31 Saya juga heran kok bu. Ia berkedudukan sebagai sopir, tetapi masih
mau juga melakukan pekerjaan sebagai tukang kebun dan pembantu rumah tangga.
Dialog dari novel Ngulandara ini mencerminkan bahwa tiap bagian dalam rumahtangga mempunyai pembantu. Kebiasaan dikunjungi oleh orang lain, baik
karena rapat kerja atau adat mengundang makan karena pengaruh Belanda, menuntut agar anggota rumah tangga, termasuk para pembantu ini mempunyai
sopan santun. Hal ini menyebabkan masing-masing individu dalam rumahtangga priyayi sadar akan kedudukannya dan hubungannya yang eksklusif dengan
pembantunya. Raden Ajeng Tien, tokoh wanita dalam novel Ngulandara, karena mabuk perjalanan oleh bibinya disuruh duduk di muka di samping sopirnya.
Sartono, 1993. Emansipasi yang dipelopori oleh RA. Kartini ternyata juga mempengaruhi perkembangan sastra Jawa mutakhir. Kaum wanita mulai
menuangkan buah pikirnya dalam bentuk karya sastra. Mereka telah menuangkan buah pikirannya, sebagai perwujudan cita-cita Kartini. Pada masa sekarang
semoga semakin banyak para penulis wanita.
C. Konstelasi Media Informasi
Pada masa pemerintahan Paku Buwono X, Solo 1900-1915 merupakan tempat persemaian dan penumbuhan spirit nasionalisme. Banyak tokoh
pergerakan kebangkitan Nasional tinggal berjuang di kota Sala; tokoh Budi Utama paling berpengaruh dr. Rajiman Widiodipuro, dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang
anti “feodal” dan anti kolonial, dan tokoh radikal SI, Haji Samanhoedi, dan kantor CSI pertama juga ada di Solo. Orang-orang Belanda yang ada di Solo sangat
32 Vokal menentang cita-cita Onafhankelijkheid dari Indische Partij. Selain itu
terdapat cirikhas pergerakan di Solo; sangat politis dan radikal. Dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula, Kuntowijoyo mengilustrasikan
sosok kepemimpinan dan jiwa patriotisme Paku Buwono X dalam perspektif sejarah mentalitas. Tinjauan ilmiah secara psikologis tentu lebih efektif dan
proporsional bagi kepribadian Paku Buwono X sebagai pemimpin dan pembina serta pengembang adat leluhur masyarakat Jawa. Perspektif mentlitas yang
dipergunakan Kuntowijoyo tentu memperkaya khazanah studi sejarah dan kebudayaan di Indonesia, mengingat metode nya juga terhitung langka dalam
penulisan historiografi Indonesia. Era pemerintahan Paku Buwono X sebagai penerus tahta Paku Buwono IX
– serta raja-raja Surakarta di era abag ke-18 – telah mengondisikan iklim kondusif bagi penerbitan pers. Sejarah penerbitan media cetak di Surakarta secara umum
menjadi bagian dari proses sejarah pers di Indonesia. Yakni, yang diawali dari Batavia – Jakarta dengan terbitnya surat kabar Bataviase Nouvelles yang terbit 7
Agustus 1744, adalah surat kabar pertama di Indonesia. Proses penerbitan media itu tidak lepas dari pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Hal itu dianggap
sebagai kebaikan hati Gubernur Jenderal Van Imhoff 1743-1750. Pada awalnya, izin terbit hanya berlaku selama enam bulan, kemudian diperpanjang hingga tiga
tahun. Berikutnya, menyusul terbitnya Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, serta Bataviasche Koloniale Courant pada 1810.
Sejumlah media cetak yang mendokumentasikan seluk-beluk Indonesia yang dikemas dalam berita antara lain di majalah Indie, Nederlandhs Indie Oud en
33 Nieuw, Kromo Belanda, Jawa, berbagai laporan dibendel sebagai Verslagen dan
masih banyak lagi. Media cetak itu menginformasikan beragam berita – mulai dari politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional seperti musik, rupa,
sastra, arsitektur, situs arkeologi, kuliner serta segala macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita.
Secara politis, proses penerbitan surat kabar di Surakarta lebih bebas. Keadaan itu seiring ditetapkannya politik kolonial Belanda pada 1854 yang relatif
sudah lebih longgar terhadap penerbitan surat kabar Indonesia. Maka, lahirlah majalah Bromartani di Surakarta dengan bahasa Jawa. Selanjutnya, Bromartani
diperhitungkan pula sebagai pelopor arah perkembangan pers lokal di Indonesia. Bromartani merupakan mingguan pertama berbahasa Jawa yang
diterbitkan sepekan sekali, setiap hari Kamis antara 1855-1858. Kali pertama terbit, Bromartani dipublikasikan pada 25 Januari 1855 oleh Carel Frederik
Winter Sr. bersama anaknya, Gustaaf Winter. Keduanya fasih berbahasa Jawa. Media tersebut dicetak oleh percetakan Hartevelt di Surakarta. Bromartani lahir
setahun sebelum Undang-Undang Pers pada zaman kolonial Belanda diberlakukan di Indonesia.
Media cetak Bromartani sering dijadikan referensi ilmiah para pelajar dan mahasiswa yang tengah menempuh ilmu. Mahasiswa yang dominan mengakses
surat kabar Bromartani antara lain yang menempuh studi di Instituut voor de Javaansche Taal. Selain itu, mingguan tersebut juga diapresiasi dan mendapatkan
dukungan moral dari Paku Buwono VII. Selanjutnya, di era Paku Buwono X, kepedulian Paku Buwono X pada perkembangan pers juga ditunjukkan. Lebih-
34 lebih, pihak Kasunanan Surakarta sebelumnya telah menempatkan CF Winter dan
Gustaf Winter yang juga redaksi Bromartani sebagai Javanisi, sejajar dengan pujangga Kraton Surakarta seperti Raden Ngabehi Ranggawarsita yang juga
mengelola Bromartani. Paku Buwono X melanjutkan misi dan prakarsa Paku Buwono IX di era pertengahan abad ke-18 hingga ke-19, dengan sejumlah riset
dan publikasi di media masa cetak. Namun, peran sosial dan politik pers pada masa kolonial cukup efektif.
Kenyataan itu memotivasi Paku Buwono X untuk berperan dalam pengembangan pers. Di sisi lain secara internal, peran yang dimainkan Bromartani, meski
berbahasa Jawa juga berjalan optimal. Berturut-turut setelah Bromartani terbit, pemerintahan kolonial membuka jaringan telegram 1856, pos 1862, dan jalur
kereta api 1867. Dalam kehidupan pers, teknologi menjadi sarana yang lebih memudahkan perkembangan pers. Berita-berita kian cepat dan mudah
tersampaikan. Menurut sebuah riset, seperti dideskripsikan Anindityo Wicaksono, jumlah
media di Solo mencapai 110-an buah. Pada masa efektif pemerintahan Paku Buwono X jumlahnya mencapai 69 buah – termasuk tiga media, Woro, Pustaka
Surakarta, dan Purnama yang tidak diketahui periode tahun penerbitannya. Majalah Bromartani 1858 – 1939 sebagai hasil “reinkarnasi” Bromartani 1855-
1857 yang merupakan kelompok bisnis Joroemartani dan De Locomatief – Semarang.
Majalah De Nieuwe Vorstenlanden 1858 - 1942, selanjutnya berganti menjadi surat kabar De Nieuwe Sukartasche Courant dengan pimpinan TH
35 Reoland Landouw. Kemudian pada 1883 diganti namanya menjadi De Nieuwe
Vorstenlanden, terbit setiap hari di bawah pimpinan redaksi TH Roeland Landouw. Harian ini pernah menjadi surat kabar paling besar di seluruh Jawa
Tengah. Pada 8 Januari 1938 pernah mengadakan peringatan 80 tahun usianya. Tetapi empat tahun berikutnya, pada 1942 berhenti terbit menjelang Jepang
masuk Kota Solo. Jawa Kandha 1891-1919. Diterbitkan oleh Percetakan dan Penerbitan
Albert Rusche Co di Solo dengan Bahasa Jawa dan Melayu. Terbit tiap seminggu dua kali pada hari Selasa dan Jumat. Redakturnya FL Winter. Nomor
pertama terbit pada hari Selasa Pahing tanggal 28 April 1891. Surat kabar ini berbahasa Jawa dan dimiliki orang Belanda. De Niewe Vorsten Landen 1900-
1919. Pada periode 1900 dipimpin Vogel Van der Heyde. Selanjutnya pada periode 1919 dikendalikan oleh H Roeland Landauw. Darmakandha 1913.
Diterbitkan Nieuwe Drukkerij di Warung Pelem yang sekarang menjadi poliklinik Tiong Hoa. Pemiliknya Tjo Tjoe Kwan, seorang letterzetter di percetakan Albert
Rusche Co. Ratna Dumilah 1939. Pada bulan itu juga terbit majalah bahasa Jawa aksara latin dengan nama Ratna Dumilah yang memuat khusus tentang
kewanitaan. Kedua majalah tersebut dapat hidup sampai akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Muhidin M Dahlan dalam Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa mengilustrasikan, sebelum abad ke-20, skema perjuangan
dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun, dalam dasawarsa pertama abad ke-20, pola perjuangan memasuki titik
36 perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah
kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang
bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda
dan pasar para borjuis. Sunan Paku Buwono X juga berjiwa besar dengan mengorbankan prinsip
sebagai orang Jawa yang bergelung berambut panjang tapi kemudian memberlakukan pemotongan rambut bagi kalangan kraton. Paku Buwono X
menyadari masa transisi demokrasi dimulai dengan arus modernisme yang sudah merebak sebelumnya, dan pasti akan terjadi di Indonesia. Sehingga siap atau tidak
siap, masing-masing pribadi harus siap berkorban sebagai upaya menumbuhkan nasionalisme. Hal yang kemudian banyak diprotes tapi demi politik simbol yang
dimainkannya dalam menghadapi Belanda, Paku Buwono X pun memutuskan ketentuan tersebut. Semua kebijakan dan strateginya itu dipublikasikan koran
lokal. Menjadi raja bagi Sunan Paku Buwono X mungkin bagian dari takdirnya.
Sementara kenyataan sosial politik di sekitarnya tidak dapat dihindarkan. Pada masa pemerintahannya, Paku Buwono X berada dalam konstelasi politik kolonial
Belanda. Situasi tersebut tentu sangat pelik bagi Paku Buwono X yang mengemban warisan sebagai bagian dari keturunan dinasti Mataram Islam yang
berkedudukan di Surakarta. Sehingga, keadaan itu membutuhkan strategi dan
37 siasat tersendiri agar kehidupan masyarakat dan tradisi kerajaan berjalan secara
harmonis menghadapi kolonial Belanda. Kuntowijoyo dalam artikelnya “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan
Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta, 1900 – 1915” – dimuat di Jurnal Humaniora Vol XV No 22003 – mendeskripsikan Sunan Paku Buwono X sedari
kecil sudah menyadari kelak akan menjadi raja, sebab ia sudah menjadi putera mahkota pada umur tiga tahun 1869, meskipun mendapat gelar sebagai Sunan
pada 1893. Tatkala berada di puncak sebagai Raja Paku Buwono X, ia menyadari betapa keras benturan pertentangan antara simbol dan kenyataan. Simbol-simbol
selalu merujuk pada kekuasaannya yang nyaris tanpa batas, tetapi kenyataannya ia ada di bawah kekuasaan Belanda.
Raja dalam Serat Wulangreh karya Paku Buwono IV, merupakan wakil Hyang Agung wakil Tuhan. Raja yang mempunyai wahyu nubuwah berupa
wewenang untuk menjadi raja alam semesta, wahyu hukamah berupa wewenang untuk mengadili, dan wahyu wilayah berupa wali Tuhan yang menjadi teladan
bagi rakyatnya. Ia juga menjadi panatagama, yaitu hak untuk menjadi pengatur agama bagi kawulanya. Koran-koran lokal menyebutnya dengan Gusti Pepunden
Kulo Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan. Karena keberadaan dan peranannya yang strategis di tanah Jawa, khususnya di Surakarta, Paku Buwono X
pun berupaya hidup anut ombyaking lakon agar tidak tertinggal dengan masyarakat dan zaman yang memasuki transisi demokrasi.
Gedung Monumen Pers Nasional berdiri di jalan Gajahmada. Gedung tersebut adalah hasil karya arsitek Jawa yang pertama, Atmodirono dari
38 Semarang, dan dibangun oleh Sunan Paku Buwono X pada tahun 1920. Pada
waktu itu hanya ada satu surat kabar yaitu ‘Bromartani’, terbit setiap hari Jumat. Di Solo hanya para bangsawan dan priyayi yang berlangganan surat kabar
tersebut. Bramartani adalah surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Jawa. Surat kabar berbahasa Melayu diterbitkan di Semarang dengan nama ‘Slompret
Melayu’, sedangkan surat kabar berbahasa Belanda diterbitkan di Surabaya dengan nama ‘Soerabayasch Handelsblad’.
Salah seorang penggerak pers di Solo adalah RM Tirto Adhi Soerjo 1875 – 1918. Ia melakukan perjuangan melalui surat kabar yang dipimpinnya, Medan
Prijayi. Beliau adalah pioner pers pribumi. Melalui surat kabar Medan Prijayi, pemikiran beliau menjadi cikal bakal nasionalisme dengan memperkenalkan
istilah Anak Hindia. Beliau juga menyadarkan masyarakat Indonesia tentang hakekat penjajahan yang sangat merugikan bangsa dan berusaha melakukan
perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial. Mengingat jasanya beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun
1973 oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya itu pula, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang
Maha Putra Adipradana. Tahun 2007 adalah seabad pers nasional. Tarikh ini dihitung sejak Medan Priyayi terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan
Priyayi adalah tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus:
pemberitaan dan advokasi. Dan dua kegiatan itu menjadi gong yang ditalu dengan
39 nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu: Raden Mas
Tirto Adhi Suryo. Nama ini bukan saja sebagai otak dimulainya tradisi pergerakan yang
dimulai dengan berdirinya Syarikat Priyayi 1906 lalu disusul Syarikat Dagang Islam 1909, namun juga menyuluh warga bangsa-bangsa terjajah lewat jalan
pers. Maka pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Sementara pada 2006, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
menyempurnakan gelar itu menjadi Pahlawan Nasional atas jasanya menggerakkan kesadaran merdeka lewat jalan organisasi modern dan pergerakan
nasional. Memperingati seabad pers itulah Jurnal Nasional menghadirkan 365 koran terpilih yang pernahsedang ikut membangun nasionalisme dan tradisi
berbangsa dalam 365 hari terbit. Terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2007. Dan hari ini dimulai dengan tampilan sang penyuluh mula-mula, Medan
Priyayi. Medan Priyayi terbit pertama kali pada Januari 1907 dan menjadi koran
pertama dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri, berbahasa melayu dengan bahasa yang menggertak penguasa kolonial, dan menggerakkan kawula
bangsa untuk bangkit menolong diri sendiri. Semangat itu bisa dibaca dari delapan asas yang diturunkan Tirto Adhi Suryo di halaman muka edisi perdana, antara lain
memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan
bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.
40 Asas kemandirian ekopolbud itu lalu menjadi simpul dari sebaris panjang jargon
Medan Priyayi: Soeara bagi sekalian Raja-raja, Bangsawan asali dan fikiran, Priyayi dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar
dari bangsa jang terjajah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seluruh Hindia Belanda.
Tirto rupanya sadar betul agar bagaimana suara koran ini menjadi angin- ribut bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan yang bener bagi setiap
pribumi jika dipalak kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan usaha mandiri mencetaknya.
Maka dengan
pengetahuan dan
pengalaman niaganya,
diwajibkannya calon pelanggan terlebih dahulu membayar persekot langganan untuk satu kuartal, setengah atau satu tahun, yang saat ini kita kenal dengan
saham. Dilobinya beberapa pangrehpraja yang tertarik dengan gagasannya. Jadilah dua orang penyumbang dana besar, yakni Bupati Cianjur RA
Prawiradireja dan Sultan Bacan Oesman Sjah. Masing-masing menyumbang f 1.000 dan f 500. Dengan dana segitu terbitlah Medan Priyayi di percetakan Khong
Tjeng Bie Pancoran Betawi dengan format mingguan sederhana berukuran seperti buku atau jurnal mungil, 12,5x19,5 cm. Rubrik tetapnya mutasi pegawai, salinan
Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan surat- surat. Terkadang artikel-artikel panjang itu didesain dalam dua kolom, namun
kebanyakan satu kolom seperti jurnal. Namun rubrik yang paling digemari adalah surat dan jawaban serta advis
hukum gratis yang disediakan Medan Priyayi kepada rakyat yang berperkara kerna haknya disiakan. Usaha inilah yang menjadikan koran ini berkembang.
41 Simpati pun datang melimpah-limpah hingga pada tahun ketiga terbitannya,
tepatnya Rabu, 5 Oktober 1910, Medan Priyayi berubah menjadi harian dengan 2000 pelanggan yang menurut laporan Rinkes: “untuk harian Eropa di Hindia pun
sudah merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu....” Tak ayal lagi Medan Priyayi mengambil posisi sebagai corong suara publik. Sebagai aktivis
pergerakan, tulisan-tulisan Tirto dalam Medan Priyayi tak pernah berbasa-basi, tapi menunjuk muka langsung dan membuat banyak orang tercambuk “moentah
darah”. Hampir tak ada satu pun kebijakan kolonial yang dirasa memberatkan rakyat yang lolos dari pemberitaan Medan Priyayi. Di seluruh karesidenan Jawa,
Medan Priyayi bukan lagi taman, tapi benar-benar medan berkelahi. Di Banten, Rembang, Cilacap, Bandung, diperkarakannya banyak hal.
Salah satu kasus terkenal adalah perkara di Kawedanan Cangkrep Purworejo. Medan Priyayi dengan bahasa yang blak-blakan memuat artikel
tentang persekongkolan jahat antara Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak
beroleh dukungan warga. Sementara si jago pertama yang didukung, Mas Soerodimejo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal. Terbakar oleh
amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan Priyayi No 19 1909.
Investigasi atas kasus itu didukung 236 warga Desa Bapangan dan warga ini pula mengirim surat kepada Tirto yang berisi dukungan pasang-badan kalau-kalau
Tirto kena denda atas tulisannya. Tirto memang kalah dalam perkara pers delict dengan Simon itu dan dibuang ke Lampung dua bulan. Tapi dari kasus itu, Medan
42 Priyayi mendapat perhatian pers di Nederland dan Tirto berkesempatan
berkenalan dengan Anggota Majelis Rendah Belanda Ir HH van Kol dan pemuka politik etik Mr. Th van Deventer hingga Medan Priyayi berkesempatan
gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Dari sepak terjang itu Medan Priyayi pun menjadi model pertama dari apa
yang kelak disebut sebagai surat kabar pergerakan, mendahului Sarotomo, Soeloeh Indonesia, ataupun Daulat Rajat. Yang khas Medan Priyayi terletak pada
kegiatannya yang tak berhenti dengan sekadar memberitakan sebuah peristiwa atau kebijakan yang merugikan publik, namun terjun langsung menangani kasus-
kasus yang menimpa si kawula. Medan Priyayi, lagi-lagi, menjadi pelopor dari genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan
jurnalisme advokasi. Banyak yang berharap bahwa Medan Priyayi bisa berumur panjang. Harapan itu terbetik ketika HM Arsad, Oesman, dan Tirto membentuk
NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Priyayi” setahun setelah Medan Priyayi terbit. NV ini dicatat sebagai NV pribumi
pertama dan sekaligus NV pers pertama. Modalnya f 75.000 yang terdiri atas 3.000 lembar saham.
Namun keberadaan mesin pengatur uang Medan Priyayi ini tak berjalan sehat. Selain karena Tirto sangat sibuk berorganisasi, kehidupannya yang
flamboyan dan boros menjadi gulma yang mempercepat habisnya bahan bakar koran ini. Apalagi, sosok Tirto menjadi bulan-bulanan pemerintah Hindia karena
sepak terjangnya dalam pelbagai gerakan. Pada 23 Agustus 1912 Medan Priyayi pun runduk dan tak pernah tegak lagi untuk selamanya. Sanderaan belum juga
43 selesai di situ. Si ksatria penunggang Medan Priyayi, Mas Tirto Adhi Suryo, juga
dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja. Dua bulan
setelah tutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis bahwa Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. Dengan mental
yang sudah patah, kalis, dan utang yang bertumpuk-tumpuk, ia pun dibuang ke Ambon. Sepulangnya dari sana Tirto menjadi manusia sebatang kara yang digilas
gelombang pergerakan yang dibangunnya dengan susah-payah. Namun lima tahun kehidupan Medan Priyayi adalah lima tahun berkalang
di medan pertempuran. Tapi bukan dengan cara-cara tradisional sebagaimana angkatan Pangeran Diponagoro dan Teuku Umar, melainkan dengan tradisi daya-
cetak yang menyebar luas dan terang-terangan. Daya-cetak inilah yang menjadi pembatas luruhnya kurun feodalisme dan bangkitnya tradisi politik modern. Dan
Medan Priyayi melakukan tugas suluh itu dengan menyeru-nyeru untuk tanggalkan ikatan kebudayaan dan darah, dan membentuk geopolitik, hukum, dan
ekonomi dalam semangat senasib bangsa-bangsa terjajah.
44
BAGIAN 3 DINAMIKA KREATIVITAS SASTRA