atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara itu harus dibuktikan adanya secara objektif,
b. Jenis pidana korupsi yang kedua unsur-unsurnya adalah : 1
Kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatankedudukan. 2
Tujuan menguntungkan diri sendiri orang lain atau suatu badan ; 3
Adanya suatu perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ;
B. Pengertian Unsur Menguntungkan Dalam Tindak Pidana Korupsi .
Setelah pembahasan pengertian unsur memperkaya“ diri atau orang lain atau suatu korporasi vide Pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20
tahun 2001, kemudian dilakukan pembahasan pengertian unsur dengan tujuan
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” vide Pasal 3 undang-
undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, yang adalah
merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu apakah sipelaku tindak pidana
korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi, karena cukuplah si pelaku
telah memperkaya “ orang lain atau menguntungkan orang lain. Sehingga unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, mengandung
arti bahwa padanya terdapat fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.
Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu
keuntungan menguntungkan bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh atau menambah
kekayaan dari yang sudah ada. Kekayaan dalam arti ini tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu dapat dinilai dengan uang termasuk hak.
Tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain dan atau suatu badan dalam suatu tindak pidana korupsi adalah merupakan unsur bathin yang menentukan arah dari perbuatan
penyalahgunaan kewenangan tersebut. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara objektif
dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka itu ante factum dan post factum.
Mengutip pendapat R. Wiyono, yang menguraikan bahwa yang dimaksud dengan
“menguntungkan” sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran,
terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Sehingga unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suat
u korporasi.” Dengan demikian pengertian ”menguntungkan” adalah
”menguntungkan” dalam arti finansial, bukan dalam arti non finansial. Oleh karenanya berdasarkan teori-teori diatas, diantara kedua unsur tersebut memiliki
pengertian yang multitafsir, sebagai berikut : 1.
Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” vide Pasal 2 ayat 1 dan
unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” vide Pasal 3,
merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi
harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain.
2.
Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” lebih sulit membuktikannya
karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan
sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis, unsur “memperkaya diri”
sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-
harinya, sedangkan unsur “menguntungkan
diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya padanya ada fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.
Sehingga jika terjadi perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan “keuangan negara” termasuk keuangan BUMNBUMD yang tercampur dengan keuangan masyarakat melalui go public maka
termasuk perbuatan korupsi. Sedangkan jika itu termasuk keuangan swasta atau bukan Negara maka dengan sendirinya masuk hukum perdata yang dapat dilakukan gugatan ganti
kerugian melalui Pasal 1365 BW atau onrechtmatige daad. 3.
Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” vide Pasal 3 yaitu
adanya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain. Di sini tidak ada perhitungan sebelum menjabat dan sesudah menjabat. Subyeknya dijelaskan ialah pejabat publik bukan orang swasta.
Perhitungan jumlah kerugian negara juga harus dengan akuntan publik dan berapa besar uang pengganti yang harus dibayar memerlukan perhitungan yang cermat dibuktikan dengan alat
bukti yang ada. Jika dilihat penjelasan Pasal 32 ayat 1 maka juga harus dengan perhitungan oleh akuntan publik. Hakim pun harus memakai pertimbangan obyektif dengan hati
nuraninya, dengan memperhatikan apa yang telah terbukti di sidang pengadilan. Sebagaimana dari seluruh uraian dan penjelasan tersebut, ternyata dari rumusan pengertian
tersebut, tidak terdapat formulasi khusus mengenai kriteria, seberapa besarkah ukurannilai kerugian negara yang telah diakibatkan pelaku dapat diklasifikasikandikategorikan telah
“memperkaya“ serta untuk menentukan ukuran nilai “ menguntungkan “.
Wirjono Prodjodikoro , menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat
dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-
macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari
suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah
perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum.
[12] Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas
ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang
dan semua hukum yang terdapat pada undang-undang, hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang. Akan
tetapi bilamana ternyata kemudian bahwa undang-undang itu tidak jelas, dan andaikata jelas juga undang-undang itu tidak mungkin dapat dibuat secara lengkap dan tuntas. Sebab tidak
mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas dapat mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang. Oleh karenanya melalui interpretasi atau
penafsiran suatu undang-undang akan diberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.
Hanya saja menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada
rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann, mengatakan bahwa hakim harus tunduk
pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau
dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh
membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh
menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.
[13] Kesimpulan :
1. Agar dapat memberantas korupsi secara berdaya guna perlu adanya ketentuan perundangan
yang minimal memenuhi syarat sebagai berikut: a.
mempunyai redaksional yang jelas dan mudah dimengerti oleh siapapun serta terukur nilai nominal daripada kerugian negara tersebut;
b. ancaman pidana harus rasional dan proporsional, artinya ancaman pidananya harus
disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana itu sendiri; 2.
Penyempurnaanrevisi perundang-undangan tindak pidana Korupsi masih sangat penting dilakukan secara khusus menetapkan tolok ukur terhadap unsur “memperkaya dan atau
menguntungkan”; 3.
Revisi perundang-undangan tindak pidana korupsi dimasa mendatang, harus lebih bersifat menakutkan para calon koruptor dalam hal melakukan perbuatan pidana korupsi, antara lain
dengan: a.
ancaman ancaman pidana mati terhadap pelaku korupsi yang merugikan keuangan Negara minimal Rp.1.000.000.000.-satu milyar rupiah, dan atau setidak-tidaknya, dapat
memberikan suatu b.
ancaman pidana tambahan berupa “ketidakcakapan bertindak dalam hukum” dalam setiap
penjatuhan putusan pemidanaan yang dijatuhkan bagi para pelaku korupsi dalam jumlah ketugian Negara minimal Rp.
500.000.000.-lima ratus juta rupiah. 4.
Untuk tahap awal diharapkan agar Lembaga yang berkompeten seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Edaran sebagai pedoman kepada lembaga jajarannya
dalam mengatur hal-hal diatas;
5. Dibutuhkan “Political Will” bagi setiap elemen masyarakat, secara khusus kepada aparatur
Negara yang diberi kepercayaan untuk bertindak mengelola keuangan Negara untuk tidak bersikap “ ceroboh dan rakus” .
By : Dominggussilaban.blogspot.com