Joget, Komodifikasi Budaya Suku Laut

http://jurnalmaritim.com/2014/16/739/joget-komodifikasi-budaya-suku-laut
Articles 15 Maret 2014 - 07:24:12

Joget, Komodifikasi Budaya Suku Laut

SEDERHANA - Suasana sederhana kehidupan Suku Laut. Foto diambil tahun 2010. Suku Laut punya sejarah kebudayaan laut yang
melegenda. Tapi kini, mulai memudar. (Foto: KKKS Batam)

Atik Rahmawati—Peneliti Indigenous People, Dosen Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas
Jember. Penulis tinggal di Jember.

Suku Laut di Pulau Bertam adalah bangsa maju (neolithicum), bagian dari kelompok etnis
(indigenous people). Sebagai penduduk asli yang menempati wilayah Perairan Batam, mereka
mampu bertahan hidup selama berabad-abad dengan nilai-nilai tradisi yang diwariskan secara
turun-temurun dan melekat pada kehidupan sehari-hari.
Pelibatan tradisi budaya komunitas dapat memperkuat budaya pribumi (asli) yang secara efektif
membantu mereka untuk memiliki kendali nyata terhadap masyarakat mereka sendiri. Partisipasi
budaya juga sebagai cara penting untuk membangun modal sosial, memperkuat masyarakat, dan
menegaskan identitas, sebagaimana diungkapkan oleh Ife dan Tesoriero (2008).
Demikian juga menurut Putnam dalam Suharto (2008) bahwa ‘modal sosial tidak akan habis jika
dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan

bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan.”
Terkait aspek budaya, saat ini budaya tradisi Suku Laut mulai pudar, seperti silat, jung, dan
joget, yang semula melembaga dalam kehidupan mereka sebagai media hiburan tempat warga
melepas lelah setelah seharian berada di laut mencari tangkapan ikan.

Salah satu tradisi yang masih ada pada saat ini adalah joget, meski mengalami pergeseran dari
tatacara dan peralatan yang digunakan. Jika sebelumnya joget merupakan media hiburan gratis
Suku Laut, kini berubah menjadi media hiburan yang bisa mendorong warga untuk berperilaku
hidup boros.
Pertunjukkan joget dilakukan oleh 10 penari yang kesemuanya masih dalam usia remaja dan
berasal dari luar Pulau Bertam dengan iringan musik modern yang menghentak dan tidak ada
ketentuan serta aturan baku bagaimana penari harus menggerakkan badan.
Kebiasaan ini dilakukan warga tiga bulan sekali sebagai hiburan pelepas lelah setelah seharian
mencari ikan. Biasanya dimulai pukul 24.00, setelah beberapa saat para warga pulang melaut dan
berakhir pada pukul 02.00 atau kurang lebih selama dua jam.
Untuk sekali goyang, warga harus mengeluarkan biaya Rp 4.000 dengan durasi waktu kurang
lebih 5 menit. Sehingga pengeluaran keseluruhan warga untuk sekali pergelaran Joget kurang
lebih Rp 960.000. Selama satu tahun, dapat terkumpul dana kurang lebih sebesar Rp 3.840.000.
Ife dan Tesoriero (2008) menyebutnya sebagai komodifikasi budaya.
Editor: Arif Giyanto