PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH

PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh: Muhammad Zuhdi, PhD.
Abstrak
Seiring dengan terjadinya perubahan sistem politik
Indonesia dari sentralisasi ke desentralisasi, sistem
pengelolaan pendidikan pun mengalami perubahan.
Secara yuridis, perubahan tersebut tekah dilegalkan
dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Semangat desentralisasi pendidikan yang utama
adalah memberikan kesempatan lebih luas kepada
otoritas
daerah
untuk
melakukan
inovasi
dan
memanfaatkan keunggulan lokal dalam penyelenggaraan
pendidikan. Meski demikian, di samping banyaknyahal-hal
positif yang diperoleh dari desentralisasi pendidikan,
sejumlah hal yang tidak menguntungkan pun terjadi. Oleh
sebab itu, perlu kajian lebih lanjut dan lebih mendalam

mengenai efektivitas penyelenggaraan pendidikan dengan
pola desentralisasi.
Kata kunci : pendidikan, desentralisasi, sentralisasi, otonomi daerah, orde
baru, stabilitas politik

A. Pendahuluan
Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak
perubahan pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut
tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme
Orde Baru. Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama
pembangunan mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas
politik, ekonomi, dan keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas
tersebut pemerintah Orde Baru melakukan berbagai upaya yang
dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa,
termasuk pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru
menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi
pada kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai
aspek pendidikan, antara lain berupa sistem pendidikan, kurikulum,
sumber daya manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga

anggaran pendidikan. Walhasil, pemerintah daerah dan institusi
pendidikan tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan berinovasi untuk
mengembangkan pendidikan di lingkungannya masing-masing.
Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir
seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa
pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka
lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita
mengenal sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system).
Sistem ini mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam
pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih beasr kepada

hal | 1

pemerintah daerah hingga institusi pendidikan untuk menentukan masa
depan anak-anak mereka.
Peralihan sistem ini, pada mulanya disambut dengan antusias,
karena di samping sebagai bukti nyata keseriusan pemerintah pasca
orde baru untuk mengelola negara secara bersama-sama dengan cara
berbagi kewenangan, juga dipandang memberikan peluang para
pemangku otoritas pendidikan di berbagai jenjang untuk berkreasi dan

melakukan inovasi sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dinas
pendidikan daerah, yang dulu merupakan Kanwil Departemen
Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur lembagalembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya. Demikian
juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki
otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di
sekolah-sekolah mereka.
Namun demikian, belakangan muncul rasa skeptis atas keberhasilan
pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi ini. Berbagai
persoalan muncul sebagai dampak diberikan kewenangan yang besar
kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan di wilayahnya.
Bahkan Kepala Balitbang Kemendikbud mengemukakan bahwa
“pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah berlangsung lima tahun
lebih kerap mengalami banyak hambatan dan permasalahan, yang
berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme
pengelolaan
pendidikan.”1
Pernyataan
tersebut
secara
tegas

menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi pendidikan membawa
sejumlah masalah serius yang perlu menjadi keprihatinan bersama.
Tulisan ini mencoba mengidentifikasi berbagai keuntungan dan persoalan
yang dijumpai dengan diberlakukannya otonomi pendidikan. Di bagian
akhir akan disampaikan beberapa poin pemikiran yang perlu didskusikan
lebih lanjut.
B. Mengapa Otonomi Pendidikan?
Desentralisasi bidang pendidikan, yang lazim juga disebut sebagai
otonomi pendidikan, sebenarnya bukanlah kebijakan yang diambil tanpa
landasan. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa desentralisasi
pendidikan ini dilaksanakan di Indonesia.
Pertama adalah alasan psikologis. Seperti disebutkan di muka,
kebijakan sentralisasi pendidikan yang dilakukan olehPemerintah Orde
Baru menutup potensi kreativitas, inovasi dan bahkan kearifan lokal yang
dimiliki oleh daerah. Di samping itu pemerintah daerah pun hampir tidak
memiliki otoritas terhadap lembaga-lembaga pendidikan di wilayah
mereka. Kedua hal ini seolah bukan masalah ketika Orde Baru berkuasa,
tetapi menjadi persoalan ketika rezim Orde Baru berakhir. Sistem
pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan mandulnya
kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola lembaga-lembaga

pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara
1

“Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan” diambil dari Kompas Online edisi
29 Nopember 2011.
http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Oton
omi.Pendidikan diakses tanggal 16 April 2011.
hal | 2

seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah
menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan
otoritas pendidikan dareha untuk memaksimalkan sumber daya
setempat, karena mayoritas keputusan penting ditetapkan oleh
pemerintah pusat.
Meski tidak banyak muncul di permukaan ketika orde baru berkuasa,
namun hal-hal di atas tetap terpendam dan menjadi keprihatinan banyak
praktisi dan pemikir pendidikan. Mereka meyakini, bahwa meskipun
sentralisasi pendidikan dalm batas-batas tertentu diperlukan untuk
menjada persatuan, namun dalam beberapa hal menjadi kontra
produktif, terutama karena penyeragaman.

Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan euforia reformasi
menggejala di Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian (besar)
kebijakan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas
daerah dan lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap
sentralisasi pun semakin terbuka.
Kedua adalah alasan politis. Ini berkaitan erat dengan alasan
psikologis di atas. Salah satu aspek politik adalah kekuasaan, termasuk
di dalamnya kekuasaan atau kewenangan dalam pengelolaan
pendidikan. Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah tetap di
bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan
adanya kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi
dan kantor departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang
merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan
bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan
kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan
kewenangan pusat.
Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian kewenangan lebih
besar kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan
pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang
pendidikan pun tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu

memiliki kewenangan lebih besar dalam hal kebijakan dan
penyelenggaraan pendidikan.
Ketiga, alasan hukum. Alasan hukum di sini lebih merupakan
implikasi dari ketentuan yang telah ditetapkan. Karena alasan psikologis
dan politis di atas, dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru,
maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi
kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undangundang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi
mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan
kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang
tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004,
yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga
mengatur Pemerintahan Daerah.
Beberapa
Undang-Undang
di
atas
merupakan
landasan
diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah
daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain

bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di
daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program
hal | 3

dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan
di daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia adalah terjadinya akselerasi
pembangunan sektor pendidikan sebagai wahana penyiapan sumber
daya manusia Indonesia masa depan.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi daerah,
termasuk otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata
keinginan pihak tertentu, tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis
dan dorongan psikologis yang kuat dari masyarakat. Kelahiran UndangUndang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah
lebih merupakanlegalitas yang mengakomodasi berbagai tuntutan di
atas.
Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang
pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan
pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal
penyelenggaraan pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan
kebudayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor
departemen di kabupaten/kota. Peran kantor wilayah dan kantor

departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang menjadi bagian dari
pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari pemberlakuan hal ini
adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah,
pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan
tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.
Dalam hal pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat
memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada
masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada
peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang
dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan
Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal
penyusunan kurikulum ini pemerintah pusat membuat model kurikulum
KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang
menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masingmasing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum
mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan
kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi
kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar
kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar
nasional, seperti bahasa daerah.

C. Implikasi positif
Pemberlakuan otonomi daerah dalam bidang pendidikan memiliki
aspek yang sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti pengelolaan
anggaran, pemanfaatan sumder daya manusia, dan pengembangan
potensi lokal lainnya. Kebijakan ini tidak dapat dipungkiri telah
memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk lebih terlibat
dalam pengambilan berbagai kebijakan pendidikan. Diharapkan dengan
dekatnya pengambil keputusan dengan institusi yang melaksanakan
keputusan tersebut, maka kesenjangan antara harapan dan kenyataan
menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang
hal | 4

pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembagalembaga pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif
untuk dilaksanakan.
Ada berbagai dampak positif dari diberlakukannya otonomi daerah
dalam hal pendidikan ini. Berbagai dampak positif ini diharapkan dapat
memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif
maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat
dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap
jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat

diukur dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan.
Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah, ada
semacam semangat kompetisi di antara para pemegang otoritas
pendidikan antara daerah untuk menunjukkan keberhasilan mereka di
bidang pendidikan. Beberapa dampak positif pemberlakuan otonomi
daerah bidang pendidikan antara lain adalah kemandirian daerah,
pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan Lebih peka terhadap
kebutuhan lokal.
1. Kemandirian
Dengan pemberian otoritas kepada daerah untuk mengelola urusan
pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola
penyenggaraan pendidikan mereka secara mandiri, dan mengurangi
ketergantungan pada pemerintah pusat. Kemandirian ini diwujudkan
antara lain dengan anggaran pendidikan yang dikelola oleh pemerintah
daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi keleluasaan untuk
memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan. Sekolah dan guru yang
semula menjadi bagian dari pengelolaan Departemen Pendidikan
Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini
memberikan kesempatan sekaligus juga tantangan kepada pemerintah
daerah untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan
pendidikan.
Tantangan yang besar buat pemerintah daerah, terutama di masamasa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi adalah meningkatkan
kapasitas, kreativitas dan sensitivitas dalam hal pengelolaan pendidikan.
Kapasitas dimaksud di sini adalah kemampuan mengelola kewenangan
dan tanggung jawab yang lebih besar. Otoritas pendidikan daerah tentu
perlu dibekali dengan penguasaan terhadap berbagai aspek pengelolaan
pendidikan dari keuangan, kurikulum, pengembangan SDM, dan
hubungan dengan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah.
Kreativitas yang perlu dimiliki oleh otoritas pendidikan daerah ialah
berkaitan bagaimana pengelolaan pendidikan terus berinovasi untuk
membuat proses pendidikan lebih mudah diakses, lebih memberikan
motivasi bagi siswa, dan dengan hasil yang lebih berkualitas. Di sini,
para pemangku otritas pendidikan daerah diharapkan memiliki visi dan
imaginasi penyelenggaran pendidikan yang accessible, menyenangkan
dan berkualitas. Sensitivitas diperlukan untuk mampu melihat kebutuhan
dan persoalan pendidikan daerah setempat, sehingga mampu
memberikan layanan pendidikan yang benar-benar membumi.

hal | 5

Kapasitas, kreativitas dan sensistivitas dalam pengelolaan
pendidikan ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan besar
yang diberikan kepada otoritas pendidikan daerah benar-benar mampu
meningkatkan kualitas pendidikan. Implikasi dari pemberian kewenangan
yang lebih besar ini adalah akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Otoritas yang besar haruslah dimanfaatkan secara positif untuk
meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan, bukan sekedar
sarana unjuk kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut
untuk dapat mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. 2
Akuntabilitas ini penting sebagai wujud keseimbangan antara kekuasaan
dan pertanggung-jawaban.
2. Memaksimalkan Potensi
Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal
pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika
pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara sentralistik, karena terjadi
penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan dan kegiatan
pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada
daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu
memanfaatkan dan mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki.
Potensi dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi sumberdaya
manusia dan potensi kearifan lokal.
Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang memiliki lembagalembaga pendidikan yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.
Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kelebihan pengelolaan
lembaga pendidikan yang dimiliki daerah. Hal lain yang sering menjadi
keunggulan sebuah lembaga pendidikan adalah budaya sekolah yang
diciptakan. Budaya sekolah merupakan faktor penting bagi pendidikan
karakter siswa.
Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan, tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan. Salah satu tantangan pengelolaan
pendidikan di Era Otonomi daerah menurut Abuddin Nata adalah
bagaimana melahirkan kepemimpinan baru.3 Meskipun banyak teori dan
pelatihan kepemimpinan, tetapi pemimpin yang seberanya baru akan
lahir ketika dituntut untuk mengelola tanggung jawab yang besar
lengkap dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya. Di
samping itu, daerah diberi keleluasaan untuk mengelola potensi tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan yang dimilikinya, karena semua
tenaga pendidik dan kependidikan yang semua menjadi bagian
departemen pendidikan diserahkan kepada daerah masing-masing. Hal
ini tentu menguntungkan bagi daerah-daerah yang telah memiliki
kualitas sumberdaya manusia lebih baik dibanding daerah yang lain.
Bagi daerah yang kualitas SDMnya belum memadai tentu punya
2

Muhammad Hasanuddin Buhory, ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang
Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang)
Tahun 34 No. 2, Juli 2007, hal. 115
3

Abuddin Nata, ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No. 2,
tahun 2004, hal. 12.
hal | 6

kesempatan untuk memprioritaskan pengembangan SDM ini, sehingga
mampu mengejar ketertinggalan dari daerah lain.
Setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal ( local wisdom)
dengan berbagai bentuk dan variasinya. Otonomi daerah di bidang
pendidikan memberikan kesempatan bagi para pemangku otoritas untuk
memanfaatkan berbagai kearifan lokal tersebut, melestarikannya,
bahkan menggali berbagai potensi kearifan lokal yang belum
dimanfaatkan. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah hubngan antar
pemeluk agama di sebuah daerah yang multi-iman. Praktek kerukunan
yang sudah berlangsung bertahun-tahun di masyarakat hendaknya
menjadi bagian dari pendidikan di sekolah, sehingga nilai-nilai
kebersamaan tidak mudah luntur oleh pengaruh dari luar yang mungkin
menguatkan keberagamaan seseorang tetapi melunturkan nilai-nilai
kebersamaan.
3. Kebutuhan lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk
mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan
pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu sekolah dan para guru,
dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun pendidikan
nasional memiliki tujuan4 yang sama dan karenanya materi pendidikan
pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak dapat dapat dipungkiri
bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal kebutuhan
pendidikan. Kekhasan daerah akan kebutuhan tersebut antara lain
disebabkan oleh kondisi geografis, pengaruh praktek pendidikan di masa
lalu, input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setempat.
Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan
pendidikan akan mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
pendidikan yang secara spesifik dimiliki oleh daerah maupun oleh
lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi
kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM, materi pendidikan,
dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan daerah dalam
memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada gilirannya akan
mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.
D.Dampak Negatif
Di samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem
desentralisasi pendidikan sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat
dipungkiri munculnya persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat
perhatian serius. Berikut adalah beberapa persoalan yang perlu
mendapat perhatian bersama.
1. Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM pendidikan
seringkali memunculkan sentimen kedaerahan yang berpotensi
4

Menurut UU No. 20 tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
hal | 7

menimbulkan konflik di kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada
daerah untuk mengelola sumber daya manusia di bidang pendidikan di
daerahnya menyebabkan mengecilnya peluang perpindahan tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke daerah lain,
sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai daerah di
Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di
kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di
berbagai daerah yang relatif homogen secara etnis.
Memang lokalisasi ini membuka kesempatan lebih besar kepada
para
putra
daerah
untuk
terlibat
secara
langsung
dalam
penyelenggaraan pendidikan, namun ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan ketika terjadi lokalisasi SDM secara besar-besaran. Pertama,
kesempatan siswa dan guru untuk berinteraksi dengan orang dari daerah
atau etnis yang berbeda menjadi sangat sedikit. Kehadiran guru-guru
dari daerah atau etnis yang berbeda di sekolah akan mendidik siswa
untuk mengenal berbagai etnis yang ada di tanah air, sehingga mereka
sadar bahwa etnis mereka bukanlah satu-satunya etnis yang ada di
tanah air. Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat pada kekurangan
tenaga pendidik untuk materi tertentu karena tingginya kebutuhan
sekolah-sekolah di satu daerah terhadap tenaga pendidik tersebut.
Sementara sumberdaya manusia yang dimiliki sangat tidak memadai.
Akibatnya, banyak daerah memaksa tenaga pendidik yang ada untuk
mengajarkan materi pelajaran di luar bidang keahliannya guna
memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru di bidang-bidang tertentu
tersebut.
M. Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan penting dalam hal
SDM yang menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak bejalan
dengan baik, yaitu guru yang kurang profesional dan pejabat yang tidak
kompeten.5
2. Ketidaksiapan daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang memiliki
kesiapan yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik. Ada
daerah yang merespon kewenangan yang besar ini dengan berbagai
program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya,
baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana
dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit
penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Namun
demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian kewenangan
ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi peribadi
atau kelompoknya.
Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang
tidak berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan yang kurang selektif, dan pembuatan program-program
yang yang tidak secara substansial menyentuh kebutuhan pendidikan.
Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan secara fakta dan hukum,
5

Lihat M. Hidayat, ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah
disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
hal | 8

namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah telah menjadi
rahasia umum di berbagai daerah.
Di atas nampak ketidaksiapan daerah dalam hal pengelolaan
pendidikan, terutama kemampuan sumberdaya manusia daerah
mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. Di samping itu,
ketidaksiapan juga dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan di
daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang merupakan pemekaran dari
provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada seringkali masih
belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendidikan yang
memadai.
Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi
belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa
daerah atau kota yang memiliki pendapatan daerah yang lebih besar,
fasilitas, sarana dan parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta
sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan
pendidikan yang lebih berkaulitas serta hasil pendidikan yang lebih
kompeten. Sementara sebaliknya daerah-daerah yang memiliki sumber
anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum lengkap serta
sumberdaya manusia yang belum maksimal, tentu akan sulit mengejar
ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua inilah yang dapat
dikatkan kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan secara
desentralistik.
3. Berorientasi Nilai dan kelulusan
Pemerintah pusat berupaya meminimalisir kesenjangan kualitas
pendidikan antar daerah dengan penerapan standar nasional pendidikan 6
dan penyelenggaraan ujian nasional. Standar nasional mengamanatkan
adanya delapan standar yang harus ditetapkan oleh pemerintah guna
menghindari kesenjangan kualitaspendidikan, yaitustandarisi,standar
proses,standarkompetensilulusan,standarpendidikdantenagakependidika
n,standarsaranadanprasarana,standarpengelolaan,standarpembiayaan,
danstandarpenilaianpendidikan.7
Di samping penetapan dan pemberlakuan berbagai standar
pendidikan di atas, ujian nasional merupakan salah satu perangkat yang
diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan.
Dengan naskah ujian yang dibuat oleh pemerintah pusat, seluruh siswa
yang akan menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah harus mengikuti ujian akhir, dan harus mencapai standar nilai
minimum yang ditetapkan untuk dianggap lulus. Diharapkan
pemberlakuan ujian nasional ini dapat memacu para pengemban otoritas
pendidikan daerah untuk mampu meningkatkan kualitas pendidikan di
daerahnya masing-masing sehingga tidak tertinggal dari daerah lain.
Ukurannya adalah pemenuhan nilai standar minimum yang ditetapkan.
Di sinilah persoalan besar mulai mengintai.
6

Lihat Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan yang dibuat berdasarkan amanat UU No. 20 tahun 2003.
7
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang berbagai standar tersebut, lihat PP No. 19
tahun 2005.
hal | 9

Bagi sebagian pemerintah daerah, amanat standar nasional
pendidikan dan ujian nasional ini merupakan tuntutan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya. Bagi sebagian
pemerintah daerah yang lain, pemberlakuan ujian nasional merupakan
tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki hasil ujian yang
berada di atas nilai minimum nasional. Perbedaan dalam memandang
persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika penyelenggaraan
pendidikan. Jika pandangan kelompok yang pertama lebih kepada
penyediaan layanan pendidikan yang berorientasi kualitas, maka
kelompok yang kedua lebih berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian
yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian
banyak daerah yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai target
pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh kepala
daerah kemudian disosialisasikan oleh dinas pendidikan dan dibebankan
kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya.
Banyak kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan
rendahnya kulitas pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi mereka
tetap dituntut untuk memaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari
lembaga-lembaga pendidikan mereka. Walahsil, berbagai cara, dari yang
halal hingga yang haram pun dilakukan. Contoh upaya halal yang
menganggu proses pendidikan adalah try-out yang dilakukan berulangulang dan pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN. Sementara cara
haram yang masih ditemukan dalam proses ujian nasional adalah
pembocoran naskah ujian ataupun kunci jawabanya dan melakukan
kerjasama dengan para pengawas ujian dan pengawas indepneden
untuk membiarkan terjadinya perilaku curang dan tidak jujur dalam
pelaksanaan ujian nasional.
Orientasi nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan
pendidikan daerah dan lembaga-lembaga pendidikan pada gilirannya
menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendidikan dan
terlebih parah lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses
pendidikan kita.
4. Hilangnya narasi besar pendidikan
Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring
dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar
pendidikan nasional. Pada masa lalu, kita sering mendengar
nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan lewat
pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme tersebut juga
mewarnai berbagai kegiatan lembaga pendidikan baik formal maupun
non-formal. Karena itu, tidak heran jika ada kurikulum resmi yang
berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme, serta ada aktivitas
ekstrakurikuler yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme.
Pada masa orde baru, Pendidikan Pancasila menjadi sebuah narasi
besar yang mewarnai hampir seluruh kegiatan berbangsa dan
bernegara. Seluruh lembaga formal pendidikan dan lembaga-lembaga
non kependidikan diwarnai dengan semangat internalisasi nilai-nilai
Pancasila. Terlepas dari hal-hal negatif yang dibawa, pendidikan
hal | 10

Pancasila telah menjadi wabah di seluruh Indonesia dan menjadi narasi
besar pendidikan nasional.
Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya, sehingga
pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk diperjuangkan
bersama. Pentingnya narasi besar pendidikan dinyatakan oleh Neil
Postman dalam karya provokatifnya “The End of Education.” Menurut
Postman, pendidikan memerlukan sebuah narasi bersama yang
menegaskan identitas bersama, kepentingan bersama dan nilai-nilai
moral yang dianut bersama.8 Ketiadaan narasi besar yang menyuarakan
kepentingan
bersama
dalam
konteks
negara,
menyebabkan
berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa. Jika kondisi ini
dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi kumpulan kelompokkelompok orang yang memiliki dan memperjuangkan kepentingannya
masing-masing.
Melihat fenomena yang hadir di dunia pendididikan dewasa ini,
dengan ketidakjelasannya narasi bersama dalam pendidikan, maka tidak
mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi
pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan
swasta, lebih memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan
kurang memeperhatikan kepentingan bersama. Masalahnya adalah tidak
jelasnya apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dalam
pendidikan.Di sinilah nampak bahwa pendidikan kita seperti kehilangan
nilai-nilai sejatinya. Pendidikan seolah-olah hanya dijadikan sebagai
instrumen untuk menciptakan manusia yang cerdas dan berprestasi.
Ada beberapa narasi bersama yang sering dimunculkan saat ini. Di
antaranya adalah internasionalisasi pendidikan dan pendidikan karakter.
Dua istilah tersebut dewasa ini ramai dibincangkan dan dikesankan
menjadi kepentingan bersama-sama dalam hal pendidikan. Namun
demikian keduanya masih perlu diuji lebih lanjut kelayakannya untuk
dapat menjadi narasi bersama dalam pendidikan.
E. Diskusi
Politik dan pendidikan adalah dua dari beberapa tema yang
senantiasa menarik minat banyak orang untuk berdiskusi. Politik, meski
sebatas wacana, sering menjadi bahan diskusi dari berbagai kalangan
masyarakat, baik secara formal maupun nonformal. Pendidikan juga
sering menjadi bahan diskusi karena penyelenggaraan pendidikan telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Jika masing-masing dari tema politik dan pendidikan telah menjadi tema
yang senantiasa menarik untuk didiskusikan, maka tentu akan lebih
menarik jika kedua tema itu digabungkan.
Tema Pendidikan dan
Otonomi Daerah merupakan tema yang menggabungkan dua tema
terpisah di atas. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan sistem
pendidikan yang desentralistik telah melahirkan berbagai persoalan baru
di dunia pendidikan sebagaimana telah dijelaskan di muka. Melihat
berbagai persoalan di atas, maka perlu didiskusikan lebih lanjut
mengenai hal-hal berikut ini.
Neil Postman, The End of Education: Redefining the value of school, New York:
Alfred A Knopf, 1995.
8

hal | 11

1. Pentingnya narasi besar
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ketiadaan narasi bersama
dalam pendidikan telah menyebabkan dunia pendidikan kehilangan misi
besarnya. Saat ini ketiadaan narasi itu seolah-olah tertutupi oleh adanya
upaya daerah-daerah untuk berkonsentrasi pada peningkatan berbagai
aspek pendidikan. Namun pada gilirannya, ketiadaan narasi bersama
dalam pendidikan dapat menurunkan kulitas pendidikan dan runtuhnya
nilai-nilai kebangsaan.
Pendidikan yang tidak memiliki narasi bersama, adalah pendidikan
yang tidak memperhatikan humanitas manusia. Hal ini karena
pendidikan tersebut lebih berorientasi pada kompetensi siswa setelah
belajar, bukan pada kualitas pribadi siswa itu sendiri. Oleh karena itu,
Postman berpendapat bahwa pendidikan baru dapat dikatakan bermakna
apabila guru, orangtua, dana para siswa memiliki kesamaan pandangan
dalam melaksanakan pendidikan, baik formal, nonformal dan informal. 9
Tantangan besar dunia pendidikan dewasa ini adalah memastikan
bahwa pendidikan kita memiliki sebuah narasi besar yang mencerminkan
kepentingan bangsa dan negara secara umum. Kepentingan bangsa dan
negara yang merupakan kepentingan dan kepedulian bersama dapat
diwujudkan dalam sebuah narasi besar pendidikan yang akan menjadi
rujukan bagi berbagai pihak penyelenggara pendidikan baik formal,
nonformal, maupun informal. Oleh karena itu, rumusan mengenai narasi
pendidikan harus diperhatikan secara bersama-sama, sehingga kita tidak
terjebak pada penyelenggaraan pendidikan yang normatif dan
administratif.
2. Orientasi kualitas bukan formalitas
Ada dua fenomena yang belakangan ini menggejala di sekolahsekolah di Indonesia, yaitu perhatian yang begitu besar terhadap ujian
nasional dan keinginan untuk internasionalisasi pendidikan. Bila
diperhatikan, sikap berbagai lembaga pendidikan terhadap dua hal
tersebut mencerminkan bahwa kebanyakan lembaga pendidikan
berorientasi pada formalitas dan bukan kualitas, meskipun sejatinya
ujian nasional dan internasionalisasi bertujuan untuk meningkatkan
kualitas.
Tuntutan terhadap sekolah dan daerah untuk menghasilkan siswasiswi yang lulus ujian nasional secara maksimal, telah menyebabkan
hilangnya orientasi kualitas pada pendidikan nasional. Setiap daerah dan
sekolah seakan berlomba-lomba untuk memperoleh nilai ujian setingitingginya sehingga bisa mencapai target jumlah kelulusan siswa.
Tuntutan ujian nasional dan implikasinya pada siswa secara nyata telah
merubah orientasi atau tujuan pendidikan di daerah dan sekolah. Setiap
penyelenggaraan ujian nasional, selalu menyisakan cerita tentang
upaya-upaya tidak halal yang dilakukan siswa dengan atau tanpa
bantuan sekolah.
Neil Postman, The End of Education: Redfining the value of school, New York:
Alfred A Knopf, 1995.
9

hal | 12

Ketika nilai ujian nasional telah menghantui pikiran siswa dan
penyelenggara pendidikan, maka pendidikan telah kehilangan arahnya.
Oleh sebab itu perlu dipikirkan cara untuk merubah cara berpikir
(mindset) terhadap penyelenggaraan pendidikan dari pendidikan yang
berorientasi semata-mata kelulusan dan nilai, menuju penyelenggaraan
yang berorentasi pada kualitas proses dan hasil pendidikan.
Di samping ujian nasional, internasionalisasi pendidikan juga
merupakan hal lain yang menghantui pikiran penyelenggara pendidikan.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
mengamanatkan
bahwa
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
“menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf
internasional.”10 Amanat ini membuat pemerintah merumuskan apa yang
disebut sebagai Rintisan Sekolah Berstandar Internasional dan Sekolah
Berstandar Internasional.
Sekolah-sekolah yang telah memiliki fasilitas yang memadai dan
prestasi yang baik dapat membuka kelas-kelas internasional dan menjadi
Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Dengan berbagai persyaratan
yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak
sekolah negeri yang berupaya untuk menjadi Sekolah Berstandar
Internasional dengan terlebih dahulu menjadi Rintisan Sekolah
Berstandar Internasional. Hal menarik yang memicu sekolah sekolah
untuk menjadi sekolah RSBI adalah di samping meningkatkan prestise
sekolah, juga peluang untuk memperoleh dana tambahan baik dari
pemerintah sebagai dana penyiapan RSBI, maupun dari orangtua siswa
untuk penyelenggaraan pendidikan.
Fenomena Sekolah Berstandar Internasional tersebut menjadi
keprihatinan banyak pihak, karena banyak sekolah yang menjadi RSBI
lebih memperhatikan aspek formalitas, seperti ruangan yang eksklusif,
guru yang bisa berbahasa Inggris dan biaya yang lebih tinggi. Sementara
aspek substansialnya seperti kehilangan arah, sehingga muncul
pertanyaan mendaasar, sebenarnya apa yang ingin dicapai dengan
sekolah bertaraf internasional.
3. Pemerataan akses dan sumberdaya
Ketika Undang-Undang mengenai otonomi daerah diberlakukan,
nampak bahwa kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi bidang
pendidikan sangat beragam. Dua persoalan utama yang perlu dicarikan
solusinya adalah pemerataan akses dan pengembangan sumber daya
manusia.
Penyediaan atau peningkatan sarana dan pra-sarana pendidikan
perlu terus ditingkatkan untuk dapat meningkatkan akses terhadap
pendidikan. Persoalan akses tentu tidak mengganggu penyelenggaraan
pendidikan di kota-kota yang prasarana transportasinya memadai.
Namun ia menjadi masalah besar di daerah-daerah yang memiliki
wilayah yang cukup luas, banyak masyarakat yang tinggal di daerah
10

Lihat UU No. 20 tahun 2003, pasal 50 ayat 3.
hal | 13

yang sulit dijangkau, dan prasarana transportasi yang kurang memadai.
Persoalan geografis dan fasilitas transportasi sering menjadi kendala
utama pemerataan akses pendidikan. Pada gilirannya persoalan akses ini
juga mempengaruhi tingkat partisipasi pendidikan. Oleh karena itu, perlu
dipikirkan berbagai alternatif bagi daerah-daerah yang memiliki masalah
dengan keterbatasan akses, karena berbagai kendala di atas.
Sumberdaya, baik manusia maupun benda, juga perlu mendapatkan
perhatian serius. Banyak daerah yang melakukan otonomi pendidikan
tidak didukung oleh sumberdaya pendidikan yang memadai.
Keterbatasan sumberdaya ini terjadi sebagai akibat dari tidak meratanya
penyebaran penduduk, tidak seimbangnya penyebaran ekonomi dan
tidak meratanya pembangunan. Akibatnya sumberdaya yang baik
terkonsentrasi di kota-kota besar.
Perlu ada pemikiran dan upaya serius ( affirmative action) untuk
membantu daerah-darah yang memiliki sumberdaya yang kurang
memadai. Pemerataan sumberdaya dapat dilakukan dengan menyiapkan
generasi muda di berbagai daerah untuk meningkatkan kapasitas diri
sehingga mampu menciptakan proses pendidikan yang berkualitas. Di
samping itu, perlu juga dibuka peluang untuk mendatangkan
sumberdaya dari daerah lain guna membantu percepatan pembangunan
pendidikan di daerah-daerah yang sumberdayanya relatif memadai. Hal
terakhir ini memerlukan campur tangan pemerintah pusat dan
keterbukaan pemerintah daerah demi pembangunan pendidikan.
F. Penutup
Berbagai persoalan dan pemikiran di atas menunjukkan bahwa
pendidikan nasional Indonesia sedang mengalami dinamika yang luar
biasa besar. Dinamika ini terjadi karena sebagai negara, Indonesia
sedang dalam proses transisi panjang menjadi negara demokrasi.
Otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan bagian
dari proses transisi tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila
banyak dijumpai kejanggalan atau anomali dan ketidakpuasan atas apa
yang sedang terjadi.
Kunci keberhasilan pendidikan nasional adalah penyelenggaraan
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan. Oleh karenanya lembagalembaga pendidikan harus benar-benar disiapkan menjadi lembaga
lembaga yang beorientasi pada pengembangan kualitas-kualitas pribadi
siswa, tidak hanya mengembangkan intelektualitas dan berpaku pada
formalitas. Untuk itu, Mochtar Buchory pernah mengemukakan, bahwa
dunia pendidikan kita tidak sekedar memerlukan reformasi seperti yang
terjadi di bidang politik dan ekonomi, tetapi ia memerlukan transformasi
guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter. 11 Oleh
karenanya, lanjut Buchory, guru harus dilepaskan dari beban politik dan
kepentingan sepihak birokrasi, guru harus diberikan keleluasaan untuk
mendidik karakter siswa.12
71
71

11

Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal.

12

Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal.

hal | 14

Daftar Pustaka
Buchory, Mochtar (2001), Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius,
2001, hal. 71
Buhory, M. H. (2007) ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang
Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas
Negeri Malang) Tahun 34 No. 2, Juli 2007, hal. 115
‘Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan’ Kompas Online edisi 29
Nopember
2011
http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ula
ng.Konsep.Otonomi.Pendidikandiakses tanggal 16 April 2011.
Hidayat, M. (2011) ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah
disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
Nata, Abuddin (2004), ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam
kerangka pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN
Jakarta), Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal. 12.
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Postman, Neil (1995), The End of Education: Redefining the value of school,
New York: Alfred A Knopf, 1995.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Revisi Kedua atas Undang-Undang
No. 32 tahun 2004.
Catatan:
Tulisan ini pernah disampaikan pada Pertemuan Nasional Jaringan Demokrasi
Antar-Kampus yang diselenggarakan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Indonesia (PSIK-Indonesia), Bogor, 25 April 2012.

hal | 15