Kolom Kromatografi
Kromatografi Lapis Tipis Fraksi terpilih
GC-MS Kromatogram
Fraksi organic hasil fraksinasi RtoAc 1400 ml
Identifikasi Senyawa
Fraksi-fraksi tersebut kemudian dipisahkan dari pelarutnya menggunakan vaccum evaporator dengan tujuan mengetahui bobot setiap fraksi. Fraksi-fraksi
lalu dilarutkan heksan dan etil asetat 4:1 hingga mencapai 1ml, kemudian dilakukan kromatografi lapis tipis untuk mengidentifikasi awal keberadaan
senyawa bioaktif dan mencari fraksi-fraksi yang memperlihatkan spot-spot dengan Rf yang sama. Fraksi-fraksi dengan Rf yang sama dikelompokkan
menjadi beberapa kelompok senyawa untuk kembali diidentifikasi dan dipurifikasi dengan kromatografi gas. Kelompok fraksi yang memiliki kemampuan
bioaktifitas diuji dengan bioautografi dilanjutkan dengan pemisahan kromatografi gas yang dilakukan dengan cara menyuntikkan sebanyak 10 µl
kelompok fraksi terpilih ke kolom alat GC-MS Triyulianti 2009. Alat dan spesifikasi alat GC-MS terlihat pada Gambar 26 dan Tabel 10.
Gambar 26 Alat Kromatografi Gas GC-MS Tabel 10 Spesifikasi dan kondisi alat GC-MS
Kondisi GC-MS Spesifikasi
Jenis kolom HP-5MS
Panjang kolom 30 µm
Diameter kolom 0.5 mm
Film 0.25 m
Temperatur limit -60- 325
o
C Merek GS-MS
GC Agilent seri 6890 N MS Agilent seri 5973 inert
Gas pembawa Helium
Laju alir 1.0 mlmenit
Suhu ruang injeksi 250
o
C Suhu oven
Suhu awal 70
o
C dan 290
o
C Suhu interface
290
o
C Volume injeksi
10 µl
Analisis Data Bioaktivitas Ekstrak Kasar Spons
Analisis pengaruh kedalaman lokasi dan waktu bulan terhadap Bioaktivitas ekstrak kasar spons dilakukan dengan analisa varian Anova
dengan Rancangan Acak Kelompok RAK dengan model linier Steel dan Torrie 1993 sebagai berikut:
Y
ij
= µ + J
i
+ D
j
+ ε
ij
Y
ij
= Respon zona hambat pada waktu ke i, kedalaman lokasi ke j µ = Rataan umum
J
i
= Pengaruh waktu ke i D
j
= Pengaruh kedalaman lokasi ke j ε
ij
= Pengaruh acak pada waktu ke –i dan kedalaman lokasi ke-j Uji lanjut yang digunakan adalah uji Beda Nyata Terkecil BNT
0.05
pada selang kepercayaan 95 dengan rumus sebagai berikut Steel dan Torrie 1993:
BNT ά =t
α
Sd Sd
= √2S
2
r D
iji
= X
i
-X
j
Dimana: X
i
dan X
j
adalah rataan perlakukan ke-i dan ke-j D
ij
= perbedaan atau selisih rata-rata antar perlakukan ke-i dan ke -j sd = galat baku beda rata-rata
r = banyaknya ulangan yang sama untuk kedua perlakukan S
2
= kuadrat tengah galat t
α
= t tabel pada taraf nyata
α
2 dengan n derajat bebas Penggunaan rancangan Rancangan Acak Kelompok dalam penelitian ini
adalah pengelompokan berdasarkan waktu pengamatan bulan. Perlakuan kedalaman berdasarkan lokasi perairan di Pramuka yang lebih jauh dari daratan
Teluk Jakarta dan perairan Pulau Pari yang lebih dekat dengan daratan Teluk Jakarta sebagai daerah yang lebih banyak mendapat masukan nutrien.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji F untuk melihat pengaruh waktu dan kedalaman lokasi terhadap zona hambat spons. Analisis lebih lanjut dengan
uji Beda Nyata Terkecil BNT untuk rancangan kelompok lengkap teracak dilakukan jika hasil uji F berbeda nyata. Jika DBNT berarti selisih rata-rata antar
perlakuan tidak berbeda nyata, dan bila DBNT maka selisih rata-rata antar perlakuan berbeda nyata.
Keterkaitan Kandungan Senyawa Aktif Spons dan Kualitas Air
Untuk melihat keterkaitan antara kandungan senyawa aktif spons hasil transplantasi dengan kualitas air, digunakan analisis statistik multivariat yang
berdasarkan Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis; PCA
Legendre dan Legendre 1983; Ludwig dan Reynolds 1988. Uji Toksisitas dan Identifikasi Senyawa
Uji toksisitas dengan A. salina , uji Kromatografi Lapis Tipis TLC, uji Kromatografi Kolom, dan isolasi senyawa spons dengan Kromatografi Gas GS-
MS dianalisa secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan Uji Toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test
Hasil pengujian toksisitas ekstrak LC
50
spons P. nigricans dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000 ppm menggunakan bioindikator A. salina
mempunyai nilai berkisar antara 36.95-73.76 µgml. Toksisitas ekstrak kasar LC
50
spons P. nigricans di perairan Pramuka Alam 44.32 µgml, Pari Alam 36.95 µgml, Pramuka 7m 73.76 µgml, Pramuka 15m 63.36 µgml, Pari 7m
58.17 µgml, dan Pari 15 m 47.40 µgmlGambar 27 dan Tabel 11. Uji toksisitas dengan larva A. salina sangat efektif untuk menguji aktivitas antibakteri
metabolit sekunder dari organisme terestial dan organisme laut Meyer et al. 1982. Berdasarkan Tabel 11 bahwa ekstrak kasar alam spons P. nigricans dari
perairan Pramuka dan Pulau Pari serta hasil transplantasinya yang sudah berumur 1 bulan termasuk bahan yang toksik karena memiliki nilai LC
50
antara 30-1.000 µgml. Nilai LC
50
spons alam lebih kecil dari pada spons hasil transplantasi, hal ini berarti semakin kecil nilai LC
50
semakin besar toksisitasnya. Berdasarkan Meyer et al. 1982 kategori toksisitas suatu bahan bahan
berdasarkan LC
50
terbagi menjadi 3 kategori yaitu sangat toksik bila LC
50
30 µgml, kategori toksik dengan nilai LC
50
sebesar 30-1000 µgml dan kategori tidak toksik dengan nilai LC
50
1000 µgml. Carbalo et al. 2002 menyatakan Uji Brine Shrimp Lethality Test BSLT
merupakan salah satu uji toksisitas yang banyak digunakan dalam penelusuran komponen bioaktif yang bersifat toksik dari bahan alam. Uji BSLT
merupakan uji pendahuluan untuk memprediksi toksisitas suatu bahan dan digunakan untuk mendeteksi toksin fungal, logam berat, sianobakteri dan
aktivitas pestisida. Penelitian ekstrak kloroform spons Petrosia sp dari perairan Bunaken
menghasilkan ekstrak yang paling aktif LC
50
= 48.15µgml dan dipertimbangkan berpotensi untuk pengembangan obat baru. Penelitian dua senyawa yang
diisolasi dari spon Petrosia sp dari Taman Nasional Bunaken adalah senyawa alkoloid termasuk toksisitas cukup tinggi terhadap A. salina dengan LC
50
masing- masing sebesar 7.23 µgml dan 5.69 µgml. Hal ini menunjukkan bahwa spons
dari jenis Petrosia sp memiliki potensi bahan bioaktif menarik untuk diteluri lebih lanjut Astuti et al. 2005. Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT
memperlihatkan bahwa ekstrak kasar P. nigricans memiliki aktivitas tahap awal yang sangat baik dengan LC
50
23.4 µgml Nursid et al. 2006. Tabel 11 Hasil uji BSLT ekstrak spons P. nigricans dari alam dan transplantasi
berumur 1 bulan Ekstrak Spons
Konsentrasi ppm
Persen Mortalitas
Probit LC
50
µgml Keterangan
Pramuka Alam 10 26.67
4.39 44.32
Toksik 100 53.33
5.08 1000 96.67
6.88 Pramuka 7m
transplantasi 10 20
4.16 73.76
Toksik 100 43.33
4.82 1000 93.33
6.48 Pramuka 15m
transplantasi 10 23.33
4.26 63.36
Toksik 100 46.67
4.92 1000 93.33
6.48 Pari Alam
10 26.67 4.39
36.95 Toksik
100 46.67 4.92
1000 100 8.09
Pari 7m transplantasi
10 20 4.16
58.17 Toksik
100 46.67 4.92
1000 96.67 6.88
Pari 15m transplantasi
10 16.67 4.05
47.40 Toksik
100 43.33 4.82
1000 100 8.09
10 20
30 40
50 60
70 80
Pramuka Alam
Pramuka 7m
Pramuka 15m
Pari Alam Pari 7m
Pari 15m
Lokasi LC
5 µ
g m
l
Gambar 27 Toksisitas spons dari perairan Pulau Pramuka dan Pulau Pari pada kedalaman 7m dan 15m
Gambar 28 A. Kultur A. salina pada media air laut steril B. Uji toksisitas mengunakan A. salina
Bioaktivitas Ekstrak Kasar Spons dari Alam
Ekstrak kasar spons P. nigricans dari alam diuji menggunakan dua bakteri yaitu S. aureus dan bakteri E. coli . Zona hambat ekstrak spons P. nigricans alam
terhadap pertumbuhan bakteri jenis S. aureus dan bakteri E. coli disajikan pada Lampiran 45, Lampiran 46, Gambar 29 dan Gambar 30. Rata-rata zona hambat
ekstrak kasar spons dari hasil alam terhadap pertumbuhan bakteri E. coli dari Pramuka sebesar 7.00 ±0.63 mm dan dari Pulau Pari sebesar 8.42± 0.38 mm.
A B
Rata-rata zona hambat ekstrak kasar spons dari hasil alam terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus dari Pramuka sebesar 11.39±0.5 mm dan dari
Pulau Pari sebesar 18.83± 0.37 mm. Jadi rata-rata zona hambat ekstrak spons pada bakteri jenis S. aureus lebih lebar 10.00 mm dan 10.41 mm dibandingkan
E. coli pada Pulau Pari dan Pulau Pramuka. Bakteri S. aureus gram positif lebih peka terhadap ekstrak kasar spons dari pada bakteri E.coli gram negatif,
hal ini disebabkan oleh karakteristik membran sel yang berbeda antara bakteri gram positif dan negatif.
Menurut Stecher dan Johnson 2003 bahwa bakteri gram negatif memiliki pembatas permeabilitas tambahan yang terdapat dari struktur membran luar.
Dinding sel bakteri gram negatif lebih komplek dibandingkan dengan bakteri gram positif. Perbedaan utama terletak adanya lapisan lipopolisakarida pada
lapisan membran luar sel bakteri gram negatif. Lapisan inilah yang berperan sebagai barrier.
Rata-rata zona hambat pertumbuhan E. coli oleh ekstrak kasar spons dari Pulau Pramuka dan Pulau Pari adalah 7.00±0.62 dan 8.42±0.38 Lampiran
45, sedangkan rata-ratar zona hambat pada S. aureus dari ekstrak kasar spons P. nigricans dari perairan Pulau Pramuka dan Pari adalah 17.39±0.52 mm dan
18.83±0.37 mm Lampiran 46. Jadi rata-rata zona hambat ekstrak spons dari Pulau Pari lebih lebar 1.42 mm dan 1.43 mm dibandingkan Pulau Pramuka
pada bakteri E.coli dan S. aureus. Rata-rata kandungan senyawa aktif ekstrak kasar spons di perairan Pramuka dan Pari adalah 1.16±0.05 dan 1.25±0.05
dari berat spons Lampiran 58. Hasil analisis ragam terhadap zona hambat ekstrak kasar spons pada bakteri E. coli dan S. aureus menunjukkan hasil yang
berbeda nyata pada perbedaan lokasi Pramuka dan Pari p0.05 dan tidak berbeda nyata terhadap bulan pengamatan p0.05Lampiran 48 dan 49.
Penelitian Voogd 2007 budidaya spons Callyspongia Euplacella biru di Kepulauan Spermonde terdapat perbedaan yang nyata konsentrasi bioaktif
amphitoxin spons alam antara Pulau Samalona dan Bone Lola. Harper et al. 2001 tingkat keragaman dari senyawa bioaktif hewan laut dipengaruhi
perbedaan lingkungan laut seperti salinitas, intensitas cahaya, arus, dan kompetisi dengan organisme lain.