d por 049787 chapter5

(1)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI HASIL PENELITIAN

DAN REKOMENDASI

Pengkajian masalah yang terfokus pada proses sosialisasi wanita ke dalam olahraga pada usia dini, ditinjau dari peranan pola asuhan orang tua di lingkungan keluarga dalam tatanan sosial berkerangka budaya patriakhat mengungkap masalah yang amat mendasar. Kesemuanya itu bersumber pada “data lunak” yang ditata dalam jalinan paparan, serta diulas dan ditafsirkan maknanya dalam lingkup konsep dan sub konsep yang muncul dari lapangan, seperti tertuang dalam Bab IV terdahulu.

Data lunak tersebut yang diperoleh dari tiga atlet wanita Jawa Barat yang berprestasi pada taraf internasional, digunakan sebagai unit analisis dalam penelitian ini. Masing-masing unit analisis itu menekuni cabang olahraga judo dan gulat yang diasumsi mewakili karakteristik “olahraga keras” dalam konsep “masculine sport” serta senam artistik dengan karakteristik gerak dan performa yang dipandang lebih bersifat feminin.

Derajat kesahihan data yang diperoleh dari ketiga unit analisis tersebut tergolong tinggi, setelah konsistensi dan koherensinya diuji berdasarkan teknik triangulasi, bersumber dari orang tua (keluarga inti) dari ketiga unit analisis terpilih, pelatih ketiga cabang olahraga serta kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah siswa atlet masing-masing. Dengan demikian diperoleh beberapa kesimpulan yang sebelumnya didukung beberapa proposisi yang dapat dijadikan substansi bagi pengembangan teori dalam kerangka kesetaraan gender dalam olahraga, khususnya olahraga keras (masculine sport). Kesimpulan ini juga mengandung implikasi yang amat strategis yang dapat diupayakan dalam pembangunan keolahragaan nasional disertai


(2)

beberapa saran/rekomendasi. Kesimpulan, implikasi hasil penelitian dan rekomendasi sebagai tindak lanjut dipaparkan bagian demi bagian sebagai berikut.

A. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan dalam runtutan yang selaras dengan pokok pertanyaan penelitian seperti telah disajikan dalam Bab I, dipaparkan sebagai berikut.

1. Proses pola asuh dan sosialisasi olahraga ketika berusia dini di kalangan wanita melalui pengalihan nilai, pengetahuan, pembentukan sikap dan perolehan kecakapan dasar berolahraga secara terpadu, keseluruhan terjadinya bermula di lingkungan keluarga inti, dengan catatan, pihak ayahlah yang paling dominan membuat keputusan, sekaligus membuka kunci kesempatan bagi anak wanita tersebut untuk berolahraga. Kemudian, secara berangsur pihak ibu, meskipun sebelumnya kurang menyenangi olahraga atau sangat awam pengetahuannya dalam olahraga, ikut memberikan andil yang besar dalam hal memfasilitasi proses belajar dan berlatih olahraga, serta membangkitkan semangat dan memelihara motivasi dalam jangka waktu panjang. Baik ayah maupun ibu terkesan siap dan memiliki komitmen tinggi untuk berkorban ditinjau dari aspek curahan waktu dan tenaga untuk memfasilitasi proses pelatihan, hingga penyediaan biaya untuk memenuhi semua keperluan anak yang bersangkutan. Penonjolan peranan ayah ketimbang ibu seperti dipaparkan tersebut terkait langsung dengan proses transformasi sosial di Indonesia, yang umumnya masih ditandai dengan orientasi nilai budaya patriakhat yang masih melekat dan diawetkan di Indonesia. Orientasi nilai itu juga mempengaruhi persepsi khalayak umum yang memandang dan mengartikan olahraga itu pada dasarnya “milik kaum lelaki” dan karena itu benar-benar tidak sesuai dan tidak patut dilakukan oleh kaum perempuan. Sejarah


(3)

perkembangan olahraga, termasuk di Indonesia yang umumnya mengadopsi olahraga dari kelompok masyarakat Barat dan atau masyarakat kolonial sejak zaman pra-kemerdekaan, benar-benar dipasung oleh mindset “masculine sport.” Karena itu halangan utama bagi pengembangan olahraga wanita di Indonesia dalam konteks kesetaraan gender dan implementasi prinsip inklusif, atau olahraga sebagai hak asasi manusia yang menjiwai Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional adalah dibutuhkannya upaya sistematis dan sungguh-sungguh pada setiap lapisan masyarakat, khususnya di lingkungan lembaga pendidikan dan organisasi olahraga untuk mengurai simpul ikatan-ikatan psikologis yang berakar pada budaya, yang mendasari sikap dan perilaku masyarakat dalam olahraga.

2. Di samping pihak keluarga inti sebagai agen sosial utama, maka dari perspektif konsep pembelajaran sosial (social learning), lingkungan sosial di sekitar atlet usia muda, utamanya anggota saudara sekandung, atau sanak keluarga lainnya yang sukses dan berprestasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dengan anak wanita yang dimaksud, memainkan peranan sangat efektif sebagai model, sekaligus idola, untuk ikut serta membentuk sikap positif terhadap olahraga, sekaligus membangkitkan motivasi baginya untuk mengikuti jejak dalam menekuni olahraga.

3. Lingkungan fisik tempat berolahraga yang terkesan luas, lapang, nyaman dan aman membangkitkan sensasi penarik yang kuat secara psikologis bagi anak usia muda untuk aktif mengekspresikan dirinya melalui aktivitas gerak-gerak dasar lokomotor (misalnya, melompat, berguling, berlari), non-lokomotor (misalnya, gerak keseimbangan) dan manipulatif (memainkan objek dengan anggota badan, khususnya tangan yang serasi dengan


(4)

konfigurasi ruang dan bentuk objek disekitarnya, serta pertimbangan kemampuan diri untuk melakukan tugas gerak tersebut.

4. Dari sudut pemahaman keluarga yang merupakan sebuah sistem, keluarga atlet wanita muda, seperti terungkap dalam kajian ini, ditandai oleh tiga karakteristik utama, yakni;

Pertama, struktur keluarga yang utuh yaitu masih lengkap ayah dan ibunya, sementara ayah

menampilkan peranan yang dominan dalam membuat keputusan dalam berbagai hal, termasuk yang berkaitan dengan kegiatan olahraga di lingkungan keluarga, dan pihak ibu memberi kesepakatan pada keputusan itu. Hal ini berakibat pada tumbuhnya ketergantungan dan sikap patuh atau penurut pada anak wanita kepada orangtuanya. Sikap yang telah tertanam seperti itu kemudian ternyata mengandung nilai transfer atau alihan, ini terbukti bahwa para atlet muda wanita itu sangat patuh dan respek terhadap pelatih dan program latihannya. Secara berangsur, kemudian, dominasi ayah dalam membuat keputusan dan ketergantungan anak wanita kian berkurang, seiring dengan meningkatnya usia anak dan tumbuhnya kemandirian atlet muda itu untuk mengatur kehidupannya dan mengelola kegiatan olahraganya, termasuk kemampuan untuk menjaga dirinya.

Kedua, relasi sosial anggota keluarga tersebut, ditandai keterikatan emosi (emotional bonding atau emotional attachment) yang kuat di antara anggota keluarga, seperti

ditunjukkan dalam hubungan anak dengan ayah atau ibunya, sebuah faktor psikologis perekat yang kokoh. Faktor inilah yang sangat membantu untuk mempertahankan motivasi anak berlatih olahraga dalam jangka panjang, bertahun-tahun, termasuk untuk pengendalian emosi, seperti frustasi berat pada saat kritis seperti ketika pemulihan cedera atau mengobati kekecewaan akibat gagal memenangkan pertandingan.


(5)

Ketiga, pihak ayah menunjukkan komitmen yang kuat dalam olahraga, baik karena yang

bersangkutan berlatar belakang sebagai atlet, pelatih atau pun hanya sebagai olahragawan biasa, sehingga faktor inilah, tanpa memandang pengetahuan dan prestasi yang cukup baik dalam olahraga, menjadi faktor penentu yang mengurai simpul-simpul ikatan budaya hingga kemudian membuka kesempatan, memfasilitasi bahkan menggiring sang anak untuk menyukai dan menekuni suatu cabang olahraga.

5. Penentuan cabang olahraga pilihan bagi atlet wanita usia muda itu pada dasarnya tidak melalui proses sistematis yang berlandaskan pada konsep pemanduan bakat, tetapi terkesan lebih banyak mengandalkan pada pertimbangan akal sehat (common sense) dan pengalaman, terutama kesesuaian antara tipe dan bentuk tubuh anak dengan pola gerak dominan yang dibutuhkan oleh cabang olahraga yang bersangkutan. Seperti bentuk tubuh yang agak gemuk dan agresif lebih sesuai untuk cabang judo, atau cekatan dan lincah untuk senam artistik. Latar belakang kehidupan keras yang terbiasa bekerja berat dan mengerahkan tenaga besar ternyata memfasilitasi proses belajar dan prestasi dalam cabang angkat besi. Penguasaan gerak dasar dan pengayaan pembendaharaannya seperti yang ditunjukkan oleh ketiga atlet wanita ini mendukung konsistensi tentang pentingnya pengembangan kemampuan multilateral pada usia dini agar berprestasi pada tahap-tahap berikutnya.

6. Motif keikutsertaan anak usia dini dalam olahraga pada mulanya berawal dari dorongan dari dalam diri pribadi anak, yakni karena kesenangan belaka, yang tercakup dalam konsep

motivasi intrinsik. Pada tahap berikutnya, seolah-olah lebih banyak didorong oleh motivasi ekstrinsik yang dibangkitkan oleh dampak pengiring berupa pemberian imbalan atau hadiah


(6)

material berupa uang, dan fasilitas lainnya. Dari pihak orangtua, dua macam motif yang ditemukan yaitu, Motif pertama, orang tua khususnya ayah menyalurkan dan bahkan mengarahkan puterinya untuk menekuni suatu cabang olahraga, tetapi cenderung sebagai pelampiasan obsesinya bahwa puterinya tersebut cocok dan akan berhasil dalam olahraga yang ditentukannya, seperti dalam kasus judo dan senam.

Motif kedua, yaitu olahraga dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga untuk keluar dari

kemiskinan, terkait dengan besarnya ekspektasi mampu berprestasi hingga kemudian berharap memperoleh imbalan yang memadai untuk memperbaiki nasib. Motif tersebut dibangkitkan oleh keberhasilan anggota keluarga lainnya, seperti dalam kasus angkat besi.

7. Pihak pelatih memegang peranan dan andil besar dalam proses rekrutmen atlet wanita usia muda untuk beralih ke program olahraga kompetitif yang berorientasi prestasi melalui program pelatihan yang lebih sistematis dan berat. Berdasarkan kasus ini tersingkap bahwa dilibatkannya anak wanita usia muda dalam cabang tertentu, seperti judo, angkat besi dan senam artistik yang dijadikan unit analisis dalam penelitian ini, tampaknya bukan karena dorongan keinginan yang tulus dari pihak pembina untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak tersebut untuk memperoleh manfaat dari kegiatan berolahraga. Akan tetapi ada indikasi, sadar atau tidak disadari, pemberian kesempatan itu boleh disebut perlakuan “manipulatif” yaitu kesempatan itu didorong oleh obsesi pengurus olahraga, melalui pelatihannya, untuk memperoleh medali, utamanya medali emas dalam even nasional atau internasional. Keberhasilan tersebut dipandang bermakna, khususnya dari sisi dampak politik untuk mengangkat harum nama daerah atau bangsa Indonesia. Obsesi ini dapat saja menyebabkan terjadi malpraktik pelatihan yang dipicu oleh ambisi berprestasi dalam jangka


(7)

waktu pembinaan yang singkat. Selain itu obsesi semacam ini dapat juga berimplikasi pada tingginya peluang atlet mengalami cedera seperti yang terjadi dalam kasus pada penelitian ini. Fenomena ini lumrah akibat dari beban kerja latihan yang jauh melampaui ambang batas kemampuan atlet untuk mentoleransi volume atau intensitas beban latihan. Kuat kecenderungan yakni ketiga kasus yang dikaji mendukung kesimpulan ini.

8. Fase pembinaan olahraga usia dini sangat rawan ditinjau dari proses pembentukan kepribadian, personal development, sehingga pelatih di lingkungan klub, lebih-lebih di pusat latihan memegang peranan penting untuk mengambil alih tugas orang tua sebagai pengasuh, sekaligus sebagai pendidik. Penyimpangan perilaku dari norma sangat berpeluang terjadi manakala lemah dalam pengasuhan dan cara hidup yang tidak berdisiplin, apalagi sering juga muncul konflik antara sesama atlet yang memerlukan penanganan secara tepat dan bijaksana. Proses pembinaan dalam ketiga kasus itu berhasil karena didukung oleh utamanya ikatan emosional yang kuat antara atlet dan pelatih, dan adanya kepercayaan atau

trust dari pihak atlet kepada pelatih. Dalam konteks pelatihan, asuhan dan keputusan pelatih

mengarah pada tipe otoriter karena berorientasi pada tugas dan target prestasi, meskipun sekali waktu terbuka kesempatan dialog di antara mereka.

9. Dukungan lingkungan sekolah dalam hal memfasilitasi kegiatan belajar atlet yang menjadi siswanya, termasuk mengatasi kesulitan belajar, ikut memberikan andil, terutama untuk memadukan kepentingan akademik dan pelatihan dalam rangka mempersiapkan kecakapan hidup dan kelanjutan pendidikan. Meskipun tidak disertai oleh kebijakan sekolah yang lugas untuk memandang sama semua potensi siswa, termasuk yang berbakat dalam


(8)

olahraga. Akan tetapi melalui pemberian perhatian khusus kepada siswa atlet berprestasi, masa depan pendidikan para atlet tersebut ternyata dapat dipersiapkan. Keberhasilan prestasi dan pendidikan ketiga atlet wanita dalam studi ini benar-benar berkat kerja sama yang erat dan saling pengertian di antara ketiga lingkungan, yaitu keluarga, klub atau organisasi olahraga, dan sekolah.

10. Pihak media masa, baik cetak maupun elektronik ikut membangun citra posistif wanita berolahraga, terutama karena prestasi yang dicapai wanita berdampak positif bukan saja bagi diri pribadi yang bersangkutan, tetapi juga bagi lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, klub, sekolah hingga lebih luas, daerah dan bangsa Indonesia. Pencitraan melalui media masa seperti surat kabar berdampak khusus yakni bangkitnya dukungan, utamanya pihak sekolah untuk memfasilitasi proses belajar dan berlatih siswa atlet yang bersangkutan. Hal ini terdorong oleh pengakuan pimpinan sekolah bahwa siswa yang berprestasi itu dianggap mewakili kelompoknya dan sekaligus mengangkat nama harum sekolah.

11. Ketiga atlet wanita dalam kasus ini memperlihatkan sifat kepribadian yang khas lazimnya atlet berprestasi yakni memiliki motif berprestasi yang tinggi pula terhadap beban latihan, dan bahkan mampu menyaingi atlet pria, meskipun dalam kajian ini tidak diperbandingkan. Sifat-sifat inilah yang kemungkinan besar mendukung terjadinya tempo belajar (rate of

learning) yang cepat sekali, utamanya dalam kasus yudo dan senam, dan pesatnya

peningkatan prestasi seperti dalam kasus angkat besi. Dengan demikian kuat adanya indikasi bahwa secara biologis atlet wanita itu tangguh, menandingi laki-laki, sama halnya


(9)

dengan keunggulan sifat psikologis mereka berupa tingginya etos kerja dan motif berprestasi.

12. Partisipasi wanita usia muda dalam olahraga prestasi selama bertahun-tahun menimbulkan beberapa perubahan.

Pertama, terbentuknya watak yang didukung oleh sifat-sifat kepribadian unggul yakni motif

berprestasi (need of achievement) yang terkait kebiasaan mengandalkan usaha (effort), ketekunan (perseverance), penentuan dan fokus pada tujuan, determinasi (determination), tanggung jawab (responsibility) selain sifat lainnya seperti percaya diri, konsep diri positif (self-concept), kemampuan mengendalikan diri (self-control), kerja sama (cooperation), kecakapan bergaul pada sesamanya (socialization), rasa empati (empathy) dan berfikir logis.

Kedua, peningkatan status sosial ekonomi yang bersumber dari imbalan materi karena

berprestasi, hingga kemudian memberikan dukungan bagi peningkatan pendidikan. Keadaan ini membangkitkan rasa berdaya dan setara dengan warga masyarakat lainnya.

Ketiga, pemberdayaan itu terkait dengan peningkatan status wanita yang terpandang di

masyarakat, dan dari sisi sosial budaya, berdampak kuat untuk menunda pernikahan pada usia muda.

13. Secara umum kesimpulan yang diperoleh menunjukkan interelasi sejumlah faktor dalam pola hubungan yang kompleks, yakni proses sosialisasi anak wanita usia muda ke dalam olahraga berawal dari lingkungan keluarga. Struktur keluarga yang utuh dengan ciri memiliki komitmen yang kuat dalam olahraga, ikatan emosional yang kuat, dengan asuhan yang hangat dan diterima (acceptance) hingga melahirkan putera puteri yang patuh


(10)

(obedient). Sementara ayah memainkan peranan paling dominan dalam proses sosialisasi

tersebut di tengah pasungan budaya patriarkhat yang juga menjelmakan dunia olahraga laki-laki (masculine sport), meskipun kemudian pihak ibu banyak terlibat untuk memberikan dukungan dan pengorbanan. Faktor lingkungan keluarga (eco-family) juga berpengaruh untuk ikut membentuk sikap positif anak wanita usia muda terhadap olahraga dengan munculnya idola dari saudara sekandung atau sanak keluarga lain. Lingkungan pada tingkat messo, khususnya fasilitas olahraga yang memberi kenyamanan membangkitkan sensasi yang menyenangkan bagi anak untuk berolahraga. Lingkungan makro memainkan peranan melalui media masa yang membentuk citra positif wanita berolahraga, berikut kebijakan publik dan landasan hukum, yang memberikan kepastian masa depan atlet melalui penetapan sistem penghargaan.

B. Implikasi Hasil Penelitian

Temuan dari studi ini mengandung implikasi yang luas dalam konteks menggalakkan upaya memasyarakatkan olahraga di Indonesia. Beberapa implikasi praktis, secara specifik dan rinci dipaparkan sebagai berikut:

1. Prinsip inklusif yang menginginkan olahraga dapat dilakukan secara merata, termasuk peningkatan peranan wanita yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 3 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Hal ini perlu dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan publik pemerintah (pusat), pemerintah daerah, hingga ke lembaga-lembaga pendidikan. Harapannya, agar dapat dicapai tidak semata-mata kesetaraan gender, tetapi justru manfaat yang dapat diperoleh setiap warga negara Indonesia baik keuntung dari


(11)

perspektif pendidikan, kesehatan, psikologis, maupun sosial budaya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

2. Pihak keluarga inti, terutama orang tua (ayah dan ibu) memegang peranan utama sebagai agen sosial untuk melaksanakan pola asuhan dan proses sosialisasi olahraga. Pengaruh sibling atau saudara sekandung dan anggota sanak keluarga juga tak dapat diabaikan. Karena itu penyuluhan tentang olahraga termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu disebarluaskan melalui berbagai saluran komunikasi, seperti media masa dan tatap muka dengan penyuluhan langsung ke lapangan, menjangkau kelompok-kelompok khalayak. Di antara isi pesan itu adalah pemberian kesempatan pada anak tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, untuk aktif bermain atau berolahraga guna perkembangan, bukan saja positif bagi kemampuan kognitif tetapi juga perkembangan sosial. Pemberian kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan itu perlu didukung oleh penyediaan fasilitas yang memadai, tidak saja cukup dengan luasnya lapangan atau ruangan saja, tetapi juga nyaman dipandang dan aman untuk digunakan. Penataan lingkungan ini tentu ada kaitannya dengan kebijakan tata ruang, dan karena itu juga dibutuhkan dalam koordinasi lintas sektoral sesuai dengan tanggung jawabnya.

3. Fase sosialisasi dan pemanduan bakat oleh pihak klub olahraga amat kritis ditinjau dari kesulitan karakteristik anak, kesiapan berlatih, dan pertimbangan lainnya dari sudut kejiwaan, sehingga perlu ditangani lebih sistematik. Praktik pembinaan mengandung potensi yang membahayakan kesehatan anak, termasuk frekuensi ancaman cedera yang tinggi, apabila tidak diindahkan prinsip pelatihan yang memanfaatkan dukungan disiplin


(12)

ilmu lainnya, utamanya teori pendidikan dan ilmu pendukung lainnya, seperti fisiologi atau anatomi fungsional. Karena itu penanganan atlet usia dini memerlukan latihan-latihan, sebab bisa jadi obsesi orang tua atau pelatih yang berlebih-lebihan untuk menyaksikan anak asuhannya berprestasi dalam jangka waktu singkat akan membuahkan dampak negatif yang dapat merusak aspek fisik, mental, dan emosional.

4. Implementasi kesetaraan gender yang dimaksud dalam konteks olahraga bukan hanya terbatas pada partisipasi aktif berolahraga, tetapi juga diharapkan dalam bentuk pemberian kesempatan bagi kaum wanita untuk menduduki jabatan dalam organisasi olahraga.

5. Partisipasi atlet wanita dalam olahraga prestasi memerlukan pengorbanan, dan sangat rawan waktu yang harus mereka sisihkan untuk berlatih, sehingga menyita waktu dalam persiapan mereka memperoleh kecakapan hidup melalui perolehan pendidikan yang cukup. Korban sosial yang sering dijumpai di kalangan mantan atlet merupakan bukti dari belum adanya sistem penghargaan bagi atlet. Karena itu dibutuhkan sistem penghargaan dan rasa aman bagi semua atlet tersebut.

6. Besarnya peluang juara dan pemecahan rekor oleh atlet wanita dapat dijadikan sebagai patokan untuk lebih mengedepankan atlet perempuan dalam berbagai cabang olahraga. Dengan demikian sosialisasi yang dilakukan dapat lebih merata dan setara antara atlet laki-laki dan perempuan, dengan harapan orang tua dan masyarakat secara umum faham tentang kepentingan anak perempuan dalam aktivitas olahraga prestasi, utamanya yang mengundang citra laki-laki.


(13)

7. Terbentuknya watak yang didukung oleh sifat-sifat kepribadian unggul dapat diperoleh melalui aktivitas olahraga, seperti motif berprestasi (need of achievement), untuk itu keluarga dalam pengasuhannya mampu menggiring anak-anaknya secara merata pada aktivitas olahraga, sehingga akan menanamkan kebiasaan-kebiasaan positif pada diri anak, seperti; selalu mengandalkan usaha (effort), ketekunan (perseverance), penentuan dan fokus pada tujuan, determinasi (determination), tanggung jawab (responsibility) selain sifat lainnya seperti percaya diri, konsep diri positif (self-concept), kemampuan mengendalikan diri (self-control), kerja sama (cooperation), kecakapan bergaul pada sesamanya (socialization), rasa empati (empathy) dan berfikir logis dalam tiap perilakunya sehari-hari.

C. Rekomendasi

Berkaitan dengan implikasi hasil penelitian, beberapa hal disarankan untuk dilaksanakan atau dikembangkan pada tahap berikutnya sebagai berikut,

1. Pengkajian tentang olahraga dan wanita mengandung masalah yang amat luas dan kompleks ditinjau dari perspektif interdisiplin dalam ilmu keolahragaan. Di Indonesia kajian semacam ini masih sangat terbatas, sehingga sangat dianjurkan untuk mengembangkan studi ini melalui lembaga-lembaga khusus tentang olahraga dan wanita. Dari aspek biologis masalah yang menarik untuk dikaji diantaranya; (1) Toleransi atlet wanita terhadap beban latihan, dan


(14)

Dari aspek psikologis tentang sifat-sifat kepribadian dan kaitannya dengan performa. Sedangkan dari perspektif sosiologis, khususnya dalam konteks kesetaraan gender diajurkan untuk meneliti lebih lanjut tentang;

(1) Partisipasi wanita dalam olahraga ditinjau dari lintas budaya suku bangsa di Indonesia

(2) Persepsi masyarakat tentang olahraga wanita, dan (3) Dampak olahraga terhadap mobilitas sosial wanita.

2. Semua organisasi olahraga menetapkan kebijakan, berikut program dan rencana tindak yang konkret untuk meningkatkan partisipasi wanita dalam olahraga. Untuk itu sistem pendukung berupa fasilitas olahraga perlu disediakan dan ditempatkan pada lokasi-lokasi yang mudah dijangkau dan digunakan, di lingkungan perusahaan, instansi pemerintah, lembaga pendidikan, dan lingkungan pemukiman. Pembina dengan kompetensi yang cukup dalam bidang olahraga perlu juga disediakan dengan melibatkan para relawan, mengingat luasnya jangkauan pembinaan.

3. Kerja sama yang erat antara keluarga, klub, dan sekolah merupakan kunci keberhasilan atlet dalam meniti karir dalam olahraga. Karena itu disarankan agar jalinan ketiga agen sosial itu diperkuat dalam jalinan kerja sama yang diprogramkan dan tertuang dalam rencana strategis pembangunan olahraga.


(15)

4. Kegiatan menekuni olahraga memerlukan pengorbanan dengan implikasi yang rawan bagi penyiapan masa depan seseorang. Karena itu dibutuhkan sistem penghargaan yang mampu menjamin rasa aman bagi para pelakunya.

5. Di samping perlu diberi kesempatan dan kepercayaan kepada kaum perempuan untuk ikut serta menentukan kebijakan dan keputusan olahraga, kaum perempuan juga perlu meningkatkan kemampuannya untuk mengisi jabatan tertentu.

6. Disarankan pada masyarakat dalam melakukan pola pengasuhan pada anak-anaknya untuk lebih mengedepankan kesetaraan gender, di mana anak laki-laki dan perempuan tidak berbeda dalam aktivitasnya, khususnya dalam memberi kesempatan bagi anak perempuan untuk aktif berolahraga.

7. Khususnya pada orang tua yang melakukan pola asuhan pada anak-anaknya, disarankan untuk lebih demokratis, yakni memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Meski kadang kala pola asuh otoriter dan permisif juga dapat diterapkan untuk memerintah anak dalam pekerjaan yang mulai kendor dilakukan, dan cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak


(16)

apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Yang jelas terlihat pada pelatihan dan pembinaan prestasi yang dilakukan.

8. Disarankan pada seluruh masyarakat bahwa pergeseran budaya ke arah budaya modern, hendaknya dapat disikapi ke arah yang positif. Sehingga konsep pergeseran budaya itu lebih membawa dampak positif, khususnya bagi kaum wanita dalam mengisi peluang yang ada.


(1)

perspektif pendidikan, kesehatan, psikologis, maupun sosial budaya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

2. Pihak keluarga inti, terutama orang tua (ayah dan ibu) memegang peranan utama sebagai agen sosial untuk melaksanakan pola asuhan dan proses sosialisasi olahraga. Pengaruh sibling atau saudara sekandung dan anggota sanak keluarga juga tak dapat diabaikan. Karena itu penyuluhan tentang olahraga termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu disebarluaskan melalui berbagai saluran komunikasi, seperti media masa dan tatap muka dengan penyuluhan langsung ke lapangan, menjangkau kelompok-kelompok khalayak. Di antara isi pesan itu adalah pemberian kesempatan pada anak tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, untuk aktif bermain atau berolahraga guna perkembangan, bukan saja positif bagi kemampuan kognitif tetapi juga perkembangan sosial. Pemberian kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan itu perlu didukung oleh penyediaan fasilitas yang memadai, tidak saja cukup dengan luasnya lapangan atau ruangan saja, tetapi juga nyaman dipandang dan aman untuk digunakan. Penataan lingkungan ini tentu ada kaitannya dengan kebijakan tata ruang, dan karena itu juga dibutuhkan dalam koordinasi lintas sektoral sesuai dengan tanggung jawabnya.

3. Fase sosialisasi dan pemanduan bakat oleh pihak klub olahraga amat kritis ditinjau dari kesulitan karakteristik anak, kesiapan berlatih, dan pertimbangan lainnya dari sudut kejiwaan, sehingga perlu ditangani lebih sistematik. Praktik pembinaan mengandung potensi yang membahayakan kesehatan anak, termasuk frekuensi ancaman cedera yang tinggi, apabila tidak diindahkan prinsip pelatihan yang memanfaatkan dukungan disiplin


(2)

ilmu lainnya, utamanya teori pendidikan dan ilmu pendukung lainnya, seperti fisiologi atau anatomi fungsional. Karena itu penanganan atlet usia dini memerlukan latihan-latihan, sebab bisa jadi obsesi orang tua atau pelatih yang berlebih-lebihan untuk menyaksikan anak asuhannya berprestasi dalam jangka waktu singkat akan membuahkan dampak negatif yang dapat merusak aspek fisik, mental, dan emosional.

4. Implementasi kesetaraan gender yang dimaksud dalam konteks olahraga bukan hanya terbatas pada partisipasi aktif berolahraga, tetapi juga diharapkan dalam bentuk pemberian kesempatan bagi kaum wanita untuk menduduki jabatan dalam organisasi olahraga.

5. Partisipasi atlet wanita dalam olahraga prestasi memerlukan pengorbanan, dan sangat rawan waktu yang harus mereka sisihkan untuk berlatih, sehingga menyita waktu dalam persiapan mereka memperoleh kecakapan hidup melalui perolehan pendidikan yang cukup. Korban sosial yang sering dijumpai di kalangan mantan atlet merupakan bukti dari belum adanya sistem penghargaan bagi atlet. Karena itu dibutuhkan sistem penghargaan dan rasa aman bagi semua atlet tersebut.

6. Besarnya peluang juara dan pemecahan rekor oleh atlet wanita dapat dijadikan sebagai patokan untuk lebih mengedepankan atlet perempuan dalam berbagai cabang olahraga. Dengan demikian sosialisasi yang dilakukan dapat lebih merata dan setara antara atlet laki-laki dan perempuan, dengan harapan orang tua dan masyarakat secara umum faham tentang kepentingan anak perempuan dalam aktivitas olahraga prestasi, utamanya yang mengundang citra laki-laki.


(3)

7. Terbentuknya watak yang didukung oleh sifat-sifat kepribadian unggul dapat diperoleh melalui aktivitas olahraga, seperti motif berprestasi (need of achievement), untuk itu keluarga dalam pengasuhannya mampu menggiring anak-anaknya secara merata pada aktivitas olahraga, sehingga akan menanamkan kebiasaan-kebiasaan positif pada diri anak, seperti; selalu mengandalkan usaha (effort), ketekunan (perseverance), penentuan dan fokus pada tujuan, determinasi (determination), tanggung jawab (responsibility) selain sifat lainnya seperti percaya diri, konsep diri positif (self-concept), kemampuan mengendalikan diri (self-control), kerja sama (cooperation), kecakapan bergaul pada sesamanya (socialization), rasa empati (empathy) dan berfikir logis dalam tiap perilakunya sehari-hari.

C. Rekomendasi

Berkaitan dengan implikasi hasil penelitian, beberapa hal disarankan untuk dilaksanakan atau dikembangkan pada tahap berikutnya sebagai berikut,

1. Pengkajian tentang olahraga dan wanita mengandung masalah yang amat luas dan kompleks ditinjau dari perspektif interdisiplin dalam ilmu keolahragaan. Di Indonesia kajian semacam ini masih sangat terbatas, sehingga sangat dianjurkan untuk mengembangkan studi ini melalui lembaga-lembaga khusus tentang olahraga dan wanita. Dari aspek biologis masalah yang menarik untuk dikaji diantaranya; (1) Toleransi atlet wanita terhadap beban latihan, dan


(4)

Dari aspek psikologis tentang sifat-sifat kepribadian dan kaitannya dengan performa. Sedangkan dari perspektif sosiologis, khususnya dalam konteks kesetaraan gender diajurkan untuk meneliti lebih lanjut tentang;

(1) Partisipasi wanita dalam olahraga ditinjau dari lintas budaya suku bangsa di Indonesia

(2) Persepsi masyarakat tentang olahraga wanita, dan (3) Dampak olahraga terhadap mobilitas sosial wanita.

2. Semua organisasi olahraga menetapkan kebijakan, berikut program dan rencana tindak yang konkret untuk meningkatkan partisipasi wanita dalam olahraga. Untuk itu sistem pendukung berupa fasilitas olahraga perlu disediakan dan ditempatkan pada lokasi-lokasi yang mudah dijangkau dan digunakan, di lingkungan perusahaan, instansi pemerintah, lembaga pendidikan, dan lingkungan pemukiman. Pembina dengan kompetensi yang cukup dalam bidang olahraga perlu juga disediakan dengan melibatkan para relawan, mengingat luasnya jangkauan pembinaan.

3. Kerja sama yang erat antara keluarga, klub, dan sekolah merupakan kunci keberhasilan atlet dalam meniti karir dalam olahraga. Karena itu disarankan agar jalinan ketiga agen sosial itu diperkuat dalam jalinan kerja sama yang diprogramkan dan tertuang dalam rencana strategis pembangunan olahraga.


(5)

4. Kegiatan menekuni olahraga memerlukan pengorbanan dengan implikasi yang rawan bagi penyiapan masa depan seseorang. Karena itu dibutuhkan sistem penghargaan yang mampu menjamin rasa aman bagi para pelakunya.

5. Di samping perlu diberi kesempatan dan kepercayaan kepada kaum perempuan untuk ikut serta menentukan kebijakan dan keputusan olahraga, kaum perempuan juga perlu meningkatkan kemampuannya untuk mengisi jabatan tertentu.

6. Disarankan pada masyarakat dalam melakukan pola pengasuhan pada anak-anaknya untuk lebih mengedepankan kesetaraan gender, di mana anak laki-laki dan perempuan tidak berbeda dalam aktivitasnya, khususnya dalam memberi kesempatan bagi anak perempuan untuk aktif berolahraga.

7. Khususnya pada orang tua yang melakukan pola asuhan pada anak-anaknya, disarankan untuk lebih demokratis, yakni memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Meski kadang kala pola asuh otoriter dan permisif juga dapat diterapkan untuk memerintah anak dalam pekerjaan yang mulai kendor dilakukan, dan cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak


(6)

apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Yang jelas terlihat pada pelatihan dan pembinaan prestasi yang dilakukan.

8. Disarankan pada seluruh masyarakat bahwa pergeseran budaya ke arah budaya modern, hendaknya dapat disikapi ke arah yang positif. Sehingga konsep pergeseran budaya itu lebih membawa dampak positif, khususnya bagi kaum wanita dalam mengisi peluang yang ada.