KOMODIFIKASI BUDAYA LOKAL DALAM TELEVISI (Studi Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta)

(1)

commit to user

KOMODIFIKASI BUDAYA LOKAL DALAM TELEVISI

(Studi Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta)

TESIS

Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Komunikasi

Minat Utama : Manajemen Komunikasi

Disusun oleh : Sumantri Raharjo NIM : S230908015

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

ii

KOMODIFIKASI BUDAYA LOKAL

DALAM TELEVISI

(Analisis Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta)

Disusun oleh : SUMANTRI RAHARJO

S230908015

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing:

JABATAN NAMA Tanda tangan Tanggal

Pembimbing I : Dr. Drajat Tri Kartono ………. ... NIP. 196601121990031002

Pembimbuing II : Drs. Subagyo, SU ………. ... NIP.195209171980031001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com. NIP. 196402271988031002


(3)

commit to user

iii KOMODIFIKASI BUDAYA LOKAL DALAM TELEVISI

( Studi Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta) TESIS

Oleh Sumantri Raharjo

NIM S230908015

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr.Drs.Widodo Muktiyo, SE, M.Com ……… ………. NIP. 196402271988031002

Sekretaris Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, P.hD ……… ………. NIP. 196104131990031002

Anggota Dr. Drajat Tri Kartono ……… ………. NIP. 196601121990031002

Anggota Drs.Subagyo, SU ……… ………. NIP.195209171980031001

Mengetahui

Program Studi Dr.Drs.Widodo Muktiyo, SE, M.Com ……… ……….. NIP. 196402271988031002

Direktur Program Prof.Drs. Suranto Tjiptowibisono, M.Sc, PhD Pascasarjana UNS NIP 195708201985031004


(4)

commit to user

iv KOMODIFIKASI BUDAYA LOKAL DALAM TELEVISI

( Studi Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta)

TESIS Oleh Sumantri Raharjo

NIM S230908015

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr.Drs.Widodo Muktiyo, SE, M.Com ……… ………. NIP. 196402271988031002

Sekretaris Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, P.hD ……… ………. NIP. 196104131990031002

Anggota Dr. Drajat Tri Kartono ……… ………. NIP. 196601121990031002

Anggota Drs.Subagyo, SU ……… ………. NIP.195209171980031001

Mengetahui

Program Studi Dr.Drs.Widodo Muktiyo, SE, M.Com ………… NIP. 196402271988031002

Direktur Program Prof.Drs. Suranto Tjiptowibisono, M.Sc, PhD ………... Pascasarjana UNS NIP 195708201985031004


(5)

commit to user

v PERNYATAAN

Nama : Sumantri Raharjo NIM : S230908015

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis ini berjudul Komodifikasi Budaya Lokal Dalam Televisi ( Studi Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta adalah hasil karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis saya tersebut.

Surakarta, 7 Januari 2011


(6)

commit to user

vi MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Al-Insyirah,ayat 6)

“Sesunguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka

merubah keadaan diri mereka sendiri” (QS.AR Ra’d, ayat 11)


(7)

commit to user

vii PERSEMBAHAN

Tesis ini Kupersembahkan untuk istriku tercinta, Anisa’ul Hasanah Kurniawati, dan calon anakku yang Insya Allah akan segera mengisi hari-hari keluarga


(8)

commit to user

viii KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat ridlo, rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan penelitian yang berjudul “Komodifikasi Budaya Lokal Dalam Televisi (Analisis Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta).”

Penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa membantu penyusunan Laporan ini, yaitu yang terhormat:

1. Bapak Dr. Drajat Tri Kartono sebagai dosen pembimbing I 2. Bapak Subagyo, SU sebagai dosen pembimbing II

3. Bapak Dr.Drs.Widodo Muktiyo,SE,M.Com sebagai ketua program studi S2 Ilmu Komunikasi yang telah memberi semangat untuk segera menyelesaikan tesis ini 4. Bapak Sri Hastjarjo, P.hD sebagai sekretaris program studi S2 Ilmu Komunikasi

atas masukan-masukannya.

5. Ibu Prahastiwi Utari, P.h.D atas masukan-masukannya yang inspiratif

6. Seluruh dosen dan staf karyawan sekretariat S2 Ilmu Komunikasi yang telah membantu penulis selama ini,

7. Humas TVRI DIY, Bapak Saktiono Wahyu Jati yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data di TVRI Daerah Istimewa Yogyakarta

8. Bapak Harry Susanto, Ki Ngabdul, Ibu Marthia Adelheida, dan Ibu Heruwati yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.


(9)

commit to user

ix 9. Mas Markus dan Mas Adi yang telah menjadi teman diskusi selama proses

pembuatan tesis

10.Teman-teman S2 angkatan 2008 Komunikasi atas kebersamaannya selama 2 tahun 11.Keempat orang tuaku yang tiada putus mendoakankanku

12.Istriku tercinta Anisa’ul Khasanah Kurniawati yang telah mewarnai kehidupanku sehari-hari menjadi lebih baik

Akhir kata, penulis berharap semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi perluasan wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Komunikasi. Namun, dengan segenap kerendahan hati, penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi metodologi, penulisan, penyajian materinya. Oleh sebab itu, penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian, agar kelak penulis dapat semakin mengembangkan diri dalam penulisan karya lainnya.

Surakarta, 7 Januari 2011


(10)

commit to user

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. HALAMAN PENGESAHAN ………. HALAMAN PERNYATAAN………..

MOTTO……….

PERSEMBAHAN……….……… KATA PENGANTAR…….……….. DAFTAR ISI………. DAFTAR TABEL………. DAFTAR GAMBAR………

ABSTRAK………

BAB I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan... B. Identifikasi Masalah…….……….………... C. Pembatasan Masalah..……….………... D. Rumusan Masalah……… E. Tujuan Penelitian……...……….………. F. Manfaat Penelitian...………..……….. BAB II . ORIENTASI TEORETIK

A. Deskripsi Teoretik………

i ii iii iv v vi vii ix xii xii xiii 1 7 7 8 8 8 10


(11)

commit to user

xi 1. Teori Substansi………..

a. Definisi Komunikasi………... b. Media, Masyarakat, dan Budaya……… c. Ekonomi Politik Media dan Komodifikasi………. d. Media, Ideologi dan Hegemoni……….……... e. Kapitalisme dan Komodifikasi………... f. Budaya lokal versus budaya massa………. g. Karakteristik televisi………... h. Peran dan Fungsi Media Massa……….. i. Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia: TVRI, Dikotomi

Televisi Publik dan Media Komersial………... 2. Teori Wacana dan Analisis Wacana Kritis Fairclough……….. B. Penelitian yang Relevan……… BAB III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian………... B. Jenis Penelitian………..………..… C. Data dan Sumber Data ………... D. Teknik Pengumpulan Data……..………... E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data……….

F. Teknik Analisis Data……….

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian dan Pembahasan.………... 1. Analisis Teks………..

10 10 11 12 17 21 23 26 33 36 43 52 56 57 57 58 58 59 63 63


(12)

commit to user

xii a. Unsur Nama Program Acara dan Format & Genre Acara……….

b. Unsur Pelaku……….. c. Unsur Cerita………

d. Unsur Simbol Budaya Jawa………..

2. Analisis Discourse Practice………... a. Pangkur Jenggleng Mengarah Budaya Massa : Komodifikasi

Budaya di TV Publik……… b. Komodifikasi Budaya Pangkur Jenggleng : Ambivalensi

Kebijakan TVRI ………... c. Tayangan Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta: Sebuah Arena

Kampanye Politik Amien Rais ………. 3. Analisis Sociocultural……….. a. TVRI Yogyakarta: TV Publik dalam Himpitan Kuasa Kapitalis

dan Politik……….. b. Pergeseran Budaya Tradisional ke Budaya Massa: Pengaruh

Globalisasi dan Ketidakjelasan Kebijakan Pemerintah …………... B. Pembahasan………... BAB V KESIMPULAN,IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan………. B. Implikasi……….. C. Saran……… DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 64 67 74 102 109 109 118 123 127 127 139 145 152 153 154


(13)

commit to user

xiii DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kerangka Kerja Penelitian……….. 61

Tabel 2. Distribusi Teori………... 61

Tabel 3. Deskripsi Hasil Analisis Teks………. 105

Tabel 4. Temuan Penelitian……….. 145

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Dimensi Analisis Wacana Fairclough………... 49

Gambar 2. Judul Acara “Pangkur Jenggleng”………. 65

Gambar 3. Papan Nama Padepokan Ayom Ayem………. 66

Gambar 4. Milko memerankan Bagong……….. 83

Gambar 5. Dimas Tejo mendorong kepala Milko………... 85

Gambar 6. Milko memasukkan tangan ke dalam bebet Kamerun………….. 87

Gambar 7. Dada Dalijo menempel dada Sundari………... 90

Gambar 8. Sundari mendorong Dalijo dan Milko hingga dada keduanya saling menempel………. 91

Gambar 9. Melko melakukan gerakan/tarian monyet………. 95

Gambar 10. Milko melakukan tarian humor………. 96


(14)

commit to user

xiv ABSTRAK

Sumantri Raharjo.S230908015.Komodifikasi Budaya Lokal Dalam Televisi ( Analisis Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta). Pembimbing I : Dr.Drajat Tri Kartono.Pembimbing II: Drs. Subagyo, SU.Tesis, Program Studi: Ilmu Komunikasi.Minat : Manajemen Komunikasi. Program Pasca sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.2010

Pangkur Jenggleng merupakan Sebuah Tembang Macapat yang kemudian dikemas menjadi suatu acara seni budaya di RRI Nusantara II Yogyakarta pada era 1960-1970-an. Pada tahun 2003, acara ini muncul kembali di LPP TVRI Yogyakarta yang menggandeng sponsor Pusat Informasi Amien Rais dengan kemasan komedi panggung. Perubahan format media dari audio ke audiovisual dengan segala penyesuaianya ternyata menimbulkan pergeseran nilai terhadap makna Pangkur Jenggleng. Penonjolan humor pada acara Pangkur Jenggleng versi TVRI ditenggarai telah menggeser nilai budaya yang tadinya bersifat tradisional pada budaya massa.

Fenomena ini dilihat bukan sebagai penyesuaian format media saja, tapi sebagai suatu bentuk komodifikasi. Tesis ini berusaha mengungkap bentuk, proses, ideologi, dan kekuasaan berkaitan dengan komodifikasi Pangkur Jenggleng.

Penelitian ini mengambil analisis wacana kritis komodifikasi Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta , karena TVRI merupakan lembaga penyiaran publik dimana berdasarkan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 merupakan lembaga yang independen, netral dan tidak komersial sedangkan komodifikasi biasanya hanya terjadi pada televisi swasta.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dari Norman Fairclough. Analisis wacana kritis Fairclough dilakukan dalam tiga tahap yaitu analisis teks, praktik wacana dan praktik sosiokultural .

Berdasarkan hasil penemuan dari analisis teks Pangkur Jenggleng, wawancara dengan beberapa narasumber dan dipadukan dengan pustaka-pustaka yang relevan menunjukkan bahwa : (1). Terjadi Komodifikasi isi dalam Tayangan Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta; (2). Komodifikasi isi terjadi melalui proses penyesuaian isi tayangan dan perubahan genre acara.;(3). Ideologi dibalik proses komodifikasi adalah ideologi kapitalis ;(4). Kekuasaan dibalik komodifikasi adalah kekuasaan pasar. Kuasa pasar yang beroperasi dalam tayangan Pangkur Jenggleng juga berimplikasi pada keterlibatan kekuasaan politik dengan relasi yang dibangun TVRI dengan Pusat Informasi Amien Rais ;(5). Ideologi kapitalis masuk dalam TVRI yang notabene lembaga pemerintah melalui kelemahan regulasi penyiaran yang digunakan oleh aparat organisasi penyiaran untuk menghasilkan akumulasi modal.

Penelitian ini mempunyai implikasi teoretis dan praktis.Hasil studi ini akan memperkaya teori komodifikasi dan teori ekonomi politik media secara umum. Komodifikasi mengindikasikan bahwa program TV publik tidak hanya berorientasi pada kepentingan masyarakat tapi juga kepentingan pasar sehingga masyarakat seharusnya melihat TVRI tidak sepenuhnya menjadi lembaga penyiaran publik sehingga perlu adanya penguatan berbagai aspek seperti perundang-undangan maupun kebijakan internal organisasi untuk membawa TVRI sepenuhnya beroperasi di jalur publik


(15)

commit to user

xv Kata kunci : Komodifikasi, budaya, ekonomi politik, media, lembaga penyiaran publik

ABSTRACT

Sumantri Raharjo.S230908015. Commodification of Local Culture on Television (Crititical Discourse Analysis on Commodification of Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta ) .Advisor I: Dr.Drajat Tri Kartono.Advisor II: Drs. Subagyo, SU.Thesis. The Core Interest: Communication Management.Master’s Degree of Communication.Post Graduate Program.Sebelas Maret University.2010

Pangkur Jenggleng is a part of Macapat, traditional song of Java.It was packaged as cultural arts program in RRI Nusantara II Yogyakarta in the era of 1960s-1970s. Then, it was repackaged by TVRI Yogyakarta and sponsored by Amien Rais Information Center with stage comedy format in 2003. The change of media format from audio to audiovisual with any adjustment make a shift in the value of the meaning of Pangkur Jenggleng. Protrusion of humor on Pangkur Jenggleng TVRI changes cultural value from traditional to mass culture.

This phenomenon is not only seen as a media format adjustment, but as a form of commodification. The research attempts to seek form, process, ideology and power behind commodification of Pangkur Jenggleng.

This research takes a critical discourse analysis on commodification of Pangkur Jenggleng in TVRI Yogyakarta.It interesting that existence of TVRI as a public service broadcasting asserted by the Broadcasting Act No. 32 of 2002 as independent, neutral and non-commercial institution, while commodification generally occurs only on private television.

This study uses critical discourse analysis of Norman Fairclough. Critical discourse analysis of Fairclough conducted in three stages, such : text analysis, discourse practice and socio-cultural practice..

Based on the findings from text analysis of Pangkur Jenggleng, interview with several sources and combined with the relevant references,there are some conclutions such: (1). There is commodification of content of Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta; (2).The commodification of content occurs through adaptations of content and change of program genre from cultural art to comedy; (3). The commodification ideology is capitalist; (4).The commodification is supported by market power to get accumulation of capital (5).Capitalism infiltrate into government institution when weakness of laws utilitized by public service broadcasting organization apparatus to get capital advantages.

This research has theoretical and practical implications. The results of this study will enrich commodification theory and the theory of media political economy in general.Commodification of public service broadcasting indicates that the program on public TV is not only oriented to the interests of society but also on market interest. People should watch TVRI not fully become a public broadcasting , so it needs to strengthen some aspects such as legislation and internal policies to bring TVRI fully public oriented.


(16)

commit to user

xvi Keyword : Commodification, culture, economy-politic, media, public service


(17)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pangkur Jenggleng merupakan sebuah produk budaya lokal masyarakat jawa,terutama Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pangkur Jenggleng merupakan tempang macapat pangkur yang pada saat tembang selesai diakhiri dengan pukulan Saron (gamelan) yang berbunyi “jenggleng”. Pangkur sebagai warisan seni budaya sudah ada sejak jaman Majapahit. Saat itu nama-nama tembang macapat diciptakan oleh Wali Sanga untuk memberikan nilai wawasan hidup, baik dalam berdakwah maupun untuk perjalanan hidup. Nama tembang macapat antara lain Mijil (hati-hati dalam mengeluarkan kata-kata), Kinanti (menjaga agar tidak bermusuhan), Dhandanggula (kata-kata hendaknya disampaikan secara enak),Sinom (memberikan harapan agar awet muda), Asmaradana (mendorong agar suka mengeluarkan infak),Megatruh (mendorong agar menjauhkan dari hawa nafsu), Durma (mendorong agar menghindarkan diri dari main perempuan, berjudi, mencuri, minum-minuman keras, dan memakai narkoba), dan pangkur yang artinya adalah jangan menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadist. Melihat dari sejarahnya, pangkur jenggleng merupakan seni budaya yang berisi nilai atau ajaran adiluhung untuk menjalankan hidup secara benar.


(18)

commit to user

2 Ihwal kemunculannya yang berada di Jawa, khususnya bekas kerajaan Mataram (Yogyakarta dan Solo), maka Pangkur menyatu dengan nilai-nilai hidup yang ada di masyarakat sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Karisedenan Surakarta.

Pangkur Jenggleng sendiri dipopulerkan mulai sekitar tahun 1963 oleh Basiyo dan Nyai Prenjak, seniman lawak dari Yogyakarta. Pangkur jenggleng selain dibuat dalam bentuk album kaset juga disiarkan di RRI nusantara II Yogyakarta. Pangkur Jenggleng pada saat itu merupakan seni tembang (nyanyian) yang diselingi dengan lawakan (majalah.tempointeraktif.com). Dengan meninggalnya Basiyo pada 31 Agustus 1979, acara Pangkur Jenggleng pun juga semakin surut.

Pada tahun 2003, Pangkur Jenggleng muncul lagi dengan format audiovisual di TVRI Yogyakarta. Kehadiran Pangkur Jenggleng di TVRI menarik minat masyarakat dan merupakan salah satu acara unggulan. Karakteristik media audio visual yang merupakan perpaduan unsur gambar dan suara membuat acara tersebut lebih mudah dicerna oleh indera. Namun demikian, jika dilihat dari struktur isi acara Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta sudah berbeda dengan konsep awal ketika disiarkan di RRI.

TVRI sebagai salah satu lembaga penyiaran publik dilihat dari regulasi berada dalam persimpangan.Lembaga penyiaran publik di satu sisi dituntut untuk memberikan pelayanan pada masyarakat dan cenderung berorientasi non-profit, sedang di sisi lain diberi anggaran terbatas dan ditunjuk untuk


(19)

commit to user

3 mandiri dalam pengelolaan operasional perusahaan. Dilema ini tentu saja akan membawa dampak pada motif produksi acara siaran yang dijalankannya. Menurut Grossberg dkk(2006:69), media, masyarakat dan budaya merupakan tiga hal yang tidak terpisahkan. Media dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat dan budayanya. Dalam hal ini, TVRI Yogyakarta sebagai lembaga penyiaran publik yang berada di daerah dan berinteraksi dengan masyarakat dan budayanya mempunyai kewajiban untuk mengangkat dan melestarikan budaya-budaya lokal (tradisional). Misi ini tentu akan bersinggungan dengan media-media televisi swasta lokal yang mempunyai kesamaan target geografis. Televisi swasta lokal yang mempunyai persinggungan area geografis dengan TVRI antara lain adalah Jogja TV, RB TV dan TA TV.

Dalam studi tayangan pangkur jenggleng di TVRI Yogyakarta, sangat menarik dicermati bahwa ada perubahan mendasar dari konsep acara yang ditayangkan dengan konsep asli dari penciptanya, yaitu Basiyo. Hal ini tentu menimbulkan suatu dugaan terhadap adanya upaya komodifikasi budaya dalam tayangan tersebut untuk kepentingan modal dari institusi dalam membiayai operasional perusahaan yang diwajibkan untuk mandiri secara finansial, dimana saat acara itu mulai tayang di televisi tahun 2003, TVRI sebagai salah satu lembaga penyiaran publik di Indonesia telah berubah status dari perusahaan jawatan (perjan) menjadi perseroan terbatas (PT). Berkurangnya jumlah subsidi pemerintah,membuat TVRI Yogyakarta berusaha melakukan terobosan dalam mecari sumber-sumber pendanaan.


(20)

commit to user

4 Seperti dicontohkan Akhmad Sofyan, asisten manajer produksi kreatif dan penyiaran pada saat itu seperti dikutip Sudibyo (2004:315), bahwa TVRI menggandeng sponsor pada program tertentu seperti Program Dangdut Jos yang disponsori oleh rokok Djarum Coklat. Meskipun pada tahun 2005, TVRI berubah status menjadi lembaga penyiaran publik berdasarkan UU No.32/Th.2002, PP.11/Th.2005 dan PP.No.13/Th. 2005 , namun undang-undang penyiaran masih memberi ruang pada TVRI untuk melakukan ekplorasi dana untuk kepentingan operasional, yang salah satunya dengan menjual ruang iklan dalam program acaranya. Ini kemudian yang membuka ruang komersial pada TV publik.

Gambaran fenomena di atas merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi seiring dengan proses modernitas. Menurut Norman Fairclough dalam Jorgensen & Louise (2007:135), kondisi semacam ini bisa dipandang sebagai refleksi dan daya dorong perubahan pada praktik sosial yang lebih luas dimana wacana pasar menjajah praktik kewacanaan lembaga-lembaga publik. Berdasarkan pendapat di atas, praktik komodifikasi bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi di TVRI. Jika kita menyimak siaran Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta, maka kita akan menemukan beberapa perbedaan dengan yang pernah disiarkan di RRI Nusantara II Yogyakarta pada era 60-an hingga 70-an. Perbedaan itu bukan sekedar penyesuaian tampilan acara yang tadinya berformat audio menjadi audio visual, tapi juga dari genre acara budaya yang berubah mencari komedi situasi. Ini tentu membawa suatu konsekuensi pada struktur acara yang ditampilkan di setiap tayangan.


(21)

commit to user

5 Di Amerika, kemunculan film komedi oleh perusahaan film Keystone pada tahun 1912 dianggap sebagai awal pembentukan budaya massa. Berdasarkan studi yang dilakukan Rob King (2009:8) dalam bukunya “The Fun Factory :

The keystone film company and the emergence of mass culture”,bercerita

tentang komedi slapstick yang awalnya hanya muncul dari drama atau teater yang ditampilkan dari panggung ke panggung, namun karena penerimaan masyarakat yang baik kemudian diproduksi secara massal melalui film dan menjadi awal kemunculan budaya massa (mass culture). Dalam kasus tersebut, komedi yang merupakan budaya ketawa (laugh culture) diproduksi secara massal melalui film untuk kepentingan komersil yang berarti saat itu telah terjadi komodifikasi komedi melalui media film.

Komedi atau humor sebagai budaya ketawa juga merambah ke dunia layar kaca. Menurut Sony Set (2008: 1130, tayangan humor seperti Friends, Sex and The City, Cosby Show, Home Funniest Video dan Magical Show mendominasi jam-jam prime time Di Amerika. Sedangkan tayangan komedi panggung (stage comedy) seperti Pangkur Jenggleng, sebelumnya juga telah sukses menghias layar televisi Indonesia Acara-acara tersebut diantaranya adalah Srimulat, Bagito Show, Komedi Betawi, Ngelenong Yuk, dan Extra Vaganza.

Penemuan awal terhadap perubahan pada genre program acara budaya Pangkur Jenggleng di RRI menjadi komedi panggung mengindikasikan terjadinya transformasi nilai budaya tradisional ke dalam budaya massa, namun demikian hal ini tentu saja tidak bisa dijadikan landasan untuk


(22)

commit to user

6 mengambil kesimpulan telah terjadi komodifikasi pada budaya tersebut, namun dengan penggalian data secara mendalam bisa ditelusuri proses reproduksi yang akan membawa pada kesimpulan akhir.

Tanda-tanda komodifikasi yang paling mudah bisa dilihat dari keotentikan obyek. Obyek yang telah dikomodifikasi sedikit banyak akan mengalami perubahan dari versi aslinya. Ini juga yang terlihat dari hasil penelitian Stroma Cole dalam Couch (2009) yang berjudul “Beyond Authenticity and

Commodification” terhadap pengembangan-pengembangan pariwisata di

wilayah selatan Indonesia. Penelitian menunjukkan menunjukkan usaha-usaha perubahan terhadap budaya setempat untuk kepentingan pariwisata. Perubahan-perubahan obyek itu dilihat dari wacana kritis bukan sekedar penyesuaian tampilan dari media audio (radio) ke dalam media audio visual (televisi), tapi juga merupakan upaya perubahan kearah budaya popular dimana audiens terperangkap dalam realitas virtual yang menjadikan nilai-nilai yang ada dalam tayangan tersebut seolah-olah berjalan secara alami dan dikonsumsi dengan tanpa ada telaah kritis.

Berpegang pada tradisi kritis yang dikemukakan Horkheimer dan Adorno dalam Craig dan Muller (2007:437), bahwa teknologi membawa pengaruh pada industri budaya. Pertimbangan utama standar produksi media diklaim berdasarkan pada kebutuhan konsumen dengan alasan produk akan diterima dan meminimalisir penolakan. Dalam konteks ini, media akan melakukan manipulasi dengan kebutuhan yang berlaku surut dimana teknologi memerlukan kekuatan masyarakat yang memegang kendali terbesar ekonomi.


(23)

commit to user

7 B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan diatas muncul beberapa persoalan, antara lain: (1)Bagaimanakan kebijakan komersial TVRI Yogyakarta untuk menutup beaya operasional perusahaan sebagai dampak dari kemandirian yang diamanatkan oleh Undang-Undang ? ;(2). Sebagai TV Publik, bagaimana TVRI memberi tayangan yang berorientasi publik dengan keterbatasan anggaran? Sebagai TV publik lokal,bagaimana TVRI Yogyakarta melestarikan budaya lokal ?;(4). Bagaimana strategi TVRI Yogyakarta dalam menghadapi persaingan dengan televisi swasta lokal?;(5). Bagaimana TVRI Yogyakarta melakukan praktik-praktik komodifikasi terhadap budaya lokal dalam acara yang diproduksinya ?

C. Pembatasan Masalah

Berbagai persoalan yang muncul di atas sangat sulit untuk dijawab dalam satu penelitian, selain keterbatasan biaya juga akan memakan waktu yang panjang. Oleh karena itu, peneliti membatasi persoalan pada komodifikasi budaya yang dilakukan oleh TVRI Yogyakarta dalam acara Pangkur Jenggleng. Komodifikasi tersebut, selanjutnya akan ditinjau dari prosesnya. Untuk menguraikan proses komodifikasi secara detil, peneliti memilih analisis wacana kritis dengan mengamati beberapa episode tayangan isi acara Pangkur Jenggleng, wawancara dengan Humas TVRI Yogyakarta, pengelola acara Pangkur Jenggleng, Penelusuran sejarah siaran Pangkur Jenggleng di RRI Nusantara II Yogyakarta, wawancara dengan pengelola lembaga Pusat Informasi Amin Rais (PIAR) sebagai sponsor acara Pangkur Jenggleng, dan


(24)

commit to user

8 wawancara dengan budayawan yang mengetahui seluk beluk Pangkur Jenggleng sebagai produk budaya.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain : (1). bentuk-bentuk komodifikasi apa saja yang telah terjadi, (2). bagaimana proses komodifikasi itu terjadi ,(3) ideologi apa yang tersembunyi di balik komodifikasi , dan (4) kekuasaan apa yang ada dibalik komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta.

E. Tujuan Penelitian

1. Mengungkap bentuk-bentuk komodifikasi terhadap pangkur jenggleng yang tayang di TVRI Yogyakarta

2. Mengungkap proses komodifikasi pangkur jenggleng TVRI Yogyakarta 3. Mengungkap ideologi di balik komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI

Yogyakarta

4. Membongkar kekuasaan dibalik komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

Memberikan kritik dan masukan yang membangun bagi industri media televisi, khususnya TVRI dalam memproduksi konsep acara televisi.


(25)

commit to user

9 2. Manfaat Akademis

Hasil penelitian akan memberi sumbangan bagi khasanah penelitian ilmu komunikasi secara umum, kajian media dan budaya pada khususnya. 3. Manfaat Sosial

Memberikan penyadaran pada masyarakat agar peka dan kritis terhadap setiap tayangan yang ada di televisi terutama pada tayangan-tayangan berbasis kebudayaan


(26)

commit to user

10 BAB II

ORIENTASI TEORETIK

A. Deskripsi Teoretik 1. Teori Substansi

a. Definisi Komunikasi

John Fiske dalam Eriyanto (2002:37-41) mengemukakan komunikasi dalam dua pandangan besar yaitu pendekatan komunikasi sebagai proses (tranmisi) dan komunikasi sebagai semiotik. Hal ini sama dengan definisi yang dikemukakan Ann N. Crigler dalam studi media dan komunikasi yang membagi komunikasi dalam pendekatan efek media dan kontruksi. Pendekatan proses sebangun dengan pendekatan efek media, dimana komunikasi dilihat sebagai suatu proses dimana pesan terkirim dari pengirim ke penerima dan proses yang terjadi dalam pengiriman tersebut. Proses dilihat secara linier dari pengirim ke penerima melewati saluran (media). Sedangkan komunikasi sebagai semiotik sebangun dengan pendekatan kontruksionis dimana komunikasi dipandang sebagai produksi dan pertukaran makna.

Kajian tentang media, budaya, dan masyarakat lebih dekat dengan definisi komunikasi dalam pendekatan semiotik atau kontruksionis yang memusatkan perhatian pada bagaimana pesan atau teks berkaitan


(27)

commit to user

11 dengan khalayak dalam memproduksi makna. Ini menunjukkan adanya peranan teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini tidak melihat komunikasi untuk penyebaran pesan, tapi proses pembentukan individu sebagai anggota dari kebudayaan. Pesan merupakan suatu kontruksi melalui interaksi dengan penerima, dimana pesan bukan apa yang dikirim tapi apa yang dikontruksi dan yang dibaca.Dalam hal ini makna merupakan produk kontruksi dan interaksi antara pengirim dan penerima, sedangkan membaca merupakan suatu proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi dengan teks.

b. Media, Masyarakat, dan Budaya

Pembentukan budaya melalui pertukaran makna dalam komunikasi terjadi ketika masyarakat sebagai audiens melakukan konsumsi teks media dan menemukan makna-makna yang terkandung dalam teks melalui bahasa. Littlejohn & Foss (2009: 408) menyatakan bahwa berkaitan dengan masyarakat dan budaya,media mempunyai fungsi komunikasi massa, penyebaran informasi dan pengaruh, opini masyarakat, dan kekuasaan.

Mengacu pada pendapat para ahli teori kritis, media merupakan bagian dari industri budaya yang secara harfiah menciptakan simbol dan gambaran yang dapat menekan kelompok kecil.

Menuru McQuail dan Littlejohn & Foss (2009:432-433), ada lima cabang teori kritis media, yaitu : (1). Marxisme klasik, dimana media dipandang sebagai sebagai alat bantu dari kelas dominan dan sebuah


(28)

commit to user

12 cara klasik dan sebuah cara untuk para kapitalis menunjukkan ketertarikan mereka dalam menghasilkan keuntungan. media menyebarkan ideologi dari dorongan yang berkuasa dalam masyarakat dan menindas golongan-golongan tertentu. (2)Teori media ekonomi politik (political-economic media theory), yang menyalahkan kepemilikan media bagi keburukan masyarakat dimana isi media merupakan komoditas untuk dijual di pasaran, dan informasi yang disebarkan diatur oleh apa yang akan diambil di pasar;(3). Frankfurt School yang memandang media sebagai cara untuk membangun budaya, menmpatkan lebih banyak penekanan pada pemikiran ketimbang materi;(4). Teori hegemonis (hegemonic theory), yang memandang hegemoni merupakan dominasi ideologi palsu atau cara pikir terhadap kondisi sebenarnya. Ideologi yang dominan menghidupkan minat golongan tertentu atas golongan lain dan media memainkan peran besar dalam proses ini.

c. Ekonomi Politik Media dan Komodifikasi

Salah satu aliran kritis dalam teori media merupakan teori ekonomi media ((political-economic media theory). Menurut McQuail (2010:96-97), teori ekonomi politik merupakan suatu pendekatan kritik sosial yang fokus utamanya pada hubungan struktur ekonomi dan dinamika industri media dan ideologi isi dari media. Dari pandangan ini, institusi media diposisikan sebagai bagian dari sistem ekonomi, yang mempunyai kaitan erat dengan sistem politik.


(29)

commit to user

13 Konsekuensinya dapat diamati dari pengurangan sumber-sumber media yang independen, konsentrasi pada pasar yang paling besar, menghindari resiko, dan mengurangi tugas-tugas media yang tidak menghasilkan keuntungan. Proposisi utama dalam teori ekonomi kritis antara lain :(1).Logika dan kontrol ekonomi merupakan sesuatu yang menentukan;(2). Struktur media cenderung selalu kearah monopoli;(3). Integrasi global dari pengembangan kepemilikan media; (3). Isi dan audiens dikomodifikasi;(4).Keanekaragaman mengalami penurunan secara nyata; (5). Suara oposisi dan alternatif termarjinalkan; (6). Kepentingan-kepentingan publik tersubordinasi oleh kepentingan pribadi, dan (7). Akses keuntungan dari komunikasi terdistribusi secara tidak merata.

Sedangkan menurut Vincent Mosco dalam Sunarto (2009:14) membedakan pengertian ekonomi politik menjadi dua, yaitu : (1). Sempit, berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan , bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya;(2) Luas, berarti kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Kontrol dipahami sebagai pengaturan individu dan anggota kelompok secara internal, agar bisa bertahan mereka harus memproduksi apa yang dibutuhkan untuk memproduksi diri mereka sendiri. Proses kontrol secara luas bersifat politik, karena dalam proses tersebut melibatkan pengorganisasian sosial hubungan-hubungan dalam sebuah komunitas. Proses bertahan mendasar bersifat


(30)

commit to user

14 ekonomis, karena berhubungan dengan persoalan produksi dan reproduksi.

Dalam konteks persaingan antar media, masing-masing media akan mencari cara yang paling logis untuk memenangkan persaingan. Menurut Sunarto, pendekatan ekonomi politik menekankan bahwa masyarakat kapitalis terbentuk menurut cara-cara dominan dalam produksi yang menstrukturkan institusi dan praktik sesuai dengan logika komodifikasi dan akumulasi kapital. Produksi dan distribusi budaya dalam sistem kapitalis harus berorientasi pada pasar dan profit.

Dalam pandangan ini, kekuatan-kekuatan produksi (seperti teknologi media dan praktik-praktik kreatif) dibentuk menurut relasi produksi dominan (seperti profit yang mengesankan, pemeliharaan kontrol hierarkis, dan relasi dominasi). Oleh karena itu, sistem produksi menjadi sangat penting untuk menentukan artefak-artefak budaya apa saja yang perlu diproduksi dan bagaimana produk-produk budaya itu dikonsumsi.

Menurut Mosco dalam Yorita (2005:28), ada 3 konsep penerapan teori ekonomi politik dalam industri komunikasi, yaitu komodifikasi, spasialisasi dan strukturisasi. Komodifikasi mengacu pada pemanfaatan barang dan jasa dari sisi kegunaannya, yang kemudian ditransformasikan menjadi komoditas yang nilainya ditentukan oleh pasar. Spasialisasi merupakan proses mengatasi hambatan ruang dan


(31)

commit to user

15 waktu dalam kehidupan sosial oleh perusahaan media dalam bentuk perluasan usaha. Sedangkan strukturisasi merupakan proses penggabungan human agency dengan proses perubahan sosial ke dalam analisis struktur. Strukturisasi dalam konsep Mosco lebih banyak mengadopsi Golding & Murdock tentang interplay antara struktur vis-à-vis agensi.Karakteristik penting teori ini adalah kekuatan yang diberikan pada perubahan sosial.Proses perubahan sosial dipandang sebagai proses yang menggambarkan bagaimana struktur diproduksi oleh agen yang bertindak melalui medium struktur.

Mengacu pada konsep Mosco, ada tiga bentuk komodifikasi yaitu komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi sibernetik. Komodifikasi isi adalah proses perubahan pesan dari sekumpulan data kepada sistem makna dalam bentuk produk yang dapat dipasarkan. Komodifikasi khalayak merupakan proses modifikasi peran pembaca oleh pengiklan dan media dari fungsi awal sebagai konsumen media menjadi konsumen non media, dimana media memproduksi khalayak dan kemudian menyerahkan ke pengiklan. Sedangkan komodifikasi sibernetik berkaitan dengan proses mengatasi kendali dan ruang. Menurut Mosco,proses komodifikasi pada dasarnya berhubungan dengan integrasi agen-struktur yang ada dalam institusi media. Tindakan agen pada proses tersebut tidak lepas oleh struktur yang ada atau sebaliknya. Namun demikian, dalam sebuah tindakan tidak selalu


(32)

commit to user

16 terjadi integrasi antara agen dan struktur yang ada. Tindakan agen atau aktor bisa jadi tidak sesuai dengan struktur yang ada . Fenomena semacam ini akan lebih tepat dikaji dengan teori pilihan rasional

(rational choice theory).

James S. Coleman dalam teori pilihan rasional lebih menitikberatkan faktor individu untuk menjelaskan fenomena makro. Tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan. Tujuan dan tindakan ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi).Dalam hal ini, Coleman memilih aktor rasional dari ilmu ekonomi yang cenderung melihat aktor memilih tindakan rasional memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Pemusatan perhatian terhadap tindakan tindividu ini dilanjutkan pada masalah hubungan mikro- makro atau cara gabungan tindakan individual menimbulkan perilaku sistem sosial. Meski memprioritaskan mikro-makro, Coleman juga memperhatikan hubungan mikro atau bagaimana sistem memaksa makro-mikro dimana sistem memaksa orientasi aktor dan makro-mikro-makro-mikro atau dampak tindakan individual terhadap individu lain (Ritzer & Goodman:391-395).

Komodifikasi biasanya lebih banyak terjadi di media komersial, dan sangat jarang terjadi di media publik, seperti diungkapkan Lacey (2002:65) sebagai berikut :

…..Most media texts, too, are created in order to generate


(33)

commit to user

17 organisation. The only exceptions are public sector broadcasters who do not have to generate money from their products and publicly fundedtexts . But media texts are not simply commodities, they are also cultural artefacts

Pernyataan Lacey di atas menunjukkan bahwa teks media diciptakan untuk memperoleh pemasukan terjadi di semua media kecuali penyiaran publik sehingga idealnya lembaga penyiaran publik tidak melakukan komodifikasi yang berujung pada komersialitas acara. d. Media, Ideologi dan Hegemoni

Ideologi dalam pandangan Louis Althusser dalam Sutrisno (2005:47) adalah sebuah mekanisme yang digunakan oleh kaum borjuis untuk memproduksi dominasi kelasnya. Melalui ideologi, banyak generasi menyesuaikan diri dengan dengan status quo. Ideologi memberi kerangka kerja yang di dalamnya manusia menjalani hubungan dengan realitas sosial tempat mereka berada.Ideologi membentuk subyek-subyek yang meletakkan dalam system hubungan yang diperlukan agar hubungan kelas bisa bertahan. Ia memberi identitas yang perlu demi berfungsinya suatu situasi yang sedang berjalan.Dilihat dari sudut pandang ini, setiap orang dipengaruhi oleh ideologi tidak bisa dihindari secara spontan dan setiap orang menjadi subyek dari praktik-praktik material ini.

Akthusser seperti diuraikan Baker (2000:59) mempunyai dua tesis mengenai ideologi. Pertama, ideologi merupakan hubungan imajiner antara individu dengan eksistensi nyatanya. Representasi di sini tidak menunjuk pada relasi riil yang memandu eksistensi individu, tetapi


(34)

commit to user

18 relasi imajiner dengan suatu keadaan dimana mereka hidup didalamnya.Kedua, representasi gagasan yang dibentuk ideologi tidak hanya memiliki eksistensi spiritual, tapi juga eksistensi material. Jadi dapat dikatakan bahwa Apparatus ideologi negara adalah realisasi dari ideologi tertentu. Ideologi selalu eksis dalam wujud apparatus, dan eksistensi tersebut bersifat material.

Eksistensi material dapat dilihat dan dijelaskan dari kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal tertentu yang akan diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara natural akan diikuti oleh orang tersebut.

Sementara itu, Fairclough dalam Jorgensen & Philips (2007: 139-141) memandang ideologi merupakan makna yang melayani kekuasaan. Fairclough memahami ideologi sebagai pengontruksian makna yang memberikan kontribusi bagi pemroduksian, pereproduksian dan transformasi hubungan-hubungan dominasi. Ideologi tercipta dalam masyarakat dan hubungan dominasi didasarkan pada struktur sosial seperti kelas dan gender.

Fairclough mematuhi konsensus yang dibuat dalam kajian-kajian kultural kritis dengan menolak bagian-bagian teori Althusser yang menganggap orang sebagai subyek ideologi pasif sehingga meremehkan kemungkinan mereka melakukan tindakan.

Fairclough juga menolak pemahaman Althusser tentang ideologi sebagai keseluruhan entitas, karena orang-orang bisa diposisikan


(35)

commit to user

19 dalam ideologi-ideologi berbeda dan saling bersaing sehingga kondisi semacam ini menggiring kearah rasa ketidakpastian yang efeknya bisa menciptakan kesadaran akan efek ideologis. Sudut pandang ini didasarkan pada gagasan Gramsci bahwa akal sehat berisi beberapa unsur yang saling bersaing yang merupakan hasil dari negosiasi makna tempat berpartisipasinya semua kelompok sosial.

Konsep di atas berkait erat dengan konsep hegemoni dari Antonio Gramsci. Menurut Gramsci dalam Tilaar (2003:77), hegemoni merupakan kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu.

Hegemoni dalam pandangan Gramsci, tidak hanya digunakan untuk menjelaskan relasi antar kelas, akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas termasuk relasi komunikasi dan media.Dominasi kekuasan dikembangkan selain lewat kekuatan senjata,juga melalui penerimaan publik (public consent),yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas,yang diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai mekanisme opini publik (public opinion), khususnya lewat media massa.

Dalam prinsisp hegemoni, opini publik merupakan hal yang penting.Opini publik dimediasi melalui ruang publik (public sphere). Terkait dengan penciptaan ruang publik, Gramsci perlu memandang pentingnya keberadaan institusi-institusi yang berperan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni media. Gramsci


(36)

commit to user

20 menyebut institusi dan strukturnya sebagai alat hegemoni (hegemonic

apparatuses) seperti sekolah,masjid, gereja, media massa, bahkan

arsitektur dan nama jalan (piliang,2004:135-136)

Lepas dari struktur dan institusi sebagai penyebar hegemoni, media sendiri merupakan agen dan tempat pertarungan wacana serta ideologi berlangsung. Media massa sebagai bagian dari ruang publik yang didalamnya bahasa dan simbol-simbol diproduksi dan disebarluaskan bukan merupakan hegemoni yang bersifat pasif. Menurut Gramsci, media massa (bersama media massa tandingan) membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang bahasa dan perang simbol untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan (Mulyana, 2006:9)

Sedangkan Raymond William dalam Antoni (2004:200-201) berpandangan bahwa konsepsi hegemoni Gramsci merupakan kajian terhadap ideologi dominan dari model base superstructure yang memfasilitasi sebuah tesis pemahaman kompleks yang saling mempengaruhi kekuatan budaya.

William dalam bukunya Communication, menyatakan bahwa pendekatan penyiaran publik untuk media penyiaran (broadcasting) sebagai sistem yang mengayomi (paternal system),yaitu pelayanan publik sebagai suatu sistem yang patuh pada suara hati untuk mengatakan dengan nilai-nilai dan tujuan di luar untuk menjaga kekuasaannya sendiri. Penerapan media penyiaran (broadcasting)


(37)

commit to user

21 yang melayani publik telah menjadi hal yang sensitif bagi kebutuhan khalayak komunikasi .

e. Kapitalisme dan Komodifikasi

Meghnad Desai dalam Bungin (2001:116) menggambarkan ciri model produksi kapitalisme sebagai proses pembentukan kapitalisme modern yang meliputi : (a). Produksi untuk dijual dan bukan untuk diproduksi sendiri;(b). Adanya pasar, dimana tenaga kerja dibeli dan dijual dengan alat tukar upah melalui hubungan kontrak;(c). Penggunaan uang dalam tukar menukar yang selanjutnya memberikan peranan yang sistematis kepada bank dan lembaga keuangan non bank; (d). Proses produksi atau proses kerja berada dalam kontrol para pemilik modal dan agen-agen manajerialnya;(e). Kontrol dalam keputusan keuangan berada di tangan pemilik modal, sedangkan pekerja tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan, dan (f).Berlakunya persaingan bebas diantara pemilik kapital.

Komodifikasi menurut Hesmondhalgh (2007:56) merupakan transformasi obyek dan layanan ke dalam komoditas. Komodifikasi lebih menekankan pada proses daripada industrialisasi. Pada level dasar, hal ini melibatkan produksi tidak hanya untuk digunakan tapi juga sebagai alat pertukaran (exchange). Dengan perkembangan kapitalisme, pertukaran di pasar dilakukan menggunakan media uang. Hal ini selaras dengan apa yang dinyatakan Cohen dalam Higham & Hinch (2009 :147) sebagai berikut:


(38)

commit to user

22

….a process by which things (and activities) come to be

evaluated primarily in terms of their exchange values, in a context trade,thereby becoming goods (and services) ; developed exchange system in which the exchange of things (and activities) is stated in terms of prices form a market.

Bagi Marx dan para pengikutnya, komodifikasi merepresentasikan tampilan fisik dari suatu hubungan sosial. Sisipan logika tertentu dari produksi dan konsumsi dalam kehidupan masyarakat merupakan transaksi atau marketisasi dari peningkatan interaksi sosial. Hal ini merupakan sebuah proses yang tumbuh bersama kapitalisme.

Sedangkan inti dari efek proses komodifikasi menurut Lessig yang dikutip oleh Hassan menunjukkan bahwa (1) prosesnya tidak memakan ruang atau tidak mengikat budaya; dan (2) menyebar secara lebih luas dan mendalam dengan tampilan yang natural (Hassan,2008:136-150). Dari apa yang dikemukakan Lessig, proses komodifikasi berjalan seolah-olah tidak merubah budaya asli yang telah mengalami komodifikasi. Tampilan budaya massa hasil komodifikasi yang nampak natural membuat orang dengan mudah menerima tanpa ada penilaian kritis.

Komodifikasi budaya terjadi ketika budaya didistribusikan secara langsung dalam kompetisi dengan budaya-budaya berbasis lokal.Dalam pandangan ini, media merupakan industri yang mengkhususkan pada produksi dan distribusi komoditas budaya (Baran and Davis,2009:334). Teknologi media dalam hal ini


(39)

commit to user

23 merupakan alat kapitalis untuk memperoleh keuntungan dari hasil produksi dan distribusi komodifikasi budaya.

Meminjam istilah Milena Ivanovic (2009; 322) dalam pariwisata budaya ,komodifikasi harus memperhatikan keotentikan dari budaya yang meliputi keotentikan obyek dan keotentikan konstruktif. Keotentikan obyek sebagai warisan budaya, sedangkan keotentikan konstruktif mengacu pada pencitraan, harapan, preferensi, nilai-nilai dan kekuatan.

Keotentikan budaya dalam wacana komodifikasi telah menciptakan dikotomi diantara pandangan yang berlawanan. Di satu sisi, komodifikasi dianggap merusak dan mengorbankan budaya asli dan menciptakan budaya massa untuk kepentingan kapital. Sedangkan di sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi pada budaya asli dimaknai sebagai pengembangan yang bersifat inovatif dan memberi sumbangan pada kesejahteraan masyarakat. Sisi ini biasanya sengaja diciptakan oleh penguasa yang merasa memegang kendali terhadap budaya yang ada.

f. Budaya lokal versus budaya massa

Setiap budaya pasti mempunyai segmennya sendiri-sendiri karena mempunyai karakteristtik sosial khas yang membedakan dengan fenomena budaya lain. Namun kemudian kita dihadapkan pada budaya populer atau sering disebut dengan budaya massa.


(40)

commit to user

24 Budaya massa mengacu pada suatu budaya yang diproduksi secara massal sehingga mampu menjangkau audiens yang lebih besar daripada sebelumnya. Sedangkan arti populer dalam budaya popular, menurut Guins (2005:61), mengacu definisi populer yang dikembangkan Johnson mencakup sesuatu yang vulgar, kampungan, cocok untuk orang awam, dicintai oleh masyarakat dan menyenangkan masyarakat, selalu disukai orang dan berlaku umum. Dari situ budaya populer lebih diartikan sebagai budaya rendah yang banyak dikonsumsi oleh orang awam, dan merupakan kebalikan dari budaya tinggi (high culture) yang banyak dikonsumsi oleh para bangsawan di Inggris.

Menurut Burton (2008:39), beberapa proposisi dalam perdebatan budaya massa sebagai budaya populer antara lain : (1). Produksi massa telah menghasilkan budaya massa yang telah menjadi budaya populer;(2). Budaya massa telah menggantikan budaya rakyat (folk culture), yang merupakan budaya masyarakat yang sebenarnya;(3). Budaya massa didominasi oleh produksi dan konsumsi barang-barang material bukan oleh seni-seni sejati (true arts) dan hiburan masyarakat (4). Penciptaan budaya massa didorong oleh motif laba.

Proposisi diatas menunjukkan adanya penggeseran budaya rakyat yang oleh budaya massa yang cenderung mengabaikan nilai seni untuk kepentingan materi demi memperoleh keuntungan. Hal ini pula


(41)

commit to user

25 yang kemudian berkembang dalam pemikiran para pengusaha/pemilik modal dengan memanfaat perkembangan teknologi komunikasi. Mengacu pada pendapat Strinati (2003:4), titik balik dan kajian terhadap budaya popular terjadi pada dasawarsa 1920-1930, yang ditandai dengan kemunculan sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan. Bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara barat memainkan peranan dalam memunculkan perdebatan atas budaya massa.

Secara garis besar,perhatian orang terhadap budaya massa tertuju pada tiga hal (Hikmat Budiman, 2002:52-53) : pertama, daya tarik yang sedemikian besar yang tidak hanya menjangkau terbatas pada kelompok massa dalam sebuah masyarakat, melainkan jauh menembus hampir seluruh batas baik fisik maupun mental masyarakat. Kedua, kekuatan masif yang dimiliki budaya populer untuk menjangkau jumlah massa yang begitu besar untuk mengetahui pengaruh positif atau negatif yang diakibatkan baik pada praktik-praktik dan pengalaman kultural yang lebih lama, terhadap bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat kontemporer maupun terhadap masyarakat yang menjadi pendukungnya secara keseluruhan.Ketiga, perhatian orang juga tertuju pada medium yang menyebarluaskan budaya massa tersebut ke seluruh dunia. Hal ini berkaitan dengan peran media massa dalam perkembangan budaya massa.


(42)

commit to user

26 Menurut Leavis dan penganut mazhab Frankfurt dalam Sukmana (2009:19), budaya massa dipandang sebagai budaya yang berbasis komoditas, sebagai sesuatu yang tidak otentik, manipulatif dan tidak memuaskan. Budaya massa merupakan produk kapitalis yang tidak otentik, karena tidak dihasilkan oleh masyarakat, manipulatif karena tujuan utamanya untuk dibeli. Budaya massa dianggap tidak memuaskan, karena selain mudah dikonsumsi, juga tidak menyaratkan terlalu banyak kerja dan gagal memperkaya konsumennya.

Budaya massa merupakan budaya yang diproduksi oleh kaum borjuis (kapitalis) yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah. Sedangkan produk budaya dalam budaya massa merupakan produk budaya dari kelas buruh dalam budaya popular yang diindustrialisasi (diproduksi secara massal) oleh para kapitalis untuk menghasilkan keuntungan finansial dari produk budaya tersebut. Para kapitalis dalam industri budaya mengkomodifikasi produk budaya sebagai sarana untuk memperoleh kapital yang sebanyak-banyaknya untuk kemudian menciptakan komodifikasi atas produk budaya lainnya. Dalam hal ini, iklan menjadi ujung tombak guna keberhasilan usaha komodifikasi produk budaya menjadi komoditas ekonomi kapitalisme.

g. Karakteristik Televisi

Setiap media mempunyai karakteristiknya masing-masing yang akan berdampak pada ketersampaian dan cara penerimaan pesan pada audiensnya. Dalam hal ini, teknologi membawa perbedaan cara


(43)

commit to user

27 penyampaian, penerimaan audiens, maupun kecepatan pesan diterima audiensnya. Gagasan Mcluhan bahwa media adalah pesan, merupakan satu indikasi bahwa penerimaan seseorang terhadap substansinya saja tapi juga bagaimana pesan itu disampaikan melalui suatu teknologi media tertentu .

Ungkapan tersebut sinergis dengan pendapat Lievrouw dalam Frey & Cissna (2009: 236) bahwa suatu kehadiran media baru akan menggeser pandangan dalam konteks sosial tentang hubungan manusia dengan pemahamannya terhadap media dan teknologi komunikasi. Konsekuensinya, pengetahuan tentang media yang baru menjauh dari teori komunikasi massa, masyarakat, dan berkaitan dengan sistem teknis, fitur dan efek. Isi dan interaksi dalam media dilihat sebagai keberagaman sosial dan kultural serta selektif yang diproduksi secara massal dan kemudian dikonsumsi. Sedangkan nilai sosial yang tertanam dalam teknologi komunikasi dilihat sebagai

double material, yaitu : alat ekspresi dan budaya komunikasi yang

tampak, dan ekspresi budaya itu sendiri.

Media elektronik, sebagai suatu teknologi hadir dan menggeser teknologi baca yang diusung oleh media cetak. Teknologi penyiaran sebagai salah satu media elektronik mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan media-media lain. Menurut Elvinaro Ardianto dkk (2009;131-142), Radio mempunyai karakter auditori (auditif), aktual, imajinatif, akrab dan menjaga mobilitas. Sedangkan televisi


(44)

commit to user

28 mempunyai karakter audiovisual,berpikir dalam gambar, dan pengoperasian yang kompleks.

Di sisi lain, menurut Darwanto (2007:42-44), media massa penyiaran khususnya televisi memiliki ciri-ciri antara lain : pertama, keserempakan. Keserempakan mengacu pada kesamaan waktu khalayak dalam menerima siaran dari media televisi (dan radio) walau dipisahkan oleh area geografis dan dalam waktu yang relatif cepat.Kedua, mampu meliput dan menjangkau daerah yang tidak terbatas. Dalam hal ini media massa elektronik khususnya televisi dapat meliput dan menjangkau belahan bumi manapun tanpa gangguanyang berarti. Ketiga, Bisa dimengerti yang buta huruf. Orang yang buta huruf hanya menggunakan daya fantasinya saja, namun mereka akan dengan mudah menerima siaran televisi karena susunan gambarnya telah mengubah bahasa verbal menjadi bahasa gambar.

Empat, Dapat diterima mereka yang menderita cacat tubuh. Konsep

ini mengacu pada media massa televisi dan radio yang saling mengisi kekurangan dan kelebihannya, sehingga mereka yang cacat tubuh pendengaran dan penglihatan dapat memanfaatkannya.

Media yang berbeda akan menstimulasi tipe-tipe proses kognitif yang berbeda. Dalam suatu perbandingan studi efek kognitif radio dan televisi dengan studi kasus penyampaian cerita anak-anak pada media radio dan televisi yang dilakukan R. Jackson Haris (2004:25) menemukan bahwa anak-anak memperoleh akhir cerita yang tidak


(45)

commit to user

29 lengkap dari radio daripada yang mereka lihat dan dengar dari televisi. Dalam hal ini, radio menstimulasi imajinasi yang lebih baik dari televisi, tapi televisi memberikan aspek visual, aksi dan keseluruhan informasi yang lebih baik. Ini membuktikan bahwa televisi sebagai media audio visual mampu menghasilkan efek kognitif ke audiens secara lebih baik daripada radio yang hanya bersifat audio saja. Radio dan surat kabar merupakan radio yang bersifat verbal, sedang televisi mempunyai dimensi gambar yang lebih baik. Oleh karena itu menurut Haris, televisi mampu mengkomunikasikan materi relatif sederhana dan memberi daya tarik perilaku secara langsung.

Namun demikian kesederhanaan pesan dan daya tarik perilaku secara langsung juga memberi konsekuensi pada penampilan prima dari seorang komunikator yang tampil di media televisi. Komunikator di media televisi menurut Darwanto (2007:48) dituntut lebih banyak dibandingkan dengan komunikator yang menggunakan media massa lainnya. Komunikator di media televisi yang berdimensi visual dituntut untuk tidak “demam kamera” Darwanto menggambarkan bahwa komunikator di media televisi tidak selalu berhubungan langsung dengan audiens seperti halnya di panggung. Grup lawak yang tontonannya kurang memuaskan akan berpengaruh pada keberhasilan pesan yang disampaikan, sehingga hal tersebut akan menjadi kegagalan tontonan yang diharapkan menjadi tuntunan.


(46)

commit to user

30 Secara keseluruhan kemunculan media televisi juga menggeser dominasi teknologi sebelumnya dengan dominasi teknologi baru yang dibawanya. Dominasi ini juga yang membuat kehadiran televisi juga menggusur pendapatan iklan yang ada di media radio. Sejak kemunculan televisi di Amerika pada tahun 1945, iklan radio sedikit demi sedikit tergerogoti oleh perkembangan televisi dan pengaruhnya terhadap audiens (Biagi,2007:153).

Pergeseran ini merupakan akibat dari determinasi teknologi yang semakin berkembang dan menciptakan perbedaan-perbedaan. Menurut pandangan Butler (2007:256), determinasi teknologi ini merupakan suatu bentuk penyederhanaan proses perubahan dalam media. Sebagai penambahan pengetahuan dan kemampuan untuk membangun peralatan, hal ini harus mendukung iklim ekonomi, motivasi estetik, dan kepentingan konsumsi agar teknologi jadi lebih bermakna. Secara jelas, Butler mengacu pada pengaruh dua elemen televisi yaitu, gaya visual dan audio.

Program televisi merupakan program visual yang digabungkan dengan unsur suara. Menurut Butler tujuan adanya elemen audio di televisi adalah : (1). Memperoleh perhatian dari penonton;(2). Memanipulasi pemahaman penonton terhadap gambar; (3). Memelihara aliran televisual;dan (4).memelihara kontinyuitas ruang dan waktu pada masing-masing scene.


(47)

commit to user

31 Sementara itu Raymond Williams (2007:180-181) dalam bukunya Televisi, cenderung menolak pemahaman televisi sebagai hasil determinasi teknologi dengan alasan bahwa determinasi teknologi merupakan suatu posisi yang tak bisa dipertahankan karena pandangan tersebut menggantikan maksud sosial, politik dan ekonomi yang riil dengan otonomi penemuan yang bersifat acak. Pendapat ini diilhami oleh pemahaman bahwa proses penemuan televisi didasari oleh maksud-maksud yang bersifat militer, administratis dan komersial, dengan masing-masing maksud yang bersifat ilmiah selama beberapa periode tertentu dan dalam acara-acara tertentu pula. Pada tahap transisi dari penemuan menjadi teknologi, proses pengembangannya didominasi oleh maksud-maksud komersial, dan diwarnai dengan sejumlah kepentingan riil politik dan militer. Dengan kata lain, Williams menunjukkan bahwa bukan teknologi yang mempengaruhi kehidupan sosial, politik dan ekonomi, akan tetapi maksud-maksud sosial, politik, dan ekonomi justru yang memacu penemuan teknologi. Di sisi lain, Gading Sianipar (2005:306-307) memandang peran teknologi komunikasi sangat besar dalam membentuk dunia imajinasi yang melahirkan realitas semu (virtual reality). Imajinasi telah melampaui konsep yang selama ini diterapkan padanya sekedar pada mereproduksi gambar.Disadari atau tidak, dunia imajinasi telah membentuk dan mempengaruhi realitas di dunia manusia, bukan secara perseorangan namun juga secara komunal dan global. Semakin


(48)

commit to user

32 tidak bisa dipungkiri bahwa aturan, nilai dan cita rasa yang ditawarkan dunia imajinasi menjadi “hukum”yang ditaati oleh dunia konkret manusia. Namun di sisi lain, harus disadari juga bahwa yang ditawarkan media dan kemudian mendapat sambutan pemirsa (masyarakat) hanya akan terjadi bila ada kebutuhan besar dari masyarakat. Dalam hal ini, media menjadi cermin dari sebuah realitas terselubung yang hidup di tengah-tengah masyarakat .

Hal senada juga disampaikan oleh Hikmat Budiman (2002:56), bahwa adanya kebutuhan dalam masyarakat membuat media massa mencoba-coba untuk menebak-nebak apa yang diinginkan rakyat banyak dan apa yang mereka terima. Media massa dalam hal ini bukan hanya menyebarkan pesan dan informasi, tapi juga hiburan dan gaya hidup serta konsumsi masyarakat industri maju.

Pada era masyarakat informasi yang hampir pasti semua masyarakat dunia menuju ke sana dan ketergantungan masyarakat terhadap teknologi semakin besar, maka televisi pada akhirnya juga harus bersaing dengan industri media lain seperti internet yang kemudian memaksa pengelola industri media televisi menggabungkan teknologi yang mereka miliki dalam sistem media virtual berbasis 3.0 dimana kita bisa menikmati isi media-media konvensional dalam suatu media baru.


(49)

commit to user

33 h. Peran dan Fungsi Media Massa

Media massa secara umum dan telvisi secara khusus memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat. Menurut Denis McQuail dalam Littlejohn and Foss (2009: 407), media massa mempunyai peran antara lain sebagai : (1). Jendela (window), yang memungkinkan kita mlihat lingkungan kita lebih jauh;(2). Cermin (mirror) dimana isi media merupakan pantulan dari peristiwa yang ada dalam masyarakat dan dunia. Realitas dalam media sama dengan realitas dalam masyarakat ;(3) Penyaring ( filter ) dimana media massa mempunyai peran dalam membagi pengalaman dan fokus pada orang lain;(4). Penterjemah (interpreter), dimana media membantu kita memahami pengalaman ;(5) Landasan ( platform) dimana media sebagai pembawa yang menyampaikan informasi.;(6). Penanda (signpost) yang memberi kita intruksi atau petunjuk (7) Komunikasi interaktif

(interactive communication) yang meliput opini audiens; dan (8).

Penghalang ( barrier), dimana media massa menutupi realitas sebenarnya.

Peran yang dilakukan oleh media massa tidak lepas dari fungsi yang diembannya. Menurut Joseph R. Dominick dalam Elvinaro Ardianto dkk (2009: 14-17), fungsi media massa antara lain : (1). Pengawasan (surveillance) dimana media massa memberikan peringatan (warning

surveillance) tentang ancaman terhadap masyarakat dan memberikan


(50)

commit to user

34 (interpretation), dimana media tidak hanya memberikan data dan fakta, tapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting;(3). Pertalian (linkage), dimana media mempunyai fungsi mempersatukan masyarakat yang beragam sehingga membentuk ikatan berdasarkan kepentingan terhadap sesuatu; (4). Penyebaran nilai (transmission of value) dimana media massa berfungsi untuk menyebarkan nilai-nilai tertentu pada masyarakat. Nilai yang disosialisasikan tidak selalu positif sehingga terkadang justru terjadi disfungsi sosial (5). Hiburan (entertainment), dimana media massa terutama televisi menjalankan fungsi hiburan.

Sedangkan Onong Utjana Effendy membagi fungsi media massa menjadi tiga, yaitu : (1). Fungsi informasi, dimana media massa mempunyai fungsi untuk menyebarkan informasi bagi pembaca, pendengar dan pemirsa;(2). Fungsi pendidikan, dimana media massa merupakan sarana pendidikan bagi masyarakat; dan (3). Fungsi mempengaruhi, dimana media massa melalui editorial, features,artikel, maupun iklan dapat mempengaruhi masyarakat baik secara kognitif, afektif, dan behavioral.

Sedangkan Darwanto (2007:33-34) menyimpulkan fungsi televisi dari beberapa ahli antara lain sebagai media berita dan penerangan, media pendidikan, media hiburan, dan media promosi. Menurut Darwanto, diantara fungsi-fungsi tersebut terjadi persinggungan dalam media,


(51)

commit to user

35 terutama televisi, sehingga dalam satu acara dimungkinkan tercakup tiga fungsi di atas.

Namun demikian, yang cukup meresahkan adalah menonjolnya fungsi hiburan diantara fungsi-fungsi lain di televisi. Menurut Peter Marber (2002:141) hiburan (entertainment) saat ini sudah menjadi kebutuhan yang penting dan kehadirannya di media sudah sangat krusial dan mengganggu peran-peran lain dari media massa. Marber menunjuk perkembangan industri telah mempengaruhi percepatan perubahan identitas personal yang besar dan membahayakan terkait dengan kebebasan, kepentingan dan peluang individu. Dalam hal ini, teknologi justru menciptakan masalah dengan akses media secara massal dan menempatkan hiburan sebagai bagian penting dalam individu.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang lebih banyak menggunakan media massa untuk mencari hiburan dibandingkan seperti penelitian Philip Kottak di Brasil dan PSW Unibraw di Surabaya dalam Zulham (2004:34) menunjukkan bahwa mayoritas penonton lebih suka memanfaatkan televisi untuk kepentingan hiburan daripada kepentingan-kepentingan lain. Penelitian Kottak tentang acara televisi favorit pada enam suku yang mencakup 1972 responden di Brasil menunjukkan bahwa 57% responden lebih menyukai hiburan seperti telenovela, film seri atau film lepas, dan komedi (humor) dibandingkan acara lain. Sedangkan penelitian Pusat


(52)

commit to user

36 Studi Wanita Unibraw menunjukkan bahwa masyarakat Surabaya lebih menyukai acara hiburan daripada informasi atau berita.

Fenomena di masyarakat seperti ini tentu akan ditangkap oleh media untuk kepentingan produksi serta kepentingan bisnis hingga akhirnya televisi cenderung dipenuhi oleh acara-acara hiburan dan meminggirkan peran dan fungsi-fungsi lain dari media massa.

i. Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia: TVRI, Dikotomi Televisi Publik dan Media Komersial

Clive Barnett (2003:164) mendefinisikan lembaga penyiaran publik sebagai barang milik publik yang memberikan pelayanan terhadap budaya, mempunyai tujuan-tujuan sosial dan demokratis yang dengan memelihara sistem penyiaran publik nasional dan melawan desakan aturan-aturan kompetisi. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa lembaga penyiaran publik seharusnya punya kecenderungan untuk pelayanan terhadap budaya, kepentingan sosial dan demokrasi serta menghindari komersialitas. Menurut Eric Barendt dalam Mufid (2005:79), media penyiaran publik (public service broadcasting) merupakan media yang tersedia (available) secara general geografis, memiliki kepedulian terhadap identitas dan kultur nasional, bersifat independen baik dari kepentingan kegara maupun kepentingan komersial, memiliki imparsialitas program, memiliki ragam varietas program, dan pembiayaannya dibebankan kepada pengguna.


(53)

commit to user

37 Independensi lembaga penyiaran publik menunjuk pada kekuasaan masyarakat dan bebas dari kekuasaan negara dan pasar.

Jika menilik regulasi penyiaran di Indonesia, lembaga penyiaran publik diamanatkan sebagai lembaga yang independen yang bebas dari campur tangan pemrintah, bersifat public service dan tidak komersial. Ini nampak dari definisi lembaga penyiaran publik di UU No 2 tahun 32 tentang Penyiaran, lembaga penyiaran publik merupakan lembaga penyiaran independen berbadan hukum yang didirikan pemerintah yang sifatnya netral, tidak komersial dan mempunyai fungsi memberikan pelayanan publik.

Namun demikian, sejak keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2002 tentang pengalihan status TVRI dari perusahaan jawatan (Perjan) menjadi perseroan terbatas (PT) , posisi TVRI sebagai media publik dalam dilema besar antara sebagai media publik dan komersial. Dalam pandangan Agus Sudibyo (2005:317), status perseroan terbatas akan meninbulkan banyak konsekuensi yang bertentangan prinsip-prinsip lembaga penyiaran publik.TVRI mau tak mau akan berorientasi pasar, dengan konsekuensi harus menonjolkan tayangan-tayangan yang dapat menghasilkan rating tinggi, menarik iklan sebanyak-banyaknya, serta menghasilkan akumulasi modal secepat mungkin.

Sejalan dengan pandangan di atas, Lukmantoro (www.suaramerdeka.com) melihat kondisi ini akan menambah beban


(54)

commit to user

38 TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang disatu sisi mendapat lindungan negara untuk melayani kepentingan masyarakat, dan disisi lain harus berorientasi meraih keuntungan secara maksimal. Fenomena tersebut menyerupai proses yang disampaikan Habermas dalam Mufid (2005:80) bahwa media pada awalnya dibentuk menjadi bagian dari public sphere, tapi kemudian dikomersialkan menjadi komoditas (commodified) melalui distribusi secara massal dan menjual khalayak massa ke perusahaan periklanan, sehingga media menjauh dari peran ruang publik.

Amanat UU Penyiaran No 32 tahun 32 yang kemudian juga mengubah status TVRI menjadi lembaga penyiaran publik masih menyisakan dilema dalam pasal-pasalnya bahwa LPP boleh memasukkan iklan dalam program acara.

Dedy N.Hidayat (2003:2) menilai bahwa seluruh transformasi yang berlangsung pada sektor media di Indonesia hakekatnya merupakan peralihan dari state regulation menuju market regulation, dimana operasi industri media tidak banyak diintervensi negara, tapi lebih pada mekanisme pasar. Mekanisme pasar ini tentu akan membuat TVRI harus menyesuaikan faktor-faktor produksi untuk bisa bersaing dengan televisi swasta lokal untuk memperebutkan audiens maupun iklan yang masuk.

Kondisi ini membuat media lebih banyak mempertimbangkan faktur komersial daripada bersifat kultural. Menurut Sunarto (2009:118),


(55)

commit to user

39 stasiun televisi pada praktiknya lebih sering menonjolkan dirinya sebagai institusi industri padat modal daripada institusi kultural padat moral..Tarik menarik antara kepentingan modal dan moral akhirnya dimenangkan kepentingan modal.

Fenomena ini hampir sama dengan yang terjadi dengan yang terjadi di Amerika pada awal abad 20 dimana lembaga penyiaran mulai diserbu oleh iklan komersial. Selain itu juga banyak digunakan untuk kepentingan politik anggota kongres (Barsamian,2002:16-62).

Di Amerika, lembaga penyiaran publik (Broadcasting Public Service) dibiayai oleh sebuah lembaga non profit yang didirikan tahun 1967 oleh kongres untuk mengembangkan lembaga penyiaran Publik (radio dan televisi) melalui mekanisme khusus. Lembaga ini membiayai 15 % dari kebutuhan seluruh lembaga penyiaran publik yang ada, sisanya merupakan dukungan dari keanggotaan, sekolah-sekolah, universitas-universitas, dunia bisnis, pemerintah federal dan pemerintah lokal (US GAO,2004:74).

Menurut Paulus Widiyanto dalam Amir Effendi Siregar (www.mediaindonesia.com), untuk menghindari komersialisasi televisi publik, TVRI harus dibiayai oleh masyarakat melalui iuran. Iuran ini adalah bentuk democratic financing. Lembaga penyiaran publik harus hidup dari publik, hidupnya tidak tergantung pada iklan dan atau kapital seperti televisi swasta.


(56)

commit to user

40 Untuk memuluskan fungsi public service, Ashadi Siregar dalam Mufid (2005:81-82) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kehadiran media penyiaran publik di Indonesia, antara lain : pertama, telekomunikasi sebagai basis material. Keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang dikuasai negara. Regulasi penyiaran harus menjamin pengelolaan spektrum gelombang tersebut dalam bingkai penguatan publik. Kedua, Orientasi fungsi publik sebagai basis kultural. Basis kultural dari keberadaan media penyiaran publik sebagai institusi publik ditentukan oleh nilai bersama (shared value) yang menjadi dasar keberadaannya.. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan negara, serta konsensus yang tumbuh di lingkungan masyarakat tentang orientasi dan fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik. Nilai bersama ini diharapkan dapat dirumuskan oleh kaum profesional penyiaran publik sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional kelembagaan. Ketiga, Sistem jaringan publik. Sistem penyiaran publik pada dasarnya merupakan ranah jaringan penyiaran dan stasiun penyiaran. Masing-masing ranah dapat memiliki pola orientasi fungsional yang spesifik, serta pola hubungan institusional satu sama lain. Rumusan kedua macam pola ini diperlukan sebagai dasar


(57)

commit to user

41 sistemik kelembagaan penyiaran publik. Keberadaan media penyiaran publik juga oleh dukungan sosial dan finansial. Secara kongkret dukungan ini diwujudkan melalui adanya stakeholder yang berfungsi untuk mendorong dan mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran publik dan memberi dukungan sistem finansial beroperasinya penyiaran publik. Keempat, code of conduct profesi dan institusi.

Code of conduct dimaksudkan untuk memelihara standar profesi. Ini

mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari seluruh standar tindakan dan nilai hasil kerja kaum profesional, bertolak dari sikap terhadap masyarakat. Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks makna sosial dari media penyiaran publik. Sebagai acuan standar tindakan profesional dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna sosial dari media massa, dan internal sebagai dasar dalam penilaian profesional sebagai bagian dari sistem manajemen personalia. Kelima, Sistem kontrol fungsi publik.Untuk menjaga agar institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stakeholder khususnya dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter akuntabilitas akuntansi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk menjaga orientasi fungsional kepada publik.Jika pertanggungjawaban akuntansi melalui lembaga audit, akuntabilitas sosial perlu dipertanggungjawabkan kepada stakeholder


(58)

commit to user

42 dan lembaga yang relevan. Lewat akuntabilitas sosial ini, kontrol atas fungsi publik yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik dapat berjalan.

Mengacu konsep Bardoel (2003:87) tentang tanggungjawab media

(media accountability), ada 4 tanggungjawab media yaitu tanggung

jawab politik (political accountability), tanggungjawab terhadap pasar

(market accountability), tanggungjawab pada public (public

accountability) dan tanggungjawab professional (professional

accountability). Media penyiaran publik seharusnya lebih

menekankan tanggungjawabnya pada publik (masyarakat).Indikator dari hal tersebut adalah mengacu pada keterbukaan pada masyarakat luas dari opini public secara umum, berbagai macam kelompok penekan, dan mengawasi kepentingan satu kelompok dengan kelompok yang lain.Informasi bukan sebuah komoditas tapi benda sosial yang beragam, akurat dan berkualitas tinggi.

Media penyiaran publik yang berorientasi sosial pada masyarakat dan mencapai kohesi sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini para produser juga harus independen dari kekuasaan negara maupun pasar untuk menghindari sebuah kekuasaan yang tidak bertanggungjawab. Media penyiaran publik menurut Bardoel merupakan sebuah pilar penyangga dari gerakan sosial bukan untuk kepentingan pemerintah ataupun kepentingan pasar yang bersifat komersil. Oleh karena itu, menurut Bardoel & d’Haenens (2008:348) seharusnya media penyiaran public secara ideal melakukan regulasi sendiri dengan memperhatikan suara publik.


(1)

commit to user

149 budaya asli yang menjadi simbol dari tayangan ini. Mengacu pada konsepnya Paul Wilis dalam Barker (2008:305), dalam permainan kreatif termasuk di televisi, makna dihasilkan, diubah dan diatur pada level konsumsi oleh orang-orang yang merupakan produsen aktif makna perusahaan media kapitalis. Komodifikasi isi terjadi melalui proses penyesuaian dan penambahan materi acara Pangkur Jenggleng yang dulunya berformat audio menjadi format audiovisual.Siaran audio mengandalkan imajinasi para pendengarnya sedangkan televisi sebagai media audiovisual selain ada unsur audio juga memasukkan tayangan visual. Proses penyesuaian dan penambahan isi tayangan untuk menampung keinginan masyarakat telah memperluas audiens acara tersebut dan sekaligus mengarahkannya menjadi budaya massa. Budaya massa ini menurut Burton (2008:9) selain cenderung meninggalkan budaya asli (budaya rakyat) juga didorong oleh motif untuk meraih laba. Komodifikasi isi ini terjadi melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi. Penyesuaian dan penambahan isi tayangan baru bisa dinilai dan dikomersialkan ketika acara tersebut sudah melalui proses produksi, dan didistribusikan kepada pemirsa sehingga bisa dikonsumsi. Saat itulah sponsor dan iklan bisa masuk.

Orientasi kapitalisme media ternyata juga membawa pada pertukaran nilai pada barang atau jasa, tapi juga nilai politik. Dalam hal ini orientasi sponsor menukar uangnya dengan kesadaran, pencitraan dan bahkan dukungan terhadap eksistensi perseorangan ataupun partai tertentu. Hal ini menjadi


(2)

commit to user

150 konsekuensi bagi prinsip kapitalis dimana mereka memaksimalkan keuntungan dengan memenuhi selera para pengiklan atau sponsor.

Namun hal ini menjadi masalah besar pada media penyiaran publik (public service broadcasting).TVRI yang diberikan amanah sebagai media penyiaran publik oleh Undang-Undang No 32 Tahun 2002 ternyata mempunyai kecenderungan untuk tunduk pada kepentingan pasar (kapitalis) dan juga kekuasaan politik. Hal ini terjadi karena persoalan anggaran yang hampir terjadi di semua media penyiaran publik (public service broadcasting) di dunia. Berdasarkan teori tanggungjawab media (media accountability) dari Johannes Bardoel, apa yang dilakukan TVRI adalah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat saat ini yang cenderung larut dalam budaya massa namun juga memberikan kepuasan pada sponsor dan iklan. Pada akhirnya dalam konteks budaya, hal ini cenderung negatif dengan menggeser budaya tradisional. Media publik yang seharusnya hanya bertanggungjawab pada kepentingan publik ( public accountability), pada akhirnya juga harus memberikan tanggung jawab pada pasar (market accountability) dan politik (political accountability)

Namun demikian, ketidakpatuhan aparat atau aktor-aktor yang menjadi agen kapitalis yang cenderung menentang sistem tersebut melakukan berdasarkan pilihan rasional untuk memaksimalkan hasil (keuntungan). Merujuk pada teori pilihan rasional (rational choice theory) dari Neuman, aktor melakukan suatu tindakan berdasarkan preferensi yang paling menguntungkan. Tindakan seorang aktor dalam hal ini akan mempengaruhi tindakan aktor yang lain.


(3)

commit to user

151 Individu cenderung bertindak untuk kepentingan ekonomi dan mengabaikan tekanan dari sistem dalam membentuk tindakan.

Dengan demikian, ideologi kapitalis dalam hal ini telah merasuk dalam media penyiaran publik yang notabene merupakan salah satu lembaga milik pemerintah. Ideologi tersebut masuk melalui aturan perundang-undangan yang diatur melalui peraturan pemerintah dan kemudian dilaksanakan di tingkat organisasi.


(4)

commit to user

152

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan temuan, interpretasi,analisis terhadap teks tayangan Pangkur Jenggleng di LPP TVRI Stasiun Yogyakarta, penulis mengambil beberapa kesimpulan berikut :

1. Terjadi komodifikasi budaya dalam Tayangan Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta

2. Bentuk Komodifikasi dalam acara Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta adalah komodifikasi isi

3. Komodifikasi isi terjadi melalui proses penyesuaian isi tayangan dan perubahan genre acara seni budaya menjadi acara komedi berbasis budaya Jawa melalui produksi, distribusi dan konsumsi. Komedi merupakan bagian budaya massa yang banyak diproduksi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan

4. Ideologi dibalik proses komodifikasi adalah ideologi kapitalis yang bekerja untuk kepentingan akumulasi modal

5. Kekuasaan dibalik komodifikasi adalah kekuasaan pasar. Kuasa pasar yang beroperasi dalam tayangan Pangkur Jenggleng juga berimplikasi pada keterlibatan kekuasaan politik dengan relasi yang dibangun TVRI dengan Pusat Informasi Amien Rais (PIAR)


(5)

commit to user

153 6. Ideologi kapitalis masuk dalam TVRI yang notabene merupakan lembaga pemerintah melalui kelemahan regulasi yang dimanfaatkan oleh aparat organisasi penyiaran untuk memperoleh akumulasi modal.

B. Implikasi

B.1.Implikasi Teoretis

Hasil penelitian ini mempunyai implikasi teoretis terhadap kajian teori komodifikasi dan ekonomi politik media secara umum. Komodifikasi di media penyiaran publik menunjukkan bahwa program siaran di TV publik tidak hanya berorientasi pada kepentingan masyarakat tapi juga untuk kepentingan pasar .

Berdasarkan kajian terhadap obyek, penelitian ini menggambarkan bentuk-bentuk, proses, ideology, kekuasaan dibalik komodifikasi budaya pada program acara yang ditayangkan di lembaga penyiaran publik. Keterbatasan peneliti penguasaan budaya tradisional karawitan dan dan data internal media membuat penelitian ini belum sempurna sehingga perlu ada penelitian lebih lanjut untuk melengkapi studi komodifikasi budaya di lembaga penyiaran publik yang cenderung birokratif. Penelitian ini diharapkan memberi inspirasi untuk penelitian-penelitian lanjutan tentang komodifikasi di lembaga penyiaran publik terutama di TVRI.

B.2.Implikasi Praktis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TVRI Yogyakarta sebagai lembaga penyiaran publik belum menjadi media non komersil yang independen dan


(6)

commit to user

154 netral. Masyarakat seharusnya memandang TVRI belum sepenuhnya menjadi lembaga penyiaran publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, sehingga perlu adanya upaya penguatan berbagai aspek seperti perundang-undangan maupun kebijakan internal organisasi untuk membawa TVRI sepenuhnya beroperasi di jalur publik.

C. Saran

Saran-saran yang ingin penulis sampaikan antara lain :

1. Perlu ada ratifikasi terhadap UU Penyiaran khususnya yang mengatur sumber pendanaan lembaga penyiaran publik dan peraturan pemerintah untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya komodifikasi tayangan di TV Publik.

2. Perlu adanya kontrol yang kuat baik secara internal TVRI dan masyarakat terhadap program-program TVRI dalam rangka menciptakan acara-acara yang edukatif, hiburan yang sehat serta melestarikan budaya.

3. Budaya tradisional harus ditampilkan secara proporsional agar eksistensinya tidak tergeser dan bahkan tergusur dalam arus budaya global dimana media cenderung memproduksi budaya massa dan menggeser nilai-nilai tradisional

4. Perlu adanya upaya pemerintah dan keterlibatan lembaga-lembaga non pemerintah yang netral untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat baik instansi, maupun individu untuk memberi dukungan finansial terhadap lembaga penyiaran publik guna meminimalisir upaya komodifikasi yang tidak sehat dan intervensi politik.