Pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum pidana islam dan undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh :

Maman Abdul Rahman

108043200013

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv ABSTRAK

MAMAN ABDUL RAHMAN : 108043200013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK , Skripsi. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. 1 x 82 halaman + 75 Lampiran

Masalah pidana anak yang bermula dari kenakalan anak dewasa ini merupakan persoalan yang aktual, hampir disemua negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Pidana anak diklasifikasikan sebagai perbuatan kejahatan yang dianggap sebagai kenakalan anak (juvenile delinquency). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dilakukan seseorang yang termasuk dalam kategori anak menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

Penelitian ini merupakan kajian literatur dengan pendekatan normatif yang dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka (library research), yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak dan elektronik atau bahan bacaan lain yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana anak. Dalam pada ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam Hukum Islam pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada anak yang telah baligh, adapun ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan oleh ulil amri sebagai bentuk pendidikan, pengajaran dan perbaikan diri yang disesuaikan dengan kondisi psikologi anak.

Berdasarkan pendekatan yang dilakukan diatas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidana anak menurut UU No. 11 Tahun 2012 dengan hukum Islam sama-sama menitik beratkan kepada pengurangan hukuman kepada anak dan hukuman yang diberikan sifatnya adalah mendidik. Sedangkan perbedaannya terletak pada ketentuan kategorisasi anak dan hukuman yang dijatuhkan.

Kata kunci : pertanggungjawaban pidana, pidana anak, peradilan anak. Pembimbing : Dr. Asmawi, M.Ag


(6)

v

ِميِحَرلا ِنَـَْْرلا ِهّللا ِمْسِب

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.

Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK “ disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum dan Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi

3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu memberikan arahan, saran, dan motivasi selama penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik.

5. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis mendapatkan referensi dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam mengadakan studi perpustakaan.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan berbagai wawasan ilmu pengetahuan dari awal hingga akhir masa studi ini.

7. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta ayahanda H. Kamaludin dan ibunda Nyai Rusmiati yang rela memberikan segala pengorbanannya baik harta maupun jiwa demi membesarkan penulis agar dapat tumbuh bahagia, serta saudara-saudariku tersayang kakanda Daden Ahmad Ridwan, Dasep Ahmad Rukbi, S.Pd.I, Jamaludin, Cucu Syamsul Romli, adinda Empay Ja’far Sidik, S.Kom, Anwar Fauzi, Ahmad Hasan Sajili, Hilyatul Millah, dan Ari Asy’ari yang selalu memberikan doa dan semangat untuk penulis. 8. Pendiri sekaligus Pengasuh PP Daar El-Hikam Ciputat Abi K.H. Bahrudin,

S.Ag dan Umi Tuti Rosmaya, A.Md. yang telah memberikan ilmu dan keberkahannya kepada Penulis, serta keluarga Besar ISDAH (Ikatan Santri


(8)

vii

9. Teman-Teman kelas Perbandingan Hukum Tahun 2008, Rizki Syafa’at Nur Rahim, S.Sy., Imron Rosyadi, S.Sy., Robbi Chahyadi S.Sy., Muhammad Syafe’i, S.Sy., Fandi Ahmad, S.Sy, Septianto Purnomo Akhsan, S.Sy., H. Imam Taufik, S.Sy., Rian Badruzzaman, S.Sy., Hayyu Arrafika, Rudi Haryanto, Sigit Budiyono, Nawa-ul Hurriyah dan Gesa Romadhona Aulia serta kawan-kawan PMH angkatan 2008 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih kawan untuk masa-masa yang menyenangkan di kampus.

Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan berfikir bagi setiap orang yang membaca.

Bogor, 10 Nopember 2014 Penulis


(9)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... PERSETUJUAN PEMBIMBING ... PENGESAHAN TIM PENGUJI ...

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu ... 12

E. Metode Penelitian ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF A. Pengertian Anak dan Batasannya ... 19

B. Anak Menurut Perspektif Psikologi ... 23

C. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum positif ... 27

D. Kesalahan ... 28

E. Kemampuan Bertanggungjawab ... 30

F. Alasan Penghapusan Pidana ... 32


(10)

ix

BAB III : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Anak Menurut Hukum Islam ... 37

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam ... 46

C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ... 50

1. Disebabkan Perbuatan Mubah (Asbâb al-Ibâhah) ... 50

2. Disebabkan Hapusnya Hukuman (Asbâb Raf’i al-‘Uqâbah) 53 BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Segi Hukum Pidana Nasional Tentang Anak Sebagai Pelaku Kejahatan... 59

B. Ketentuan Batas Umur Anak ... 61

C. Jenis Pidana Anak ... 67

D. Penjatuhan Pidana dan Tindakan ... 68

E. Sanksi Pidana Bagi Anak ... 71

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ajaran agama menyatakan setiap anak terlahir kedunia dalam fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang anak, menjadi baik ataukah sebaliknya, jahat. Anak nakal itu merupakan anak yang wajar-wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tua menghendaki kenakalan anaknya berlebihan hingga menjurus ke tindak pidana. Pada kenyataannya banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak. Jika ditelusuri, seringkali anak yang melakukan tindak pidana adalah anak bermasalah yang hidup ditengah keluarga atau pergaulan sosial yang tidak sehat.1

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.2

Keberadaan anak yang ada dilingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangannya kearah dewasa, kadang-kadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas

1

Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia,( Bandung : Mandar Maju, 2005), h. 1

2

Jufri Bulian Ababil, Raju Yang Diburu Buruknya Peradilan Anak Di Indonesia,


(12)

kontrol, ia melakukan perbuatan yang tidak baik sehingga dapat merugikan orang lain atau merugikan diri sendiri.

Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertubuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Sudah banyak terjadi karena lepas kendali, kenakalan anak sudah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan kejahatan harus berhadapan dengan dengan aparat hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.3

Pada akhir abad ke-19 keprihatinan mulai melanda negara-negara Eropa dan Amerika, kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda jumlahnya meningkat. Dalam menghadapi fenomena tersebut, ketika itu perlakuan terhadap perilaku kriminal disamakan terhadap anak maupun orang dewasa, sehingga diberbagai negara dilakukan usaha-usaha ke arah perlindungan anak. Termasuk dalam upaya ini yaitu dengan dibentuknya pengadilan anak (Juvenile Court) pertama di Minos, Amerika Serikat tahun 1889, dimana undang-undangnya didasarkan pada azas parent patrie, yang

berarti ”penguasa harus bertindak apabila anak-anak yang membutuhkan

pertolongan”, sedangkan anak dan pemuda yang melakukan kejahatan

sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan. Demikian pula halnya di Inggris, disini dikenal dengan apa yang dikatakan hak preogratif Raja sebagai Parens patriae (untuk melindungi

3


(13)

3

rakyat dan anak-anak yang membutuhkan bantuannya). Dengan demikian, dalam sejarah ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak senatiasa ditujukan guna menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bahkan cenderung membahayakan bagi anak, eksploitasi terhadap anak dan kriminalisasi terhadap anak.4

Lalu bagaimana halnya di Indonesia sendiri, kurang lebih sejak tahun 1954 di Indonesia terutama di Jakarta, sebagai ibukota negara, sudah terbentuk hakim khusus yang mengadili anak-anak dengan dibantu oleh pegawai prayuwana, tetapi penahanan pada umumnya masih disatukan dengan orang-orang dewasa. Tahun 1957 perhatian pemerintah terhadap kenakalan remaja semakin membaik, terbukti dengan dikirimnya beberapa ahli dari berbagai departemen ke luar negeri untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut

junevile delinquency, terutama sejak penyelidikannya sampai cara penyelesaianya di muka pengadilan. Adapun departemen yang dimaksud adalah kejaksaan, kepolisian dan kehakiman. Sekembalinya dari luar negeri, maka dibentuklah agrement secara lisan antara ketiga instansi diatas untuk mengadakan perlakuan khusus bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana.

Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha penting dalam rangka menciptakan tata tertib ketentraman dalam masyarakat, baik yang bersifat preventif maupun represif, setelah terjadinya pelanggaran hukum. Oleh karena itu sangat diperlukan

4


(14)

adanya kesatuan gerak, langkah dan pandangan dalam rangka penegakan hukum sehingga dicapai sasaran semaksimal mungkin.

Pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berupa terganggunya rasa keadilan yang dirasakan sedemikian rupa mendalam, maka reaksi yang ditekankan adalah berupa reaksi yang ditentukan oleh pemegang kedaulatan hukum yaitu penguasa atau negara.

Pengadilan adalah tiang teratas dan landasan negara hukum. Peraturan yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh/kuat dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada kaedah-kaedah hukum yang diletakkan dalam Undang-Undang dan peraturan lainnya. Peradilan juga merupakan instansi yang merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya menurut hukum.5

Berbicara tentang anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin bangsa pada masa mendatang. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sebagai sumber daya manusia bagi pembangunan nasional, dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta melihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

5

Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3S, 1983), h.143


(15)

5

Proses pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera lahir dan batin. Pada dasarnya kesejahteraan anak tidak sama, tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Seperti di negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan, pedidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan anak. 6

Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (LNRI Tahun 2002 Nomor 109; TLNRI Nomor 4235) (selanjutnya disingkat UU No. 23/2002) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. 7

Sebagai seorang anak yang berarti belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, padahal anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, dan anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak

6

Ibid.,h.145 7

Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(16)

mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Anak yang belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka dalam segala hal anak perlu mendapatkan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana Pasal 1 angka 15 UU No. 23/2002.8

Ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 23/2002 mengenai anak yang mendapatkan perlindungan khusus, yaitu anak yang berhadapan dengan hukum, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hukum yang dihadapi oleh anak tersebut, apakah hukum perdata atau hukum pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum dalam lingkup hukum pidana, anak tersebut disebut anak nakal atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan sebagaimana Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik

8


(17)

7

Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU No. 11/2012).

Anak meskipun nakal masih perlu mendapatkan perlindungan khusus yang tidak diberikan kepada pelaku tindak pidana orang dewasa. Terhadap

anak nakal menurut Pasal 69 UU No. 11/2012 “hanya dapat dijatuhkan pidana

atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”.

Kata “hanya dapat” menunjukkan bahwa setiap anak nakal, maka ada dua kemungkinan sanksi yang dijatuhkan yaitu sanksi pidana penjara atau berupa tindakan. Pidana pada umumnya dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana pokok di antaranya pidana mati; pidana penjara; pidana kurungan; pidana denda; pidana tutupan. Pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu; perampasan barang-barang tertentu; pengumuman putusan hakim.

Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal menurut pasal 82 UU No. 11 Tahun 2012 ialah a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.9

Dalam perspektif Islam, pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak perbuatan)

9


(18)

yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Dengan dasar ini, maka sebuah pertanggungjawaban pidana berlaku atas tiga hal yakni (1) adanya perbuatan yang dilarang; (2) dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan (3) pelaku mengetahui akibat perbuatan tersebut. Ketiga hal di atas merupakan ratio logis bagi berlakunya sebuah pertanggungjawaban pidana.10

Dengan demikian, bagi orang-orang dewasa yang berakal dan berkemauan sendiri berlaku pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi komunitas anak-anak, orang gila, dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang yang berada dalam kapasitas terpaksa ataupun di paksa. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan jelas melalui sabda Rasullulah SAW, yang menyatakan,:

َ ع

َ نَ

َ عَ

ئا

َ ش

َ ةَ

َ رَ ض

َ يَ

َهلا

ََ ع

َ َ ه

َ قَا

َ لا

َ ت

َ

َ قَ:

َ لا

ََ ر

َهسَ

و

َهلَ

َ لا

َ

َ صَ

ل

َهلاَى

ََ ع

َ لَ يَ

ََ و

َ سَ ل

َ مَ

َهرَ ف

َ عَ

َ لاَ ق

َ لَهم

ََ ع

َ نَ

َ ث

َ ل

َ ث

ََ ع

َ نَ

َ لا

َ ئا

َ مَ

َ حَ ت

َ يَى

َ سَ ت

َ يَ ق

َ ظ

ََ و

َ ع

َ نَ

َ صلا

َ ب

َ يَ

َ حَ ت

َ يَى

َ حَ ت

َ لَ م

ََ و

َ ع

َ نَ

َ لا

َ م

َ جَه

َ وَ ن

َ

َ حَ ت

ى

ََ يَ ع

َهق

َ ل

َ

َ

اور(

َ

وَيراخبلا

َ

يذمرتلا

َ

يئاس لاو

)

11

َ

Artinya :“Dari ‘Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh

dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, at-Tirmidzi, dan an-Nasai’)

Telah tegas dan menjadi konsensus di kalangan ulama bahwa anak-anak terbebas dari pertanggungjawaban pidanan. Hal ini di karenakan mereka dalam status tidak cakap untuk bertindak secara hukum, dalam istilah pidana

10

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.80 11

Muhammad ibn „Isya at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.), h.1339


(19)

9

Islam disebut sebagai laysa min ahli al-,uqubah ( bukan termasuk kelompok yang mendapatkan hukuman ).12

Namun demikan penting ditegaskan bahwa persoalan tentang statusnya dalam kapasitas sebagai anak-anak menimbulkan problematika tersendiri. Di antaranya adalah percepatan iklim dewasa semakin menjadi fenomena di kalangan anak-anak, terutama akibat pengaruh media komunikasi dan informasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kemudian membuat batasan yang meskipun terkesan sangan simplistik, namun pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai acuan dalam melihat tingkat perkembangan dan sikap yang di tampilkan oleh mereka yang berada dalam usia yang disebut anak-anak.

Dibahasnya mengenai anak nakal ini ada kaitannya dengan kasus kecelakaan maut pada tahun 2013 yang menewaskan 6 orang, dimana seorang anak yang bernama Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab disapa Dul putra dari seorang musisi ternama Ahmad Dhani mengendarai sebuah mobil sedan Lancer pada malam hari di Jalan Tol Jagorawi dengan kecepatan tinggi yang kemudian lepas kendali dan menabrak kendaraan lain yaitu Toyota Avanza dan Daihatsu Grand Max di KM 8 Tol Jagorawi, Dul diketahui saat itu berumur 13 tahun. Kecelakaan tersebut menyebabkan korban 5 orang tewas ditempat dan 1 orang tewas di rumah sakit.

12


(20)

Dari uraian permasalahan tersebut diatas, penyusun tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang :PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Dengan bertitik tolak dari latar belakang masalah dan pemilihan judul sebagaimana tersebut diatas, maka pembahasan selanjutnya bertumpu pada identifikasi masalah yaitu:

1. Bagaimana UU No. 11 Tahun 2012 memposisikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak?

2. Bagaimana Hukum Pidana Islam memposisikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak?

3. Bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap ketentuan batasan usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU No.11 Tahun 2012?

Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi masalah mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dan penulis memfokuskan pembahasan pada Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu:

- Pasal 20 yang mengatur tentang batas umur seorang anak yang melakukan tindak pidana dapat diajukan ke sidang pengadilan anak;


(21)

11

- Pasal 24 yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa;

- pasal 69 yang mengatur tentang penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak; dan

- pasal 71 mengenai sanksi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menjelaskan posisi anak yang melakukan tindak pidana menurut UU No.11 Tahun 2012.

2. Menjelaskan posisi anak yang melakukan tindak pidana menurut Hukum pidana Islam.

3. Menjelaskan pandangan Hukum Pidana Islam terhadap ketentuan batasan usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU No.11 Tahun 2012.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang pertanggungjawaban pidana anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Memberikan informasi tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seorang anak menurut Hukum Pidana Islam.


(22)

3. Memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari‟ah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu

Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan kajian yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Penulis lebih memfokuskan masalah yang terjadi tentang pertanggungjawaban pidana anak persfektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menurut hukum Islam .

Adapun review yang digunakan oleh penulis adalah karya ilmiah yang berkenaan dengan penelitian;

Pertama skripsi oleh Fahrul Rozi Tahun 2005 dengan judul “Sanksi Pidana Bagi Anak-Anak yang melakukan Tindak Pidana Ditinjau dari Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif”, Jurusan Pidana Islam, Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Dalam skripsi ini membahas tentang sanksi pidana bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana menurut hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Pengadilan Anak dan ditinjau dari persfektif Hukum Islam yaitu fiqh jinayah.

Kedua skripsi oleh Ibnu Abbas Tahun 2011 dengan judul “Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau dari Persfektif Hukum Islam”, Jurusan Perbandingan Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Dalam skripsi ini


(23)

13

membahas tentang membahas tentang batasan usia minimal cakap hukum bagi seorang anak dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan dalam pandangan Hukum Islam.

Sebuah tesis yang berjudul Pidana Anak dalam persfektif Undang-Undang Pengadilan Anak dan Hukum Islam karya Ahmad Gunaldi. Dalam tesis ini membahas tentang sanksi pidana bagi anak nakal yang melakukan tindak pidana menurut undang-undang pengadilan anak dan ditinjau dari hukum Islam.

Dalam buku Hukum Pidana Anak karya Wagianti Soetodjo. Buku ini menguraikan dengan lugas mulai dari gejala dan timbulnya kenakalan anak serta prosedur pemeriksaan serta batas pemidanaan anak hingga hak-hak anak atas perlindungan hokum. Buku ini juga menguraikan tentang hasil penelitian yang membahas tentang sebuah studi singkat di Lembaga Permasyarakatan (LP) Anak Tangerang.

Sebuah buku karya Moch. Faisal Salam yang berjudul Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Dalam buku ini dibahas tentang tata cara dan prosedur persidangan anak yang melakukan tindak pidana dari sisi hokum pidana positif di Indonesia dan bukan dari sisi Hukum Islam.

Dalam buku yang berjudul Hukum Acara Pengadilan Anak yang ditulis oleh Gatot Supranomo. Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan sistem peradilan anak yang ada di Indonesia serta perlindungan yang diberikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dari masa penangkapan sampai dengan waktu berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP).


(24)

Dalam bukunya Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah. Pada buku tersebut dibahas tentang teori-teori tentang hokum pidana islam dan asas-asas hokum pidana islam termasuk juga sanksi bagi orang yang melakukan tindak pidana dalam hokum Islam.

Demikian beberapa karya yang telah penyusun telaah dan masih ada lagi beberapa karya tulis baik buku-buku, jurnal maupun skripsi yang belum terjangkau dari pengamatan, terutama seputar pembahasan tentang pemidanaan anak dibawah umur dan dari sekian banyak studi terdahulu yang penulis paparkan diatas semuanya mengenai pidana anak, akan tetapi ada perbedaan dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, yakni penulis mencoba mencari suatu jawaban bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak ditinjau dari pandangan hokum pidana Islam dan hokum pidana positif Indonesia dalam hal ini UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

E. Metode Penelitian

Mengingat dalam karya ilmiah, metode merupakan strategi yang utama dan mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan diteliti.13 Untuk sampai pada rumusan yang tepat terhadap kajian yang dibahas maka untuk itu penulis menggunakan metode sebagai berikut:

13

Bambamg Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997), h. 27-28


(25)

15

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian data yang digunakan di sini adalah penelitian kualitatif, selanjutnya digunakan pembahasan analysis deskriptif. Kemudian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library reseach) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji data primer yang bersumber dari Al-Qur‟an, Hadits dan Peraturan Perundang-Undangan yang bertujuan untuk mengeksporasi dan memahami berbagai konsep yang berkaitan dengan tema penulis sehingga diperoleh data-data seluas mungkin dengan mengacu pada kepada teori yang sudah dijelaskan yang berkaitan dalam penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan studi literatur atau kepustakaan yaitu dengan cara mengkaji dan menelaah buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini baik berupa perundang-undangan maupun buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sumber data yang diperoleh untuk penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu data primer yaitu Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam hal ini peraturan hukum yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini. yakni Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadits. Selanjutnya data sekunder adalah data-data pendukung yang diperolah dari literatur-literatur atau dokumen-dokumen,


(26)

dan buku-buku, internet dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

3. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang diperoleh oleh penulis adalah menggunakan pengolahan data secara analisis kualitatif.14 Yakni pendekatan content analysis yang menekankan pengambilan dari kesimpulan analisa yang bersifat deskriptif dan deduktif. Metode analisa data dalam penelitian yang dilakukan penulis adalah kajian isi (content analysis). Analisa data adalah proses mengatur data.15 Seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan diteliti selanjutya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut. Analisis yang ingin dituangkan dalam penelitian ini adalah analisis dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dalil-dalil yang bersumber dari Hukum Islam. Setelah itu hasil penelitian dituangkan ke dalam tulisan untuk kemudian diklasifikasikan dan dianalisis, sehingga memperoleh kesimpulan tentang topik yang sedang dibahas. Adapun teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke-3, h. 11-13

15

Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2004), h. 6


(27)

17

F. Sistematika Penulisan

Sistematika merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu kebulatan dari masalah yang sedang diteliti. Dan untuk mempermudah dalam mempertimbangkan penulisan skripsi ini, saya membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu:

Pada Bab I merupakan bagian pendahuluan, pada pertama ini akan memberikan gambaran secara obyektif untuk dapat melanjutkan kemateri selanjutnya. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah yang menjadi dasar, dan menjelaskan tentang tujuan dan manfaat penelitian serta metode yang digunakan dalam penulisan ini serta sistematika penulisannya.

Pada Bab II adalah kajian teoritis yang berdasarkan tinjauan pustaka akan memaparkan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dari sisi pandangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi istilah dan pengertian serta unsur-unsurnya, teori-teori terhadap pidana dan pemidanaan, sistem perumusan sanksi pidana, setra pemidanaan terhadap anak.

Pada Bab III berisi tentang persfektif hukum Islam tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang meliputi dasar hukum pemidanaan anak yang melakukan tindak pidana atau


(28)

Pada Bab IV merupakan bab analisi perbandingan yang didalamnya terdapat persamaan dan perbedaan antara persfektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Hukum Islam baik dari segi pengertian dan sanksi yang diberikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Pada Bab V adalah Penutup, yaitu berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan itu sendiri adalah kesimpulan dari jawaban rumusan masalah. Dan saran merupakan masukan dari penulis terkait dengan ilmu pengetahuan khususnya dalam masalah hukum pidana. Terakhir penutup.


(29)

19 BAB II

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

A. Pengertian Anak dan Batasannya

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa

(meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPer) Pasal ini senada dengan Pasal 1 Angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun dan Pasal 283 yang memberi batasan 17 tahun.1

Dalam Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.2

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 1

1

Lihat KUHP 2


(30)

Tahun 1974, maka batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1979, maka anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.3

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, menurut pasal 1 angka 8 huruf a,b, dan c UU 12/1995 bahwa anak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi anak yang mempunyai masalah, menurut ketentuan

3


(31)

21

ini, anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin.

Hukum adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam hukum adat Indonesia, batasan umur untuk disebut anak bersifat Pluralistik, dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya: telah “kuat gawe”, “akil balig”,menek bajang”, dan sebagainya.4

Dilihat dari tingkatan usia, batasan seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dillihat pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara dunia tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai anak, seperti:

1. Amerika Serikat, terdapat 27 negara bagian yang memiliki batas umur maksimal 18 tahun, 6 negara bagian memiliki batas usia maksimal 17 tahun, dan Negara bagian lainnya batas usia maksimalnya 16 tahun, sedangkan batas usia minimum rata-rata 8 tahun.

2. Inggris, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 12 tahun.

3. Australia, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 8 tahun.

4. Belanda, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 12 tahun.

4

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2011), h. 7


(32)

5. Kamboja, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 12 tahun.

6. Srilangka, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 8 tahun.

7. Taiwan, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 14 tahun.

8. Jepang dan Korea, batas usia maksimalnya adalah 20 tahun dan batas usia minimum 14 tahun.

9. Iran, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 7 tahun.

10.Philipina, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 7 tahun.

11.Malaysia, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 7 tahun.

12.Singapura, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 7 tahun.5

Penentuan batas usia minimum dan maksimum itu diperlukan karena di Negara-negara tersebut dibedakan antara delinquent child (anak yang melakukan pelanggaran) dengan dependant. Alasan membedakan kedua istilah ini karena

5

Sri Widowati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 11.


(33)

23

delinquent child mengenal batas usia minimum, sedangkan neglected child (dependant) tidak mengenal minors. 6

Batasan usia juga dapat dilihat pada Dokumen-dokumen Internasional, seperti:

1. Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa seyogyanya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya, ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batas atas antara 16 – 18 tahun.

2. Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administrasion of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7 – 18 tahun.

3. Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun.7

B. Anak Menurut Perspektif Psikologi

Pengertian anak dalam persfektif lain penting untuk diketahui karena pada fase mana akan timbul kecenderungan kenakalan pada anak. Jika dilihat dari segi biologis, maka terdapat istilah bayi/balita, anak, remaja, pemuda, dan dewasa. Departemen Kesehatan menggolongkan anak menjadi 4 golongan, yaitu:

1. Usia 0 tahun sampai dengan 5 tahun disebut dengan usia bayi/balita; 2. Usia 5 tahun sampai dengan 10 tahun disebut dengan usia anak-anak;

6

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h. 57.

7

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2011), h. 9


(34)

3. Usia 10 tahun sampai dengan 20 tahun disebut dengan usia remaja (teenager atau juvenile);

4. Usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun disebut dengan usia menjelang dewasa.8

Secara khusus Psikologi anak dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) psikologi perkembangan anak tiga tahun tahun pertama (atitima), (2) anak psikologi perkembangan anak lima tahun pertama (alitima), dan (3) psikologi perkembangan anak tengah (6-12 tahun).9 Sedangkan Psikologi Perkembangan Remaja terbagi menjadi dua periode yaitu periode remaja awal (early childhood),

dan periode remaja akhir (Late Adolescent).10

Berbeda dengan perspektif hukum yang mendefinisikan anak sebagai individu berusia di bawah 18 tahun, dalam perspektif psikologi, anak adalah individu yang berusia antara 3 – 12 tahun. Diatas usia 12 tahun individu dianggap sudah memasuki usia remaja. Selain didasarkan oleh tanda-tanda perkembangan fisik, yang memang sangat membedakan anak dengan individu yang sudah memasuki masa remaja, perbedaan juga berdasarkan perkembangan kognisi dan moral individu.

8

Muhammad Thohir, Seminar Kesehatan Anak, (Rumah Sakit Islam Surabaya, 1993), h. 6

9

Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Anak Usia Tiga Tahun Pertama (Psikologi Atitima), (Bandung: Refika Aditama, 2007), h.8

10

Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam,


(35)

25

1. Pada usia 2 – 7 tahun anak memasuki tahap kognisi yang disebut sebagai tahap pre–operasional, dimana anak belum mampu berpikir menggunakan logika.

2. Pada usia 7 – 11 tahun, individu memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap konkrit operasional. Ciri utama pada tahap ini adalah kemampuan untuk membandingkan antar peristiwa, dan anak mulai mampu menggunakan logika meskipun masih didalam tahap yang terbatas dan sederhana.

3. Pada usia 11 tahun ke atas, individu memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap operasional dimana kemampuan berpikirnya sepenuhnya menggunakan logika. Pada tahap ini anak mulai bisa berpikir lebih fleksibel karena anak mulai bisa melihat lebih dari satu sudut pandang, meskipun pihak autoritas (orang tua) masih memegang peranan penting dalam mengarahkan perilaku anak. 11

Anak-anak yang berusia 12 atau 13 tahun sampai dengan 19 tahun sedang berada dalam pertumbuhan yang mengalami masa remaja. Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. Terjadinya perubahan kejiwaan menimbulkan kebingungan di kalangan remaja sebabnya karena mereka mengalami penuh gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat.12

11

Penney Upton,Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga,2012), h.198 12


(36)

Apabila dilihat batasan usia anak dari sudut Psikososial, Singgih Gunarso dalam makalahnya yang berjudul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat yang disampaikan dalam Seminar “Keluarga dan Budaya Remaja Perkotaan” yang dilakukan di Jakarta, mengemukakan bahwa klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa dikaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaannya, menurut Singih Gunarso terbagi menjadi lima tahap, yaitu:

1. Anak, seseorang yang berusia dibawah 12 tahun;

2. Remaja dini, yaitu seseorang yang berusia antara 12 – 15 tahun 3. Remaja penuh, yaitu seseorang yang berusia antara 15 – 17 tahun; 4. Dewasa muda, yaitu seseorang yang berusia antara 17 – 21 tahun; dan 5. Dewasa, seseorang yang berusia diatas 21 tahun.13

Lebih lanjut Singgih Gunarso dengan mensitir pendapat dari J. Pikunas dan R.J. Havighurts menjelaskan bahwa masing-masing tingkatan usia mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Sebagai Contoh:

Kategori remaja dini (usia 12 – 15 tahun) memiliki kecenderungan kejiwaan: 1. Sibuk menguasai tubuhnya, karena faktor ketidakseimbangan postur

tubuhnya, atau kekurangnyamanan tubuhnya.

2. Mencari identitas dalam keluarga, satu pihak menjurus pada sifat egosentris, pada pihak lain ia belum dapat sepenuhnya diserahi tanggung jawab, sehingga masih sangat memerlukan dukungan keluarga.

13


(37)

27

3. Kepekaan sosial tinggi, solidaritas pada teman tinggi, dan besar kecenderungannya mencari popularitas. Dalam fase ini, ia sibuk mengorganisasikan dirinya dan mulai mengalami perubahan sikap, minat, pola-pola hubungan pertemanan, mulai timbul dorongan seksual, bergaul dengan lain jenis.

4. Minat keluar rumah tinggi, kecenderungan untuk “Trial and error” tinggi, dan kemauan untuk belajar dari pengalaman tinggi.

5. Mulai timbul usaha-usaha untuk menguasai diri baik di lingkungan rumah, sekolah, klub olah raga, kesenian, dan lingkungan pergaulan pada umumnya.14

Di dalam kategori inilah, anak membawa pengaruh pada sikap kearah yang lebih agresif sehingga pada periode ini banyak tindakan anak-anak yang dapat mengarah kepada gejala kenakalan anak. Kenakalan anak ini timbul karena anak sedang mengalami perkembangan fisik dan perkembangan jiwa. Selain itu, pengaruh lingkungan (terutama lingkungan di luar rumah) juga turut mempengaruhi.

Kategori remaja penuh, mempunyai kecenderungan kejiwaan:

1. Sudah mulai menampakan dirinya mampu dan bisa menerima menerima kondisi fisiknya;

2. Mulai bisa menikmati kebebasan emosionalnya; 3. Mulai lebih mampu bergaul;

14

Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam,


(38)

4. Sudah menemukan identitas dirinya;

5. Mulai memperkuat penguasaan dirinya dan menyesuaikan perilakunya dengan norma-norma keluarga dan kemasyarakatn;

6. Mulai secara perlahan-lahan meninggalkan reaksi-reaksi dan sikap-sikap kekanak-kanakan.15

C. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum positif

Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana yang secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. 16

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang juga disebut criminal responsibility artinya : ”orang yang telah melakukan suatu tindak pidana disitu

belum belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas

pebuatannya yang telah dilakukan.” Mempertanggungjawaban atas suatu

perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak.17

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai

toereken-baarheid,”criminal reponsibilty,” “criminal liability,”

pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu.18

15

Ibid., h.113 16

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20 17

Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.106 18

S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,Cet IV, ( Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996),h .245


(39)

29

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatanya.19

Sebagaimana telah diketahui, untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu bertanggung jawab, dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT).20

D. Kesalahan (geen straf zonder schuld).

Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Maka

tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas ”tiada pidana tanpa kesalahan”

(geen straf zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi

19

Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,h.75

20


(40)

masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.21

Jadi disamping orang telah melakukan tindak pidana masih diperlukan

kesalahan padanya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi “Tiada pidana tanpa kesalahan” asas ini oleh masyarakat Indonesia dijunjung tinggi dan akan

dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah tidak dijatuhi hukuman. Kesalahan adalah suatu keadaan psychologisch yang oleh penilaian hukum pidana ditentukan sebagai keliru dan dapat dicela. Dengan adanya kesalahan, orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya untuk dapat ia jatuhi pidana. Karena ajaran tentang kesalahan juga disebut “pertanggung

jawaban pidana” atau dengan istilah criminal responsibility.22

. Menurut Moeljatno, kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. geen straf zonder schuld, no punishment without fault, actus non facit reum nisi mens sist rea, an act does not make a person guilty unless his mind is guilty. Adagium “tiada

pidana tanpa kesalahan” dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti: tiada

pidana dicela. Tetapi sesungguhnya, pasti dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut. Karena itu asas kesalahan disini diartikan sebagai: tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut

21

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20 22


(41)

31

yang objektif, yang dapat dicelakakan kepada pelakunya, dengan lain perkataan, kesalahan adalah perilaku alasan pemidanaan yang sah (menurut undang-undang).23

E. Kemampuan Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mempunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. Atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.

Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. Demikian halnya dengan ketentuan pasal 44 KUHP yang berbunyi:

“1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu

tahun sebagai waktu percobaan.”24

23

I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010), h. 38

24


(42)

Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab. Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 (1) KUHP, yakni:

1. Karena jiwanya cacad dalam pertumbuhan, atau 2. Jiwanya terganggu karena penyakit.25

Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT). Simons mengatakan,

“kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis

sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya peniadaan, baik

dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.26

F. Alasan Penghapusan Pidana

Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai

fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas

25

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h.143

26


(43)

33

tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan

pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan

tindak pidana yang melawan hukum. 27

Dalam hukum pidana yang termasuk kedalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses), dan pelaksaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan:

“perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam

lingkungan pekerjaannya.”28

G. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Dalam KUHP

Hukum Pidana Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersumber pada KUHP Belanda yang diangkat dari Keputusan Raja tanggal 15 Oktober 1915 No. 33, dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Materi yang diatur dalam KUHP ini, pada prinsipnya merupakan warisan (turunana) dari KUHP Belanda

(Straf wetboek) yang dibuat pada tahun 1881 dan mulai diberlakukan pada tahun 1886.29

Pada waktu KUHP dinyatakan berlaku di Indonesia belum memilki hukum pidana yang khusus untuk anak-anak atau orang yang belum dewasa. Hanya

27

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.37

28

Ibid., h.20 29


(44)

terdapat Pasal 45, 46, dan 47 KUHP yang mengatur tentang pemidanaan terhadap mereka yang belum berumur 16 tahun.

Pasal 46 tidak bersangkut-paut dengan hal apakah seseorang yang masih muda atau anak-anak dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau belum, tetapi hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam mengambil keputusan terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia melakukan tindak pidana. Dikatakan di dalamnya bahwa dalam hal demikian hakim dapat memerintahkan agar:

1. Yang bersalah dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa dipidana. 2. Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk

kejahatan atau pelanggaran tertentu; selanjutnya diserahkan kepada orang tua atau lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun (pasal 46 KUHP).

3. Menjatuhkan pidana, dengan ancaman maksimumnya dikurangi sepertiga dari ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati; juga dalam hal diputuskan pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan pidana tambahan perampasan barang-barang tertentu.30

Bertalian dengan pertanggungjawaban yuridis terhadap anak dibawah umur tersebut, dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, sebelum dicabut telah ditegaskan secara alternatif dan pemecahannya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jika tindak pidana dilakukan oleh anak berusia 9 tahun sampai 13 tahun, disarankan kepada Hakim untuk mengembalikan anak tersebut kepada orang tua atau walinya dengan tanpa pidana;

2. Jika tindak pidan tersebut dilakukan oleh anak yang masih berusia 13 sampai 15 tahun dan tindak pidananya masih dalam tingkat pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514,

30


(45)

35

517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 KUHP, Hakim dapat memerintahkan supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah atau badan hukum swasta untuk dididik sampai berusia 18 tahun. (Pasal 46 KUHP).

3. Jika Hakim menghukum sitersalah, maka maksimal hukuman utama dikurangi sepertiga, jika perbuatannya diancam hukuman mati, maka ddijatuhi pidana selama-lamanya 15 tahun dan hukuman tambahan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 huruf (b) 1e dan 3e tidak dijatuhkan (Pasal 47 KUHP).31

H. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Luar KUHP

Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada hokum materiil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP tersebut ketentuan hukumnya tidak saja bersifat konvensional, tetapi juga karena perilaku dan peradaban manusia sudah demikian kompleks bahkan perkembangannya jauh lebih cepat daripada aturan yang ada. Oleh karena itu, melalui Pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain yang menurut Undang-Undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang Undang-Undang tersebut bertalian dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan ketentuan KUHP berdasarkan asas

(Lex Specialis Derogat Legi Generali).32

Adapun Undang-Undang lain di luar KUHP yang bertalian dengan masalah hukum pidana anak seperti:

31

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung: Alumni, 2010), h. 48 32


(46)

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

8. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Tempat Umum .

9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. 10.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 11.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.dan

Instrumen Hukum lain yang bertalian dengan masalah anak.33

33


(47)

37 BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Seperti dikemukakan oleh para pakar hukum, dewasa ini ada lima sistem hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat hukum dunia. Kelima sistem hukum itu adalah: Sistem Hukum Eropa Kontinental, Sistem Hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam, dan Sistem Hukum Sosialis-Komunis. Kecuali yang terakhir, keempat sistem hukum tadi telah lama dan masih tetap berlaku di Negara Hukum Indonesia.1

A. Anak Menurut Hukum Islam

Dalam bahasa Arab sebutan untuk anak ada bermacam-macam, ada sebutan anak yang merupakan perubahan dari bentuk fisik yang dikenal dengan istilah

shabiy (sebutan sangat umum untuk anak), sebutan untuk anak pecahan dari

shabiy adalah walad (sebutan untuk anak laki-laki dan wanita)2, dârijun (anak kecil yang berjalan berjalan),3 thiflun (anak yang mendapatkan keringanan hukuman dan sebutan bagi orang sejak lahir hingga mendapatkan mimpi),4 ghulâm (manusia sejak lahir hingga remaja, dipakai untuk sebutan anak laki-laki dan wanita)5.

Kemudian ada sebutan anak yang merupakan perubahan secara kejiwaan yang berhubungan dengan kecerdasan/intelektualitas (tamyîz). Sedangkan

1

M. Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.11 2

Ibnu Mundhir, Lisan al-Arab,(Beirut: Darul Ma’arif, t.t.), Jilid 5, h. 4914

3

Ahmad Warson Al-Munawir, al-Munawir, (Jakarta: Penerbit tidak ditemukan, 1984), h.427

4

Jamaludin Muhammad bin Mukram al-Anshari, Lisan al-Arab, (Kairo: Muassasah al-Misriyah, t.t.), Jilid 13, h. 426.

5


(48)

perubahan anak secara kombinasi baik dari segi fisik maupun kejiwaan dikenal dengan dewasa (baligh). Baligh terdiri atas dua macam yaitu:

Pertama, baligh bi thaba’i yakni baligh yang dapat diketahui dari tingkah lakunya atau tanda-tanda, jadi dalam hal ini pertanda baligh dapat diketahui dari penglihatan.

Kedua, baligh bi sinni yakni baligh dengan menetapkan ketentuan umur apabila secara tabiat tidak terlihat tanda-tanda baligh maka ukuran baligh ini ditentukan dengan menetapkan umur baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas baligh. Berikut adalah pendapat dari sebagian para ulama’ madzhab :

1. Menurut ulama’ Hanafiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah ihtilâm

(mimpi keluar mani) dan menghamili perempuan. Sedangkan untuk perempuan ditandai dengan haidh dan hamil. Apabila tidak dijumpai tanda-tanda tersebut, maka balighnya diketahui dengan umurnya. Menurutnya umur baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun. 6

2. Menurut ulama’ Malikiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah keluar mani secara mutlak, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam mimpi. Dan bagi perempuan adalah haidh dan hamil.

3. Menurut ulama’ Syafi’iyyah, batasan baligh bagi laki-laki maupun perempuan dengan sempurnanya usia 15 tahun dan keluar mani, apabila

6

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al- Arbaah, (Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Beirut, 1972), h. 350


(49)

39

keluar mani sebelum usia itu maka mani yang keluar itu adalah penyakit bukan dari baligh, maka tidak dianggap baligh. Dan haidh bagi perempuan dimungkinkan mencapai umur 9 tahun.

4. Menurut ulama’ Hanabilah, batas baligh bagi laki-laki maupun perempuan ada tiga hal yaitu :

a. Keluar mani dalam keadaan terjaga ataupun belum mimpi, dengan bersetubuh.

b. Mencapai usia genap 15 tahun.

c. Bagi perempuan ditambahkan adanya tanda haidh dan hamil. Dan bagi banci (khuntsa) diberi batasan usia 15 tahun.7

Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan fase-fase yang ditempatkan oleh seorang sejak lahir sampai dewasa. Ada tiga fase yaitu :

1. Masa Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Marhalah In „Idâm al-Idrâk)

Fase ini dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai mencapai umur 7 tahun dengan kesepakatan para fuqahâ’. Dalam masa marhalah ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir dan ditetapkan belum mempunyai kesadaran dalam bertindak. Seorang anak dalam marhalah ini disebut anak belum mampu berpikir (ghoiru mumayyîz).

Sebenarnya kemampuan berpikir dan kemampuan bisa membedakan,

(tamyîz) seorang anak itu tidak terbatas pada usia tertentu dan tidak dapat dipastikan dengan tercapainya umur ini, sebab kemampuan berpikir kadang-kadang bisa timbul sebelum usia 7 tahun dan kadang-kadang-kadang-kadang terlambat, menurut

7


(50)

perbedaan orang, lingkungan, keadaan dan mentalnya. mengingat kondisi jasmani dan iklim daerah tempat anak itu berada. Namun demikian para fuqaha’ menetapkan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan ketamyîzan seorang anak demi keseragaman hakim.

Para fuqaha’ berpedoman dengan usia dalam menentukan batas-batas kemampuan berpikir, agar bisa berlaku untuk semua orang, dengan mendasarkan kepada keadaan yang banyak terjadi pada anak-anak kecil. Pembatasan tersebut diperlukan untuk jangan sampai terjadi kekacauan hukum dan agar mudah bagi seseorang untuk meneliti apakah kemampuan berpikir sudah terdapat atau belum, sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah.

Boleh jadi, seorang anak yang berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan berpikir sudah terdapat atau belum, sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah. Boleh jadi, seorang anak yang belum berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan berpikir, tetapi ia tetap dianggap belum tamyîz, karena yang menjadi ukuran adalah kebanyakan orang, bukan perseorangan.8

Perbuatan jarîmah yang dilakukan oleh anak dibawah usia tujuh tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman pidana atau sebagai pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan pertanggungjawaban perdata, yang dibebankan atas harta milik pribadi, yakni memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh harta milik atau diri orang lain (wujûd ad-dhaman fî

8

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 390


(51)

41

mâlihi).9walaupun demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari padanya, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Amidi.10 Mengenai tidak berlakunya hukum qishâsh bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taklîf, di tegaskan juga oleh Syarbani Khatib11 dan Imam ar- Ramli.12

2. Masa Kemampuan Berpikir Lemah (Marhalah al-Idrâk al-Dha’îf )

Fase ini dimulai sejak seseorang anak berumur 7 tahun sampai berumur 15 tahun. Anak dalam masalah ini disebut anak mumayyiz. Anak mumayyiz tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi anak yang munayyiz berarti seorang anak yang telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, tetapi ia belum mampu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang ia lakukan. Akan tetapi ia dapat dijatuhi pidana pengajaran. Dalam soal perdata ia disamakan dengan anak belum tamyîz.

Masa ini dimulai sejak usia tujuh tahun sampai mencapai kedewasaan (baligh), dan kebanyakan fuqahâ’ membatasinya dengan usia lima belas tahun. Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia dianggap dewasa, meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.

Imam Abu Hanifah sendiri membataskan kedewasaan kepada usia delapan belas tahun, dan menurut suatu riwayat sembilan belas tahun. Pendapat yang terkenal dalam madzhab Maliki sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.

9

Ibid., h. 397 10

Al-Amidi, Saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- Hikam fi Usul al-Ahkam , juz I, ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt), h. 78

11

Khatib, Muhammad Syarbani, Mughni al-Muhtaj Ila –Ma’rifat , Ma’ani Alfadz Minhaj

„ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958), h . 279 12

Ar-Ramli, Muhammad Syihabuddin , Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –Minhaj, juz V (Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt) h.246


(52)

Pada masa tersebut seseorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap dianggap sebagai hukuman pengajaran, bukan sebagai hukuman pidana, dan oleh karena itu kalau anak tersebut berkali-kali memperbuat jarîmah

dan berkali-kali pula dijatuhi pengajaran, namun ia dianggap pengulang kejahatan (recidivist). Mengenai pertanggungjawaban perdata, maka ia dikenakan, meskipun bebas dari pertanggungjawaban pidana.13

3. Masa Kemampuan Berpikir Penuh (Marhalah al-Idrâk al-Tâmm)

Masa ini dimulai sejak seseorang anak mencapai usia kecerdikan (sinnur-rusydi), atau dengan perkataan lain, fase ini dimulai sejak seorang berumur 15 tahun sampai delapan belas tahun, menurut perbedaan pendapat dikalangan

fuqahâ sampai meninggal dunia. Pada masa ini seseorang dikenakan pertangungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya bagaimanapun juga macamnya Maka ia telah dewasa dan karenanya ia sudah mempunyai pertanggungjawaban penuh, baik dalam lapangan hukum perdata, pidana dan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan.14

Dalam Islam seorang akan dikenakan pembebanan hukum apabila seseorang itu mukallaf. Dengan demikian segala perbuatan itu akan dikenakan

13

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 397

14

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h. 601


(53)

43

hukum seperti yang berhubungan dengan kewajiban, larangan, makruh dan Ibahah. Orang mukallaf menurut ulama’ushuliyyin disebut mahkûm „alaîh. 15

Dalam hal ini, ada beberapa syarat bagi mukallaf untuk dapat dikenakan pembebanan hukum yaitu :

1. Mukallaf dapat memahami taklîf, seperti mampu memahami nash-nash

yang dibebankan dari Al Qur’an dan Al Sunah secara atau perantaraan. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklîf dia tidak dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan tidak tahu apa yang menjadi tujuannya. Akal orang yang belum bisa memahami baik itu orang yang lupa, tidur, gila dan anak-anak tidak bisa diberi beban hukum, sebagai mana sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :

َ ع

َ نَ

َ عَ

ئا

َ ش

َ ةَ

َ رَ ض

َ يَ

َهلا

ََ ع

َ َ ه

َ قَا

َ لا

َ ت

َ

َ قَ:

َ لا

ََ ر

َهسَ

و

َهلَ

َ لا

َ

َ صَ

ل

َهلاَى

ََ ع

َ لَ يَ

ََ و

َ سَ ل

َ مَ

َهرَ ف

َ عَ

َ لاَ ق

َ لَهم

ََ ع

َ نَ

َ ث

َ ل

َ ث

ََ ع

َ نَ

َ لا

َ ئا

َ مَ

َ حَ ت

َ يَى

َ سَ ت

َ يَ ق

َ ظ

ََ و

َ ع

َ نَ

َ صلا

َ ب

َ يَ

َ حَ ت

َ يَى

َ حَ ت

َ لَ م

ََ و

َ ع

َ نَ

َ لا

َ م

َ جَه

َ وَ ن

َ

َ حَ ت

َ يَى

َ عَهق

َ ل

َ

َ

اور(

َ

َيراخبلا

وَ

تلا

يذمر

َ

يئاس لاو

)

16

َ

Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh

dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, at-Tirmidzi, dan an-Nasai’)

Syarat ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Khudlori Beik, sebagai berikut :

15

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), h. 50 16 Muhammad ibn ‘Isya at-Tirmidzi, Jami’ at

-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.), h.1339


(54)

َ م

َ نَ

َهشَهر

َ و

َ ط

َ تَ و

َ جَ ي

َ َ

َ تلا

َ كَ ل

َ ي

َ ف

َهقَ د

َ رَهة

َ مَ ن

َه يَ و

َ ج

َهد

َ اَ لَ ي

َ

َ ف

َ ى

َ فَ ه

َ م

َ لا

َ خ

َ ط

َ با

ََ ت

َ ص

َ وَ ر

َ مَ ع

َ نا

ي

َ اَ ا

َ لَ ف

َ ظا

َ لاَ ت

َ ي

َ بَ ها

َ تلا

َ كَ ل

َ ي

َهف

17

َ

Artinya : “Diantara syarat taklif adalah mampu memahami nash -nash (khithob) dalam arti memahami arti bentuk lafadl yang menunjukkan

pembebanan.”

2. Mukallaf adalah orang yang ahli (cakap) dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. pengertian ahli/ahliyah menurut bahasa adalah : (

ةيحلصلا

) yang berarti (kecakapan). Sedangkan pengertian ahliyah menurut Abu Zahrah adalah kecakapan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban.18

Menurut Ulama’Ushul, ahliyah itu terbagi menjadi dua macam yaitu : a. Aḥliyyah al-Wujûb (Kecakapan dalam menerima kewajiban hukum)

Pada dasarnya dapat ditetapkan sebagai ahli wajib karena keadaannya (wujudnya) sebagai manusia. Keahlian manusia sebagai ahli wajib ini sejak permulaan manusia, mulai/sejak janin sampai meninggal dunia. Ketika masih dalam bentuk janin (dalam kandungan) ahli wajib itu berkurang karena baginya hanya ditetapkan hak-haknya saja. Kalau janin itu lahir maka dikatakan sebagai ahliyyah dan bila lahir dengan keadaan mati dianggap tidak pernah ada.

b. Aḥliyyah al-Adâ’ (kecakapan dalam bertindak secara hukum)

Pada dasarnya ditetapkannya ahli melaksanakan bukan karena wujudnya sebagai manusia, akan tetapi ditetapkannya ahli

17

Khudlari Beik, Ushul Fiqh, (Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1979), h. 110 18


(55)

45

melaksanakan adalah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Ahli melaksanakan ialah layaknya mukallaf untuk diperhitungkan menurut syara’, ucapan dan perbuatannya. Keahlian melaksanakan ini melihat kadar akalnya karena akal itulah yang dijadikan sebagai asas. Ahliyyah ada’ yang sempurna adalah ketika sempurnanya akal karena baligh yang sudah dibebani syara’ dan

baligh itu disertai dengan sehatnya akal. Sedang ahliyyah ada’ yang kurang yaitu anak kecil yang sudah mumayiz dan yang menyerupainya.19

Menurut Wahbah Az-zuhaili sanksi di dunia bermacam-macam sesuai dengan jenis perbuatan yang dilanggarnya, misalnya perbuatan pidana Islam memberikan sanksi di dunia berupa ketentuan yang secara tegas disebutkan dalam Al-qur’an, yaitu Qishâsh, had, diyat, dan kafarat. Sedangkan perbuatan pidana yang secara tidak tegas ditentukan sanksinya dalam Al-qur’an dan As-Sunah diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan sanksinya, yakni dengan hukuman ta’zîr.20

Dalam kitab subul al-salam disebutkan hukuman ta’zîr selain oleh hakim dapat dilakukan oleh tiga orang:

1. Ayah, ia boleh menjatuhkan ta’zîr terhadap anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif dan mencegah dari akhlak yang jelek. Menurut

19

Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Majlis A’la Indonesia, Jakarta), h. 135

20


(56)

pendapat yang kuat bahwa sang ibu pun boleh berbuat serupa selagi anak masih berada dalam asuhannya.

2. Majikan, sang majikan diperbolehkan menta’zîr hambanya baik yang bersangkutan dengan hak dirinya atau hak Allah.

3. Suami, sang suami diperbolehkan menta’zîr isterinya dalam masalah

nusyûz yang dilakukan isteri, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. 21

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.22

Dalam syariat Islam pertanggungjawaban pidana dikenal dengan istilah al-mas’ûliyyah al-jinâiyyah itu didasarkan kepada tiga hal:

1. Adanya perbuatan yang dilarang,

2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan

3. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatannya itu.23

Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan

21

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t.), Jilid 10, Cet ke-3, h. 165

22

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 197

23

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,


(1)

- 22 - Pasal 77

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pidana pengawasan” adalah pidana yang khusus dikenakan untuk Anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap perilaku Anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah Anak dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 78 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “lembaga yang melaksanakan

pelatihan kerja” antara lain balai latihan kerja, lembaga

pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya, oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 79 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana penjara

bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana

penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang lainnya.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.


(2)

- 23 - Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82 Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan ”penyerahan kepada seseorang”

adalah penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab, oleh Hakim serta dipercaya oleh Anak.

Huruf c

Tindakan ini diberikan kepada Anak yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa.

Huruf d

Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Cukup jelas. Huruf g

Yang dimaksud dengan ”perbaikan akibat tindak

pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang

disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya tindak pidana.

Ayat (2)

Cukup jelas.


(3)

- 24 - Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Pasal 83

Cukup jelas. Pasal 84

Cukup jelas. Pasal 85

Ayat (1)

Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, Anak dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa.

Ayat (2)

Hak yang diperoleh Anak selama ditempatkan di LPKA diberikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut, tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi Anak yang bersangkutan, antara lain mengenai pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 86 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Penempatan Anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai dengan umur 21 (dua puluh satu) tahun.


(4)

- 25 - Ayat (3)

Cukup jelas. Pasal 87

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan

perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Perlindungan

Anak, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 88

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.

Pasal 89

Cukup jelas. Pasal 90

Cukup jelas. Pasal 91

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “memerlukan tindakan pertolongan

segera” adalah kondisi anak yang mengalami penderitaan,

baik fisik maupun psikis, sehingga harus segera diatasi.


(5)

- 26 - Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi medis” adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk memulihkan kondisi fisik Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat.

Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” adalah proses penyiapan Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi untuk dapat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Ayat (4)

Cukup jelas. Pasal 92

Cukup jelas. Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas. Pasal 95

Cukup jelas. Pasal 96

Cukup jelas. Pasal 97

Cukup jelas. Pasal 98

Cukup jelas. Pasal 99

Cukup jelas.


(6)

- 27 - Pasal 100

Cukup jelas. Pasal 101

Cukup jelas. Pasal 102

Cukup jelas. Pasal 103

Cukup jelas. Pasal 104

Cukup jelas. Pasal 105

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “menyiapkan” adalah memberikan

dan menyerahkan hak kepemilikan lahan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum.

Pasal 106

Cukup jelas. Pasal 107

Cukup jelas. Pasal 108

Cukup jelas.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 8 0

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 8 49

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 7 42

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 4 12

PENDAHULUAN TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 10

PENUTUP TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

PENDAHULUAN PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 5 17

PENUTUP PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 75

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 2 75