ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

(1)

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Oleh

ZAHARA ALFIRIA

Upaya untuk mengoptimalkan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dilaksanakan oleh pemerintah dengan mengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kendala yang dihadapi adalah masih adanya perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, yang sama seperti pelaku tindak pidana dewasa seperti dalam proses penyidikan maupun dalam penempatan pada lembaga pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? (2) Apakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak sudah dapat mengakomodir pidana anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan selanjutnya data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 masih menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman, usia minimum pertanggung jawaban pidana terlalu rendah, penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana; tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara; belum adanya pengaturan Hak-hak anak yang yang berkonflik dengan hukum; belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif; tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal dan penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif. Sementara itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun


(3)

2012 diberlakukan dalam rangka mengatasi berbagai kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.(2) Bentuk perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengaturan terhadap hak-hak anak dalam proses peradilan serta adanya pemberlakuan diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Proses Penegakan hukum disarankan lebih mempertimbangkan dan mengedepankan pelaksanakan diversi dalam menangani perkara pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan terhadap anak yang berorientasi pada upaya pembinaan agar mereka tidak lagi melakukan kesalahan atau tindak pidana pada masa-masa yang akan datang. (2) Peradilan terhadap anak disarankan agar ditangani oleh aparat penegak hukum yang benar-benar khusus untuk menangani masalah anak, sehingga terpisah dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan adanya pembedaan perlakuan dalam hal menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana dengan kasus pelaku tindak pidana dewasa. Juga disarankan untuk meningkatkan pengetahuan para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus anak dan mempersiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus dibentuk untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Pengertian dan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak ... 16

B. Urgensi Perlindungan Hukum Pada Anak ... 17

C. Sistem Peradilan Pidana Anak ... 24

III METODE PENELITIAN ... 34

A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Jenis Data ... 34

C. Prosedur Pengumpulan Data ... 36

D. Prosedur Pengolahan Data ... 36

E. Analisis Data ... 36

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Perbandingan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 38

B. Upaya Untuk Mengatur Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Materil dan Formil Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 55


(7)

A. Simpulan ... 72 B. Saran ... 73


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan1

Fenomena yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya pelaku tindak pidana yang masih dalam kategori anak. Pengertian anak dalam konteks ini didasarkan pada Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian ini mengandung makna bahwa anak adalah amanah Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 77.


(9)

sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.2

Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun demikian mengingat pelaku tindak pidana masih di bawah umur maka proses penegakan hukumnya dilaksanakan secara khusus. Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama perlindungan khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan, telah terdapat dua undang-undang yang mengatur khusus tentang peradilan anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sesuai dengan aturan di atas maka dapat diidentifikasi bahwa dalam hal menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

2


(10)

Perlindungan anak pada dasarnya merupakan suatu bidang pembangunan nasional, di mana semangat yang dikembangkan bahwa melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuhnya. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan hukum itu sendiri.3

Perubahan dan perkembangan dalam kerangka pembangunan hukum khususnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Perubahan dan perkembangan tersebut di antaranya adalah adanya diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa diversi bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

3

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Widiaksara Indonesia, Jakarta, 2006.hlm. 32


(11)

Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berisi bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Pasal 7 Ayat (2) berisi bahwa diversi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Tujuan diversi dalam sistem peradilan pidana adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demin terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada sebelumnya. Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut merupakan upaya untuk memenuhi berbagai hak anak yang bermasalah dengan hukum.

Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat upaya yang patut diapresiasi bahwa Pemerintah telah mengadakan reformasi hukum di bidang pembaharuan undang-undang atau substansi hukum. Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana. Urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dengan demikian pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang


(12)

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 4

Pembaharuan hukum pidana tersebut harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan. Didalam setiap kebijakan terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan sosial, artinya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk didalamnya masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu kesejahteraan masyarakat, Selain tu sebagai bagian dari kebijakan kriminal, artinya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan), khususnya kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum.

Sistem peradilan pidana di Indonesia memberikan perhatian secara khusus terhadap anak-anak yang bermasalah dengan hukum. Hal ini dipertegas dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

4

Erni Dwita Silambi dan Andi Sofyan. Penangaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. hukumonline.com Diakses 15 Juni 2013.


(13)

Pidana Anak. Pertimbangan pemberlakuan undang-undang ini adalah anak dipandang bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara seimbang. Untuk melaksanakan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.

Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut Erni Dwita Silambi dan Andi Sofyan belum terlaksana secara maksimal, karena kurang profesionalnya aparat penegak hukum dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Masih terdapat perlakuan yang sama seperti orang dewasa terhadap anak yang melakukan tindak pidana, baik dalam proses penyidikan maupun penempatannya di dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan semangat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 5

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini dilakukan dan dituangkan ke skripsi yang

berjudul: ”Analisis Perbandingan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”

5

Erni Dwita Silambi dan Andi Sofyan. Penangaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. hukumonline.com Diakses 15 Juni 2013.


(14)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak

sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

b. Apakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak sudah dapat mengakomodir hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan subkajian mengenai perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ruang lingkup waktu penelitian adalah pada tahun 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun


(15)

1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak sudah dapat mengakomodir hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan perbandingan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana sesuai dengan hak-hak yang dimiliki oleh anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya


(16)

penelitian hukum. Berdasarkan pengertian tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum atau Comparative Law (bahasa Inggeris), Rechtsvergleichung (bahasa Jerman) atau “Vergeleichende Rechtslehre”, atau Droit Compare (bahasa Perancis); baru dikenal pada abad ke 19. Di Amerika Serikat, pada beberapa perguruan tinggi hukum istilah Comparative Law sering

diberi arti lain, yaitu: sebagai “hukum peristilahan” yang termasuk bidang studi

hukum perdata. Rudolf B. Schleisinger mengatakan, bahwa Comparative Law atau perbandingan hukum merupakan suatu metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.6

Secara yuridis, dapat dikatakan bahwa “Comparative Jurisprudence” adalah “the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of

law.” “Comparative” dimaksudkan adalah “proceeding by the method of

comparison; estimated by comparison and founded by comparison”. Selanjutnya

dikatakan bahwa “Comparative Law” bukanlah perangkat aturan dan asas-asas

hukum, bukan suatu cabang hukum. “Comparative Law” is the technique of dealing with actual foreign law element of a legal problem7.

Tujuan perbandingan hukum dapat dibedakan antara tujuan teoritis dan tujuan yang bersifat praktis. Tujuan yang bersifat teoritis menjelaskan bahwa hukum sebagai gejala dunia (universal) dan oleh karena itu ilmu pengetahuan hukum

6

Sudarto. Himpunan Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1984. hlm. 3-4

7Ibid


(17)

harus dapat memahami gejala dunia tersebut; dan untuk itu kita harus memahami hukum dimasa lampau dan pada masa sekarang. Tujuan yang bersifat praktis dari perbandingan hukum adalah merupakan alat pertolongan untuk tertib masyarakat dan pembaharuan tentang berbagai peraturan dan pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang dan hakim.8

Perbandingan hukum memiliki prosedur dan cara kerja sendiri, sesuai dengan prinsip dan esensi dari apa yang dinamakan perbandingan, memilih topik penelitian dan jenis perbandingan hukumnya. Topik yang dipilih tidak boleh terlalu luas, sebab akan menimbulkan risiko sebagai berikut: (a) penelitian menjadi tidak terfokus sehingga kerapkali justru hanya sumir atau dangkal analisisnya (b) sulit bagi peneliti untuk mengendalikan penelitian tersebut, dan (c) membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan penelitian. Obyek penelitian dapat berupa hukum substantive atau hukum material dari dua atau lebih sistem hukum yang ada, atau juga yang dapat diperbandingkan adalah aspek formal dari berbagai sistem hukum tersebut. 9

Obyek yang akan diperbandingkan haruslah sesuatu yang masing-masing memiliki unsur atau elemen atau karakteristik tertentu yang ama sehingga obyek tersebut memang pantas untuk diperbandingkan. Dalam perbandingan hukum, unsur yang sama tersebut yang menjadi common denominator dalam perbandingan hukum dinamakan tertium comparationis. Tertium comparationis adalah titik persamaan yang harus ada dalam setiap obyek yang hendak diperbandingkan agar dengan demikian obyek tersebut layak untuk saling

8Ibid

. hlm.6

9Ibid


(18)

diperbandingkan dan sebagai dasar untuk memperbandingkan sesuatu. Untuk menjelaskan mengapa terjadi perbedaan dan atau persamaan lazimnya akan mencari berbagai faktor yang sangat signifikan yang mempengaruhi struktur, perkembangan dan substansi dari sistem hukum yang diteliti itu. Persamaan atau perbedaan dari faktor-faktor itulah yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan di bidang hukum. 10

b. Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 11

c. Keadilan Substantif terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil12

10

Ibid. 7

11

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 2 12


(19)

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. 13

Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.14

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan),

13

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1994. hlm. 12-13

14


(20)

memberi rasa keadilan, tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum15

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian 16. Batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah kegiatan untuk meneliti suatu objek tertentu secara sistematis, guna mendapatkan informasi mengenai objek tersebut. Analisis sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian yang mudah dimengerti. 17

b. Perbandingan hukum adalah suatu metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.18 c. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi19

d. Anak adalah adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan20

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi

15

Ibid hlm. 66

16

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103 17

Moleong J.Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Rajawali Press. Jakarta. 2005. hlm. 14

18

Sudarto. Himpunan Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1984. hlm. 3-4

19

Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

20


(21)

siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku21

f. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum22.

g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah undang-undang yang mengatur tentang pengadilan anak

h. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 undang-undang yang mengatur tentang sistem peradilan anak.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini disajikan dalam lima sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian dan jenis tindak pidana, sistem peradilan pidana dan perlindungan terhadap anak

21

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 54

22

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 82.


(22)

III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak

Pengertian anak menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Konsep anak menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan


(24)

bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Batas usia pertanggungjawaban pidana anak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, adalah perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka Mahkamah berpendapat hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum bagi anak nakal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Pengadilan Anak yang menyatakan, Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

B. Urgensi Perlindungan Hukum Pada Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang melakukan tindak pidana, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,


(25)

penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu: (a) Nondiskriminasi;

(b) Kepentingan yang terbaik bagi anak;

(c) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d) Penghargaan terhadap pendapat anak.

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa upaya perlindungan hukum terhadap anak dilaksanakan dalam konteks menyeluruh dalam rangka memenuhi hak-hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(26)

Upaya pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, memerlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: (1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau

seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan melalui:

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak adalah sebagai berikut:


(27)

(a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

(b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

(c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).

(d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku [Pasal 7 Ayat (1) dan (2)].

(e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).

(f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus [Pasal 9 Ayat (1) dan (2)].

(g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan


(28)

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

(h) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11). (i) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan

sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

(j) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Setiap orang yang melakukan segala bentuk perlakuan itu dikenakan pemberatan hukuman [Pasal 13 Ayat (1) dan (2)]. (k) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

(l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).

(m)Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan,


(29)

penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir [Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3)].

(n) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan [Pasal 17 Ayat (1) dan (2)].

(o) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

(p) Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru; mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19).

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan perwujudan dari pemenuhan hak-hak anak dalam konteks sistem peradilan pidana anak. Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah sebagai berikut; sebagai tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan), hak untuk yang dilayani kerena penderitaan fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan,


(30)

pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan.

Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan, hakuntuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.

Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 Ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 Ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 Ayat (4) KUHAP).


(31)

Hak anak selama persidangan, masih dibedakan lagi dalam kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku:

a. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan kasusnya. b. Hak untuk mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan. c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan

mengenai dirinya.

d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

e. Hak untuk menyatakan pendapat.

f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

h. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. 1

Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 Ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 Ayat (4) KUHAP)

C. Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem peradilan pidana anak merupakan seperangkat pelaksanaan peradilan yang secara khusus diperuntukkan bagi yang melakukan tindak pidana, sehingga terdapat perbedaan dengan peradilan pidana umum untuk orang dewasa. Hal ini merupakan suatu upaya untuk menjamin hak-hak anak dalam proses peradilan.

1


(32)

Menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 2

Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 3

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya

2

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994.

hlm. 12-13

3


(33)

ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 4 Selanjutnya tampak pula, bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat preventif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Sistem peradilan pidana merupakan arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.

a. Pendekatan administratif

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai

4


(34)

dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

b. Pendekatan sosial

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial. 5

Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu integrated criminal justice system.

Integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:

a. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

a. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

b. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.6

Keselarasan dan keterkaitan antara subsistem yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu subsistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem lainnya. Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu

5

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 6

6Ibid


(35)

komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Oleh karena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai the network of court and tribunals which deal with criminal law and it enforcement. (jaringan peradilan pidana dalam mekanisme hukum pidana dan penegakan hukum) 7

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. 8

Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar sistem hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan

7Ibid

. hlm. 8

8Ibid


(36)

penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut. 9

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.

Kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.10

9Ibid

. hlm. 10

10


(37)

Faktor penegak hukum dalam hal ini menempati titik sentral, karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum. Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistem, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana11

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu: a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang

menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

11

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm. 35


(38)

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat12

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.13

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar

12Ibid

. hlm. 37

13

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 1997. hlm. 62.


(39)

pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak. Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat.

Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Sudarto, pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif

b. Tahap Aplikasi

Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta


(40)

menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat-aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna. 14

Sistem peradilan pidana anak menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

14


(41)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum yang didasarkan pada asas-asas, norma-norma dan peraturan yang berlaku1

Berdasarakan pengertian di atas maka pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini digunakan untuk melakukan analisis perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

B. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1


(42)

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

(4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (6) Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

(7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.


(43)

C. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan, yaitu prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

D. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

2. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

3. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian


(44)

ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat umum lalu menarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian 2

2


(45)

V. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 masih menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman, usia minimum pertanggung jawaban pidana terlalu rendah, penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana; tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara; belum adanya pengaturan Hak-hak anak yang yang berkonflik dengan hukum; belum melaksanakan proses diversi dan keadilan restoratif; tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal dan penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diberlakukan dalam rangka mengatasi berbagai kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut dengan mengedepankan pembinaan kepada anak yang melakukan tindak


(46)

pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah melaksanakan proses diversi dan keadilan restoratif dan mengatur pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dan penjatuhan pidana telah bersifat pada pembinaan atau restoratif. 2. Bentuk perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pengaturan terhadap hak-hak anak dalam proses peradilan serta adanya pemberlakuan model diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

B. Saran

Beberapa saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Proses Penegakan hukum disarankan lebih mempertimbangkan dan mengedepankan pelaksanakan diversi dalam menangani perkara pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan terhadap anak yang berorientasi pada upaya pembinaan agar mereka tidak lagi melakukan kesalahan atau tindak pidana pada masa-masa yang akan datang.

2. Peradilan terhadap anak disarankan agar ditangani oleh aparat penegak hukum yang benar-benar khusus untuk menangani masalah anak, sehingga terpisah dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan adanya pembedaan perlakuan dalam


(47)

hal menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana dengan kasus pelaku tindak pidana dewasa. Juga disarankan untuk meningkatkan pengetahuan para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus anak dan mempersiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus dibentuk untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia, Rineka Cipta, Jakarta. Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia. Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan

Penerbit UNDIP. Semarang.

---.2001. Lembaga Peradilan Bersyarat. Penerbit Alumni. Bandung.

Nawawi Arief, Badra. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Setiadi, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(49)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana


(1)

37

ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat umum lalu menarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian 2

2


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 masih menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman, usia minimum pertanggung jawaban pidana terlalu rendah, penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana; tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara; belum adanya pengaturan Hak-hak anak yang yang berkonflik dengan hukum; belum melaksanakan proses diversi dan keadilan restoratif; tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal dan penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diberlakukan dalam rangka mengatasi berbagai kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut dengan mengedepankan pembinaan kepada anak yang melakukan tindak


(3)

73

pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah melaksanakan proses diversi dan keadilan restoratif dan mengatur pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dan penjatuhan pidana telah bersifat pada pembinaan atau restoratif. 2. Bentuk perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pengaturan terhadap hak-hak anak dalam proses peradilan serta adanya pemberlakuan model diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

B. Saran

Beberapa saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Proses Penegakan hukum disarankan lebih mempertimbangkan dan mengedepankan pelaksanakan diversi dalam menangani perkara pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan terhadap anak yang berorientasi pada upaya pembinaan agar mereka tidak lagi melakukan kesalahan atau tindak pidana pada masa-masa yang akan datang.

2. Peradilan terhadap anak disarankan agar ditangani oleh aparat penegak hukum yang benar-benar khusus untuk menangani masalah anak, sehingga terpisah dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan adanya pembedaan perlakuan dalam


(4)

74

hal menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana dengan kasus pelaku tindak pidana dewasa. Juga disarankan untuk meningkatkan pengetahuan para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus anak dan mempersiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus dibentuk untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia, Rineka Cipta, Jakarta. Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia. Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan

Penerbit UNDIP. Semarang.

---.2001. Lembaga Peradilan Bersyarat. Penerbit Alumni. Bandung.

Nawawi Arief, Badra. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial

dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Setiadi, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(6)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum pidana islam dan undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

0 6 169

Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 8 0

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak Juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

0 4 1

Tinjauan Hukum Tentang Efektivitas Pemberlakuan Pidana Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak JUNCTO Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 10 64

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 7 42

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 4 12

PENDAHULUAN TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 10

PENUTUP TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 75

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

0 0 10