Kerugian Sosial Ekonomi dan Alternatif Kebijakan dalam Mengatasi Permasalahan Kemacetan di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Transportasi merupakan salah satu sarana yang dapat menghubungkan manusia dengan tempat yang dituju. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Transportasi membuat hidup manusia lebih produktif karena dapat memobilisasi dari satu tempat dengan tempat lainnya dengan cepat dan mudah sehingga dapat mengefisienkan waktu.
Transportasi merupakan urat nadi kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Transportasi berperan sebagai sarana mempertinggi integritas bangsa serta meningkatkan standar kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Transportasi secara umum berfungsi sebagai sarana yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan sebagai pemersatu wilayah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Transportasi yang terdiri dari transportasi darat, laut dan udara juga mengemban penting fungsi pelayanan publik dalam skala domestik maupun internasional.
Salah satu bagian dari transportasi yaitu transportasi darat. Kendaraan bermotor merupakan sarana yang mutlak diperlukan dalam transportasi darat. Jumlah kendaraan bermotor semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi suatu indikasi bahwa masyarakat semakin membutuhkan sarana transportasi sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
(2)
Tabel 1. Jumlah Kendaraan Bermotor Tahun 2005- 2009 di Indonesia
Tahun Mobil Truk Bus Sepeda motor Total %
2005 7.484.175 2.413.711 4.573.864 33.193.076 47.664.826 15,11
2006 7.678.891 2.737.610 4.896.065 35.102.492 50.415.058 15,98
2007 9.501.241 2.854.990 5.013.544 45.948.747 63.318.522 20,07
2008 10.779.687 3.870.741 6.025.023 51.697.879 72.373.330 22,94
2009 11.828.529 4.223.677 6.225.588 59.447.626 81.725.420 25,90
Jumlah 47.272.523 16.100.729 26.734.084 225.389.820 315.497.156 100
% 14,98 5,10 8,47 71,44 100,00
Sumber : Kementrian Perhubungan, 2010
Berdasarkan Tabel di atas, dapat dilihat bahwa jumlah kendaraan bermotor tertinggi terdapat pada kendaraan sepeda motor yaitu sebesar 71,44 persen dari jumlah keseluruhan kendaraan bermotor. Banyaknya jumlah sepeda motor ini disebabkan karena harga sepeda motor yang semakin terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Maraknya penawaran kredit sepeda motor oleh dealer sepeda motor semakin memudahkan peminat sepeda motor untuk memiliki kendaraan roda dua ini. Hal ini menyebabkan jumlah kendaraan sepeda motor semakin banyak dari tahun ke tahun.1
Perkembangan otonomi daerah di Indonesia menyebabkan transportasi juga mutlak diperlukan di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Pemerintah mempunyai wewenang untuk membangun daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan upaya pemerintah pusat memajukan perekonomian Indonesia. Peningkatan pembangunan ekonomi daerah telah meningkatkan peranan sektor transportasi untuk pencapaian tujuan pembangunan daerah.
Daerah Cicurug-Parungkuda memiliki aktivitas ekonomi yang lebih tinggi dibanding daerah lain yang ada di Kabupaten Sukabumi. Banyaknya aktivitas
1
http://arsipberita.com/arsip/jumlah-sepeda-motor-di-indonesia-tahun-2010.html. Diakses tanggal
(3)
ekonomi ini menjadi penyebab adanya kemacetan. Aktivitas ekonomi seperti pendirian pabrik industri mengharuskan terjadinya mobilitas tenaga kerja serta distribusi barang dan jasa. Aktivitas ekonomi tersebut tidak luput dari peranan sarana transportasi. Banyaknya aktivitas ekonomi ini tidak didukung oleh prasarana yang memadai. Hal ini yang menjadi penyebab utama adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.
Jalan utama yang cukup sempit sementara jumlah kendaraan bermotor yang melebihi kapasitas jalan (over carrying capacity) menjadi salah satu penyebab adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug sampai dengan Parungkuda. Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi (2011) menyatakan bahwa laju kepemilikan kendaraan bermotor sebesar 23,34 persen ini tidak sebanding dengan laju pertumbuhan jalan yang hanya kurang dari 1 persen. Adapun jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor di Kabupaten Sukabumi tahun 2008 sampai 2010 berdasarkan pengeluaran BPKB dapat dilihat Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah BPKB yang Dikeluarkan Polres Kab. Sukabumi Tahun 2008-2010
Tahun Mobil penumpang
% Mobil Beban
% Bis % Sepeda Motor
%
2008 505 29,75 833 41,21 9 13,88 25.066 27,17 2009 534 31,46 532 26,32 25 38,56 30.090 32,61 2010 659 38,80 656 32,46 31 47,56 37.113 40,22
Jumlah 1.698 100 2.021 100 65 100 92.269 100
Sumber : Dinas Perhubungan, 2011
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan mobil penumpang mengalami penurunan pada tahun 2009, namun pada tahun 2010, mobil penumpang mengalami peningkatan sebesar 7,34 persen dari tahun 2009. Selain mobil penumpang, mobil barang pun mengalami penurunan pada tahun 2009 namun meningkat kembali pada tahun 2010 sebesar 6,16 persen dari tahun 2009. Berbeda dengan mobil beban dan mobil penumpang, bis dan sepeda motor
(4)
mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu sebesar 33,68 persen untuk bis dan 13,05 persen untuk sepeda motor.
Banyaknya jumlah kendaraan umum maupun kendaraan pribadi ini menjadi bagian dari adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda. Hal ini terbukti dengan adanya kepadatan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda pada peak hour yaitu pukul 06.00-07.00 WIB dengan jumlah seluruh kendaraan mencapai 2.539 unit. Jumlah kendaraan pribadi yang melewati jalan tersebut lebih banyak dibanding dengan jenis kendaraan lain (kendaraan umum dan kendaraan barang) yaitu sebesar 2.147 unit dimana sebagian besar dari jumlah tersebut merupakan kendaraan jenis roda dua dengan jumlah 1.923 unit.
Kendaraan besar seperti truk-truk yang mengangkut Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) menjadi penyebab adanya kemacetan. Banyaknya industri yang menggunakan kendaraan truk operasional serta menyerap banyak tenaga kerja juga berkontribusi terhadap kemacetan jalur tersebut. Adapun volume kendaraan barang yang melewati sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Volume Kendaraan Barang di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda menurut Waktu Tahun 2011
Waktu Truk Besar Truk Sedang Pick Up Jumlah
06.00-07.00 18 27 45 90
07.00-08.00 39 36 47 122
08.00-09.00 37 47 59 143
11.00-12.00 73 146 103 322
12.00-13.00 88 124 94 306
15.00-16.00 50 49 61 160
16.00-17.00 49 46 46 141
17.00-18.00 29 42 45 116
18.00-19.00 22 45 35 102
Jumlah 405 562 535 1.502
% 26,96 37,42 35,62 100
(5)
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah truk yang melewati jalan Cicurug-Parungkuda yaitu sebesar 1.502 unit dan sebanyak 37,42 persen diantaranya merupakan truk sedang. Jumlah truk besar yaitu sebesar 26,96 persen dimana jumlah tersebut lebih sedikit dibanding dengan pick up yaitu sebesar 35,62 persen. Peak hour untuk kendaraan barang yaitu pada pukul 11.00-12.00 WIB dengan volume kendaraan sebanyak 322 unit. Banyaknya kendaraan barang yang melewati jalan Cicurug-Parungkuda ini menjadi salah satu penyebab adanya kemacetan karena kendaraan barang berjalan dengan rata-rata kecepatan di bawah kendaraan pada umumnya sehingga dapat menyebabkan adanya tumpukan kendaraan di ruas jalan tersebut.
Kemacetan dapat mengurangi manfaat ekonomi dan dapat menambah biaya yang dikeluarkan. Kemacetan dapat menambah konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) karena pada saat macet kendaraan menyala lebih lama sehingga walaupun dalam keadaan diam bensin tetap akan berkurang sehingga pengguna jalan harus menambah biaya pembelian BBM. Kemacetan juga dapat menimbulkan kerugian sosial. Kemacetan dilihat dari dampak sosialnya dapat membuat seseorang stress, lelah, terlambat ke sekolah atau ke kantor, sampai menurunnya kualitas udara.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu mengkaji tentang besarnya dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh pengguna kendaraan bermotor. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan keadaan saat lalu lintas berjalan normal dengan situasi dimana terjebak dalam kemacetan. Peneliti juga menganalisis alternatif kebijakan dalam mengatasi permasalahan.
(6)
1.2. Perumusan Masalah
Pertambahan waktu memiliki hubungan positif dengan pertambahan jumlah penduduk dan sarana transportasi. Pertambahan waktu diiringi dengan bertambahnya jumlah penduduk sehingga kebutuhan untuk transportasi pun meningkat. Peningkatan alat transportasi baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum menjadi hal yang harus dipenuhi agar mobilitas penduduk dapat berjalan baik. Peningkatan jumlah alat transportasi dapat menjadi salah satu penyebab adanya kemacetan karena kepadatan alat transportasi dapat mengurangi jarak lintasan antar kendaraan.
Sepanjang tahun 2005-2009, jumlah kendaraan bermotor terus mengalami peningkatan. Sebanyak 225.389.820 sepeda motor telah meramaikan lalu lintas di Indonesia. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah mobil yang ada di Indonesia mencapai 47.272.523, sedangkan truk dan bus yaitu 16.100.729 dan 26.734.084 (Kementerian Perhubungan, 2010).
Banyaknya pabrik industri yang terdapat di sepanjang jalan tersebut menjadi penyebab utama kemacetan karena banyaknya kendaraan operasional dan tenaga kerja yang keluar masuk pabrik sehingga dapat menghambat jalannya lalu lintas. Tercatat sampai tahun 2007, jumlah pabrik yang terdapat di Kabupaten Sukabumi tersebut adalah sebanyak 57 perusahaan pakaian jadi, 12 perusahaan pakaian rajutan, 6 perusahaan peci, 26 perusahaan elektronik, dan 38 perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan).2
2
http://bppt.kabupatensukabumi.go.id/index.php?optionpersen3Dcom_contentpersen26viewpersen
3Darticlepersen26idpersen3D131persen26Itemidpersen3D82/ diakses pada tanggal 2 Maret 2011
(7)
Kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda bukan hanya terjadi karena banyaknya industri namun juga karena padatnya kendaraan dan sempitnya ruas jalan. Selain itu, kemacetan di Cicurug-Parungkuda juga dipengaruhi oleh kualitas jalan yang menyebabkan over carrying capacity. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada jalan. Jalanan yang rusak menyebabkan pengguna jalan lebih hati-hati dan lebih lambat dalam mengendarai kendaraannya yang akhirnya menyebabkan arus lalu lintas menjadi padat. Dilihat dari segi kondisi jalan aspal yang kondisinya baik dan sedang hanya sebesar 37,09 persen, sisanya 62,91 persen pada kondisi sedang rusak, rusak, dan rusak berat dengan lebar ruas jalan ukuran sekitar sepuluh meter dengan lebar efektif tujuh meter dan hambatan samping tiga meter. 3
Perilaku pengguna jalan yang tidak mentaati peraturan juga menjadi penyebab adanya kemacetan. Supir-supir kendaraan umum sering berhenti di jalan yang memiliki kepadatan lalu lintas tinggi untuk mencari penumpang, seperti di sekitar pabrik industri, pasar, dan lain-lain. Kendaraan operasional seperti
container yang tidak layak jalan juga sering menjadi penyebab kemacetan karena kendaraan tersebut tetap beroperasi walaupun tidak memenuhi persyaratan bebas jalan.
Kemacetan dapat menghilangkan manfaat yang seharusnya diterima bila lalu lintas berjalan lancar. Adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh pengguna kendaraan bermotor serta banyaknya waktu yang terbuang yang
3
http://www.sukabumikab.bps.go.id/sukabumi-dalam-angka-2010/ diakses tanggal 29 desember
(8)
seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas lain merupakan sebagian manfaat yang hilang.
Berdasarkan masalah yang dihadapi, penelitian ini lebih difokuskan untuk membahas kerugian sosial dan ekonomi akibat kemacetan lalu lintas sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda. Selain itu, penelitian ini juga membahas alternatif kebijakan yang dilakukan oleh decision maker terkait. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Apa saja kerugian sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh pengguna kendaraan bermotor Cicurug-Parungkuda saat terkena kemacetan?
2. Berapa besarnya pengeluaran BBM dan penghasilan yang hilang (loss of earnings) karena adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda? 3. Alternatif kebijakan apakah yang sesuai untuk mengatasi kemacetan di
sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda? 1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini yaitu :
1. Mengkaji kerugian secara sosial dan ekonomi yang dirasakan pengguna kendaraan bermotor Cicurug-Parungkuda saat terjebak kemacetan.
2. Menganalisis besarnya kerugian ekonomi masyarakat dari adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
3. Menganalisis alternatif kebijakan pemerintah dalam mengatasi kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
(9)
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Penulis. Penulis dapat mengetahui dampak-dampak yang terjadi akibat adanya kemacetan serta dapat menyusun hirarki pengambilan keputusan dalam memilih kebijakan. Penelitian ini juga dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan masalah kemacetan.
2. Masyarakat. Masyarakat dapat secara langsung mengetahui kerugian ekonomi dalam nilai nominal akibat adanya kemacetan.
3. Pemerintah daerah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi dinas yang terkait dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan transportasi, khususnya regulasi mengenai manajerial transportasi.
4. Perusahaan atau industri. Industri dapat membuat regulasi yang dapat mengurangi kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengenai kerugian dan alternatif kebijakan permasalahan kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap decision maker dan pengguna kendaraan bermotor di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, penumpang serta karakteristiknya tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.
2. Penelitian difokuskan pada identifikasi kerugian sosial dan ekonomi terhadap pengguna kendaraan bermotor dan analisis alternatif kebijakan dalam
(10)
mengatasi masalah kemacetan sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
3. Kerugian ekonomi yang dihitung adalah kehilangan bahan bakar serta hilangnya penghasilan responden yang berprofesi sebagai supir akibat adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Industri tidak dihitung dalam penelitian ini karena banyaknya industri serta keterbatasan peneliti untuk mengakses pada sektor industri.
4. Penelitian mengasumsikan satu angkutan umum dikemudikan oleh satu supir. 5. Peak hour dalam penelitian ini merupakan jam dimana terdapat jumlah
kendaraan bermotor terbanyak dalam satu hari kerja.
6. Dampak perubahan atau kerusakan lingkungan terhadap masyarakat seperti dampak terhadap kesehatan yang pada akhirnya terkait dengan biaya pengobatan terhadap pengguna kendaraan bermotor tidak diteliti.
7. Dalam penelitian ini, penghasilan supir sama dengan pendapatan bersih karena penghasilan yang diterima oleh supir hanya dari satu sektor pekerjaan dan tidak ada biaya dan pajak yang diperhitungkan.
(11)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi
Pengertian transportasi menurut Morlok (1981) adalah memindahkan atau mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas (1987), transportasi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari fasilitas tertentu beserta arus dan sistem kontrol yang memungkinkan orang atau barang dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung aktifitas manusia.
Transportasi dari suatu wilayah adalah sistem pergerakan manusia dan barang antara satu zona asal dan zona tujuan dalam wilayah yang bersangkutan. Pergerakan yang dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sarana atau moda, dengan menggunakan berbagai sumber tenaga, dan dilakukan untuk suatu keperluan tertentu (Setijowarno dan Frasila, 2001).
Transportasi dikatakan baik, apabila perjalanan cukup cepat, tidak mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman, bebas dari kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Kondisi transportasi yang ideal sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi ini, yaitu kondisi prasarana (jalan), sistem jaringan jalan, kondisi sarana (kendaraan) dan sikap mental pemakai fasilitas transportasi tersebut (Sinulingga, 1999).
Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Transportasi berperan strategis dalam pembangunan. Pentingnya transportasi dapat dilihat dari aspek mikro dan makro. Pada tingkat ekonomi makro, transportasi dan mobilitas berhubungan dengan keluaran
(12)
(output), pekerja dan pendapatan. Pada kasus beberapa negara maju, transportasi berpengaruh antara enam persen sampai 12 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Pada tingkat ekonomi mikro, transportasi berhubungan dengan produsen, konsumen dan biaya produksi. 4
2.2. Kemacetan
Jika arus lalu lintas mendekati kapasitas, kemacetan mulai terjadi. Kemacetan semakin meningkat apabila arus begitu besarnya sehingga kendaraan sangat berdekatan satu sama lain. Kemacetan total terjadi apabila kendaraan harus berhenti atau bergerak sangat lambat (Tamin, 2000).
Dalam transportasi terdapat beberapa masalah yang sering dihadapi para pengguna jalan, salah satunya yaitu adanya kemacetan. Kemacetan suatu lalu lintas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Kondisi jalan dan lingkungan, berkaitan dengan waktu, biaya, dan jarak. Jalan yang buruk kondisinya (banyak berlubang, bergelombang, dan sebagainya) menyebabkan kecepatan kendaraan lambat sehingga waktu perjalanan bertambah.
2. Jenis kendaraan bermotor juga mempengaruhi pemilihan lintasan atau ruas jalan yang akan dilalui kendaraan tersebut. Hal ini dapat menimbulkan penumpukan lalu lintas pada suatu ruas jalan tertentu, yang berakibat timbulnya kemacetan lalu lintas.
3. Pengemudi atau penumpang kendaraan juga menentukan dalam pemilihan lintasan yang akan dilalui. Pada umumnya orang akan memilih jarak minimum, biaya perjalanan minimum dan waktu perjalanan yang minimum,
4
http://www.kardady.wordpress.com/manajemen-lalu-lintas/definisi-dan-istilah / diakses pada
(13)
atau ketiganya sekaligus. Ada pula kecenderungan memilih suatu ruas jalan tertentu karena kebiasaan. Apabila semua pengguna jalan berpendapat demikian, maka dapat terjadi penumpukan lalu lintas pada suatu ruas jalan, sedangkan pada ruas jalan yang lain lalu lintas kurang padat.
2.3. Peranan Transportasi terhadap Sosial, Ekonomi, dan Pembangunan Daerah
2.3.1. Transportasi terhadap Sosial
Transportasi juga menyentuh aspek sosial dengan manfaatnya seperti dengan pemukiman yang awalnya kecil, seiring berjalannya waktu, penduduknya menjadi bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk membuat kebutuhan akan transportasi juga akan meningkat, sehingga wilayah menjadi ramai dan berkembang. Perkembangan ini dapat dilihat dari produktivitas penduduk yang semakin meningkat.
Produktivitas penduduk juga meningkatkan daerah pemukiman untuk tempat tinggal mereka. Tempat pemukiman ini sangat erat hubungannya dengan transportasi. Sedikit pengaruh saja, dapat menimbulkan efek yang lebih besar. Seperti halnya perbaikan transportasi yang berpengaruh nyata sehingga penduduk dapat merasakan perubahan perbaikan akses ke suatu wilayah maupun perbaikan dari suatu kegiatan seperti pengangkutan dan pendidikan (Morlok dalam Pangaribuan, 2005).
2.3.2. Transportasi terhadap Ekonomi
Sektor transportasi merupakan bagian penting dari ekonomi yang mempunyai pengaruh dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Apabila sistem transportasi efisien, maka akan membuka peluang dan keuntungan secara ekonomi dan sosial. Sebaliknya ketika sistem transportasi tidak efisien,
(14)
maka bisa berakibat pada biaya ekonomi tinggi dan berkurangnya atau hilangnya peluang-peluang yang ada. Pada sisi lain, sektor transportasi juga mempunyai dampak sosial dan lingkungan yang tidak bisa dihindarkan (Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007).
Secara umum, dampak ekonomi dari sektor transportasi dapat dikategorikan ke dalam direct impacts dan indirect impacts. Direct impacts
berkaitan dengan perubahan aksesibilitas dimana transportasi memungkinkan terjadinya perkembangan pasar dan penghematan waktu dan biaya. Indirect impacts berkaitan dengan multiplier effect dimana harga komoditas atau pelayanan turun dan variasinya meningkat. Untuk melihat proses multiplier effect
dari transportasi lihat Gambar 1.
Sumber : Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007
Gambar 1. Proses Multiplier Effectdari transportasi
Direct Investment
Investasi proyek/ Aktivitas
Indirect Investment
Investasi oleh
Supplier
Induced Investment
Belanja masyarakat
Economic Simulation
Perluasan Bisnis dan
Menarik bisnis baru Transportasi
(15)
Pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa :
• Direct investment akan membuka lapangan kerja untuk mendukung proyek atau kegiatan yang direncanakan.
• Indirect investment, atau belanja yang dilakukan oleh suppliers penyedia barang dan jasa untuk proyek, juga menciptakan lapangan kerja.
• Direct dan indirect investment berdampak pada business revenue dan
personal income.
• Income dibelanjakan oleh masyarakat (Induced investment) sehingga menghasilkan lapangan kerja.
• Akhirnya, direct, indirect, dan induced investment (multiplier effect) akan menstimulasi ekonomi yang mampu memperluas dunia usaha yang telah ada dan meningkatkan daya tarik untuk tumbuhnya dunia usaha yang baru.
Mobilitas merupakan salah satu bagian yang fundamental dan merupakan karakteristik utama aktivitas ekonomi. Mobilitas menjamin terpenuhinya kebutuhan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik bagi penumpang, barang, maupun informasi. Daerah dengan tingkat mobilitas tinggi umumnya mempunyai banyak peluang untuk membangun dibandingkan dengan daerah yang mempunyai mobilitas rendah. Mobilitas merupakan indikator pembangunan yang baik. Penurunan mobilitas berarti menghambat pembangunan dan sebaliknya meningkatkan mobilitas akan mendukung pembangunan. Mobilitas manusia dan barang hanya bisa dicapai dengan sistem transportasi yang baik.
Mobilitas itu sendiri merupakan satu industri yang menawarkan pelayanan terhadap pelanggan, mempekerjakan orang dan membayar gaji, menginvestasikan modal, dan membangkitkan pendapatan. Oleh karena itu, manfaat transportasi
(16)
dalam pembangunan ekonomi dapat dilihat dari perspektif makroekonomi dan mikroekonomi.
2.3.3. Transportasi terhadap Pembangunan Daerah
Dampak positif diberlakukan otonomi daerah adalah memberikan keleluasan bagi daerah untuk menentukan alokasi pembiayaan prasarana transportasi yang akan mereka rencanakan dan juga meningkatkan sumber penerimaan bagi pembiayaannya sehingga pemerintah mempunyai kewenangan untuk membangun daerahnya masing-masing. Di sisi lain, ekses dari kebijakan otonomi daerah yakni timbulnya ketidakpastian bagi para pelaku usaha dalam hal tumpang tindihnya peraturan daerah yang dapat menghambat tumbuhnya iklim usaha. Faktor-faktor kunci tata pemerintahan yang baik yaitu kemampuan teknis dan manajerial, kapasitas organisasi, kapasitas hukum, akuntabilitas, transportasi dan sistem informasi yang terbuka.5
2.4. Manajemen Lalu Lintas
Manajemen lalu lintas adalah suatu proses pengaturan pasokan (supply) dan kebutuhan (demand) sistem jalan raya yang ada untuk memenuhi suatu tujuan tertentu tanpa penambahan prasarana baru, melalui pengurangan dan pengaturan pergerakan lalu lintas. Manajemen lalu lintas biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah lalu lintas jangka pendek, atau yang bersifat sementara.
Manajemen lalu lintas terbagi menjadi dua bagian yaitu optimasi supply
dan pengendalian demand. Kelompok optimasi supply antara lain pembatasan parkir di badan jalan, jalan satu arah, reversible line, larangan belok kanan pada persimpangan, dan pemasangan lampu lalu lintas (Putranto, 2007).
5
http://www.transportasijawabarat.com/peran-pemerintah/ diakses pada tanggal 25 Desember
(17)
Secara umum yang dimaksud dengan manajemen lalu lintas adalah memanfaatkan semaksimal mungkin sistem jaringan jalan yang ada. Manajemen lalu lintas juga mempunyai arti untuk menampung lalu lintas sebanyak mungkin, menampung penumpang sebanyak mungkin, memperhatikan keterbatasan lingkungan (kapasitas lingkungan), memberikan prioritas terhadap golongan atau kelompok yang sangat membutuhkan, melakukan penyesuaian kebutuhan terhadap pemakai jalan lainnya.
Tujuan dilakukannya manajemen lalu lintas yang pertama yaitu untuk mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi dengan menyeimbangkan permintaan dengan sarana penunjang yang ada. Kedua, meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh semua pihak dan dapat memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik mungkin. Ketiga, memperbaiki dan melindungi kondisi lingkungan dimana arus lalu lintas tersebut berada. Keempat, mempromosikan penggunaan energi secara efisien atau pengguna energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil daripada energi yang ada.
Sasaran dari manajemen lalu lintas berdasarkan tujuan di atas yang pertama yaitu mengatur dan menyederhanakan lalu lintas dengan melaksanakan pemisahan terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk meminimumkan gangguan terhadap lalu lintas. Kedua, mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menaikkan kapasitas atau mengurangi volume pada suatu jalan. Menentukan optimasi ruas jalan dengan menentukan fungsi dari jalan dan kontrol terhadap aktivitas yang tidak cocok dengan fungsi jalan tersebut.
(18)
2.5. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Asriyanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Alternatif Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali” mengidentifikasi persepsi masyarakat dan pemerintah (responden) untuk mengetahui pendapat tentang kondisi perikanan lemuru, pendapat tentang alternatif pengelolaan yang mereka inginkan, serta tingkat peran dalam pengelolaan perikanan lemuru. Hasil menunjukkan bahwa persepsi masyarakat dan pemerintah terhadap kondisi perikanan lemuru mengalami penurunan (rata-rata masa kini lebih rendah daripada masa lalu : -3.53). Tingkat peran responden dalam bentuk konsultatif. Proses pengelolaan perikanan lemuru pada sel V (Matrik IE) yang berimplikasi kepada strategi bertahan dan terpelihara (hold and maintain) yang dilihat dari perspektif pemerintah sebagai alternatif difensif, sedang kuadran II (Analisis SWOT) yang menempatkan pada alternatif diversifikasi produk yang berarti alternatif yang mempertahankan produksi perikanan. Berdasarkan perhitungan AHP urutan prioritas kebijakan alternatif pengelolaan perikanan yang harus diambil pemerintah adalah penyempurnaan regulasi, penerapan MCS (Monitoring, Control, Surveillance), peningkatan ko-manajemen, pengalihan pola tangkap.
Sapta (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan dengan
Contingent Valuation Method (CVM)” menghitung besarnya kerugian ekonomi yang diterima oleh pengguna kendaraan bermotor berupa perhitungan pertambahan biaya pembelian BBM serta pendapatan yang hilang karena adanya kemacetan.
(19)
Besarnya pertambahan biaya pembelian BBM yang menjadi beban bagi pengguna kendaraan bermotor yaitu sebesar Rp 5.237,87 untuk setiap mobil sedangkan motor sebesar Rp 2.098,78, sehingga total kerugian BBM kendaraan bermotor akibat kemacetan adalah Rp 7.336,65. Pendapatan pengguna jalan yang
hilang akibat adanya kemacetan yaitu sebesar Rp 6.301,49 untuk mobil Rp 2.800,58 untuk motor Rp 2.254,05 untuk penumpang angkutan umum.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Marwan (2011) yang berjudul ”Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas dengan Pendekatan Willingness to Accept (WTA)” adalah menghitung pertambahan biaya pembelian BBM akibat adanya kemacetan. Kerugian yang ditanggung pengguna jalan adalah selisih antara rata-rata pengeluaran BBM saat lalu lintas macet per kendaraan dengan rata-rata pengeluaran biaya BBM saat lalu lintas berjalan normal yaitu sebesar Rp 11.659,09 untuk setiap mobil sedangkan motor sebesar Rp 6.905,41, sehingga total kerugian BBM kendaraan bermotor akibat kemacetan adalah Rp 18.564,00. Deskripsi singkat dari penelitian terdahulu yang relevan dapat dilihat pada Tabel 4.
(20)
Tabel 4. Penelitian Terdahulu yang Relevan
No Nama Judul Tulisan Deskripsi Alat analisis
1 Asriyanto (2005) Alternatif Pengelolaan Perikanan Temuru di Pulau Bali Mengetahui strategi alternatif pengelolaan perikanan Temuru dengan menggunakan dua langkah yaitu SWOT dan AHP
SWOT dan AHP
2 Sapta (2009) Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan dengan Contingent Valuation Method (CVM) Menghitung biaya yang harus dikeluarkan dan menghitung pendapatan yang hilang akibat adanya kemacetan di daerah kota Bogor serta mengestimasi nilai WTA yang ada.
Contingent Valuation Method (CVM)
3 Marwan (2011) Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas dengan Pendekatan
Willingness to Accept (WTA) Menghitung biaya yang harus dikeluarkan untuk penambahan biaya pembelian BBM serta mengestimasi nilai WTA di kecamatan Bogor Barat. Contingent Valuation Method (CVM)
Sumber : Penulis, 2011
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa penelitian terdahulu menggunakan dua alat analisis untuk mendapatkan strategi alternatif. Sapta (2009) dan Marwan (2011) menghitung kerugian ekonomi akibat adanya kemacetan. Keunggulan dari penelitian yang dilakukan penulis yaitu tidak hanya menghitung kerugian ekonomi yang diderita oleh pengguna kendaraan bermotor, namun juga mencari alternatif strategi (output) untuk mengatasi permasalahan kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda dengan satu langkah metode saja yaitu dengan menggunakan AHP.
(21)
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Metode Penghasilan yang Hilang (Loss of Earnings Methods)
Menurut Hufscmidt, et al., (1992), Metode penghasilan yang hilang merupakan salah satu metode valuasi ekonomi untuk melakukan penilaian biaya lingkungan berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar. Penilaian manfaat dengan metode ini menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market methods). Oleh karena itu, penggunaan metode ini mudah digunakan karena mengikuti harga pasar yang berlaku saat ini.
Perhitungan Rata-Rata Contoh
Perhitungan rata-rata contoh merupakan salah satu metode untuk menghitung penghasilan yang hilang. Rata-rata contoh sangat bermanfaat untuk melihat hal atau ciri-ciri data penting. Rata-rata merupakan suatu nilai pusat data bila data itu dijumlahkan kemudian dibagi dengan banyaknya sampel. Rata-rata contoh adalah sebagai berikut (Walpole, 1993):
Keterangan :
: Nilai tengah contoh (rata-rata) : Banyaknya contoh
Xi : Peubah bebas yang menjelaskan peubah tak bebas Y
i : 1,2,3,….n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi 3.1.2. Analisis Hirarki Proses (AHP)
Analisis hirarki Proses (AHP) adalah suatu metode yang sering digunakan untuk menilai tindakan yang dikaitkan dengan perbandingan bobot kepentingan antara faktor serta perbandingan beberapa alternatif pilihan. AHP merupakan pendekatan dasar dalam pengambilan atau membuat keputusan. Tujuan dari AHP
(22)
ini adalah menyelesaikan masalah yang kompleks atau tidak berkerangka dimana data dan informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat sedikit, mengatasi antara nasionalitas dan intuisi, memilih yang terbaik dari sejumlah alternatif yang telah dievaluasi dengan memperhatikan beberapa kriteria (Saaty, 1980). Analisis Hirarki Proses (AHP) pada dasarnya memiliki tiga fungsi utama yaitu:
1. Structuring Complexity. AHP membantu dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks dengan menyusunnya menjadi hirarki yang lebih terstruktur.
2. Measurement on a Ratio Scale. Setiap elemen-elemen yang ada dalam hirarki memiliki prioritas yang diukur menggunakan skala rasio prioritas.
3. Syhthesis. Dalam membuat keputusan atas masalah dengan berbagai elemen pembentuknya, AHP dapat mengkombinasikannya.
Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Jadi perbedaan yang mencolok model AHP dengan model lainnya terletak pada jenis inputnya. Terdapat 4 aksioma-aksioma yang terkandung dalam model AHP yaitu:
1. Reciprocal Comparison artinya pengambilan keputusan harus dapat memuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi tersebut harus memenuhi syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B dengan skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x.
2. Homogenity artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen- elemennya dapat dibandingkan satu sama lainnya. Jika aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen- elemen yang
(23)
dibandingkan tersebut tidak homogen dan harus dibentuk cluster (kelompok elemen) yang baru.
3. Independence artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan dalam AHP adalah searah, maksudnya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu tingkat dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen pada tingkat diatasnya
4. Expectation artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.
Selanjutnya Saaty (2001) menyatakan bahwa proses hirarki analitik (AHP) menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur ke dalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan. Secara umum, Hirarki dapat dibagi menjadi dua jenis (Saaty, 1991):
1. Hirarki Struktural. Dalam hirarki ini masalah yang kompleks diuraikan menjadi komponen-komponen pokoknya dalam urutan menurun menurut sifat strukturalnya. Misalnya membagi-bagi objek menjadi sejumlah gugusan, sub gugusan dan gugusan yang lebih kecil.
(24)
2. Hirarki fungsional. Hirarki fungsional menguraikan masalah yang kompleks menjadi elemen-elemen pokoknya menurut hubungan esensial mereka. Setiap perangkat elemen dalam hirarki fungsional menduduki satu tingkat hirarki. Tingkat puncak disebut fokus, terdiri atas satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Tingkat-tingkat berikutnya masing-masing dapat memiliki beberapa elemen.
Adapun ilustrasi model hirarki dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Sumber : Saaty (1980)
Gambar 2. Ilustrasi Model Hirarki AHP
Analisis Hirarki Proses dalam penelitian ini memiliki beberapa tahapan dalam implementasinya. Tahapan-tahapan ini akan membuat pelaksanaan AHP lebih sistematis sehingga hasil yang didapat pun akan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun tahapan dalam metode AHP adalah sebagai berikut :
1. Mendifinisikan suatu kegiatan yang memerlukan pemilihan dalam pengambilan keputusannya.
2. Menentukan kriteria-kriteria dari pilihan-pilihan tersebut terhadap identitas kegiatan membuat hirarkinya.
Kriteria
Sub kriteria Tujuan
(25)
3. Membuat matriks pairwise comparison berdasarkan kriteria fokus dengan memperhatikan comparative judgement.
4. Membuat matriks pairwise comparison dengan memperhatikan prinsip-prinsip comparative judgement berdasarkan kriteria pada tingkat di atasnya. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Daerah sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda merupakan wilayah yang memiliki kepadatan lalu lintas yang tinggi. Kemacetan lalu lintas merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari lagi dengan banyaknya aktivitas ekonomi serta jumlah kendaraan bermotor sebanyak itu. Kemacetan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat terutama pengguna kendaraan bermotor.
Kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat tidaklah kecil. Berbagai kerugian yang diterima masyarakat seperti pencemaran udara, kebisingan, stress saat macet. Kerugian yang paling dirasakan yaitu terhadap aspek ekonomi pengguna kendaraan bermotor. Kerugian ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat pengguna kendaraan bermotor seperti pengeluaran yang meningkat untuk pengeluaran BBM, hilangnya penghasilan, dan banyak lagi. Mengingat besarnya kerugian yang diterima oleh masyarakat, maka diperlukan analisis mengenai kerugian ekonomi dari pengguna kendaraan bermotor.
Perhitungan pengeluaran pengguna jalan difokuskan pada pengeluaran BBM yang digunakan. Perhitungan ini akan membandingkan pengeluaran BBM saat kendaraan terkena kemacetan dengan kendaraan yang tidak terkena kemacetan. Penghasilan yang hilang dihitung dengan melihat rata-rata penghasilan responden dibagi dengan durasi kemacetan.
(26)
Peran pemerintah daerah dirasakan mempunyai andil yang sangat besar untuk menanggulangi masalah kemacetan. Kebijakan yang dibuat pemerintah diharapkan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas. Berbagai kebijakan pemerintah sebagian telah dilaksanakan dan selebihnya masih berupa rencana kegiatan. Untuk itu, diperlukan suatu analisis yang dapat memberikan solusi alternatif kebijakan pemerintah yang paling sesuai diterapkan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda ini. Analisis yang dilakukan yaitu dengan melihat kemacetan dari berbagai aspek. Setelah itu, menghitung berbagai alternatif kebijakan yang telah dibuat dengan menggunakan AHP (Analisis Hirarki Proses) agar keputusan yang diambil efisien dan tepat sasaran.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang kebijakan apa yang seharusnya diambil dan diterapkan dalam mengurangi kemacetan. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi mengenai besarnya kerugian akibat kemacetan yang sebelumnya tidak diketahui nilai nominalnya. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian dibuatlah alur berfikir yang dapat dilihat pada Gambar 3.
(27)
- - - = Ruang lingkup penelitian
Gambar 3. Diagram Alur Kerangka Pemikiran
Metode Loss of Earnings
Transportasi di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda Kuantitas kendaraan Kualitas jalan Pendirian pabrik Meningkatnya jumlah kendaraan Jam keluar masuk
pabrik buruh dan kendaraan operasional
Over carrying capacity
kemacetan
Dampak ekonomi Kebijakan pemerintah daerah
Dampak sosial adanya kemacetan Kebijakan pemerintah untuk mengatasi kemacetan Analisis deskriptif kualitatif AHP
Alternatif kebijakan terbaik untuk mengatasi kemacetan Pengeluaran BBM
dan hilangnya penghasilan Dampak sosial
Perilaku pengguna jalan
Perilaku berkendara yang tidak mentaati peraturan
(28)
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan mempertimbangkan: (1) Kecamatan Cicurug dan Parungkuda merupakan wilayah Kabupaten Sukabumi Bagian Utara yang menjadi lokasi strategis untuk kawasan industri sehingga memungkinkan banyaknya aktivitas ekonomi yang menjadi penyebab kemacetan, (2) Daerah sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda merupakan salah satu daerah di Kabupaten Sukabumi Bagian Utara yang memiliki tingkat kemacetan lalu lintas yang tinggi sepanjang waktu yaitu memiliki V/C rasio sebesar 0,9 dibanding dengan Kecamatan Cibadak yang hanya memiliki V/C rasio 0,8 , (3) Adanya kesesuaian data yag diharapkan dapat mendukung dan mewujudkan tujuan penelitian yang diajukan. Penelitian ini merupakan studi lapang yang dilakukan pada bulan Mei 2011 hingga Juni 2011. 4.2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer, data sekunder dan didukung dengan pendekatan kualitatif. Data primer didapatkan dengan cara memberikan kuesioner kepada pengguna kendaraan bermotor dan melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dan pada para decision maker yang bersangkutan. Jenis data lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diambil dari berbagai instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti BPS Kabupaten Sukabumi, DLLAJ Kabupaten Sukabumi, Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi, Dinas PU Kabupaten Sukabumi,
(29)
perpustakaan, internet serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini.
4.3. Penentuan Jumlah Responden
Teknik pengambilan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan
non probability sampling method (tidak memberikan kemungkinan yang sama bagi tiap unsur responden) karena jumlah populasi pengguna jalan tidak diketahui secara pasti. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Istilah
purposive sampling berarti mengambil orang-orang oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu. Pertimbangan bagi responden adalah mereka yang mengalami perjalanan dan melewati jalan Cicurug-Parungkuda dan pernah mengalami kemacetan.
Jumlah sampel yang diambil yaitu sebanyak10 persen dari total kendaraan yang melewati daerah tersebut pada peak hour yaitu pukul 06.00-07.00 WIB sebanyak kurang lebih 2.539 kendaraan yang ditemui dalam waktu satu jam yaitu kurang lebih 240 orang, jumlah tersebut sudah dapat memenuhi kaidah ekonometrika dimana jumlah responden minimal 30 orang untuk sebaran normal. Menurut Gay dan Diehl (1992), untuk penelitian deskriptif jumlah sampel yang diambil yaitu sebanyak 10 persen dari populasi. Selain itu, tiga stakeholder yang dipilih untuk estimasi kebijakan pemerintah yaitu Kepala Satuan Lalu lintas Kabupaten Sukabumi, Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi (Dishubkominfo) Kabupaten Sukabumi, dan Kepala Dinas PU Kabupaten Sukabumi.
(30)
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat dampak sosial dari kemacetan lalu lintas melalui kuesioner . Metode kuantitatif menggunakan metode
Loss of Earnings (LoE) dan metode AHP (Analisis Hirarki Proses) yang akan diolah dengan menggunakan Microsoft excell 2007 dan Expert Choice 2000 . Tabel 5. Metode Pengolahan Data
No Tujuan Penelitian Alat Analisis
Teknik Pengumpulan
data
Responden
1 Mengkaji kerugian sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat akibat dari kemacetan
Deskriptif-kualitatif
Kuesioner N= 240 (116 supir, 65 pegawai swasta, 13 pelajar atau mahasiswa, 15 orang PNS, 31 orang
wiraswasta) 2 Menganalisis
besarnya kerugian masyarakat akibat adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi Kuantitatif dengan Microsoft excel 2007
Kuesioner N= 240 (116 supir, 65 pegawai swasta, 13 pelajar atau mahasiswa, 15 orang PNS, 31 orang wiraswasta) 3 Menganalisis alternatif kebijakan pemerintah dalam mengatasi kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi AHP (Analisis Hirarki Proses) dengan expert choice 2000
Kuesioner dan
interview.
N= 3 (Kepala Satuan Lalu Lintas, Kepala Dinas Perhubungan, Kepala Dinas PU)
Sumber : Penulis, 2011
4.4.1. Kerugian Sosial dan Ekonomi Kemacetan
Data yang diperlukan untuk mengkaji kemacetan ini meliputi dampak yang dirasakan oleh responden ketika mengalami kemacetan lalu lintas. Dampak
(31)
yang dialami bisa berupa stress, waktu yang terbuang, kehilangan bahan bakar, dan lain-lain. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
4.4.2. Analisis Kerugian Ekonomi Pengguna Kendaraan Bermotor akibat Adanya Kemacetan
Data yang diperlukan untuk dalam penelitian ini adalah data mengenai penggunaan BBM saat kendaraan melaju normal dan saat terkena macet. Selain itu, data mengenai rata-rata penghasilan yang didapat dari responden juga diperlukan untuk menghitung penghasilan yang hilang akibat adanya kemacetan. Perhitungan ini menggunakan perhitungan rata-rata contoh.
Rata-rata merupakan suatu nilai pusat data bila data itu dijumlahkan kemudian dibagi oleh banyaknya sampel yang ada. Rata-rata contoh untuk menghitung pengeluaran BBM adalah sebagai berikut (Walpole, 1993) :
Ave C = ∑ni=1 Ci Ave C* = ∑ni=1 Ci*
n n Dimana :
Ave C = Rata-rata pengeluaran biaya BBM dalam keadaan lalu lintas normal Ave C* = Rata-rata pengeluaran biaya BBM dalam keadaan lalu lintas macet Ci = Pengeluaran biaya BBM saat kondisi normal
Ci* = Pengeluaran biaya BBM saat kondisi macet n = Jumlah responden
Selain itu, perhitungan penghasilan yang hilang juga menggunakan perhitungan rata-rata contoh. Rata-rata contoh untuk menghitung penghasilan yang hilang (loss of earnings) adalah sebagai berikut (Walpole, 1993) :
Ave i = ∑ni=1 ii Ave t = ∑ni=1 ti Ave E = Ave i
n n Ave t Dimana :
Ave i = Rata-rata pendapatan responden ii = Pendapatan responden
Ave t = Rata-rata durasi kemacetan ti = Durasi kemacetan
(32)
4.4.3. Analisis Hirarki Proses (AHP)
Analisis Hirarki Proses (AHP) merupakan metode diaplikasikan dengan menggunakan beberapa langkah. Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode AHP meliputi :
1. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi. Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hirarki.
2. Penilaian kriteria dan alternatif. Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1988), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas
Kepentingan
Keterangan 1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya 7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada
elemen lainnya
9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai
pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan
Sumber : Saaty (1980)
Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya. Proses perbandingan berpasangan dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan
(33)
dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada gambar matriks di bawah ini :
Tabel 7. Contoh matriks perbandingan berpasangan
A1 A2 A3
A1 1 - -
A2 - 1 -
A3 - - 1
Sumber : Saaty, 1993
Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 6. Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya.
Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap alternatif.
3. Penentuan Prioritas. Setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan
(34)
prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.
Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan-tahapan. Adapun tahapan-tahapannya yaitu sebagai berikut:
1. Kuadratkan matriks hasil perbandingan berpasangan.
2. Hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks. 3. Konsistensi Logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan
diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Suryadi dan Ramdhani, 1998):
Hubungan kardinal : aij . ajk = aik
Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak
Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut :
a. dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang.
b. dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang.
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
(35)
a. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian. b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris.
c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.
d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λ maks. e. Indeks Konsistensi (CI) = (λ maks-n) / (n-1)
f. Rasio Konsistensi = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0,1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan.
Analisis Hirarki Proses (AHP) memiliki berbagai kelebihan. Adapun kelebihan AHP yaitu :
1. Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia.
2. AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami.
3. Hasil yang didapat lebih rinci, karena dapat dilihat pembobotan untuk tiap alternatif.
4. AHP memberikan penilaian terhadap konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
5. Dapat melihat perbandingan tiap kriteria untuk masing-masing alternatif. 6. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 7. Digunakan pada pembobotan global.
(36)
Analisis Hirarki Proses (AHP) juga memiliki kekurangan seperti metode lainnya. Adapun kekurangan metode AHP yaitu:
1. Pengisian kuesioner sulit, karena responden diminta untuk membandingkan satu per satu tiap kriteria dengan range penilaian yang sangat luas dan memerlukan ketelitian dalam mengisi kuesioner.
2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk. 3. Metode AHP tidak disertai dengan kekurangan serta kelebihan dari
masing-masing alternatif.
4. Untuk melakukan perbaikan keputusan, harus dimulai lagi dari tahap awal. 4.4.4. Perbedaan SWOT dengan AHP
Pada umumnya setiap metode mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk menjawab tujuan penelitian yang digunakan oleh setiap penulis, namun mempunyai perbedaan-perbedaan mendasar dari setiap metode tersebut. Begitu pula halnya dengan metode AHP dan SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Threats). Adapun perbedaan dari kedua metode ini yaitu sebagai berikut :
1. SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis dan hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah sedangkan AHP merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mencari alternatif strategi atau memecahkan masalah dari
(37)
masalah yang kompleks disusun menjadi hirarki-hirarki yang berkesinambungan.
2. Analisis SWOT adalah tahap pertama dari perencanaan dan membantu pengambil keputusan untuk berfokus pada isu-isu kunci dan tahap selanjutnya dapat menggunakan metode QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) sedangkan AHP hanya membutuhkan satu langkah metode untuk mendapatkan suatu pengambilan keputusan.
4.4.5. Klarifikasi dan Justifikasi setiap Peubah dalam AHP
Analisis Hirarki Proses digunakan untuk menyusun strategi solusi permasalahan kemacetan di sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda. Analisis AHP ditentukan terlebih dahulu peubah-peubah yang diduga sebagai peubah penyusun strategi. Berdasarkan hasil identifikasi dari peubah-peubah yang ada, penelitian ini berusaha untuk mengetahui urutan prioritas dari kegiatan penyusunan alternatif strategi dalam mengatasi permasalahan kemacetan di sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda.
Analisis faktor dan tujuan penyusun alternatif strategi untuk mengatasi permasalahan kemacetan dilakukan dengan menyusun model struktur hierarki keputusan dengan empat tingkatan, yaitu tingkatan peubah faktor yang berpengaruh, tingkatan peubah aktor yang berperan, tingkatan peubah solusi yang ingin dicapai dan peubah strategi alternatif kebijakan dalam mengurangi permasalahan kemacetan. Berikut adalah uraian dari masing-masing tingkatan tersebut.
(38)
Hirarki pertama adalah peubah faktor, yaitu identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan kemacetan di sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda. Faktor-faktor itu terdiri dari tiga, yaitu :
1. Aspek sosial budaya. Sosial budaya menjadi penyebab adanya kemacetan. Tingkah laku pengguna jalan yang tidak mentaati peraturan dapat menyebabkan kemacetan.
2. Aspek ekonomi. Aspek ekonomi berupa semua aktivitas ekonomi yang terjadi di sepanjang jalan tersebut. Semua aktivitas ekonomi tersebut dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, namun aktivitas ini pula yang menjadi penyebab adanya kemacetan. Kemacetan dapat mengurangi manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat.
3. Aspek manajemen. Aspek manajemen meliputi semua pengelolaan dalam menunjang sistem transportasi. Manajemen yang kurang baik dapat menjadi penyebab adanya kemacetan.
Hirarki Kedua adalah peubah aktor, yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung di dalam kegiatan lalu lintas di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda. Peubah ini terdiri dari empat aktor yang terlibat, yaitu :
1. Satlantas. Satlantas merupakan aktor yang berperan dalam mengatur dan mengelola lalu lintas semua jenis kendaraan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.
2. Dinas Perhubungan. Dinas perhubungan merupakan aktor yang berperan dalam mengatur dan mengelola transportasi khususnya angkutan umum dan kendaraan barang di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.
(39)
3. Dinas PU. Dinas PU merupakan salah satu decision maker dalam mengelola kualitas jalan raya serta aksesorisnya seperti trotoar dan saluran air.
4. Perusahaan. Perusahaan merupakan aktor yang mempunyai andil dalam permasalahan kemacetan. Perusahaan-perusahaan di sepanjang jalan Cicurug Parungkuda memiliki tenaga kerja dengan jumlah yang banyak. Pengelolaan yang baik di dalam perusahaan dapat mengurangi tingkat kemacetan.
Hirarki ketiga, yaitu peubah solusi yang ingin dicapai. Dalam hal ini, terdapat beberapa solusi yang ingin dicapai dalam mengatasi permasalahan kemacetan, yaitu terdiri dari tiga yaitu :
1. Efisien waktu. Banyak waktu terbuang karena terjebak dalam kemacetan yang seharusnya waktu tersebut dapat digunakan untuk aktivitas lain. Efisien waktu menjadi solusi yang ingin dicapai dalam penyusunan strategi AHP karena hal tersebut dapat meningkatkan produktivitas serta dapat menggunakan waktunya untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
2. Peningkatan penghasilan. Kemacetan dapat mengurangi penghasilan bagi sebagian besar masyarakat terutama yang bekerja dengan memanfaatkan barang publik seperti jalan raya seperti supir. Pengurangan kemacetan dapat menstimulus masyarakat untuk meningkatkan penghasilan mereka.
3. Peningkatan jumlah kunjungan wisata. Kemacetan juga akan menghambat pariwisata. Selama ini obyek wisata di daerah Kabupaten Sukabumi masih terkendala oleh masalah teknis. Oleh karena itu, pemecahan masalah kemacetan dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan terhadap obyek wisata yang ada di Kabupaten Sukabumi.
(40)
Hirarki keempat, yaitu peubah alternatif strategi yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan kemacetan. Alternatif strategi tersebut adalah: 1. Pengoptimalan jalur alternatif. Keuntungan dari alternatif ini yaitu dapat
menghemat waktu perjalanan bagi para pengguna kendaraan bermotor tanpa harus melewati lokasi-lokasi rawan macet. Mobil pribadi dan angkutan umum Sukabumi-Bogor dapat melewati jalur alternatif ini sehingga dapat menghemat waktu perjalanan. Pengaruh pengoptimalan jalur alternatif terhadap pengurangan kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda ini yaitu dapat mengurangi jumlah kendaraan yang melewati lokasi-lokasi rawan macet sehingga kepadatan lalu lintas dapat berkurang.
2. Membatasi jumlah kendaraan. Hal ini dilakukan dengan melihat usia kendaraan, pembenahan angkutan umum (kondisi fisik, jumlah maupun trayeknya), serta bekerja sama dengan perusahaan perakit kendaraan untuk membatasi jumlah kendaraan. Cara ini tidak mudah dalam pelaksanaannya. Untuk mengetahui tahun pembuatan kendaraan bermotor, perlu dilihat Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian, dan ini berarti harus menghentikan kendaraan untuk memeriksanya. Hal ini akan sulit dalam pelaksanaannya, di samping akibat yang akan timbul berupa antrian kendaraan, yang selanjutnya berakibat dengan terjadinya kemacetan lalu lintas, khususnya pada jalur-jalur jalan yang padat lalu lintas. Pembenahan angkutan umum sulit dilakukan mengingat tujuan jangka panjang transportasi yaitu memaksimalkan peran transportasi publik. Kerjasama antar dinas dengan perusahaan perakit mobil juga dapat menimbulkan multiplier effect dimana hal ini merugikan perusahaan serta tenaga kerja di dalamnya.
(41)
Pembatasan jumlah kendaraan tanpa diikuti dengan aturan yang berlaku dapat menimbulkan dampak negatif.
3. Usaha yang lebih berjangka panjang dengan menambah jaringan jalan dan pembuatan jalan-jalan layang (fly overs) atau underpass untuk menghindari persimpangan-persimpangan sebidang, yang berarti mengurangi kemacetan lalu lintas. Tetapi cara ini membutuhkan biaya yang sangat besar, dan bila tidak diimbangi dengan pembatasan produksi (impor) kendaraan bermotor, pada suatu saat akan timbul kembali masalah kepadatan lalu lintas. 4. Pelebaran jalan. Ruas sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda yang sempit
menjadi salah satu penyebab adanya kemacetan karena jumlah kendaraan tidak sebanding dengan lebar jalan yang mengakibatkan adanya penumpukan kendaraaan. Pelebaran jalan dinilai menjadi alternatif yang efektif bila diimbangi dengan perilaku pengguna jalan yang taat aturan.
5. Pengaturan jadwal keluar masuk mobil container perusahaan. Mobil
container perusahaan yang berukuran panjang dan besar dapat menjadi penyebab adanya kemacetan di sepanjang jalan tersebut karena mobil tersebut berjalan dengan kecepatan yang rendah sehingga memperlambat pergerakan kendaraan lain di belakangnya. Jadwal keluar masuk mobil container
diharapkan pada malam hari karena pada saat itu volume kendaraan jauh lebih sedikit dibanding siang hari sehingga tidak mengganggu jalannya lalu lintas. 6. Pengaturan jadwal keluar masuk buruh pabrik-pabrik industri. Jam-jam
keluar masuk tersebut bertepatan dengan aktivitas para pekerja lain diluar pabrik sehingga terjadi penumpukan kendaraan. Pengaturan ulang jadwal masuk buruh diharapkan dapat mengurangi kemacetan.
(42)
Gambar 4. Skema hierarki AHP untuk analisis kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda. Alternatif Kebijakan dalam Mengatasi Permasalahan Kemacetan
Tujuan Utama
Faktor
Aktor
Alternatif Strategi
Aspek Sosial Budaya
Aspek Ekonomi Aspek Manajemen
SATLANTAS Dinas Perhubungan Perusahaan Dinas PU
Pengoptimalan jalur alternatif
Pembatasan jumlah kendaraan Pembuatan
fly over dan underpass Pelebaran
jalan
Pengaturan jadwal keluar masuk mobil container perusahaan
pengaturan jadwal keluar masuk buruh
pabrik
42
Efisien Waktu Peningkatan jumlah kunjungan wisata
(43)
V. GAMBARAN UMUM LOKASI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Keadaan Umum Kecamatan Cicurug
Kecamatan Cicurug berada di bagian Sukabumi Utara. Kecamatan Cicurug memiliki luas sebesar 4.637 hektar. Kecamatan Cicurug terletak pada ketinggian antara 475 – 500 meter di atas permukaan laut. Adapun batas wilayah administratif Kecamatan Cicurug yaitu :
Sebelah Utara : Kecamatan Cijeruk Bogor
Sebelah Selatan : Kecamatan Parungkuda dan Parakansalak Sebelah Timur : Kecamatan Nagrak dan Cibadak
Sebelah Barat : Kecamatan Cidahu dan Lebak Propinsi Banten.
Jumlah penduduk di Kecamatan Cicurug yaitu sebesar 108.014 jiwa yang terdiri dari 54.300 laki-laki dan 53.714 perempuan. Kecamatan Cicurug merupakan kecamatan yang memiliki jumlah persebaran penduduk paling besar dibanding dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Sukabumi Utara.
Kecamatan Cicurug mengalami pertumbuhan pembangunan sangat cepat terutama pembangunan industri. Jumlah industri sampai saat ini berdiri yaitu berjumlah 831 industri yang terdiri dari 655 industri rumah tangga, 116 industri kecil, 23 industri sedang, dan 37 industri besar6.
6
http://www.sukabumikab.bps.go.id/kecamatan-Cicurug-dalam-angka-2010/ diakses tanggal 4
(44)
5.1.2. Keadaan Umum Kecamatan Parungkuda
Kecamatan Parungkuda berada di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Luas tanah Kecamatan Parungkuda berdasarkan data tahun 2009 adalah 2.454,75 hektar dengan batas-batasnya sebagai berikut :
Sebelah Barat : Kecamatan Parakansalak dan Kecamatan Bojong Genteng. Sebelah Timur : Kecamatan Nagrak.
Sebelah Utara : Kecamatan Cicurug dan Kecamatan Cidahu. Sebelah Selatan : Kecamatan Cibadak.
Penduduk di Kecamatan Parungkuda per 31 Desember 2010 berjumlah 50.541 orang. Keadaan penduduk di Kecamatan Parungkuda secara terinci dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan KK
No
D e s a Jumlah Penduduk (orang) Jml
KK
Laki-Laki Perempuan Jml
(L+P)
1 Parungkuda 4.122 4.211 8.333 1.532
2 Sundawenang 5.250 5.393 10.643 1.691
3 Palasarihilir 5.147 4.945 10.094 2.689
4 Bojongkokosan 2.825 2.869 5.694 1.500
5 Pondokaso Landeuh 4.807 4.815 9.622 2.389
6 Langensari 1.439 2.947 4.386 1.503
7 Babakan Jaya 2.871 2.703 5.574 1.650
8 Kompa 2.559 2.636 5.195 1.437
Jumlah 26.461 30.519 50.541 14.391
Sumber : Kecamatan Parungkuda dalam Angka, 2011
Kecamatan Parungkuda merupakan salah satu kawasan industri yang berada di Sukabumi Bagian Utara. Kawasan industri yang berdiri di wilayah Parungkuda ini yaitu sebanyak 176 industri yang terdiri dari 116 industri rumah tangga, 23 industri kecil, 16 industri menengah, dan 21 industri besar7.
7
http://www.sukabumikab.bps.go.id/kecamatan-Parungkuda-dalam-angka-2010/ diakses tanggal 4
(45)
5.2. Transportasi dan Lalu Lintas di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda Jalan Cicurug-Parungkuda memiliki lebar jalan sepanjang 10 meter dengan lebar efektif tujuh meter dan hambatan samping sebesar tiga meter. Panjang jalan tersebut yaitu sebesar 16 kilometer. Kapasitas jalan per arah yaitu sebesar 1.456 satuan mobil penumpang per jam dengan kecepatan rata-rata kurang dari 10 kilometer per jam. Daerah ini memiliki kepadatan sebesar 10.107 satuan mobil penumpang per jam sehingga didapat volume per kapasitas rasio untuk daerah Cicurug-Parungkuda sebesar 0,9. Kapasitas jalan dan jumlah kendaraan yang tidak sebanding inilah yang menyebabkan adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.
5.2.1. Volume Kendaraan di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda
Volume kendaraan di Kabupaten Sukabumi saat ini sangat tinggi. Volume roda dua lebih besar dibanding dengan pertumbuhan jenis kendaraan lain. Rincian mengenai volume kendaraan bermotor dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kondisi Volume Lalulintas di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda Waktu Kendaraan
Barang
Kendaraan Umum
Kendaraan Pribadi
Jumlah
06.00-07.00 90 302 2.147 2.539
07.00-08.00 122 174 837 1.133
08.00-09.00 143 196 741 1.080
11.00-12.00 322 165 584 1.071
12.00-13.00 306 182 557 1.045
15.00-16.00 160 141 563 864
16.00-17.00 141 115 597 853
17.00-18.00 116 117 553 786
18.00-19.00 102 84 757 943
Jumlah 1.502 1.476 7.336 10.314
% 14,56 14,31 71,13 100,00
Sumber : Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi, 2011
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis kendaraan pribadi mendominasi volume kendaraan yang melewati jalan Cicurug-Parungkuda yaitu sebesar 71,13 persen dimana sebesar 5.987 unit merupakan kendaraan roda dua.
(46)
Kendaraan umum memiliki volume paling rendah dibanding jenis kendaraan lain yaitu sebesar 14,31 persen atau 1.476 unit dimana sebesar 1.324 unit merupakan mobil penumpang umum. Banyaknya volume kendaraan yang tidak sebanding dengan kapasitas jalan ini menjadi penyebab adanya kemacetan.
5.2.2. Kemacetan di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda
Permasalahan kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda dapat disebabkan oleh beberapa hal. Adapun permasalahannya kemacetan menurut Dinas Perhubungan Kab. Sukabumi (2011) yang pertama yaitu tidak optimalnya penggunaan kapasitas jalan di suatu kawasan kegiatan dengan adanya hambatan seperti parkir di ruas jalan, angkutan umum yang berhenti di sembarang tempat, pedagang Kaki Lima (PKL) yang menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan, bongkar muat barang yang dilakukan pada jam sibuk, kegiatan untuk melakukan pergerakan ke tempat tujuan yang relatif bersamaan, penggunaan kendaraan pribadi yang cukup tinggi. Kedua, pembangunan kawasan kegiatan yang tidak memenuhi standar ketentuan yang mengakibatkan arus lalu lintas menjadi terganggu seperti banyaknya pejalan kaki yang menyebrang, angkutan umum yang berhenti untuk menunggu penumpang di kawasan tersebut, kapasitas simpang yang tidak maksimal dan radius putar yang tidak memenuhi ketentuan, serta adanya tarikan perjalanan ke kawasan perdagangan, industri, dan pusat kegiatan lainnya seperti pendidikan dan perkantoran.
5.3. Karakteristik Responden
Karakteristik umum responden di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi ini diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan langsung terhadap 240 pengendara kendaraan bermotor yang ditemui peneliti. Karakteristik
(47)
dari responden sangat bervariasi. Karakteristik umum responden ini dilihat dari beberapa variabel, meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan formal terakhir, pekerjaan, tingkat pendapatan, dan kategori jenis kendaraan.
5.3.1. Jenis Kelamin
Sebagian besar responden yang ditemui pada saat survei adalah laki-laki, yaitu sebanyak 197 orang (82,08 persen) sedangkan responden berkelamin perempuan sebanyak 43 orang (17,92 persen). Hal ini karena saat pengambilan sampel, peneliti lebih banyak mengambil responden yang mengendarai angkutan umum dibanding dengan kendaraan pribadi dimana pengguna angkutan umum umumnya adalah laki-laki. Perbandingan responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber : Data primer, 2011
Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 5.3.2. Usia
Berdasarkan hasil penelitian tingkat usia para responden pengguna jalan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda cukup bervariasi, mulai dari usia sekolah sampai dengan usia lanjut. Distribusi usia responden berkisar antara 16 - 60 tahun dan jumlah responden tertinggi terdapat pada usia 16 - 26 tahun yaitu sebanyak 87 orang (36,25 persen dari total keseluruhan responden) serta dari usia 27 - 37 tahun sebanyak 82 orang (34,17 persen dari total keseluruhan responden). Responden yang berusia 38 - 48 tahun berjumlah 50 orang (20,83 persen dari total
(48)
keseluruhan responden). Responden yang berusia 49 - 59 tahun berjumlah 17 orang (7,08 persen dari total keseluruhan responden). Responden yang berusia ≥60 tahun berjumlah empat orang (1,67 persen dari total keseluruhan responden). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang melewati jalan Cicurug-Parungkuda berada pada usia produktif yaitu berada pada usia 15 – 65 tahun8. Perbandingan distribusi usia responden di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda pada penelitian tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: Data Primer, 2011
Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia 5.3.3. Pendidikan
Tingkat pendidikan responden yang melewati jalan Cicurug-Parungkuda sangat bervariasi mulai dari lulusan Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Data terkumpul memperlihatkan responden lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki jumlah terbanyak yaitu sebanyak 112 orang (46,67 persen). Sebanyak 90 responden (37,50 persen) mencapai tingkat pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), lulusan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 21 responden (8,75 persen) dan 17 orang (7,08 persen) mencapai pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang melewati
8
http://bimakab.go.id/index.php?pilih=hal&id=28 diakses pada tanggal 10 November 2011 pukul
(49)
jalan Cicurug-Parungkuda memiliki kesadaran pentingnya wajib belajar 9 tahun karena sudah banyak responden yang berpendidikan hingga mencapai SMP walaupun masih sedikit sekali responden yang mencapai lulusan Perguruan tinggi. Hal ini karena di Kabupaten Sukabumi, khususnya Cicurug-Parungkuda masih sangat jarang adanya Perguruan Tinggi. Perbandingan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber: Data Primer, 2011
Gambar 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan 5.3.4. Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan responden cukup bervariasi mulai dari pelajar, pegawai swasta, PNS, supir, dan wiraswasta. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas pekerjaan responden merupakan supir yaitu sebanyak 116 orang (48,33 persen). Sebanyak 65 orang (27,08 persen) berprofesi sebagai pegawai swasta, wiraswasta sebanyak 31 orang (12,92 persen). Responden yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 15 orang (6,25 persen), sisanya merupakan pelajar yaitu sebanyak 13 orang (5,42 persen). Perbandingan persentase jumlah responden menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 8.
(50)
Sumber: Data Primer, 2011
Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan 5.3.5. Tingkat Penghasilan
Berdasarkan hasil penelitian penulis, tingkat penghasilan dengan jumlah responden terbanyak yaitu terdapat pada selang Rp 1.100 001,00-Rp 1.700.000,00 per bulan yaitu sebanyak 101 orang atau 42,08 persen dari keseluruhan responden. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden berprofesi sebagai supir memiliki penghasilan rata-rata Rp 50.000,00 per hari. Sebanyak 72 responden atau 30,00 persen dari keseluruhan responden yang berpenghasilan pada selang Rp 1.700.001,00-Rp 2.300.000,00. Sebanyak 27 orang atau 11,25 persen berpenghasilan pada selang Rp 500.000,00-Rp 1.100.000,00 yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan rata-rata responden setara dengan UMR Kabupaten Sukabumi yaitu sebesar Rp 850.000,00. Sebanyak dua orang responden berpenghasilan di atas rata-rata responden yaitu pada selang Rp 4.100.001,00- Rp 4.700.000,00 yang umumnya berprofesi sebagai wiraswasta. Distribusi tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 9.
(51)
Sumber: Data Primer, 2011
Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan 5.3.6. Jenis Kendaraan
Jenis kendaraan yang digunakan responden mulai dari angkutan umum, motor, truk, hingga kendaraan pribadi. Jenis kendaraan tertinggi yang digunakan oleh responden yaitu motor dengan jumlah sebanyak 110 orang atau 45,83 persen dari keseluruhan responden. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan sepeda motor, responden bisa mengefektifkan waktu perjalanan serta dapat menghindari adanya kemacetan sehingga mobilitas mereka bisa berjalan lebih cepat. Persentase jenis kendaraan yang digunakan oleh responden dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber: Data Primer, 2011
(52)
5.3.7. Lama Macet
Lama macet yang dialami oleh responden berada pada selang 5-150 menit. Sebanyak 163 orang atau 67,92 persen berada pada selang 5-28 menit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan motor sehingga mereka dapat melalui kemacetan lebih cepat dibanding dengan menggunakan kendaraan lain. Persentase lama macet yang dialami oleh responden pada Gambar 11.
Sumber: Data Primer, 2011
(53)
VI. KERUGIAN SOSIAL DAN EKONOMI PENGGUNA KENDARAAN BERMOTOR AKIBAT ADANYA KEMACETAN
Kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda sudah menjadi suatu kebiasaan umum bagi pengguna kendaraan bermotor. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain banyaknya pabrik yang terdapat di sepanjang jalan tersebut, bertambahnya jumlah kendaraan, serta pertambahan jumlah penduduk.
Adanya arus globalisasi membuat kawasan Cicurug dan Parungkuda menjadi suatu kawasan yang dicari oleh investor untuk menanamkan modalnya di kawasan tersebut mengingat biaya produksi yang lebih murah dibanding dengan tempat lain. Hal ini dapat mendatangkan banyak keuntungan bagi pemerintah daerah karena dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keadaan ini yang menyebabkan banyak berdirinya pabrik-pabrik yang menyerap banyak tenaga kerja. Mobilitas tenaga kerja tersebut menjadi salah satu faktor spesifik terjadinya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.
6.1. Kerugian Sosial terhadap Pengguna Kendaraan Bermotor
Hasil penelitian terhadap 240 responden di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda menunjukkan bahwa kemacetan merupakan situasi yang sangat merugikan sehingga berdampak pada sosial pengguna kendaraan bermotor itu sendiri. Umumnya setiap responden yang pernah mengalami kemacetan langsung memberikan tanggapan negatif. Kerugian sosial terhadap kendaraan bermotor berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 10.
(54)
Tabel 10. Persepsi Pengguna Kendaraan Bermotor Mengenai Kerugian Sosial Kemacetan Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Dampak
Jenis Pekerjaan
Total
PS % PM % PNS % S % W %
Telambat 36 66,67 8 14,81 10 18,52 0 0,00 0 0.00 54
Tidak Disiplin
30 18,40 7 4,29 11 6,75 90 55,21 25 15,34 163
Menguras Waktu
65 27,08 13 5,42 15 6,25 116 48,33 31 12,92 240
Mengurangi jam Kerja atau Belajar
61 63,54 13 13,54 15 15,63 0 0 7 7,29 96
Lelah 57 29,38 3 1,55 10 5,15 100 51,55 24 12,37 194
Stress 53 32,12 3 1,84 5 3,07 76 46,63 26 15,95 163
Sumber: Data Primer, 2011
Keterangan :
PS = Pegawai Swasta S = Supir PM = Pelajar atau Mahasiswa W = Wiraswasta PNS = Pegawai Negeri Sipil
Tabel 10 memperlihatkan bahwa seluruh responden menyatakan setuju bahwa kemacetan dapat menguras waktu pengguna kendaraan bermotor. Tidak hanya menguras waktu, pengguna kendaraan bermotor juga sering merasakan lelah dan stress. Hilangnya waktu merupakan opportunity cost yang harus ditanggung oleh para pengguna kendaraan bermotor dimana waktu tersebut bisa digunakan untuk suatu aktivitas yang mendatangkan keuntungan secara sosial budaya maupun ekonomi.
Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa responden yang menyatakan merasakan lelah saat terjadi kemacetan yaitu sebanyak 194 orang atau sebesar 80,83 persen dari total keseluruhan responden. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar pengguna kendaraan bermotor merasakan lelah saat mereka terjebak kemacetan. Energi yang dibutuhkan menjadi lebih besar saat terjebak dalam kemacetan karena mereka harus lebih fokus dalam berkendara. Pengguna kendaraan bermotor yang berprofesi sebagai supir merupakan responden yang paling merasakan adanya kelelahan tersebut. Sebanyak 100 orang supir merasakan kelelahan saat mereka terjebak dalam kemacetan karena jalan raya tersebut
(55)
merupakan jalur trayek yang harus mereka lewati setiap saat dimana jalan tersebut memiliki intensitas kemacetan tinggi sepanjang waktu.
Rasa lelah yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan tingkat emosional menjadi lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan stress. Sebanyak 163 responden merasakan adanya stress saat mereka terjebak dalam kemacetan. Sebanyak 76 orang supir merasakan stress saat terjebak kemacetan (46,63 persen dari jumlah responden yang merasakan stress). Kelelahan yang berkepanjangan serta adanya pengaruh terhadap penghasilan yang diterima merupakan penyebab stress yang dirasakan oleh supir. Selain supir, pegawai swasta juga merasakan hal yang sama. Sebanyak 53 orang pegawai swasta merasakan stress saat terjebak dalam kemacetan (31,12 persen dari jumlah responden yang merasakan stress). Pegawai swasta di sekitar jalan Cicurug-Parungkuda sebagian besar merupakan buruh pabrik sehingga mereka harus memiliki energi yang cukup besar untuk bekerja. Adanya kemacetan menyebabkan rasa lelah serta terkurasnya energi, sehingga saat mereka tiba di tempat kerja kondisi fisik dan mental tidak sebanding dengan tuntutan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan energi yang besar. Hal tersebut merupakan penyebab stress yang dirasakan oleh pegawai swasta.
Kerugian lain yang teridentifikasi saat terjebak kemacetan yaitu dapat mengurangi jam kerja atau belajar. Seluruh responden yang berprofesi sebagai PNS, pelajar atau mahasiswa, serta hampir seluruh pegawai swasta merasakan kerugian tersebut. Kemacetan dapat mengakibatkan pelajar terlambat masuk kelas sehingga mereka kehilangan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk belajar. Begitu pula dengan PNS dan pegawai swasta, mereka terlambat tiba di
(1)
186 L 29 SMP SUPIR 8 JAM 6 HARI 1800000 MOBIL UMUM
187 L 25 SLTA PEGAWAI SWASTA 8 JAM 6 HARI 1250000 MOTOR
188 L 21 SMP PEGAWAI SWASTA 8 JAM 6 HARI 1800000 MOTOR
189 L 25 SMP SUPIR 8 JAM 6 HARI 1500000 MOBIL UMUM
190 L 29 SMP SUPIR 8 JAM 6 HARI 1800000 MOBIL UMUM
191 L 45 SMP SUPIR 8 JAM 7 HARI 1200000 MOBIL UMUM
192 L 23 SLTA WIRASWASTA 8 JAM 5 HARI 1500000 MOTOR
193 L 25 SMP SUPIR 8 JAM 6 HARI 1200000 MOBIL UMUM
194 L 24 SLTA PEGAWAI SWASTA 8 JAM 5 HARI 1750000 MOTOR
195 L 26 SMP PEGAWAI SWASTA 8 JAM 6 HARI 2100000 MOTOR
196 L 24 SMP SUPIR 8 JAM 6 HARI 1500000 MOBIL UMUM
197 L 26 SLTA SUPIR 8 JAM 7 HARI 1500000 MOBIL UMUM
198 L 37 SMP SUPIR 18 JAM 7 HARI 2700000 MOBIL UMUM
199 L 28 SLTA SUPIR 18 JAM 7 HARI 2500000 COLT/MOBIL UMUM
200 L 36 SMP SUPIR 18 JAM 7 HARI 2500000 COLT/MOBIL UMUM
201 L 42 SMP SUPIR 18 JAM 7 HARI 2750000 COLT/MOBIL UMUM
202 L 52 SLTA SUPIR 12 JAM 6 HARI 2700000 COLT/MOBIL UMUM
203 L 40 SMP SUPIR 18 JAM 7 HARI 2250000 COLT/MOBIL UMUM
204 L 32 SMP SUPIR 18 JAM 5 HARI 2250000 COLT/MOBIL UMUM
205 L 40 SLTA SUPIR 18 JAM 7 HARI 2500000 COLT/MOBIL UMUM
206 L 50 SMP SUPIR 18 JAM 7 HARI 2250000 COLT/MOBIL UMUM
207 L 56 SMP SUPIR 18 JAM 7 HARI 2500000 COLT/MOBIL UMUM
208 L 32 PT WIRASWASTA 8 JAM 6 HARI 3250000 MOBIL PRIBADI
209 L 33 PT PEGAWAI SWASTA 8 JAM 5 HARI 3000000 MOBIL PRIBADI
210 L 60 SLTA PNS 8 JAM 5 HARI 2500000 MOBIL PRIBADI
211 L 36 SLTA PNS 8 JAM 5 HARI 2750000 MOBIL PRIBADI
212 L 35 PT PNS 8 JAM 5 HARI 2750000 MOBIL PRIBADI
213 L 40 PT PNS 8 JAM 5 HARI 2750000 MOBIL PRIBADI
214 L 38 SMP SUPIR 18 JAM 7 HARI 2500000 COLT/MOBIL UMUM
215 L 47 SD SUPIR 8 JAM 5 HARI 1750000 BIS
216 L 45 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 2000000 BIS
217 L 55 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 2000000 BIS
218 L 34 SLTA SUPIR 12 JAM 7 HARI 2000000 BIS
219 L 42 SLTA SUPIR 12 JAM 7 HARI 1750000 BIS
220 L 46 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 1800000 BIS
221 L 33 SLTA SUPIR 12 JAM 7 HARI 1800000 BIS
222 L 56 SLTA SUPIR 12 JAM 7 HARI 2000000 BIS
223 L 50 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 2000000 BIS
224 L 53 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 1800000 BIS
225 L 28 SLTA SUPIR 12 JAM 5 HARI 4500000 TRUK
226 L 27 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 4500000 TRUK
227 L 44 SLTA SUPIR 12 JAM 5 HARI 3500000 TRUK
(2)
95
233 L 40 SLTA SUPIR 12 JAM 5 HARI 3000000 TRUK
234 L 35 SLTA SUPIR 12 JAM 7 HARI 4000000 TRUK
235 L 40 SLTA SUPIR 12 JAM 7 HARI 3000000 BIS
236 L 35 SLTA SUPIR 10 JAM 7 HARI 3500000 BIS
237 L 43 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 2500000 BIS
238 L 55 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 2750000 BIS
239 L 56 SMP SUPIR 12 JAM 7 HARI 2500000 BIS
(3)
Model Name: ahp baruu
Synthesis: Summary
Synthesis with respect to:
Goal: kemacetan lalulintas menurun
Overall Inconsistency = .02
JALUR ALTERNATIF .337
PEMBATASAN J.KENDARAAN .032
FLY OVER & UNDERPASS .160
PELEBARAN JALAN .157
PENGATURAN JADWAL KENDARAAN .157 PENGATURAN JADWAL KELUAR MASUK .157
Page 1 of 1 12/21/2011 12:28:26 PM
(4)
97
Lampiran 5. Foto-foto kemacetan di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda
Keterangan : Kemacetan yang terjadi d Cidahu, Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi
Keterangan : Kemacetan yang terjadi di Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda Kabupaten Sukabumi
(5)
RINGKASAN
NUZULIA FARHANI. Kerugian Sosial Ekonomi dan Alternatif Kebijakan dalam Mengatasi Kemacetan di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Kabupaten Sukabumi bagian Utara merupakan lokasi yang strategis untuk dikembangkan menjadi lokasi industri. Pada tahun 2007, jumlah pabrik industri yang berdiri di Kabupaten Sukabumi mencapai 139 perusahaan besar yang terdiri dari 57 perusahaan pakaian jadi, 12 perusahaan pakaian rajutan, 6 perusahaan peci, 26 perusahaan elektronik, dan 38 perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan). Daerah Cicurug-Parungkuda merupakan salah daerah yang terdapat di Kabupaten Sukabumi Bagian Utara. Pabrik industri yang berdiri di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda lebih banyak dibanding dengan daerah lain di Kabupaten Sukabumi Bagian Utara. Banyaknya aktivitas ekonomi yang terjadi di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda seperti pendistribusian barang, jasa serta mobilitas tenaga kerja tanpa diimbangi dengan kondisi prasarana jalan yang memadai menjadi penyebab utama adanya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda. Peningkatan jumlah kendaraan di sepanjang jalan ini juga menjadi penyebab adanya kemacetan. Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi menyatakan bahwa laju pertumbuhan kendaraan di Kabupaten Sukabumi mencapai 23,34 persen per tahun sedangkan laju pertumbuhan jalan mencapai kurang dari 1 persen per tahun. Kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan tersebut dapat mengurangi manfaat ekonomi yang seharusnya diterima oleh pengguna kendaraan bermotor. Kemacetan dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti kerugian sosial dan ekonomi. Kebijakan pemerintah diperlukan agar kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda dapat diatasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengkaji kerugian secara sosial dan ekonomi yang dirasakan pengguna kendaraan bermotor Cicurug-Parungkuda saat terjebak kemacetan 2) Menganalisis besarnya kerugian ekonomi pengguna kendaraan bermotor dari adanya kemacetan 3) Menganalisis alternatif kebijakan pemerintah dalam mengatasi kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Loss of Earnings (LoE) serta metode Analisis Hirarki Proses (AHP).
Berdasarkan hasil penelitian, Kemacetan mengakibatkan pengguna kendaraan bermotor merasakan stress, lelah, menguras waktu, tidak disiplin, terlambat, berkurang jam kerja atau belajar, boros bensin, dan hilangnya penghasilan. Pengeluaran pembelian BBM saat lalu lintas normal untuk mobil adalah Rp 40.358,65 dan Rp 5.259,09 untuk motor. Biaya tersebut meningkat apabila terjebak dalam kemacetan menjadi Rp 53.110,58 untuk mobil dan Rp 7.740,91 untuk motor. Potensi ekonomi yang hilang akibat adanya kemacetan yaitu sebesar Rp 4.609.120.990,10 per tahun. Selanjutnya, perhitungan penghasilan yang hilang akibat adanya kemacetan bagi responden yang berprofesi sebagai supir yaitu sebesar Rp 3.202,14 untuk satu kali perjalanan. sehingga rata-rata penghasilan yang hilang per hari untuk masyarakat yang berprofesi sebagai supir yaitu sebesar Rp 37.272.909,60. Total penghasilan yang hilang untuk supir
(6)
Struktur hirarki pengambilan keputusan untuk alternatif kebijakan dalam rangka mengurangi kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda dengan AHP terdiri atas, kriteria (aspek ekonomi, aspek sosial budaya, dan aspek manajemen), aktor (Dinas PU, Dishub, Satlantas, dan Perusahaan), dan alternatif (Pengoptimalan jalur alternatif, pelebaran jalan, pembatasan jumlah kendaraan, pembuatan jalan layang, pengaturan jadwal keluar masuk kendaraaan operasional, dan jadwal keluar masuk buruh-buruh pabrik). Alternatif yang menjadi prioritas pertama yang dipilih oleh decision maker yaitu pengoptimalan jalur alternatif dengan nilai bobot 0,337.