251121966 KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH
Kata Pengantar:
Prof. Dr. Conny R. Semiawan

1. DESENTRALISASI PENDIDIKAN MELALUI UNDANG-NDANG
OTONOMI DAERAH
A. Pendahuluan
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinankemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih
kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di
dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang
pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan
pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat
desentralistik.
Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu
keharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan

urgensi

desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan
masyarakat demokrasi; (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya

saing bangsa.' Ketiga hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan
mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Ketika bendungan kekuasaan Negara Orde Baru (NOB) yang sangat bersifat
hegemonik otoritarianisme tersebut hancur, kita bisa membayangkan, ke mana
arah air tersebut "muncrat" atau mengalir? Sistem pemerintahan NOB yang
sangat sentralistik tersebut, tiba-tiba karena alasan tertentu, lalu berubah
menjadi desentralistik.2 Pada kenyataannya, kita akan menemukan berbagai sikap
yang ditunjukkan oleh pemerintahan daerah, ada yang "muncrat" tidak
terkendali, ada yang mengalir deras sehingga membuat jalur aliran tersendiri,
ada yang mengalir damai pada jalurnya, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat,
sebagai pihak eksekutif, yang ditugaskan DPR RI untuk menjalankan undangundang otonomi di atas, berusaha agar tidak terdapat daerah yang menyikapi
kondisi ini, secara "muncrat" liar tidak terkendali, atau mengalir dengan derasnya
di luar jalur yang ada sehingga menghantam habis setiap rintangan. Kondisi yang

dijelaskan terakhir, sering disebut dengan istilah reformasi yang "kebablasan".
Kalau mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya, masih banyak daerah di
Indonesia ini yang tidak atau belum siap untuk menerima berbagai kewenangan,
termasuk menjalankan kewenangan bidang pendidikan ini. Alasan yang sering
terdengar yang digunakan oleh daerah tersebut, di antaranya; (a) sumber daya
manusia (SDM) mereka belum memadai; (b) sarana dan prasarana mereka belum

tersedia; (c) anggaran pendapatan ash daerah (PAD) mereka sangat rendah; (d)
secara psikologis, mental mereka
2

Kata "tiba-tiba" dimaksudkan untuk menunjukkan betapa cepatnya

perubahan saat itu.
terhadap sebuah perubahan belum siap, (e) mereka juga gamang atau takut
terhadap upaya pembaruan.3
B. Permasalahan
Dengan memerhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai
pertanyaan permasalahan berikut ini.
1. Mengapa

masih

terdapat

beberapa


daerah

(pemerintahan

provinsi/kota/kabupaten) yang belum siap menerima desentralisasi
pendidikan?
2. Bagaimana pemerintahan provinsi/kota/kabupaten menyikapi konsep
desentralisasi pendidikan ini?
3. Masih berapa besarkah keinginan pemerintah pusat mempertahankan
kewenangan di dunia pendidikan ini?
4. Apakah

dampak

yang

ditimbulkan

dari


kebijakan

desentralisasi

pendidikan ini?
C. Realitas di Lapangan
Setelah memerhatikan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, berikut
ini merupakan upaya untuk menjawab permasalahan tersebut.

1. Kesiapan Daerah
Secara empiris dan realitas di lapangan, harus diakui bahwa masih
terdapat daerah tertentu yang belum siap menerima kewenangan dari
pemerintah pusat, khususnya dalam bidang pendidikan ini. Pada bagian
latar

belakang

telah

dijelaskan


berbagai

kemungkinan

yang

menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi
pendidikan ini.
a. Sumber Daya Manusia (SDM) belum memadai. Maksud SDM yang
kurang yaitu berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas.
Terdapat daerah tertentu yang kualitas SDM-nya belum dapat
dengan baik memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan
konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian pula halnya yang
berkaitan dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada. Daerah
tertentu melihat bahwa dari segi jumlah SDM mereka masih sangat
terbatas. Kalaupun ada

yang


telah

menyelesaikan

program

magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau tidak memadai.
b. Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai. Hal
ini berhubungan erat dengan ketersediaan dana yang ada di setiap
daerah. Selama ini, mungkin daerah-daerah tertentu asyik dan terlena
dengan sistem dropping yang diterapkan oleh pemerintah pusat.
Mereka sangat terkejut (future shock) ketika tiba-tiba memperoleh
kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan
pendidikan di daerahnya. Untuk itu, mereka belum siap dengan
segala bentuk sarana dan prasarana yang diperlukan. Jika dalam
waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk melengkapi segala
sarana dan prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan
besar. Kecuali, jika pemerintah pusat masih bersedia membantu
atau menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi


pendidikan tersebut.
c. Anggaran Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka sangat rendah.
Beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah
tertinggal, merasa berkeberatan untuk langsung menerima beban
kewenangan kebijakan desentralisasi pendidikan ini. Pem-biayaan
pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh
pusat atau provinsi. Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka tergolong
masih sangat rendah. Oleh karena itu, jika memungkinkan, mereka
masih

berharap

dapat

diberi

kesempatan

untuk


menunda

pengimplementasian kebijakan tersebut di daerah mereka. Bila
memungkinkan, mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah
daerah lainnya yang memiliki PAD yang lebih besar, yang membuat
mereka bisa mendapatkan sistem subsidi silang.
d. Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah
perubahan. Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak
semua orang memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap
sebuah perubahan. Sebagian di antara mereka melihat perubahan
sebagai sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan
sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal ini tidak tertutup akan terjadi
pada sebagian aparat atau masyarakat di daerah tertentu. Ketakutan
akan masa depan yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi,
membuat

mereka

tidak


siap

secara

mental

menghadapi

perubahan tersebut.
e. Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan. Salah
satu bentuk perubahan

yang sering dipakai yaitu upaya

pembaruan. Pembaruan dalam bidang pendidikan saat ini kita kenal
dengan sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali

terjadi


pembaruan kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan berbagai
kegiatan, seperti penataran, uji coba model, uji coba mekanisme,

sosialisasi kurikulum, dan sebagainya. Semuanya itu ditangkap oleh
sebagian personil guru kita sebagai sebuah `malapetaka' atau
setidaknya menjadi beban yang cukup berat bagi mereka.
2. Sikap Daerah
Berbagai sikap yang direpresentasikan oleh beberapa pemda dalam
menghadapi

implementasi

kebijakan

desentralisasi

pendidikan,

di


antaranya sebagai berikut.
a. Sebagian di antara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu
sudah lama mereka tunggu-tunggu.
b. Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja.
Mereka menganggap konsep desentralisasi merupakan sebuah
konsekuensi dari perubahan sistem politik atau pemerintahan,
c. Sikap lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap
pesimistis. Mereka menganggap kebijakan tersebut sebagai wujud
ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam mengelola masyarakat
daerah.
d. Sikap skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian pemda atau
masyarakat memperlihatkan ketidakpercayaan mereka akan maksud
baik pemerintah pusat. Mereka melihat dan masih membaca adanya
keinginan-keinginan tersembunyi dari pemerintah pusat. Mereka juga
masih merasakan ketidakikhlasan pemerintah pusat dalam melepaskan
sebagian wewenangnya kepada pemda.
e. Sikap lain yang diperlihatkan oleh sebagian pemda yaitu sikap
khawatir dan rasa takut. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan
ketersediaan dana, prasarana, dan sarana yang mendukung,
kurang mereka miliki. Apabila hal ini dipaksakan pada daerah mereka,
hanya akan menambah banyak orang yang kurang bahagia. Rasa takut
ini juga berhubungan dengan ketidakyakinan

mereka

akan

kemampuan

mereka

dalam

mengimplementasikan

kebijakan

tersebut.
3. Bentuk Kewenangan Pusat
Pemerintah

pusat

masih

saja

mempertahankan

bentuk-bentuk

kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah
otonomi, khususnya pada Pasal 2, butir 11, bidang pendidikan tercantum
10 butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di
antaranya terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh
pusat. Kewenangan lainnya berhubungan dengan pemanfaatan hasil
penelitian, pengaturan dan pengembangan pendidikan jarak jauh, serta
sekolah internasional. Termasuk pula di dalamnya melakukan pembinaan
dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mengenai tujuh hal
yang penetapannya masih di bawah kewenangan pusat, di antaranya
berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan
kurikulum nasional dan penilaian secara nasional; standar materi
pelajaran pokok; gelar akademik; biaya penyelenggaraan pendidikan;
penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa; benda cagar
budaya; dan kalender akademik.
4. Dampak Kebijakan
Dampak

yang

ditimbulkan

dari

kebijakan

desentralisasi

pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Kemungkinan daerah akan memanfaatkan kondisi yang ada untuk
mendapatkan atau memperoleh pendapatan daerah. Tentu saja, hal
ini sangat riskan dilakukan karena berhubungan langsung dengan
masyarakat atau rakyat kecil "akar rumput" (grass roots) yang

semestinya mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.
b. Desentralisasi pendidikan ini memberi peluang kekuasaan yang
cukup kuat dan besar bagi para kepala dinas pendidikan. Hal ini
membuka peluang bagi terciptanya raja-raja kecil di daerah,
khususnya ketika kontrol pemerintah provinsi dan pusat tidak lagi
berperan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, para
kepala dinas pendidikan pemerintahan kota atau kabupaten
tersebutlah yang secara individual memiliki kekuasaan dan
kewenangan dalam pengambilan keputusan decision making.
c. Kebijakan ini juga ada kemungkinan akan menimbulkan jurang
yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Hal ini bisa terjadi
karena daerah-daerah dengan PAD besar akan memberikan porsi dana
pendapatannya itu untuk kesejahteraan guru-gurunya. Sementara
daerah lainnya tidak mungkin melaksanakannya. Hal itu sampai
terjadi karena mereka tidak memiliki dana yang cukup besar untuk
menambah insentif bagi para guru-guru mereka.
d. Desentralisasi pendidikan ini juga bisa berdampak negatif terhadap
pemerataan pendistribusian tenaga guru. Dengan kata lain, daerahdaerah kaya akan menyedot tenaga guru yang berkualitas,
sekaligus secara kuantitas guru-guru itu akan berkumpul di daerah
yang kaya tersebut. Bagaimana halnya dengan daerah-daerah yang
PAD-nya sangat kecil? Mereka akan ditinggalkan oleh guru-guru
mereka. Akhirnya tempat-tempat tertentu di Indonesia ini akan
kelebihan tenaga guru, sementara daerah lainnya akan mengalami
kekurangan tenaga guru.
e. Ada juga yang mengatakan bahwa desentralisasi ini hanya akan
memindahkan praktik-praktik kotor korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) dari pusat ke daerah. Praktik KKN di bidang pendidikan
yang selama ini banyak dilakukan oleh para penguasa orde baru,

ada kemungkinan akan bergerak secara perlahan, tetapi pasti
menuju daerah-daerah yang 'basah' dan kaya. Bila daerah-daerah
tersebut membuka peluang untuk mereka menjalankan misi dan visi
malingnya, tidak akan mustahil KKN akan menjadi semakin "sukses"
berkembang di daerah tersebut
f. Selain penjelasan di atas, kita dapat juga memprediksi tentang
kemungkinan beragamnya hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan
pembuatan

silabus

materi

pembelajaran

dibuat

berdasarkan

kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Perbedaanperbedaan tersebut memberi kemungkinan terjadinya keberagaman
hasil belajar siswa. Kalau kondisi sudah menjadi begini rupa,
akan sulit bagi kita untuk mendapatkan angka-angka yang dapat
berbicara dalam skala nasional. Pada akhirnya, kondisi ini akan
mengarah pada tidak meratanya mutu/kualitas hasil belajar/tamatan
siswa kita.
D. Analisis SWOT
1. Kekuatan Kebijakan Desentralisasi
Kekuatan-kebijakan desentralisasi pendidikan adalah:
a. sudah merupakan kebijakan yang populis;
b. mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari
para wakil rakyat yang menduduki kursi DPR-RI;
c. Sebagai hal yang telah lama ditunggu tunggu menyusul adanya
perubahan sosial politik;
d. Kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran
pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tahun 2003;
e. Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.
Oleh karena itu, sudah merupakan kebijakan yang populis,
desentralisasi pendidikan pasti didukung oleh berbagai lapisan

masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di daerah. Kekuatan lain
yang juga amat mendukung bagi lahirnya kebijakan ini adalah dukungan
dari pihak legislatif. Kekuatan lainnya adalah kesadaran yang tinggi
dari masyarakat untuk mengbadapi perubahan. Termasuk dalam hal
ini adalah kesadaran masyarakat menyikapi desentralisasi pendidikan.
Anggota masyarakat amat dituntut partisipasinya dalam menjalani
perubahan tersebut.
Kekuatan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana
anggaran pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan anggaran
sebelumnya yaitu kurang dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan
yang disepakati 20% dari APBN dijadikan prioritas utama sebelum
penganggaran bidang lainnya.
2. Kelemahan Kebijakan Desentralisasi
Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi
kebijakan desentralisasi'pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah:
a. Kurang siapnya SDM daerah terpencil;
b. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD), khususnya daerahdaerah miskin;
c. Mental korup yang telah membudaya dan mendarah daging;
d. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus;
e. Dijadikan komoditas;
f. Belum

jelasnya

pos-pos

pendidikan, sehingga akan cukup

merepotkan Depdiknas dalam mengalokasikannya. Walhasil akan
menguntungkan departemen-departemen lain yang mengelola
pendidikan

atau

pelatihan,

padahal

departemen

lain

telah

memperoleh dana dari APBN. Sementara itu, hasilnya masih diragukan
karena ditangani bukan oleh para ahli/ profesional pendidikan.
Kelemahan-kelemahan di atas tentu harus dicarikan jalan keluarnya

agar dapat diminimalisasi keberadaannya.
3. Peluang Implementasi Kebijakan
Setelah melihat kekuatan sekaligus kelemahan dari kebijakan
desentralisasi pendidikan, harus dicarikan celah peluang keberhasilan
dalam pelaksanaannya. Mengingat kebijakan ini lahir dari arus paling
bawah (grass roots), walaupun baru terlaksana sekarang di era
reformasi, kebijakan ini memiliki peluang yang cukup signifikan
dalam hal keberhasilan pelaksanaannya karena telah menjadi fokus
perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dukungan dan kontrol
dari masyarakat dapat terus berjalan selama kebijakan ini digunakan.
4. Tantangan Implementasi
Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam pengimplemetasian kebijakan ini adalah munculnya individu-individu/
lembaga-lembaga

serakah

yang

mencari

kesempatan

dalam

kesempitan. Sekali lagi bagaimanapun harus diwaspadai mentalmental
korup haus uang.
Tantangan lainnya adalah memberi pengertian kepada lembaga di
luar Depdiknas yang selama ini memperoleh budget dari Depdiknas
untuk kepentingan kegiatan pelatihan/pendidikan. Hal

ini harus

dipertegas sehingga tidak terjadi dualisme dalam anggaran pendidikan
yang pada akhirnya merugikan Depdiknas. Tentu ini akan mengurangi
jatah

bagi

biaya

pendidikan

yang

akan

merugikan

sekaligus

mempengaruhi proses pembangunan masyarakat madani.
E. Temuan-temuan
Implem ntasi kebijakan desentralisasi pendidikan melalui undangundang otonomi daerah, pada kenyataannya menunjukkan bahwa terdapat
proses implementasi kebijakan yang tidak melibatkan seluruh stakeholders,
khususnya

daerah-daerah

yang

secara

finansial

belum

memiliki

kemampuan untuk turut mengimplementasikan kebijakan tersebut. Daerahdaerah tertinggal ini harusnya menjadi bagian integral dalam proses
pengimplementasian kebijakan.
1. Sampai Kapan jadi Parasit?
Memang, dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 telah
ditegaskan bahwa bagi daerah yang belum memiliki kemampuan untuk
melaksanakan kebijakan desentralisasi pendidikan ini, dapat bekerja
sama dengan pemerintahan kota/kabupaten lainnya, atau dengan
pemerintahan provinsi, atau menyerahkan kewenangan itu kepada
pemerintahan provinsi.' Pasal ini memang membuka peluang bagi daerah
yang belum memiliki kesanggupan melaksanakan kebijakan ini.
Temuan dalam tulisan ini, dan patut dipermasalahkan terus yaitu
sampai kapan daerah itu akan "menyusu" terus? Atau dalam batas waktu
berapa lama suatu daerah menjadi "parasit" bagi daerah lainnya?
Dalam bilangan satuan waktu apakah suatu daerah masih tetap ikhlas
"ditebengi" atau "digelayuti" oleh daerah lain yang belum memiliki
kemampuan tersebut? Sistem subsidi silang yang seperti apakah yang
dijadikan pegangan dalam kerja sama kedua pemerintahan daerah
tersebut? Selama pertanyaanpertanyaan tersebut tidak mendapat
kejelasan, selama itu pula salah satu dari kedua belah pihak yang
bekerja sama itu merasa senantiasa menjadi pihak yang dirugikan,
menjadi pihak yang terus-menerus dikorbankan.
2. Kontrol Pusat Belum Efektif
Selain itu, kontrol dan monitoring yang diberikan atau
dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang
sedang melaksanakan kebijakan desentralisasi pendidikan ini dapat
dikatakan belum berjalan dengan baik. Daerah daerah yang melakukan

pelanggaran atau menyimpang dari aturan main yang ada tidak pernah
mendapat teguran, bahkan terkesan pemerintah pusat "takut", hingga
akhirnya, membiarkan saja perbuatan pelanggaran itu terjadi. Mengapa
pemerintah pusat terlihat seperti "takut"? Apakah teguran-teguran yang
akan diberikan itu menjadi sesuatu yang tidak lagi populis? Apakah ada
unsur-unsur politis yang berada di belakang tindakan pemerintah
pusat tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus mendapat jawaban,
hal itu dibuat bukan untuk sekadar hiasan retorika, tetapi berangkat dari
suatu pemikiran.
3. Masih Ada Agenda Tersembunyi
Di samping itu, kalau dicermati lebih lanjut, terutama yang
berhubungan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, khususnya
bidang pendidikan, terlihat dengan jelas bahwa pemerintah pusat masih
memiliki agenda agenda lain yang tersembunyi. Dari sepuluh butir
kewenangan pusat tersebut, sebenarnya, sudah sepantasnya tidak lagi
harus digenggam atau dikangkangi oleh pusat, terutama bagi daerahdaerah yang telah memiliki kemampuan untuk itu. Dalam hal ini, dapat
diibaratkan, pemerintah pusat hendak memberi seekor kambing kepada
pemerintah daerah, tetapi ekornya masih tetap dipegang olehh pusat.
F. Kesimpulan
1. Harus diakui bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan ini merupakan
suatu keniscayaan. Hal itu harus diimplementasikan pada tataran
praktis, tidak hanya sebagai sebuah wacana.
2. Implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini
kekuatan

dan

sekaligus

kelemahan

dalam

memiliki
proses

pengimplementasiannya.
3. Konsep desentralisasi pendidikan, dapat dikatakan "agak terganggu"

dengan adanya PP No. 25 Tahun 2000, tentang kewenangan pemerintah
dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Ada kesan
mendalam yang terbaca bahwa pemerintah belum ikhlas memberikan
kewenangannya kepada pemerintah provinsi/kota/kabupaten.
4. Pemerintah

belum

dapat

berlaku

tegas

terhadap

bentuk¬bentuk

pelanggaran yang dilakukan pemerintah provinsi/ kota/ kabupaten yang
melakukan pelanggaran/penyimpangan dari aturan main yang ada.
G. Saran dan Rekomendasi
1. Harus ada kerja sama dari seluruh stakeholders dalam implementasi
kebijakan desentralisasi pendidikan.
2. Pemerintah secepatnya mengeluarkan keputusan presiden yang
mengatur lebih jelas pelaksanaan tentang desentralisasi pendidikan.
3. Pemerataan SDM, khususnya guru ke desa-desa terpencil dan miskin,
dengan memberikan insentif yang memadai dan wajar.
4. Pemerintah harus memprioritaskan bantuan dana kepada daerahdaerah tertinggal dan terpencil.

DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Syukur. 2 Mei 2002. "Kurikulum dan Manusia di Balik Senjata"
Kompas.
6 September 2002. "Otonomi Guru Harus Diperjuangkan" Kompas.
Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Alih Bahasa: Muhajir
Darwin). Yogyakarta: Hannindita.
Eric, Lanerjan. 1991. The Public Sector: Concepts, Modls, and Aproaches.
London: Sage Publication.
Gunawan, Ary H. 2002. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang
Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Mulyasa, E. 2002. Manajamen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Puskur. Juni 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Balitbang Depdiknas.
_. Mei 2002. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Jakarta:
Balitbang Depdiknas.
_Juni 2002. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:
Balitbang Depdiknas.
_. Mei 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu
Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.
Sihombing, Umberto. 2002. Menuju Pendidikan Bermakna melalui
Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Multiguna.

2. PROBLEMATIKA SEPUTAR PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI
PEKERTI
A. Pendahuluan
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang No. 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas
merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur.' Di samping itu, juga memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.2
Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita
sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang
dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur.
Namun, pada kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi
pada tataran kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hat ini
terbukti pada kurikulum sekolah tahun 1984 yang secara eksplisit telah
menghapuskan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran sekolah.
Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi
kurang disentuh bahkan ada kecenderungan tidak ada sama sekali.
Jika penghapusan mata pelajaran budi pekerti tersebut karena dianggap telah
cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, tentu hal itu tidak demikian adanya.
Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang
salah satu bahasannya adalah akhlak/budi pekerti, pembahasan mengenai hal
tersebut pasti memperoleh porsi yang amat kecil. Hal ini mengingat cukup
banyak aspek yang dibahas dalam mata pelajaran agama .dengan alokasi waktu
yang amat minim yaitu dua jam dalam seminggu. Oleh karena itu, sentuhan
aspek moral/akhlak/budi pekerti menjadi amat kurang. Demikian pula,

sentuhan agama yang salah satu cabang kecilnya adalah akhlak/budi pekerti
menjadi amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya terus
berkembang, teknologi berlari pesat. Arus informasi manta negara bagai tidak
berbatas.
Hasilnya, budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang
cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti cepat
ditiru. Perilaku negatif seperti tawuran menjadi budaya baru yang dianggap
dapat mengangkat jati diri mereka. Premanisme ada di mana-mana, emosi
meluap-luap, cepat marah dan tersinggung, ingin menang sendiri menjadi
bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat kita
sendiri.
Hal lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti/moral
yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang
dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur.3 Dalam hal ini, bisa saja terjadi
pelaku dan korban pelecehan tersebut adalah anak anak. Tindak kejahatan
mencuri, menodong, bahkan membajak bus umum semua pelakunya adalah
pelajar sekolah.
Fenomena-fenomena seperti dipaparkan di atas tentu tidak boleh dibiarkan.
Akan menjadi generasi seperti apa kelak anak-anak jika dibiarkan dalam kondisi
tersebut. Jika tidak dapat dicarikan jalan keluarnya, akan terbentuk generasi yang
bermoral/berbudi pekerti rusak. Jika generasi kini rusak, bagaimana dengan
pemimpin bangsa di masa mendatang.
Oleh karena itulah, penulis merasa tertarik untuk membahas akibat-akibat
yang ditimbulkan dari kurang/minimnya penanaman moral/budi pekerti/akhlak.
Khususnya dalam kurikulum sekolah sebagai benteng penangkal hal-hal negatif.
Termasuk juga usaha yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan di
seputar penanaman budi pekerti tersebut.
Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah:
1. Ingin mendeskripsikan lebih jauh tentang peran pemerintah dalam

menangani permasalahan budi pekerti anak, khususnya anak sekolah;
2. Ingin mendeskripsikan peran orang tua dalam pembentukan budi pekerti
yang baik bagi anak;
3. Ingin mendeskripsikan peran masyarakat dalam menyikapi budi pekerti
anak.
B. Realitas di Lapangan
1. Pendidikan Budi Pekerti di Rumah
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan
dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai.
Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin
bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian
siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di
Indonesia.
Tawuran pelajar tidak hanya ada di kota-kota besar, tetapi merambah
juga sampai ke pelosok-pelosok. Bahkan perilaku seks bebas dan lunturnya
tradisi, budaya, tata nilai kemasyarakatan, norma etika dan budi pekerti
luhur merambah ke desa-desa.4
Krisis yang terjadi ini salah satu indikator penyebab terbesarnya adalah
kegagalan dari dunia pendidikan baik pendidikan formal, nonformal,
maupun informal. Padahal ketiga sektor tersebut memegang peranan
yang sangat penting dalam rangka membentuk anak berbudi pekerti luhur.
Aris Muthohar dalam bukunya Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat mengatakan tentang pentingnya ketiga lembaga tersebut
menanamkan nilai-nilai tata krama budi pekerti luhur. Jika ketiga lembagaini
Baling mengisi, diharapkan akan dapat membentuk anak yang berbudi pekerti
luhur.5
Untuk

memaparkan

ketiga

lembaga

yang

berkaitan

dengan

pltnbentukan budi pekerti luhur ini, berikut ini akan dijelaskan Utu per

satu. Sebagai tempat awal seorang anak memperoleh pendidikan, berikut
ini akan disajikan realita pendidikan budi pekerti di rumah sebagai
lembaga pendidikan informal.
Untuk memaparkan pendidikan budi pekerti di rumah/ keluarga, harus
dilihat dahulu kenyataan bahwa di Indonesia tsrdapat lebih dari 11 juta
anak putus sekolah dan 6 juta di Mltaranya menjadi pekerja anak. Dari 6
juta pekerja anak, sekitar 1 Juta anak bekerja dalam kondisi yang sangat
membahayakan, bilk fisik maupun mentalnya.
Jika dilihat dari persentase jumlah anak yang ada di Indonesia, Wu sekitar
12 persen yang dapat mengikuti program wajib `elajar. Selebihnya tidak
memperoleh kesempatan belajar yang flelayaknya. Dapat dibayangkan
jumlah yang tersisa masih sekitar 18% justru menjadi pekerja anak untuk
membantu ekonomi keluarga. Jika mereka membantu orang tua berarti
mereka sendiri tidak mempunyai kesempatan belajar di rumah, khususnya
belajar penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Akibat tuntutan kebutuhan hidup keluarga yang sangat mendesak,
jangankan memberi pendidikan bagi anak, masalah kesehatan dan
keselamatan kerja bagi anak pun menjadi hal yang dlabaikan orang tua. Orang
tua tidak peduli jika anaknya dieksploitasi dengan upah yang sangat murah,
bahkan yang sangat parah, orang tua justru kadang melanggar HAM anak
dengan menyiksa anak kandung sendiri jika bekerja tidak mencapai target.
Umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya
adalah para orang tua yang bekerja. Orang tua bekerja dengan waktu
yang cukup panjang meninggalkan anaknya di rumah di bawah asuhan
para pembantu rumah tangga yang juga', sering kali sangat rendah tingkat
pendidikannya. (RCTI, November': 2002).
Saat pulang dari bekerja, para orang tua sudah sangat lelah. Anak-anak
pun sudah tertidur ditemani pembantu rumah tangga. Akibatnya, orang
tua/keluarga semacam ini pun tak pernah sempat menanamkan nilai-nilai

positif, khususnya nilai budi pekerti yang luhur.
Kalaupun ada keluarga yang memiliki kesadaran yang cukup tinggi
dengan menanamkan nilai-nilai positif, khususnya nilai-nilai agama sejak dini
yang notabene sudah termasuk nilai akhlak/budi pekerti di dalamnya,
dapat dikatakan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Anak-anak
yang berbahagia memperoleh kesempatan seperti ini di keluarganya
dibandingkan dengan yang tidak memperolehnya bagai segelas air di
danau. Sudah barang tentu problematika yang muncul dari danaulah yang
mencuat. Padahal sudah seharusnya ataupun merupakan hak anak untuk
memperoleh itu semua.'
2. Pendidikan Budi Pekerti di Masyarakat
Penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat
kurang sebagai akibat dari himpitan ekonomi. Semua sibuk memikirkan
pemenuhan kebutuhan hidup. Kontrol sesame pasyarakat menjadi kurang,
bahkan tidak ada. Semua serba lpdividualistis.
Kondisi kacau di masyarakat seperti ini justru yang sangat berpengaruh
pada penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur. KIluarga yang anaknya
terbebas/tak terpengaruh sisi negatif tunturnya nilai-nilai budi pekerti
seperti narkoba, tawuran, seks Was, dan lain-lain tidak peduli pada
tetangga/keluarga lain yang 1 Cara kebetulan mengalaminya, yang
terpenting keluarga sendiri pflcbih dahulu.
3. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah
Sementara itu, penanaman nilai-nilai budi pekerti di sekolah, Mntuk saat
ini memang sudah mengalami kemunduran. Data IMpiris membuktikan
bahwa para guru pun sudah merasa enggan menegur anak didik yang
berlaku tidak sopan di sekolah. Anak didik sering kali berperilaku tidak
sopan terhadap guru, melecehkan sesama teman, bahkan ada sekolah

yang tidak berani mengeluarkan anak didik yang sudah jelas-jelas
menggunakan 1larkoba.
Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kUrikulum
mulok9 sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Mated tersebut
diintegrasikan ke dalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn clan agama.10
Kalaupun pada akhirnya diintegrasikan pula k0 dalam enam mata pelajaran
lainnya, yaitu matematika, IPA, IPS, Kesenian, Bahasa Indonesia, dan
Olahraga, rasanya masi'' kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah
amat mahal d. langka di masa kini.
C. Permasalahan
Berdasarkan realitas di lapangan, penulis merumuskaii, identifikasi
masalah sebagai berikut.
1. Mengapa pada masa sekarang ini moral dan budi pekerti anak
demikian merosot?
2. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nliai moral dan
budi pekerti yang baik?
3. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
moral dan budi pekerti bagi anak didik?
4. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang
bermoral dan berbudi pekerti yang baik?
5. Apa saja usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan
merosotnya moral dan budi pekerti yang baik pada anak?
Dari sejumlah identifikasi masalah di atas, pembahasan akan lebih
dikonsentrasikan pada permasalahan nomor 2, 3, dan 4 sebagai berikut.
1. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan
budi pekerti yang baik?
2. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
moral dan budi pekerti bagi anak didik?

3. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang
bermoral dan berbudi pekerti yang baik?
D. Analisis SWOT
1. Kekuatan Pendukung: Tersedianya Kebijakan Makro
Upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak dapat
dilakukan atas dasar adanya kekuatan yang mendukung, yaltu: di samping
telah dituangkan dalam Sistem Pendidikan Nwional UU No. 2/89. Bab 11
Pasal 4 yaitu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan Ortakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan ltohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Juga terdapat pada
rundang-undangan yang lain, yaitu: TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang
pokok-pokok reformasi pembangunan pada Bab IV huruf D.
a. Butir 1 F: Peningkatan akhlak mulia dan budi pekerti luhur
dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah.
b. Butir 2 H : Meningkatkan pembangunan akhlak mulia dan moral
luhur

masyarakat

melalui

pendidikan

agama

untuk

mencegah/menangkal tumbuhnya akhlak tidak terpuji.
1. TAP MPR NO. IV/MPR/1999, tentang GBHN Bab IV Huruf D mengenai
agama butir 1:
a. Menetapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan
moral, spiritual, dan etika dalam penyeleng garaan negara.
Perundang-undangan tidak bertentang. dengan moral agama.
b. Meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependi C; dikan
sehingga

mampu

berfungsi

secara

optimal

terutama'

meningkatkan pendidikan watak dan budi peke
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga.

dalam

agar dapat

2. UU No. 2/1989 Penjelasan Pasal 39 ayat (2): menyatakan' bahwa
pendidikan pancasila mengarahkan perhatian padg; moral yang
diharapkan diwujudkan ke dalam kehidupar sehari-hari.
3. Komitmen

masyarakat

dalam

berbagai

lapisan

terhadap

etika

bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, ditengarai budi pekerti
sebagai salah satu dimensi substansi pendidikan' nasional yang perlu
diintegrasikan ke mata pelajaran yang relevan.
2. Kelemahan Implementasi: Krisis di Segala Bidang
Kelemahan yang muncul dalam rangka upaya memecahkan atau
menanggulangi masalah kemerosotan moral dan budi pekerti anak di
antaranya adalah sebagai berikut.
a.

Pada tataran pemerintah, baru hanya sebatas membuat peraturan,
belum

sampai

pada

upaya

optimal

dalam

menanggulangi

kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
b.

Kondisi ekonomi di Indonesia yang terpuruk menimbulkan krisis di
segala bidang termasuk bidang pendidikan.

c.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga memberi dampak yang
cukup signifikan dalam tuntutan ekonomi keluarga sehingga para
orang tua walaupun mengerti tentang pentingnya menanamkan nilainilai moral dan budi pekerti pada anak, kurang dapat menerapkannya
pada anak.

d.

Era globalisasi sangat berpengaruh pada pergeseran nilaiii, nilal
moral dan budi pekerti anak. Hal ini diiringi oleh tingkat kemajuan
teknologi informatika yang bergerak maju dalam hitungan detik. Pada
era ini, kejadian di belahan dunia yang satu akan dapat langsung
diikuti dan diketahui oleh belahan dunia lainnya. Dunia menjadi tanpa
pembatas ruang atau waktu. Pada kondisi inilah anak globalisasi
hidup. Dia menjadi tahu segala. Batas-batas moral menjadi demikian

tipis. Anak menjadi demikian kritis akan nilai-nilai moral yang
diajarkan oleh keluarga atau yang diperlihatkan oleh para elit birokrat
atau pemerintahnya.
e.

Teladan para birokrat atau elit politik terasa demikian kurang.
Nilai-nilai moral yang mereka pertunjukan di depan mata anak-anak
bangsa sedemikian riskan dan vulgar diketahui oleh para anak
tersebut. Kondisi ini menjadi titik lemah yang cukup fatal bagi usaha
para pendidik baik di sekolah maupun di rumah untuk menanamkan
nilai-nilai moral atau budi pekerti yang agung.

3. Peluang: Munculnya Kesadaran Kolektif
Peluang yang diharapkan dapat digunakan dalam rangka
mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak di Indonesia, di
antaranya adalah pada dasarnya tingkat kesadaran masyarakat iudah
cukup tinggi untuk menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti
anak.
Para orang tua pada umumnya berlomba-lomba menanamkan nllainilai moral dan budi pekerti luhur melalui pendidikan agama sejak usia
dini. Penanaman pendidikan agama sejak usia dini akan secara otomatis
tertanam nilai-nilai moral dan budi pekerti luhur yang akan berdampak
sangat positif bagi perkembangan jiwa anak hingga dewasa. Ini
terjadi karena moral dan budi pekerti merupakan bagian dari
pendidikan agama yang disebut pendidikan akhlak.
Hal ini sejalan dengan pendapat pemikir Islam sekaligus
pendidik Al-Ghazali yang dalam salah satu bukunya menyoroti sistem
pendidikan Islam. Ia mengatakan bahwa budi pekerti itu akan kuat jika
banyak dipraktikkan, dipatuhi, dan diyakini sebagai suatu yang baik dan
direstui.
Jika saja kesadaran menanamkan nilai-nilai agama muncul pada

setiap orang tua di masyarakat, dengan menyingkirkan jauhjauh rasa
pesimistis dalam menghadapi tantangan dari luar,

diharapkan

kemerosotan moral dan budi pekerti akan dapat diatasi sedikit demi
sedikit namun serempak. Dalam agama Islam ada beberapa kata
mutiara yang dapat dijadikan pegangan setiap orang untuk memulai
suatu kebaikan, di antaranya:
a. mulailah dari dirimu sendiri terlebih dahulu (Ibda' binafsika);
b. berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan (fastabiqul
khairat);
c. janganlah menunda-nunda berbuat kebaikan.
Usaha yang dilakukan oleh para penentu kebijakan (decision
maker) pun sangat populis, artinya mengena di hati masyarakat.
Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin
mengatakan bahwa selama ini pihaknya sudah berupaya melakukan
antisipasi teknis dalam rangka pembentukan karakter dan daya nalar
anak didik yang diyakini dapat menanggulangi kemerosotan moral dan
budi pekerti. Di antaranya ialah pembentukan karakter yang berbudi
pekerti luhur sejak tingkat sekolah dasar (SD).
4. Tantangan Pendidikan Budi Pekerti
Tantangan yang akan menghadang dalam upaya menanggulangi
kemerosotan moral dan budi pekerti anak antara lain sebagai berikut.
a. Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat
merupakan tantangan tersendiri di mana informasi baik positif
maupun negatif dapat langsung diakses dalam kamar atau rumah.
Tanpa adanya bekal yang kuat dalam penanaman agama (yang telah
tercakup di dalamnya nilai moral dan budi pekerti) hal itu akan
berdampak negatif Jika tidak disaring dengan benar.
b. Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya

di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan yang tidak
dapat diabaikan.
c. Moral para pejabat/birokrat yang memang sudah amat melekat seperti
"koruptor", curang/tidak jujur, tidak peduli pada kesusahan orang
lain, dan lain-lain, ikut menjadi tantangan tersendiri karena bila
mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusannya
mengimplementasikan secara benar.
d. Kurikulum sekolah mengenai dimasukkannya materi moral dan budi
pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit. Ini terjadi
karena ternyata tidak semua guru dapat mengaplikasikan model
integrated learning tersebut ke dalam mata pelajaran lain yang sedang
diajarkannya atau yang diampunya.
e. Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi tantangan yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, bagaimanapun, setiap ada
kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.
E. Temuan: Kondisi Objektif
Berdasarkan pada masalah yang timbul akibat dari merosotnya nilai-nilai
moral dan budi pekerti anak dan setelah dianalisis berdasarkan realitas di
lapangan, dijumpai beberapa temuan sebagai berikut.
1. Perhatian pemerintah dapat dikatakan cukup serius, terutama bagi
pembentukan manusia yang utuh, yaitu manusia yang agamis dan mandiri
sebagaimana termaktub dalam Tap MPR/1999 dan didukung oleh
peraturan dan ketetapan yang lainnya. Namun, pelaksanaan tidak semudah
perencanaannya. Kondisi ekonomi di Indonesia yang sedang terpuruk saat
ini sangat berpengaruh dalam menanggulangi kemerosotan nilai nilai moral
dan budi pekerti bangsa Indonesia, khususnya anak.
2. Arus globalisasi yang hampir menjangkau seluruh dunia juga ikut
berpengaruh pada perilaku anak yang sering bertentangan dengan nilai-nilai

atau norma-norma adat istiadat, agama, dan nilai-nilai ketimuran anak di
Indonesia.
F. Kesimpulan
Kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Peran aktif orang tua atau keluarga sangat dituntut dalam upaya
menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
2. Sekolah telah mencoba memasukkan materi moral dan budi pekerti ini
secara terpadu (integrated) ke dalam setiap mata c pelajaran. Namun,
tentu saja hal ini masih belum efektif dan belum maksimal, mengingat
tidak semua guru mampu mengaplikasikannya.
3. Peran masyarakat masih sangat kurang bahkan tidak ada usaha sama
sekali untuk turut menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti
anak, terutama, dalam bentuk kontrol. Namun, upaya penanaman agama
sejak usia dini telah disiapkan oleh masing-masing keluarga.
4. Pemerintah belum maksimal menangani dan menanggulangi kemerosotan
moral dan budi pekerti anak. Hal ini diakibatkan oleh kondisi atau
ekonomi negara saat ini.
5. Era globalisasi dengan ciri teknologi yang terus berkembang pesat turut
memberi andil terjadinya kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
G. Saran dan Rekomendasi
1. Pemerintah diharapkan lebih serius menangani kemerosotan moral dan
budi pekerti anak, tidak hanya sebatas menetapkan kebijakan. Hal ini
dapat dilakukan dengan (a) mengalokasikan anggaran pelatihan bagi para
guru dalam melakukan integrasi materi moral dan budi pekerti ke dalam
setiap mata pelajaran, (b) memasukkan kembali materi moral dan
budi pekerti menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
2. Bagi orang tua yang berkecukupan diharapkan tidak hanya mengejar

materi dan karier, tetapi diharapkan lebih memberikan perhatian
kepada anak-anak mereka, yaitu dengan cara ,memberikan penanaman
nilai-nilai agama sejak dini. Sementara itu, bagi orang tua yang
kurang mampu diharapkan tidak terlalu membebani anak dengan
tuntutan bekerja, sementara mengabaikan hak mereka untuk
mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan moral dan budi
pekerti.
3. Kepada organisasi keagamaan diharapkan turut peduli dengan upaya
penanggulangan kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
4. Seluruh

lapisan

masyarakat

melakukan

kontrak

sosial

kemerosotan moral dan budi pekerti tidak semakin bertambah.

agar

DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Syukur. Jumat, 24 Mei 2002. "Kurikulum" dan "Manusia di Balik
Senjata," Kompas.
Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Disadur Oleh Muhadjir
Darwin). Jogjakarta: Hanindita.
Eric, Lanerjan.1991. The Publik Sector: Concepts, Models, and Approaches.
London: Sage Publication.
Gunawan, Ary H. Mei 2002. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi
Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Harsono, Eko B. 2 Mei 2001. "Membawa Pendidikan Budi Pekerti ke
Sekolah". Suara Pembaharuan.
Muthohor, M. Aris. 2001. Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat.
Jakarta: SIC.
Puskur. Juni 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Salam, Barhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik).
Jakarta: Rineka Cipta.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. 2000. Sistem Pendidikan menurut AlGhazali:
Solusi Menghadapi Tantangan Zaman. Jakarta: Dea Pers. Tarwiyah, Tuti, dkk.
2002. "Masalah Hak Azasi Anak dalam Pendi
dikan" Makalah Seminar Kelas Program Doktor Pascasarjana Univer-sitas
Negeri Jakarta.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka
Cipta.
_. April 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Widodo. 2 Mei 2002. "Reaktualisasi Pendidikan Budi Pekerti" Suara
Pembaharuan.

3. ISU SEPUTAR EVALUASI PENDIDIKAN SECARA NASIONAL
A. Pendahuluan
Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional yang berani dan inovativ menghapus
ebtanas secara bertahap, SD tahun 2002 dan ILTP/SMU tahun 2003
mendatang, menunjukkan kemauan emerintah (political will) untuk memutus
persoalan-persoalan filosof dan teknik di seputar penyelenggaraan ebtanas
dengan praktik-praktik penyelenggaraan yang menyeleweng dan berbiaya tinggi,
serta untuk mengatasi berbagai kelemahan yang ditemui dalam sistem
ebtanas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan peran sumber
daya manusia lebih efektif.'
Hal mendasar yang menjadi landasan pemikiran dihapuskannya sistem
evaluasi pendidikan melalui ebtanas, salah satunya adalah dalam rangka
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemui dalam sistem ebtanas.
Di samping itu juga untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih
realistis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Panduan ujian akhir sekolah sebagai ganti ebtanas merupakan langkah
pertama yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, diikuti
dengan sosialisasi ke tingkat daerah. Kepala Pusat Pengujian Departemen
Pendidikan Nasional, Sunardi mengatakan bahwa terdapat dua hal penting yang
menjadi prinsip pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN), yaitu prinsip
memberdayakan sekolah dan prinsip desentralisasi. Satu hal yang paling
mendasar dalam UAN ini terkandung filosofi bahwa nilai ujian akhir berfungsi
sebagai alat seleksi ke jenjang pendidikan lebih tinggi. 2 Tentu saja, dalam hal
ini, dari tingkat SD ke SLTP atau dari tingkat SLTP ke SMU.
Dengan mengikutsertakan daftar nilai UAN yang tertera dalam sertifikasi
"tamat" yang dapat dijadikan alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan lebih
tinggi terutama ke SLTP/SMU, menunjukkan bahwa sistem UAN, prosesnya

cukup efisien dari segi waktu. Selain itu objektivitas nilai yang ada pada UAN
pun sangat terkontrol. Artinya, nilai yang diperoleh anak benar-benar menggambarkan kemampuannya. Hal ini terjadi karena UAN sangat menekankan
objektivitas dan kejujuran sebagaimana Mendiknas menyatakan bahwa dunia
pendidikan harus berani menegakkan prinsip kebenaran kepada masyarakat
secara jujur. Jujur kepada diri sendiri, kepada masyarakat, kepada anak-anak.
Dengan tegas pemerintah akan menghapus praktik-praktik mark up nilai yang
selama ini terjadi.3
Berkaitan dengan penilaian yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi 2004 yang sedang diujicobakan, terdapat ketentuan penilaian yang
disebut dengan benchmarking. 4 Benchmarking merupakan suatu penilaian
terhadap proses dan hasil untuk menuju ke suatu unggulan yang memuaskan.
Untuk ukuran keunggulan ini dapat ditentukan di berbagai tingkat, yaitu sekolah,
daerah, atau nasional. Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan
sehingga siswa dapat mencapai suatu tahap keunggulan pembelajaran yang
sesuai dengan kemampuan, usaha, dan keuletannya mulai dari tingkat
sekolah, daerah, dan pada akhirnya tingkat nasional.
Untuk

dapat

memperoleh

data

dan

informasi

tentang

pencapaian

benchmarking tertentu, dapat diadakan penilaian secara nasional yang
dilaksanakan pada akhir satuan pendidikan. Hasil dari penilaian itu bermanfaat
ganda, yaitu pertama, dapat dipakai untuk menilai kompetensi siswa dan kedua,
dapat dipakai untuk memberikan peringkat sekolah, yaitu untuk dasar
pembinaan guru dan kinerja sekolah. Jadi, selalu ada monitor sekaligus umpan
balik (feed back).
Kurikulum Berbasis Komptensi (KBK) 2004 juga memberikan peluang untuk
melakukan penilaian program secara berkala dan terus-menerus oleh
Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan Nasional. Penilaian
program dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar,
fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan tuntutan

perkembangan yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Jadi, sekolah tidak
seperti menara gading.
Pukur Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kesenjangan kompetensi mutu
antara sekolah di Jawa dan luar Jawa, pemerintah memiliki batas toleransi.
Pemerintah ke depan akan menjadi fasilitator untuk menjembataninya.
Caranya adalah dengan membantu pihak sekolah memberikan pelajaran
matrikulasi tambahan sebagai prakondisi untuk mencapai kualitas pendidikan
yang memadai.
Berkaitan dengan penilaian, dalam KBK 2004 dikenal ada penilaian Akhir
Satuan Pendidikan dan Sertifikasi. Pada setiap akhir semester dan tahun
pelajaran, diselenggarakan kegiatan penilaian guna mendapatkan gambaran
secara utuh dan menyeluruh pencapaian ketuntasan belajar siswa dalam satuan
waktu tertentu. Di dalam lingkungan sekolah, penilaian ini Bering dikenal
dengan nama Ujian Akhir Sekolah (UAS). Hal seperti di atas merupakan
bagian dari program manajemen berbasis sekolah
(school based management).
Berdasarkan pada latar belakang di atas, ditetapkan tujuan dalam penulisan
ini sebagai berikut.
Pertama, mencari tahu alasan dihapuskannya ebtanas.
Kedua, mencari tahu tentang kesiapan sekolah dan guru dalam menjalankan hak
dan kewenangannya untuk menilai siswanya sendiri, di mana sekolah
dan guru bertanggung jawab terhadap proses pendidikan mulai dari
penerimaan siswa, proses pembelajaran, sampai dengan penentuan
kelulusan. Untuk hal ini tidak ada campur tangan pusat.
Ketiga, mencari tahu apakah ada keterkaitan antara evaluasi pendidikan secara
nasional dengan

Kurikulum Berbasis

Kompetensi(KBK

2004),

terutama mengenai normanorma penilaian pendidikan.
Keempat, mencari tahu apakah pemerintah menyediakan pedoman standar mutu

pendidikan

nasional,

penyelenggaraan

UAN,

dan

pedoman

pengembangan tes standar dalam rangka evaluasi pendidikan secara
nasional.
B. Realitas di Lapangan
1. Kelemahan Ebtanas
Penggantian ebtanas dengan Ujian Akhir Nasional adalah untuk
menyempurnakan ebtanas yang sarat dengan berbagai kekurangan, baik
segi akademis maupun segi teknis penyelenggaraan. Selama ebtanas
digunakan banyak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Sebagaimana yang penulis kemukakan di atas bahwa sistem penilaian
pendidikan atau