Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN Pembentukan Citra Satuan Polisi Pamong Praja (Studi Komunikasi Eksternal Kegiatan Satpol PP Kabupaten Wonogiri Tahun 2013).

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberitaan terkait sepak terjang Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP dapat kita jumpai baik di media cetak maupun televisi. Dengan gerak langkah Satpol PP yang tidak pernah luput dari perhatian publik, citra yang terbentuk di benak masyarakat atas sepak terjang aparat Satpol PP sangat jauh dari sosok ideal, yang sejatinya menggambarkan aparatur pemerintah daerah yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat. Penggusuran pedagang kaki lima oleh Satpol PP tidak jarang memakan korban baik yang bersifat material yaitu dengan rusaknya tempat jualan maupun gerobak yang diangkut maupun korban fisik dengan terjadinya berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota Satpol PP terhadap para pedagang kaki lima. Kericuhan dan bentrok fisikpun tidak jarang menjadi bumbu penyedap setiap diadakannya penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP. Satpol PP kerap kali digambarkan sebagai sosok aparat yang kasar, arogan, penindas rakyat kecil dan tidak berprikemanusiaan. Apakah memang benar demikian? Sebaiknya kita jangan terlalu cepat memberi penilaian sebelum mengenal lebih dekat tentang Satpol PP. Ketentuan Pemerintah tentang Satpol PP terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010, Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya 1 2 disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Peraturan Daerah Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah KabupatenKota. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sehingga antar daerah bisa saja memiliki nama, organisasi, dan tata kerja yang berbeda-beda. Trisantono, 2001:45 Melihat proses panjang perjalanan keberadaan Satpol PP, tindak kekerasan yang dikedepankan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya merupakan warisan kolonial yang membentuk watak kolonialisme diperparah dengan militerisme yang sejak dulu sudah menjangkit di tubuh kelembagaan nya. Ironisnya, cara-cara lama militerisme masih saja dikedepankan dalam konteks kekinian. Padahal seharusnya cara-cara tersebut sudah usang dan harus segera ditinggalkan. Maka dalam konteks demokrasi saat ini mungkin perlu dilakukan upaya restrukturisasi dan reformasi di tubuh atau internal Satpol PP. Hal ini dikarenakan pola penertiban yang selama ini dikedepankan selalu menggunakan cara-cara yang arogan dan sarat dengan kekerasan, terutama kepada rakyat kecil. Trisantono, 2001:33 Munculnya perspektif negatif di mata masyarakat berkaitan dengan keberadaan Satpol PP ini bukan tanpa alasan, karena berdasarkan fakta di lapangan banyak oknum aparat Satpol PP bertindak semaunya bahkan 3 cenderung berbau pelecehan. Maka sudah menjadi wacana umum ketika orang ditanya tentang Satpol PP, maka kata pertama yang diucapkan adalah “Ketentraman dan Ketertiban TRAMTIB” yang kerap kali digambarkan sebagai sosok aparat yang kasar dan arogan, tukang garuk PKL dan PSK. Berkaitan dengan PKL dan PSK memang menjadi fenomena tersendiri yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Satpol PP, mungkin ini merupakan dampak dari pemfungsian Satpol PP yang baru sebatas itu. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Satpol PP tidak selamanya buruk, karena keberadaannya sangat dibutuhkan untuk menjalankan peraturan daerah. Artinya keberadaan Satpol PP masih dibutuhkan dalam perspektif pemerintah daerah sebagai eksekusi Perda. Trisantono, 2001:60 Pandangan negatif tentang Satpol PP diarahkan maasyarakat hampir di semua daerah di Indonesia. Tidak terkecuali untuk Satpol PP Kabupaten Wonogiri, sering pandangan negatif diarahkan kepada mereka dalam rangka menciptakan ketertiban. Untuk itu Satpol PP Wonogiri harus terlebih dahulu melakukan perbaikan dalam tubuh sendiri untuk menepis citra negatif itu. Prestasi, disiplin, dedikasi, loyalitas yang tinggi adalah mutlak dimiliki oleh seorang anggota Satpol PP. Citra yang selama ini melekat dalam tubuh Satpol PP, seperti Pegawai Negeri Sisa, kasar, arogan, penindas rakyat kecil atau apapun sebutannya yang berbau negatif harus segera dienyahkan. Dalam proses pembentukan citra harus selalu ada subjek dan objek, karena dalam hal ini Satpol PP Kabupaten Wonogiri diperankan sebagai subjek, maka konsekuensinya harus siap berhadapan dengan objek, baik sesama PNS maupun dengan masyarakat, termasuk resiko menjadi orang yang dibenci dan tidak jarang pula berakhir dengan adu mulut atau bentrokan fisik. 4 Menyikapi segala pandangan negatif tentang keberadaan Satpol PP, tentunya Satpol PP Kabupaten Wonogiri mempunyai kegiatan komunikasi untuk bisa membentuk citra positif Satpol PP di mata masyarakat Wonogiri. Maka dari itu, dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji bagaimana Strategi Satpol PP Kabupaten Wonogiri dalam pembentukan citra Satpol PP Kabupaten Wonogiri di mata masyarakat kota Wonogiri. Apa yang kemudian dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Wonogiri untuk kemudian memperbaiki citranya di mata masyarakat.

B. Perumusan Masalah