diktat teori sastra jawa

(1)

Diktat

TEORI SASTRA JAWA

DR. PURWADI, M.HUM

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Telp: 0274-550843-12; Email: purwadi@uny.ac.id


(2)

1

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk memperlancar proses belajar mengajar Mata Kuliah Teori Sastra Jawa di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para leluhur perlu sekali disebarluaskan untuk diketahui oleh generasi muda, dengan harapan supaya dapat dijadikan sebagai pegangan hidup sehari-hari.

Diktat ini tentu akan mempertebal wawasan jati diri dan nilai kebangsaan kita dewasa ini yang berguna bagi para mahasiswa, dalam mempelajari seluk beluk kesusastraan Jawa.

Yogyakarta, 02 Februari 2013


(3)

2 DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... 1

Daftar Isi ... 2

BAB I Memahami Kesusastraan Jawa ... 3

BAB II Sastra Jawa Prosa ... 6

BAB III Sastra Jawa Puisi ... 21

BAB IV Mutiara Luhur Dalam Sastra Lisan ... 24

BAB V Sastra Dalam Bentuk Bahasa Perlambang ... 27

BAB VI Mengasah Keindahan Bahasa Kesusastraan ... 32

BAB VII Pengaruh Sastra Modern ... 34

Daftar Pustaka ... 44

Lampiran Silabus ... 45

Lampiran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 48


(4)

3 BAB I

MEMAHAMI KESUSASTRAAN JAWA

Pendidikan Sastra

Kesusastraanberasal dari kata dasar sastra. Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “sas” yang artinya mengajar dan “tra” yang artinya alat. Oleh karena itu sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar. Contoh: buku, pena dan tulisan. Adapun kesusastraan bermakna: Alat untuk mengajarkan ilmu. Buah karya yang disusun dengan bahasa yang baik. Sedangkan bentuk kesusastraan ada dua, yaitu: Kesusastran lesan yang berwujud dongeng, syair, puisi, peribahasa, dan lain-lain. Kesusastraan tulis yang berwujud novel, naskah, babad, dan juga puisi, syair dan lain-lain yang sudah ditulis.

Pendidikan kesusasteraan merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh umum, lebih-lebih kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat (Zoetmulder, 1985: 179). Kesadaran mengenai makna penting kedudukan ilmu bahasa, sastra, sejarah, antropologi, kemanusiaan, kema-syarakatan, keagamaan, dan tata negara telah memberi inspirasi para pejabat kerajaan untuk mendirikan, mengem-bangkan, dan membantu proses pendidikan.

Kesusastraan tulis di nusantara berkembang sejak jaman adanya tulisan. Tulisan pada jaman dahulu berwujud prasasti, misalnya prasasti di Candi Prambanan dan prasasti Candi Ratu Boko. Setelah ada daun rontal, maka mulai ada kesusastraan yang berupa kekawin yang ditulis di atas daun rontal tadi.


(5)

4 Proses Kreatif

Karya sastra yang paling tua adalah Sêrat Canda-karana yang dibuat pada masa dinasti Çailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Çaka. Sêrat Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan (Poerbatjaraka, 1957: 1). Proses kreatif kepengarangan Jawa selalu mengalami perkembangan. Setelah berkembang sedemikian rupa hingga saat ini, maka kesusastraan tulis dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yakni: Gancaran (Prosa) dan Geguritan (Puisi).

Prosa adalah karya sastra yang disusun dengan bahasa tutur biasa. Kalimat-kalimatnya seperti dalam kalimat tutur keseharian. Adapun yang termasuk prosa adalah dongeng, babad, wiracarita, novel, essei, dan sandiwara. Kesusastraan yang padat berisi dan diolah dengan bahasa indah disebut geguritan atau puisi. Keindahan bahasa puisi Jawa terletak pada tiga macam yaitu Wilet, wirama dan purwakanthi.

Wilet yaitu kelak-kelok suara agar ajeg, beruntun dan memiliki makna yang tinggi. Wirama yaitu panjang pendek, keras liat dan tinggi rendah jatuhnya suara. Purwakanthi termasuk salah satu jenis puisi Jawa. Purwakanti atau dhong dhinging suara. Puisi merupakan kesusastraan yang sangat disenangi oleh masyarakat sejak jaman kuno sampai sekarang. Puisi di jaman kuno disebut kekawin karena mempergunakan bahasa kawi.

Sastra dan budaya Jawa yang adiluhung sangat berpengaruh di seluruh pelosok nusantara. Bahkan di kawasan regional Asia Tenggara, kebudayaan Jawa menempati posisi yang sangat vital. Penyebaran orang Jawa di berbagai benua


(6)

5

pasti membawa tradisi dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, kebudayaan Jawa secara aktif menyesuaikan diri dengan arus globalisasi. Hal ini ditandai dengan adanya pergaulan yang kosmopolit dalam percaturan internasional. Tanah Jawa misuwur sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, didukung oleh tanahnya yang sangat subur. Topografi yang relatif datar dan penduduknya yang terdidik, serta seni budaya yang edi peni membuat tanah Jawa senantiasa menjadi impian bagi seluruh penduduk dunia.

Dalam konsteks historis, tanah Jawa menjadi pusat diplomasi luar negeri bagi seluruh penduduk nusantara. Dari interaksi lokal merambah kawasan nasional, regional dan internasional. Benua Eropa, Australia, Amerika Afrika dan Asia, semuanya kasmaran dengan keelokan tanah Jawi. Ketika nusantara dipersatukan kembali dalam negara kesatuan Republik Indonesia, orang-orang Jawa tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional. Ciri kepemimpinan nasional pun terpengaruh dengan gaya kepemimpinan Jawa. Dengan demikian, dalam rangka memajukan kebudayaan nasional, budaya Jawa memberikan sumbangsih yang besar sekali maknanya. Misalnya saja, semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, adalah berasal dari kata mutiara yang dirangkai oleh Empu Tantular, seorang pujangga istana Majapahit.

Perbendaharaan sastra Jawa terus mengalami kemajuan setelah hadirnya agama Islam. Keraton Demak Bintara, Pajang, Mataram, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pura Pakualaman aktif mengembangkan sastra budaya. Kitab-kitab Jawa kuna disalin dan diterjemahkan dalam metrum baru, sehingga isinya lebih mudah untuk dilakukan sebagai obyek pengkajian.


(7)

6 BAB II

SASTRA JAWA PROSA

Dongeng

Dongeng adalah cerita fiksi yang bernilai pendi-dikan budi pekerti. Tokoh yang dipakai adalah hewan, kayu, batu, dan bisa juga manusia. Jenis-jenis dongeng antara lain: Fabel, yakni dongeng tentang binatang; misalnya kancil mencuri timun, kancil dan buaya, burung gagak dan kura-kura. Mite, yakni dongeng tentang mitologi, misalnya dongeng Nyi Rara Kidul. Legenda, yakni dongeng tentang asal mula kejadian. Misalnya dongeng asal mula Gunung Bromo, dongeng Jaka Tengger, asal mula Rawa Pening, asal mula kota Banyuwangi, dan masih banyak lagi.

Adapun buku-buku dongeng terkenal antara lain: Tantu Panggelaran, Hikayat Kalilah dan Dimnah, dan Calon Arang. Dongeng berbahasa Jawa yang telah diterbitkan antara lain: Prawira Sudirdja: Cariyos Tanah Pareden Diyeng (1912). Reksa Kusuma: Cariyos Bengawan Solo (1916). Sastra Mintardja: Cariyos Sendhang ing Tawun (1922). Yasa Suparta: Cariyos Redi Lawu (1936). Kuswadiardja: Rara Kadreman (1916). Adisusastra: Kartimaya (1917). Di bawah ini contoh-contoh dongeng berbahasa Jawa yang dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan suri tauladan dan keutamaan:


(8)

7 Rara Jonggrang

Cinarita, ana priya kang duwe sipat ambeg sura ajejuluk Bandung Bandawasa. Bandung Bandawasa iku sekti mandraguna. Bandung kepengin nglamar wanudya kang ayu sulistya aran Rara Jonggrang, putrine Prabu Boko. Ratu Boko ngerti yen Bandung mau dudu priyagung kang duwe tumindak becik, mula lamaran mau ditolak. Bandung muntab banjur Prabu Boko dipejahi. Asma Ratu Boko iku saiki kanggo tetenger petilasan ing Gunung Saragedug, sakidule Candhi Prambanan.

Iba sedhihe Rara Jonggrang ngerti yen ramane diprajaya dening Bandung Bandawasa. Dheweke ora bisa selak nampani panglamare Bandung amarga ora ana maneh kang bisa nulungi. Mula lamaran mau katrima dening Rara Jonggrang kanthi pamundhut supaya digawekake candhi kanthi sewu reca ing sajroning sawengi. Pamundhut mau kaya-kaya mokal, pancene supaya kersane Bandung nggarwa dheweke mau cabar.

Ananging, dudu Bandung Bandawasa yen ora bisa nyembadani pamundhut mau. Kanthi kadigdayan sing gedhe, Bandung ngetokake bala prewangan arupa jin setan peri prayangan saengga sadurunge jago kluruk candhi mau wis meh rampung cacah 999 reca kurang 1 maneh.

Ngerti yen candhine meh rampung, Rara Jonggrang wara-wara marang wong sadesa supaya enggal nutu pari lan ngeculake jago supaya pada kluruk. Kesaru swaraning jago, candhi mau cabar bubar tanpa dadi. Bandung ngerti yen jago kluruk mau saka pokale Rara Jonggrang kang culika. Mulane sang putri disot


(9)

8

dadi reca kanggo nggenepi reca kang kaping 1.000. Reca iku mau yaiku reca Durga Mahesa Sura Mardini sing mapan ing Candhi Siwa sisih lor.

Babad

Babad yaitu prosa yang biasanya menceritakan sejarah atau kisah seorang tokoh. Babad yang berisi sejarah yaitu Babad Tanah Jawa, Babad Giyanti, Babad Tanah Pasundan, Babad Mataram, Babad Kartasura, Babad Kediri, Babad Madura, Babad Pacina, Babad Pakepung, Babad Ngayogyakarta. Adapun yang berisi biografi misalnya: Babad Diponegoro, Babad Cakranegara, dan sebagainya.

Riwayat

Riwayat yaitu cerita yang menguraikan riwayat hidup seseorang. Contoh buku riwayat: Ki Padmasusastra: Biografi Raden Ng. Ranggawarsita. MA Candranegara: Lampahanipun RMA Purwa Lelana (1865). Suwignya: Kyai Ageng Pandanaran (1938). Contoh sastra riwayat yang menceritakan perjalanan Pangeran Prawirareja Bupati Madiun:

Kacariyos, lalampahanipun Pangeran Rangga Prawiradirja, bupati ing Madiun, bawah karaton ing Ngayogyakarta, kaleres mantu kaliyan kanjeng sultan ing Ngayogyakarta, pinuju badhe malebet grebeg ing wulan rabingulawal. Mangka manawi lumampah dhateng nagari Ngayogya tumpakanipun aneh sanget, inggih punika satunggiling amben kajeng jati, wiyaripun cekap dipun enggeni tiyang kalih dasa, sapirantosipun sadaya, amben wau kadekekaken pawon utawi


(10)

9

pakiwan, payunipun motha mawi kapageran kepang, sarta mawi senthong-senthongan, dipun rembat tiyang kawandasa. Ing wektu wulan Rabingulawal tanggal nem mesthi sowan garebeg Mulut. Sang pangeran sagarwa putra santana sami numpak amben wau, miwah sangkep sadadameling aprang. Sareng lampahipun dumugi ngepos Delanggu Surakarta, ingkang angrembat amben sami leren ngaso.

Kocap putranipun sang pangeran kakung taksih timur amonthah nedha menda gibas buntutipun meh klangsrah ing siti kathahipun wolu. Sang pangeran andangu dhateng demang pos ing Delanggu. Demang matur, ‘Menda punika gadhahanipun demang patuh ing Delanggu.’

Enggalipun demang Delanggu katimbalan, sampun sowan, pangeran Madiun ngandika, ‘E, demang, iku wedhus apa nyata duwekmu?’

Demang matur, ‘Nuwun bandara, punika menda kagunganipun kanjeng gusti pangeran adipati Mangkunagara, abdidalem amung angreksa kemawon.’

‘E, demang, sarehne anakku raden mas timur amonthah jaluk wedhus iku, kabeneran kagungane kanjeng gusti, aku anjaluk siji, besuk yen aku wis tutug Ngayogja, wedhus mau dakbalekake marang kowe, ing Ngayogja akeh kang duwe, supaya raden mas mariya gone monthah.’

Raden ayu inggih dherek ngandika, ‘Iya, demang, wenehna siji, yen kowe matur aku kang jaluk temtu ora dadi ing panggalihe, mengko aku bakal maringi ganjaran marang kowe.’

Demang matur, ‘Bendara, mugi sampun andadosaken duka dalem, awit abdidalem boten saged angaturaken, karana abdidalem sampun tampi dhawuh


(11)

10

papacakipun kanjeng gusti: Sinten-sinten para gusti amundhut menda punika, abdidalem boten kalilan angaturaken. Bilih abdidalem anerak papacak wau amesthi dipun ukum sarta kapocot saking kademangan kawula, mila, bandara, sanget ajrih kawula.’

E, demang, wis ora. Prakara wedhuse siji bae nganti dadi dukane, malah dadi danganing panggalihe. Ewadene manawa kowe nganti nemu duka, gedhene kapocot, kowe enggal tekaa ing Madiun, aku bakal paring kalungguhan sandhuwure pangkat demang, iya iku pangkat mantri, lungguh bumi limang jung.’

‘Nuwun, bandara, kawula boten saged ngaturaken.’

Sang pangeran tuwuh dukanipun, ngandika sora, ‘E, demang, kowe iku ora ngrasakake kandhane uwong, mung atimu dhewe koturuti, cekake yen kowe ora angulungake wedhus mau, mesthi endhasmu dak bedhil.’

Demang Delanggu sareng mireng pangandikanipun sang pangeran ingkang kasar, sanalika boten darbe ajrih matur purun, ‘Dhuh, dhuh, bandara, kula punika asal saking tiyang sudra papa, bangsaning tiyang narakarya, mangka sapunika ngantos dados demang patuh, punika namung saking antep temen kula ing gusti, saha boten perlu panjenengan dalem ngandika pangancam dhateng kula, awit kula sanes lare alit.’

Sang pangeran sareng mireng wangsulanipun demang Dlanggu enggal angasta sanjata buwis ingkang sampun dipun iseni, ‘Lah, saiki pecating nyawamu!’

Demang boten kumelap manahipun, pangeran enggal anyentil buwisipun, mimis angengingi dhadhanipun demang, tatu tembus aneratas tanpa sambat


(12)

11

dhawah lajeng pejah, rah sumamburat kados pancuran. Sang pangeran dhawah bidhal dhateng Ngayogja.

Kacariyos, para warisipun demang ambekta mayit dhateng Mangkunagaran, kacaosaken kanjeng gusti pangeran adipati Mangkunagara, saha matur purwa madya wasananipun demang Dlanggu manggih pejah. Kanjeng gusti sanget dukanipun, lajeng sowan dhateng karesidenan, saha mayit kabekta. Sampun apapanggihan kaliyan kanjeng tuwan residen, kanjeng gusti matur wiwitan dumugi wekasan, saha angaturaken mayitipun demang Dlanggu. Tuwan residen enggal animbali tuwan mestri ing loji ageng, boten dangu tuwan mestri sampun dhateng ing karesidenan. Tuwan residen enggal angandika dhateng tuwan mestri kadhawuhaken amariksa mayitipun demang Dlanggu, sarta adamela serat papriksan leresipun pejah kenging dadamel sanjata. Sasampunipun tuwan mestri adamel serat papriksan, nyatakaken pejahing mayit dipun aniaya tiyang sarana labet kasanjata, serat papriksan kaaturaken tuwan residen.

Tuwan residen ngandika, ‘Kanjeng gusti, kula badhe angaturi serat dhateng residen Ngayogyakarta, kula anedha dhatengipun ing Surakarta pangeran Madiun. Bilih sampun dhateng ing Sala, saderenging kapancas prakawisipun amesthi kula tahan wonten ing loji ageng, nanging kula kedah nyuwun lilah rumiyin kaliyan kanjeng tuwan ageng guprenur jendral.’

‘Kula inggih nyumanggakaken kanjeng tuwan residen kemawon, minggahipun dhateng pangadilan luhur.’

‘Kanjeng tuwan residen ngandika, ‘Sampun mesthi, awit prakawis rajapejah.’ Lajeng atatabean.


(13)

12

Kocapa kanjeng tuwan residen ing Surakarta enggal angaturi serat dhateng kanjeng tuwan residen ing Ngayogyakarta, turi serat dhateng kanjeng tuwan residen ing Ngayogyakarta, suraosipun anedha dhatengipun pangeran rangga Prawiradirja bupati ing Madiun, ingkang sapunika wonten ing kadhaton Ngayogyakarta, awit kadakwa dening kanjeng gusti pangeran adipati Mangku-nagara ing Surakarta, sampun amejahi demang Delanggu, sarana dipun sanjata, karana badhe kapriksa kanyatan-ipun.

Sareng kanjeng tuwan residen ing Ngayogja anampeni serat saking residen Surakarta, enggal anitih kareta malebet ing kadhaton sowan kanjeng sultan, kapanggihan wonten pandhapi ageng, angaturaken serat saking residen Surakarta, ingkang sampun kajawekaken. Sasampuning kawaos kanjeng Sultan angandika, ‘Inggih, bapa residen, leres pangeran Madiun wonten ing karaton kula, nanging ing sapunika saweg ginanjar sakit panas, manawi sampun sakeca enggal kula aturaken dhumateng bapa.’

Kanjeng tuwan residen pamit mundur, lajeng tatabean. Sasampuning rawuh ing dalem karesidenan, lajeng nyerat wangsulan dhateng residen ing Surakarta, bilih pangeran Madiun sapunika saweg ginanjar sakit panas, manawi sampun saras enggal kula aturaken dhateng Surakarta.

Kacariyos kanjeng Sultan enggal animbali pangeran rangga Prawiradirja, bupati ing Madiun, sampun sowan ingarsa nata. Sang aprbu angandika, ‘E, rangga, dhek mau tuwan residen sowan marang kadhaton, awit wus anampani layang saka tuwan residen Surakarta, surasane sira digugat marang pangeran adipati Mangkunagara, yen sira tinarka wus amateni demang ing Dlanggu, sarana


(14)

13

sira bedhil. Lah saiki kepriye kang dadi karepira, apa sira mringkus apa bregagah. Yen sira wani bregagah saiki ingsun paringi sangu saleksa, lan pametune bumi Madiun ingsun paringake marang sira minangka prabeya ingoning prajurit, yens sira mringkus enggal sira ingsun tampakake marang residen.’

‘Kawula nuwun, gusti, abdidalem suka bingah ambregagah.’

‘Lah mengko bengi sira lolosa saka kadhaton, yen sira wus teka ing Madiun angadegna baris, angrayutana bumi kiwa tengening Madiun.’

Pangeran rangga matur sandika, saha lajeng nyungkemi sampeyanipun sang prabu nyuwun pangestu, lajeng lengser saking ngarsa dalem. Pangeran rangga sampun papanggihan kaliyan ingkang garwa raden ayu, badhe lolos dhateng Madiun, angadegaken baris balela kaliyan kumpeni Walandi, awit piyambakipun mogok katarik residen Surakarta, saha sampun kaiden kanjeng sultan, dene raden ayu dipun tilar wonten ing Ngayogja. Ingkang garwa matur kaliyan muwun, pejah gesang badhe andherekaken, nanging sang pangeran boten pareng mindhak angriribedi, benjing manawi jinurung ing Gusti Allah badhe kapurugan. Pangeran rangga lajeng anglem-pakaken sentana tuwin wadya balanipun, ing dalu wau lolos medal redi kidul.

Enggaling cariyos sampun dumugi ing Madiun, tumunten anglempakaken wadya bala Madiun, sanalika sampun saged nglempak prajurit kalih ewu langkep sadadamelipun, lajeng angangkati kawula warganipun dados panewu mantri kaliwon utawi pangkat bupati, baris ngadeg wonten ing Pethik, ajujuluk pangeran rangga ing Pethik.


(15)

14

Kanjeng sultan sampun angwunigani bilih Pangeran Rangga lolos saking kadhaton, enggal dhawuh dhateng abdi anggandhek kinen asuka wuninga dhateng karesidenan yen pangeran rangga bupati wadana Madiun sampun lolos saking karaton, lajeng balela badhe apacak baris wonten ing Madiun, kula enggal badhe utusan prajurit anggebag ingkang amucuki dados kraman, saha nyuwun bantu prajurit Walandi, mumpung dereng ageng pabarisipun.

Sareng tuwan residen Ngayogja tampi katrangan saking kanjeng sultan ingkang makaten, enggal-enggal asuka wuninga dhumateng residen ing Surakarta. tuwan residen Surakarta atampi katrangan bilih pangeran rangga Madiun balela, sampun awit damel reresah wonten ing dhusun Pethik Madiun, tuwan residen enggal ngaturi wuninga ing kanjeng sunan kinen sedhiya prajurit anggebag kraman wau.

Kacariyos barisipun pangeran rangga sampun ageng, wadya balanipun boten kirang saking saleksa, sampun wiwit adamel reresah, ananging pangeran rangga lajeng manggih gerah sanget boten dangu seda, layonipun kakubur ing Madiun, wadya bala kraman lajeng sami bibar. Kanjeng Sultan sampun tampi lapuran saking Madiun pangeran rangga sampun ajal jalaran sakit panas sanget. Kanjeng sultan enggal asuka wuninga dhumateng tuwan residen ajalipun pangeran rangga ing Madiun, para kraman sampun sami bibar sadaya.

Wiracarita

Wiracarita yaitu cerita yang isinya keperwiraan dan kepahlawanan. Wiracarita disebut juga epos. Misalnya yaitu Serat Baratayudha, Cerita Panji,


(16)

15

Serat Menak, dan Serat Rengganis. Di bawah ini dikutipkan Serat Rama karya Pujangga Yasadipura I yang menceritakan kepahlawanan Prabu Ramawijaya beserta bala tentaranya:

Dhandanggula

Tabuh sapta nujya Buda Manis Wulan Sura kaping tigang dasa Ing mangsa kapat wukune Kurantil Je kang taun Sirneng tata pandhita siwi Sangkala duk manurat Agnya maha nurun Mangun langening carita

Caritane Bathara Rama ing kawi Jinarwakken ing krama

Mardya kawuryan ing krama niti Manawung mangka sekar macapat Ingkang rinengga kandhane Nenggih reksasa Prabu Ing Ngalengka prajanira di Sumbageng tri bawana Prakoswa dibya nung Winongwong karataonira

Angluwihi kumalungkung aneng bumi Tan ana kang tumimbang

Kasudiranira anggeteri

Risang Buminata ing Ngalengka Kusut para ratu kabeh

Ditya reksasa diyu

Myang ratuning manuswa sami Tan ana kang kuwawa

Lumawan ing kewuh Nadyan Dewa Suralaya

Batharendra rebut reh kasoran dening Lan Sri Maha Yaksendra

Bisikanira Sri Narapati Buminata Ngalengka Rawana Dasamuka peparabe

Nenggih kang darbe turun Saking bapa manuswa yekti


(17)

16 Ambek Nata pandhita

Eyang lawan buyut Sira Bagawan Wisrawa

Sang Wisrawa putrane padma anenggih Padma pustreng Pulastha

Pangkur

Gumandhul ana ing epang Tathakakya namane kang raseksi Ngrerusak karyanipun

Ngarubiru pratapan

Memateni si Tathakakya puniku Balane Prabu Dasaswa

Prayitna satriya kalih

Sang Rama sigra amenthang Arasira mangekapadaneki Umepas sanjata mamprung Pedhot tenggake kena

Tathakakya tiba gembunge gumebrug Kadya parbata anakan

Tibane anggegirisi Suka kang cantrik sadaya

Dene sirna ditya kang mbebayani Kabeh saisining gunung

Samya suka sadaya

Pitik iwen sato ilang geringipun Kidang sangsam andaka

Manuk memreng miwah kancil Nadyan gajah samya susah Tan ana kang wani angalap bukti Bala sato samya kuru

Tan antuk amemangsa

Amung warak kang mendhem kang misih lemu Sanadyan kayu wowohan

Tan kober awoh barindhil Mangkya sato samya luwar Labuh brata enggar angalap bukti Myang wowohan samya mendhuh Sekar-sekar umekar


(18)

17 Sawusnya nir kang bebaya

Mangkana satriya kalih Dinusan munggeng palangka Tinuturan marang Sang Maha Resi ‘Heh, rungunen putraningsun iya pituturingwang

sira uga panjanmane Sang Hyang Wisnu sinungan karya rumeksa

rahayuning bumi-bumi tan ana sangsayanira

iya ngendi ana wong bakal luwih tan ana sandhunganipun

sawatara kewala

marma sira sinung widagda dibya nung dening mbangun turutira

mring bapa rumekseng resi

Asmarandana

Tan wuwusan ing tulis

Rerenggan sang pinangantyan Pan sampun pinanggihaken Putri Mantilidiraja

Lawan putra Ngayodya Sinembahken putri jalu Raring rama prabu kalihnya Saestu Sang Rama Ratih Carya kang samya angayap Ndulu ri sang pinanganten Miwah apsari sawarga Anggung selar-seluran Kayungyun samya tumurun Ring pureng Mantilidiraja Sagunging kang para bibi Myang para cethi sadaya Miyat ing sang pinanganten Supe anadhah anendra Kacaryan dennya mulat Ing sangkepe kalihipun Tan pantes tinon ing janma


(19)

18 Sayekti para apsari

Siniweng Endrabawana Datan winuwus resmine Cinendhak ingkang carita Mburu lampahing kandha Risang Dasarata Prabu Pamit angendhuh kang putra Busekan nagri Mantili Punggawa ingkang pinatah Umiring sang pinanganten Mangkana Sri Dasarata Saking Mantili budha Swaraning bala gumuruh Prapta sajawining kitha Kusut nagari Mantili Kadya koncatan sesotya Coplok saking embanane Sinta minangka sesotya Nagri Mantilidiraja Sayekti embananipun Marma lum Mantilidiraja

Mijil

Lamun sira madeg narapati Yayi wekasingong

Apan ana ing Prabu ugere Sastra cetha ulatana nuli Omahna den pasti Wulanging sastreku

Rehning janma tama nguni-uni Kang mengku kaprabon

Ingkang nistha kawruhana kabeh Miwah madya utama ywa lali Liring siji-siji

Den kena ywa tungkul

Tindaking nistha mangka wewedi Temah tan anggepok

Ingkang madya resepana bae Mring utama sira den kepengin Den kadi sira mrih


(20)

19 Sengseming dyah ayu

Nistha iku tindak walang ati Saliring pakewoh

Iya bela-bela ing ciptane

Mring santana myang punggawa mantri Anggung sangga runggi

Andhedher pakewuh

Tan wun ing reh ing don neniwasi Ambek kang mangkono

Ing madyane ilangena kabeh Den patitis awrat sangga runggi Utamane yayi

Kabeh den kacakup Ala ayu pan darbenireki Ing rat tan pakewoh

Ingkang ala ya prihen becike Pinet ing suka dinanan ugi Waregana ping-ping Jejelana wuruk

Ing kadarman wruhna pakenaning Peten sukaning wong

Barang karya ana bebukane Wineweka ing reh ingkang isi Ala lawan becik

Tuwin gampang ewuh

Sandiwara

Sandiwara atau disebut drama yaitu cerita yang berupa dialog antara tokoh satu dan lainnya. Yang termasuk drama yaitu: kethoprak, wayang, dhagelan, opera, dan yang terkenal adalah monolog. Contoh sandiwara yang populer adalah ludruk.

Ludruk merupakan seni sandiwara khas yang tumbuh di Jawa Timur. Sesuai dengan karakter masyarakat Jawa Timur, ludruk sungguh mewakili dan mudah sekali dikenali. Syarat pementasan ludruk telah disepakati bersama, yaitu


(21)

20

menggunakan dialek Surabayan. Meskipun menggunakan bahasa Jawa krama, tetap terdapat warna kental bahasa Jawa Timuran. Bahasa ini dikenal agak kasar, namun merakyat. Ludruk yang terkenal misalnya Ludruk Kopasgad Trisuladarma, Enggal Tresna, Sari Murni, Mahamurni dan Pancamarga.

Selain ludruk contoh sandiwara adalah ketoprak. Cerita ketoprak banyak diambil dari Babad Demak, Babad Pajang, Babad Majapahit, Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Kartasura, Babad Mangkubumi dan Babad Dipanagara. Unsur ketauladanan dan kepahlawanan para bangsawan Jawa mendominasi lakon ketoprak. Bagi kebanyakan orang Jawa, ketoprak merupakan sumber inspirasi nasionalisme sekaligus sarana nostalgia pada kehidupan masa lampau. Contoh paguyuban kethoprak yang terkenal misalnya Siswo Budoyo, PS Bayu dan kethoprak Mataram.

Seni sandiwara lainnya yaitu wayang wong. Kesenian ini mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata. Paguyuban wayang wong yang masih berlangsung terus hingga sekarang contohnya adalah wayang wong Sriwedari di Surakarta.


(22)

21 BAB III

SASTRA JAWA PUISI

Kekawin

Kekawin dari kata dasar kawi yang artinya syair. Di jaman kuno orang yang pintar membuat kesusastraan kekawin dinamai kavya. Ciri-ciri kekawin itu: Satu bait terdiri dari empat baris. Tiap baris jumlah suku katanya sama.

Pembacaan kekawin itu terikat oleh suara berat yang disebut “guru” dan suara ringan yang disebut “lagu”. Nama-nama kekawin: Sardula Wikridita, Garirangsi, Sikarini, Jagadita, Praharsini, Kusumawicitra, Lalitawisama, Aswalalita, Wasantatilaka dan Ragakusuma.

Kidung

Pada jaman tengahan, kira-kira jaman kepujanggaan Majapahit akhir ada genre puisi yang disebut kidung. Banyak kitab yang digubah dengan metrum kidung sebagai contoh: Kidung Harsawijaya, Kidung Subrata, Kidung Sundayana, Kidung Sorandaka, Kidung Ranggalawe, Wangbang Wideya, Kidung Panji.

Tembang

Tembang merupakan puisi yang dinyanyikan. Jenis tembang ada tiga macam, yaitu: Macapat, Tengahan dan tembang Gedhe.


(23)

22 Parikan

Parikan juga termasuk puisi. Kata parikan ada hubungannya dengan kata pari, atau pantun. Puisi Jawa yang berupa parikan ada hubungannya juga dengan pantun dalam kesusastraan Indonesia. Akan tetapi, parikan Jawa lebih bebas dibanding pantun.

Wangsalan

Wangsalan juga termasuk puisi dan merupakan puisi yang sangat indah, karena susunan kata-katanya kait berkait secara semu. Jika dirasakan, kadang-kadang mirip dengan cangkriman. Wangsalan ada tiga jenis yaitu: Wangsalan pacelathon, wangsalan edi peni dan wangsalan yang berupa tembang.

a. Wangsalan Pacelathon  Atis hawa, ampun lali

pecel Nganjuk.

Atis hawa: sejuk – Nganjuk.

 Balung klapa, ethok-ethok ora ngerti.

Balung klapa: bathok – ethok-ethok.

 Balung jagung, punika tanggel jawab kawula.

 Balung jagung: janggel – tanggel jawab.

b. Wangsalan Edi Peni  Ancur kaca, kaca kocak

munggwing netra. Wong wruh rasa, tan mamak ing tata krama.

Ancur kaca: rasa; kaca kocak mung-gwing netra: tesmak.

 Ari Sena, Sena gelung minangkara. Ngesthi-harja, luhur darajating praja.

Ari Sena: Harjuna; Sena: Werkudara


(24)

23  Bibis tasik, tasik wanda

winor tirto. Maju mundur tangeh kasil kang sinedya.

Bibis tasik: undur-undur; Tasik suku kata winor tirta: parem.

c. Wangsalan Tembang Pangkur

Singgang gung kang piniyara Mardi siswa kekawining estri. Wineh winulangaken wadu. Peputhut mong Pregiwa Kang sumewa pasewakaning kadangun.

Pangrantamireng pradangga. Sesendhon genti-genti.

Singgang gung piniyara: winih. Mardi siswa: mudang.

Kekawining estri: wadu.

Peputhut mong Pregiwa: Janaloka. Pangrantamireng pradangga: sendhon.


(25)

24 BAB IV

MUTIARA LUHUR DALAM SASTRA LISAN

Paribasan

Paribasan adalah untaian kalimat yang bentuknya tertentu dan bermakna kias. Akan tetapi, ada yang maknanya tidak tentu, malah ada yang maknanya harus diurai untuk menemukan isinya. Yang termasuk paribasan adalah:

 Bebasan  Panyandra

 Seloka  Pepindhan

 Cangkriman  Isbat

 Pasemon  Sanepa

 Wangsalan

Bebasan

Bebasan adalah peribahasa yang bermakna kias. Contoh:  Adigang, adigung

adi-guna.

 Orang yang mengagungkan kekuatan, keluhuran dan kepintaran

 Adol lenga kari busik  Orang membagi tapi tidak kebagian.

Saloka

Saloka adalah peribahasa yang bermakna kias, dengan perbandingan pada bentuk metafor makhluk hidup atau keadaan.


(26)

25

 Ana gula ana semut.  Tempat yang banyak rejekinya pasti banyak yang mendatangi.

Pepindhan

Pepindhan yaitu perumpamaan yang bermakna denotatif. Contoh: Abange kaya godhong katirah.

Abang kumpul padha abang kaya alas kobong. Banyake pepati kaya babadan cacing.

Banyake pepeti kaya sulung mlebu geni. Ali-aline nggunung sapitul.

Antenge kaya temanten ditemokake. Ayune kaya Dewi Ratih.

Sanepa

Sanepa adalah paribasan yang berisi perumpamaan tapi bermakna terbalik. Contoh:

1. Ambune arum jamban. = bacin sekali. 2. Awake kuru semangka. = gendut sekali. 3. Balunge atos debog. = lunak sekali. 4. Barange aji godhong garing. = tak berharga. 5. Bobote abot kapuk. = ringan sekali.


(27)

26 Panyandra

Salah satu cara menghidupkan suasana dalam kesusastraan adalah dengan melukiskan keindahan, kebagusan, dan kebaikan melalui ibarat atau disebut panyandra. Fungsi panyandra dengan demikian adalah yaitu untuk menggambarkan keadaan yang baik supaya kelihatan mengesankan. Contoh:

1. Alise nanggal sepisan.

2. Astane nggendhewa gadhing. 3. Athi-athine ngudhup turi. 4. Bangkekane nawon kemit. 5. Bathuke nyela cendhani. 6. Bokonge manjang ilang.


(28)

27 BAB V

SASTRA DALAM BENTUK BAHASA PERLAMBANG

Cangkriman

Cangkriman yaitu kalimat susunan kata untuk tebak-tebakan. Biasanya cangkriman terjadi dalam bahasa lesan. Bentuk cangkriman ada yang tetap dan ada yang berubah-ubah. Cangkriman ada yang berupa wancahan, pepindhan dan ada yang berupa tembang.

a. Cangkriman Wancah Bot ginawa theng, teng ginawa bot

= Klobot ginawa entheng, genteng ginawa abot. Burnas kopen = Bubur panas kokopen. Leng pak dhewot = Celeng gupak dhedhe

nguwot.

Linak litu lingga lilur = lali anak putu lali tangga lali sedulur.

b. Cangkriman Pepindhan

 Anake gelungan, ibune ngrembyang. (pakis)  Disuguh opak angin. (ora disuguh)

 Emboke dielus-elus, anake diidak-idak. (andha)  Gajah nguntal sangkrah. (pawon)


(29)

28

 Ing ndhuwur wayangan, ing ngisor jedhoran (undhuh krambil)

c. Cangkriman untuk sindiran

 Aku sowan adoh-adoh kok mung disuguh anggur. (dianggurake).  Akeh wong adol pitik disrimpungi, wong adol mbako diambungi.  Ana banyu pahit yen tetes legi.

 Sapa kang gelem ngukur meja, pancen wong hebat.

d. Cangkriman berwujud tembang atau cerita. Contoh:

 Ana titah duwe sikil papat ananging ora bisa mlaku. Apa iku? (Meja)  Ana titah duwe gulu tanpa sirah, duwe awak tanpa tangan. Anehe kok

duwe cangkem. Apa iku? (Botol).

 Ana titah, yen dikethok mundhak dhuwur. Apa? (Kathok)

Pucung

Bapak pucung, dudu punthuk dudu gunung Manggon ing salira

Dedegira datan inggil

Yen wis mangsa Pak Pucung kuthah ludira. (kukul)

Pasemon

Pasemon disebut juga perlambang. Gunanya untuk mengutarakan maksud dengan sopan, atau untuk menyindir dengan cara halus. Jika kurang hati-hati, bisa-bisa orang yang disindir tidak paham maksudnya. Contoh:


(30)

29  Catur rana semune segara asat.

Melambangkan negara empat, yaitu Kedhiri, Jenggala, Singasari dan Ngurawan yang selalu bertikai, akhirnya sama-sama ruskanya.

 Ganda kenthir semune liman pepeka.

Melambangkan raja Sri Pamekas di Pajajaran yang melabuh putranya yang bernama Siung Wanara akhirnya tewas karena kurang berhati-hati.

Masih banyak pasemon lainnya yang biasa untuk pembicaraan sehari-hari. Misalnya dalam acara lamaran calon pengantin. Pada acara lamaran banyak kalimat-kalimat dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan yang berupa pasemon untuk menghaluskan maksud.

Sandiasma

Di tanah Jawa, banyak sekali pujangga yang terkenal. Semuanya bisa untuk tauladan bagi bangsa di seluruh dunia, terutama bangsa Indonesia, tidak hanya orang Jawa saja. Para pujangga tadi ketika hidupnya banyak menulis karya-karya sastra yang besar sekali manfaatnya. Akan tetapi banyak yang ketika menulis, dalam rangka tidak mau menonjolkan diri, tidak bersedia menyebut namanya dengan jelas. Biasanya nama pujangga yang pengarang disamarkan dengan sandiasma. Contoh tembang yang memuat sandiasma:

Rarasing kang sekar sarkara mrih Den aksama de ning kang sudyarsa Ngawikani wengkuning reh


(31)

30 Ilanga kang sesangker sarik

Rongas westhining angga Gagating tyas antuk Wartaning kang parotama

Sinung tengran sembah trus sukaning budi Tataning kang carita

(Ranggawarsita, Serat Witaradya)

Sengkalan

Kalimat bermakna angka yang digunakan untuk menyebut angka tahun disebut sengkalan. Menurut bentuknya sengkalan ada dua, yaitu 1) sengkalan lamba, yaitu sengkalan bisa berbentuk untaian kata atau kalimat, 2) sengkalan memet, yaitu sengkalan yang berbentuk bangunan atau gambar pada dinding.

Sedangkan menurut tahun yang digunakan, ada tahun yang menurut hitungan matahari disebut surya-sengkala, dan tahun menurut hitungan rembulan disebut candrasengkala. Contoh sengkalan di dalam serat-serat kuno:

No Kitab Sengkalan Artinya

1. Serat Bharatayuda Sanga kudha sudha candrama 1079 2. Suluk Wujil – Sunan Bonang Panerus tingal tataning nabi 1529 3. Serat Niti Praja – Sultan

Agung

Geni rasa eka driya 1563

4. Serat Wiwaha-jarwa – Yasadi-pura I


(32)

31 5. Serat Centhini – Paku Buwana

V

Paksa suci sabda ji 1742

Sengkalan lain yang memuat peristiwa sejarah:

No Kejadian Sengkalan Artinya

1. Adege Kraton Majapahit Rupa luhur mantrining ratu 1303 2. Ing pasareyane Putri Cempa,

Trowudan

Kaya wulan putri iku 1313

3. Rusake negara agung Majapahit

Sirna ilang kertaning bumi 1400

4. Adege Kraton Demak Rupa luhur karyaning wong 1401 5. Adege Kraton Pajang Guna luhur tataning ratu 1503

Sengkalan Memet

No Tempat Bunyi sengkalan Artinya

1. Ing Tratag rambat Kraton Ngayogyakarta

Pancagana salira tunggal 1865

2. Ing Kraton Ngayogyakarta sisih kidul

Dwi naga rasa tunggal 1682

3. Ing Kraton Surakarta Naga muluk tinitihan janma 1708 4. Ing Panggung Kraton Surakarta Panggung sanggabuwana 1708


(33)

32 BAB VI

MENGASAH KEINDAHAN BAHASA KESUSASTRAAN

Tembung Camboran

Tembung camboran atau kata majemuk adalah dua kata atau lebih yang dirangkap menjadi satu dan membentuk arti baru. Tembung camboran, dibagi menjadi dua:

a) Camboran Wutuh

uler kambang bimaputra semar mendem rimbatmaja

nagasari janurkuning

jaran goyang dhandhanggula bibit kawit bapa biyung

b) Camboran Tugel

bangjo : abang ijo

barji barbeh : bubar siji bubar kabeh byarpet : mak byar mak pet dhegus : gedhe tur bagus dhekwur : siji cendhek siji dhuwur


(34)

33 Tembung Dasa Nama

Tembung dasa nama yaitu bermacam kata-kata yang artinya sama. Contoh: abang : abrit, mbranang, dadu, jingga, merah, rekta putra, sunu, siwi,

tanaya, weka, yoga

angin : bayu, braja, pawana, sindhung riwut, samirana, maruta arep : arep, arsa, ayun

ati : kalbu, galuh, driya, panggalih, prana, tyas, wardaya, nala awak : rada, badan, angga

Tembung Entar

Tembung entar yaitu dua kata atau lebih yang digabung menjadi satu dan bermakna kiasan atau tidak sebenarnya. Contoh:

abang kupinge : masah abang-abang lambe : lamis abot sanggane : berat

adol ayu : pamer kecantikan adol bagus : pamer ketampanan

Tembung Saroja

Tembung Saroja adalah dua kata yang artinya hampir sama dan digabung menjadi satu. Contoh:

adas pulawaras adhem ayem


(35)

34 BAB VII

PENGARUH SASTRA MODERN

Novel

Novel juga disebut roman. Banyak yang membedakan antara roman dengan novel, tetapi sesungguhnya sama saja. Novel-novel modern lebih banyak yang kemudian difilmtelevisikan menjadi telenovela. Contoh-contoh kutipan novel berbahasa Jawa dapat dilihat di bawah ini:

Ngulandara

“……….., judheg aku!” Punika angluhipun satunggaling priyantun ngadeg, cancut, wonten ngiringanipun mobil oto ingkang sampun kabikak tutupipun. Wironipun kablesekaken menginggil, ngantos kathokipun ketingal sekedhik, jasipun sampun kabikak, kantun ngangge rangkepan. Pacaking badan methentheng ragi mbungkuk. Nering pandulu tumuju dhateng mesining oto. Sajak migatosaken sanget dhateng kawontenaning motor punika.

Nitik tetesing kringetipun saking bathuk tuwin saking gulu, dalah telesing rangkepan ingkang wingking, cetha yen priyantun wau sampun kepara dangu tumandang damel awrat. Saboten-botenipun inggih kaesuk ngong-sronging manah.

Priyantun wau umuripun udakawis seketan taun, nanging kebekta saking saening badan, lan saged ugi saking anggenipun boten alitan manah, ketingalipun saweg umur kawan dasa taun.


(36)

35

Ing salebetipun oto wau ingkang linggih ing bak wingking sisih kiwa priyantun estri, umur tigang dasa gangsal taun, ingkang wonten sisih tengen ugi priyantun estri wetawis saweg pitulasan taun.

Memperipun priyantun estri ingkang wonten sisih kiwa punika bojonipun, ingkang wonten tengen anakipun. Ing salebetipun priyantun wau uthek madosi ingkang njalari mogok otonipun, ingkang estri ketingal suntrut. Tanga-nipun tengen sedhakep, badan kasendhekaken ing cagaking tendha, sirahipun kabantalaken tangan kiwa. Kados boten mokal yen ta kawastanana saweg susah manahipun.

Nanging anakipun boten makaten. Linggihipun sendhen, ketingal sajak sasekecanipun, sumelehing pasemon kenging dipun wastani mesem ajegan. Tangan-ipun tansah ngolak-alik kacunipun sutra ingkang sinulam peni.

Ngantos sawetawis dangu priyantun tetiga wau boten sami cecriyosan, dumadakan ingkang estri sumela sanjang dhateng ingkang jaler semu netah, “Ta, pak! Biyen mula aku rak wis kandha yen wong ngingu oto kuwi akeh kesusahane.”

“Hem! Ibune mono wasis yen mung nutuh.”

Anakipun nyelani, “Yah, ibu ki! Punapa inggih oto menika namung murugaken kesusahan thok? Wong lagi sepisan bae dingendikakake akeh!”

“Lah ya kuwi Tien nek ibumu.”

“Nyatane nek kaya ngene iki kepriye hara? Mangka neng tengah bulak, wis jam setengah nem, kathik atise kaya ngene. Gunung Sumbing wis kemul


(37)

36

ampak-ampak, dalah ingkang Kledhung ya wis meh putih, dhasar dalane sumengka, kok jebul otone bobrok!”

“Yah, ibune ki ta! Rak ya lumrah ta yen oto kuwi sok mogok, ora kok banjur bobrok ngono. Iki rak mung saka ana adon-adon sing durung mathuk utawa mlesed saka mesthine. Ana oto isih kincling-kincling ngene jare bobrok.”

“Ingkang risak menika napanipun ta pak? Mangke gek dipun paeka sopir ingkang mentas medal menika.”

“Mempere ya ngono Tien, nanging bapakmu ora priksa.”

“Hara ta ibune kuwi rak tanduk maneh olehe nutuh ….. Nek pangiraku ora. Sabab metune kuwi jalaran dheweke dadi lurah desa, tur maneh neng jajahanku, dadi mesthine ora gelem gawe wisuna menyang aku.”

“Ngona-ngonoa kae nyatane! Nek kaya ngene iki banjur priye hara?” “Sawise, kepriye, lah ya kudu nrima. Mengko yen ana oto saka Wanasaba utawa saka Parakan sing wis ngglondhang, ya padha nunggang kuwi bae.”

“Inggih pak, terkadhang mangke wonten saestu, nanging sewanipun inggih lajeng awis.

Ibunipun nyambeti, “Prakara laranging sewan kuwi dudu barang-barang, balik anane bae durung karuwan! Mangka dina iki ora kebener pasaran Kreteg utawa Parakan, kathik wis wayah ngene, bisane ana saka ngendi?” Wedaling wicanten makaten wau kanthi sugal, mratandhani saya sanget anyeling manahipun lan kados dene sampun telas pangajeng-ajengipun ... (Margana Djajaatmadja, 1932).


(38)

37 Geguritan

Perkembangan sastra Jawa juga tak luput dari pengaruh dalam bentuk puisi. Puisi modern dalam sastra Jawa disebut geguritan gagrak anyar. Geguritan gagrak anyar keluar dari aturan-aturan seperti dalam tembang, parikan, wangsalan, dan lain-lainnya. Berkembangnya geguritan gagrak anyar bersamaan dengan perkembangan kesusastraan Indonesia.

Keindahan puisi modern atau geguritan gagrak anyar tidak pada pergulatan bahasa, tetapi lebih pada isinya untuk mengekspresikan perasaan jiwa. Jelas sekali bahwa geguritan merupakan pengaruh puisi modern. Contoh geguritan gagrak anyar:

Mbarang

Bocah cilik manis, kakang adi Runtang-runtung nyang endi-endi Nyangking angklung saka bumbung Mlebu lurung metu lurung

Bocah cilik manis, kedhana-kedhini Runtang-runtung mbarang separan-paran Ngupa boga nyambung panguripan sadulitan Nambal nista kang lunga teka wira-wiri, nrenyuhi Nembangi lagu-lagu, memelasi

Mbukak babad ngenesi ati

Koncatan bapa biyung, dheweke tininggal keri Bocah cilik manis, kedhana-kedhini

Runtang-runtung nyang endi-endi

Dina-dina uripe kaliput ayang-ayangane mega.

Pengarang geguritan gagrak anyar sampai sekarang berkembang dengan subur. Contohnya: Group Diskusi Sastra Blora: Napas-napas Tlatah Cengkar, Tepungan Karo Omah Lawas, Esmiet, Poer Adhie Prawoto dan Anjrah Lelana


(39)

38

Brata dan (Suripan Sadi Hutama, 1984: 17). Pertumbuhan sastra Jawa baik prosa maupun puisi berkembang melalui koran, majalah, buletin dan buku-buku modern. Bahkan sekarang dengan media elektronik para pecinta geguritan menuangkan buah pikirnya dengan lebih bebas.

Cerita Cekak

Cerita cekak atau disingkat dengan Cerkak biasanya dipublikasikan melalui majalah berbahasa Jawa. Di bawah ini contoh-contoh cerkak:

Pelaut Lan Gegantilaning Ati

Cerkak ini karya Oskandar R yang diterbitkan oleh majalah Djayabaya Minggu Wage, 6 Februari 1966 no. 20.

Denpasar, Malem Minggu.

Sawijining toko kang gedhe dhewe ing kutha iki.

Ing pojokan, cedhak lawang, ana priya ngadeg. Tangane sing kwia njagang ing meja kaca, dene sing tengen dolnan dhompet konci mobil. Mripate maetr mandeng sawenehing wanita manganggo blus kuning enom. Lan wanita mau, najan katone katrem nguwasi piranti ngadisara ing njeron lemari kaca, ngerti yen disawang. Raine ngatonake mangkel ngatine wong wadon kang wani-wani wedi.

Wanita mau mingser nengen, menyang panggonan kain-kain lan ramening wong kang bisa ngaling-ngalingi dheweke saka pamandenge priya mau. Nanging


(40)

39

nalika dheweke takon-takon regane kain marang pelayan nuli mengo ngiwa, dheweke sumurup blegere priya mau kang wis ngadeg ing pojokaning meja.

Wanita mau nyoba mesem. Manis eseme. Untune kang pindha mutiara rintik-rintik apik. Lan rikala priya mau genti mesem, eseme sakala mbleret.

Saiki dijajal maneh mandeng mripate priya mau. Mripate sing dipandeng kaya nembus-nembusa. Lan pranyata wanita mau kasoran.

Saiki si wanita ngadeg ing ngarepe kasir, arep mbayar barang-barang sing dituku. Priya mau ora adoh saka kono. Nuli ing papan njupuk barang-barang. Priya mau iya ora adoh saka kono.

Rikala lumaku ing trotoar, ngetan wanita mau noleh lan weruh si priya nrombol ramening wong liwat klawan sajak kesusu.

Ora let suwe priya mau wis mlaku ing sandhinge. Sok-sok iya kambi nadah pangesuke wong-wong liwat sing arep nyenggol wanita mau. Nuli, “Sugeng dalu!” tembunge.

Wanita mau mung tumoleh.

Sumambunge, “Mbok aja sombong-sombong … kok ora gelem mangsuli!”

Ngawuningani menawa kapeksan alus, wanita mau mangsuli klawan mangke, “Sugeng dalu!”

“Nah, ngono rak ya apik.” Kandhane priya mau.

Saiki kekarone nyabrang dalan. Tetumpakan pating sliri. Tanpa sengaja kekarone gandheng tangan. Bareng kelingan, wanita mau enggal-enggal narik tangane dhewe. Mlaku ing trotoar maneh.


(41)

40

Ujug-ujug, “Panjenengan, pelaut?” pitakone si wanita. “Pirsa saka ngendi?” si pria gumun.

“Potongan panjenengan. Cukuran panjenengan. Dompet panjenengan.” “Oh?” si pria ngambali suwara gumune kambi nglirik dompet kang ana tulisane AL. Dudu DK. Nuli tembunge, “Umurku telung puluh loro ora ana samondra sing durung dak ambah. Aku duwe sesanti: ing ngendia wae aku nemoni sawijining wanita sing bisa ngrikatake kegeging jantungku, mesthi dakgoleki, najan tekan poncote jagad, nek durung tepung, ndakparani kambi kandha, “Saudari, aku kepengin tepungan karo sliramu. Tenan, aku kepengin tepungan.”

Wanita mau gumuyu tumengkling, nuli kandheg sadhela, bebarengan nyawang wong-wong sing padha nggrombol nonton dokar ketabrak montor.

“Apa kabeh pelaut nakale sliramu kaya panjenengan?” pitakone wanita, bareng wis jumangkah maneh neruske laku.

“Ya kabeh pelaut nakale kaya aku. Nanging ora kabeh sesantine padha karo aku. Uga ora kabeh pelaut sing umure telung puluh loro durung kawin.”

“Pamer!” wanita mau ngelokake. “Kesempatan baik untuk memamerkan diri bahwa anda belum punya istri. Dakkira ora kabeh pelaut wani nyedhaki sawijining wanita, nuli kandha ‘Saudari, aku kepengin tepung karo sliramu’!”

“Ya, ora kabeh pelaut wani mara lan nyedhaki sawijining wanita, nuli kandha, ‘Saudari, aku kepengin tepung karo sliramu’.”

“Aku kagum!” ujare wanita mau. “Sliramu kagum?”


(42)

41

“Priya ngendi wae mesti seneng banget mrang wanita sing gelem kagum. Kagum iya kagum, nanging aku duwe sesanti: ing ngendia wae aku nemoni sawijining wanita sing bisa ngrikatake kegeging jantungku, mesthi dakgoleki, najan tekan poncote jagad, nek durung tepung, ndakparani kambi kandha, “Saudari, aku kepengin tepungan karo sliramu. Tenan, aku kepengin tepung karo sliramu.! Kepriye panemumu?”

Iki iya mujudake peksan alus. Wanita mau ngguyu dhisik cekikikan saking geline, nuli mangsuli, “Jenengku Kartika!”

“Kartika? Apik banget jenengmu! Arep dak undang Ika!” “Aja! Undangen aku Tik, kaya pangundange kanca-kancaku!”

“Wis ta, aku lilanana ngundang sliramu Ika. Saya ingin mengistimewakan engkau.”

Kekarone lumaku terus. Nyabrang ing prapatan Bali Hotel. Banjur nliwati dalan sing sepi. Tekan ing prapatan sacedhake museum, wanita mau kandha, “Awake dhewe kudu pisah ing kene. Aku ora gelem panjenengan terake tekan ngomah!”

“Nanging kapan bisa ketemu maneh? Sesuk sore ing ngarep toko kae maneh, priye?”

Wanita mau manthuk.

Mangkono, sabanjure kekarone tansah bebarengan. Boncengan scooter biru langit rina wengi. Sore-sore ngadeg ing pesisir Sanur nyawang ombak kang gumulung, utawa ndlusup-ndlusup ing alas gaweyan ing sacedhake villa-villa Sanur. Numpak sekoci wong loro ing tlaga Berantan, oyak-oyakan ing dalan


(43)

42

menyang Istana Tampak Siring, ndeleng wong gawe reca ing Ubud. Saiki kekarone katon ing Batur nyawang gunung gundul, sesuke ing Ujung, ing tilas lahare Gunung Agung. Terkadang wis sore repet-repet kae isih lumaku gegandhengan tangan ing sawah-sawah antarane Belangsinga lan Sukawati.

Nanging saben sapatemon mesti dipungkasi dening pepisahan.

Priya mau, kambi ngetokake sirahe saka cendela bis, kandha, “Kariya basukyarja, Ika!”

Wanita mau arawat eluh, umik-umik, Panjenengan bakal dak pethuk sakondure saka operasi. Aku mesti bakal seneng banget tetepungan karo calon garwa panjenengan. Panjenengan kudu emut. Aja ginubel dening kenangan-kenangan kang endah thok. Panjenengan iku perwira laut. Amrih cocoge, garwa panjenengan kudu ayu. Lan, lan …”

Kambi nutupi tutuke wanita mau, si priya nuli kandha, “Rungokna! Aku iki priya sing wis mateng. Yen deleng riwayatmu, sliramu iki pancen wanita sing nakal dhewe sajagad. Nanging aku ora maelu apa sing klakon sadurunge kita ketemu. Perihana kahananmu kaya esuk iki dina ingkang kawitan. Sing dakanggep, dina iki lan sabanjure! Sliramu ngerti?”

“Aja! Aja ginubel dening kenangan-kenangan! Aku lalekna wae! Emuta! Isih akeh kenya-kenya sing gelem dadi sisihan panjenengan, dudu aku!”

Nalika bis Damri wiwit nggereng, wanita mau mbengok setengah nangis, “Emuta, aku wis randha!” Suara mau isih dumeling. Lan pancen saben dina, sasuwene priya mau ngentekake cutine ing Bali iki, tetembungan mau tansah dibolan-baleni dening si wanita.


(44)

43

Saiki wanita sing memelas mau lumaku sepoyongan ing dalan kang sepi. Ing sangisore lampu listrik dheweke mandheg lan sumendhe ing cagak sing anyes. Saka dhadhane diwetokake layang sasuwek. Layang saka priya mau kang dikongkon maca manawa priya mau wis budhal.

Dheweke maca:

Saiki awake dhewe wis padha adohe. Yen sliramu arep ninggal aku, tinggalen! Nanging sadurunge, tancepna sawijining keris ing ingone villa Sanur. Keris sing bakal dak anggo mateni sakabehe kenangan manis sasuwene kita sesrawungan. Kenangan mau saiki isih angrem ing sirahku.

Si wanita ngremet layang mau banjur ditekem ing dhadhane. Dheweke tiba ndhodhok, jalaran sikile ora kuwat nyangga anggane. Lan manuk-manuk esuk padha nembang: kabeh wis malih ireng, kabeh wis malih ireng!


(45)

44

DAFTAR PUSTAKA

Any Asmara, 1952. Inderawati Prawan Bali. Surabaya: Panyebar Semangat. _________, 1967. Ambyar Sadurunge Mekar. Sala: F.a. Penerbit Keluarga

Soebarno.

Bu Hodo, 1966. Bemo Dengkul. Sala: FA Kartika.

Eny Soemargo, 1967. Kembang Alamanda. Yogyakarta: Mekar Sari. Margana Djajaatmadja, 1957. Ngulandara. Jakarta: Balai Pustaka.

Moch. Soedjadi Madinah, 1953. Sambekalaning Bebrayan. Yogyakarta: Sinta-Riskan.

Oskandar R, 1966. Pelaut lan Geganthilaning Ati. Surabaya: Djayabaya.

Paku Buwana IV, 1982. Serat Wulangreh. Garapan Daru Suprapto. Surabaya: Citra Jaya Murti:.

Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan. Purwadhi ATM, 1963. Sapine Katlisut. Surabaya: Djayabaya.

Ranggawarsita, 1980. Serat Kalatidha. Alihaksara Kamajaya, Yogyakarta: Yayasan Centhini.

Soedharmo KD, 1966. Ditodhong Pistul Kopong. Sala: P. Kondang.

Suripan Sadi Hutama, 1984. Telaah Sastra Jawa Modern. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sutrisminah, 1943. Siasat Kang … Mleset. Surabaya: Panyebar Semangat. Suwarna Pragolapati, 1981. Titising Kadurakan.

Widi Widayat, 1966. Prawan Keplayu. Sala: U.P. Kantcil Mas. Yasadipura I, 1920. Serat Babad Giyanti. Jakarta: Balai Pustaka.

Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.


(46)

45 LAMPIRAN SILABUS

SILABUS

MATA KULIAH : TEORI SASTRA JAWA

SIL/FBS-PBD/223 Revisi : 00 02 Februari

2013 Hal

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Teori Sastra Jawa Kode : PBD 223 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Ganjil (l) Waktu : 16 pertemuan 4. Mata kuliah Prasyarat & Kode : ...

5. Dosen : Dr. Purwadi

I. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mahasiswa memiliki kemampuan membuat deskripsi, analisis dan interpretasi tentang teori sastra Jawa yang meliputi : sastra Jawa prosa, sastra Jawa puisi, dan kandungan ajarannya. Dengan memahami teori sastra Jawa diharapkan mahasiswa mampu memberi apresiasi terhadap nilai kearifan lokal warisan para pujangga.

II. STANDARISASI KOMPETENSI MATA KULIAH

Mahasiswa mampu memberi deskripsi, analisis dan interpretasi atas teori sastra Jawa dari masa ke masa. Dengan demikian mahasiswa akan mampu memberi penghargaan atas seluk beluk sastra Jawa.

III. POKOK BAHASAN DAN RINCIAN POKOK BAHASAN

Minggu ke

Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu I Budaya Jawa Purba Memberi penjelasan tentang

Budaya Jawa Purba

100’ II Memahami

kesusasteraan Jawa

Memberi penjelasan tentang pemahaman kesusasteraan Jawa

200’ III Sastra Jawa prosa Memberi penjelasan tentang

Sastra Jawa prosa

200’ IV Sastra Jawa puisi Memberi penjelasan tentang

Sastra Jawa puisi

200’ V Mutiara luhur dalam

sastra lisan

Memberi penjelasan tentang Mutiara luhur dalam sastra lisan

200’ VI Sastra dalam bentuk Memberi penjelasan tentang 300’


(47)

46

bahasa perlambang Sastra dalam bentuk bahasa perlambang

VII Mengasah keindahan bahasa kesusateraan

Memberi penjelasan tentang Mengasah keindahan bahasa kesusateraan

300’ VIII Ujian akhir 100’

IV. REFERENSI/ SUMBER BAHAN A. Wajib:

Abdullah Ciptoprawiro, 1986, Filsafat Jawa, Gramedia, Jakarta.

Graaf, 1987. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafiti Pers.

Haryanto, 1992. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan.

Kamajaya. 1980. Pujangga Ranggawarsita. Yogya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mangkunegara IV, 1982, Serat Tripama, Garapan Kamajaya. Yayasan Centhini : Yogyakarta.

______________, 1983, Serat Wedhatama, Garapan Anjar Any. Aneka Ilmu : Semarang.

Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia.

Simuh, 1996, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Bentang, Yogyakarta.

Sri Mulyono,1982, Wayang dan Filsafat Nusantara, Haji Masagung, Jakarta. ___________, 1989, Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Haji Masagung,

Jakarta.

Sudewa, 1989. Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi dan Transformasi. Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM.

Yasadipura I, 1920. Serat Babad Giyanti. Balai Pustaka : Jakarta.

Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.

_______________1991. Manunggaling Kawula Gusti. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

B. Anjuran :

Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.

Padmasoekatja, 1990, Memetri Basa Jawi. Citra Jaya Murti: Surabaya.

______________, 1995, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I-III. Citra Jaya Murti : Surabaya.

Paku Buwana IV, 1982, Serat Wulangreh. Garapan Daru Suprapto. Citra Jaya Murti : Surabaya.


(48)

47

Poerbatjaraka, 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Djakarta.

Purwadi, 2000. Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata. Kreasi Wacana : Yogyakarta.

Ranggawarsita, 1980, Serat Kalatidha, alihaksara Kamajaya, Yayasan Centhini, Yogyakarta.

___________________, 1988. Serat Wirid Hidayat Jati. Garapan Simuh. UI Press : Jakarta.

Rass, 1985, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Grafiti Press : Jakarta.

Ricklefs, 1974. Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the Division of Java. London: Oxford University Press.

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan sebagai berikut.

NA = T + S + 2A 4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 02 Februari 2013

Mengetahui, Dosen,


(49)

48 LAMPIRAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

MATA KULIAH : TEORI SASTRA JAWA

RPP/FBS-PBD/223 Revisi : 00 02 Februari

2013 Hal.

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Teori Sastra Jawa Kode : PBD 223 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal () Waktu : 16 pertemuan 4. Standar Kompetensi : Mahasiswa memiliki kemampuan membuat

deskripsi, analisis dan interpretasi tentang teori sastra Jawa yang meliputi : sastra Jawa prosa, sastra Jawa puisi, dan kandungan ajarannya. Dengan memahami teori sastra Jawa diharapkan mahasiswa mampu memberi apresiasi terhadap nilai kearifan lokal warisan para pujangga.

5. Kompetensi Dasar : Mahasiswa mampu memberi deskripsi, analisis dan interpretasi atas teori sastra Jawa dari masa ke masa. Dengan demikian mahasiswa akan mampu memberi penghargaan atas seluk beluk sastra Jawa.

6. Indikator Ketercapaian : Setelah mengikuti program perkuliahan ini mahasiswa mampu (1) memberi apresiasi atas teori sastra Jawa; (2) membuat analisis sastra Jawa prosa; (3) membuat analisis tentang sastra Jawa puisi.


(50)

49 8. Kegiatan Perkuliahan :

Tatap Muka Komponen

Langkah

Uraian Kegiatan Estimasi

Waktu

Metode Media Sumber

Bahan/Ref erensi

Budaya Jawa Purba

Memberi penjelasan tentang Budaya Jawa Purba

4 pertemu an x 100 menit

Teori dan diskusi

OHP dan alat tulis

A dan B

Memahami kesusasteraan Jawa

Memberi penjelasan tentang pemahaman kesusasteraan Jawa

4 pertemu an x 100 menit

Teori dan diskusi

OHP dan alat tulis

A dan B

Sastra Jawa prosa

Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa prosa

4 pertemu an x 100 menit

Teori dan diskusi

OHP dan alat tulis

A dan B

Sastra Jawa puisi

Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa puisi

1 x tatap muka atau 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis

A dan B

Mutiara luhur dalam sastra lisan

Memberi penjelasan tentang Mutiara luhur dalam sastra lisan

1 x tatap muka atau 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis

A dan B

Sastra dalam bentuk bahasa perlambang

Memberi penjelasan tentang Sastra dalam bentuk bahasa perlambang

4 pertemu an x 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis Mengasah keindahan bahasa kesusateraan

Memberi penjelasan tentang Mengasah keindahan bahasa kesusateraan

4 pertemu an x 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis Ujian akhir DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ciptoprawiro, 1986, Filsafat Jawa, Gramedia, Jakarta.

Graaf, 1987. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafiti Pers.

Haryanto, 1992. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan.

Kamajaya. 1980. Pujangga Ranggawarsita. Yogya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(51)

50

Mangkunegara IV, 1982, Serat Tripama, Garapan Kamajaya. Yayasan Centhini : Yogyakarta.

______________, 1983, Serat Wedhatama, Garapan Anjar Any. Aneka Ilmu : Semarang.

Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.

Padmasoekatja, 1990, Memetri Basa Jawi. Citra Jaya Murti: Surabaya.

______________, 1995, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I-III. Citra Jaya Murti : Surabaya.

Paku Buwana IV, 1982, Serat Wulangreh. Garapan Daru Suprapto. Citra Jaya Murti : Surabaya.

Poerbatjaraka, 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Djakarta.

Purwadi, 2000. Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata. Kreasi Wacana : Yogyakarta.

Ranggawarsita, 1980, Serat Kalatidha, alihaksara Kamajaya, Yayasan Centhini, Yogyakarta.

___________________, 1988. Serat Wirid Hidayat Jati. Garapan Simuh. UI Press : Jakarta.

Rass, 1985, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Grafiti Press : Jakarta.

Ricklefs, 1974. Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the Division of Java. London: Oxford University Press.

Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia.

Simuh, 1996, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Bentang, Yogyakarta.

Sri Mulyono,1982, Wayang dan Filsafat Nusantara, Haji Masagung, Jakarta. ___________, 1989, Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Haji Masagung,

Jakarta.

Sudewa, 1989. Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi dan Transformasi. Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM.


(52)

51

Yasadipura I, 1920. Serat Babad Giyanti. Balai Pustaka : Jakarta.

Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.

_______________1991. Manunggaling Kawula Gusti. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Yogyakarta, 02 Februari 2013

Mengetahui, Dosen,


(53)

52

BIODATA PENYUSUN

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun 2001.

Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020. Email: purwadi@uny.ac.id.


(1)

47

Poerbatjaraka, 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Djakarta.

Purwadi, 2000. Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata. Kreasi Wacana : Yogyakarta.

Ranggawarsita, 1980, Serat Kalatidha, alihaksara Kamajaya, Yayasan Centhini, Yogyakarta.

___________________, 1988. Serat Wirid Hidayat Jati. Garapan Simuh. UI Press : Jakarta.

Rass, 1985, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Grafiti Press : Jakarta.

Ricklefs, 1974. Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the Division of Java. London: Oxford University Press.

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan sebagai berikut.

NA = T + S + 2A 4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 02 Februari 2013

Mengetahui, Dosen,


(2)

48

LAMPIRAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

MATA KULIAH : TEORI SASTRA JAWA

RPP/FBS-PBD/223 Revisi : 00 02 Februari

2013 Hal.

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Teori Sastra Jawa Kode : PBD 223 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal () Waktu : 16 pertemuan

4. Standar Kompetensi : Mahasiswa memiliki kemampuan membuat deskripsi, analisis dan interpretasi tentang teori sastra Jawa yang meliputi : sastra Jawa prosa, sastra Jawa puisi, dan kandungan ajarannya. Dengan memahami teori sastra Jawa diharapkan mahasiswa mampu memberi apresiasi terhadap nilai kearifan lokal warisan para pujangga.

5. Kompetensi Dasar : Mahasiswa mampu memberi deskripsi, analisis dan interpretasi atas teori sastra Jawa dari masa ke masa. Dengan demikian mahasiswa akan mampu memberi penghargaan atas seluk beluk sastra Jawa.

6. Indikator Ketercapaian : Setelah mengikuti program perkuliahan ini mahasiswa mampu (1) memberi apresiasi atas teori sastra Jawa; (2) membuat analisis sastra Jawa prosa; (3) membuat analisis tentang sastra Jawa puisi.


(3)

49 8. Kegiatan Perkuliahan :

Tatap Muka Komponen

Langkah

Uraian Kegiatan Estimasi Waktu

Metode Media Sumber Bahan/Ref

erensi Budaya Jawa

Purba

Memberi penjelasan tentang Budaya Jawa Purba

4 pertemu an x 100 menit

Teori dan diskusi

OHP dan alat tulis

A dan B

Memahami kesusasteraan Jawa

Memberi penjelasan tentang pemahaman kesusasteraan Jawa

4 pertemu an x 100 menit

Teori dan diskusi

OHP dan alat tulis

A dan B

Sastra Jawa prosa

Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa prosa

4 pertemu an x 100 menit

Teori dan diskusi

OHP dan alat tulis

A dan B

Sastra Jawa puisi

Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa puisi

1 x tatap muka atau 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis

A dan B

Mutiara luhur dalam sastra lisan

Memberi penjelasan tentang Mutiara luhur dalam sastra lisan

1 x tatap muka atau 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis

A dan B

Sastra dalam bentuk bahasa perlambang

Memberi penjelasan tentang Sastra dalam bentuk bahasa perlambang

4 pertemu an x 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis Mengasah keindahan bahasa kesusateraan

Memberi penjelasan tentang Mengasah keindahan bahasa kesusateraan

4 pertemu an x 100 menit Teori dan diskusi OHP dan alat tulis Ujian akhir DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ciptoprawiro, 1986, Filsafat Jawa, Gramedia, Jakarta.

Graaf, 1987. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafiti Pers.

Haryanto, 1992. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan.

Kamajaya. 1980. Pujangga Ranggawarsita. Yogya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(4)

50

Mangkunegara IV, 1982, Serat Tripama, Garapan Kamajaya. Yayasan Centhini : Yogyakarta.

______________, 1983, Serat Wedhatama, Garapan Anjar Any. Aneka Ilmu : Semarang.

Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.

Padmasoekatja, 1990, Memetri Basa Jawi. Citra Jaya Murti: Surabaya.

______________, 1995, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I-III. Citra Jaya Murti : Surabaya.

Paku Buwana IV, 1982, Serat Wulangreh. Garapan Daru Suprapto. Citra Jaya Murti : Surabaya.

Poerbatjaraka, 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Djakarta.

Purwadi, 2000. Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata. Kreasi Wacana : Yogyakarta.

Ranggawarsita, 1980, Serat Kalatidha, alihaksara Kamajaya, Yayasan Centhini, Yogyakarta.

___________________, 1988. Serat Wirid Hidayat Jati. Garapan Simuh. UI Press : Jakarta.

Rass, 1985, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Grafiti Press : Jakarta.

Ricklefs, 1974. Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the Division of Java. London: Oxford University Press.

Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia.

Simuh, 1996, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Bentang, Yogyakarta.

Sri Mulyono,1982, Wayang dan Filsafat Nusantara, Haji Masagung, Jakarta. ___________, 1989, Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Haji Masagung,

Jakarta.

Sudewa, 1989. Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi dan Transformasi. Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM.


(5)

51

Yasadipura I, 1920. Serat Babad Giyanti. Balai Pustaka : Jakarta.

Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.

_______________1991. Manunggaling Kawula Gusti. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Yogyakarta, 02 Februari 2013

Mengetahui, Dosen,


(6)

52

BIODATA PENYUSUN

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun 2001.

Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020. Email: purwadi@uny.ac.id.