PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL MENURUT SKORING FSFI PADA AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG

(1)

PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL MENURUT SKORING FEMALE SEXUAL FUNCTION INDEX PADA

AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG

Oleh M. Akip Riyan S

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

THE COMPARISON OF THE INCIDENCE OF SEXUAL DYSFUNCTION ACCORDING TO THE FSFI SCORING ACCEPTOR IUDs AND HORMONAL AT PUSKESMAS RAJABASA IN BANDAR LAMPUNG

By :

M. AKIP RIYAN S

Female sexual dysfunction is an important reproductive health issues as they relate to survival and reproduction affect the harmony between husband and wife. Female sexual disorders are divided into four categories of interest (desire disorders ), lust ( arousal disorder ), orgasm ( orgasmic disorder ), and pain sexual (sexual pain disorder). The aim of this study to compare the incidence of sexual dysfunction according to the FSFI scoring between IUD and hormonal contraceptives acceptors at Puskesmas Rajabasa in Bandar Lampung.

This study is analitic correlative with the cross-sectional approach with consecutive sampling technique . The study was conducted in October-November 2013, with 110 people respondents for each type of contraception.

The result of this study is that the prevalence of sexual dysfunction in fertile aged couples in Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung on hormonal acceptor 75 (68.18%), and IUD acceptors 23 people (20.91%). The incidence of hormonal acceptors sexual dysfunction is higher than IUDs and there is a significant difference with p = 0,000.


(3)

(4)

SKORING FSFI PADA AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG

Oleh :

M. AKIP RIYAN S

Disfungsi seksual wanita merupakan masalah kesehatan reproduksi yang penting karena berhubungan dengan kelangsungan reproduksi dan berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Disfungsi seksual wanita dibagi empat kategori yaitu gangguan minat, birahi, orgasme dan nyeri seksual. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.

Desain penelitian menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan cross sectional dengan teknik consecutive sampling. Penelitian dilakukan Oktober-November 2013 dengan 110 responden untuk tiap jenis kontrasepsi.

Hasil penelitian ini adalah prevalensi disfungsi seksual pasangan usia subur (PUS) di puskesmas rajabasa Bandar Lampung pada akseptor hormonal 75 orang (68,18%) dan pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%). Angka kejadian disfungsi seksual akseptor hormonal lebih tinggi dibanding akseptor IUD dan pada terdapat perbedaan yang signifikan dengan p = 0,000.


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

1. Tujuan Umum ... 4

2. Tujuan Khusus ... 4

D. Manfaat Penelitian... 4

E. Kerangka penelitian... 5

1. Kerangka teori... 5

2. Kerangka konsep... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Seksualitas ... 8

1. Pengertian seksualitas ... 8

2. Fungsi seksualitas ... 9

3. Respon seksual wanita ... 11

B. Disfungsi Seksual ... 14

1. Pengertian Disfungsi seksual ... 14

2. Macam-macam disfungsi seksual...15

3. Pengukuran FSFI...19

C. Keluarga Berencana... 20

1. Pengertian keluarga berencana ... 20

2. Manfaat KB ... 20

D. Kontrasepsi ... 22

1. Pengertian Kontrasepsi... 22

E. Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi... 29

III. METODE PENELITIAN ... 32

A. Desain Penelitian ... 32

B. Tempat dan Waktu ... 32


(8)

1. Populasi ... 33

2. Sampel ... 33

D. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

E. Definisi Operasional ... 35

F. Alat dan Cara Penelitian ... 37

1. Alat penelitian ... 37

2. Cara Pengambilan Data ... 37

G. Alur Penelitian... 38

H. Pengolahan dan Analisis Data ... 39

1. Pengolahan Data... 39

2. Analisis Data ... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...44

A. Hasil ... 44

B. Pembahasan ... 56

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67 LAMPIRAN...


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori...6

2. Kerangka Konsep...7

3. Fungsi seksualitas ...10

4. Respon Seksual wanita ...14

5. Alur Penelitian ...38

6. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual ...46

7. Distribusi Responden akseptor IUD berdasarkan domain disfungsi Seksual... .47

8. Distribusi Responden akseptor Hormonal berdasarkan domain disfungsi seksual... .49

9. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan ...50

10. Distribusi Responden berdasarkan umur ...51

11. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi... ...52

12. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD... 53

13. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi... .54


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional ...35

2. Skor Penilaian FSFI ...36

3. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual ...45

4. Distribusi Responden berdasarkan domain disfungsi seksual ...46

5. Distribusi Responden akseptor Hormonal berdasarkan domain disfungsi . seksual...48

6. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan ...49

7. Distribusi Responden berdasarkan umur ...50

8. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi... 51

9. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD... .52

10. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi...53


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Disfungsi seksual pada wanita merupakan masalah kesehatan reproduksi yang penting karena berhubungan dengan kelangsungan fungsi reproduksi seorang wanita dan berperngaruh besar terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Disfungsi seksual merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya aktifitas seksual (Chandra, 2005). Pada Diagnostic and Statistic Manual version IV (DSM IV) dari American Phychiatric Assocation, dan International Classification of Disease-10 (ICD-10) dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat/keinginan seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder).

Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan rasa nyeri (Walwiener dkk, 2010).


(12)

Female Seksual Function Index (FSFI) digunakan untuk mengukur fungsi seksual termasuk hasrat seksual dalam empat minggu terakhir (Rosen dkk, 2000).

Skor yang tinggi pada tiap domain menunjukkan level fungsi seksual yang lebih baik (Rosen dkk, 2000).

Angka kejadian disfungsi seksual wanita di setiap negara bisa berbeda-beda. Di Indonesia, Imronah (2011) dengan menggunakan instrumen FSFI menemukan bahwa kasus disfungsi seksual pada kaum wanita di Bandar Lampung mencapai 66,2%. Jika angka-angka disfungsi seksual wanita di Turki (48,3%), Ghana 72,8%), Nigeria (63%), dan Indonesia (66,2%) itu dirata-ratakan kita dapatkan angka prevalensi sebesar 58,04%. Itu artinya lebih dari separuh kaum wanita di dalam suatu negara berpotensi mengalami gangguan fungsi seksual. Dengan prevalensi sebesar itu wajar bila disfungsi seksual wanita tidak bisa dipandang remeh, karena menyangkut kualitas hidup lebih dari separuh populasi wanita (Sutyarso, 2011). Sebuah studi oleh Journal of Sexual Medicine mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya disfungsi seksual pada wanita berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi baik hormonal dan non-hormonal (Walwiener, 2010).

Pada tahun 2011 peserta KB Baru secara nasional pada Bulan Januari 2011 sebanyak 597.290 peserta. Apabila dilihat per kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai berikut : 32.507 peserta IUD (5,44%), 6.216 peserta Metode Operatif Wanita (MOW) (1,04%), 1.212 peserta Metode Operatif Pria (MOP) (0,2%), 31.881 peserta Kondom (5,34%), 29.775 peserta Implant (4,99%), 324.603 peserta Suntikan (54,35%), dan


(13)

171.096 peserta Pil (28,65%) (BKKBN, 2011). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa metode kontrasepsi hormonal dan IUD yang paling banyak digunakan.

Kota Bandar Lampung adalah kota yang memiliki jumlah pasangan usia subur (PUS) yang cukup banyak, salah satunya di kelurahan Rajabasa yang berjumlah 7256 orang pada tahun 2012. Berdasarkan jumlah tersebut 4900 pasangan usia subur merupakan akseptor KB (BKKBN Lampung, 2012).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung. Peneliti memilih Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung karena merupakan puskesmas kesehatan induk di Kelurahan Rajabasa dan terjangkau oleh peneliti.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara kontrasepsi IUD dengan masalah disfungsi seksual pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung?

2. Apakah ada hubungan antara kontrasepsi hormonal dengan masalah disfungsi seksual pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung?


(14)

C.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal.

Tujuan khusus

1. Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur akseptor IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung

2. Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur akseptor Hormonal di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.

3. Mengetahui dan mengevaluasi perbandingan angka kejadia disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.

D.Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi Peneliti :

Untuk meningkatkan kemampuan peneliti tentang perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal.


(15)

2. Bagi Institusi pendidikan dan Masyarakat

Menambah pengetahuan tentang perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal, dan Dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3. Bagi Peneliti lain

Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

E.Kerangka Pemikiran.

1. Kerangka teori

Pada DSM-IV menjabarkan disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada 1 atau lebih dari dari 4 fase siklus tanggapan yaitu hasrat (libido), bangkitan, orgasme/pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga pasien disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh (penggunaan) obat, beberapa petunjuk mengarahkan bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau membangkitkan disfungsi seksual. Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan


(16)

disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006). Sebuah studi oleh Journal of Sexual Medicine mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya disfungsi seksual pada wanita berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi baik hormonal dan non-hormonal. Disfungsi seksual pada wanita adalah penyakit yang umum, di mana dua dari lima wanita memiliki setidaknya satu jenis disfungsi seksual, dan keluhan yang paling banyak terjadi adalah rendahnya gairah seksual / Libido (Michael A, 2007).

Gambar 1. Kerangka teori hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual (modifikasi dari Tobing, 2006 dan Michael, 2007)

Kontrasepsi spiral(IUD)

Perlukaan pada organ reproduksi

Rasa tidak nyaman saat melakukan hubungan seksual Disfungsi seksual Kontrasepsi hormonal Menurunnya Estrogen positive feedback Progesterone negative feedback KONTRASEPSI


(17)

2. Kerangka Konsep

Konsep merupakan abstrak yang dibentuk oleh generalisasi dari hal-hal yang khusus. Oleh karena konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau yang lebih dikenal dengan nama variabel. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang menunjukkan nilai atau bilangan dari konsep (Notoadmodjo, 2010).

Berdasarkan teori tersebut, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut:

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2. Kerangka konsep hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual menurut skoring FSFI

Prevalensi disfungsi seksual pada wanita adalah suatu konsep, dan untuk mengukur suatu disfungsi seksual pada wanita harus melalui variabel gangguan hasrat seksual, gangguan perangsangan seksual, gangguan basah, gangguan orgasme, gangguan kepuasan, dan gangguan nyeri seksual yang dialami oleh seorang wanita.

IUD

Hormonal

Disfungsi Seksual Skor > 26,5

Kontrasepsi Kuesioner

FSFI

Disfungsi Seksual Skor ≤ 26,5


(18)

BAB I I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Seksualitas

2.1.1 Pengertian

Seksualitas merupakan suatu komponen integral dari kehidupan seorang wanita normal. Hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi banyak pasangan (Irwan, 2012).

Perilaku seksual adalah manisfestasi aktivitas seksual yang mencakup baik hubungan seksual ( intercourse; coitus) maupun masturbasi. Hubungan seksual diartikan sebagai hubungan fisik yaitu hubungan yang melibatkan aktivitas seksual alat genital laki-laki dan perempuan (Zawid, 1994 dalam Perry & Potter, 2005).

Dorongan/ nafsu seksual adalah minat/ niat seseorang untuk memulai atau mengadakan hubungan intim (sexual relationship). Kegairahan seksual (Sexual excitement) adalah respons tubuh terhadap rangsangan seksual. Ada dua respons yang


(19)

mendasar yaitu myotonia (ketegangan otot yang meninggi) dan vasocongestion (bertambahnya aliran darah ke daerah genital) (Chandra,2005).

2. Fungsi seksualitas

Salah satu kajian mengenai sikap dan pandangan kaum wanita tentang pentingnya fungsi seksual yang cukup menarik untuk diulas adalah survei yang diprakarsai oleh Bayer Healthcare yang dilakukan di 12 negara pada April hingga Mei 2006. Negara-negara tersebut adalah: Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Meksiko, Polandia, Saudi Arabia, Afrika Selatan, Spanyol, Turki, Inggris dan Venezuela. Jumlah responden di setiap negara tersebut paling sedikit 1000 wanita berusia di atas 18, sehingga jumlah keseluruhan responden adalah 12.065 orang. Hasilnya, 8996 responden (75% wanita) mengakui bahwa kegiatan seksual adalah sesuatu yang penting atau sangat penting bagi mereka. Ketika kepada mereka (8996 responden) yang mengaku seksual sebagai sesuatu yang penting itu ditanyakan apa alasan mereka berpendapat bahwa seksual penting, maka respons yang muncul adalah sebagai berikut. Enam dari sepuluh (58%) wanita mengaku seksual penting untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas hubungan dengan pasangan. Selanjutnya, hampir separuh (47%) responden merasa bahwa seksual bertalian dengan kebanggaan diri, masing-masing 29% merasa memiliki daya tarik dan 18% merasa lebih percaya diri. Juga, tidak kurang dari 47% responden berpandangan bahwa seksual berkontribusi positif buat fisik mereka (Bayer, 2006)

masing-masing 25% merasa mendapat kepuasan fisik dan 22% merasa seksual membuat dirinya lebih sehat (Bayer, 2006).


(20)

Gambar 3. Kepentingan seksual menurut wanita (Bayer, 2006)

Selanjutnya, terhadap pertanyaan apa pentingya kepuasan seksual bagi diri mereka, 85% responden mengaku bahwa kepuasan seksual merupakan sesuatu yang sangat penting (33%) dan penting (52%). Hanya 15 persen dari responden beranggapan bahwa kepuasan seksual tidak terlalu berarti bagi mereka (Bayer, 2006).


(21)

Gambar 4. Arti kepuasan seksual bagi wanita (Bayer, 2006)

Berdasarkan data-data yang ditampilkan Gambar 3 dan Gambar 4 dijelaskan bahwa kaum wanita menempatkan kepuasan seksual sebagai sesuatu yang penting bagi hidup mereka. Dengan demikian kaum wanita menyadari bahwa kualitas fungsi seksualnya sebagai bagian tak terpisahkan dari kualitas hidupnya, khususnya dalam bidang kesehatan jiwa dan raga (rohani dan jasmani). Artinya, kualitas fisik dan psikologis seorang wanita tidak bisa disebut baik bila fungsi seksualnya terganggu (Sutyarso, 2011).

3. Respons seksual wanita (Sexual Response Cycle- SRC)

Hal-hal yang terjadi saat seseorang mengalami bangkitan/ rangsang seksual (bergairah secara seksual) dan berperilaku seksual secara umum melibatkan tahap-tahap sebagai berikut (berlaku untuk segala umur) (Masters & Johnson , 1966) : a. Tahap istirahat (tidak terangsang)

Dalam keadaan tidak terangsang, vagina dalam keadaan kering dan kendur. b. Tahap rangsangan (excitement) melibatkan stimuli sensoris

Pada saat minat seksual timbul, karena stimuli/ rangsangan psikologis atau fisik, mulailah tahap rangsangan/ excitement. Pada pria maupun wanita ditandai dengan vasokongesti (bertambahnya aliran darah ke genitalia-rongga panggul) dan myotonia (meningkatnya ketegangan/tonus otot, terutama juga di daerah genitalia) (Halstead and Reiss,2006).


(22)

Selama fase gairah, klitoris, mukosa vagina dan payudara membengkak akibat peningkatan aliran darah. Tejadi lubrikasi vagina, ukuran labia minora, labia mayora dan klitoris meningkat, uterus terangkat menjauhi kandung kemih dan vagina, dan puting susu menjadi ereksi (Hendersons, 2006).

Vasokongesti dan myotonia merupakan syarat utama tahap excitement dan menyebabkan basahnya vagina (vaginal sweating) dan ereksi klitoris pada wanita (tidak selalu).

c. Tahap plateu ( pendataran)

Jika kegairahan meningkat, orang akan masuk tahap plateu yaitu vasokongesti dan mytonia mendatar tetapi minat seksual tetap tinggi. Fase plateu dapat singkat atau lama tergantung rangsangan dan dorongan seksual individu, latihan sosial dan konstitusi/ tubuh orang itu. Sebagian orang menginginkan orgasme secepatnya, orang lain dapat mengendalikannya, yang lain lagi menginginkan plateu yang lama sekali (Chandra, 2005). Saat wanita mencapai fase plateu, lapisan ketiga terluar dari vagina membengkak akibat aliran darah dan distensi, klitoris mengalami retraksi dan “sex flush” (Masters and Johson ,1966) yang merupakan suatu ruam seperti campak, dapat meyebar dari payudara ke semua bagian tubuh (Hendersons, 2006).

d. Tahap orgasme ; melibatkan ejakulasi, kontraksi otot

Tahap orgasme relatif singkat saja. Ketegangan psikologis dan otot dengan cepat meningkat, begitu juga aktifitas tubuh, jantung dan pernapasan. Orgasme dapat dicetuskan secara psikologis dengan fantasi dan secara somatik dengan stimulasi bagian tubuh tertentu, yang berbeda bagi tiap orang (vagina, uterus pada wanita). Selama fase orgasme, ketegangan otot mencapai puncaknya dan kemudian


(23)

ketegangan otot tersebut akan menurun karena darah didorong keluar dari pembuluh darah yang membengkak. Denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah meningkat dan terjadi kontraksi ritmis uterus. Orgasme disertai dengan sensasi kenikmatan yang intens. Kemudian tiba-tiba terjadi pelepasan/ release ketegangan seksual, disebut klimaks/ orgasme.

e. Tahap resolusi (mencakup pasca senggama)

Sesudah orgasme, pria biasanya segera memasuki fase resolusi menjadi pasif dan tidak responsif, penis mengalami detumescence, sering pria tertidur dalam fase ini. Sebagian wanita juga mengalami seperti itu, tetapi sebagian besar umumnya masih responsif secara seksual, bergairah dan masuk ke dalam fase plateu lagi, orgasme lagi sehingga terjadi orgasme multipel. Sesudah orgasme, baik pria maupun wanita kembali (mengalami resolusi) ke fase istirahat. Keduanya mengalami relaksasi mental dan fisik, merasa sejahtera. Banyak pria dan wanita merasakan kepuasan psikologis atau relaksasi tanpa mencapai orgasme yang lain merasa kecewa bila tanpa orgasme (Chandra, 2005).


(24)

Gambar 5. Respon seksual wanita (Masters & Johnson , 1966)

B.Disfungsi Seksual 1. Pengertian

Disfungsi seksual merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya aktifitas seksual (Chandra, 2005).


(25)

2. Macam- macam disfungsi seksual

Pada DSM-IV menjabarkan tentang disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada satu atau lebih dari empat fase siklus tanggapan yaitu hasrat atau libido, bangkitan, orgasme atau pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga dari pasien yang mengalami disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh dari penggunaan obat, beberapa petunjuk mengarahkan bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau membangkitkan disfungsi seksual. Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).

Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi gangguan minat/ keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri atau rasa tidak nyaman dan hambatan untuk mencapai puncak atau orgasme. Pada DSM IV dari American Phychiatric Assocation, dan ICD-10 dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu :

a. Gangguan minat/ keinginan seksual (desire disorders)


(26)

b. Gangguan birahi (arousal disorder)

Ditandai dengan kesulitan mencapai atau mempertahankan keterangsangan saat melakukan aktivitasn seksual.

c. Gangguan orgasme (orgasmic disorder)

Ditandai dengan tertundanya atau gagalnya mencapai orgasme saat melakukan aktivitas seksual.

d. Gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder) (Rosen et al., 2000).

Menurut Glaiser and Gebbie (2005) adapun beberapa gangguan seksual yaitu : a) Hilangnya kenikmatan

Seorang wanita mungkin melakukan hubungan intim, tetapi gagal merasakan kenikmatan dan kesenangan yang biasanya ia rasakan. Apabila ia tidak terangsang, maka pelumasan normal vagina dan pembengkakan vulva tidak terjadi dan hubungan intim pervagina dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau bahkan nyeri, yang semakin menghambat dirinya menikmati hubungan tersebut. Wanita yang mengalami hambatan nafsu seksual mungkin tidak menginginkan atau tidak menikmati seksual, tetapi dia mengijinkan pasangannya untuk bersenggama dengannya, sebagai suatu kewajiban. Wanita yang lain mungkin sangat cemas dengan gagasan bersenggama sehingga menolak atau membuat alasan menghindarinya.

b) Hilangnya minat seksual

Hal ini sering terjadi bersamaan dengan hilangnya kenikmatan, wanita seperti ini tidak memiliki keinginan untuk berhubungan seksual dan tidak menikmatinya seandainya terjadi. Seperti pada pria, faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya


(27)

gairah seksual bervariasi dan sering sulit diidentifikasi. Perubahan alam perasaan sangat penting bagi wanita, tidak saja sebagai penyakit depresi kronik tetapi juga sebagai variasi dalam alam perasaan depresi di sekitar waktu menstruasi yang dirasakan oleh beberapa wanita. Banyak wanita menyadari bahwa mereka mengalami tahap siklus menstruasi tertentu, walaupun waktunya berbeda dari satu wanita ke wanita lain. Tetapi mereka yang biasanya merasa murung sebelum menstruasi biasanya kehilangan minat seksual pada saat tersebut, dan mendapati bahwa fase pasca menstruasi secara seksual merupakan saat yang terbaik bagi mereka.

Wanita yang menghadapi bentuk-bentuk kanker yang mengancam nyawa, misalnya kanker payudara atau ginekologis, dapat bereaksi secara psikologis terhadap stres penyakit dan dampak terapi (mastektomi). Faktor-faktor fisik juga mungkin memiliki peran langsung. Hilangnya minat seksual adalah hal yang wajar dalam keadaan sakit dan hal ini mungkin secara spesifik disebabkan oleh kelainan status hormon. Testosteron tampaknya penting untuk gairah seksual pada banyak wanita, seperti halnya pada pria. Penurunan substansial testosteron, seperti terjadi setelah ovariektomi atau bentuk lain kegagalan atau supresi ovarium, dapat menyebabkan hilangnya gairah.

c) Keengganan seksual

Pada beberapa kasus, sekedar pikiran tentang aktivitas seksual sudah menyebabkan ketakutan atau ansietas yang besar sehingga terbentuk suatu pola menghindari kontak seksual. Pada kasus-kasus seperti ini, penyebabnya sering dapat diidentifikasi dari


(28)

pengalaman traumatik sebelumnya, tetapi kadang-kadang pangkal masalahnya tetap tidak jelas.

d) Disfungsi orgasme

Sebagian wanita secara spesifik mengalami kesulitan mencapai orgasme, baik dengan kehadiran pasangannya atau pada semua situasi. Hal ini mungkin merupakan bagian dari hilangnya kenikmatan seksual secara umum, atau relatif spesifik, yaitu manusia masih dapat terangsang dan menikmati seksual tetapi gagal mencapai orgasme. Walaupun obat tertentu dapat menghambat orgasme pada wanita, namun pada sebagian kasus faktor psikologis tampaknya menjadi penyebab.

e) Vaginismus

Kecenderungan spasme otot-otot dasar panggul dan perivagina setiap kali dilakukan usaha penetrasi vagina ini dapat timbul akibat pengalaman traumatik insersi vagina (perkosaan atau pemeriksaan panggul yang sangat kasar oleh dokter). Namun lebih sering tidak terdapat penyebab yang jelas dan tampaknya otot-otot tersebut memiliki kecenderungan mengalami spasme reflektif saat dicoba untuk dilemaskan. Vaginismus biasanya adalah kesulitan seksual primer yang dialami wanita saat mereka memulai kehidupan seksual, dan sering menyebabkan hubungan seksual yang tidak sempurna. Kelainan ini jarang timbul kemudian setelah wanita menjalani fase hubungan seksual normal, terutama apabila ia sudah pernah melahirkan. Apabila memang demikian, kita perlu mencari penyebab nyeri atau rasa tidak nyaman lokal yang dapat menyebabkan spasme otot (Llewellyn, 2005).


(29)

f) Dispareunia

Nyeri saat melakukan hubungan intim sering terjadi dan umumnya dapat disembuhkan. Apabila menjadi masalah yang berulang, maka antisipasi nyeri dapat dengan mudah menyebabkan hambatan timbulnya respons seksual normal sehingga masalah menjadi semakin parah karena pelumasan normal vagina terganggu. Nyeri atau rasa tidak nyaman dapat dirasakan di introitus vagina, akibat spasme otot-otot perivagina atau peradangan atau nyeri di introitus yang dapat ditimbulkan oleh episiotomi atau robekan perineum. Kista atau abses Bartholin dapat menyebabkan nyeri hanya oleh rangsangan seksual, karena kecendrungan kelenjar ini mengeluarkan sekresi sebagai respons terhadap stimulasi seksual (Kusuma, 1999).

C.Pengukuran FSFI

Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan rasa nyeri (Walwiener dkk, 2010). FSFI digunakan untuk mengukur fungsi seksual termasuk hasrat seksual dalam empat minggu terakhir. Skor yang tinggi pada tiap domain menunjukkan level fungsi seksual yang lebih baik (Rosen dkk, 2010).


(30)

D.Keluarga Berencana

1. Pengertian Keluarga Berencana

KB menurut Undang-undang (UU) No. 52 tahun 2009 pasal 1 (8) dalam Arum dan Sujiatini (2009) tentang perkembangan dan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtra adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujutkan keluarga yang berkualitas.

2. Manfaat KB

Salah satu cara untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia adalah melalui program KB. Keluarga Berencana dapat mencegah munculnya bahaya-bahaya akibat:

a. Kehamilan terlalu dini.

Wanita yang sudah hamil tatkala umurnya belum mencapai 17 tahun sangat terancam oleh kematian sewaktu persalinan. Karena tubuhnya belum sepenuhnya tumbuh cukup matang dan siap untuk dilewati oleh bayi. Lagi pula, bayinya pun dihadang oleh risiko kematian sebelum usianya mencapai 1 tahun.

b. Kehamilan terlalu terlambat

Wanita yang usianya sudah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkan terancam banyak bahaya. Khususnya bila ibu mempunyai problem kesehatan lain, atau sudah terlalu sering hamil dan melahirkan.


(31)

c. Kehamilan-kehamilan terlalu berdesakkan jaraknya

Kehamilan dan persalinan menuntut banyak energi dan kekuatan tubuh wanita. Kalau ibu belum pulih dari satu persalinan tapi sudah hamil lagi, tubuhnya tak sempat memulihkan kebugaran, dan berbagai masalah bahkan juga bahaya kematian menghadang.

d. Terlalu sering hamil dan melahirkan

Wanita yang sudah punya lebih dari 4 anak dihadang bahaya kematian akibat pendarahan hebat dan macam-macam kelainan bila ibu terus saja hamil dan bersalin lagi (Prawirohardjo, 2007). Akseptor KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang salah seorang dari padanya menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi dengan tujuan untuk pencegahan kehamilan baik melalui program maupun non program Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (2001) dalam Setiawan dan Saryono (2010) Akseptor adalah orang yang menerima serta mengikuti dan melaksanakan program keluarga berencana. Menurut Handayani (2010) jenis akseptor KB sebagai berikut

1) Akseptor KB baru

Akseptor KB baru adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pertama kali menggunakan kontrasepsi setelah mengalami kehamilan yang berakhir dengan keguguran atau kelahiran.

2) Akseptor KB lama

Akseptor KB lama adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang melakukan kunjungan ulang termasuk pasangan usia subur yang menggunakan alat kontrasepsi kemudian


(32)

pindah atau ganti ke cara atau alat yang lain atau mereka yang pindah klinik baik menggunakan cara yang sama atau cara (alat) yang berbeda.

3) Akseptor KB aktif

Peserta KB aktif adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pada saat ini masih menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi.

4) Akseptor KB aktif kembali

Perserta KB aktif kembali adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang telah berhenti menggunakan selam tiga blan atau lebih yang tidak diselingi oleh suatu kehamilan dan kembali menggunakan alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah berhenti atau istirahat paling kurang tiga bulan berturut-turut dan bukan karena hamil.

3. Kontrasepsi

1. Pengertian Kontrasepsi

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti “melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).


(33)

Kontrasepsi adalah usaha–usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan. Usaha–usaha itu dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen. Yang bersifat permanen dinamakan pada wanita tubektomi dan pada pria vasektomi. Sampai sekarang cara kontrasepsi yang ideal belum ada. Kontrasepsi ideal itu harus memenuhi syarat-syarat berbagai berikut: 1) dapat dipercaya; 2) tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan; 3) daya kerjanya dapat dapat diatur menurut kebutuhan (Prawirohardjo, 2008).

Kontrasepsi adalah upaya mencegah kehamilan yang bersifat sementara atau menetap, yang dapat dilakukan tanpa menggunakan alat, secara mekanis, menggunakan alat/obat, atau dengan operasi (Wiknjosastro, 2006)

a. Macam-macam metode Kontrasepsi 1) Metode Sederhana

a) Tanpa alat (1) KB alamiah

Yaitu : metode kalender (ogino-knaus), metode suhu basal (termal), metode lendir serviks (billings), metode simpto-termal

(2) Coitus interuptus b) Dengan alat

1. Mekanis (barrier)

Yaitu : kondom pria, barier intra-vaginal (seperti diafragma, kap serviks, spon, kondom wanita.


(34)

2. Kimiawi

Yaitu : Spermisid (seperti vaginal cream, vaginal busa, vaginal jelly, vaginal suppositoria, vaginal foam, vaginal soluble film)

2) Metode Modern a) Kontrasepsi hormonal (1) Per-oral

Yaitu : Pil Oral Kombinasi (POK), mini-pil, morning-after pil. (2) Injeksi atau suntikan (DMPA, NET-ET)

(3) Sub-kutis (implan)

b) Intra uterine devices (IUD, AKDR) c) Kontrasepsi mantap (MOP, MOW) b. Tujuan kontrasepsi

1) Untuk menunda kehamilan 2) Untuk menjarangkan kehamilan

3) Untuk menghentikan kehamilan / mengakhiri kehamilan /kesuburan (Hartanto, 2004).

c. Syarat

Syarat-syarat yang harus dipenuhi

1) Efek samping yang merugikan tidak ada 2) Lama kerja dapat diatur menurut keinginan 3) Tidak mengganggu hubungan persetubuhan


(35)

5) Harganya murah supaya dapat dijangkau masyarakat luas. 6) Dapat diterima pasangan suami istri

7) Tidak memerlukan bantuan medik atau kontrol yang terlambat selama penatalaksanaan.

d. Sasaran

1) Pasangan usia subur

Semua pasangan usia subur yang ingin menunda, menjarangkan kehamilan dan mengatur jumlah anak.

2) Ibu yang mempunyai banyak anak

Dianjurkan memakai kontrasepsi untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang disebabkan karenafaktor multiparitas (banyak melahirkan anak). 3) Ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap kehamilan

Ibu yang mempunyai penyakit yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya jika dia hamil, maka ibu tersebut dianjurkan memakai kontrasepsi.

e. Faktor-faktor dalam memilih metode kontrasepsi 1) Faktor pasangan-motivasi

a) Umur

Wanita usia subur yang dapat menggunakan kontrasepsi progestin, sedangkan wanita yang sudah menopause tidak dianjurkan menggunakan kontrasepsi progestin, sehingga dapat mempengaruhi seseorang untuk memilih metode kontrasepsi.


(36)

b) Gaya hidup

Wanita yang gaya hidupnya suka merokok (perokok), menderita anemia kekuranganzat besi) boleh menggunakan kontrasepsi progestin karena tidak ada efek samping bagi wanita perokok dan penderita anemia.

c) Frekuensi sanggama

Kontrasepsi progesteron dapat digunakan pada wanita yang sering ataupun yang jarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya, karena tidak mengganggu pada hubungan seksual.

d) Jumlah keluarga yang diinginkan

Salah satu tujuan dari kontrasepsi ini adalah untuk menjarangkan kehamilan, jadi wanita yang ingin mengatur jumlah anak ataupun yang ingin menjarangkan kehamilan sehingga jumlah anak dalam keluarga sesuai keinginan dapat menggunakan kontrasepsi.

e) Pengalaman dengan kontrasepsi yang lalu

Wanita yang dahulunya pernah menggunakan salah satu jenis kontrasepsi, dia merasa nyaman dan merasa mendapat keuntungan dari kontrasepsi itu. Maka dia pasti akan menggunakan kontrasepsi itu lagi.

2) Faktor kesehatan-kontra indikasi absolut dan relatif a) Status kesehatan

Wanita yang mempunyai penyakit jantung dapat menggunakan kontrasepsi progesteron, karena mengandung esterogen sehingga tidak berdampak serius terhadap penyakit jantung.


(37)

b) Riwayat haid

Semua wanita yang siklus haidnya panjang atau pendek dapat menggunakan kontrasepsi progesterone, sedangkan wanita yang pernah mengalami perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya tidak boleh menggunakan kontrasepsi progesteron.

c) Riwayat keluarga

Wanita yang dalam keluarganya mempunyai riwayat kanker payudara dan diabetes mellitus disertai komplikasi tidak dapat menggunakan kontrasepai progestin.

d) Pemeriksaan fisik

Wanita yang pada pemeriksaan fisik terdapat varises tidak dapat menggunakan kontrasepsi progestin.

3) Faktor metode kontrasepsi penerimaan dan pemakaian berkesinambung a) Efektifitas

Efektifitas kontrasepsi progestin tinggi, dengan 0,3 kehamilan per 100 perempuan tiap tahun. Asal penyuntikkannya dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan.

b) Efek samping minor

Efek samping hanya sedikit (gangguan siklus haid, perubahan berat badan, keterlambatan kembalinya kesuburan dan osteoporosis pada pemakaian jangka panjang)


(38)

c) Kerugian

Kerugian hanya sedikit dan jarang terjadi pada wanita yang mengunakan kontrasepsi progesteron ini, perubahan berat badan merupakan kerugian tersering.

d) Komplikasi-komplikasi yang potensial

Wanita yang menggunakan kontrasepsi progesterone tidak ditemukan adanya komplikasi-komplikasi yang potensial.

e) Biaya.

Biaya kontrasepsi progesteron sangat terjangkau, siapa saja bisa menjangkaunya. (Hartanto, 2004) atur menurut kebutuhan (Sarwono P, 2008).

Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2010) usia reproduksi perempuan pada umumnya adalah usia 15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita atau pasangan ini lebih diprioritaskan untuk menggunakan alat atau cara Keluarga Berencana (KB). Tingkat pencapaian pelayanan keluarga berencana dapat dilihat dari cakupan peserta KB yang sedang atau pernah menggunakan alat kontrasepsi, tempat pelayanan KB, dan jenis kontrasepsi yang digunakan akseptor (DEPKES RI, 2009). Intra Uterine Device (IUD) adalah satu-satunya metode kontrasepsi yang menempatkan perangkat di dalam rahim. Seorang dokter atau bidan memasukkan perangkat IUD melalui prosedur rawat jalan yang hanya memerlukan beberapa menit untuk menyelesaikannya. Pada umumnya, pemasangan dilakukan tanpa anestesi apa pun. IUD merupakan kontrasepsi jangka panjang. IUD hormonal memiliki masa manfaat sampai 5 tahun, sedangkan IUD tembaga bisa sampai 10 tahun. Kepraktisan pemasangan dan manfaatnya yang berjangka panjang menjadikan IUD salah satu


(39)

metode kontrasepsi yang paling populer. Risiko komplikasi dan efek samping pemakaian IUD relatif minimal, dan biasanya hanya pada bulan-bulan awal setelah pemasangan. Komplikasi lebih sering pada wanita yang belum pernah memiliki anak. Selain pemasangan lebih sulit, tubuh mereka cenderung mengusir benda asing. Hal ini bisa membuat IUD berpindah atau lepas dari tempatnya. Oleh karena itu, disarankan untuk secara berkala memasukkan ujung jari Anda ke vagina untuk memeriksa apakah perangkat tersebut masih ada di tempatnya (BKKBN,2012). E. Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi

Disfungsi seksual akibat pemakaian kontrasepsi bergantung pada jenis kontrasepsi itu sendiri. Dimana pada kontrasepsi hormonal akan berpengaruh pada efek umpan balik positif estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan balik negatif progesteron (progesteron negative feedback). Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal baik berupa estrogen maupun progesteron menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah, hal ini akan di deteksi oleh hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan menimbulakn umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan dengan keberadaan progesteron efek penghambatan estrogen akan berlipat ganda. Dalam jangka waktu tertentu tubuh dapat mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap dalam keadaan normal namun dalam jangka waktu yang lama menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan menurunnya sekresi hormon terutama estrogen (Guyton, 2008). Pada kontrasepsi IUD, Pemasangan yang salah dapat menyebabkan perlukaan pada vagina dan menimbulkan rasa tidak nyaman (BKKBN, 2005).


(40)

1. Insersi yang tidak baik dari IUD dapat menyebabkan : a. Ekspulsi.

b. Kerja kontraseptif tidak efektif. c. Perforasi uterus.

2. Untuk sukses / berhasilnya insersi IUD tergantung pada beberapa hal, yaitu : a. Ukuran dan macam IUD beserta tabung inserternya.

b. Makin kecil IUD, makin mudah insersinya, makin tinggi ekspulsinya. c. Makin besar IUD, makin sukar insersinya, makin rendah ekspulsinya. 3. Waktu atau saat insersi.

a. Insersi Interval

1) Kebijakan (policy) lama : Insersi IUD dilakukan selama atau segera sesudah haid. Alasan : Ostium uteri lebih terbuka, canalis cervicalis lunak, perdarahan yang timbul karena prosedur insersi, tertutup oleh perdarahan haid yang normal, wanita pasti tidak hamil.

Tetapi, akhirnya kebijakan ini ditinggalkan karena : Infeksi dan ekspulsi lebih tinggi bila insersi dilakukan saat haid, Dilatasi canalis cervicalis mid-siklus, memudahkan calon akseptor pada setiap ia datang ke klinik KB.

2) Kebijakan (policy) sekarang : Insersi IUD dapat dilakukan setiap saat dari siklus haid asal kita yakin seyakin-yakinnya bahwa calon akseptor tidak dalam keadaan hamil. b. Insersi Post-Partum

Insersi IUD adalah aman dalam beberapa haris post-partum, hanya kerugian paling besar adalah angka kejadian ekspulsi yang sangat tinggi. Tetapi menurut penyelidikan di Singapura, saat yang terbaik adalah delapan minggu post-partum. Alasannya karena antara empat-delapan minggu post-partum, bahaya perforasi tinggi sekali.


(41)

c. Insersi post-Abortus

Karena konsepsi sudah dapat terjadi 10 hari setelah abortus, maka IUD dapat segera dipasang sesudah :

1) Abortus trimester I : Ekspulsi, infeksi, perforasi dan lain-lain sama seperti pada insersi interval.

2) Abortus trimester II : Ekspulsi 5 – 00x lebih besar daripada setelah abortus trimester pertama.

d. Insersi Post Coital

e. Dipasangkan maksimal setelah 5 hari senggama tidak terlindungi. 4. Teknik insersi, ada tiga cara :

a. Teknik Push Out : mendorong : Lippes Loop, Bahaya perforasi lebih besar. b. Teknik Withdrawal : menarik : Cu IUD.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan crossecsional (Notoadmojo, 2010).

B.Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung. 2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober-November 2013.

C.Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek penelitian yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Dahlan, 2010)


(43)

Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan usia subur (PUS) 15-49 tahun akseptor IUD atau hormonal di Puskesmas Rajabasa.Teknik pengumpulan sampel dalam peneltian ini adalah consecutive sampling.

Dengan persamaan analitis kategorik tidak berpasangan menurut Dahlan, 2010 sebagai berikut :

n =

n =

n =

n = 108 dibulatkan menjadi 110 untuk masing-masing jenis kontrasepsi Keterangan :

n = banyak sampel Zα = deviat baku alfa Zβ = deviat baku beta

P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya Q2 = 1-P2

P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti

Q1 = 1-P1

P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna P = proporsi total


(44)

Kriteria inklusi:

1. Pasangan usia subur 15-49 tahun.

2. Menggunakan salah satu kontrasepsi antara hormonal dan IUD Kriteria eksklusi

1. Tidak bersedia menjadi subjek penelitian dengan tidak mengisi dan menandatangani informed concent

2. Hambatan etis

D. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan mempengaruhi variabel yang lain (Dahlan, 2010). Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah disfungsi seksual. Variabel bebasnya adalah pasangan usia subur akseptor IUD dan hormonal.


(45)

E. Definisi operasional Tabel 1. Definisi operasional

No. Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala

1 Akseptor KB

Hormonal PUS yang menggunakan kontrasepsi suntik, implant, oral hormonal terus-menerus hingga saat penelitian

Kuesioner iya / tidak Nominal

2 Akseptor KB

(IUD) PUS yang menggunakan kontrasepsi IUD hingga saat penelitian.

Kuesioner iya/tidak Nominal

3 Disfungsi seksual PUS yang mengalami keluhan seksual sesuai dengan kuesioner disfungsi seksual Kuesioner FSFI

1. Tidak

Disfungsi, bila skor > 26,5 2. disfungsi bila skor ≤26,5 Ordinal


(46)

Untuk skor domain individu, tambahkan nilai dari item individu yang terdiri dari domain dan kalikan jumlah tersebut dengan faktor domain. Tambahkan nilai enam domain untuk mendapatkan skala penuh. Perlu dicatat bahwa domain individu, nilai domain nol menunjukkan bahwa subjek yang dilaporkan tidak memiliki aktivitas seksual sebulan terakhir. Skor subjek penelitian dapat dimasukkan dalam kolom kanan.

Tabel 2. Skor Penilaian FSFI

No. Domain Pertanyaan Rentang

Skor

Faktor Skor minimal

Skor maksimal

Skor

1. Hasrat seksual

1,2 1-5 0,6 1,2 6,0

2. Rangsangan seksual

3,4,5,6 0-5 0,3 0 6,0

3. Lubrikasi vagina

7,8,9,10 0-5 0,3 0 6,0

4. Orgasme

(klimaks)

11,12,13 0-5 0,4 0 6,0

5. Kepuasan 14,15,16 0 atau

(1-5)

0,4 0 6,0

6. Kesakitan 17,18,19 0-5 0,4 0 6,0

Rentang Skor

Skala Penuh


(47)

F. Alat dan Cara Penelitian 1. Alat Penelitian

Pada penelitian ini digunakan alat – alat sebagai berikut : a) Kuesioner disfungsi seksual

b) Alat tulis

c) Lembar persetujuan

d) Formulir untuk mencatat hasil observasi 2. Cara penggambilan data

Dalam penelitian ini, seluruh data diambil secara langsung dari responden (data primer), yang meliputi :

1. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian 2. Pengisian informed consent

3. Pengisian kuesioner terbimbing


(48)

F. Alur Penelitian

Membuat surat izin penelitian dari Fakultas Kedokteran Unila untuk mengambil data di Puskesmas Rajabasa

Mendapatkan izin penelitian di Puskesmas Rajabasa

Menyebarkan kuesioner kepada calon responden di Puskesmas Rajabasa

Didapatkan jawaban rsponden berdasarkan kuesioner FSFI dengan jawaban tertutup melalui wawancara

Pengolahan data

Analisis data

Kesimpulan


(49)

G. Pengolahan dan Analisis data 1. Pengolahan data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk tabel - tabel, kemudian data diolah menggunakan program statistik.

Kemudian, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri beberapa langkah :

Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan kedalam komputer.

Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.

2. Analisis Statistika

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program statistik dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.

a). Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan variabel terkait.


(50)

b). Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan anatara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik:

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Uji Chi square

Chi-kuadrat digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa faktor atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi dengan frekuensi yang diharapkan dari sampel apakah terdapat hubungan atau perbedaan yang signifikan atau tidak. Dalam statistik, distribusi chi square termasuk dalam statistik nonparametrik. Distribusi nonparametrik adalah distribusi dimana besaran-besaran populasi tidak diketahui. Distribusi ini sangat bermanfaat dalam melakukan analisis statistik jika kita tidak memiliki informasi tentang populasi atau jika asumsi-asumsi yang dipersyaratkan untuk penggunaan statistik parametrik tidak terpenuhi.

Beberapa hal yang perlu diketahui berkenaan dengan distribusi chi square adalah: 1. Distribusi chi square memiliki satu parameter yaitu derajat bebas (db).

2. Nilai-nilai chi square di mulai dari 0 disebelah kiri, sampai nilai-nilai positif tak terhingga di sebelah kanan.

3. Probabilitas nilai chi square di mulai dari sisi sebelah kanan. 4. Luas daerah di bawah kurva normal adalah 1.

Nilai chi square adalah nilai kuadrat karena itu nilai chi square selalu positif. Bentuk distribusi chi square tergantung dari derajat bebas (Db)/degree of freedom. Pengertian pada uji chi square sama dengan pengujian hipotesis yang


(51)

lain, yaitu luas daerah penolakan Ho atau taraf nyata pengujian. Metode Chi-kuadrat menggunakan data nominal, data tersebut diperoleh dari hasil menghitung. Sedangkan besarnya nilai chi-kuadrat bukan merupakan ukuran derajat hubungan atau perbedaan. Agar pengujian hipotesis dengan chi-kuadrat dapat digunakan dengan baik, maka hendaknyamemperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut

1. Jumlah sampel harus cukup besar untuk meyakinkan kita bahwa terdapat kesamaan antara distribusi teoretis dengan distribusi sampling chi-kuadrat. 2. Pengamatan harus bersifat independen (unpaired). Ini berarti bahwa jawaban

satu subjek tidak berpengaruh terhadap jawaban subjek lain atau satu subjek hanya satu kali digunakan dalam analisis.

3. Pengujian chi-kuadrat hanya dapat digunakan pada data deskrit (data frekuensi atau data kategori) atau data kontinu yang telah dikelompokan menjadi kategori.

4. Jumlah frekuensi yang diharapkan harus sama dengan jumlah frekuensi yang diamati.

Pada derajat kebebasan sama dengan 1 (tabel 2 x 2) tidak boleh ada nilai ekspektasi yang sangat kecil. Secara umum, bila nilai yang diharapkan terletak dalam satu sel terlalu kecil (< 5) sebaiknya chi-kuadrat tidak digunakan karena dapat menimbulkan taksiran yang berlebih (over estimate) sehingga banyak hipotesis yang ditolak kecuali dengan koreksi dari Yates.

Bila tidak cukup besar, maka adanya satu nilai ekspektasi yang lebih kecil dari 5 tidak akan banyak mempengaruhi hasil yang diinginkan. Pada pengujian chi-kuadrat dengan banyak ketegori, bila terdapat lebih dari satu nilai ekspektasi


(52)

kurang dari 5 maka, nilai-nilai ekspektasi tersebut dapat digabungkan dengan konsekuensi jumlah kategori akan berkurang dan informasi yang diperoleh juga berkurang.

Pengujian hipotesis menggunakan distribusi chi-kuadrat yang terdiri dari 2 variabel dan masing-masing variabel terdiri dari beberapa kategori. Untuk menghitung banyaknya derajat kebebasan maka dibuat tabel kontingensi. Misalnya terdapat 2 variabel di mana variabel ke-1 terdiri dari 3 kategori dan veriabel ke-2 terdiri dari 4 kategori Jumlah nilai dari baris dan kolom disebut nilai marginal. Jika nilai marginal dari jumlah seluruhnya (grand total) telah diketahui maka, pada baris pertama terdapat 3 nilai yang dapat ditentukan dengan bebas, demikian pula dengan baris kedua, tetapi pada baris ketiga semuanya tidak bebas karena jumlah marginal telah diketahui. Chi-kuadrat dapat digunakan untuk menguji beberapa proporsi, misalnya, kita memperoleh beberapa proporsi P1, P2, P3 . . . . Pk dengan kategori x1, x2, x3 . . . . xk yang bersifat independen dan kita ingin mengetahui apakah perbedaan proporsi hasil pengamatan memang benar berbeda atau karena faktor kebetulan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut dilakukan pengujian dengan x2.

Di bidang kedokteran tidak jarang kita menemukan dua variabel dimana masing – masing variabel terdiri dari beberapa kategori,misalnya tingkat beratnya penyakit dengan tingkat kesembuhan. Bila kita ingin mengetahui apakah diantara dua variabel tersebut terdapat hubungan atau tidak, dengan kata lain apakah kedua variabel tersebut bersifat dependen atau independen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan x2.


(53)

Interpretasi hasil pengujian ialah apabila hipotesis nol diterima, berarti tidak ada hubungan (independen), tetapi bila hasilnya menolak hipotesis nol maka dikatakan kedua variabel tersebut mempunyai hubungan atau dependen. Rumus yang digunakan adalah rumus umum x2. Walaupun telah dilakukan koreksi, tetapi masih terjadi keraguan pendekatan distribusi chi-kuadrat ke distribusi normal. Hal ini terjadi bila frekuensi terlalu kecil.oleh karena itu, R.A. Fisher, J.O. Irwin, dan F. Yates mengusulkan perhitungan chi-kuadrat dilakukan eksak tes yang dikenal dengan Fisher probability exact test probability.

2. Uji T independent

Uji T tidak berpasangan merupakan uji parametrik (distribusi data normal) yang digunakan untuk membandingkan dua mean populasi yang berasal dari populasi yang sama. Dalam hal ini uji tersebut digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan angka kejadian disfungsi seksual. Namun, bila distribusi data tidak normal dapat digunakan uji U Mann – Whitney sebagai alternatif (Dahlan, 2008). Adapun syarat untuk uji T tidak berpasangan adalah :

a. Data harus berdistribusi normal (wajib)


(54)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil

1. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian mengenai Perbandingan angka kejadian Disfungsi Seksual berdasarkan skoring FSFI pada akseptor Hormonal dan IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung telah dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2013 dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inkulsi dan ekslusi yang telah ditentukan berjumlah 110 orang untuk masing-masing jenis kontrasepsi.

Sesuai dengan tujuan umum penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran distribusi responden menurut variabel independen dan variabel dependen dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat. Sebagai variabel independen adalah akseptor Hormonal dan IUD dan untuk variabel dependen adalah angka kejadian disfungsi seksual. Sedangkan untuk tujuan khusus penelitian yaitu mendeskripsikan prevalensi disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD serta peneliti menambahkan karakteristik responden penelitian yakni umur dan pendidikan.


(55)

2. Analisis Univariat

a. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Disfungsi Seksual

Pengkategorian kejadian disfungsi seksual mengacu pada Rosen yang memodifikasi instrumen skor penilaian Female Sexual Fuction Index (FSFI). Rosen merekomendasikan seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai seluruh domain kurang atau sama dengan 26,5 (Rosen et al., 2000).

Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual secara rinci disajikan pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual

Kejadian Disfungsi Jumlah Persentase

Tidak Disfungsi (skor > 26,5) 122 55,45% Disfungsi Seksual (skor ≤ 26,5) 98 44,55%

Total 220 100%

Berdasarkan Tabel 1, dari 220 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat 98 orang (44,55%) akseptor yang mengalami disfungsi seksual dan terdapat 122 orang (55,45%) wanita yang tidak mengalami disfungsi seksual atau normal. Sehingga dapat disimpulkan hampir separuh dari akseptor di Puskesmas Rajabasa mengalami disfungsi seksual dengan skor ≤ 26,5.


(56)

Gambar 6. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual.

b. Distribusi Responden Berdasarkan 6 Domain Disfungsi Seksual

Domain disfungsi seksual berdasarkan FSFI terdiri dari 6 domain. Persentase banyak dan sedikitnya responden yang mengalami domain disfungsi seksual dapat dilihat dari tabel 4 dan grafik yang terlihat pada Gambar 9.4 berikut:

Tabel 2. Distribusi responden akseptor IUD berdasarkan domain disfungsi seksual

Domain Disfungsi Persentase

Hasrat 21 19,09%

Rangsangan 31 28,18%

Lubrikasi 21 19,09%

Orgasme 16 14,55%

Kepuasan 23 20,91%


(57)

Sebesar 19,09% atau 21 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain pertama (Hasrat) sebesar 28,18% atau 31 orang responden mangalami disfungsi seksual pada domain kedua (Perangsangan), sebesar 19,09% atau 21 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain ketiga (Kebasahan/Lubrikasi) , sebesar 14,55% atau 16 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keempat (Orgasme), sebesar 20,91% atau 23 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima (Kepuasan), dan sebesar 60,9% atau 67 responden mengalami disfungsi seksual pada domain keenam (Kesakitan). Dari hasil tersbut dapat disimpulkan bahwa domain keenam yakni nyeri/kesakitan merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami oleh responden akseptor IUD.

Gambar 7. Grafik distribusi responden akseptor IUD berdasarkan 6 domain disfungsi seksual


(58)

Tabel 3. Distribusi responden akseptor hormonal berdasarkan domain disfungsi

seksual

Sebesar 91,82% atau 101 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain pertama (Hasrat) sebesar 70% atau 77 orang responden mangalami disfungsi seksual pada domain kedua (Perangsangan), sebesar 62,73% atau 69 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain ketiga (Kebasahan/Lubrikasi), sebesar 35,46% atau 39 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keempat (Orgasme), sebesar 15,46% atau 17 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima (Kepuasan), dan sebesar 58,18% atau 64 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keenam (Kesakitan). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa domain pertama yakni hasrat merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami oleh responden akseptor hormonal.

Domain Disfungsi Persentase

Hasrat 101 91,82%

Rangsangan 77 70%

Lubrikasi 69 62,73%

Orgasme 39 35,46%

Kepuasan 17 15.46%


(59)

Gambar 8. Grafik Distribusi responden akseptor hormonal berdasarkan domain disfungsi seksual

c. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan

Distribusi responden berdasarkan pendidikan PUS secara rinci disajikan pada tabel 4. Berikut:

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan pendidikan

Pendidikan Ibu Jumlah Persentase

Tinggi ( ≥ SMA ) 142 64,55 %

Rendah (< SMA) 78 35,45 %

Total 220 100 %

Dari Tabel 6, diperoleh data bahwa dari seluruh responden yang diteliti, sebagian besar atau 142 orang (64,55%) responden mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 78 (35,45%) responden berpendidikan rendah (< SMA)


(60)

Gambar 9. Distribusi responden berdasarkan pendidikan

d. Distribusi Responden berdasarkan Umur

Dari hasil analisis univariat mengenai distribusi umur PUS didapatkan data sebagaimana terlihat pada Tabel 5

Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan umur

Umur PUS Jumlah Persentase

Muda (≤ 35 tahun)

173 78,64 %

Tua (> 35 tahun)

47 21,36 %

Total 220 100 %

Berdasarkan Tabel 5, maka dapat diketahui bahwa sebanyak 173 orang (78,64%) PUS berusia ≤ 35 tahun, dan sebanyak 47 orang (21,36%) berusia lebih dari 35 tahun.


(61)

Gambar 10. Distribusi responden berdasarkan umur

e. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi Berdasarkan penelitian dari 220 responden diperoleh hasil perbedaan rerata skor angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor IUD dan Hormonal di puskesmas Rajabasa, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis perbedaan rerata skor disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD.

Rata-rata Kontrasepsi Selisih Nilai p

IUD Hormonal

Skor Disfungsi 29,8 26,2 3.6 0,000

Bardasarkan Tabel 6, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara skor FSFI akseptor IUD dengan Akseptor hormonal dengan nilai p=0,000.


(62)

Dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor FSFI akseptor IUD lebih tinggi dari akseptor Hormonal dengan selisih skor FSFI tersebut sebesar 3,6.

Gambar 11. Analisis perbedaan rerata skor disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD.

3. Analisis Bivariat

a. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD Tabel 7. Prevalensi disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD

Kategori

Hormonal IUD p

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Disfungsi 75 68,18 % 23 20,91% 0,000

Tidak Disfungsi 35 31,82 % 87 79,09%

Total 110 100 % 110 100%

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi hormonal di puskesmas rajabasa Bandar Lampung. Dari 110 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat 75 orang (68,18%) pengguna kontrasepsi hormonal yang mempunyai gejala terjadi


(63)

disfungsi seksual dan terdapat 35 orang (31,82%) yang tidak mempunyai gejala disfungsi seksual atau normal. Pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%) yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 87 orang (79,09%). Dengan nilai p=0.000 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan alat kotrasepsi dengan kejadian disfungsi seksual.

Gambar 12. Prevalensi disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD

b. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi Tabel 8. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi

Pendidikan PUS Hormonal IUD

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Tinggi ( ≥ SMA ) 53 48,18 % 83 75,45%

Rendah (< SMA) 57 51,82 % 27 25,55%

Total 110 100 % 110 100%

diperoleh data bahwa dari 110 Akseptor hormonal yang diteliti, 59 orang atau 53,64% responden mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 51 orang atau 46,36% responden berpendidikan rendah (< SMA). Pada akseptor IUD 83


(64)

Orang atau 75,45% mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 27 orang atau 25,55% responden berpendidikan rendah(<SMA).

Gambar 13. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi

c. Distribusi umur responden berdasarkan jenis kontrasepsi Tabel 9. Distribusi umur responden berdasarkan jenis kontrasepsi

Umur PUS

Hormonal IUD

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Muda (≤ 35

tahun) 68 61,82 % 105 95,45%

Tua (> 35

tahun) 42 38,18 % 5 4,55%


(65)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 68 orang (61,82%) akseptor hormonal berusia ≤ 35 tahun, dan sebanyak 42 orang (38,18%) berusia lebih dari 35 tahun. Akseptor IUD sebanyak 105 orang (95,45%) berusia ≤ 35 tahun dan sebanyak 5 orang (4,55%) berusia lebih dari 35 tahun.


(66)

B. Pembahasan 1. Analisis Univariat

a. Prevalensi Disfungsi Seksual pada Akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung

Kejadian Kejadian Disfungsi Seksual dikategorikan menjadi 2 yaitu yang terjadi disfungsi seksual dan non disfungsi seksual atau normal. Hal ini merujuk pada Female Sexual Function Index(Rosen et al.,2000) yang merekomendasikan seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai seluruh domain kurang atau sama 26,5.

Kejadian disfungsi seksual pada pengguna kontrasepsi di puskesas Rajabasa bandar lampung berdasarkan hasil pada penelitian ini didapatkan prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi di puskesmas rajabasa Bandar Lampung. Dari 220 responden yang terdiri dari 110 akseptor hormonal dan 110 akseptor IUD yang menjadi subjek penelitian, terdapat 98 orang (44,5%) pengguna kontrasepsi yang mengalami disfungsi seksual dan terdapat 122 orang PUS yang tidak mengalami disfungsi seksual atau normal. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir separuh akseptor di Puskesmas Rajabasa Indah mengalami disfungsi seksual yakni sebanyak 44,5%.


(67)

b. Distribusi Responden Berdasarkan 6 Domain Disfungsi Seksual

Pada penelitian ini didapatkan persentase domain dari disfungsi seksual yang telah ditentukan oleh FSFI. Pada penelitian didapatkan sebesar 91,82% atau 101 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain pertama (Hasrat) sebesar 70% atau 77 orang responden mangalami disfungsi seksual pada domain kedua (Perangsangan), sebesar 62,73% atau 69 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain ketiga (Kebasahan/Lubrikasi), sebesar 35,46% atau 39 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keempat (Orgasme), sebesar 15,46% atau 17 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima (Kepuasan), dan sebesar 58,18% atau 64 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keenam (Kesakitan). Pada penelitian akseptor IUD didapatkan 23 orang dari 110 responden yang mengalami disfungsi seksual hanya sekitar 23,91%. Sedangkan yang tidak termasuk disfungsi seksual pada wanita sekitar 79,09% atau 87 orang.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa domain pertama yakni hasrat merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami oleh responden akseptor hormonal yaitu sebesar 91,82% . Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana persentase jumlah responden yang paling besar dan juga merupakan domain yang paling besar pengaruhnya sebagai penyebab disfungsi seksual pada aksetor hormonal adalah domain pertama (hasrat/libido) (Dewi, 2011).


(68)

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori tentang pemakaian kontrasepsi hormonal khususnya yang berisi progesteron (gestagen) yang mempunyai efek samping salah satunya adalah menurunkan libido, vagina menjadi kering dan perasaan tertekan (Baziad,2005). Penurunan libido tersebut dikarenakan adanya gangguan hormonal seperti penurunan hormon estrogen. Penurunan kadar estrogen menyebabkan penurunan aliran darah ke jaringan intrakavernosa klitoris, vagina dan uretra secara signifikan sehingga dapat mengganggu tahap perangsangan (vasokongesti). Peneliti juga menemukan 4 responden yang mengakui bahwa vaginanya menjadi kering dan kadang nyeri saat berhubungan, hal ini juga termasuk salah satu domain perilaku dari disfungsi seksual yaitu lubrikasi dan berkaitan dengan efek samping dari progesteron itu sendiri yaitu dapat menyebabkan vagina menjadi kering sehingga kemudian wanita merasakan sakit saat berhubungan seksual (Prawirohardjo, 2008).

Berdasarkan penelitian pada akseptor IUD disimpulkan bahwa domain keenam yakni nyeri/kesakitan merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami oleh responden akseptor IUD. Dari hasil penelitian responden mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman pada saat melakukan hubungan seksual pada waktu awal pemasangan hal ini berkaitan dengan adanya pemasangan yang salah dapat menyebabkan perlukaan pada vagina dan menimbulkan rasa tidak nyaman (BKKBN, 2005).

c. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan

Berdasarkan ketetapan inpres no 1/1994 tentang wajib belajar yang termasuk pendidikan tinggi adalah minimal tamat SMA dan pendidikan rendah maksimal


(69)

tamat SMP. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa dari seluruh responden yang diteliti, 64,55 % responden mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 35,45 % responden berpendidikan rendah (< SMA).

d. Distribusi Frekuensi berdasarkan umur

Umur dikategorikan dengan menggunakan usia produksi 35 tahun, umur dibawah atau sama dengan 35 tahun dikategorikan sebagai umur muda, sedangkan umur diatas 35 tahun dikategorikan umur tua (Widyastuti et al.,2009). Dari seluruh responden yang diteliti didapatkan 78,64% yang berumur muda, sedangkan sebagian kecil responden berumur tua yaitu sebesar 21,36%. Usia responden yang termuda adalah 18 tahun dan yang tertua adalah 45 tahun. Akseptor Hormonal sebanyak 68 orang (61,8%) berusia ≤ 35 tahun dan sebanyak 2 orang (38,2%) berusia lebih dari 35 tahun. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Prawirohardjo (2008) yang mengemukakan bahwa pemakaian kontrasepsi hormonal lebih banyak digunakan pada wanita usia subur yang relatif berumur muda.

e. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi Bardasarkan Tabel 11, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata skor FSFI akseptor IUD dengan Akseptor hormonal dengan nilai p=0,000. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor FSFI akseptor IUD lebih tinggi dari akseptor Hormonal dengan selisih skor tersebut sebesar 3,6. Perbandingan rata-rata skor disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD menunjukkan perbedaan yang signifikan. Adapun selisih rata-rata skor disfungsi tersebut


(70)

sebesar 3,6. Pada penelitian ini dengan rerata skor difungsi hormonal 26,2 menunjukkan bahwa disfungsi seksual wanita akseptor hormonal pada penelitian ini masih tergolong ringan karena rata-rata skor disfungsi responden memiliki nilai skor yg mendekati normal(Dewi M, 2011). Akseptor IUD memiliki rerata skor FSFI lebih tinggi dari akseptor hormonal yang berarti akseptor hormonal mempunyai angka kejadian disfungsi lebih banyak dibanding akseptor IUD. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wallwiener, dkk (2010), dimana rata-rata skor FSFI pada akseptor IUD lebih tinggi dibandingkan akseptor hormonal.

Analisis Bivariat

a. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD

Berdasarkan Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi hormonal di puskesmas rajabasa Bandar Lampung. Dari 110 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat 75 orang (68,18%) pengguna kontrasepsi hormonal yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 35 orang (31,82%) yang tidak mempunyai gejala disfungsi seksual atau normal. Pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%) yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 87 orang (79,09%). Dengan nilai p=0.000 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan alat kotrasepsi dengan kejadian disfungsi seksual.


(71)

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD dimana angka kejadian disfungsi seksual hormonal lebih tinggi yakni 75 orang (68,18%) dibandingkan IUD yang hanya 23 orang (20,91%%). Tingginya prevalensi disfungsi seksual pada akseptor hormonal dibanding IUD pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana dari hasil penelitian pada perempuan pelajar kedokteran di Jerman, menunjukkan bahwa metode kontrasepsi memiliki efek samping yang signifikan dalam fungsi seksual terutama kontrasepsi hormonal (Walwiener et al, 2010).

Angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor hormonal lebih tinggi daripada akseptor IUD salah satunya dipengaruhi oleh mekasnisme kerja kontrasepsi hormonal tersebut yang dapat berpengaruh secara langsung menyebabkan penekanan pada produksi Follicle Stimulating Hormone(FSH) sehingga menghambat peningkatan hormon estrogen (Ningsih, 2010).

Tingginya angka kejadian disfungsi seksual pada hormonal dibanding IUD ini dapat memberikan perhatian terhadap masyarakat pada umumnya dan khususnya petugas kesehatan karena disfungsi dapat mempengaruhi hubungan dengan keluarga dan akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang . Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang yang menyebutkan wanita yang memiliki masalah disfungsi seksual memiliki kualitas hidup yang lebih rendah (Laumann, 1999).

Sebagian besar responden dengan disfungsi seksual yang diwawancarai menyatakan mereka hanya merasa pasrah dengan masalah ini dan tidak berusaha


(72)

untuk mencari solusi serta masih merasa malu untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan dokter karena menganggap masalah seksual masih tabu. Pengaruh sosial budaya dan kurangnya pengetahuan juga dapat menyebabkan wanita malu untuk mendiskusikan masalah seksual, padahal sikap malu dapat menyebabkan wanita mengalami depresi. Sebaliknya jika kehidupan seksual yang memuaskan serta pengalaman dan fungsi seksual yang positif akan meningkatkan rasa percaya diri dan pandangan positif mengenai dirinya akan berdampak pada kesejahteraan hidup dalam bekeluarga. Hubungan seksual dalam keluarga merupakan puncak keharmonisan dan kebahagiaan, oleh karena itulah kedua belah pihak harus dapat menikmatinya bersama. Perlu diakui bahwa pada permulaan perkawinan sebagian besar belum mampu mencapai kepuasan bersama, karena berbagai kendala. Setelah tahun pertama sebagian besar sudah mengerti dan dapat mencapai kepuasan bersama. Sekalipun hubungan seksual bukan satu- satunya yang dapat memegang kendali kerukunan rumah tangga, tetapi ketidakpuasan seksual juga dapat menimbulkan perbedaan pendapat, perselisihan, dan akhirnya terjadi perceraian (Manuaba, 1999).

Menurut Santoso (2007), untuk mencoba keluar dari problem seksual itu, ada beberapa hal yang bisa dicoba guna memperbaiki kondisi tersebut, yaitu memperbaiki komunikasi. Diyakini, kualitas hubungan seksual ditentukan oleh komunikasi yang baik sebelum kontak seksual. Kemesraan dan kebersamaan sebelum berhubungan seksual merupakan salah satu foreplay yang baik. Kemudian, selalu menjaga dan meningkatkan kesehatan tubuh serta tidak mencoba obat- obatan atau jamu tanpa indikasi yang jelas. Justru penggunaan yang demikian ini akan menimbulkan disfungsi seksual. Itulah sebabnya masalah


(1)

63

menyangkut masalah kesehatan mereka sendiri. Seorang wanita yang lulus dari perguruan tinggi akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan dan mampu berperilaku hidup sehat bila dibandingkan dengan seorang wanita yang memiliki pendidikan rendah. Semakin tinggi pendidikan seorang wanita maka ia semakin mampu mandiri dengan sesuatu yang menyangkut diri mereka sendiri (Widyastuti et al., 2009).

c. Distribusi umur responden berdasarkan jenis kontrasepsi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 68 orang (61,82%) akseptor hormonal berusia ≤ 35 tahun, dan sebanyak 42 orang (38,18%) berusia lebih dari 35 tahun. Akseptor IUD sebanyak 105 orang (95,45%) berusia ≤ 35 tahun dan sebanyak 5 orang (4,55%) berusia lebih dari 35 tahun. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Prawirohardjo (2008) yang mengemukakan bahwa pemakaian kontrasepsi hormonal lebih banyak digunakan pada wanita usia subur yang relatif berumur muda (Prawiroharjo, 2008).

C.Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam melakukan penelitian ini adalah dalam menyingkirkan variabel pengganggu yang ada dalam penelitian ini baik dari faktor biologis, fisik, dan psikologis. Penelitian ini juga hanya menggambarkan apa yang didapat dari kuesioner terbimbing, oleh karena itu penelitian ini sangat tergantung dari kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan apalagi jenis pertanyaannya sangat pribadi seperti kejadian disfungsi seksual yang meliputi 6 domain perilaku agar tidak terjadi bias pada hasil penelitian.


(2)

65

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor IUD di puskesmas rajabasa Bandar Lampung, terdapat 23 orang (20,91%) yang mengalami disfungsi seksual.

2. Prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi hormonal di puskesmas rajabasa Bandar Lampung, terdapat 75 orang (68,18%) pengguna kontrasepsi hormonal mengalami disfungsi seksual.

3. Angka kejadian disfungsi seksual pada aksetor hormonal lebih tinggi yakni 75 orang (68,18%) dibanding angka kejadian difungsi seksual akseptor IUD yakni 23 orang(20,91%) dan terdapat perbedaan yang signfikan dengan p = 0,000


(3)

66

Saran

Dari hasil penelitian , peneliti menyarankan agar :

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar dan waktu yang lebih lama agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal.

2. Perlu dilakukan penelitian tentang faktor–faktor lain yang berpengaruh terhadap fungsi seksual seperti usia pernikahan, stress, dan lain-lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

American Pschiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Dissorder Fourth Edition Text Revision. Arlington, VA: American Pschiatric Association.

Bayer Healthcare.2006. Sex & the modern woman: Report Findings.USA : Bayer Healthcare.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1996. Opini Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN.

Baziad, A. 2005. Kontrasepsi Hormonal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Chandra, L. 2005. Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran.

Dahlan, Sopiyudin M, 2008. Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan ed. Jakarta : Sagung Seto.

Dahlan, M. Sopiyudin. 2010. Langkah-langkah Membuat proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Davis, SR. 2011. Endocrine Aspect of Female Sexual Dysfunction. Australian Family Physician, Volume 40, No 5, Page 274

Depkes RI. 2009. Panduan Pelayanan Antenatal. Jakarta : Depkes RI

Dewi, M. 2011. Prevalensi Disfungsi Seksual Pada Wanita Pengguna Kontrasepsi Implant, laporan Ilmiah. UNILA Bandar Lampung

Glaiser.A, Gebbie,A. 2005. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekolog. Jakarta:

Hipocrates

Halstead, M., Reiss, M. 2006. Pendidikan Seksual Bagi Remaja. Yogyakarta : Alenia Press


(5)

Hartanto, H. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Henderson, C. 2006. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta :EGC

Imronah.2011. Hubungan pemakaian kontrasepsi suntik DMPA dengan disfungsi seksual pada wanita di Puskesmas Rajabasa Indah Kota Bandar Lampung. STIKES MITRA Lampung: pp. 40.

Kusumaningrum, R. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kontrasepsi yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur, laporan Ilmiah. UNDIP Semarang

Kusuma,W. 1999. Buku Pintar Kesehatan Wanita. Batam : Interaksara

Lara J., MD., Maureen Basha, PhD., Andrew T, MD., The Effect of Contraceptive on Female Sexuality. JSM : 9 : 2213-2223.

Laumann EO, Paik A.Rosen RC. 1999. Sexual dysfunction in the United States. JAMA.; 281 (6) : 537-44

Llewellyn, D. 2005. Setiap Wanita. Jakarta : PT. Delapratasa Publishing

Masters, W.H.; Johnson, V.E. (1966). Human Sexual Response. Toronto; New York: Bantam Books.

Manuaba,I.1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta :ARCAN Michael A, O’keane V. Sexual Dysfunction in Depression. Hum

Psychopharmacol. 2007 ;15: 337-345

Ningsi, A. 2012. Pengaruh Penggunaan Metode Kontrasepsi Suntikan DMPA Terhadap Kejadian Disfungsi Seksual, laporan Ilmiah. UNHAS Makassar

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto

Potter & Perry. 2005 .Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktek. Alih Bahasa. Ed. 4. Jakrta: EGC

Prawirohardjo, S., 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


(6)

(RISKESDAS)Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Rosen,R., Brown, C., Heiman, J., Leiblum,S., Meston,C., Shasigh, R. et al. 2000. The Female Sexual Function Index (FSFI) . Journal of Sex and Marital Therapy ;26: 191-208

Santoso,B. 2007. Panduan Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : SKP Publishing

Sutyarso., Kanedi,M. 2011. Disfungsi Seksual Wanita dan Kemungkinan Dampaknya Pada Kinerja Professional Mereka.Providing Nasional Symposium and workshop on Sexology 2011. Asosiasi Seksologi Indonesia. Jakarta 28-29 Oktober: 9-13

Tobing, L. 2006. Seks Tuntunan bagi Pria. Jakarta: EMK

Walwiener M., Walwiener L., Seeger H., Mueck A,.Zipfel S., Bitzer J.,

Walwiener C. (2010) Effect of Sex Hormones in Oral Contraceptives on

the Female Sexual Function Score : A Study in German Female Medical

Student. In Contraception (Ed) New York, Springerverlag.

WHO. 2006. International Classification of Disease-10 10’th Revision. World Health Organization. 10 : 150-152.

Widyastuti,Y., Rahmawati, A., Yuliasti,E. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya

Zawid, C. 1994. Sexual Health : A Nurse’s Guide. United State of America : Delmar


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN STRES MENURUT SKALA SOCIAL READJUSTMENT RATING SCALE DENGAN KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL PADA WANITA PASANGAN USIA SUBUR Di PUSKESMAS KOTA KARANG TELUK BETUNG BANDAR LAMPUNG NOVEMBER 2013

2 45 57

Hubungan Lama Menopause dengan Kejadian Disfungsi Seksual pada Wanita Menopause di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Panjang Bandar Lampung

7 24 58

GAMBARAN EFEK SAMPING PADA AKSEPTOR KONTRASEPSI HORMONAL DI PUSKESMAS COLOMADU 2 KABUPATEN Gambaran Efek Samping Pada Akseptor Kontrasepsi Hormonal Di Puskesmas Colomadu 2 Kabupaten Karanganyar.

0 1 12

GAMBARAN EFEK SAMPING PADA AKSEPTOR KONTRASEPSI HORMONAL DI PUSKESMAS COLOMADU 2 Gambaran Efek Samping Pada Akseptor Kontrasepsi Hormonal Di Puskesmas Colomadu 2 Kabupaten Karanganyar.

0 3 15

HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI IUD DENGAN ANGKA KEJADIAN LEUKOREA PATOLOGIS PADA AKSEPTOR KB HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI IUD DENGAN ANGKA KEJADIAN LEUKOREA PATOLOGIS PADA AKSEPTOR KB IUD DI PUSKESMAS KLEGO II KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLA

0 1 12

PENDAHULUAN HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI IUD DENGAN ANGKA KEJADIAN LEUKOREA PATOLOGIS PADA AKSEPTOR KB IUD DI PUSKESMAS KLEGO II KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI.

0 0 5

DAFTAR PUSTAKA HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI IUD DENGAN ANGKA KEJADIAN LEUKOREA PATOLOGIS PADA AKSEPTOR KB IUD DI PUSKESMAS KLEGO II KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI.

0 0 4

HUBUNGAN PENGGUNAAN KB IUD DENGAN KEJADIAN NYERI HUBUNGAN SEKSUAL PADA PASANGAN AKSEPTOR BARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NGORESAN KOTA SURAKARTA.

0 0 13

HUBUNGAN MASA ADAPTASI PENGGUNAAN IUD DENGAN KEJADIAN MENORAGIA PADA AKSEPTOR KONTRASEPSI IUD DI KELURAHAN KADIPATEN YOGYAKARTA TAHUN 2013 NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Masa Adaptasi Penggunaan IUD dengan Kejadian Menoragia pada Akseptor Kontrasepsi IUD di

0 0 11

GAMBARAN EFEK SAMPING KONTRASEPSI HORMONAL PADA AKSEPTOR KB HORMONAL DI PUSKESMAS TEGALREJO YOGYAKARTA

0 0 11