obedient. Sementara ayah memainkan peranan paling dominan dalam proses sosialisasi tersebut di tengah pasungan budaya patriarkhat yang juga menjelmakan dunia olahraga laki-
laki masculine sport, meskipun kemudian pihak ibu banyak terlibat untuk memberikan dukungan dan pengorbanan. Faktor lingkungan keluarga eco-family juga berpengaruh
untuk ikut membentuk sikap positif anak wanita usia muda terhadap olahraga dengan munculnya idola dari saudara sekandung atau sanak keluarga lain. Lingkungan pada tingkat
messo, khususnya fasilitas olahraga yang memberi kenyamanan membangkitkan sensasi yang menyenangkan bagi anak untuk berolahraga. Lingkungan makro memainkan peranan
melalui media masa yang membentuk citra positif wanita berolahraga, berikut kebijakan publik dan landasan hukum, yang memberikan kepastian masa depan atlet melalui
penetapan sistem penghargaan.
B. Implikasi Hasil Penelitian
Temuan dari studi ini mengandung implikasi yang luas dalam konteks menggalakkan upaya memasyarakatkan olahraga di Indonesia. Beberapa implikasi praktis, secara specifik dan
rinci dipaparkan sebagai berikut:
1. Prinsip inklusif yang menginginkan olahraga dapat dilakukan secara merata, termasuk
peningkatan peranan wanita yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 3 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Hal ini perlu dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan
publik pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga ke lembaga-lembaga pendidikan. Harapannya, agar dapat dicapai tidak semata-mata kesetaraan gender, tetapi justru
manfaat yang dapat diperoleh setiap warga negara Indonesia baik keuntung dari
perspektif pendidikan, kesehatan, psikologis, maupun sosial budaya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
2. Pihak keluarga inti, terutama orang tua ayah dan ibu memegang peranan utama sebagai
agen sosial untuk melaksanakan pola asuhan dan proses sosialisasi olahraga. Pengaruh sibling atau saudara sekandung dan anggota sanak keluarga juga tak dapat diabaikan.
Karena itu penyuluhan tentang olahraga termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu disebarluaskan melalui berbagai saluran komunikasi, seperti media masa
dan tatap muka dengan penyuluhan langsung ke lapangan, menjangkau kelompok- kelompok khalayak. Di antara isi pesan itu adalah pemberian kesempatan pada anak
tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, untuk aktif bermain atau berolahraga guna perkembangan, bukan saja positif bagi kemampuan kognitif tetapi juga
perkembangan sosial. Pemberian kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan itu perlu didukung oleh penyediaan fasilitas yang memadai, tidak saja cukup dengan luasnya
lapangan atau ruangan saja, tetapi juga nyaman dipandang dan aman untuk digunakan. Penataan lingkungan ini tentu ada kaitannya dengan kebijakan tata ruang, dan karena itu
juga dibutuhkan dalam koordinasi lintas sektoral sesuai dengan tanggung jawabnya.
3. Fase sosialisasi dan pemanduan bakat oleh pihak klub olahraga amat kritis ditinjau dari
kesulitan karakteristik anak, kesiapan berlatih, dan pertimbangan lainnya dari sudut kejiwaan, sehingga perlu ditangani lebih sistematik. Praktik pembinaan mengandung
potensi yang membahayakan kesehatan anak, termasuk frekuensi ancaman cedera yang tinggi, apabila tidak diindahkan prinsip pelatihan yang memanfaatkan dukungan disiplin
ilmu lainnya, utamanya teori pendidikan dan ilmu pendukung lainnya, seperti fisiologi atau anatomi fungsional. Karena itu penanganan atlet usia dini memerlukan latihan-
latihan, sebab bisa jadi obsesi orang tua atau pelatih yang berlebih-lebihan untuk menyaksikan anak asuhannya berprestasi dalam jangka waktu singkat akan membuahkan
dampak negatif yang dapat merusak aspek fisik, mental, dan emosional. 4.
Implementasi kesetaraan gender yang dimaksud dalam konteks olahraga bukan hanya terbatas pada partisipasi aktif berolahraga, tetapi juga diharapkan dalam bentuk
pemberian kesempatan bagi kaum wanita untuk menduduki jabatan dalam organisasi olahraga.
5. Partisipasi atlet wanita dalam olahraga prestasi memerlukan pengorbanan, dan sangat
rawan waktu yang harus mereka sisihkan untuk berlatih, sehingga menyita waktu dalam persiapan mereka memperoleh kecakapan hidup melalui perolehan pendidikan yang
cukup. Korban sosial yang sering dijumpai di kalangan mantan atlet merupakan bukti dari belum adanya sistem penghargaan bagi atlet. Karena itu dibutuhkan sistem
penghargaan dan rasa aman bagi semua atlet tersebut. 6.
Besarnya peluang juara dan pemecahan rekor oleh atlet wanita dapat dijadikan sebagai patokan untuk lebih mengedepankan atlet perempuan dalam berbagai cabang olahraga.
Dengan demikian sosialisasi yang dilakukan dapat lebih merata dan setara antara atlet laki-laki dan perempuan, dengan harapan orang tua dan masyarakat secara umum faham
tentang kepentingan anak perempuan dalam aktivitas olahraga prestasi, utamanya yang mengundang citra laki-laki.
7. Terbentuknya watak yang didukung oleh sifat-sifat kepribadian unggul dapat diperoleh
melalui aktivitas olahraga, seperti motif berprestasi need of achievement, untuk itu keluarga dalam pengasuhannya mampu menggiring anak-anaknya secara merata pada
aktivitas olahraga, sehingga akan menanamkan kebiasaan-kebiasaan positif pada diri anak, seperti; selalu mengandalkan usaha effort, ketekunan perseverance, penentuan
dan fokus pada tujuan, determinasi determination, tanggung jawab responsibility selain sifat lainnya seperti percaya diri, konsep diri positif self-concept, kemampuan
mengendalikan diri self-control, kerja sama cooperation, kecakapan bergaul pada sesamanya socialization, rasa empati empathy dan berfikir logis dalam tiap
perilakunya sehari-hari.
C. Rekomendasi