ANALISIS KEBIJAKAN DALAM MENGATASI KEMACETAN DI JALAN PROTOKOL KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRACT

AN ANALYSIS POLICY OF COPING CONGESTION THE ROAD PROTOCOL IN BANDAR LAMPUNG CITY

By

NIKE IRAWATI BUTARBUTAR

Policy in addressing congestion in Bandar Lampung city is directed to the creation of smooth traffic, road congestion problem in the city of Bandar Lampung protocol road resulting capacity is not enough roads to accommodate the traffic demand intensity caused the higher growth vehicle . The purpose of this study is to investigate and analyze the appropriate and effective policies to tackle congestion on the main streets of Bandar Lampung city .

This type of research is qualitative. Data was collected through interview and documentation. Data analysis was conducted qualitatively, with the stage of data reduction, data display, and verification. Validity of the data was tested with data triangulation.


(2)

2 Based on the research and discussion that the main cause temporary congestion during peak hours which is the width of the limitations of the protocol roads in Bandar Lampung city and irregularity transportation systems , traffic systems and system activities in the city of Bandar Lampung is influenced by the density of vehicles during rush hour and increased activity to the downtown community . There is a road widening construction policy evaluation protocol implemented on Kartini street, Raden Intan street, Sudirman street, Imam Bonjol street, Z.A Pagar Alam street, Ahmad Yani street, Diponegoro street, Teuku Umar street effective but still find weaknesses that led to the concentration of vehicle activity on the road widened . Appropriate and effective policies to reduce congestion in the city of Bandar Lampung protocol that development policies and plans regarding the widening of Bandar Lampung protocol to be implemented in Pemuda II street, Urip Sumoharjo street, P. Antasari street, Sultan Agung street was based on the concept of attraction of people passing over. The policy impact of the protocol is to increase the economic impact that the use of the fuel energy is not wasted, influence the spatial structure of Bandar Lampung city and also to reduce the activity focused the only vehicle on the road has been widened protocol previously .


(3)

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN DALAM MENGATASI KEMACETAN DI JALAN PROTOKOL KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

NIKE IRAWATI BUTARBUTAR

Kebijakan dalam mengatasi kemacetan di Kota Bandar Lampung diarahkan untuk terciptanya kelancaran lalu lintas, masalah kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung yang disebabkan daya tampung ruas jalan yang tidak cukup untuk mengakomodasi intensitas permintaan lalu lintas yang disebabkan semakin tingginya pertumbuhan kendaraan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan yang tepat dan efektif dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.

Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kualitatif, dengan tahapan reduksi data, penyajian data (display) dan verifikasi data (penarikan kesimpulan). Keabsahan data diuji dengan triangulasi data.


(4)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa penyebab utama kemacetan yang bersifat temporer yaitu pada saat jam sibuk adalah keterbatasan lebar ruas jalan protokol Kota Bandar Lampung dan ketidak teraturan sistem transportasi, sistem lalu lintas maupun sistem aktivitas di Kota Bandar Lampung yang dipengaruhi oleh padatnya kendaraan pada jam sibuk dan peningkatan aktivitas masyarakat ke pusat kota. Terdapat evaluasi kebijakan pembangunan pelebaran jalan protokol yang dilaksanakan pada Jl. Kartini, Jl. Raden Intan, Jl. Jenderal Soedirman, Jl. Imam Bonjol, Jl. Z.A Pagar Alam, Jl. Ahmad Yani, Jl. Diponegoro, Jl. Teuku Umar efektif tetapi masih menemukan kelemahan yaitu menyebabkan terkonsentrasinya aktivitas kendaraan pada jalan yang dilebarkan. Kebijakan yang tepat dan efektif dapat mengurangi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung yaitu rencana mengenai kebijakan pengembangan dan pelebaran jalan protokol Kota Bandar Lampung yang akan dilaksanakan pada Jl. Pemuda II, Jl. Urip Sumoharjo, Jl. P. Antasari, Jl. Sultan Agung didasarkan pada konsep lebih tertariknya masyarakat melewati jalan protokol Dampak kebijakan ini berpengaruh dengan peningkatan ekonomi yaitu pemakaian terhadap energi bahan bakar tidak sia-sia, berpengaruh terhadap tata ruang Kota Bandar Lampung dan juga untuk mengurangi terfokusnya aktivitas kendaraan hanya pada jalan protokol yang telah dilebarkan sebelumnya.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, pembangunan jalan diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa (orang) yang aman, nyaman, dan berdaya guna. Kualitas jalan yang baik akan memberikan standar pelayanan yang baik dalam pelayanannya yang meliputi aspek aksesibilitas (kemudahan pencapaian), mobilitas, kondisi jalan, keselamatan, dan kecepatan tempuh rata-rata. Kualitas jalan yang baik juga mendukung dalam mengatasi masalah kemacetan lalu lintas yang saat ini menjadi masalah besar di kota-kota berkembang atau kota maju, yang berdampak pada tanggapan masyarakat terhadap kualitas public good yang diberikan pemerintah yang pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan fisik kawasan perkotaan.

Pada saat ini infrastruktur jalan masih bersifat sebagai pure public good, dengan dua ciri pokok yaitu non-rivalry (masyarakat pengguna tidak saling bersaing) dan non-excludable (siapapun dapat menggunakannya, tidak hanya sekelompok masyarakat tertentu). Pada tahap selanjutnya akan berkembang menjadi semi public good (sudah mulai bersaing). Dunn (2000:441) menegaskan bahwa jalan


(6)

raya merupakan barang publik yang bersifat kolektif (dapat dikonsumsi semua orang). Sebagai produk dari kebijakan publik, pembangunan jalan raya harus diorientasikan seoptimal mungkin bagi kepentingan publik.

Data empiris menunjukkan hubungan yang kuat antara ketersediaan infrastruktur dasar dengan ketersediaan dana di berbagai daerah. Permintaan terhadap pelayanan infrastruktur akan meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Permasalahannya justru peningkatan permintaan diimbangi dengan penurunan kemampuan pemerintah. Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Kota sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan fasilitas public good kepada masyarakat.

”Terkait dengan fungsi jalan, tujuan tersebut mengharuskan Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan terhadap pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta tuntutan profesionalitas dan manajemen terhadap penyediaan public good yaitu jalan. Format sederhananya adalah pelebaran jalan, bangun sistem angkutan umum massal dan sarana-prasarananya, penataan kembali perparkiran, fasilitas pejalan kaki, pembuatan jalan utama yang baru, pembangunan fly over sesuai UU No. 22 Tahun 2009” (sumber: http://www.radarlampung.co.id/read/opini/19369-memecah-kemacetan-kota diunduh hari Rabu tanggal 30 Januari 2013 jam 20:57).

Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, tidak menutup kemungkinan Kota Bandar Lampung mengalami kemacetan fatal. Penduduk yang padat akan menimbulkan aktivitas masyarakat yang tinggi yang berdampak terhadap timbulnya kemacetan. Data kependudukan Bandar Lampung berdasarkan sensus 2010 sebanyak 881.801 jiwa, maka Bandar Lampung memiliki kepadatan penduduk 4.471 jiwa/km².


(7)

Tabel 1. Data Kependudukan Kota Bandar Lampung Tahun 2010

NO Tahun Jumlah Penduduk

1 1971 198.427 jiwa

2 1980 284.275 jiwa

3 1990 636.418 jiwa

4 2000 743.109 jiwa

5 2010 881.801 jiwa

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2010

Kota Bandar Lampung termasuk dalam kategori Central Bussines District (CBD). Tingkat pelayanan di pusat kota (CBD) dapat menurun yang disebabkan karena semakin jauhnya jarak pelayanan yang harus dicapai, dan menurunnya fungsi pusat pelayanan kota itu sendiri yang dikarenakan adanya kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu-lintas (congestion) pada ruas jalan raya terjadi apabila kapasitas jalan tetap sedangkan jumlah pemakai jalan terus meningkat, yang menyebabkan waktu tempuh perjalanan menjadi lebih lama. Kemacetan lalu-lintas (congestion) pada ruas jalan raya terjadi saat arus lalu-lalu-lintas kendaraan meningkat seiring bertambahnya permintaan perjalanan pada suatu periode tertentu serta jumlah pemakai jalan melebihi dari kapasitas yang ada (Meyer, 1984:1).

Kota Bandar Lampung sebagai Ibukota Provinsi Lampung secara otomatis menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, perekonomian sehingga memerlukan suatu jaringan jalan dalam kota yang baik. Hasil survei Bidang Perencanaan dan Pengendalian Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung menunjukkan, hingga akhir 2011, hanya 206.05 km ruas jalan milik pemkot yang kondisinya baik, 526.48 km rusak ringan, 965.48 km rusak sedang, dan 16.07 km rusak berat. Hasil survei tersebut dikutip dalam LHP BPK Nomor


(8)

58/LHP/XVIII.BLP/12/2011 tentang Belanja Infrastruktur Kota Bandar Lampung. Secara keseluruhan panjang jalan Kota Bandar Lampung berjumlah 1.353.641 km terdiri dari jalan lingkungan sepanjang 453.321 km dan jalan kota sepanjang 900.32 km dengan rincian sebagai berikut 406.250 km dalam keadaan baik 409.350 km dalam kondisi sedang, 45.095 km dalam kondisi rusak, 25.457 km dalam kondisi rusak berat.

Tabel 2. Keadaan dan Panjang Jalan Di Kota Bandar Lampung Kondisi

Jalan

Panjang Jalan (km)

2009 2010 2011

Baik 404.243 km 407.750 km 406.250 km

Sedang 406.740 km 407.250 km 409.350 km

Rusak 41.414 km 41.414 km 45.095 km

Rusak Berat 25.200 km 26.100 km 25.457 km Tidak Dirinci 22.723 km 19.110 km 14.168 km Jumlah 900.320 km 900.320 km 900.320 km Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung, 2012

Pendekatan empiris yang menitikberatkan pada pembangunan fisik seperti pembangunan jalan raya. Isu pokok dari pendekatan ini adalah masalah kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung yang makin serius dan ketidakmampuan jaringan jalan yang ada (daya tampung ruas jalan yang tidak cukup) untuk mengakomodasi intensitas permintaan lalu lintas yang semakin tinggi (pertumbuhan pengembangan jaringan jalan lebih rendah dari pertumbuhan kendaraan). Akibatnya, kemacetan lalu lintas yang sering terjadi yang terlihat jelas dalam bentuk antrian panjang. Hal tersebut jelas menimbulkan kerugian yang besar bagi pemakai jalan, pemborosan waktu, kesehatan, kenyamanan, dan bahan bakar dan juga terhadap tingkat perekonomian. Kemudian lahir suatu metode yang digunakan dalam kebijakan dalam penentuan keefektivan yang


(9)

didasarkan bahwa pengembangan jaringan jalan merupakan prioritas untuk mengantisipasi kemacetan kota. Berbagai faktor penyebab kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung meliputi :

1. Sarana dan prasarana lalu lintas masih sangat rendah serta terbatas

Ada beberapa lampu lalu lintas yang sudah tidak akurat lagi, kondisi tersebut turut menjadi penyebab meningkatnya angka kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung. Sarana dan prasarana untuk menampung jumlah pergerakan masih sangat minim terutama ketika jam-jam sibuk pada pagi dan sore hari. Tidak jarang akibat kemacetan yang panjang, sarana pejalan kaki digunakan sebagai jalan alternatif bagi kendaraan yang jelas ini sangat merugikan pengguna trotoar.

2. Terbatasnya jalan alternatif untuk dilalui dengan lancar

Pengguna kendaraan tidak memiliki alternatif yang banyak untuk menuju dari satu ke tempat lain. Mereka hanya tertarik untuk menggunakan Jl. Z.A Pagar Alam, Jl. Teuku Umar, Jl. Raden Intan, Jl. Kartini, Jl. Yos Sudarso, Jl. Sudirman, Jl. Ahmad Yani, Jl. Gatot Subroto, Jl. Imam Bonjol, Jl. Antasari, serta beberapa ruas jalan lainnya. Sementara ruas jalan lain, tidak mereka gunakan karena tidak efektif karena terlalu sempit dan mengakibatkan jarak tempuh yang lama.

3. Hampir bersamaannya waktu beraktivitas di Kota Bandar Lampung

Masyarakat pada umumnya memulai aktivitas pada pukul 07.00 dan pulang beraktivitas pada sore hari pukul 16.00 sampai pukul 18.00 dari tempat


(10)

aktivitas atau pekerjaan masing-masing, seperti menuju perkantoran, tempat pendidikan (sekolah dan kampus), tempat perdagangan dan sebagainya dengan menggunakan kendaraan pribadi atau umum sehingga kemacetan lalu lintas pada jam-jam tersebut tidak dapat dihindari.

4. Banyaknya jumlah angkutan umum dan kendaraan pribadi

Tidak seimbangnya banyaknya pertambahan jumlah kendaraan dengan banyaknya pertambahan prasarana jaringan jalan. Data yang ada tercatat kendaraan sepeda motor mendominasi peningkatan jumlah kendaraan. Pada tahun 2005, jumlah kendaraan yang ada di Bandar Lampung sebanyak 35.219 unit. Pada tahun 2006, jumlah kendaraan motor meningkat menjadi 35.992 unit. Kemudian pada tahun 2007 sempat menurun menjadi 32.335 unit, namun melonjak pada 2008 menjadi 42.724 unit. Tahun 2009 meningkat tajam menjadi 45.152 unit dan pada tahun 2010 jumlah sepeda motor meningkat lagi menjadi 47.487 unit. Menurut data terakhir Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, jumlah mikrolet, bus kota dan taksi yang beroperasi pada tahun 2012 di Kota Bandar Lampung adalah 2968 kendaraan, yang terdiri dari angkot 2736 unit, bus kota 122 unit, dan taksi 110 unit. Jumlah tersebut belum ditambah dengan besarnya kendaraan beroda dua yaitu 48.252 unit dan kendaraan roda empat yang mencapai 4217 unit. Dengan demikian, proporsional angkutan menjadi tidak seimbang. Tingginya jumlah kendaraan pada yang beroperasi di Kota Bandar Lampung tidak sebanding dengan lebar badan jalan yang rata-rata hanya 6 meter.


(11)

5. Banyaknya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di trotoar sepanjang jalan protokol Kota Bandar Lampung

Keberadaan para PKL dengan jumlah relatif besar di trotoar sepanjang jalan protokol menjadi penyebab kemacetan. Trotoar yang semestinya disediakan bagi pejalan kaki menjadi beralih fungsi sebagai tempat usaha para PKL, akibatnya para pejalan kaki berjalan di bahu jalan raya tempat berlalu lalangnya kendaraan.

(Sumber: Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung 2012)

Kebijakan dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan protokol Kota Bandar Lampung harus disesuaikan dengan visi Kota Bandar Lampung yaitu “Terwujudnya Masyarakat Kota Bandar Lampung yang Aman, Nyaman, Sejahtera, Maju dan Modern”. Maksud dari visi ini didukung oleh misi yang menyatakan “ Meningkatkan Daya Dukung Infrastruktur dengan Mengedepankan Penataan Wilayah, Pembangunan Sarana dan Prasarana Kota Wisata yang Maju dan Modern.

”Rencana pembangunan jalan di Kota Bandar Lampung berorientasi pada pembangunan ekonomi dan peningkatan pelayanan public good dengan mengacu kepada tata ruang dan mempertimbangkan aspek sosial penyediaan sarana angkutan umum, mengatasi masalah kemacetan lalu lintas dan sekaligus aspek lingkungan sebagai sistim pengembangan terpadu mendukung “quality of public good” secara keseluruhan” (sumber :http://radarlampung.co.id/read/berita-utama/49679-prioritaskan pembangunan-jalan-dan-fly-over diunduh hari Selasa tanggal 29 Januari 2013 pukul 20: 55).


(12)

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 13 Tahun 2012 tanggal 27 November 2012 mengenai persoalan penggunaan APBD 2012 terkait mengenai pembiayaan pembangunan jalan di Kota Bandar Lampung .

”Pada tahun 2012 Kota Bandar Lampung hanya mendapat alokasi anggaran dari APBD provinsi sebesar Rp. 15 miliar, ditambah dana alokasi khusus (DAK) dari APBN sebesar 7-8 miliar. Jika dibandingkan rencana peningkatan kualitas 300 jalan dengan panjang 250 kilometer dan menyerap anggaran sebesar Rp.150 miliar, tentu masih jauh dari kata cukup. Sehingga, kekurangan dana akan ditutupi dari APBD kota dan pinjaman senilai Rp96 miliar oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP)” (Sumber.http://www.radarlampung.co.id/bandarlampung/48315-rp200-m untuk-infrastruktur-kota) diakses tanggal 29 Januari 2013 pukul 20:55).

Oleh karena itu pematangan terhadap kebijakan dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung terkait masalah dana yang disediakan di Kota Bandar Lampung dapat berjalan baik dan lancar, perlu adanya program peningkatan Dinas Pekerjaan Umum terhadap proyek pembangunan jalan. Disinilah letak arti penting keberadaan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung, yang mempunyai tugas pokoknya adalah membantu Walikota dalam melaksanakan dan mematangkan kebijakan dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol. Usulan Program Penanganan Jaringan Jalan Dalam Kota Bandar Lampung disusun dengan berbasis kepada Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandar Lampung Tahun 2010-2015.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian untuk menganalisis kebijakan yang tepat dan efektif yang ditujukan mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung yaitu pada Jl. Z.A Pagar


(13)

Alam, Jl. Teuku Umar, Jl. Raden Intan, Jl. Kartini, Jl. Sudirman, Jl. A. Yani, Jl. Kartini, Jl. Imam Bonjol, Jl. P. Antasari, Jl. Gajah Mada, Jl. H.O.S Cokrominoto, Jl. Ki Maja, Jl. Sultan Agung, Jl. Pemuda, Jl. Soekarno Hatta. Ada beberapa alternatif solusi yang ditawarkan sebagai kebijakan oleh pihak-pihak dari dinas terkait. Alternatif kebijakan tersebut antara lain yaitu pembangunan jalan layang (fly over), pengembangan dan pelebaran jalan protokol, pembangunan jalan bawah (underpass), pengembangan jalan alternatif. Selain itu kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang merangkup semua persoalan kemacetan, dan bertujuan membangun Kota Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Kebijakan apakah yang efektif dan tepat diprioritaskan dalam upaya mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan yang tepat dan efektif terkait dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.


(14)

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya teori tentang kebijakan publik dan perencanaan pembangunan daerah dan peningkatan terhadap public good.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi instansi pelaksana penanganan jalan kota yaitu Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung. Diharapkan akan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam upaya mengurangi kemacetan di Kota Bandar Lampung selain itu juga didapat pola peningkatan jalan yang tepat dan penentuan prioritas usulan kegiatan peningkatan jalan di Kota Bandar Lampung.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Analisis Kebijakan

1. Definisi Analisis Kebijakan

Dror dalam Wahab (2012:40) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai:

An approach and methodology for design and identification ofpreceable alternatives in respect to complex policy issues” (suatu pendekatan dan metodologi untuk mendesain dan menemukan alternatif-alternatif yang dikehendaki berkenaan dengan sejumlah isu yang kompleks).

Sedangkan Kent dalam Wahab (2012:41) mendefinisikan analisis kebijakan,

That kind of systematic, analytical, scholarly, creative study whose primary motivation is to produce well-supported recommendation for action dealing with concrete problems” (sejenis studi yang sistematis, berdisiplin, analitis, cerdas, dan kreatif yang dilakukan dengan maksud untuk menghasilkan rekomendasi yang andal berupa tindakan-tindakan dalam memecah masalah yang kongkret).

Pengertian lain mengenai analisis kebijakan dikemukakan oleh Dunn (2000:44), yang menyatakan bahwa secara umum analisis kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan


(16)

tentang dan di dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya meperbaiki proses pembuatan kebijakan. Selain itu analisis kebijakan dikemukakan oleh Suharto (2010:85) yaitu sebagai usaha yang terencana dan sistematis dalam membuat analisis atau asesmen akurat mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan, baik sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan.

Selanjutnya Suharto (2010:102-118) terdapat enam tahapan dalam analisis kebijakan antara lain :

1. Mendefinisikan masalah kebijakan

Mendefinisikan masalah kebijakan pada intinya merujuk pada kegiatan untuk mengeksplorasi berbagai isu-isu atau masalah sosial, dan kemudian menetapkan suatu masalah sosial yang akan menjadi fokus analisis kebijakan. Pemilihan masalah sosial didasari beberapa pertimbangan, antara lain masalah tersebut bersifat aktual, penting dan mendesak, relevan dengan kebutuhan, dan aspirasi publik, berdampak luas dan positif, dan sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial.

2. Mengumpulkan bukti masalah

Pernyataan masalah kebijakan harus didukung oleh bukti atau fakta yang relevan, terbaru, akurat dan memadai. Pernyataan masalah tanpa bukti tidak akan meyakinkan pihak-pihak yang akan menjadi target naskah kebijakan kita. Bukti yang disertakan bisa berdasarkan hasil penelitian kita (data primer), khususnya naskah kebijakan yang berbentuk policy study. Data bisa pula berasal data sekunder, yakni hasil temuan orang lain yang dipublikasikan di buku, koran, internet, dokumen pemerintah. Naskah kebijakan yang berbentuk policy brief dan policy memo jarang menyertakan bukti berdasarkan hasil penelitian primer. 3. Mengkaji penyebab masalah

Para analisis dan pembuat kebijakan dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang memberi kontribusi terhadap masalah sosial. Mereka dapat mengembangkan kebijakan publik untuk mengeliminasi atau mengurangi penyebab atau faktor tersebut. 4. Mengevaluasi kebijakan yang ada

Mengevaluasi kebijakan atau produk yang ada pada saat ini dapat mengarah pada perbaikan-perbaikan, namun demikian evaluasi juga sering menghasilkan keputusan-keputusan untuk mengganti secara total model yang ada.


(17)

5. Mengembangkan alternatif atau opsi-opsi kebijakan

Mengembangkan solusi kebijakan publik untuk mengatasi masalah sosial juga perlu mempertimbangkan beberapa alternatif. Dua langkah utama akan sangat bermanfaat bagi pengembangan alternatif kebijakan publik adalah mengembangkan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah sosial adalah mengeliminasi atau mengurangi sebab-sebab atau faktor-faktor penyumbang terhadap masalah dan menelisik kebijakan yang ada saat ini.

6. Menyeleksi alternatif terbaik

Pada langkah ini telah terdapat alternatif kebijakan yang dianggap terbaik dan merupakan penyeleksian awal dalam mengatasi masalah. Dua kriteria yang dapat membantu menentukan alternatif yang paling baik adalah fisibilitas dan efektivitas. Kebijakan yang terbaik harus memenuhi dua kriteria tersebut (memiliki nilai tinggi), jika memungkinkan. Dan juga pada tahapan ini dilakukan pemantauan terhadap dampak dan tujuan keadaan yang hendak dicapai dari suatu kebijakan yang diusulkan.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa analisis kebijakan harus bersifat empirik dalam arti penilaian yang dilakukan tidak boleh hanya bersifat spekulatif hipotetif, melainkan mesti diuji atau dikeluarkan dengan data atau setidaknya hasil penelitian yang pernah dilakukan. Selanjutnya, analisis itu dilakukan terhadap alternatif yang tersedia, yang hasilnya nanti adalah pemilihan kita terhadap alternatif yang paling tepat atau baik, maka kita harus bersikap tidak memihak atau bias terhadap salah satu alternatif. Maksudnya, sebelum analisis dilakukan, kita tidak menentukan atau memilih alternatif kebijakan mana yang dianggap baik. Analisis kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah analisis kebijakan yang efektif dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.


(18)

2. Pendekatan Analisis Kebijakan

Dunn (2000:97-98) berpendapat di dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai analisis dalam suatu kebijakan, maka terdapat tiga pendekatan analisis kebijakan, yaitu:

1. Pendekatan empiris

Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Disini pertanyaan utama bersifat faktual (apakah sesuatu ada) dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Analis misalnya, dapat mendeskripsikan, menjelaskan, atau meramalkan pengeluaran publik untuk kesehatan, pendidikan, atau jalan-jalan raya.

2. Pendekatan valuatif

Pendekatan valuatif terutama ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik. Disini pertanyaannya berkenaan dengan nilai (berapa nilainya) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. Sebagai contoh, setelah memberikan informasi deskriptif mengenai berbagai macam kebijakan perpajakan.

3. Pendekatan normatif

Pendekatan normatif ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik. Dalam kasus ini, pertanyaannya berkenaan dengan tindakan (apa yang harus dilakukan) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif.

Pendekatan analisis kebijakan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan empiris, karena akan menjelaskan faktor dan masalah penyebab kemacetan yang dapat mendeskripsikan sehingga mengeluarkan dan merumuskan kebijakan yang tepat dan efektif terkait masalah kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.


(19)

3. Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Dunn (2000:117-122) ada tiga bentuk atau model analisis kebijakan, yaitu model prospektif, model retrospektif, dan model integratif sebagai berikut :

1. Model prospektif

Berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung menciri cara beroperasinya para ekonom, analis sistem, dan peneliti operasi. Analis prospektif acapkali menimbulkan jurang pemisah yang besar antara pemecahan masalah yang diunggulkan dan upaya-upaya pemerintah untuk memecahkannya.

2. Model retrospektif

Penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis:

a. Analis yang berorientasi pada disiplin

Pada analis ini jarang menghasilkan informasi yang secara langsung bermanfaat untuk merumuskan pemecahan atas masalah-masalah kebijakan, terutama karena variabel-variabel yang paling relevan bagi penguji-penguji teori ilmiah umum juga jarang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan untuk melakukan manipulasi kebijakan.

b. Analis yang berorientasi pada masalah

Para analis yang berorientasi pada masalah kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting di dalam disiplin ilmu sosial, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah. Analis yang berorientasikan pada masalah jarang menyajikan informasi mengenai tujuan dan sasaran kebijakan yang spesifik dari para pembuat kebijakan.

c. Analis yang berorientasi pada aplikasi

Menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan. Informasi mengenai tujuan-tujuan dan sasaran kebijakan memberi landasan bagi pemantauan dan evaluasi hasil kebijakan yang spesifik, yang dapat digunakan oleh praktisi untuk merumuskan masalah-masalah kebijakan, mengembangkan alternatif kebijakan baru, dan merekomendasikan arah tindakan untuk memecahkan masalah.


(20)

3. Model integratif

Model perpaduan antara kedua model di atas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul baik sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melibatkan teknik-teknik peramalan dan evaluasi secara terintegrasi.

Maka model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model retrospektif yaitu analis yang berorientasi pada aplikasi, karena kebijakan yang akan dibahas ditujukan merumuskan masalah kemacetan, mengembangkan alternatif kebijakan yang baru dan merekomendasikan tindakan untuk mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.

B. Kebijakan

1. Definisi Kebijakan Publik

Pendapat Anderson dalam Wahab (2012:8) menyatakan bahwa kebijakan itu adalah langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan yang dihadapi. Konsep kebijakan dari Carl Freidrich dalam Wahab (2012:9) bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan sasaran yang diinginkan.


(21)

Pendapat yang dikemukakan oleh Friederich di atas akan semakin jelas dipertegas lagi dengan pendapat Knoephel dan kawan-kawan dalam Wahab (2012:10) dengan mengartikan

”Kebijakan sebagai serangkaian keputusan dan tindakan-tindakan sebagai akibat dari interaksi terstruktur dan berulang di antara berbagai aktor, baik publik/pemerintah maupun privat/swasta yang terlibat berbagai cara dalam merespon, mengidentifikasikan, dan memecahkan suatu masalah yang secara politis didefinisikan sebagai masalah publik”.

Berdasarkan definisi di atas, kebijakan mengandung suatu unsur tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan pada pelaksanaannya tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang policy (kebijakan) menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan.

Sedangkan pemahaman mengenai kebijakan publik sendiri masih terjadi adanya silang pendapat dari para ahli. Namun dari beberapa pendapat mengenai kebijakan publik terdapat beberapa persamaan, diantaranya yang disampaikan oleh Dye dalam Subarsono (2012:2) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is what ever government chose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada


(22)

tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua “tindakan” pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping itu, “sesuatu yang tidak dilaksanakan” oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan karena “ sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.

Jenskins dalam Wahab (2012:15) merumuskan definisi mengenai kebijakan publik yaitu

”A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam situasi keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).

Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa kebijakan publik adalah serentetan instruksi/perintah dari para pembuat kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pandangan mengenai kebijakan publik tersebut, dapat dikatakan bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang memiliki tujuan dan berorientasi pada tujuan yang telah ditentukan untuk kepentingan seluruh rakyat.

Wahab (2012:20-22), mengemukakan bahwa ciri-ciri kebijakan publik adalah:


(23)

1. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan mengarah pada tujuan tertentu, daripada sekedar sebagai bentuk perilaku atau tindakan menyimpang yang serba acak, asal-asalan, dan serba kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik, semisal kebijakan pembangunan atau kebijakan sosial dalam sistem politik modern, bukan merupakan tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan.

2. Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri.

3. Kebijakan itu ialah apa yang nyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.

4. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penyelesaian atas masalah tertentu. Sementara dalam bentuk negatif, ia kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan tindakan apa pun dalam masalah-masalah di mana campur tangan pemerintah itu sebenarnya sangat diperlukan.

Oleh karenanya dalam terminologi ini, kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan riil yang muncul ditengah-tengah masyarakat untuk dicarikan jalan keluar baik melalui peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan pejabat birokrasi dan keputusan lainnya termasuk peraturan daerah, keputusan pejabat politik dan sebagainya. Dari berbagai pendapat para pakar tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah suatu pilihan tindakan pemerintah, biasanya bersifat mengatur, baik dilakukan sendiri oleh pemerintah atau melibatkan masyarakat, yang dilakukan dalam rangka merespon permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu.


(24)

Maka kebijakan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah suatu pilihan Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan tujuan mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung dan untuk meningkatkan efisiensi infrastruktur jalan bagi kenyamanan masyarakat terhadap jenis public good yang diberikan oleh Pemerintah.

2. Proses Kebijakan Publik

Dunn dalam Subarsono (2012:8) mengungkapkan bahwa proses kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Dunn (2000:25-29) menyatakan prosedur analisis kebijakan dengan tipe-tipe pembuatan kebijakan aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebjakan, monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

a. Tahap pertama, Penyusunan Agenda

Yaitu perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan


(25)

asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

Wahab (2007: 40) menyatakan bahwa isu yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:

1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak bisa lagi diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.

2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik. 3. Isu tersebut telah menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut

kepentingan orang banyak, bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media massa yang luas.

4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimation) dalam masyarakat.

6. Isu tersebut telah menyangkut suatu persoalan yang fashionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.

Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. Namun merumuskan masalah publik yang benar dan tepat tidaklah mudah


(26)

karena sifat masalah publik yang sangat kompleks. Karena itu perlu diketahui karakteristik dari masalah publik yaitu:

1. Saling ketergantungan antara berbagai masalah. Suatu masalah publik bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait antara satu masalah dengan masalah yang lain.

2. Subjektifitas dari masalah kebijakan. Masalah kebijakan adalah hasil pemikiran dalam konteks lingkungan tertentu. Oleh karena itu, suatu fenomena yang dianggap masalah dalam lingkungan tertentu, bisa jadi bukan masalah untuk lingkungan yang lain.

3. Artificiality masalah. yakni suatu fenomena dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia unuk mengubah situasi.

4. Dinamika masalah kebijakan.yaitu solusi terhadap masalah selalu berubah, masalah yang sama belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama kalau konteks lingkungannya berbeda. Demikian juga masalah yang sama belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama kalau waktunya berbeda.

b) Tahap Kedua, Formulasi Kebijakan

Yaitu tahap peramalan yang dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang


(27)

diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.

Tujuan dari forecasting adalah memberikan informasi mengenai kebijakan dimasa depan dan konsekuensinya, melalui kontrol dan intervensi kebijakan guna mempengaruhi perubahan, sehingga akan mengurangi resiko yang lebih besar. Pada tahap ini juga dilakukan pengembangan terhadap alternatif-alternatif kebijakan dan menentukan kriteria seleksi terhadap berbagai alternatif yang ditawarkan untuk kemudian dipilih dan ditetapkan sebagai kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan untuk tujuan memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

c. Tahap Ketiga, Adopsi Kebijakan

Yaitu tahap rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.

d. Tahap Keempat, Implementasi Kebijakan

Yaitu tahap pemantauan yang menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya.


(28)

Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil dan dampak kebijakan dengan mempergunakan berbagai indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan, kriminalitas, dan ilmu teknologi. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan.

Ada tiga langkah dalam mengimplementasikan suatu kebijakan publik menurut Mazmanian dan Sabatier dalam dalam Nugroho (2004:162), yaitu:

1. Identifikasi masalah yang harus diintervensi. 2. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai. 3. Merancang struktur proses pelaksanaan.

Gambar 1 : Implementasi Kebijakan Publik Menurut Mazmanian dan Sabatier

Sumber : Nugroho (2004:162)

Menegaskan tujuan yang hendak dicapai

Merancang struktur proses pelaksanaan Identifikasi masalah yang harus diintervensi


(29)

Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan monitoring agar kesalahan-kesalahan awal dapat segera diketahui dan dapat dilakukan tindakan perbaikan sehingga mengurangi resiko yang lebih besar. Adapun tujuan dari monitoring adalah menjaga agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran, menemukan kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi resiko yang lebih besar dan melakukan tindakan modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring mengharuskan untuk itu.

e. Tahap Kelima, Penilaian Kebijakan

Tahap terakhir dari proses kebijakan publik adalah penilaian kebijakan atau evaluasi. Evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, sejauh mana kebijakan tersebut mencapai sasaran dan tujuannya, juga berguna untuk memberikan input bagi kebijakan yang akan datang supaya lebih baik. Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah. Contoh bagus dari evaluasi adalah tipe analisis yang


(30)

membantu memperjelas, mengkritik, dan mendebat nilai-nilai dengan mempersoalkan dominasi penalaran teknis yang mendasari kebijakan.

Proses Kebijakan Publik

Gambar 2 : Proses Kebijakan Publik Sumber : Dunn, 2000: 25

Perumusan Masalah (Penyusunan Agenda)

Forecasting (Formulasi Kebijakan)

Rekomendasi Kebijakan (Adopsi

Kebijakan)

Monitoring Kebijakan (Implementasi

Kebijakan)

Evaluasi Kebijakan (Penilaian Kebijakan)


(31)

3. Jenis-Jenis Kebijakan Publik

Secara tradisional, pakar ilmu politik mengkategorikan kebijakan publik ke dalam kategori: 1) kebijakan substantif seperti kebijakan perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar negeri, 2) kelembagaan seperti kebijakan legislatif, judikatif, departemen, 3) kebijakan menurut kurun waktu tertentu seperti kebijakan masa Orde Baru, Reformasi dan Orde Lama. Sedangkan Anderson dalam Subarsono (2012:19-21) mengelompokkan kebijakan publik sebagai berikut :

1. Kebijakan substantif vs kebijakan prosedural

Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang dilakukan oleh pemerintah, seperti kebijakan subsidi BBM, kebijakan raskin. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan, misalnya kebijakan yang berisi kriteria orang disebut miskin dan bagaimana prosedur untuk memperoleh raskin.

2. Kebijakan distributif vs kebijakan regulatori vs kebijakan re-distributif

Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau segmen masyarakat tertentu atau individu, seperti kebijakan subsidi BBM dan kebijakan obat generik. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat, seperti kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan, kebijakan pemakaian helm bagi pengendara motor. Sedangkan kebijakan re-distributif adalah kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam masyarakat, seperti kebijakan pajak progresif, kebijakan asuransi kesehatan gratis bagi orang miskin.

3. Kebijakan material vs kebijakan simbolis

Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok sasaran, misalnya kebijakan raskin. Sedangkan kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran, misalnya kebijakan libur hari besar agama.


(32)

4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum dan barang privat.

Kebijakan barang umum (Public Good Policy) adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan publik misalnya kebijakan membangun jalan, kebijakan pertahanan dan keamanan. Kebijakan barang privat adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas, misalnya pelayanan pos, parkir umum dan perumahan.

Dari jenis-jenis kebijakan publik yang dikemukakan oleh Anderson tersebut, maka kebijakan yang dipakai dalam hal kebijakan dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung adalah kebijakan yang berhubungan dengan barang umum dan barang privat. Karena kebijakan tersebut membahas tentang pelayanan publik khususnya public good dari pemerintah kepada masyarakat seperti membangun jalan.

4. Kriteria Kebijakan Publik

Abidin (2012:32) menyatakan kriteria yang dipakai dalam kebijakan berbeda pada setiap tahap, mulai tahap penyaringan dari isu mana yang akan masuk dan diproses dalam agenda kebijakan hingga ke tahap penilaian dari suatu strategi kebijakan dan rekomendasi. Dengan demikian, ada kriteria kebijakan penyaringan isu, ada kriteria pemilihan strategi, ada kriteria evaluasi, dan ada kriteria rekomendasi.


(33)

a. Proses penyaringan isu

Isu-isu yang masuk dalam agenda kebijakan, pertama adalah isu yang telah dianggap telah mecapai tingkat kritis, sehingga tidak dapat diabaikan. Kedua, isu yang sensitif yang cepat menarik perhatian masyarakat. Ketiga, isu yang menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat. Keempat, isu yang menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat apabila diabaikan. Kelima, yang berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi. Keenam, isu yang berkenaan dengan tren yang sedang berkembang dalam masyarakat.

b. Pemilihan strategi kebijakan

Pada tingkat ini, pertama-tama berbagai alternatif strategi kebijakan diidentifikasikan. Kemudian, dilakukan penyaringan mana yang paling memenuhi syarat. Adapun kriteria-kriteria yang biasa dipakai dalam menentukan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yaitu: 1. Efektivitas yang mengukur apakah suatu alternatif sasaran yang

dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.

2. Efisiensi yang mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk pencapaian tujuan atau efektivitas tertentu. 3. Cukup. Hal yang diukur disini apakah suatu kebijakan dapat


(34)

4. Adil. Kriteria ini mengukur suatu strategi kebijakan dalam hubungannya dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan di antara berbagai pihak dalam masyarakat.

5. Terjawab. Dimaksudkan bahwa strategi kebijakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan suatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.

6. Tepat. Ukuran ini merupakan ukuran kombinasi di antara kriteria-kriteria terdahulu. Kriteria ini menjadi pengimbang terhadap penggunaan sesuatu atau beberapa kriteria tanpa memedulikan atau mengabaikan kriteria tertentu.

c. Kriteria rekomendasi

Beberapa kriteria yang biasa dipakai dalam mengukur ketepatan suatu strategi kebijakan politik:

1. Kelayakan politik

Kemampuan untuk merealisasikan atau mewujudkan kebijakanitu berkat dukungan politik yang ada.

2. Kelayakan ekonomi

Berkaitan dengan dampak dari kebijakan dilihat dari segi ekonomi. Bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, tingkat inflasi, pemerataan pendapatan antarpenduduk.

3. Kelayakan keuangan/biaya

Yang diperhatikan di sini adalah kelayakan dari segi biaya dan keuntungan. Persoalannya adalah apakah kebijakan itu mudah


(35)

memeperoleh dukungan keuangan? Adakah sumber pembiayaannya, menguntungkan dilihat dari segi laba rugi pembiayaan? Apakah kebijakan itu dapat menurunkan ongkos produksi.

4. Kelayakan administrasi

Pada faktor pendukung administrasi biasanya dikenal istilah sumber daya manusia, keuangan, logistik, informasi, legitimasi, dan partisipasi.

5. Kelayakan teknologi

Ketersediaan dan dukungan teknologi yang sesuai. 6. Kelayakan sosial-budaya

Mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat, apalagi jika kebijakan itu berhubungan besar dengan hal-hal yang dipandang sakral oleh masyarakat.

7. Kelayakan-kelayakan lain sesuai dengan kriteria apa yang dibuat secara khusus.

Ini dimaksudkan sebagai kriteria tambahan yang khusus berkenaan dengan keadaan, tempat, dan tujuan tertentu. Kriteria-kriteria ini, seperti keadilan, terjangkau, baik dari segi harga, maupun dari jarak dan alat transportasi yang ada, meningkatkan kemampuan masyarakat.

d. Kriteria evaluasi

1. Efisiensi, yakni perbandingan antara hasil dengan biaya. 2. Keuntungan, yakni selisih antara hasil dengan biaya.


(36)

4. Keadilan, keseimbangan dalam pembagian hasil (manfaat) dan/atau biaya (pengorbanan).

5. detriments, yaitu indikator negatif dalam bidang sosial, seperti kriminalitas.

6. Manfaat tambahan, yaitu tambahan hasil banding biaya atau pengorbanan.

Maka kriteria kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kriteria kebijakan yang ditujukan untuk mendapatkan tentang penyaringan isu mengenai kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung, dan kriteria rekomendasi untuk menentukan kebijakan yang tepat dan efektif dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.

C. Konsep Public Good

1. Definisi Public Good

Abidin (2012:192) menyatakan barang/jasa publik (public good) adalah barang atau jasa yang tidak dapat diatur melalui pasar, baik dalam produksi dan distribusi, maupun dalam penentuan harga. Ciri pokok dari public goods adalah, pertama, komsumsinya tidak dapat dipisahkan antara orang yang membayar dengan orang yang tidak membayar. Kedua, komsumsi dari barang-barang tersebut terjadi secara kolektif.


(37)

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public goods) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.

Satu terminologi lain yang agak mirip adalah barang kolektif. Bedanya, barang publik adalah untuk masyarakat secara umum (keseluruhan), sementara barang kolektif dimiliki oleh satu bagian dari masyarakat (satu komunitas yang lebih kecil) dan hanya berhak digunakan secara umum oleh komunitas tersebut. Maka barang publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalan-jalan yang ada di Kota Bandar Lampung, yang akan dianalisis bertujuan untuk mengidentifikasi jalan yang mempunyai titik kemacetan tinggi di Kota Bandar Lampung.

2. Tipe Barang atau Pelayanan

Abidin (2012:192) kategorisasi tipe barang-barang publik yang ditangani oleh pemerintah antara lain:

1. Common Pool Goods

adalah barang-barang atau jasa kebutuhan masyarakat yang manfaat barang atau jasa tersebut dinikmati oleh seluruh masyarakat secara bersama-sama. Barang ini apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Common pool goods harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat sehingga dapat dikonsumsi tanpa mengurangi tersedianya bagi orang lain.


(38)

2. Quasi Public Goods (Collective Goods)

Quasi public goods adalah barang-barang atau jasa kebutuhan masyarakat yang manfaat barang atau jasa tersebut dinikmati oleh seluruh masyarakat, namun apabila dikonsumsi oleh individu tertentu akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Barang atau jasa ini sebetulnya mempunyai daya saing tinggi, tetapi non-excludable. Artinya, penyedia atau konsumen suatu barang atau pelayanan ini tidak bisa menghalangi (atau mengecualikan) orang lain untuk menggunakan atau memperoleh manfaat dari barang tersebut meskipun konsumsi seseorang akan mengurangi keberadaan barang atau jasa tersebut. Secara sederhana, tipologi ini dapat kita bagi atas apakah suatu barang menimbulkan kompetisi (rivalry) dalam mendapatkannya dan apakah ada konsumen yang dapat dikecualikan olehnya (excludable). Konsep quasi-public goods ini muncul biasanya karena ada kondisi-kondisi tertentu yang memaksa atau membuat sebuah public goods tidak dapat memenuhi seluruh sifat-sifatnya secara absolut.

3. Quasi Private Goods (Tool Goods)

Quasi private goods adalah barang-barang atau jasa kebutuhan masyarakat yang mana manfaat barang atau jasa tersebut hanya dinikmati secara individual oleh yang membelinya walaupun sebetulnya barang atau jasa tersebut dapat dinikmati oleh semua masyarakat. Setiap konsumen yang menggunakannya harus membayar. Quasi private goods bersifat excludable, tetapi daya saingnya rendah. Artinya penyedia atau konsumen suatu barang atau pelayanan bisa menghalangi (atau mengecualikan) orang lain untuk menggunakan atau memperoleh manfaat dari barang tersebut walaupun sebetulnya jika seseorang menggunakan suatu barang atau pelayanan tersebut tidak dapat mengurangi ketersediannya bagi orang lain. Quasi private goods sering disebut dengan istilah tool goods. Contoh quasi private goods antara lain pelayanan jalan tol, tenaga listrik dan PDAM. Biaya quasi private goods adalah dari sektor publik dan swasta.

4. Private Goods

Private goods adalah barang-barang atau jasa kebutuhan masyarakat yang manfaat barang atau jasa tersebut hanya dinikmati secara individual oleh yang membelinya dan yang tidak membelinya tidak dapat menikmati barang atau jasa tersebut. Jadi barang privat hanya dapat dikonsumsi pada waktu tertentu dan barang tersebut akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain disamping sangat mudah untuk memantau dan mengidentifikasikan biaya konsumsinya. Termasuk dalam pengertian barang privat adalah layanan atau jasa yang peruntukkannnya dibatasi hanya kepada konsumen dan produsen, dimana harga pasar dengan mudah ditentukan oleh konsumen dan produsen. Contoh antara lain mobil pribadi, makanan.


(39)

Savas dalam Abidin (2012:192) menyebutkan public goods itu sebagai collective goods, yang dimasukkan sebagai salah satu dari empat macam barang dalam klasifikasi yaitu :

1. Barang privat, yakni barang yang dapat dikomsumsikan sendiri-sendiri secara individual dan dapat dikecualikan atau dipisahkan antara yang membeli atau tidak.

2. Barang tool, yaitu barang-barang yang dikomsumsikan secara bersama, tetapi dapat dipisahkan antara yang membayar dengan yang tidak.

3. Barang milik umum (common goods), yaitu barang-barang yang tidak dapat dibedakan antara yang membayar dengan yang tidak membayar, tetapi dapat dikomsumsi sendiri-sendiri.

4. Barang bersama (collective goods). Barang-barang ini tidak dapat dipisahkan antara yang membayar dengan yang tidak, dan dikomsumsikan tidak secara individu, tetapi secara bersama.

Kita bisa sepakat bahwa jalan merupakan fasilitas umum, public good, dan siapapun berhak menggunakan jalan raya sebagai sarana perhubungan. Akan tetapi, dapat kita bayangkan apabila terlalu banyak pengguna jalan yang memakai satu jalan di satu waktu maka dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas. Keberadaan satu kendaraan dapat mengurangi kesempatan kendaraan lain untuk dapat mengambil manfaat jalan itu secara optimal yang biasa disebut dengan Quasi Public Good. Hal inilah yang sering terjadi di Kota Bandar Lampung. Kondisi yang menyebabkan atau memaksa terjadinya hal ini adalah daya tampung ruas jalan yang tidak dapat menampung aktivitas kendaraan pada jam puncak, dan banyaknya ruas jalan yang digunakan sebagai tempat parkir yang sembarangan. Hal ini dapat mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain dalam memanfaatkan fasilitas public good dari Pemerintah Kota Bandar Lampung.


(40)

D. Pembangunan Daerah

Menurut Asmara (1986:218) pembangunan daerah adalah semua kegiatan pembangunan yang ada di daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun dilakukan oleh pemerintah daerah. Bila disimak dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa pembangunan daerah diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan di daerah dengan menggunakan unsur-unsur sebagai berikut :

a. Kegiatan-kegiatan atau proyek-proyek pembangunan nasional yang ada di daerah itu sendiri.

b. Kegiatan-kegiatan atau proyek-proyek pembangunan daerah itu sendiri diluar yang sudah direncanakan oleh pemerintah pusat.

Pembangunan Daerah merupakan semua kegiatan pembangunan baik yang termasuk maupun yang tidak termasuk urusan rumah tangga daerah yang meliputi berbagai sumber pembiayaan, baik yang berasal dari Pemerintah (APBD dan APBD) dan yang bersumber dari masyarakat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai oleh: a). Pemerintah Pusat sebagai pelaksana asas dekonsentrasi; (b). Pemerintah Daerah Tingkat I, Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Desa sebagai pelaksana asas desentralisasi dan tugas perbantuan.

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk : (a). Badan Usaha Milik Negara, (b) Badan Usaha Milik Daerah dan kegiatan masyarakat lainnya. Pembangunan yang merupakan kewajiban pemerintah daerah dibiayai oleh dari sumber APBD. APBD menggambarkan kemampuan daerah dalam


(41)

memobilisasikan potensi keuangannya. Apabila penerimaan dari sumber daerah cukup besar maka berarti pula mengurangi ketergantungan daerah yang bersangkutan terhadap pusat. Di samping itu besarnya APBD suatu daerah juga akan berarti besar pula tingkat pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Pengertian Pembangunan menurut Siagian (2005:4) menyatakan bahwa rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Pembangunan merupakan suatu proses, berarti pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan terdiri dari tahap-tahap yang disatu pihak bersifat independent akan tetapi di pihak lain merupakan “bagian” dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir. Banyak cara yang dapat digunakan untuk menentukan pentahapan tersebut, seperti berdasarkan jangka waktu, biaya, atau hasil tertentu yang akan diperoleh.

Usaha-usaha dalam pelaksanaan pembangunan daerah didorong dengan adanya manajemen pengelolaan dari instansi-instansi terkait, karena pelaksanaan pembangunan daerah merupakan usaha untuk merencanakan perkembangan masa depan suatu daerah khususnya di daerah Kota Bandar Lampung. Adapun pembangunan daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembangunan infrastruktur jalan Kota Bandar Lampung dengan beberapa alternatif kebijakan yaitu pembangunan jalan layang (fly over), pengembangan dan pelebaran jalan protokol, pembangunan jalan bawah (underpass), dan pengembangan jalan


(42)

alternatif yang diharapkan dapat mengurangi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.

E. Dimensi Pembangunan Jalan

Dunn (2000:441) menyatakan bahwa jalan raya merupakan barang publik yang bersifat kolektif (dapat dikonsumsi semua orang). Hal ini memberikan konsekuensi bahwa kinerja pembangunan ini dapat dinilai dari perspektif yang berbeda. Untuk itu sangatlah penting sebelum kebijakan ini diputuskan, diperlukan pertimbangan/kajian secara multi dimensi dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait. Adanya berbagai keterbatasan, khususnya dalam anggaran dan waktu memberikan implikasi tidak semua usulan pengembangan akan diterima. Diperlukan skala prioritas untuk menentukan usulan mana yang paling memungkinkan dan tentunya memberikan kemanfaatan optimal.

Persoalan menjadi semakin kompleks bila pembangunan sarana ini dilakukan di daerah perkotaan. Kota dianggap sebagai pusat strategis untuk melakukan berbagai macam aktivitas, baik aktivitas ekonomi, pendidikan, politik, maupun berbagai aktivitas sosial lain. Pembangunan sarana ini merupakan rencana strategis mengingat adanya berbagai manfaat yang dapat dinikmati. Namun demikian, pembangunan sarana jalan di daerah kota jauh lebih kompleks dibanding di daerah pedesaan, terlebih bila dikaitkan dengan keterbatasan lahan.

Bruton (1985:25) menyatakan bahwa membangun jalan identik dengan membangun sebuah sistem (transportasi) yang kompleks. Dalam lingkungan kota


(43)

yang semakin kompleks dengan keterbatasan lahan yang ada, pembangunan sarana ini tidak hanya orientasikan pada pembangunan jalan baru dan perlebaran, namun juga harus diupayakan pembangunan jalan ini mampu menjawab persoalan-persoalan lain, seperti turunnya produktifitas, kemacetan lalu lintas, tingginya angka kecelakaan, rendahnya kualitas udara dan sebagainya.

Mengingat beragamnya kepentingan, kualitas bisa jadi didefinisikan berbeda antar satu kepentingan dengan kepentingan yang lain. Labih jauh Bruton (1985:27) menegaskan bahwa fokus pada pelanggan (customer) harus merupakan perhatian penting dalam pengambilan kebijakan pembangunan sarana ini di wilayah perkotaaan. Dalam wilayah yang sangat kompleks, pembangunan infrastruktur harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan.

Menurut Yunus (2000:142) adapun sistem pola jaringan jalan terdiri dari tiga macam yaitu :

1. Pola jalan tidak teratur (Irregular System).

Ketidakteraturan sistem jalan ini tampak pada pola jalannya yang melingkar tak beraturan dengan lebar jalan dan arah yang beragam. Perletakan antar posisi rumah-rumah dengan jalan juga tidak direncanakan. Sistem ini biasanya terjadi diawal pertumbuhan kota yang belum direncanakan.

2. Pola jalan radial konsentris (Radial Concentric System).

Pada tipe ini pergerakan akan terpusat pada satu lokasi di pusat kota dengan konsentrasi kegiatan yang tinggi. Pola ini mempunyai beberapa sifat khusus yaitu:

a. Mempunyai pola jalan konsentris b. Mempunyai pola jalan radial

c. Bagian pusatnya merupakan daerah kegiatan utama dan tempat pertahanan terakhir kekuasaan

d. Secara keseluruhan membentuk pola jaringan sarang laba-laba e. Mempunyai keteraturan geometris

f. Mempunyai jalan besar menjari dari titik pusat.

3. Pola jalan bersiku atau sistem grid (The Rectangular or Grid System).


(44)

Sistem ini dapat mendistribusikan pergerakan secara merata ke seluruh bagian kota sehingga tidak memusat pada beberapa fasilitas saja. Bagian kota dibagi-bagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalanjalan paralel.

Dinas Bina Marga (2003) membagi sistem jalan sebagai berikut:

a. Menurut peran pelayanan jasa distribusinya, sistem jaringan jalan terdiri dari: 1. Sistem jaringan jalan primer, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan

pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud kota.

2. Sistem jaringan jalan sekunder, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan yang menghubungkan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota.

b. Pengelompokan jalan berdasarkan peranannya dapat digolongkan menjadi: 1. Jalan arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan jarak jauh dengan

kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah masuk dibatasi secara efisien

2. Jalan kolektor, yaitu jalan yang melayanai angkutan pengumpulan dan pembagian dengan ciri-ciri merupakan perjalanan jarak dekat dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk dibatas.

3. Jalan lokal, yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-ratanya rendah dengan jumlah jalan masuk dibatasi.

c. Klasifikasi jalan berdasarkan peranannya terbagi atas:


(45)

1. Jalan arteri primer yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua yang berada dibawah pengaruhnya.

2. Jalan kolektor primer ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lain atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang ada di bawah pengaruhnya.

3. Jalan lokal primer ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang yang ada di bawah pengaruhnya sampai persil.

b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder :

1. Jalan arteri sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

2. Jalan kolektor sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kedua, yang satu dengan lainnya, atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ketiga.


(46)

3. Jalan lokal sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan-kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

Klasifikasi jalan berdasarkan peranannya ini, kewenangan pengelolaannya terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam pengelolaan sistim jaringan jalan primer berupa jalan nasional dan jalan propinsi, sedangkan pemerintah daerah memiliki kewenangan pengelolaan sistim jaringan jalan sekunder berupa jalan kabupaten/kota.

Menurut Morlok (1995:684) bahwa jenis-jenis jaringan jalan yang ideal untuk kawasan perkotaan antara lain: (1). Jaringan Jalan Grid (pola segiempat), (2). Jaringan Jalan Cincin Radial (pola cincin terpusat), (3). Jaringan Jalan Delta ( pola segitiga), (4). Jaringan Jalan Radial (pola terpusat), (5). Jaringan Jalan Spinal (pola menjari), dan (6). Jaringan Jalan Heksagonal (pola segienam).

Terdapat sejumlah jalan Kabupaten/kota yang berada di dalam wilayah Desa atau permukiman yang pada kenyataannya jalan tersebut umumnya lebih banyak digunakan oleh lalu lintas lokal. Hal ini dapat digunakan untuk melakukan pembagian beban pendanaan jalan dengan desa/pemukiman yang lebih banyak menggunakan ruas jalan tersebut. Pembangunan sarana jalan merupakan bagian integral dari perencanaan kota secara menyeluruh. Pendekatan yang digunakan


(47)

dalam perencanaan kota ini akan menentukan pola pergerakan berbagai sub sistem yang ada di wilayah ini.

Sebagaimana diungkapkan oleh Bruton (1985:28) bahwa membangun jalan berarti membangun sistem. Lebih dari itu bangunan sistem yang disusun merupakan bangunan sistem yang juga terpadu, yang terdiri dari : sistem manajemen lalu lintas terpadu, sistem informasi transportasi publik terpadu, koperasi angkutan publik terpadu dan juga sistem kontrol kendaraan terpadu. Penyusunan rencana strategis dalam pembangunan sarana ini menjadi faktor kunci dalam keberhasilan pencapaian tujuan.

Berdasarkan pembahasan diatas maka dimensi pembangunan jalan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah merupakan rencana strategis dari Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam upaya mengatasi kemacetan yang terjadi di jalan protokol Kota Bandar Lampung. Berdasarkan golongan jalan di atas maka golongan jalan yang ada di Kota Bandar Lampung digolongkan ke dalam jalan kolektor yang akan diwujudkan menjadi jalan arteri. Jenis jaringan jalan di Kota Bandar Lampung mengikuti pola cincin terpusat.

F. Mekanisme Kebijakan Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur

Berlakunya UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2000 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan dirubah dengan UU No.32 dan 33 menjadikan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah.


(48)

Pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan daerah seperti yang diatur dalam UU No.33 Tahun 2004 memberikan peluang kepada daerah untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Selain itu dengan pelaksanaan undang-undang tersebut diharapkan memunculkan implikasi-implikasi positif yang akan mengarah kepada kemajuan daerah serta negara pada umumnya. Menurut Mardiasmo (2002:49) implikasi positif itu antara lain :

1. Meningkatkan keleluasaan daerah dalam memanfaatkan dana alokasi umum

2. Beralihnya prioritas pembangunan dari sektoral menjadi regional 3. Daerah mendapat prioritas alokasi dana sesuai dengan

kebutuhannya

4. Terjadi pengalokasian dana sesuai sekala prioritas daerah dan akuntabilitas yang lebih besar karena pengaasan lebih kuat ditingkat lokal (mekanisme ceck and balance)

5. Memberikan diskresi kepada daerah untuk lebih rasional dalam pemanfaatan sumber penerimaan daerah. Daerah akan lebih bertanggung jawab atas pemanfaatan dana dan mengurangi ketergantungan terhadap arahan dan petunjuk pusat. Hal ini merupakan proses untuk meningkatkan kemandirian pemerintah daerah dalam pembiayaan otonominya.

6. Perlunya kontrol dan peran yang lebih kuat dari DPRD terhadap pemanfaatan dana untuk kepentingan daerah yang selama ini lebih ditentukan oleh pihak eksekutif atas dasar arahan dan petunjuk dari pusat

7. Secara bertahap terjadi rasionalisasi terhadap kewenangan-kewenangan dari pembiayaan yang tidak perlu.

Pada era otonomi daerah, pengalokasian dana untuk kegiatan pembangunan lebih banyak ditentukan oleh daerah yang berasal dari PAD (Pendapatan Asli Daerah), Dana Perimbangan (DAU dan DAK) maupun Dana Pinjaman Daerah. Dana Alokasi Khusus (DAK) terdiri dari dua blok yaitu alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur dalam hal ini jalan termasuk di dalamnya sektor pendidikan, kesehatan dan pertanian berada pada blok DAK Non Reboisasi. Namun DAK masih bersifat sektoral dan hanya untuk daerah yang paling


(49)

membutuhkan. Jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang akan diberikan kepada daerah pada umumnya tidak mencukupi untuk mendanai kegiatan pembangunan karena sebagian besar digunakan untuk pembiayaan anggaran rutin, dan sebaliknya pembiayaan sektor transportasi dari pajak dan retribusi daerah yang berlaku pada saat ini masih belum memadai.

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, didalam penyelenggaraan jalan terdapat 3 (tiga) tugas yang diemban oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melayani kebutuhan perjalanan di wilayahnya, yakni : Pembinaan, Pembangunan, dan Pengawasan Dalam Draft RPP tentang jalan yang diajukan merupakan penjabaran dari UU No. 38 Tentang Jalan. Maka mekanisme kebijakan pembiayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mekanisme perencanaan pembiayaan yang digunakan pada kebijakan yang ditujukan mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung.

G. Kemacetan Lalu Lintas

Kemacetan lalu lintas merupakan masalah utama yang dihadapi oleh kota-kota besar di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Kemacetan lalu-lintas (congestion) pada ruas jalan raya terjadi saat arus lalu-lintas kendaraan meningkat seiring bertambahnya permintaan perjalanan pada suatu periode tertentu serta jumlah pemakai jalan melebihi dari kapasitas yang ada (Meyer, 1984:1).

Kemacetan lalu lintas adalah terakumulasinya lalu lintas dengan penggunaan metoda efisien pada waktu yang sama, pada rute yang sama, pada tujuan yang


(50)

sama dan arena keinginan untuk melakukan perjalanan yang bersamaan. Masalah kemacetan terutama dirasakan pada jam-jam sibuk, baik sibuk pagi hari maupun jam sibuk sore hari. Yunus (2000:9) memaparkan akibat kemacetan yaitu,

”Tingkat pelayanan di pusat kota dapat menurun yang disebabkan karena semakin jauhnya jarak pelayanan yang harus dicapai, dan menurunnya fungsi pelayanan kota itu sendiri yang dikarenakan adanya kemacetan lalu lintas, waktu perjalanan yang lama dan mahalnya biaya transportasi”.

Menurut Tamin (2000:493) menyatakan kemacetan menimbulkan dampak sebagai berikut,

”Masalah lalu lintas/kemacetan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pemakai jalan, terutama dalam hal pemborosan waktu (tundaan), pemborosan bahan bakar, pemborosan tenaga dan rendahnya kenyamanan berlalu lintas serta meningkatnya polusi baik suara maupun polusi udara”.

Kemacetan lalu lintas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemacetan yang sering terjadi pada jam sibuk di jalan-jalan protokol Kota Bandar Lampung yaitu 1. Jl. Z. A Pagar Alam

2. Jl. Teuku Umar 3. Jl. Raden Intan 4. Jl. Kartini 5. Jl. Sudirman 6. Jl. Ahmad Yani 7. Jl. Imam Bonjol 8. Jl. Pangeran Antasari 9. Jl. Gajah Mada


(51)

11.Jl. Ki Maja 12.Jl. Sultan Agung 13.Jl. Soekarno Hatta

H. Kerangka Pikir

Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung. Secara garis besar masalah utama penyebab kemacetan di Kota Bandar Lampung adalah kurang lebarnya ruas jalan untuk menampung aktivitas kendaraan pada jam puncak. Adapun faktor penyebab kemacetan ini adalah sarana dan prasarana lalu lintas masih sangat rendah serta terbatas, terbatasnya jalan alternatif untuk dilalui dengan lancar, terkonsentrasinya berbagai aktivitas di pusat kota, hampir bersamaannya waktu beraktivitas di Kota Bandar Lampung, besarnya jumlah angkutan umum dan kendaraan pribadi, banyaknya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di trotoar sepanjang jalan protokol kota. Sesuai dengan permasalahan tersebut Pemerintah Kota Bandar Lampung mengeluarkan alternatif solusi yang ditawarkan sebagai kebijakan.

Public Good Policy yang dipilih dari permasalahan diatas adalah kebijakan yang tepat dan efektif untuk mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung terkait fungsional daya tampung ruas jalan dalam menampung jumlah kendaraan pada jam sibuk maka diperlukan pembangunan yang tepat. Penelitian ini dilaksanakan dalam kerangka indikator analisis kebijakan berdasarkan pendapat Suharto (2010:102-118) yaitu (1) mendefinisikan masalah, (2)


(52)

mengumpulkan bukti masalah, (3) mengkaji penyebab masalah, (4) mengevaluasi kebijakan yang ada, (5) mengembangkan alternatif yang ada, (6) menyeleksi alternatif terbaik. Gambar kerangka pikir dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 3 : Kerangka Pikir

Kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung

Analisis terhadap alternatif kebijakan yaitu pembangunan jalan layang, peningkatan dan pelebaran jalan protokol,

pembangunan jalan bawah, dan pengembangan jalan alternatif

Mengumpulkan bukti tentang masalah

Mengkaji penyebab masalah

Mengevaluasi kebijakan yang ada

Kebijakan yang tepat dan efektif dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung

Analisis Kebijakan (Suharto, 2010:102-118)

Mengemba ngkan alternatif

Menyeleksi alternatif terbaik Mendefenisik

an masalah kebijakan


(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif. Danim (1997:187) menyatakan penelitian kualitatif yaitu, dimana data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Kalaupun terdapat angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang diperoleh meliputi transkrip wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dan lain-lain.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2001:54).

Penelitian kualitatif memberi titik tekan pada makna, di mana fokus penelaahan terpaut langsung dengan masalah kehidupan manusia. Aplikasi metode kualitatif dalam penelitian kebijakan dilakukan dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (a) merumuskan masalah sebagai fokus studi penelitian kebijakan, (b) mengumpulkan data lapangan, (c) menganalisis data, (d) merumuskan hasil studi, (e) menyusun rekomendasi untuk pembuatan kebijakan.


(54)

Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan keterangan-keterangan secara jelas dan faktual dari masalah kemacetan lalu lintas Kota Bandar Lampung mengumpulkan bukti masalah, mengkaji penyebab masalah, mengevaluasi kebijakan yang ada, mengembangkan alternatif atau opsi kebijakan, hal penyeleksian alternatif terbaik dalam menemukan kebijakan yang tepat dan efektif dalam mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung yaitu pada Jl. Z.A Pagar Alam, Jl. Teuku Umar, Jl. Raden Intan, Jl. Kartini, Jl. Sudirman, Jl. A. Yani, Jl. Kartini, Jl. Imam Bonjol, Jl. P. Antasari, Jl. Gajah Mada, Jl. H.O.S Cokrominoto, Jl. Ki Maja, Jl. Sultan Agung. Jl. Soekarno Hatta.

B. Fokus Penelitian

Straus dan Corbin dalam Moleong (2001:23) menyatakan fokus penelitian bertujuan untuk membatasi peneliti sehingga terhindar dan tidak terjebak dalam pengumpulan data pada bidang yang sangat umum atau kurang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian. Selain itu penentuan fokus penelitian berfungsi untuk memilih data yang relevan dan tidak relevan, meskipun menarik, maka tidak perlu dimasukkan ke dalam data yang sedang dikumpulkan.

Permasalahan dan fokus penelitian sangat terkait, oleh karena itu permasalahan penelitian dijadikan sebagai acuan di dalam fokus, walaupun fokus dapat berubah dan berkembang di lapangan sesuai dengan perkembangan permasalahan penelitian yang ditemukan di lapangan. Mengacu pada rumusan masalah dalam


(1)

59

agar pengecekan kepercayaan data dalam penelitian dapat dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung dan mengecek kebenaran data melalui sumber arsip-arsip data pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung.


(2)

140

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Kebijakan yang efektif dan tepat diprioritaskan segera dalam upaya mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung adalah kebijakan pengembangan dan pelebaran jalan protokol. Pengembangan dan pelebaran jalan protokol tersebut meliputi Jl. Pemuda II (lintasan Mall Chandra), Jl. Urip Sumoharjo, Jl. P. Antasari, Jl. Sultan Agung. Kebijakan ini bertujuan mengurangi terfokusnya aktivitas kendaraan pada jalan protokol yang telah dilebarkan sebelumnya untuk mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung yaitu di Jl. Kartini, Jl. Raden Intan, Jl. Jenderal Soedirman, Jl. Imam Bonjol, Jl. Z.A Pagar Alam, Jl. Ahmad Yani, Jl. Diponegoro, Jl. Teuku Umar.

2. Selanjutnya, alternatif kebijakan untuk mengatasi kemacetan di jalan protokol Kota Bandar Lampung yaitu :

a) Pembangunan jalan layang (fly over) di Jl. Kartini- Teuku Umar- Imam Bonjol dengan volume 450 meter; Jl. Z.A Pagar Alam-Jl. Teuku Umar dengan volume 500 meter; Jl. Kotaraja-Raden Intan-Jen. Katamso dengan


(3)

141

volume 300 meter; Jl. Soekarno Hatta-Ki Maja-Ratu Dibalau; dan pada Jl. Soekarno Hatta-Untung Surapati-R.A Basyid.

b) Pembangunan jalan bawah (under pass) di Jl. HOS Cokroaminoto.

c) Pengembangan jalan alternatif di Jl. Untung Suropati, Jl. Nusantara, Jl. Haji Said, Jl. Bung Tomo, Jl. Bumi Manti II dan Jl. Bumi Manti III.

B. Saran

Saran yang diajukan terkait dengan penelitian ini adalah diharapkan Pemerintah Kota Bandar Lampung segera secepatnya merealisasikan kebijakan pengembangan dan pelebaran jalan protokol yang difokuskan untuk diprioritaskan yaitu pada Jl. Pemuda II (lintasan Mall Chandra), Jl. Urip Sumoharjo, Jl. P. Antasari, dan Jl. Sultan Agung agar kemacetan di jalan protokol dapat dikurangi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik. Penerbit Salemba Humanika. Jakarta.

Asmara, Hendra. 1986. Politik Perencanaan Pembangunan Daerah. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Bruton, M.J. 1985. Introduction to Transport Planning. Third Edition. Anchor Brendon Ltd. London.

Danim, Sudarwan. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Bumi Aksara. Jakarta.

Dunn, William. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Mardiasmo. 2002. Akutansi Sektor Publik. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Meyer, Michael D and Miller. 1984. Urban Transportation Planning. Mc

Grawhill Book.

Miles, M. B. dan Huberman, M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep.

Moleong, Lexy. J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Morlok, Edward K. 1995. Pengantar Teknis dan Perencanaan Transportasi. Alih bahasa: Johan Kelanaputra Hainim. Editor: Yani Sianipar. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. PT. Alexmedia Competindo. Jakarta.

Siagian, Sondang. 2005. Administrasi Pembangunan. Bumi Aksara. Jakarta. Suharto, Edi. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.


(5)

Subarsono, AG. 2012. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori, Dan Aplikasi. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Tamin, Ofyar Z. 2000. Perencanaan dan Permodelan Transportasi, Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung.

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi. Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta.

Wahab, Solichin Abdul. 2012 . Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Bumi Aksara. Jakarta.

Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Sumber Lain:

UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Peningkatan Fungsi Jalan UU Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung

Peraturan Walikota No 07 Tahun 2008 Tentang Rincian, Tugas, Fungsi Dan Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung

Artikel

Dinas Bina Marga (2003), Petunjuk Teknis Perencanaan dan Penyusunan Program Jalan Kabupaten, Surat Keputusan Direktur Bina Marga No. 77 Tahun 1990.


(6)

Web:

http://radarlampung.co.id/read/opini/28970-macet-dan-implikasi-sosial diunduh pada jam 21:50 tanggal 23 Februari 2013)

http://radarlampung.co.id/read/berita-utama/49679-prioritaskan-pembangunan-jalan-dan-fly-over diunduh tanggal 29 Januari 2013 pukul 20: 55)

http://www.radarlampung.co.id/read/opini/19369-memecah-kemacetan-kota diunduh tanggal 30 januari jam 20:57)

http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/48315-rp200-m-untuk-infrastruktur-kota) diunduh tanggal 29 Januari 2013 pukul 21:00)

http://www.old.lampungprovgo.id/index.php?link=d+l&d=1655 diakses pada 8 September 2013 pukul 23:37 WIB)