PROBLEMATIKA PERENCANAAN OTONOMI DAERAH studi

1

PROBLEMATIKA PERENCANAAN OTONOMI DAERAH
DI PEDESAAN

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesi sedang berada di tenghah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah
pusat, propinsi dan kabupaten/kotayang menurut undang-undang nomor 5 tahun 1974 hanya
merupakan kepanjangan tangan pusat di daerah. Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah propinsi dan kabupaten
untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat
setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antar pemerintah pusat,
propinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis, maupun teknis. Secara politis,
desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan
reformasi seperti direfleksikan dalam garis-garis besar haluan Negara (GBHN). Secara teknis
masih terdapat sejumlah besar persiapan yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian
kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif.
Untuk menjamin proses disentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada
prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui undang-undang nomor 22

tahun 1999, serta peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000dan ketentuan lainnya yang relefan.
Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuk suatu paket otonomi yang
kontsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya. Dalam Negara yang majemuk seperti Indonesia,
“satu ukuran belum tentu cocok untuk semua”. Penyususnan “paket otonomi” dalam
perancangannya. Dalam proses ini komunitas –komunitas local perlu dilibatkan oleh masingmasing pemerintah kabupaten/kota, termasuk DPRD untuk menjamin proses desentralisasi
secara lebih baik dan bertanggung jawab, di mana mereka sebagai salah satu “stakeholder” yang
memiliki kepentingan mendalam untuk mensukseskan otonomi daerah.
Perencanaan pembangunan desa yang partisipatif dan berkelanjutan memiliki peran yang
strategis dalam kerangka otonomi daerah, karena pembangunan desa merupakan dasar dari
pembangunan nasional, dan partisipasi masyarakat merupakan modal utama keberhasilan
pembangunan. Tulisan ini akan melakukan tinjauan terhadap model perencanaan pembangunan
desa pada masa lalu dan masa sekarang ini terutama dikaitkan dengan partisipasi masyarakat.
Dari tinjauan tersebut, penulis mencoba memberikan alternatif pengembangan perencanaan
pembangunan desa yang partisipatif dan berkelanjutan dalam mendukung otonomi daerah.
Pelaksanaan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan melalui proses P5D, secara

2

konseptual telah mencoba melibatkan masyarakat semaksimal mungkin tetapi dalam
kenyataannya menghadapi berbagai kendala sehingga diperlukan revisi mekanisme P5D.

Pola perencanaan pembangunan tetap mengikuti alur perencanaan yang sudah ada dengan
mengadopsi konsep keterpaduan P5D, namun dengan memberikan penekanan pada : pelibatan
partisipasi aktif semua peserta forum musyawarah perencanaan, meningkatkan bobot
keterwakilan masyarakat dalam forum perencanaan, meningkatkan pengakomodasian usulan dari
bawah dalam program Dinas sektoral. Agar dapat terakomodir, maka usulan dari bawah harus
memiliki ketajaman prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk itu diperlukan revitalisasi dan penguatan lembaga perencanaan desa, dan
memberikan bantuan pendampingan dalam proses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan
Kecamatan, serta perlu dilakukan desiminasi dokumen-dokumen perencanaan sampai kepada
masyarakat desa untuk memberi arah dalam penyusunan perencanaan masyarakat.

B. PERUMUSAN MASALAH
Terkait dengan pengelolaan program dan proyek pembangunan yang ada di daerah, maka
prinsip-prinsip demokrasi mendorong peran serta masyarakat dan transparansi serta
mengedepankan pemerataan dan keadilan dalam melaksanakan otonomi daerah menjadi sangat
strategis. Artinya, peran masyarakat di daerah menjadi faktor utama di dalam proses
pembangunan karena lebih banyak berfungsi sebagai “subyek” ketimbang sebagai “obyek”.
Banyak program dan proyek yang ada di daerah dengan biaya yang sangat besar
dirumuskan, dilaksanakan, dan diawasi oleh pusat sedangkan daerah hanya sekedar dilihat
sebagai tempat (lokasi) dari proyek tersebut sehingga daerah tidak diberi kesempatan untuk

mengolah sendiri sumber daya yang ada di daerah tersebut.
Dengan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong masyarakat daerah berperan aktif
dalam pemanfaatan sumber daya yang ada serta pengontrol bagi pejabat daerah dalam mengatur
proyek pembangunan daerah.
Godaan untuk melakukan sentralisasi dengan asumsi bahwa daerah mempunyai
kemampuan yang terbatas sehingga pemusatan kekuasaan merupakan satu-satunya jalan
pengamanan terbaik perlu segera dihindari. Apalagi jika pembangunan diartikan sekedar sebagai
redistribusi kekuasaan dan sumber daya dan mengasumsikan bahwa hanya otoritas yang
mempunyai landasan luaslah yang mampu melaksanakan perubahan dengan hasil baik.
Sehingga dapat kita rumuskan dari uraian diatas adalah: “sejauh

mana
kemampuan profesionalisme dan kuatnya ide-ide praktis dari pejabat daerah
untuk mencapai administratif dan ekonomis dalam pelaksanaan otonomi
daerah.

3

C. KERANGKA TEORI
Hal–hal yang di kita bahas meliputi beberapa hal yaitu, meliputi:

1. Konsep Pelaksanaan Otonomi Daerah
2. Percepatan Otonomi Daerah
3. Tinjauan Konsep dan Implementasi Proses Perencaanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian
Pembangunan (P5D)
4. Upaya Meningkatkan Kualitas Perencanaan Pembangunan di Tingkat Desa
5. Institutional Building: Upaya Memberdayakan Pertanian dan Ekonomi Pedesaan

4

1. KONSEP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
1.Umum
Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah, adlah upaya memaksimalkan hasil yang
akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang mengambat pelaksanaan
otonomi daerah. Dengan demikian, tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan
penerapan otonomi daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan, serta
memelihara kesinambungan fiscal secara nasional.
2. Pengaturan Transisi
1. Kewenangan dan Kelembagaan
a. Semua unit dekonsentrasi (kanwil/unit lain yang terkait) yang berada dipropinsi,
statusnya dialihkan menjadi perangkat daerah propinsi, kecuali instansi vertical menurut

undang-undang nomor 22 tahun 1999.
b. Semua unit dekonsentrasi (kandep/cabang dinas propinsi/UPT propinsi, unit lain yang
terkait)
Yang berada dikabupaten dan kota, kecuali instansi vertical menurut undang-undang
nomor 22 tahun 1999
c. UPT pusat yang berada didaerah yang statusnya akan diatur kasus perkasus oleh instansi
terkait dipusat, dikoordinasikan oleh tim koordinasi kepres nomor 52 tahun 2000
d. Pada dinas propinsi dimungkinkan ada unit kerja dekosentrasi berada dibawahdan
bertanggungjawab kepada dinas propinsi
e. Ex.kanwil dimungkinkan menjadi dinas propinsi secara keseluruhan jika beban tugasnya
dianggap sangat luas dan tidak mungkin ditangani dinas tertentu yang sudah ada atau
karena tidak dimungkinkan dibentuk dinas yang menangani kewenangan otonomi karena
propinsi tidak memiliki kewenangan otonom untuk bidang yang dimaksud
f. Dinas propinsi dapat melaksanakan beberapa tugas-tugas unit dekonsentrasi dan unit
desentralisasi yang sejenis dapat dilebur menjadi dinas baru yang besar organisasinya
disesuaikan dengan kewenangan dan beban tugasnya
g. Dinas propinsi dapat melaksanakan beberapa tugas-tugas dekonsentrasi yang ruang
lingkupnya dan jenis pekerjaan yang berbeda.
h. Kewenangan /organisasi yang dapat menimbulkan konflik antara pemerintah, propinsi
dan kabupaten/kota dan belum terselesaiakan menjelang akhir tahun 2000, untuk

sementara (paling lama satu tahun anggaran) dijalankan pemerintah/propinsi atas
kesepakatan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah pusat, misalnya
pengaturan pengujian kendaraan bermotor
i. Penyatuan kelembagaan dan pembentukan lembaga baru dengan peraturan daerah.

5

2. Pegawai Negeri Sipil
a. Pengalihan pegawai yang tidak bereselon yang berasal dari unit dekonsentrasi harus
selambat-lambatnya pada akhir September 2012
b. Kabupaten /kota tidak diperbolehkan menolak perpindahan PNS yang statusnya
dipekerjakan atau diperbantukan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah propinsi
c. Perpindahan PNS secara fisik dari kanwil/dinas propinsi dikabupaten /kota, harus selesai
selambat-lambatnya bulan mei 2013. Petunjuk pelaksanaan akan diberikan oleh
pemerintah melalui tim koordinasi koppres nomor 52 tahun 2000
d. PNS yang bekerja atau akan bekerja di instansi propinsi di kabupaten/kota apapun status
kepegawaiannya akan dibayar dari APBD. Pemerintah tidak akan memberi subsidi dalam
bentuk apapun untuk belanja pegawai karena sudah termasuk dalam dana anggaran
umum (DAU).
e. Perpindahan pegawai dalam daerah kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota,

pemindahan pegawai antar kabupaten /kota dan antara daerah kabupaten/kota dan daerah
propinsi dilakukan oleh gubernur setelah berkonsultasi dengan bupati/walikota dan
pemindahan pegawai antar daerah kabupaten/kota dan daerah kabupaten/kota didaerah
propinsi lainnya ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah berkonsultasi dengan kepala
daerah.
f. Kantor BKN dibawah koordinasi menteri Negara penerbitan aparatur Negara
bertanggungjawab untuk melakukan pengaturan mutasi pegawai akibat pengalihan
instansi vertical.
3. Pelayanan Daerah
a. Bilamana pedoman,standar, norma dan prosedur yang menjadi kewajibanpemerintah
tidak dikeluarkan dalam waktu enam bulan sesudah peraturan pemerintah nomor 25
tahun 2000 diterbitkan maka daerah dapat melaksanakan kewenangan termasuk perizinan
dengan berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku
b. Tingkat pelayanan umum tetap dipertahankan pada kuantitas dan mutu sama seperti
sebelum penyerahan. Perubahan –perubahan dapat dilakukan sepanjang hal tersebut
merupakan “penambahan” atau “perbaikan”
c. Standar pelayanan minimal (SPM) untuk kewenangan wajib kabupaten/kota ditetapkan
oleh propinsi berdasarkan pedoman dari pemerintah. Penetapan SPM tersebut sudah
selesai selambat-lambatnya satu bulan setelah pedoman dikeluarkan oleh pusat.
4. Pengaturan Aset

a.
Aset yang berasal dari kanwil dialihkan menjadi asset daerah sesuai dengan
kewenangannya.
b. Asset yang berasal dari kandep/cabang dinas propinsi dialihkan menjadi asset daerah
sesuai dengan kewenangannya.
c. Asset yang berasal dari UPT departemen yang menjadi kewenangan daerah, statusnya
akan diatur kasus-perkasus
d. Pengaturan tentang BUMN, BUMD akan ditetapkan tersendiri.

6

5. Perimbangan Keuangan
a.
Pembiayaan kegiatan dekonsentrasi mencakup biaya administrasi, operasi
danpemeliharaan prasarana dan sarana yang diperlukan dalam rangka tugas-tugas
dekonsentrasi pada dinas atau unit kerja pada dinas dan menjadi beban APBN, menunggu
penjelasan dari departemen keuangan
b. Hal-hal lain yang berkaitan dengan perimbangan keuangan akan dijelaskan oleh
departemen keuangan.
6. Lain-lain

a. Pengaturan Desa
1. Pengaturan tentang desa sebagai tindak lanjut undang-undang nomor 22 tahun 1999
dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang sudah dikeluarkan menunggu
penetapan lebih lanjut
2. Pengaturan tentang BUMDES akan ditetapkan sendiri
3. Pengalihan desa menjadi kelurahan dapat dilakukan secara bertahap disesuaikan
dengan kondisi daerah masing-masing
4. Status kepala desa didesa yang beralih menjadi kelurahan akan ditetapkan dalam
peraturan tersendiri.
b. Koordinasi Pusat dan Daerah
Korordinasi pusat dengan daerah untuk tahap berikutnya akan dilaksanakan pada awal
oktober 2013
2. PERCEPATAN OTONOMI DAERAH
Percepatan pelaksanaanotonomi daerah sebagai implementasi undang-undang nomor 22
tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerahyang telah bergulir di daerah. Banyak
harapan yang dimungkinkan dari penerapan otonomi daerah, seiring dengan itu tidak sedikit pula
masalah, tantangan dan kendala yang dihadapi oleh daerah.
Otonomi daerah ini merupakan fenomena politis yang sangat dibutuhkan dalam eraglobalisasi dan demokrasi, apalagi jika dikaitkan dengan tantangan masa depan memasuki era
perdagangan bebas yang antara lain ditandai dengan tantangan masa depan memasuki era

perdangan bebas yang antara lain ditandai dengan tumbuhnya berbagai bentuk kerja sama
regional, perubahan pola atau system informasi global.
Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh
kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah.pemerintahan
daerah diharapkan mampu memainkan perananya dalam membuka peluang mamajukan daerah
dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan
belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efisien, efektif termasuk kemampuan perangkat

7

daerah meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun
kepada public/masyarakat.
Perkembangan situasi yang terjadi, perubahan system pemerintahan berupa penerapan
otonomi daerah yang telah digulirkan pada tanggal 1 januari 2001, serta reorganisasi institusi
pemerintahan, mengharuskan pemerintah pusat menyelaraskan semua kegiatan pemerintah
sesuai dengan perkembangan di lapangan, dengan memperhatikan kapasitas daerah meliputi
kapasitas individu, kelembagaan dan system yang telah dimiliki oleh daerah.

3. TINJAUAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI PROSES PERENCANAAN,
PELAKSANAAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN

Konsep dan Proses
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 9 tahun 1982,
pelaksanaan pembangunan daerah dilaksanakan melalui suatu proses yang relatif baku yaitu
Proses Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan (P5D). Proses P5D dimulai
dari tingkat bawah (masyarakat) dalam bentuk Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes),
yang kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di
tingkat Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten, Rakorbang
Propinsi, dan berakhir dengan Rakorbang Nasional.
Praktek Pelaksanaan P5D
Mekanisme P5D, secara konsepsual telah mencoba melibatkan masyarakat semaksimal
mungkSin, dan mencoba memadukan perencanaan dari masyarakat (Bottom up planing) dengan
perencanaan Dinas/Instansi sektoral (Top down planning). Akan tetapi, dari berbagai literatur dan
hasil penelitian (P3P Unram, 2001; Siregar, 2001, Team Work Lapera, 2001; Hadi, Hilyana dan
Hayati, 2003) diperoleh gambaran bahwa implementasi perencanaan pembangunan selama ini
belum partisipatif seperti konsep dan kebijakan yang dikembangkan Pemerintah.
Perencanaan dari atas lebih mendominasi hasil perencanaan. Namun dalam pelaksanaan
program-program pembangunan, sebagian besar anggota masyarakat terlibat aktif, baik sebagai
pelaksana maupun penerima manfaat. Sedangkan dalam pengawasan hasil-hasil pembangunan
desa, keterlibatan masyarakat sangat kecil.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari
atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak. Masyarakat
hanya sekedar objek pembangunan yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belum menjadi
subyek pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi inisiator (sumber
bertindak).
Mekanisme perencanaan P5D cenderung menjadi ritual, menjadi semacam rutinitas
formal, tidak menyentuh substansi dan kehilangan makna hakikinya. Pelaksanaan Musbangdes
terkesan hanya seremonial, sehingga masyarakat merasakan kejenuhan mengikuti Musbangdes.

8

Hasil penelitian P3P Unram (2001) menemukan bahwa usulan masyarakat dalam Musbangdes
hanya sebagian kecil yang terakomodir dalam forum perencanaan supra desa. Keterwakilan
masyarakat dalam forum-forum perencanaan yang ada sangat kurang.
Hal ini karena peserta musyawarah dalam forum perencanaan yang dilaksanakan lebih
didasarkan pada keterwakilan yang bersifat formal, sehingga susunan pesertanya didominasi para
birokrat dan unsur lembaga formal. Dari sisi perencanaan jangka menengah dan jangka panjang,
Pemerintah Kabupaten/Kota telah memiliki berbagai dokumen perencanaan (seperti Program
Pembangunan Lima Tahun Daerah/Propeda, Rencana Strategis/Renstra, dan Rencana Umum
Tata Ruang Wilayah/RUTRW) dan seharusnya menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana
Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Akan tetapi dokumen-dokumen perencanaan tersebut tidak tersosialisasikan, sehingga hal
ini mengakibatkan perencanaan dilaksanakan tanpa perspektif yang jelas. Seringkali terjadi
Repetada sebagai pedoman mengenai arah dan kebijaksanaan penyusunan program dan proyek
disusun setelah RAPBD disyahkan sehingga kehilangan fungsi substansifnya. Sementara itu,
menurut Asmara (2001) komitmen dan orientasi pelanggan (public driven) dalam sistem
programming sektoral, belum mantap. Hal ini karena budaya birokrasi berdasarkan prinsipprinsip pemerintahan yang baik seperti akuntabilitas, responsibilitas dan transparansi dalam
penyelenggaraan kepentingan publik belum melembaga dengan baik. Akibatnya jaminan
pengakomodasian usulan dari bawah sangat kurang.
4.

UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI
TINGKAT DESA

Paradigma lama pembangunan perdesaan pada masa sebelum era otonomi adalah
bagaimana melaksanakan program-program pemerintah yang datang dari atas. Program
pembangunan desa lebih banyak dalam bentuk proyek dari atas, dan sangat kurang
memperhatikan aspek keberlanjutan pembangunan desa dan partisipasi masyarakat. Sebagian
besar kebijakan Pemerintah bernuansa “top-down”, dominasi Pemerintah sangat
tinggi, akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi
masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan desa, dan tidak banyak
mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal. Kurang terakomodirnya perencanaan dari
bawah dan masih dominannya perencanaan dari atas, menurut Asmara, H., (2001) adalah karena
kualitas dan hasil perencanaan dari bawah lemah, yang disebabkan beberapa faktor antara lain :
(1) Lemahnya kapasitas lembaga-lembaga yang secara fungsional menangani perencanaan;
(2) Kelemahan identifikasi masalah pembangunan;
(3) Dukungan data dan informasi perencanaan yang lemah;
(4) Kualitas sumberdaya manusia khususnya di desa yang lemah;
(5) Lemahnya dukungan pendampingan dalam kegiatan perencanaan, dan
(6) Lemahnya dukungan pendanaan dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan khususnya di
tingkat desa dan kecamatan.

9

Untuk mengatasi lemahnya kualitas dan hasil perencanaan dari bawah, Pemerintah pada
pertengahan tahun 1990-an memperkenalkan metode Perencanaan Partisipatif Pembangunan
Masyarakat Desa (P3MD) dengan memberikan pelatihan dan buku panduan kepada LKMD, dan
mengangkat pemandu untuk memfasilitasi proses Musbangdes. Metode P3MD ini nampaknya
dimaksudkan untuk memberdayakan LKMD sebagai refresentasi lembaga perencanaan
pembangunan di tingkat desa.
a. Revitalisasi dan Penguatan Lembaga Perencanaan Desa
Penguatan kelembagaan perencanaan di tingkat desa dimulai dengan merevitalisasi
LKMD sebagai lembaga yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Desa
dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di bidang
pembangunan. Sejauh mana peran dan fungsi yang dimainkan LKMD dalam proses perencanaan
pembangunan selama ini.
Konsep tentang LKMD sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun
1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa tidak sesuai lagi dengan semangat Otonomi Daerah, oleh karena itu
perlu ditata kembali sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam mendukung upaya revitalisasi
LKMD, pemerintah telah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tentang
Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Atau Sebutan Lain. Dalam Keppres No. 49/2001
tersebut dinyatakan bahwa LKMD atau sebutan lain mempunyai tugas :
(1) menyusun rencana pembangunan yang partisipatif;
(2) menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat; dan
(3) melaksanakan dan mengendalikan pembangunan.
Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, LKMD atau sebutan lain mempunyai fungsi :
(1) menanam dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat desa;
(2) mengkoordinir perencanaan pembangunan;
(3) mengkoordinir perencanaan lembaga kemasyarakatan;
(4) merencanakan kegiatan pembangunan secara partisipatif dan terpadu; dan
(5) menggali dan memanfaatkan sumber daya kelembagaan untuk pembangunan desa.
b. Pendampingan dalam Proses Perencanaan
Dari hasil on the job training yang dilakukan P3P Unram (2001) ditemukan bahwa
karena dominannya perencanaan dari atas, masyarakat desa mengalami kegamangan saat
melakukan perencanaan partisipatif dari bawah. Masyarakat mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi potensi yang ada di Desa/ Kelurahan, serta mengidentifikasi permasalahan dan
kebutuhan pembangunan. Untuk itu sangat dibutuhkan bantuan pendampingan dalam proses
penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan. Dalam upaya menumbuhkan dan
mengembangkan partisipasi masyarakat, diperlukan fasilitator, penggerak atau agen
pembangunan (development agent), yang berperan sebagai :
(Ditjen PMD, 1996; Siregar, 2001).

10

(1) Katalisator yang menggerakkan masyarakat agar mau melakukan perubahan,
(2) Membantu pemecahan masalah,
(3) Membantu penyebaran inovasi, serta memberi petunjuk bagaimana mengenali dan
merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan, mendapatkan
sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan
(4) Menghubungkan dengan sumber-sumber yang diperlukan.
Prinsip yang harus dikembangkan fasilitator di tingkat desa adalah membudayakan warga
desa memikirkan desanya dan atau pembangunan desanya. Fasilitasi yang dapat dilakukan
adalah dengan membantu masyarakat dalam :
(a) Perumusan masalah yang dihadapi oleh masyarakat sendiri sebagai input dalam proses
perencanaan pembangunan desa, dan
(b) Pengenalan potensi yang dimiliki masyarakat. Berbagai metode partisipatif dapat digunakan,
seperti metode Participatory Rural Appraisal (PRA), Ziel Orientierte Projekt Planung
(ZOPP), SWOT Analysis, dan lain sebagainya, atau penggabungan berbagai metode
perencanaan partisipatif yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi desa setempat.
Titik kritis peran pendamping yang harus dihindari adalah timbulnya “outsider bias” karena
fasilitator memerankan diri sebagai orang luar, dan pendampingan jangan sampai menciptakan
ketergantungan daripada menciptakan kemandirian.
c. Menuju Pembangunan Desa yang Partisipatif dan Berkelanjutan
Pemasalahan pembangunan desa, termasuk lemahnya kelembagaan desa mengharuskan
perlunya pemikiran kembali terhadap pendekatan yang pernah dilakukan selama ini. Pendekatan
top-down, dan mencuatnya ego sektoral membuat setiap Dinas/Instansi melakukan kegiataannya
secara sendiri-sendiri tanpa adanya komunikasi dan koordinasi yang jelas antar stakeholders.
Dengan dasar tersebut, maka untuk peningkatan efektifitas pembangunan desa berkelanjutan dan
termasuk kelembagaan diperlukan keterpaduan kerja dari semua pihak yang terkait.
Koordinasi dan kerjasama yang efektif akan bermanfaat tidak saja dalam menyatukan visi
dan mengintegrasikan missi, tetapi juga dalam mengatasi adanya duplikasi pelayanan,
pemborosan dana, jurang (gap) pelayanan, serta aksesibilitas dan ketersediaan pelayanan.
Koordinasi dan kerjasama antar stakeholders akan membantu proses konvergensi dan divergensi
sumberdaya bagi proses pembangunan pedesaan. Untuk itu, dalam perencanaan desa hendaknya
juga dikembangkan struktur partisipasi dan pemberdayaan bagi masing-masing stakeholders.
Setiap stakeholder dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, implementasi, evaluasi, dan
berbagi hasil, yang pada gilirannya melahirkan komitmen dan tanggung jawab.
Pemerintahan desa yang otonom akan dapat diwujudkan apabila programprogram
pembangunan dari atas tidak mengedepankan ego sektoral dan Dinas/Instansi menempatkan
pemerintah desa “saluran” program-program sektoral. Semua programprogam
pembangunan, bantuan/dukungan teknis dan pendanaan, baik dari

11

Dinas/Instansi Pemerintah, Swasta, LSM dan lembaga-lembaga lainnya harus melalui
Pemerintahan Desa yang kemudian bersama-sama masyarakat melalui LKMD akan
menyesuaikan dengan program pembangunan desa. Dalam pelaksanaannya, Badan Perwakilan
Desa (BPD) harus melaksanakan fungsi legislasi dan kontrol dalam kedudukan sebagai mitra
pemerintahan desa. Apabila mekanisme yang aspiratif dan partisipatif ini dapat dikembangkan
dalam kerangka pembangunan desa berkelanjutan, maka tujuan pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan dapat tercapai.
5. INSTITUTIONAL BUILDING:UPAYA MEMBERDAYAKAN PERTANIAN DAN
EKONOMI PERDESAAN
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian (agribisnis) masa mendatang adalah sejauh
mungkin mengatasi masalah dan kendala kritikal yang sampai sejauh ini belum mampu
diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang
sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) selama ini belum
disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Petani
sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang rasional sesuai skala
usaha tani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu persoalan membangun
kelembagaan (institution) di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakin
penting agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya menyangkut on farm
business saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm agribussinessnya.
Jika ditelaah, walaupun telah melampui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional, saat ini
sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi petani di dalam mengembangkan
kegiatan usaha produktifnya, yaitu:
 Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources), seperti
keterbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana penunjang
kegiatan produktif lainnya;

 Produktivitas dan tenaga kerja yang relative rendah (productive and remunerative
employment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi, keterampilan dan
pengelolaan sumberdaya yang effisien;
 Perasaan ketidak merataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to services) sebagai
akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya lembagalembaga social
(social capital) dari bawah;
 Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang dihadapi dalam
menciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan lingkungan.

12

Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpang pendapatan dalam
pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak hanya
dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengan kelembagaan,
seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan tanah
mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih
tinggi. Manfaat dari program-program pembangunan pertanian di perdesaan yang datang dari
“atas” tampaknya hanya jatuh pada kelompok pemilik tanah, sebagai lapisan atas dari
masyarakat desa.
Sebagai contoh, program kredit dengan jaminan tanah serta bunga modal, subsidi paket
teknologi, teknologi produksi, bahkan control terhadap distribusi pengairan dan pasar local juga
dilakukan oleh kelompok ini. Dilain pihak, pelaksanaan perubahan seperti landreform, credit
reform dan sebagainya yang memang secara substansial diperlukan sebagai suatu cara
redistribusi asset masih merupakan isyu yang kurang populer. Berbagai langkah terobosan
sebagai suatu upaya kelembagaan guna memecahkan permasalahan di atas yang dikembangkan
seperti pengembangan sistem usahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali
belum memecahkan problem substansial yang oleh Boeke diungkapkan sebagai “dualisme”.
Dari
pada
itu,
karakteristik
perdesaan
seringkali
ditandai
dengan
pengangguran,produktivitas dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan kemiskinan.
Masalah-msalah pengangguran, setengah pengangguran dan pengangguran terselubung menjadi
gambaran umum dari perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama, terjadi pula produktifitas
yang rendah dan kurangnya fasilitas pelayanan penunjang. Rendahnya produktifitas merupakan
ciri khas di kawasan perdesaan.
Pada umumnya, sebagian besar petani dan para pengelola industri perdesaan, bekerja
dengan teknologi yang tidak berubah. Investasi modal pada masa sebelum krisis lebih banyak
diarahkan pada industry perkotaan daripada di sektor pertanian perdesaan. Sebagai
konsekuensinya, perbedaan produktifitas antara petani perdesaan dengan pekerja industri
perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini merupakan masalah yang banyak dibicarakan
dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, pertanian dan bukan pertanian.
Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan informasi terutama untuk petani pada
kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang terdapat
kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinya pencemaran
lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak tertampung dan tanpa
keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan
sebagainya.
Manfaat teknologipun seringkali masih dirasakan lebih banyak dinikmati pemilik aset
sumberdaya (tanah) sehingga pada gilirannya justru menjadi penyabab utama dalam
mempertajam perbedaan pendapatan dan mempercepat polarisasi dalam berbagai bentuk.
Perasaan ketidak-amanan dan kekurang-adilan akibat berbagai kebijakan dan kebocoran
(misalnya kasus impor illegal, damping, pemalsuan dan ketiadaan saprotan, keracunan

13

lingkungan, jatuhnya harga saat panen dan lainnya) seringkali menjadi pelengkap rasa tidak
percaya diri (dan apatisme berlebihan) pada sebagian petani.
Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pertanian dan
perdesaan seperti diuraikan disini, menunjukan bahwa inti esensi dari proses pembangunan
pertanian dan perdesaan adalah transformasi structural masyarakat perdesaan dari kondisi
perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaan berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan
bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari struktur ekonomi perdesaan yang terkait erat dengan
sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa nasional dan global.
Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan agribisnis
yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama
skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan semacam
itu sangat (baca: mutlak) diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan
pengembangan agribisnis yang beriorentasi ekonomi kerakyatan keadilan, dan sekaligus
meningkatkan daya saing dalam iklim “kebersamaan” pelakupelaku ekonomi lainnya.
Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong
terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampu meningkatkan posisi petani menjadi bagian
dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baik dalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi,
korporasi (community corporate) ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini
akan dapat menjadi nilai (value) baru, semangat baru bagi petani untuk terutama dapat
melonggarkan keterbatasan-keterbatasannya, seperti akses terhadap sumberdaya produktif
(terutama lahan), peningkatan produktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan,
serta meningkatkan rasa percaya diri akan lingkungan yang aman, adil dan transparan.
Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya bukanlah
mudah dan sederhana. Sebagai suatu rules atau nilai dan semangat baru dalam pembangunan
pertanian ke, depan seyogyanya mengandung berbagai ciri pokok dan mendasar. Pertama, upaya
kelembagaan tersebut diharapkan menjadi pendorong terciptanya the same level playing field
bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturan main” yang fair, transparent,
demokratis dan adil. Kedua, upaya kelembagaan tersebut mampu mendorong peningkatan basis
sumberdaya, produktivitas, efisiensi dan kelestarian bagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian,
yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

D. PENUTUP

14

Menghadapi tuntutan otonomi daerah yang harus dimanifestasikan dalam bentuk
kesiapan aparat serta seluruh stakeholders pembangunan dalam pengelolaan pembangunan
daerah, diperlukan suatu proses yang transparan dan dapat dipertanggung jawabkan dalam
penentuan kebijakan dan berbagai pengambilan keputusan publik, sehingga aspirasi masyarakat
dapat tercermin dalam pelaksanaan pembangunan.
Pelaksanaan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan melalui proses P5D,
secara konseptual telah mencoba melibatkan masyarakat semaksimal mungkin tetapi dalam
kenyataannya menghadapi berbagai kendala sehingga diperlukan revisi dan pengembangan pola
perencanaan pembangunan yang partisipatif, responsif, transparan, dan akuntabel.
Pola perencanaan pembangunan partisipatif tetap mengikuti alur perencanaan yang sudah
ada dengan mengadopsi konsep keterpaduan P5D, namun dengan memberikan penekanan pada :
pelibatan partisipasi aktif semua peserta forum musyawarah perencanaan, meningkatkan bobot
keterwakilan masyarakat dalam forum perencanaan, meningkatkan pengakomodasian usulan dari
bawah dalam program Dinas sektoral. Agar dapat terakomodir, maka usulan dari bawah harus
memiliki ketajaman prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk itu diperlukan revitalisasi dan penguatan lembaga perencanaan desa, dan
memberikan bantuan pendampingan dalam proses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan
Kecamatan, serta perlu dilakukan desiminasi dokumen Rencana Pembangunan Daerah (Poldas,
Renstra, Repetada) sampai kepada masyarakat desa untuk memberi arah dalam penyusunan
perencanaan masyarakat.
D.1 Kesimpulan
Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa percepatan penanggulangan problematika
di pedesaan, seperti salah satu contoh masalah kemiskinan, pertanian dan ekonomik pedesaan.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang
bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya
lokal. Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri
akan sulit berhasil.
Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun gamang
pada awalnya, diyakini nanti akan berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan adalah
konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang memberdayakan
tersebut. Maka disarankan agar program-program penanggulangan problematika pedesaan ke
depan mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif demi mamajukan pertanian
dan ekonomi pedesaan bersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri.

D.2 SARAN

15

Hasil-hasil kajian Pusat P3MD dalam memberdayakan LKMD sebagaimana
dikemukakan secara ringkas di atas merupakan masukan yang baik bagi pemerintah untuk lebih
meningkatkan ketajaman program-program perencanaan desa demi meningkatkan pertanian dan
ekonomi desa yang sedang direncanakan. Ke depan, pemerintah perlu melakukan dialog-dialog
yang lebih mendalam dengan berbagai pelaku pemberdayaan masyarakat seperti LSM dan
perguruan tinggi untuk mendapatkan masukan-masukan aktual bagi perencanaan strategi
pembangunan yang partisipati.
Dalam rangka meningkatkan komunikasi antara pemerintah dengan berbagai komponen
masyarakat yang terkait dengan upaya-upaya pemberdayaan perencanaan partisipatif
pembangunan masyarakat desa (P3MD), maka mungkin perlu menyebarluaskan hasil-hasil
kajian seperti yang dihasilkan oleh Pusat LKMD ini.

DAFTAR PUSTAKA
Wijaya, HAW. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta. PT.Raja grafindo persada. 2002
HS. Dillon, “Paradigma Ekonomi yang Pro-Kaum Miskin dan Pro-Keadilan: Belajar Dari
Pelajaran Masa Lalu”. Juni 2001
Asmara, Lalu Hajar., 2001. Mencari Format Perencanaan Pembangunan yang Aspiratif Untuk
Mendukung Implementasi Otonomi Daerah.
Hadi, A.P., Hilyana, dan Hayati, 2003. Revitalisasi Kelembagaan Petani dan Masyarakat
Perdesaan Melalui Pemberdayaan Kelompok Lokal Dalam Kerangka Pembangunan Desa
Berkelanjutan. Laporan Penelitian Tahun Pertama Hibah Bersaing Perguruan Tinggi XI.
Mataram : Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
Team Work Lapera, 2001. Politik Pemberdayaan Jalan Mewujudkan Otonomi Desa.
Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.
http://emperordeva.wordpress.com/about/pemberdayaan-masyarakat-miskin-di-era-otonomidaerah/
http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/