ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

ABSTRAK
ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG
PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Oleh
HERI YANSAH

Penyidikan kasus Anak dilakukan oleh penyidik, anak tersebut harus dikemas dalam suasana
kekeluargaan. Yang dimaksud dengan “dalam suasana kekeluargaan” antara lain pada waktu
memeriksa tersangka, penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan
secara efektif, afektif, dan simpatik . Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak
memakan waktu lama dengan mengunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dapat
mengajak terdakwa untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Sedang simpatik
dapat diartikan pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak
menakut-nakuti terhadap tersangka. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa penyidik
terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan oleh penyidik yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Permasalahan yang ada Proses
penyidikan anak berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Penulis menggunakan dua macam metode pendekatan masalah yaitu pendekatan secara
yuridis normatif dan yuridis empiris:Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dilakukan dengan
cara melihat dan mempelajari kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang erat
hubungannya dengan penulisan penelitian ini.
Proses pemeriksaan berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak terhadap tersangka anak merupakan bagian dari kegiatan penyidikan yang bertujuan
untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan barang buktinya.
Juga diperlukan kemampuan khusus yang harus dimiliki oleh pemeriksa sehingga dalam
pelaksanaannya perlakuan-perlakuan yang diberikan kepada anak harus dibedakan dengan
tersangka dewasa. Dalam proses pemeriksaan wajib dilaksanakan dengan menjunjung tingggi
hukum yang berlaku serta senantiasa memperhatikan hak asasi manusia sebagaimana diatur
dalam KUHAP. Proeses Penyidikan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diutamakan upaya diversi. Diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
pengadilanPerbedaan konsep penyidikan antara Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997
dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
adalah Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 lebih memberikan peran yang dominan

terhadap hakim, dibandingkan peran penyidik dan penuntut umum (jaksa). Kemudian, UU ini

Heri Yansah
tidak mengatur diversi untuk mengalihkan perkara anak di luar jalur peradilan formal
sehingga anak mendapatkan stigmatisasi. Sebangun dengan permasalahan ini, UU No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi model keadilan restoratif.
Dengan melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dapat dikatakan menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan
penghukuman (retributive). Model peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan
kerangka kerja yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan anak.
Penulis memberikan saran bahwa roses penyidikan berdasarkan Undang Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak haruslah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
mementingkan kepentingan anak.
Kata Kunci : Konsep Penyidikan Anak, Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997, Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2012

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG
PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Oleh

HERI YANSAH

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum

Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG
PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
(Skripsi)

HERI YANSAH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014

DAFTAR ISI

Halaman
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup..............................................


6

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian................................

7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual..............................................

8

E. Sistematika Penulisan .................................................................

10

II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perbandingan Hukum … ...........................................

12


B. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana...........................................

13

C. Pengertian Penyidikan Terhadap Anak......................................

..

14

D. Sistem Pemidanaan Anak...........................................................

16

E. Model Diversi ...........................................................................

19

BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah.....................................................................


22

B. Sumber dan Jenis Data ................................................................

23

C. Penentuan Narasumber ................................................................

25

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................

25

E. Analisis Data ................................................................................

27

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden .............................................................
B. Proses penyidikan anak berdasarkan Undang Undang Nomor 3

28

Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.......................................................................................

29

C. Perbedaan konsep Penyidikan Anak berdasarkan Undang Undang

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan dengan Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.............................................................

37

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ........................................................................................

49

B. Saran .............................................................................................

50

DAFTAR PUSTAKA

1

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlidungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi,
selaras dan seimbang. Pembinaan dan perlindungan anak ini tak mengecualikan
pelaku tindak pidana anak, kerap disebut sebagai “anak nakal”. Anak yang
melakukan tindak pidana, dalam hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
(angka 1) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ialah anak yang

belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.1
Konteks hukum acara pidana, Sudarto menegaskan bahwa aktivitas pemeriksaan
tindak pidana yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lainnya
haruslah mengutamakan kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling
baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan tanpa mengurangi perhatian
kepada kepentingan masyarakat. 2
Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, Paulus Hadisuprapto meyakini
bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan
perkembangan jiwa anak di masa mendatang.

1

Setyowati Irma.1990,Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara hlm 23

2

Ibid hlm 24

2


Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana
penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi
Arief, pidana penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus
walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat penerapan
stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali menjadi anak
”baik”.3
R.M. Jackson mengemukakan, bahwa pidana penjara termasuk jenis pidana yang
relatif kurang efektif. Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana,
angka

perbandingan

rata-rata

pengulangan

atau

penghukuman

kembali

(reconviction rate) orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding
terbalik dengan usia pelaku. Revonviction rate yang tertinggi, terlihat pada anakanak, yaitu mencapai 50 persen. Angka itu lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi
pidana penjara daripada pidana bukan penjara.4
Berkaitan dengan anak yang melakukan perbuatan pidana sehingga harus diajukan
ke sidang pengadilan anak, perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak-anak
adalah sejenis dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Yang
membedakan adalah pelakunya, yakni anak-anak. Pengetahuan ini sangat penting
untuk diketahui oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan dengan anak-anak yang
melakukan perbuatan melanggar hukum atau melakukan tindak pidana.
Tujuan diberikannya perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan adalah untuk
menghormati hak asasi si pelaku agar nasibnya tidak terkatung-katung, adanya
3
4

Ibid hlm 25
Ibid hlm 26

3

kepastian hukum bagi pelaku serta menghindari perlakuan sewenang-wenang dan
tidak wajar . Sedangkan konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang
luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas
jiwa dan raga anak, tetapi mencakup pula perlindungan atas semua hak serta
kepentingannya yang dapat menjamin prtumbuhan secara wajar, baik secara
rohani, jasmani maupun sosialnya sehingga diharapkan dapat menjadi orang
dewasa yang mampu berkarya
Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Pasal 64 Ayat (1)
UU Perlindungan Anak, diarahkan pada anak-anak yang berkonflik dengan
hukum dan anak korban tindak pidana. Berdasarkan Pasal 64 Ayat (2) UU
Perlindungan Anak, perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum
dilaksanakan melalui5 :
1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak
anak;
2. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
3. penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini ;
4. pemantauan dan pencatatan terus mennerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum;
5. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga

5

Wagiati, 2010, Hukum Pidana Anak Bandung : Refika Aditama hlm36

4

6. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa penyidik terhadap anak
nakal, dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan oleh penyidik yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini berarti juga
bahwa tidak semua penyidik dapat menjadi penyidik dalam perkara anak, karena
hanya yang mendapatkan kewenangan dari Kapolri untuk menjadi penyidik anak.
Eksepsionisnya terhadap hal-hal tertentu karena penyidik anak tidak ada maka
penyidik dalam perkara biasa dapat menjadi penyidik bagi perkara anak, dasar
hukumnya Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang tentang Peradilan Anak. Syarat
untuk menjadi penyidik anak yaitu penyidik yang telah berpengalaman sebagai
penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta harus mempunyai
minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah yang berkenaan dengan anak.6
Penyidikan kasus Anak dilakukan oleh penyidik, anak tersebut harus dikemas
dalam suasana kekeluargaan.

Yang dimaksud

dengan “dalam

suasana

kekeluargaan” antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik tidak
memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif, dan
simpatik . Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu
lama dengan mengunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dapat mengajak
terdakwa untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Sedang simpatik
6

Ibid hlm 38

5

dapat diartikan pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta
tidak menakut-nakuti terhadap tersangka. 7
Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau
sejenisnya selama dalam penyidikan . Sekali lagi ini menunjukkan perlindungan
hukum terhadap anak meskipun telah menjabat sebagai pelaku tindak pidana.
Disisi lain penyidik anak tersebut wajib untuk meminta pertimbangan atau saran
dari pembimbing kemasyarakatan atau jika perlu kepada ahli pendidikan, ahli
kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyrakatan lainnya, dasar hukumnya
tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Proses penyidikan ini juga harus dirahasiakan agar tidak
dengan mudah dapat diketahui umum yang dapat menyebabkan depresi, malu atau
minder dan lain sebagainya yang nantinya berakibat secara psikis terhadap
tumbuh kembangnya anak di masyarakat.
Ketentuan yang ada pada Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak tidak memberikan kekhususan bagi anak yang berhadapan
dengan hukum seperti tidak ada pengecualian serta tidak adanya upaya lain seperti
Restorative Justice System dan Diversi.
Berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam undang undang terbaru ini
memberikan perlakuan khusus kepada anak yang sedang berhadapan dengan
hukum seperti pada proses pemeriksaan polisi tidak boleh membentak, memaksa

7

Ibid hlm 39

6

atau bertindak agresif anak karena undang undang ini menjaga agar anak tidak
terganggu aspek kejiwaan serta hakim yang melaksanakan persidangan tidak
menggunakan seragam. Undang Undang ini juga mengenalkan upaya kebijakan
Restoratif Justice System dan Diversi
Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji lebih lanjut dalam
skripsi yang berjudul “Analisis perbandingan penyidikan anak yang melakukan
tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak ”
B.Permasalahan dan Ruang Lingkup
1.Permasalahan
Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan diatas, maka permasalahan
yang akan dibahas adalah
1.

Bagaimanakah Proses penyidikan anak berdasarkan Undang Undang Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2.

Apa perbedaan konsep penyidikan anak berdasarkan Undang Undang Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengdailan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

7

2. Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan dari permasalahan
yang timbul, maka penulis membatasi pada lingkup Ilmu Pengetahuan Hukum
Pidana Formil. Ruang lingkup tempat penelitian di Kota Bandar Lampung dan
tahun penelitian ini yaitu pada tahun 2013.
C. Tujuan dan Kegunan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a.

Untuk menganalisis Proses penyidikan anak berdasarkan Undang Undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

b.

Untuk mengetahui perbedaan konsep penyidikan anak berdasarkan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengdailan dengan Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2. Kegunaan penelitian
a.

Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu
pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka
memberikan penjelasan mengenai Analisis perbandingan penyidikan anak yang
melakukan tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak

8

b.

Kegunaan Praktis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu
pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka
memberikan penjelasan mengenai perbandingan penyidikan anak yang melakukan
tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1.

Kerangka Teoretis

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.8

Menurut G. Guitens Bergoins, study comparative ataupun perbandingan hukum
adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu hukum. Istilah study
comparative ataupun perbandingan hukum bukanlah suatu ilmu hukum, tetapi
melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode yang digunakan untuk meneliti
sesuatu, suatu cara bekerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas
element atupun seperangkat peraturan, maka nampak jelas bahwa hukum
perbandingan (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membandingbandingkan atauran hukum dari berbagai sistem hukum tidak berdampak pada

8

Soerjono Soekanto. Metode Penlitian Hukum, hlm 124.

9

perumusan-perumusan atauran yang berdiri sendiri: tidak ada aturan hukum
perbandingan.9

Studi comparative ataupun perbandingan hukum suatu metode mengandung arti
bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek
atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode studi
komparatif ataupun perbandingan hukum. Studi comparative hukum pidana harus
dipahami dengan menggunakan metode fungsional, kritis, realistis dan tidak
dogmatis serta diperlukan dalam proses pembaharuan hukum.

Menurut Konrad Zwegert dan kurt Siehr, studi comparative hukum ataupun
perbandingan hukum modern menggunakan metode kritis, realistis dan tidak
dogmatis10:

1. Kritis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum sekarang
tidak mementingkan perbedaan-perbedaan ataupun persamaan-persamaan
dari berbagai tata hukum (legal orders) semat-mata sebagi fakta, akan
tetapi yang dipentingkan ialah apakah penyelesaian secara hukum ataupun
sesuatu masalah relevan, dapat dipraktekkan. Adil dan kenapa
penyelesaian demikian.
2. Realisitis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum bukan
seja meneliti perundang-undangan, keputusan peradilan dan doktrine, akan
tetapi sumua motif nyata menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis,
psikologis, ekonomis dan moti-motif lain yang berasal dari kebijakan
legislatif.
3. Tidak dogmatis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum
tidak hendak terkekang dalam kelakuan dogma, meskipun dogma
mempunyai fungsi sistematisasi, akan tetapi dogma dapat mengaburkan
dan menyerongkan pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum
yang lebih baik”.

9

Barda Nawawi Arif, 2011, Perbandingan hukum Pidana (edisi revisi), Jakarta, Hal. 5
Ibid., Hal 13

10

10

Studi komparatif hukum menggunakan pendekatan fungsioanl, karena akan
mempertanyakan apakah fungsi suatu norma atau pranata dalam masyarakat
tertentu, dan apakah dengan demikian fungsi itu dipenuhi dengan baik atau tidak.
Dengan demikian secara ideal dapat diadakan ramalan, apakah norma itu perlu
dipertahankan, dihapus atau diubah.

Soedarto berpendapat bahwa kegunaan studi komparatif hukum mencakup
beberapa hal, yakni11 :

1.
2.
3.
4.
5.

Unifikasi hukum
Harmonisasi hukum
Mencegah adanya chauvisme hukum nasional
Memahami hukum asing, dan
Pembaharuan hukum

2. Konseptual
Kerangka

konseptual

merupakan

kerangka

yang

menghubungkan

atau

menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang
berkaitan dengan istilah itu.12
a.

Analisis adalah merangkum sejumlah data besar data yang masih mentah
menjadi informasi yang dapat diinterpretasikan.

b.

Perbandingan hukum adalah suatu metode studi dan penelitian di mana
peraturan hukum terkait perbandingan penyidikan tentang anak.13

c.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undangundang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.14

11

Ramli atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung, Fikahati Aneska, Hlm. 16
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat) hlm 32.
13
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

12

11

d.

Anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun),

termasuk anak yang masih dalam kandungan.15
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka
sistematika penulisannya sebagai berikut:
I.

PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuuan yang memuat latar belakng masalah,
permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka
teoritis dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang pengertian Penyidikan, pengertian anak, teori
pemidanaan dan teori pemidanaan anak

III

METODE PENELITIAN
Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data,
prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa
analisis data.

14

Syamsudin,2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada hlm 32
15
Ibid hlm 32

12

IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan perbandingan penyidikan
anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
V PENUTUP
Bab ini berisi tetang simpulan dan saran dari hasil penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perbandingan Hukum Pidana
Setiap subjek hukum berhubungan dengan satu bagian khusus dalam sistem
hukum, hukum pidana membahas aturan-aturan mengenai kejahatan, hukum acara
membahas aturan-aturan tentang proses-proses beracara di pengadilan. Sebagian
ilmu hukum mempunyai sifat yang berbeda karena berhubungan dengan beberapa
masalah menyeluruh yang mempengaruhi seluruh atau hampir seluruh sistem
hukum. Yang termasuk kelompok ini adalah subjek-subjek teoritis, antara lain
sejarah hukum, sosiologi hukum, yurisprudensi serta perbandingan hukum atau
hukum komparatif (comparative law). Istilah perbandingan hukum dalam bahasa
asing antara lain: Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law,
Droit Compare, Rechtsgelijking. Dalam Blacks Law Dictionary dikemukakan
bahwa, Comparative Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip ilmu
hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum.

Menurut G. Guitens Bergoins, study comparative ataupun perbandingan hukum
adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu hukum. Istilah study
comparative ataupun perbandingan hukum bukanlah suatu ilmu hukum, tetapi
melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode yang digunakan untuk meneliti
sesuatu, suatu cara bekerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas
element atupun seperangkat peraturan, maka nampak jelas bahwa hukum

14

perbandingan (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membandingbandingkan atauran hukum dari berbagai sistem hukum tidak berdampak pada
perumusan-perumusan atauran yang berdiri sendiri: tidak ada aturan hukum
perbandingan.1

Studi comparative ataupun perbandingan hukum suatu metode mengandung arti
bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek
atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode studi
komparatif ataupun perbandingan hukum. Studi comparative hukum pidana harus
dipahami dengan menggunakan metode fungsional, kritis, realistis dan tidak
dogmatis serta diperlukan dalam proses pembaharuan hukum.

Menurut Konrad Zwegert dan kurt Siehr, studi comparative hukum ataupun
perbandingan hukum modern menggunakan metode kritis, realistis dan tidak
dogmatis2:

Kritis karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum sekarang
tidak mementingkan perbedaan-perbedaan ataupun persamaan-persamaan
dari berbagai tata hukum (legal orders) semat-mata sebagi fakta, akan
tetapi yang dipentingkan ialah apakah penyelesaian secara hukum ataupun
sesuatu masalah relevan, dapat dipraktekkan. Adil dan kenapa
penyelesaian demikian.

1
2

Barda Nawawi Arif, 2011, Perbandingan hukum Pidana (edisi revisi), Jakarta, Hal. 5
Ibid., Hal 13

15

Realisitis karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum bukan seja
meneliti perundang-undangan, keputusan peradilan dan doktrine, akan tetapi
sumua motif nyata menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis, psikologis, ekonomis
dan moti-motif lain yang berasal dari kebijakan legislatif.

Tidak dogmatis karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum tidak
hendak terkekang dalam kelakuan dogma, meskipun dogma mempunyai fungsi
sistematisasi, akan tetapi dogma dapat mengaburkan dan menyerongkan
pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum yang lebih baik”.

Studi komparatif hukum menggunakan pendekatan fungsioanl, karena akan
mempertanyakan apakah fungsi suatu norma atau pranata dalam masyarakat
tertentu, dan apakah dengan demikian fungsi itu dipenuhi dengan baik atau tidak.
Dengan demikian secara ideal dapat diadakan ramalan, apakah norma itu perlu
dipertahankan, dihapus atau diubah.

Soedarto berpendapat bahwa kegunaan studi komparatif hukum mencakup
beberapa hal, yakni3 :

1. Unifikasi hukum
2. Harmonisasi hukum
3. Mencegah adanya chauvisme hukum nasional
4. Memahami hukum asing, dan
5. Pembaharuan hukum

3

Ramli atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung, Fikahati Aneska, Hlm. 16

16

B. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pengertian anak sebagai pelaku tindak pidana pada Pasal 1 butir 1 UU Pengadilan
Anak adalah yang terlibat dalam perkara anak nakal. Menurut Pasal 2 butir 2 yang
dimaksud dengan anak nakal mempunyai dua pengertian yaitu4 :
1. Anak yang melakukan tindak pidana
Walaupun UU Pengadilan Anak tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, akan
tetapi dapat dipahami bahwa anak yang melakukan tindak pidana, perbuatannya
tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja
melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP misalnya ketentuan
pidana dalam UU Narkotika, UU Hak Cipta, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak
Yang dimaksud dengan perbuatan terlarang bagi anak adalah baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan
tersebut baik yang tertulis maupun tidak tertulis misalnya hukum adat atau aturanaturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.
Pasal 1 butir 2 mengenai pengertian anak nakal di atas, yang dapat diperkarakan
untuk diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian
angka 1 di atas, yaitu anak yang melakukan tindak pidana.

4

Nasir Djamil,2012, Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU-SPPA) Jakarta : Raja Grafindo Persada hlm 32

17

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan
hukum, yaitu5:
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut,
membolos sekolah atau kabur dari rumah
2. Juvenile Deliquency adalah perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/kenakalan
anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anakanak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga
mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang
C. Pengertian Penyidikan terhadap Anak
Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang
dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka
penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri.
Sejalan akan diberlakukannya dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak
nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 Ayat (1)
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada
intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh
penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri,
akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap

5

Ibid hlm 34

18

perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal
adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak
diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan
tersebut. Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat
(3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah:
1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;
2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai
semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses
peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku
dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait
dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.6
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 1
butir 13 yang dimaksud penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Mulai dari penyidikan, POLRI
menggunakan parameter alat bukti sah yang sesuai dengan Pasal 184 KUHAP
yang dikaitkan dengan segitiga pembuktian/evidencetriangle untuk memenuhi
6

Wagiati, 2010, Hukum Pidana Anak Bandung : Refika Aditama hlm 41

19

aspek legalitas dan aspek legitimasi untuk membuktikan tindak pidana yang
terjadi.7
D. Sistem Pemidanaan Anak
Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak lebih lanjut,
kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak pidana
yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 Pasal 1Angka 2 yang
berbunyi8 :
1. Anak yang melakukan tindak pidana.
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal anak tersebut dapat
dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal
sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut
beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang
dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan
tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.

7

Solehuddin,2011, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
hlm45
8
Wagiati, 2010, Hukum Pidana Anak Bandung : Refika Aditama hlm 58

20

Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam
pasal 4, yaitu 9:
1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak
adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di
maksud dalam ayat (1) dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak
yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi di ajukan ke sidang anak.
Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak di bawah umur yang melakukan
kejahatan yang memang layak untuk diproses adalah anak yang telah berusia 8
tahun dan diproses secara khusus yang berbeda dengan penegakan hukum
terhadap orang dewasa. Tetapi pada prakteknya penegakan hukum kepada anak
nakal terkadang mengabaikan batas usia anak.10
Mahkamah Konstitusi melalui Keputusannya Nomor 1/PUU-VIII/2010 (LNRI
Tahun 2012 No. 153) menyatakan frase 8 tahun dalam Pasal 1 Angka 1, Pasal 4
Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan dengan UUD
1945 serta menilai untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu menetapkan
batas umur bagi anak yaitu batas minimal usia anak yang bisa dimintai

9
10

Ibid hlm 60
Saraswati Irma Hukum,2010, Perlindungan Anak di Indonesia, Jakarta: Citra Aditya hlm 82

21

pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun karena secara relatif
sudah memiliki kecerdasan, emosional, mental dan intelektual yang stabil.11
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. pidana berupa
pidana pokok dan pidana tambahan, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3
Tahun 1997 yang mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak
nakal, yaitu12:
1. Pidana Pokok merupakan pidana utama yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal. Beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu:
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan;
c. Pidana denda, atau;
d. Pidana pengawasan,
2. Pidana Tambahan adalah pidana yang dapat dijatuhkan sebagai tambahan dari
pidana pokok yang diterimanya. Selain pidana pokok maka terhadap anak
nakal dapat pula dijatuhkan pidana tambahan, berupa :
a. Perampasan barang-barang tertentu, dan/atau;
b. Pembayaran ganti rugi.
Tindakan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk
membina dan memberikan pengajaran kepada anak nakal. Beberapa tindakan
yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal berdasarkan Pasal 24 UU Pengadilan
Anak adalah 13:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja, atau;

11

Ibid hlm 83
Wagiati, 2010, Hukum Pidana Anak Bandung : Refika Aditama hlm 62
13
Ibid Hlm 64
12

22

3. Menyerahkan

kepada

Departemen

Sosial,

atau

organisasi

sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja.
E. Model Diversi
Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau
menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana telah
mengatur tentang diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan
hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal
ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB

Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan
peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana (president’s crime
commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep
diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak
(children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana
formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning).
Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959
diikuti oleh negara bagian queensland pada tahun 1963.
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap
jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan
pidana.Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan
aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia

23

diskresi. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada
selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari
tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan
kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari
masyarakat

sebelum

terjadinya

tindak

pidana

dengan

melakukan

pencegahan.Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak
perlu diproses ke polisi.
Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau
pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
memperbaiki kesalahan. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus
anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak
hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan
melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi
atau tindakan yang tepat (appropriate treatment) Tiga jenis pelaksanaan program
diversi yaitu :
1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat
penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau
pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan
yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak
diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

24

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation),
yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan
menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat
mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative
justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan
pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.
Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.
Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan,
karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan
menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang
diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu
melalui proses hukum.

III. METODE PENELITIAN

Metode sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian agar dapat
bermanfaat dan berhasil guna untuk dapat memecahkan masalah yang akan
dibahas berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah cara
kerja untuk memahami objek yang menjadi tujuan dan sasaran penelitian.1
Soerjono soekanto mengatakan metodelogi berasal dari kata metode yang artinya
jalan, namun menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan beberapa
kemungkinan yaitu suatu tipe penelitian yang digunakan untuk penelitian dan
penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, dan cara tertentu
untuk melaksanakan suatu prosedur. Untuk mendapatkan data yang diperlukan
dalam melakukan penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
A.

Pendekatan Masalah

Pembahasan terhadap masalah penelitian ini, penulis menggunakan dua macam
pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris:
a)

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pendekatan tersebut
dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari kaidah-kaidah, norma-norma,
aturan-aturan, yang erat hubungannya dengan penulisan penelitian ini.

7

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, Hal.5.

26

b) Pendekatan yuridis empiris adalah adalah dengan mengadakan penelitian
lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan
mengenai pelaksanaannya. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara
mempelajari kenyataan yang terjadi pada praktek lapangan, dimana
pendekatan ini dilakukan dengan wawancara langsung terhadap pihak-pihak
yang dianggap mengetahui dan ada kaitannya dengan permasalahan yang
akan dibahas dan diperoleh atau didapatkan dilokasi penelitian.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data
primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.2
secara langsung dari hasil penelitian lapangan, baik melalui pengamatan
dan wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak
yang berhubungan langsung dengan asalah penullisan skripsi ini.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literaturliteratur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan
dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pada umunya data
sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan
segera.3 Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari:

2

Amirudin, S.H.,M.Hum, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, Hal.30.
3
Soerjono Soekanto, op. cit., hlm.12.

27

a)

Bahan hukum primer, antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
5) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti, rancangan undang-undang, hasil
penelitian dan pendapat para pakar hukum.
c)

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder,, seperti kamus, bibliografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar,
hasil-hasil penelitian para sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam skripsi ini.

28

C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan
dapat memberikan tanggapan
1. Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

: 1 Orang

2. Polisi di Polresta Bandar Lampung

: 1 Orang

3. Dosen hukum pidana Universitas Lampung

: 1 Orang
3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data
Penyusunan skripsi ini sesuai dengan jenis dan sumber data sebagaimana
ditentukan diatas mempergunakan dua macam prosedur, dalam rangka
mengumpulkan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Prosedur Pengumpuan Data
a Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data yang bersumber dari
dokumentasi yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas, yang
berhubungan dengan informan yang dikehendaki oleh peneliti. Data atau
informasi yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder . pengumpulan data
sekunder adalah terlebih menerima sumber pustaka, buku-buku, peraturan
perundang-undangan dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan.

29

b Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan cara obserasi dan wawancara untuk
pengumpulan dan memperoleh data primer. Studi lapangan diakukan dengan cara
mengadakan wawancara dengan responden, wawancara dilakukan secara
mendalam dengan sistem jawaban terbuka untuk mendapatkan jawaban yang
utuh.
2. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul dengan baik yang diperoleh dari studi kepustakaan dan
studi lapangan kemudian diolah dengan cara sebagai berikut :
a Editing, yaitu data yang didapatkan dari penelitian diperiksa dan diteiti kembali
untuk mengetahui apakah data yang didapat itu sudah sesuai dengan pokok
bahasan penelitian ini. Sehingga dapat terhindar dari adanya kesalahan data.
b Interpretasi, menghubungkan data-data yang diperoleh sehingga menghasilkan
suatu uraian yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.
c Sistematisasi, yaitu proses penyusunan dan penenmpatan sesuai dengan pokok
permasalahan secara sistematis sehingga memudahkan analisis data.

30

E. Analisis Data
Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya
adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan
mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan
menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci,
sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan
dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan
umum.Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode
induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian
dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.

V. PENUTUP

A. Simpulan
1. Proses penyidikan berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak terhadap tersangka anak merupakan bagian dari
kegiatan penyidikan yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan,
kejelasan dan keidentikan tersangka dan barang buktinya. Juga diperlukan
kemampuan khusus yang harus dimiliki oleh pemeriksa sehingga dalam
pelaksanaannya perlakuan-perlakuan yang diberikan kepada anak harus
dibedakan dengan tersangka dewasa. Dalam proses pemeriksaan wajib
dilaksanakan dengan menjunjung tingggi hukum yang berlaku serta
senantiasa memperhatikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam
KUHAP. Proeses Penyidikan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diutamakan upaya
diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar pengadilan
2. Perbedaan konsep penyidikan antara Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997
dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 lebih
memberikan peran yang dominan terhadap hakim, dibandingkan peran
penyidik dan penuntut umum (jaksa).

53

Kemudian, UU ini tidak mengatur diversi untuk mengalihkan perkara anak
di luar jalur peradilan formal sehingga anak mendapatkan stigmatisasi.
Sebangun dengan permasalahan ini, UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak belum mengakomodasi model keadilan restoratif. Dengan
melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan menganut pendekatan
yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive). Model
peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan kerangka kerja
yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan anak. Sedangkan
berdasarkan ketentuan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengutamakan upaya diversi dan
restoratif justice yang dilakukan demi mempertimbangkan kebaikan untuk
anak
B. Saran
1. Proses penyidikan berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak haruslah dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan mementingkan kepentingan anak
2. Dengan adanya perbedaan yang ada antara Undang Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus menjadikan
kepentingan anak sebagai perhatian utama karena undang undang Nomor

54

11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah

mencantumkan Diversi dan Restoratif Justice System

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, 2004,Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta,Raja Grafindo
Persada,
Andrisman Tri, 2009, Hukum Pidana : Asas Asas dan Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Indonesia, Lampung, Penerbit Universitas Lampung
Armansyah,2012, Konsep Ideal Perlindungan Anak, Jakarta : Raja Grafindo
Djamil Nasir,2012, Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA) Jakarta : Raja Grafindo Persada
Gultom Maidin .2012.Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan
.Bandung: PT Refika Aditama
Solehuddin,2011, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Soekanto, Soerjono,1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas
Indonesia Press,
Syamsudin,2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Setyowati Irma.1990,Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
Saraswati Irma Hukum,2010, Perlindungan Anak di Indonesia, Jakarta: Citra
Aditya,
Supriyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara
Suyatno,2011, Anak dalam Lingkaran Hukum, Bandung : Alumni
__________,2007, Perkembangan Konsep Perlindungan Anak : Bandung :
Alumni
Wagiati, 2010, Hukum Pidana Anak Bandung : Refika Aditama
Winaryo,2010, Aspek Hukum Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Bandung :
Alumni

56

Undang-Undang
Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum pidana islam dan undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

0 6 169

Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 8 0

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak Juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

0 4 1

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 8 49

PENDAHULUAN TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 10

PENUTUP TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 75

UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

0 0 34

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 2 75

PRAKTIK PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (CURANMOR)OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 12