Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

(1)

MAKNA KEKERASAN PADA FILM DOKUMENTER JAGAL (THE ACT OF KILLING)

(Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter “Jagal (The Act of Killing)” tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Gelar Sarjana (S1) Program Studi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Jurnalistik

Oleh

IRFAN IRFIANTO NIM : 418O9714

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

ix

LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah Makro & Mikro ... 12

1.2.1 Rumusan Masalah Makro ... 12

1.2.2 Rumusan Masalah Mikro ... 12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 13

1.3.1 Maksud ... 13

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 15


(3)

x

2.1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 15

2.2 Film Sebagai Medium Komunikasi ... 17

2.2.1 Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya ... 17

2.2.1.1 Definisi Ilmu Komunikasi Menurut para Ahli ... 18

2.2.1.2 Lingkup Ilmu Komunikasi ... 19

2.2.2 Komunikasi Massa Menggunakan Media Massa ... 21

2.2.2.1 Fungsi Komunikasi Massa ... 22

2.2.2.2 Bentuk Bentuk Media Massa ... 24

2.2.3 Arti Film dan Sejarahnya ... 25

2.2.3.1 Karakteristik Film ... 27

2.2.3.2 Jenis-Jenis Film ... 28

2.2.3.3 Fungsi Film ... 30

2.2.4 Semiotika dan Perkembangannya ... 30

2.2.4.1 Teori Semiotika Menurut para Ahli ... 32

2.2.5 Tindakan Kekerasan Merupakan Sifat ... 35

2.2.5.1 Otak Berbasis Prilaku Kekerasan ... 36

2.3 Kerangka Pemikiran ... 39

2.3.1 Kerangka Teoritis ... 39

2.3.2 Kerangka Konseptual ... 44

BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Objek Penelitian ... 48

3.1.1 Sinopsis Film ... 49

3.1.2 Pembuat Film ... 52

3.2 Metode Penelitian ... 61


(4)

xi

3.2.3 Uji Keabsahan Data ... 65

3.2.4 Uji Kredibilitas ... 65

3.2.5 Teknik Analisis Data ... 65

3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69

4.1 Hasil Penelitian ... 71

4.1.1 Hasil Analisis Makna Denotatif Kekerasan pada Film Jagal (The Act of Killing) ... 71

4.1.2 Hasil Analisis Makna Konotatif Kekerasan pada Film Jagal (The Act of Killing) ... 82

4.1.3 Hasil Analisis Makna Mitos/Ideologi Kekerasan pada Film Jagal (The Act of Killing) ... 96

4.2 Pembahasan ... 112

4.2.1 Makna Denotatif pada Film Dokumenter Jagal (The Act of Killing) ... 114

4.2.2 Makna Konotatif pada Film Dokumenter Jagal (The Act of Killing) ... 116

4.2.3 Makna Mitos/Ideologi pada Film Dokumenter Jagal (The Act of Killing) ... 119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

5.1 Kesimpulan ... 124


(5)

xii

5.2.1 Saran Bagi Program Studi ... 127

5.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 128

5.2.3 Saran Bagi Praktisi ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 129


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Komala, Karlinah. 2012. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.

Barthes, Roland. 2010. Imaji,Musik,Teks. Penerjemah, Agustinus Hartono. Yogyakarta. Jalasutra

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra.

Effendy, Uchana, Onong. 2013. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Cetakan Keduapuluh Lima. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi-Edisi Ketiga. Cetakan Kedua. Penerjemah, Hapsari Dwiningtyas. Jakarta. PT Rajagrafindao Persada. Fromm, Erich. 2010. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia.

Penerjemah, Imam Muttaqin. Cetakan Keempat. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Halim, Syaiful. 2013. Postkomodifikasi Media. Cetakan Pertama. Yogyakarta.

Jalasutra.

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Cetakan Pertama. Tanggerang Selatan. Marjin kiri.


(7)

130

Mulyana, Deddy. 2013. Metodologi Penelitian Kulaitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Cetakan Kedelapan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Piliang, Yasraf. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta. Jalasutra.

Ramli & Fathurahman. 2005. Film Independen (Dalam Persepektif Hukum Hak Cipta dan Hukum Perfilman Indonesia). Bogor Selatan. Ghalia Indonesia.

Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan, Cetakan Pertama. Jakarta. Ghalia Indonesia Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi, Cetakan Keempat. Bandung. Remaja

Rosdakarya.

, Alex. 2012. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

, Alex. 2014. Komunikasi Naratif, Paradigma, Analisis, dan Aplikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD. Bandung. Alfabeta.

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah. Bandung. Salamadani Pustaka Semesta.

Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Cetakan Kedua. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.


(8)

Zoebazary, Ilham. 2010. Kamus Istilah Televisi dan Film. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Internet Searching:

http://www.jagalfilm.com http://theactofkilling.com

http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2196538-pengertian-kekerasan/#ixzz2%20PmoIWgRC

http://showbiz.liputan6.com/read/2017515/20-feet-from-stardom-buat-the-act-of-killing-bertekuk-lutut-di-oscar-2014)

http://www.bimbingan.org/definisi-film.html

http://jaririndu.blogspot.com/2011/11/teori-semiotik-menurut-para-ahli.html http://pemudapancasila.or.id/profil/sejarah/

http://www.slideshare.net/AnitaKim98/pki-partai-komunis-indonesia

Sumber lain :

Nugroho, Eko. 2012. “Representasi Rasisme Dalam Film This Is England (Analisis Semiotik Roland Barthes Mengenai Rasisme Dalam Film This Is England)”. Skripsi . Bandung. Universitas Komputer Indonesia

Makhrufi, Dyah, Dianita. 2013. “Pesan Moral Islami dalam Film Sang Pencerah (Kajian Analisis Semiotik Model Roland Barthes)” Skripsi. Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga.


(9)

132

Abbas, Pradita. 2013. “Representasi makna kesetiaan dalam film Hachiko: A Dog’s Story karya Lasse Hallstrom (Studi Semiotik Roland Barthes Mengenai Makna Kesetiaan Dalam Film Hachiko: A dog’s Story Karya Lasse Hallstrom)”. Skripsi. Bandung. Universitas Komputer Indonesia.

Booklet. 2012. Sebuah Film Karya Joshua Oppenheimer Jagal The Act of Killing. Denmark. Final Cut.

Majalah Detik Edisi 1-7 Oktober 2012


(10)

vi Assallamua'laikum Warohmatullohhiwabarokatuh

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah Swt, atas rahmat dan berkahNya serta dukungan berbagai pihak, peneliti akhirnya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan tepat waktu. Penelitian ini yang berjudul “Makna Kekerasan pada Film jagal (The Act of Killing)”. Dalam proses penelitian ini, peneliti mengalami berbagai kesulitan namun dengan kerja keras, doa, bimbingan dari pembimbing serta semangat dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini bisa dipertanggung jawabkan dengan baik.

Terima kasih kepada Mama dan Mimih selaku kedua orang tua, yang tidak bosan memberikan perhatiannya dan selalu memberikan doa setiap saat, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar dan terselesaikan.

Pada kesempatan kali ini, dengan segala kerendahan hati peneliti ingin sampaikan rasa hormat, terimakasih, dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Yang Terhormat:

1. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan FISIP Universitas Komputer Indonesia Bandung. yang telah memberikan izin peneliti untuk melakukan penelitian.


(11)

vii

2. Drs. Manap Solihat, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia. Yang telah mengesahkan skripsi ini sehingga penelitian ini bisa disidangkan dan terima kasih banyak untuk segala ilmu yang telahdiberikan selama ini.

3. Inggar Prayoga, S.I.Kom, selaku dosen wali dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan. Terima kasih atas ilmu yang diberikan selama peneliti melakukan perkuliahan.

4. Drs. Alex Sobur, M.Si, selaku dosen pembimbing selama skripsi, terima kasih atas kesabarannya, masukan-masukannya. Hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terimakasih banyak atas semua pengalaman dan berbagai masukan yang telah diberikan selama ini.

5. Tidak lupa juga Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Komunikasi yaitu: Melly Maulin P, S.Sos., M.Si., Desayu Eka Surya, S.Sos., M.Si., Rismawaty, S.Sos., M.Si., Adiyana Slamet, S.IP., M.Si., Dr. M Ali Syamsudin Amin, M.Si., Olih Solihin, M.I.Kom., Sangra Juliano P., S.I.Kom., Tine Agustin Wulandari, S.I.Kom., dan seluruh dosen yang telah mengajarkan peneliti selama perkuliahan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Ilmu yang diberikan sangat berharga bagi peneliti untuk ikut serta mengembangkan ilmu komunikasi.

6. Astri Ikawati, Amd.Kom, selaku sekretaris Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia, yang telah banyak membantu dalam mengurus administrasi mahasiswa yang berkaitan dengan perlengkapan


(12)

viii

8.

Untuk seluruh keluarga besar di Pandeglang yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Terimakasih atas doa dan ketulusannya.

9.

Untuk Yuni Rahmawati beserta keluarga terimakasih atas dukungan dan bantuannya selama peneliti melakukan penelitian.

10.Teman – teman di Kosan Flamboyant 48 yang selalu mendukung peneliti dalam menyeleasikan laporan yaitu: Agung, Ijal, Ardi, Budi, Firza, Eno, Amsal, Yvan, Ucup, Igo dan Dion.

11.Semua teman-teman Ilmu Komunikasi serta teman-teman di kelas IK Jurnal 2 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan yang kalian berikan. Semoga Allah menimbang segala kebaikan.

Bandung, 23 Agustus 2014

Irfan Irfianto NIM.41089714


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Film dokumenter Jagal (The Act of Killing) ini mengungkapkan realita kekejaman pada tahun 1965 terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ada di Medan, Sumatera Utara. Di tempat ini terjadi pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkannya (genosida) dilakukan oleh seorang preman bersama kelompoknya yang mengatasnamakan Pemuda Pancasila.

Organisasi Pemuda Pancasila (PP) berdiri pada 28 Oktober l959 di Jakarta, yang awalnya bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) merupakan sayap politik dari para petinggi militer yang masih aktif. Tokoh-tokoh pendirinya adalah A.Yani, A.H.Nasution, Gatot Subroto dan masih banyak lagi. Mereka tidak dapat langsung bermain di kancah politik, karena memang undang-undang melarang militer aktif melakukan kegiatan politik praktis. PP dilahirkan guna mengemban tugas mulia yakni melindungi NKRI dari rongrongan bahaya laten komunis yang kala itu dimotori oleh PKI.1

1


(14)

Setiap gerakan PKI selalu dikontrol dan dibayang-bayangi oleh PP. Ketika Pancasila mendapatkan ancaman dari barisan Pemuda Rakyat beserta kekuatan PKI, dengan sigap kader-kader Pemuda Pancasila tampil sebagai penyelamat.

Setelah PKI dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S pada tahun 1965, seorang preman bernama Anwar Congo yang dianggap sebagai tokoh oleh kawan-kawannya, dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Anwar dan kawan-kawannya membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri. dikutip dari booklet Sebuah Film Karya Joshua Oppenheimer, Jagal/The Act of Killing (2012:1).

Sudah menjadi rahasia umum ketika para komunis ditangkap dan dibunuh oleh preman yang didukung TNI dalam melaksanakan tugasnya, komunis dibuat kocar-kacir karena tentara merekrut para preman untuk melakukan pembunuhan. Mereka (preman) diorganisasikan dalam kelompok paramiliter, diberi pelatihan dasar militer. Semenjak saat pembantaian dilakukan, mereka diberi keleluasaan dan kekuasaan.

Dalam film ini, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan dengan cara dan tekniknya sendiri. Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang


(15)

3

penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota Pemuda Pancasila yang berawal dari pasukan anti-PKI di Medan.

Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance (2012:2).

Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi, idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab memproyeksikan dirinya dalam sejarah.

Anwar direkrut oleh tentara untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika, film-film yang paling populer (dan menguntungkan) (2012:2).

Anwar dan kawan-kawannya adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan


(16)

cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Hollywood, di seberang bioskop, tepatnya kantor PP merupakan tempat dikumpulkannya tahanan yang menjadi jatah Anwar setiap malam. Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat, seperti film mafia.

Menurut Wignyosoebroto (1997) pengertian kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah), berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian dari tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahan lagi olehnya.2

Sedangkan Menurut Santoso (2002:24) kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan ilegal yang melibatkan ancaman dan aplikasi aktual kekuatan fisik kepada orang lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu, meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif. Jadi, tindakan individu-individu ini terjadi dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana kekerasan kolektif. Kekerasan kolektif muncul dari situasi

2

D


(17)

5

konkrit yang sebelumnya didahului oleh sharing gagasan, nilai, tujuan, dan masalah bersama dalam periode waktu yang lebih lama.

Berdasarkan pengertian kekerasan di atas bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok atau pelaku yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok orang yang dianggapnya lemah, di mana dapat dilakukan dengan cara mengancam, memukul, menyiksa, bahkan membunuh. Dalam film ini terdapat kekerasan yang menceritakan tokoh preman dalam mengekplorasi kekerasan terhadap kaum komunis, dengan cara membunuh dan membantai menggunakan teknik yang mereka pakai. Apalagi bila sudah melihat kekerasan baik secara nyata maupun di dalam sebuah acara televisi termasuk juga di dalam film.

Film yang berdurasi 2:39 menit versi ini pertama kali dibuat dan mampu memasuki ajang “British Academy of Film and Television Arts” (BAFTA) Awards ke-67, di Inggris 2014. The Act of Killing berhasil menang untuk kategori film dokumenter terbaik. Pada kategori ini, The Act of Killing berhasil mengalahkan sejumlah pesaing lainnya seperti film dokumenter yang berjudul The Armstrong Lie, Blackfish, Tim's Vermeer, dan We Steal Secrets. (Ars).3

Film Jagal (The Act of Killing) sebuah hasil karya dari Joshua Lincoln Oppenheimer, pria berkelahiran Texas, 23 September 1974, menempuh pendidikan di Harvard University, US, dan Central St Martins College, London.

3

http://showbiz.liputan6.com/read/2017515/20-feet-from-stardom-buat-the-act-of-killing-bertekuk-lutut-di-oscar-2014) Diakses pada 16-Maret-2014.Pukul,01:00


(18)

Majalah Detik edisi oktober 2012 memaparkan penghargaan Joshua sebelumnya, antara lain: Film “These Places We’ve Learned to Call Home” meraih Gold Spire Award dalam San Francisco Film Festival 1997; Film The Entire History of the Louisiana Purchase” meraih Gold Hugo Award dalam Chicago International Film Festival 1998 dan Telluride Film Festival 1997; Film The Entire History of the Louisiana Purchase” meraih Innovation and Resourcefulness Award dalam New England Film and Video Festival 1998.

Sementara dalam Filmografi (sebagai Sutradara): These Places We’ve Learned to Call Home (film pendek, 1997); The Entire History of The Louisiana Purchase (50 menit, 1997); Land of Enchantment (film pendek, bersama ko-sutradara Christine Cynn, 2001); The Globalization Tapes (dokumenter, bersama ko-sutradara Christine Cynn, 2003); Show of Force (film pendek, 2007).

Penghargaan film karya Joshua di atas menunjukkan propesional dalam membuat film. Film dokumenter jagal (The Act of Killing), merupakan film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film Arsan dan Aminah yang ingin dibuat Anwar. Film juga merekam semua adegan dan wawancara dengan Anwar di sela-sela syuting Arsan dan Aminah. Lewat The Act of Killing, Joshua menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan.


(19)

7

“Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik,” kata Joshua dikutip dari majalah Detik edisi 2012.

Pembuatan film ini berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun, pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian.

Film telah menjadi suatu objek pengamatan yang menarik untuk diteliti. Selain berfungsi sebagai media massa yang menjadi bagian dari komunikasi massa, film juga terdapat tanda dan makna yang terkandung di dalamnya.

“Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati” (Oey Hong Lee, 1965:40 dalam Sobur, 2009:127). Namun, seiring dengan kebangkitan film berakibat bermunculan film-film yang mengumbar seks, kriminal, dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan berbagai studi komunikasi massa. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk memengaruhi khalayaknya. Sejak itu, maka merebaklah berbagai penelitian yang hendak melihat dampak film terhadap masyarakat (Sobur, 2009:127).


(20)

Film adalah suatu gambar yang bergerak, dengan sebuah alur cerita. Film juga suatu media komunikasi massa yang berisikan pesan dan makna yang dapat memengaruhi penontonnya. Pada dasarnya, film dapat diartikan sebagai potret sebuah cerita kehidupan yang digambarkan oleh sebuah objek yang kemudian dimainkan di bioskop atau televisi. Film juga diartikan sebagai gambar hidup atau lukisan gerak dengan cahaya yang melukiskan lakon kehidupan yang dikemas dalam sebuah pertunjukan berbentuk audio visual.

Selain sebagai media hiburan, film dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Effendy, 1981, dalam Ardianto, 2012:145).

Menurut Wibowo, dkk (2006:196), film adalah alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita. Film juga merupakan medium ekspresi artistik sebagai suatu alat bagi para seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan gagasan-gagasan dan ide cerita. Secara esensial dan subtansial film memiliki power yang akan berimplikasi terhadap komunikan masyarakat.4

Pesan film pada komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi film tersebut. Tetapi, umumnya sebuah film dapat mencakup berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan dan informasi. Pesan dalam film adalah menggunakan

4


(21)

9

mekanisme lambang-lambang yang ada pada pikiran manusia berupa isi pesan, suara, perkataan, percakapan dan sebagainya.

Fungsi film berupa edukasi yang dapat tercapai apabila film tersebut memroduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.

Film dokumenter sendiri menurut Konigsberg (1997:103), berkaitan langsung dengan suatu fakta dan non-fiksi yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.

Misbach Yusa Biran, melalui penulis skenario, Armantono, pernah mengatakan bahwa dokumenter adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mem-persuasi) penontonnya. Dengan definisi ini, film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat dengan film-film yang bernuansa propaganda.

Penyampaian pesan mengenai isu yang memengaruhi masyarakat, dapat disampaikan melalui film dokumenter karena film dokumenter merupakan salah satu bentuk dari media massa dan cerita dalam filmnya berangkat dari sebuah fenomena yang nyata terjadi di sekitar kita.

Menurut Kamus Istilah Televisi dan Film (dalam Zoebazary, 2009), film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan cerita nyata, dilakukan pada lokasi


(22)

yang sesungguhnya. Juga sebuah gaya dalam memfilmkan dengan efek realitas yang diciptakan dengan cara penggunaan kamera, suara, dan lokasi. Selain mengandung fakta, film dokumenter juga mengandung subjektivitas pembuatnya, yakni sikap atau opini pribadi terhadap suatu peristiwa. Film dokumenter bisa menjadi wahana untuk mengungkapkan realitas dan menstimulasi perubahan.

Kekhasan film dokumenter adalah posisinya yang mengombinasikan dua hal: sains dan seni. Dengan kata lain, film dokumenter adalah “fakta yang disusun secara artistik,” mengungkapkan berbagai kondisi dan masalah manusia. Hasilnya kadang terasa kontroversial, karena kebanyakan yang diungkap adalah masalah-masalah yang tak terpecahkan. Film dokumenter adalah ekspresi perjuangan manusia untuk memahami dan memperbaiki kualitas hidupnya. Keberadaan film dokumenter memberikan makna pada masyarakat, sehingga dapat dipandang secara baik atau buruk sesuai simbol, makna dan tanda pada film tersebut.

Peneliti tertarik untuk meneliti makna tanda yang ada pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing), terutama bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos/ideologi dalam film tersebut. Film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu dikolaborasikan untuk mencapai efek yang diinginkan.

Pembahasan sistem tanda tak akan lepas dari bahasan semiotika. Semiotika (semiotics) berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda. Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas


(23)

objek-11

objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Secara terminologis, menurut Eco (1979:6 dalam Sobur, 2012:95) semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Sedangkan Van Zoest (1996:5 dalam Sobur, 2012:96) mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam usaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitisi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179 dalam Sobur, 2009:15).

Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indera kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh


(24)

penggunaannya sehingga disebut tanda. Misalnya; mengacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi.

Berdasarkan data di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Makna Kekerasan pada Film Dokumenter Jagal (The Act of Killing)” (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter Jagal (The Act of Killing) tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1956-1966, Karya Joshua Oppenheimer).

1.2Rumusan Masalah Makro dan Mikro 1.2.1 Rumusan Masalah Makro

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengambil rumusan masalah makro mengenai :

“Bagaimana Makna Kekerasan pada Film Dokumenter Jagal (The Act of Killing)?”

1.2.2 Rumusan Masalah Mikro

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana makna denotasi tentang kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing)?

2. Bagaimana makna konotasi tentang kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing)?


(25)

13

3. Bagaimana makna mitos/ideologi tentang kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing)?

1.3Maksud dan Tujuan Penelitan 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini peneliti agar dapat mengetahui, menjelaskan serta mendeskripsikan bagaimana makna kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing).

1.3.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui maknadenotasi kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing)

2. Untuk mengetahui maknakonotasi kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing)

3. Untuk mengetahui makna mitos/ideologi kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.2 Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya sehingga mampu menunjang perkembangan dalam bidang ilmu komunikasi dan menambah wawasan tentang makna kekerasan pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing).


(26)

1.4.3 Kegunaan Praktis

1. Kegunaan bagi Peneliti

Secara praktis kegunaan penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti yakni, sebagai sarana untuk menambah wawasan juga pengetahuan dalam mengaplikasikan kemampuan yang didapat secara teori dalam perkuliahan. Penelitian ini berguna sebagai bahan pengalaman, khususnya mengenai kegiatan Jurnalistik.

2. Bagi Universitas

Diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran yang berguna sebagai referensi bagi mahasiswa Universitas Komputer Indonesia, khususnya di Program Studi Ilmu Komunikasi dalam mengungkap makna dan tanda dalam sebuah karya film dokumentasi.

3. Bagi Khalayak

Dalam penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi yang positif dalam bidang Ilmu Komunikasi, dan Jurnalistik, khususnya untuk mahasiswa dalam membedah makna dan tanda yang terdapat dalam sebuah karya ataupun media lainya. Dalam penelitian ini lebih khusus membahas tentang semiotika yang terdapat dalam sebuah karya berbentuk film dokumentasi.


(27)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA & KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka

Peneliti pada bab ini akan menjelaskan mengenai teori yang relevan, studi literatur, dokumen atau arsip yang telah dilakukan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian.

2.1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam tinjauan pustaka, peneliti mengawali dengan menelaah penelitian terdahulu yang berkaitan serta relevansi dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Dengan demikian, peneliti mendapatkan reverensi pendukung, pelengkap, serta pebanding sehingga lebih memadai.

Tabel rekapitulasi penelitian terdahulu yang relevan sehingga dijadikan sebagai acuan antara lain sebagai berikut.

Tabel 2.1

Tabel Penelitian Relevan

Uraian Nama Peneliti

Eko Nugroho Dianita Dyah Makhrufi

Fauzie Pradita Abbas


(28)

Universitas

Universitas

Komputer Indonesia

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Universitas Komputer Indonesia Judul Penelitian Representasi

Rasisme dalam Film “This Is England

Pesan Moral Islami dalam Film “Sang Pencerah”

Representasi makna kesetiaan dalam film “Hachiko: A Dog’s Story” karya Lasse Hallstrom Tujuan Penelitian Untuk mengetahui makna semiotik tentang rasisme dalam film This Is England

Dapat melihat bagaimana sejarah KH. Ahmad Dahlan membangun sebuah organisasi dengan menanamkan nilai – nilai moral.

Usaha dalam

meneliti representasi makna kesetiaan dalam film Hachiko : A Dog's Story

Metode Penelitian Pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika Roland Barthes. Pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika Roland Barthes. Pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika Roland Barthes. Hasil Penelitian Makna Mitos/Ideologi yang terdapat dari

sequence, terjadi dari imigran Pakistan yang paling sering mendapat tindakan rasis termasif yang dilakukan warga pribumi asli Inggris yang merasa berhak memperoleh “jatah singga” dan

menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan

kelompok lain.

Hasil penelitiannya adalah pesan moral Islami dalam film “Sang Pencerah” meliputi moral Islami (akhlak) yang

mengacu pada sifat tawadhu, beramal shaleh, lemah lembut, sabar dan pemaaf. Tawadhu saat

mendengarkan nasehat orangtua dan tawaghu berserah kepada Allah.

Peneliti membahas apa saja yang menjadi makna-makna yang terdapat dalam sequence yang menjadi subjek penelitian khususnya pada film hachiko: A Dog’s Story yang dijelaskan melalui pembedahan makna sayang, konotatif, serta mitos/sayang

Kesimpulan


(29)

17 adanya doktrinisasi, inisiasi, perampokan toko, penganiayaan menunjukan telah terjadinya rasisme dari warga pribumi Inggris terhadap para imigran

setiap prilaku yang ada dikehidupan ini, film ini menggugah penontonnya untuk bangkit dari

keterpurukan. Karena agama Islam pada dasarnya adalah agama yang rahmatan lil alamin

dengan kepercayaan terhadap kuasa Allah SWT yang mampu menjadikan sesuatu apapun berjalan dengan indahnya seperti salah satunya kesetiaan seekor anjing yang diperlakukan baik serta diberikan penuh kasih sayang oleh manusia. Sumber, Data Peneliti 2014

2.2 Film sebagai Medium Komunikasi

2.2.1 Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak jauh dengan berkomunikasi, karena komunikasi sangat penting bagi manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya. Adapun hubungan dengan orang lain pada umumnya dilakukan atau dimulai dengan suara, gerak tubuh, dan sebagainya.

Perkembangan ilmu komunikasi melewati proses yang sangat panjang, dapat dikatakan bahwa lahirnya ilmu komunikasi dapat diterima baik di Eropa maupun di Amerika Serikat bahkan di seluruh dunia. Hal ini merupakan hasil perkembangan dari publisistik dan jurnalistik. Maka jurnalistik berkembang menjadi mass communication.


(30)

Dalam perkembangan selanjutnya, mass communication dianggap tidak tepat lagi karena tidak merupakan proses komunikasi yang menyeluruh. Dalam penelitian para cendikiawan pengambilan keputusan banyak dilakukan berdasarkan hasil komunikasi antarpersona (Interpersonal communication) dan komunikasi kelompok (group communication) sebagai kelanjutan dari komunikasi massa (mass communication) (Effendy, 2013:4).

2.2.1.1Definisi Komunikasi Menurut para Ahli:

(1) Bernard Berelson & Gary S. Steiner. Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya dengan mengunakan simbol, kata-kata gambar, figur, grafik dan sebagainya. Tindakan dan proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.

(2) Theodore M. Newcomb. Setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi informasi terdiri dari rangsangan yang deskrimatif, dari sumber kepada penerima.

(3) Chal I. Hovland. Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah prilaku orang lain (komunikan).


(31)

19

(4) Harold Laswel. Who says what in which chanel to whom with what effect? (siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana).

2.2.1.2 Lingkup Ilmu Komunikasi

Berdasarkan uraian definisi di atas maka disusunlah suatu ikhtisar yang mengenai lingkup ilmu komunikasi ditinjau dari komponennya, bentuknya, sifatnya, metodenya, tekniknya, modelnya, bidangnya, dan sistemnya (Effendy, 2013:6-9):

1. Komponen Komunikasi

a) Komunikator (communicator) b) Pesan (message)

c) Media (media)

d) Komunikan (communicant) e) Efek (effect)

2. Proses Komunikasi a) Proses secara primer b) Proses secara sekunder 3. Bentuk Komunikasi

a) Komunikasi Persona (Personal Communication)

(1) komunikasi intrapersona (intrapersonal communication) (2) komunikasi antarpersona (interpersonal communication) b) Komunikasi Kelompok (Group Communication)

(1) komunikasi kelompok kecil (small group communication)

di antaranya: ceramah (lecture), diskusi panel (panel discussion), simposium (symposium), forum, seminar, curahsaran (brainstorming), dan lain-lain

(2) komunikasi kelompok besar (large group communication/public speaking)

(3) komunikasi Massa (Mass Communication)

di antaranya: pers, radio, televisi, film, dan lain-lain (4) Komunikasi Medio (Medio Communication)

di antaranya: surat, telepon, pamflet, poster, spanduk, dan lain-lain 4. Sifat Komunikasi


(32)

b) Bermedia (mediated) c) Verbal (verbal)

berupa: lisan (oral) dan tulisan/cetak (written/printed) d) Nonverbal (non-verbal)

berupa: kial/isyarat badaniah (gestural) dan bergambar (pictorial) 5. Metode Komunikasi

a) Jurnalistik (journalism)

(1) jurnalistik cetak (printed journalism)

(2) jurnalistik elektronik (electronic journalism): jurnalistik radio (radio journalism); jurnalistik televisi (television journalism)

b) Hubungan Masyarakat (public relations) c) Periklanan (advertising)

d) Pameran (publicity) e) Propaganda

f) Perang urat saraf (psychological warfare) g) Penerangan

6. Teknik Komunikasi

a) Komunikasi informatif (informative communication) b) Komunikasi persuasif (persuasive communication)

c) Komunikasi instruktif/koersif (instructive/coercive communication) d) Hubungan manusiawi (human relations)

7. Tujuan Komunikasi

a) Perubahan sikap (attitude change) b) Perubahan pendapat (opinion change) c) Perubahan perilaku (behavior change) d) Perubahan sosial (social change) 8. Fungsi Komunikasi

a) Menyampaikan informasi (to inform) b) Mendidik (to educate)

c) Menghibur (to entertain) d) Memengaruhi (to influence) 9. Model Komunikasi

a) Komunikasi satu tahap (one step flow communication) b) Komunikasi dua tahap (two step flow communication) c) Komunikasi multitahap (multistep flow communication) 10. Bidang Komunikasi

a) Komunikasi sosial (social communication)

b) Komunikasi manajemen/organisasional

(management/organizational communication) c) Komunikasi perusahaan (business communication) d) Komunikasi politik (political communication)

e) Komunikasi internasional (international communication) f) Komunikasi antarbudaya (intercultural communication)


(33)

21

g) Komunikasi pembangunan (development communication) h) Komunikasi lingkungan (environmental communication) i) Komunikasi tradisional (traditional communication)

Demikianlah ikhtisar mengenai lingkup ilmu komunikasi dipandang berbagai segi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkup ilmu komunikasi saling berhubungan dengan ilmu-ilmu yang relevan, karena ilmu komunikasi dapat mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, berperilaku sesuai dengan apa yang kita inginkan, yang dituangkan melalui penyampaian pesan melalui proses komunikasi.

2.2.2 Komunikasi Massa Mengunakan Media Massa

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner (Rakhmat, 2003:188, dalam Ardianto dkk, 2012:3), yakni : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan orang, jika tidak menggunakan media massa itu bukan komunikasi massa.

Media komunikasi yang termasuk media massa adalah: radio siaran dan televisi - keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah -


(34)

keduanya disebut sebagai media cetak; serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto, dkk, 2012:3).

Sedangkan menurut ahli komunikasi lainnya, Joshep A. Devito merumuskan definisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakannya. Ia mengemukakan definisinya dalam dua item, yakni:

Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditunjukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini bukan berarti bahwa khalayak meliputi seluruh produk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio siaran, surat kabar, majalah, dan film” (Effendy, 19:26 dalam Ardianto, 2012:5-6).

Dari beberapa pengertian atau definisi mengenai komunikasi massa terlihat bahwa inti dari proses komunikasi ini adalah media massa sebagai salurannya untuk menyampaikan pesan kepada komunikan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

2.2.2.1 Fungsi Komunikasi Massa

Harus diakui bahwa komunikasi massa itu memiliki fungsi, menurut Dominick (2001) fungsi tersebut terdiri dari:

1. Surveillance (pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang suatu ancaman; fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau


(35)

23

penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca, pemirsa atau pendengar untuk memperluas wawasan.

3. Linkage (pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. 4. Transmission of Values (penyebaran nilai-nilai) Fungsi penyebaran

nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan. Dengan kata lain, Media mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk menirunya. 5. Entertainment (hiburan) Radio siaran, siarannya banyak memuat

acara hiburan, melalui berbagai macam acara di radio siaran pun masyarakat dapat menikmati hiburan. Meskipun memang ada radio siaran yang lebih mengutamakan tayangan berita. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali (Dominick, 2001, dalam Ardianto. dkk. 2012:14).

Menurut DeVito dalam bukunya Komunikasi Antar Manusia (1996, dalam Ardianto. dkk. 2012:19), ada tiga masalah pokok dalam fungsi media massa. Pertama, setiap kali kita menghidupkan pesawat televisi, radio siaran maupun membaca surat kabar, kita melakukannya karena alasan tertentu yang unik. Kedua, fungsi yang berbeda bagi setiap pemirsa secara individual. Program televisi yang sama dapat menghibur satu orang, mendidik yang lain, mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang. Ketiga, fungsi yang


(36)

dijalankan komunikasi massa bagi sembarang orang yang berbeda dari satu waktu kewaktu yang lain. Komunikasi massa bisa menjadi alat pemersatu atau alat olah sosialisai.

2.2.2.2 Bentuk-Bentuk Media Massa

Media massa dapat dikategorikan yakni media massa cetak, media elektronik dan media on-line (Internet), setiap media memiliki bentuk karakteristik yang khas, menurut Ardianto (2012:103) bentuk-bentuk media massa yaitu:

A. Surat Kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan media massa yang lainnya. Surat kabar dapat dikelompokan berbagai kategori yaitu : surat kabar lokal, regional, dan nasional. Ditinjau dai bentuknya berupa surat kabar biasa/Koran dan tabloid.

B. Majalah keberadaannya sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Tipe majalah ditentukan oleh sasaran khalayak yang dituju. C. Radio Siaran merupakan media massa elektronik tertua dan sangat luwes.

Hampir satu abad lebih keberadaannya. Radio telah beradaptasi dengan perubahan dunia, dengan mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan melengkapi dengan media lainnya (Dominick.2000:242).

D. Televisi penemuannya telah melalui berbagai eksperimen yang dilakukan oleh para limuwan akhir abad 19 dengan dasar penelitian yang dilakukan oleh James Clark Maxwell dan Heinrich Hertz, serta Marconi pada tahun


(37)

25

1890. Dari semua media massa yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia.

E. Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul didunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 (Oey Hong Lee, 1965:40).

F. Internet asal mulanya oleh suatu ledakan tak terduga di tahun 1969, yaitu dengan lahirnya Arpanet, suatu proyek eksperimen Kementrian Pertahanan Amerika Serikat (Laquey, 1997:t.h). Pengguna internet menggantungkan pada situs untuk memperoleh berita dan berkomunikasi menggunakan internet.

2.2.3 Arti Film dan Sejarahnya

Sejarah film atau montion pictures ditemukan hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat adalah the life of an American fireman dan film the great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun 1903 (Hiebert, Ungurait, Bohn, 1975:246). Sedangkan di Indonesia film yang pertama diputar berjudul Lady Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David (Ardianto, dkk, 2012:144).

Film merupakan Gambar Bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Film dapat memengaruhi sikap, prilaku dan harapan orang-orang di belahan dunia.


(38)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, film diartikan selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret), atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop).

Pada dasarnya film merupakan alat audio visual yang menarik perhatian orang banyak, karena dalam film itu selain memuat adegan yang terasa hidup juga adanya sejumlah kombinasi antara suara, tata warna, kostum, dan panorama yang indah. Film memiliki daya pikat yang dapat memuaskan penonton.4

Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk memengaruhi khalayaknya. Dua tema yang umumnya menimbulkan kecemasan dan perhatian masyarakat ketika disajikan dalam film adalah adegan-adegan seks dan kekerasan (Sobur, 2009:127).

Namun seringkali kecemasan masyarakat berasal dari keyakinan bahwa isi seperti itu mempunyai efek moral, psikologis, dan sosial yang merugikan, khususnya generasi muda, dan menimbulkan prilaku sosial. Baik seks maupun kekerasan telah menjadi subjek penelitian komisi-komisi yang disponsori secara federal akhir-akhir ini mengenai efek komunikasi massa, ditambah berbagai macam penelitian lainnya (Wright, 1986:173-174, dalam Sobur, 2009:127).

4

http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-film.html Diakses pada 24-Maret- 2014.Pukul,05-05


(39)

27

Film memiliki kekuatan yang sama dengan tayangan di televisi mampu mempersuasi masyarakat yang menontonnya. Oleh karena itu, kaitan antara film dengan masyarakat sangat erat.

2.2.3.1 Karakteristik Film

Film sebagai media komunikasi pandang - dengar (audio-visual) memiliki karakteristik-karakteristik, antara lain sebagai berikut (Quick, dkk, 1972:11, dalam Ramli dan Fathurahman, 2005:49-50).

1. Adanya permintaan yang banyak sesuai dengan keinginan masyarakat tanpa membedakan usia, latar belakang atau pengalaman. 2. Memiliki dampak psikologis yang besar, dinamis, dan mampu

memengaruhi penonton.

3. Mampu membangun sikap dengan memperlihatkan rasio dan emosi sebuah film.

4. Mudah didistribusikan dan dipertujukan.

5. Terilustrasikan dengan cepat sebagai pengejewantahan sebuah ide atau suatu lainnya.

6. Biasanya lebih dramatis dan lengkap daripada hidup itu sendiri. 7. Terdokumentasikan dengan tepat, baik gambar maupun suara.

8. Observatif; secara selektif mampu memperlihatkan karakter dan peristiwa yang menceritakan sebuah cinta.

9. Interpretatif; mampu menghubungkan suatu yang sebelumnya tidak berhubungan.

10. Mampu menjual sebuah produk dan ide (sebagai alat propaganda yang ampuh).

11. Dapat menunjukan situasi yang kompleks dan terstruktur.

12. Mampu menjembatani waktu; baik masa lampau maupun masa yang akan datang.

13. Dapat mencangkup jarak yang jauh dan menembus ruang yang sulit ditembus.

14. Mampu memperbesar dan memperkecil objek; dapat memperlihatkan sesuatu secara mendetail (microscopically).

15. Mampu untuk menghentikan gerak, mempercepat atau memperlambat gerakan yang nyata, dan memperlihatkan hubungan waktu yang kompleks (speed photography) dapat memperlihatkan


(40)

sebuah peristiwa yang terjadi dalam mikrosekon (microseconds); time lapse photography,dapat memperlihatkan aktifitas berjam-jam dan berhari-hari dalam beberapa detik.

16. Konstan (dalam isi dan penyampaian).

Di samping itu, film sebagai media komunikasi pandang - dengar (audio-visual) yang berkorelasi erat dengan realitas di masyarakat dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok besar film, yaitu sebagai refleksi dan sebagai representasi terhadap realitas di masyarakat.

Menurut Ghareth Jowett yang dikutif Irawanto (1999:13, dalam Ramli 2005:50), film sebagai refleksi dari masyarakat tampaknya menjadi persepektif yang secara umum lebih mudah disepakati.

2.2.3.2 Jenis-jenis Film

Jenis-jenis film menurut Quick, John dan Labau yang dikutip Ramli dan Fathurahman (2005:51-52), di antaranya yaitu:

1. Film Hiburan

Film kategori ini telah diketahui banyak orang. Film ini biasanya menggunakan anggaran biaya yang cukup besar dan ditujukan untuk bioskop-bioskop. Film ini biasanya menperkerjakan seorang aktor dan menggunakan kru film yang banyak. Muatan film ini dapat berupa musik, komedi, drama, sinema aksi (seperti film perang, cowboys, detektif, dan lain-lain yang sejenis).

2. Fim Informasi

Sebagai sebuah media komunikasi, film sebenarnya memiliki fungsi informasi hanya saja film ini menekankan pada proses menginformasikan dibanding menghibur. Film ini mendiskusikan bagaimana sesuatu itu bekerja, bagaimana sesuatu itu berbuat, dan lain-lain.

3. Film Persuasi

Film ini digunakan untuk memengaruhi orang. Yang termasuk dalam film ini antara lain film iklan, propaganda, promosi.


(41)

29

4. Film Rekaman

Film ini berusaha merekam fakta atau peristiwa ke dalam bentuk film yang biasanya dikenal film dokumenter. Film ini berusaha menjelaskan sebuah realitas atau kehiduapan nyata. Film ini menggambarkan serta mendiskusikan kondisi sosial sebagaimana adanya serta melukiskan kehidupan dan aktifitas sebagaimana yang terjadi.

5. Film Eksperimen

Film jenis ini berisikan eksperimen atau percobaan yang diharapkan dapat memperlihatkan kepada dunia berbagai pemikiran baru yang cenderung subjektif.

Sementara menurut Ardianto, dkk (2012:148-149), film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun.

1. Film cerita (story film), adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan.

2. Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriterianya harus penting dan menarik serta pristiwanya terekam secara utuh.

3. Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan“ (creative treatment of actuality). Film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.

4. Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Sebagaian besar film kartun, sepanjang film itu diputar akan membuat kita tertawa. Tujuan utamanya menghibur, film kartun bisa juga mengandung unsur pendidikan.

Dari paparan di atas, maka film di samping memiliki jenis dan bentuk yang berbeda juga memiliki karakteristik tertentu, sesuai dengan keperluannya yang kadang kala terjadi benturan antara aspek seni dan aspek komersial.


(42)

2.2.3.3 Fungsi Film

Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin memeroleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan hasil perfilman nasional sejak tahun 1997, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Effendy, 1981:212, dalam Adrianto, dkk, 2012:145)

Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memroduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.

2.2.4 Semiotika dan Perkembangannya

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa, sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika.

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang mengandung pengertian„tanda‟ atau dalam bahasa Inggris sign yang mengandung pengertian „sinyal‟. Semiotika dikenal sebagai ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan ujaran manusia. Semiotika juga mengandung pengertian ilmu yang menyinggung tentang produksi tanda-tanda dan


(43)

simbol-31

simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain.

Semiotika mencakup tanda-tanda visual dan verbal yang dapat diartikan, semua tanda atau sinyal yang bisa d imengerti oleh semua pancaindra kita sebagai penutur maupun petutur. Dalam konteks semiotika, setiap tindakan komunikasi dianggap sebagai pesan yang dikirimdan diterima melalui beragam tanda berbeda. Berbagai aturan kompleks yang mengatur kombinasi pesan-pesan ini ditentukan oleh berbagai kode sosial. Berdasarkan hal tersebut,seluruh bentuk ekspresi yang mencakup seni musik, film, fashion, makanan, kesusastraan dapat dianalisis sebagai sebuah sistem tanda.5

Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam usaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitisi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179 dalam Sobur, 2009:15).

5

http://www.scribd.com/doc/133808737/Sejarah-Semiotika Diakses pada 17-April- 2014.Pukul,02:00


(44)

Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64 dalam Sobur, 2009:15). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya dalam berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64 dalam Sobur, 2009:15-16).

2.2.4.1 Teori Semiotika Menurut para Ahli

1. Charles Sanders Peirce, terkenal karena teori tandanya di dalam lingkup semiotika, Peirce, sebagaimana dipaparkan Lechte (2001:227, dalam Sobur, 2009:40), seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatau bagi seseorang. Bagi Peirce (Pateda, 2001:44, dalam Sobur, 2009:41), tanda suatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh peirce disebut ground.

2. Ferdinand de Sausure, teorinya yaitu prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu signifer (penanda) dan signified (petanda). Menurut


(45)

33

Sausure bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign) (Sobur, 2009:46).

3. Umberto Eco (1979:6, dalam Sobur, 2012:95), semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16, dalam Sobur, 2012:95).

4. John Fiske, dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi mengatakan fokus utama semiotik adalah teks. Model proses linier memberi perhatian kepada teks tidak lebih seperti tahapan-tahapan yang lain di dalam proses komunikasi: Memang beberapa diantara model-model tersebut melewatinya begitu saja, hampir tanpa komentar apa pun. Hal tersebut adalah salah satu perbedaan mendasar dari pendekatan proses dan pendekatan semiotik (Fiske, 2012:67).

5. Roland Barthes, (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda


(46)

yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini, 2006:t.h).6

Seperti dipaparkan Cobley & Jansz (1999:44, dalam Sobur, 2009:68), membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Barthes menguraikan dan menunjukan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitodologi tersebut biasanya merupakan hasil kontruksi yang cermat. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.

Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya dengan „mitos‟. Barthes memampatkan ideologi dengan mitos. Karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001:28, dalam Sobur, 2009:71).

Barthes penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda

6

didalam: http://jaririndu.blogspot.com/2011/11/teori-semiotik-menurut-para-ahli.html Diakses pada 25-Maret- 2014.Pukul,03:25


(47)

35

yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Dari beberapa para ahli semiotika di atas peneliti lebih tertarik dengan pemikiran teori Barthes. Karena Barthes menekankan ideologi dengan mitos serta pemikirannya struktural.

2.2.5 Tindakan Kekerasan Merupakan Sifat

Kekerasan membayang-bayangi siapa saja. Tapi siapapun tidak pernah tahu dan merasakan bayang-bayang itu. Kekerasan mengancam manusia, namun ancaman itu seakan-akan dirasa tidak ada. Kekerasan juga dapat hadir setiap saat. Tidak ada tempat atau wadah yang dikecualikan oleh kekerasan.

Kekerasan tidak saja menghiasi hidup individu, melainkan juga merasuki kehidupan sosial seperti dunia politik. Dalam sejarah perpolitikan, tidak ada kekuasaan yang terlepas dari tindakan kekerasan. Tidak hanya di negara-negara yang otoriter, melainkan juga di negara-negara yang demokratis, kekerasan tetap terjadi, walaupun sifatnya tersembunyi.7

Kekerasan sudah dimulai sejak masa filsuf klasik sampai masa kontemporer. Walau demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan umum mengenai akar kekerasan masyarakat. Karena didefinisikan secara sederhana sebagai bentuk

7

http://www.academia.edu/220384/Akar-Akar_Kekerasan_The_Soursces_of_Violence_ Diakses pada 25-Maret- 2014.Pukul,03:25


(48)

tindakan yang melukai, membunuh, merusak, dan menghancurkan lingkungan (Susan, 2010:114).

Kekerasan yaitu merupakan sifat dari diri seseorang, istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan prilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi:

1) Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian, 2) Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan

langsung, seperti prilaku mengancam,

3) Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan, dan

4) Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup (Santoso, 2002:11).

Berdasarkan uraian di atas prilaku mengancam lebih menonjol dari kekerasan terbuka, dan kekerasan defensif jauh lebih menonjol dari kekerasan agresif. Perilaku mengancam mengkomunikasikan kepada orang lain suatu maksud untuk menggunakan kekerasan terbuka bila diperlukan.

2.2.5.1 Otak Berbasis Perilaku Agresif Kekerasan

Hubungan antara pemfungsian otak dengan prilaku, sebagian besar dipengaruhi oleh pendapat Darwin dalam buku Akar Kekerasan, Erich Fromm (2010:122) bahwa struktur dan fungsi otak diatur oleh prinsip kelangsungan hidup individu atau spesies.


(49)

37

Dengan kata lain, agresi yang terprogram secara filogenetik, sebagai mana yang didapati pada binatang dan manusia, merupakan reaksi defensif yang teradaptasi secara biologis (Fromm, 2010:125). Bahwa hal ini benar adanya, tidaklah mengherankan bahwa menyimak prinsip Darwin mengenai evolusi otak, maka ia akan menyediakan reaksi seketika terhadap bahaya yang mengancam kelansungan hidup.

Johan Galtung (dalam Susan 2010:118) menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu:

1. Kekerasan Struktural

Ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs) merupakan konsep dari kekerasan struktural. Ini dapat ditunjukan dengan rasa tidak aman karena tekanan lembaga-lembaga militer yang dilandasi oleh kebijakan politik otoriter, pengangguran akibat sistem tidak menerima sumber daya manusia di lingkungannya, diskriminasi ras atau agama oleh struktur sosial atau politik sampai tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil. Juga, manusia mati akibat kelaparan, tidak mampu mengakses kesehatan adalah konsep struktural.

2. Kekerasan Langsung

Kekerasan langsung (direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman teror dari suatu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis juga merupakan kekerasan langsung.

3. Kekerasan Budaya

Kekerasan budaya bisa disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung, karena sifat budaya bisa muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Karena budaya (cultural violence) dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan, dan kecurigaan (Jeong 2003:21 dalam Susan 2010:122). Sumber kekerasan budaya ini bisa berangkat dari etnisitas, agama, maupun ideologi.


(50)

Selain itu Galtung (dalam Santoso, 2002:168-169) menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak.

2. Pengaruh positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat “pengendalian”, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.

3. Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tepat pada ancaman kekerassan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.

4. Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.

5. Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.

6. Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah. Kekerasn tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau evolusi hasil dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menjadi struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewat (Windhu, 1992:68-72 dalam Santoso, 2002:168-169).

Uraian di atas mengemukakan bahwa jenis kekerasan tidak mengandaikan kehadiran nyata jenis kekerasan lainnya. Namun, kemungkinan kekerasan struktural nyata mengandaikan kekerasan personal tersembunyi yang nyatanya kekerasan akan selalu ada dikehidupan masyarakat.


(51)

39

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah pedoman yang dijadikan sebagai alur berpikir yang melatarbelakangi penelitian agar lebih terarah. Peneliti mencoba menjelaskan mengenai pokok masalah yang diupayakan mampu untuk menegaskan, meyakinkan, dan menggabungkan teori dengan masalah yang peneliti angkat dalam penelitian. 2.3.1 Kerangka Teoritis

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori semiotika yang merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari system-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Preminger, 2001 dalam, Sobur, 2012:96).

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes juga dikenal sebagai intelektual dan kritikus Sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra (Sobur, 2009:63).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metoda analisis untuk mengkaji tanda.tanda– tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah–tengah manusia dan bersama–sama manusia (Barthes, 1988, Kurniawan, 2001:53, dalam, Sobur, 2009:15).


(52)

Gambar 2.1

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hal.51 dalam (Sobur, 2009:69).

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz, 1999:51 dalam Sobur, 2009:69).

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2009:69).

Pemetaan perlu dilakukan pada tahap-tahap konotasi. Tahapan konotasi sendiri dibagi menjadi dua. Tahap pertama memiliki 3 bagian, yakni: efek tiruan, sikap


(53)

41

(pose), dan objek. Sedangkan 3 tahap terakhir adalah: Fotogenia, estetisme, dan sintaksis.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001:28 dalam Sobur, 2009:71).

Bila konotasi menjadi tetap, ia akan menjadi mitos. Sedangkan mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Jadi banyak sekali fenomena budaya memaknai dengan konotasi. Tekanan teori Barthes pada konotasi dan mitos.

Konotasi terus berkembang di tangan pemakai tanda. Dalam bentuk berbeda, perubahan itu bisa dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2

Model Pengembangan Teori Konotasi Roland Barthes

Sumber: Halim, Foskomodifikasi Media, 2013:109.

Menurut Barthes, mitos adalah tipe wicara. “Mitos Merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk,” tegasnya (dalam Halim, 2013:109). Ciri mitos berupa mengubah makna menjadi bentuk. Dengan katalain, mitos adalah perampokan bahasa.


(54)

Hal ini menunjuk pada fakta yang sesungguhnya mitos merupakan sebuah produk kelas sosial yang telah meraih dominasi dalam sejarah tertentu. Karena, makna menyebarluaskan melalui mitos, namun menampilkannya dengan alami (natural), bukan bersifat historis atau sosial.

Dalam peta tanda Barthes, mitos merupakan unsur yang terdapat dalam sebuah semiotik yang tidak tampak, namun hal ini baru terlihat pada signifikansi tahap kedua Roland Barthes.

Gambar 2.3

Signifikasi Dua Tahap Barthes


(55)

43

Melalui gambar di atas, signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna subyektif atau paling tidak intersubyektif. (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2012:128).

Signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2012:128).

Pada semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tahap pertama, sementara konotasi merupakan sistem signifikasi tahap kedua. Dalam hal ini, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, dan dengan demikian, merupakan sensor atau represi politis. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitologi (mitos), seperti yang telah diuraikan diatas, yang berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Barthes juga


(56)

mengungkapkan bahwa baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dengan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2012:70-71).

2.3.2 Kerangka Konseptual

Dari teoti di atas diungkapkan bahwa semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.

Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Karena dalam memaknai sesuatu, tiap orang memiliki perbedaan sesuai dengan apa yang mereka ketahui.

Maka dari itu dalam penelitian kali ini peneliti hendak meneliti bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai berbagai hal (things) yang dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate) sebuah kekerasan yang terdapat dalam sequences pada film dokumentasi Jagal (The Act of Killing). Pada penelitian kali ini, peneliti merasakan bahwasannya model dari Roland Barthes dianggap mewakili pemikiran peneliti dalam menganalisis semiotik konflik dalam film dokementer Jagal (The Act of Killing).


(57)

45

Terdapat beberapa sequence yang akan dianalisis dalam film Jagal (The Act of Killing) dengan konsepsi Roland Barthes. Semiotik yang yang dikaji oleh Barthes antara lain membahas apa yang menjadi makna denotatif dalam suatu objek, apa yang menjadi makna konotatif dalam suatu objek, juga apa yang menjadi mitos dalam suatu objek yang diteliti.

Berikut alur pemikiran peneliti yang diadaptasi sesuai dengan model signifikasi dua tahap Roland Barthes.

Gambar 2.4

Peta Alur Pemikiran Peneliti

Sumber: Peneliti, 2014

Berdasarkan pada peta alur pemikiran diatas yang diadaptasi dari signifikasi dua tahap Roland Barthes bahwa penanda dan petanda mengenai kekerasan dalam film dokumenter Jagal (The Act of Killing) sudah ada dalam setiap sequence yang peneliti

Interpretasi

Kekerasan Pada Film Dokumenter Jagal (The Act of Killing)

Denotasi Konotasi Mitos/Ideologi


(1)

analisis yang tersistematis. Bab ini mengacu kepada pertanyaan penelitian mikro yang sebelumnya telah dirumuskan mengenai analisis semiotika dalam film dokumenter Jagal (The Act of Killing) dan sequence sebagai inti penelitian, yaitu dengan menggunakan metode analisis semiotika yang merupakan bagian dari metode analisis penelitian kualitatif.

Maka peneliti memfokuskan mengenai makna apa saja hal–hal yang terdapat dalam sequence pada film dokumenter Jagal (The Act of Killing) yang berkaitan dengan kekerasan yang terjadi dalam film tersebut. Maka dari itu peneliti menggunakan model Barthes sebagai teori pendukung dalam menganalisis Semiotik Kekerasan dalam film dokumenter Jagal (The Act of Killing).

Terdapat beberapa sequence yang akan dianalisis dari film dokumenter Jagal (The Act of Killing) ini dengan konsepsi pemikiran Barthes. Semiotik yang dikaji oleh Barthes, antara lain, membahas apa yang menjadi makna denotatif dalam suatu objek, apa yang menjadi makna konotatif dalam suatu objek, juga apa yang menjadi mitos/ideologi dalam suatu objek yang diteliti.

Denotatif adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eklips, langsung, dan pasti. Makna denotatif dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Denotatif adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi (Piliang, 2003:261). Pembahasan pada tingkat pertama adalah analisis terhadap tata ungkap visual film, yaitu menganalisis komponen-komponen pokok dalam film yang meliputi orang, benda, warna, dan gerak. Tanda-tanda tersebut dianalisis berdasarkan kaidah semiotika yang mencakup tanda, makna, dan pesan.

Konotatif adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya terdapat makna yang tidak sebenarnya. Konotatif dapat menghasilkan makna kedua yang bersifat tersembunyi.

Mitos/Ideologi adalah cerita yang begitu rupa menengahi antara yang diketahui dan tak diketahui (Sobur, 2014:162). Mitos merupakan kebudayaan yang


(2)

menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam, serta produk kelas sosial mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya.

Pada makna denotatif yang muncul dari sequence tersebut adanya prilaku kekerasan yang dilakukan Anwar Congo dengan teman-temannya terhadap orang yang dianggap komunis, dengan menggunakan kawat Anwar membuhuh korbannya, pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S pada tahun 1965.

Pada makna konotatif yang muncul dari penanda yang ada dalam sequence ini mengambil pada baju yang dipakai Anwar Congo saat bercerita dengan sangat antusias. Terlihat dari baju yang di pakai Anwar begitu santai, yang ia sebut “baju piknik”. di atas ruko tempat biasa Anwar mengeksekusi orang yang dianggapnya komunis. Anwar menunjukkan seakan membawa peneliti “piknik” berimajinasi. bagaimana ia menghabisi korbannya dengan kawat yang katanya (Anwar) meminimalisasi pertumpahan darah. Setelah menghabisi korbannya ia menunjukkan tarian cha cha-nya. Anwar geram sebagai preman bioskop merasa terganggu adanya komunis yang memblokade film bioskop dari film barat menjadi film lokal. Preman bioskop yang sehari-harinya mencatut karcis berubah menjadi pasukan pembunuh.

Pada makna mitos/ideologi yang diambil dari semua petanda yang ada dalam sequence. Ketika Orde Lama digantikan Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S pada tahun 1965. Mulailah pembantaian diberlakukan terhadap orang yang dianggap komunis, etnis cina dan intelektual. PKI dianggap partai terlarang pada masa orde baru bahkan sampai setelah dikampanyekannya anti-komunis melalui pendidikan, seni, sastra, budaya, film dan lain-lain. Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa komunis itu adalah suatu idiologi yang buruk atau tidak baik.


(3)

Ideologi kebudayaan liberalisme, yang dalam konteks Indonesia dikenal dengan istilah humanisme universal, serta versi peristiwa 1965 yang menjadi narasi utama rezim Orde Baru (dalam Herlambang, 2013:6).

Istilah liberalisme dalam pengertian kebudayaan merujuk pada konsep-konsep semacam kebebasan intelektual, kebebasan berekspresi, dan kebebasan artistic. Semua konsep ini berakar pada semangat ideal barat atas prinsif demokrasi dan persamaan salah satu aspeknya di dalam terminologi kebudayaan Indonesia yang dikenal dengan istilah humanisme universal. Menurut Herlambang (2013:6) dalam pengertian politik istilah liberalisme merujuk pada gerakan dari elemen-elemen politik sayap kanan untuk melawan komunisme.

IV. KESIMPULAN

Peneliti menyimpulkan dalam film ini memperlihatkan adanya pembunuhan, ancaman, penyiksaan, serta perampasan kepada orang yang dituduh komunis, etnis cina dan intelektual. Ini menunjukkan telah terjadinya kekerasan terstruktur oleh rezim Orde Baru. Mereka seperti diberikan kebebasan secara hukum kala itu. Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan organisasi sayapnya dibuat kocar-kacir tidak diberikan tenang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Ardianto, Komala, Karlinah. 2012. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.

Barthes, Roland. 2010. Imaji,Musik,Teks. Penerjemah, Agustinus Hartono. Yogyakarta. Jalasutra

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra.

Effendy, Uchana, Onong. 2013. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Cetakan Keduapuluh Lima. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi-Edisi Ketiga. Cetakan Kedua. Penerjemah, Hapsari Dwiningtyas. Jakarta. PT Rajagrafindao Persada. Fromm, Erich. 2010. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia.

Penerjemah, Imam Muttaqin. Cetakan Keempat. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Halim, Syaiful. 2013. Postkomodifikasi Media. Cetakan Pertama. Yogyakarta.

Jalasutra.

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Cetakan Pertama. Tanggerang Selatan. Marjin kiri.

Mulyana, Deddy. 2013. Metodologi Penelitian Kulaitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Cetakan Kedelapan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Piliang, Yasraf. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta. Jalasutra.


(5)

Ramli & Fathurahman. 2005. Film Independen (Dalam Persepektif Hukum Hak Cipta dan Hukum Perfilman Indonesia). Bogor Selatan. Ghalia Indonesia.

Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan, Cetakan Pertama. Jakarta. Ghalia Indonesia Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi, Cetakan Keempat. Bandung. Remaja

Rosdakarya.

, Alex. 2012. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

, Alex. 2014. Komunikasi Naratif, Paradigma, Analisis, dan Aplikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD. Bandung. Alfabeta.

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah. Bandung. Salamadani Pustaka Semesta.

Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Cetakan Kedua. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Zoebazary, Ilham. 2010. Kamus Istilah Televisi dan Film. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

B. Internet Searching: http://www.jagalfilm.com http://theactofkilling.com

http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2196538-pengertian-kekerasan/#ixzz2%20PmoIWgRC

http://showbiz.liputan6.com/read/2017515/20-feet-from-stardom-buat-the-act-of-killing-bertekuk-lutut-di-oscar-2014)

http://www.bimbingan.org/definisi-film.html


(6)

http://pemudapancasila.or.id/profil/sejarah/

http://www.slideshare.net/AnitaKim98/pki-partai-komunis-indonesia

C. Sumber lain :

Nugroho, Eko. 2012. “Representasi Rasisme Dalam Film This Is England (Analisis Semiotik Roland Barthes Mengenai Rasisme Dalam Film This Is England)”. Skripsi . Bandung. Universitas Komputer Indonesia

Makhrufi, Dyah, Dianita. 2013. “Pesan Moral Islami dalam Film Sang Pencerah (Kajian Analisis Semiotik Model Roland Barthes)” Skripsi. Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga.

Abbas, Pradita. 2013. “Representasi makna kesetiaan dalam film Hachiko: A Dog’s Story karya Lasse Hallstrom (Studi Semiotik Roland Barthes Mengenai Makna Kesetiaan Dalam Film Hachiko: A dog’s Story Karya Lasse Hallstrom)”. Skripsi. Bandung. Universitas Komputer Indonesia.

Booklet. 2012. Sebuah Film Karya Joshua Oppenheimer Jagal The Act of Killing. Denmark. Final Cut.

Majalah Detik Edisi 1-7 Oktober 2012