Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia marina terhadap Logam Berat Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) di Kampung Nelayan Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. W., A. Daud, dan A. Mallongi. 2014. Analisis Resiko Lingkungan
Logam Berat Cadmium (Cd) pada Sedimen Air Laut di Wilayah Pesisir
Kota Makassar. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makasar.
Amin, B. 2001. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat Pb dan Cu pada
Mangrove Avicennia marina di Perairan Pantai Dumai. Riau.
Andani, S. dan E. D. Purbayanti. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Arifin, Z., R. Puspitasasi, and N. Miyazaki. 2012. Heavy Metal Contamination in
Indonesia Coastal Marine Ecosystems: A Historical Perspective. Journal of
Coastal Marine Science. 35 : 227 - 233.
Arisandi, P. 2001. Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif
Pengendalian Logam Berat Pesisir. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya. Malang.
Badan Lingkungan Hidup. 2011. Pencemaran Limbah Kota. Badan Lingkungan
Hidup Kota Medan.
Chapman, V. J. 1975. Mangrove Biogeography. In Walsh, G. E., S. C. Snedaker
and H. J. Teas (Eds.). Proceeding of International Symposium on Biology
and Management of Mangrove. Gainseville, University of Florida.

Hawaii.
Connel, D. W. dan G. J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dahlan, E. N. 1986. Pencemaran Daun Teh oleh Timbal sebagai Akibat Emisi
Kendaraan Bermotor di Gunung Mas Puncak. Makalah Kongres Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Panitia Nasional MAB. Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Deri., Emiyarti dan L. O. A. Afu. 2013. Kadar Logam Berat Timbal (Pb) pada
Akar Mangrove Avicennia marina di Perairan Teluk Kendari. Jurnal Mina
Laut Indonesia. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK
Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tridharma. Kendari.

Universitas Sumatera Utara

Djuangsih, N., A. K. Benito, dan H. Salim, 1982. Aspek Toksikologi Lingkungan,
Laporan Analisis Dampak Lingkungan, Lembaga Ekologi Universitas
Padjadjaran. Bandung.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Fitter, A. H. dan Hay, R. K. M. 1982. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah
Mada Universitas Press. Yogyakarta.
Fuad, A.N. 2008. Bahaya Timbal (Timah Hitam). Fisly Forum. Surabaya.
Hamzah, F dan Setiawan, A. 2010. Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn, di
Hutan Mangrove Muara Angke, Jakarta Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis. Vol 2 : 41 - 51
Hardiani, H. 2009. Potensi Tanaman dalam Mengakumulasi Logam Cu Pada
Media Tanah Terkontaminasi Limbah Padat Industri Kertas. Berita
Selulosa 44 (1) : 27 – 40
Hoshika, A., T. Shiozawa, K. Kawana, and T. Tanimoto. 1991. Heavy Metal
Pollution in Sediment From the Seto Island, Sea, Japan. Marine Pollution
Bulletin. 23 : 101 - 105
IACD/CEDA. 1997. Conventions, Codes, and Conditions : Marine Disporsal.
Environmental Aspects of Dredging.
Jonak, C., H. Nakagami, and H. Hirt. 2004. Heavy Metal Stress. Activation
Mitogen-Activated Protein Kinase Pathways by Copper and Cadmium.
Plant Physiology. 136 : 3276 - 3283.
Kanvel, P. S. 2013. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) pada

Pohon Rhizophora mucronata di Hutan Mangrove Desa Nelayan
Kecamatan Medan Labuhan dan Desa Jaring Halus Kecamatan
Secanggang. Skripsi. Jurusan Budidaya Hutan. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/Men KLH/I/2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut.
Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. IPB.
Bogor.
Mason, C. F. 1981. Biology of Fresh Water Pollution.Longman. New York.
Melisa, R. 2014. Analisis Kandungan Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada Air
Sedimen dan Kerang Bulu (Anadara antiquata) di Perairan Pesisir

Universitas Sumatera Utara

Belawan Provinsi Sumatera Utara. Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Moore, J. W., Ramamoorthy. 1984. Heavy Metal in Natural Waters. Springervelag.New York, Berlin, Heidelberg. Tokyo.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Pradnya Paramita. Jakarta.
Mulyadi, E., R. Laksmono., D. Aprianti. 2007. Fungsi Mangrove sebagai

Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan.
Edisi Khusus.Vol (1).
Nastia, P. 2014. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) pada
Pohon Rhizophora mucronata di Hutan Mangrove Desa Nelayan
Kecamatan Medan Labuhan dan Desa Jaring Halus Kecamatan
Secanggang. Skripsi. Jurusan Budidaya Hutan. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IF. Bogor.
Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta,
Panjaitan, G. Y. 2009. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)
pada Pohon Avicennia marina di Hutan Mangrove. Skripsi. Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. 58
hal.
Peterson, C. H. 1991. Intertidal Zonation of Marine Invertebrates in Sand and
Mud. American Scientist. 79 : 236 – 249.
Purbonegoro, T. 2008. Pengaruh Logam Berat Kadmium (Cd) terhadap
Metabolisme dan Fotosintesis di Laut. Jurnal Oseana. Vol. XXXIII (1) :
25-31.

Ulqodry, T. Z. 2001. Kandungan Logam Berat dalam Jaringan Mangrove
Sonneratia Alba dan Avicennia Marina di Pulau Ajkwa dan Pulau
Kamora, Kabupaten Timika, Papua. Skripsi. Program Studi Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.
Riani, E. 2010. Peran pendidikan dalam Membangun
Perilaku Ramah
Lingkungan (Green Behaviour) untuk Mewujudkan Janji Pemerintah
Menurunkan Emisi GRK 26 %. Nizam dan Munir E (Editors). Etika
Abad XXI: Peran Manusia dalam Perubahan Iklim, DPT-Dirjen
Pendidikan Tinggi. Depdikbud (in-press).

Universitas Sumatera Utara

Rico, L. G., F. C. Felix., R. R. Burguenso., and M. J. Marini, 2002.
Determination of Cadmium
and Zinc and Its Relathionship to
Metalloghionein Level in SwineKidney. Rev. In. Contant Ambient.Vol 18,
157-162.
Rohmawati, 2007. Daya Akumulasi Tumbuhan Avicennia marina terhadap
Logam Berat (Cu, Cd, Hg) di Pantai Kenjeran Surabaya. Skripsi. Jurusan

Biologi Fakultas Sains Dan Biologi. Universitas Islam Negeri Malang.
Malang.
Rumahlatu, D., A. D. Corebima., M. Amin., dan F. Rachman. 2012. Kadmium
dan Efeknya terhadap Ekspresi Protein Metallothionein pada Deadema
setosum (Echinoidea; Echinodermata). Jurnal Penelitian Perikanan. 1 (1)
: 26-35.
Said, I., M. N. Jalaludin., A. Upe., dan A. W. Wahab. 2009. Penetapan
Konsentrasi Logam Berat Krom dan Timbal dalam Sedimen Estuaria
Sungai Matangpondo Palu. Jurnal Chemica. 10 (2) : 40-47.
Setiawan, H. 2013. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat pada Mangrove di
Perairan Pesisir Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kehutanan. VII (1).
Setiawati, M. D. 2009. Uji Toksisitas Kadmium dan Timbal pada Mikroalga
Chaetoceros gracilis. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Silalahi, S. L. 2014. Bab II Profil Lingkungan XII Kelurahan Medan Belawan I.
http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 23 Februari 2016.
Soemirat, J. 2003. Toksikologi Perairan. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sudarwin. 2008. Analisis Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd) pada
Sedimen Aliran Sungai dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah

Jatibarang Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. Semarang.
Tomlinson, P. B. 1986. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press.
London.
Wibowo, Y. A. 2011. Ancaman dan Pengendalian Pencemaran Logam Berat di
Kawasan Estuaria. Program Studi Oseanografi Universitas Hang Tuah.
Surabaya.
Yokouchi, M., N. Hiramatsu, R. Hakayawa, A. Kasal, Y. Takano, J. Yao and M.
Kitamura. 2007. Atypical, Bidirection Regulation of Cadmium - Induced
Apoptosis Via Disctinct Siganaling of Unfolded Protein Response. Cell
Death and Differentiation. 14 : 1467-1474.

Universitas Sumatera Utara

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan
Januari 2015 s/d Februari 2016, di Kampung Nelayan Seberang, Kecamatan
Medan Belawan, Sumatera Utara (Gambar 3). Pengambilan sampel dilakukan di

tiga stasiun pengamatan dan dilakukan pengambilan substrat serta pengukuran
parameter kualitas air pada masing-masing stasiun. Analisis logam berat
dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri, Medan, Sumatera Utara.
Rencana jadwal penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (Google Earth, 2015)

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah GPS, timbangan analitik, DO meter, pH
meter, thermometer, refraktometer, kertas Whatman nomor 42, buku identifikasi
mangrove (Noor dkk., 1999), labu Erlenmeyer, alat pemotong, alat tulis, kamera
digital, botol aquades, pita ukur, mortal dan pastle, tanur (furmace), krus porselin,

Universitas Sumatera Utara

gelas ukur, hot plate, Spektrofotometri serapan atom, wadah sampel, labu takar,
gelas beaker, oven, corong, pipet tetes, pengaduk kaca, bola hisap, pipet volume.
Bahan yang digunakan adalah akar, batang, dan daun Avicennia marina,
sampel sedimen dan sampel air laut, tally sheet, larutan standar Cd dan Pb, larutan
HNO3 pekat, aquabides, aluminium foil, plastik sampel.


Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak lokasi Dusun Perkampungan Nelayan atau Kampung Nelayan
berada di Lingkungan XII Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan.
Kelurahan Belawan I memiliki jumlah penduduk berkisar 20.328 orang, dengan
jumlah laki-laki sebanyak 10.447 orang dan perempuan sebanyak 9.881 orang.
Jarak lokasi penelitian dari kota Belawan yaitu ± 1 KM. Untuk sampai ke
lokasi ini, kita harus menyeberang dengan menggunakan boat nelayan.
Masyarakat luar juga sering menyebutnya desa Kampung Nelayan karena
letaknya berada di perairan laut. Kelurahan Belawan I memiliki luas wilayah 2,3
km2 atau sekitar 10,54 % dari total luas Kecamatan Medan Belawan.
Menurut Silalahi (2014), Kampung Nelayan Lingkungan XII Kelurahan
Belawan I Kecamatan Medan Belawan, dengan batas-batas wilayahnya adalah
sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Paluh Kurau, Kabupaten Deli Serdang
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Belawan
c. Sebelah timur berbatasan dengan Paluh Nonong, Kabupaten Deli Serdang
d. Sebelah barat berbatasan dengan Paluh Lombu, Kabupaten Deli Serdang

Universitas Sumatera Utara


Deskripsi Area
Stasiun 1 : Merupakan area hutan mangrove yang dekat dengan bengkel (dok)
kapal, dimana kondisi kerapatan mangrovenya tergolong sedang.
Menurut wawancara dengan masyarakat/nelayan setempat, daerah
ini merupakan daerah bekas empang, yang telah beralih fungsi dan
ditanami mangrove, pada titik koordinat 3º 47’ 5,24” LU sampai 98º
40’ 31,72” BT.
Stasiun 2 : Merupakan area hutan mangrove yang dekat dengan pemukiman
warga, dimana kondisi kerapatan mangrovenya tergolong sedang,
pada titik koordinat 3º 47’ 21,18” LU sampai 98º 40’ 40,18” BT.
Stasiun 3 : Merupakan area hutan mangrove yang dekat dengan muara sungai
(estuari), dimana kondisi kerapatan mangrovenya masih tergolong
tinggi, pada titik koordinat 3º 47’ 40,21” LU sampai 98º 41’ 14,51”
BT.

Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan saat kondisi surut dengan objek
penelitian adalah tumbuhan mangrove (Avicennia marina) dengan metode transek

tegak lurus garis pantai yang dipilih secara acak (random). Pengambilan sampel
mangrove dilakukan berdasarkan Ulqodry (2001), yaitu mangrove yang diambil
untuk sampel adalah pohon setinggi dada. Jaringan mangrove yang digunakan
adalah akar pasak, daun muda, daun tua, dan kulit batang yang terkena pasang
surut air laut (± 1,3 cm), dari jalur transek tersebut diambil 3 titik pengambilan
sampel pada setiap lokasi dengan jarak antar titik pengambilan sampel 50 meter.

Universitas Sumatera Utara

Sampel diambil langsung dengan menggunakan alat potong masing-masing 100
gr, kemudian dimasukkan kedalam plastik sampel. Pengambilan sampel air
dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pagi sewaktu surut antara pukul 8.00 WIB
hingga pukul 10.00 WIB, siang sewaktu pasang antara pukul 13.00 WIB hingga
15.00 WIB, dan sore setelah pasang antara pukul 16.00 WIB hingga pukul 18.00
WIB. Pengambilan sedimen dilakukan pada kedalaman ± 30 cm, serta pengukuran
kualitas air, yaitu suhu, salinitas, pH pada lokasi pengambilan sampel.

Gambar 3. Pola Pengambilan Sampel A. marina

Preparasi sampel akar pasak, daun, kulit batang dan sedimen.
Sampel akar pasak, daun, kulit batang dan sedimen dihomogenkan
dengan cara menggabungkan sampel yang diambil dari tiga titik pengambilan
pada setiap stasiun pengamatan. Untuk preparasi akar pasak, daun dan kulit
batang sampel dipotong kecil sebelum dihaluskan sedangkan untuk sedimen,
sampel dapat langsung dihaluskan. Setelah itu sampel dikeringkan dalam oven
pada suhu 105ºC sampai kadar air konstan untuk menghilangkan kadar airnya dan
diperoleh berat konstan.
Sampel akar pasak, daun, kulit batang dan sedimen dihomogenkan
dengan cara ditimbang sebanyak 5 gr, kemudian dilakukan pengarangan diatas hot

Universitas Sumatera Utara

plate sampai menjadi arang. Untuk mempercepat terjadinya proses pengarangan
dapat diteteskan sedikit larutan HNO3 secara perlahan untuk menghindari kabut.
Sampel yang telah menjadi arang kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu
700º C (pengabuan) sampai menjadi abu. Setelah selesai proses pengabuan sampel
akar pasak, kulit batang, daun dan sedimen, dilarutkan dengan menambahkan 10
ml larutan HNO3 pekat.
Hasil pencampuran larutan tersebut digerus didalam wadah krus porselin
secara merata kemudian disaring ke dalam labu ukur 25 ml dengan menggunakan
kertas saring Whatman ukuran 42. Krus porselin yang selesai digerus dapat dibilas
dengan menggunakan aquabides sebanyak dua kali agar kandungan logam berat
yang diperkirakan masih menempel pada krus porselin dapat larut. Setelah
dilakukan penyaringan ditambahkan aquabides hingga garis tanda batas pada labu
ukur 25 ml. Larutan yang diperoleh siap untuk dianalis dengan menggunakan alat
Atomic Absorption Spectroscopy (AAS).

Preparasi Sampel Air
Sampel air laut disaring menggunakan kertas saring dan kemudian diukur
100 ml. Setelah itu sampel air laut ditambahkan 10 ml larutan HNO3 pekat.
Panaskan dalam wadah Erlenmeyer diatas hot plate sampai volumenya berkurang
menjadi 35 ml, kemudian diendapkan. Larutan yang telah diendapkan kemudian
disaring fasa airnya dengan kertas saring Whatman ukuran 42. Larutan yang
diperoleh siap untuk dianalisis dengan menggunakan alat Atomic Absorption
Spectroscopy (AAS).

Universitas Sumatera Utara

Pembuatan Larutan Standar Cd dan Pb
Larutan induk Cd dan Pb yang memiliki konsentrasi 1000 ppm dipipet
sebanyak 10 ml lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Kemudian
ditambahkan aquabides sampai batas tanda akhir, sehingga larutan yang diperoleh
adalah sebanyak 100 ppm. Dari larutan 100 ppm dipipet sebanyak 10 ml lalu
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dengan menambahkan aquabides sampai
garis tanda akhir untuk memperoleh larutan dengan konsentrasi 10 ppm.
Untuk mendapatkan larutan standar dengan konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6, 0,8
dan 1 ppm, berturut-turut dipipet sebanyak 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml, dan 10 ml dari
larutan 10 ppm lalu masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan
ditambahkan aquabides hingga garis tanda akhir.

Prinsip Kerja Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)
Alat AAS diatur terlebih dahulu sesuai dengan instruksi pada alat
tersebut, kemudian dikalibrasikan dengan kurva standar dari logam Cd dan Pb
dengan konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ppm. Lalu kemudian diukur
absorbansi dan konsentrasi masing-masing sampel.

Analisis Data
Konsentrasi Sebenarnya
Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat sebenarnya pada akar pasak,
kulit batang, daun AvicenniA marina dan air sesuai standar operasional prosedur
pada Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara,
maka digunakan rumus:

Konsentrasi sebenarnya (

)=

.

mg
kg

r

×

r

Universitas Sumatera Utara

Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat sebenarnya pada air, maka
digunakan rumus:

)=

Konsentrasi sebenarnya (
Keterangan :
K.AAS
K. Sebenarnya
Volume Pelarut
Larutan Sampel
Berat Sampel

mg
L

.

r

×

r

: Konsentrasi yang tertera pada alat AAS
: Konsentrasi sebenarnya
: Volume pelarut
: Volume larutan sampel pada saat pengujian
: Berat sampel yang akan diuji

Faktor Biokonsentrasi (BCF)
BCF Cd, Pb (ppm) =

[

[

r

r

/P ]

/P ]

Keterangan :
BCF > 1000
: Kemampuan Tinggi
1000 > BCF > 250 : Kemampuan Sedang
BCF < 250
: Kemampuan Rendah

r

Analisis Deskriptif
Data yang diperoleh dari pengukuran dianalisis secara deskriptif sesuai
dengan baku mutu lingkungan yang terdapat dalam Kepmen KLH No. 51 Tahun
2004 untuk kualitas air. Sedangkan baku mutu logam berat dalam lumpur atau
sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan digunakan baku
mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam
berat yang dapat di toleransi.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Kondisi Lingkungan Perairan
Kondisi lingkungan perairan yang diperoleh dari hasil pengukuran secara
insitu, menunjukan hasil yang berbeda antar setiap stasiun pengamatan. Suhu dan
salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I, sedangkan pH tertinggi terdapat pada
stasiun II. Hasil analisis rata-rata kondisi lingkungan perairan dari tiga stasiun
pengamatan disajikan pada Tabel 3. Data dasar kondisi lingkungan perairan secara
lengkap disajikan dalam Lampiran 5.
Tabel 3. Rata-rata Nilai Kondisi Lingkungan Perairan pada Ketiga Stasiun.
STASIUN
PARAMETER
Suhu Air
pH
Salinitas
Cd (mg/L) Air
Pb (mg/L) Air

I

II

31,33
5,76
19,33
0,003
0,22

31
9,8
19
0,002
0,23

III
30,66
7,43
18
0,0013
0,24

Kandungan Logam Berat Cd dan Pb pada Akar, Kulit Batang, dan Daun A.
marina
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata kandungan logam berat Cd dan
Pb pada akar, kulit batang, dan daun pohon A. marina diperoleh hasil bahwa
akumulasi logam Pb lebih tinggi dibanding logam Cd. Rata-rata kandungan logam
berat Cd dan Pb pada akar, kulit batang dan daun disajikan pada Tabel 4. Data
dasar kandungan logam berat pada akar, kulit batang, dan daun pohon A. marina
disajikan pada Lampiran 5.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4. Rata-rata Kandungan Logam Berat Cd dan Pb pada Akar, Kulit Batang,
dan Daun A. marina
Cd (mg/kg)
Pb (mg/kg)
SAMPEL
St I
St II
St III
St I
St II
St III
Akar
Kulit Batang
Daun

0,003
0,001
0,003

0,002
0,003
0,001

0,003
0,001
0,001

2,86
4,21
1,60

2,13
1,65
2,10

6,50
2,60
1,01

Kandungan Logam Berat Cd dan Pb pada Air dan Sedimen
Kandungan logam berat Cd pada air dan sedimen pada setiap stasiun
pengamatan lebih rendah dibanding dengan logam berat Pb. Kandungan logam
berat Pb dalam air yang tertinggi terdapat pada stasiun III dan kandungan logam
berat Pb dalam sedimen yang tertinggi terdapat pada stasiun I. Secara rinci hasil
analisis kandungan logam berat rata-rata pada air dan sedimen disetiap stasiun
pengambilan sampel disajikan pada Lampiran 6, sedangkan Baku Mutu Air Laut
disajikan pada Lampiran 2, dan Baku Mutu Sedimen pada Lampiran 4.
Kandungan logam berat Cd dan Pb pada air dan sedimen disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Kandungan Logam Berat Cd dan Pb pada Air dan Sedimen
Cd (mg/kg)
Pb (mg/kg)
SAMPEL
BAKU MUTU
St I St II St III St I St II St III
Air (mg/L)

0,003 0,002 0,0013 0,22 0,23 0,24

Sedimen (mg/kg) 0,003 0,002 0,001 11,5 7,40 8,14

KEPMEN KLH No. 51
Tahun 2004.
IADC/CEDA
1997.

Tahun

Faktor Biokonsentrasi (BCF)
Berdasarkan hasil perhitungan nilai faktor biokonsentrasi (BCF)
diketahui bahwa nilai BCF tertinggi adalah logam berat Pb pada stasiun III yaitu
42,125 ppm dan nilai BCF terendah yaitu ppm untuk logam berat Cd. Nilai faktor

Universitas Sumatera Utara

biokonsentrasi (BCF) Cd dan Pb di setiap stasiun pengamatan disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Faktor Biokonsentrasi (BCF)
Konsentrasi Cd (ppm)
STASIUN
Tumbuhan
Air
BCF Cd
I
II
III

0,007
0,006
0,005

0,003
0,002
0,0013

2,333
3
3,84

Konsentrasi Pb (ppm)
Tumbuhan
8,67
5,88
10,11

Air

BCF Pb

0,22
0,23
0,24

39,409
25,565
42,125

Pembahasan
Kondisi Lingkungan Perairan
Hasil pengukuran kualitas lingkungan perairan pada saat pengambilan
sampel di stasiun I diperoleh suhu air rata-rata yaitu 31,33ºC, pada stasiun II yaitu
31ºC dan Stasiun III adalah 30,66ºC. Suhu air pada stasiun I lebih tinggi
dibandingkan dengan stasiun II dan III, disebabkan karena adanya perbedaan
intensitas cahaya yang masuk kedalam air. Kondisi lingkungan pada stasiun I juga
jarang terdapat vegetasi mangrove atau tingkat kerapatan mangrove yang sedang,
sehingga penetrasi cahaya ke dalam air lebih maksimal. Jumlah vegetasi tutupan
mangrove berpengaruh terhadap proses kimia, fisika, dan biologi badan air.
Berdasarkan hasil pengamatan, suhu perairan dari setiap stasiun pengamatan
masih tergolong baik. Kementrian Lingkungan Hidup (2004) menetapkan kisaran
suhu yang sesuai untuk wilayah mangrove adalah 28-32ºC.
Hasil pengukuran salinitas menunjukan kisaran salinitas rata-rata pada
stasiun I sebesar 19,33 ppt, stasiun II sebesar 19 ppt, dan stasiun III sebesar 18
ppt. Salinitas pada stasiun I lebih tinggi dari stasiun II dan III, karena menerima
pasokan air laut yang lebih besar daripada air tawar sehingga menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

tingkat salinitas tinggi. Kedua stasiun ini terletak jauh dari muara sungai dan
langsung berdekatan dengan perairan laut yang banyak dijumpai aktivitas
pelayaran. Stasiun III memiliki tingkat salinitas yang rendah, disebakan lebih
banyaknya pasokan air tawar yang masuk ke perairan akibat kondisi
lingkungannya yang dekat dengan muara sungai atau aliran air sungai sehingga
berpengaruh terhadap rendahnya tingkat salinitas perairannya. Salinitas yang
tinggi dapat menyebabkan rendahnya konsentrasi logam berat dalam perairan dan
sebaliknya. Menurut Mukhtasor (2007), nilai salinitas perairan laut dapat
mempengaruhi faktor konsentrasi logam berat yang mencemari lingkungan laut.
Hasil pengukuran pH air pada setiap stasiun menunjukkan bahwa stasiun
II memiliki nilai pH yang tinggi dengan rata-rata 9,8 dan pH yang terendah
terdapat pada stasiun I dengan rata-rata 5,76 stasiun III sebesar 7,43. Kondisi
asam (seperti pada stasiun I, dimana kisarannya 8,5) akan sangat membahayakan kelangsungan
hidup organisme karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme
dan respirasi. Connell dan Miller (1995), menyatakan bahwa kenaikan pH
diperairan akan diikuti oleh penurunan kelarutan logam berat, sehingga logam
berat meningkat. Nugroho (2006) menyatakan bahwa air yang tercemar memiliki
pH asam atau basa, tergantung dari jenis limbah dan komponen pencemarnya.
Derajat keasaman wilayah mangrove menurut Kementrian Lingkungan Hidup No.
51 Tahun 2004 adalah 7-8,5 dimana masih mendukung kehidupan organisme
yang ada didalamnya. Hal ini disebabkan karena wilayah mangrove dekat dengan
muara sungai yang memiliki perubahan sirkulasi air kearah alkali (pH > 7) dan
kearah asam (pH < 7) terjadi secara seimbang dalam perairan.

Universitas Sumatera Utara

Kandungan Logam Berat Cd dan Pb pada Akar A. marina
Hasil pengukuran pada setiap stasiun diperoleh kandungan logam berat
Cd tertinggi pada akar terdapat pada stasiun I dan III, yaitu masing-masing 0,003
mg/kg dan terendah pada stasiun II yaitu 0,002 mg/kg. Kandungan logam berat Pb
tertinggi terdapat pada akar terdapat pada stasiun III yaitu 6,50 mg/kg dan
terendah terdapat pada stasiun II yaitu 2,13 mg/kg.
Kandungan logam berat Cd tertinggi pada stasiun I dan III dan Pb
tertinggi pada stasiun III, disebabkan karena wilayah ini dekat dengan industri dan
tingginya aktivitas masyarakat yang berlangsung disekitar stasiun I dan III.
Limbah industri, pelayaran, dan rumah tangga yang dibuang kedalam badan
perairan akan mengendap pada sedimen dan kemudian diserap oleh akar, yang
seterusnya akan ditransfer ke bagian organ tumbuhan lainnya. Selain menyerap
logam-logam yang terdapat pada sedimen, akar mangrove juga dapat menyerap
logam berat yang terdapat pada kolom air. Mekanisme ini secara terperinci
dijelaskan oleh Hardiani (2009), dimana secara umum tumbuhan melakukan
penyerapan oleh akar, baik yang berasal dari sedimen maupun air, kemudian
terjadi translokasi kebagian tumbuhan yang lain dan lokalisasi atau penimbunan
logam pada jaringan tertentu.

Kandungan Logam Berat Cd dan Pb pada Kulit Batang A.marina
Hasil rata-rata pengukuran logam berat Cd pada setiap stasiun
menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cd tertinggi pada kulit batang
terdapat pada stasiun II yaitu 0,003 mg/kg, sedangkan untuk logam berat Pb,
kandungan yang tertinggi pada kulit batang terdapat pada stasiun I yaitu 4,21
mg/kg.

Universitas Sumatera Utara

Perbedaan kandungan logam berat Cd dan Pb pada setiap stasiun
pengamatan disebabkan oleh diameter batang pohon mangrove yang bervariasi.
Perbedaan diameter batang pohon menentukan banyaknya logam berat dan zat-zat
lain yang terakumulasi didalam pohon tersebut. Semakin besar diameter batang
pohon, maka usia pohon juga semakin tua sehingga akumulasi zat-zat yang
terdapat didalam pohon tersebut semakin besar. Senyawa logam berat yang
terdapat didalam pembuluh pengangkut dan kulit batang tanaman dapat
terlokalisasi dengan baik. Menurut Andani dan Purbayanti (1981), salah satu
gejala lokalisasi sebagai cara untuk penanggulangan ion-ion toksik dalam tanaman
yaitu dengan cara mendistribusikan logam-logam toksik didalam tanaman secara
merata keseluruh bagian tanaman.

Kandungan Logam berat Cd dan Pb pada Daun A.marina
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, kandungan logam berat Cd
tertinggi pada daun terdapat pada stasiun I yaitu 0,003 mg/kg, sedangkan untuk
logam berat Pb, kandungan tertinggi pada daun terdapat pada stasiun II yaitu 2,10
mg/kg.
Perbedaan nilai kandungan logam berat Cd dan Pb pada daun A. marina
pada setiap stasiun pengamatan disebabkan oleh perbandingan daun tua (pada
pangkal dengan ukuran daun yang cukup besar, tebal, dan warna daun adalah
hijau tua) dan daun muda (pada pucuk, ukuran daun kecil, sedikit tipis, dan warna
daun adalah hijau muda) yang dikompositkan. Kanvel (2013), menyatakan
kandungan logam berat pada daun muda lebih sedikit dibandingkan dengan daun
tua. Soemirat (2003) menyatakan bahwa daun yang lebih muda lebih sulit
mengabsorbsi daripada daun yang sudah tua. Selain itu, umumnya mekanisme

Universitas Sumatera Utara

yang terjadi pada tumbuhan adalah mengakumulasi ion-ion yang berlebih dalam
daun tua, yang akhirnya diikuti dengan abisisi (pengguguran) daun.
Banyaknya akumulasi Cd dan Pb pada bagian daun merupakan usaha
lokalisasi yang dilakukan oleh tumbuhan yaitu mengumpulkannya dalam satu
organ. Dahlan (1986) menyatakan bahwa proses masuknya unsur Cd dan Pb ke
dalam jaringan tumbuhan bisa melalui xylem kesemua bagian tumbuhan sampai
kedaun atau dengan cara penempelan partikel Cd dan Pb pada daun masuk
kedalam jaringan melalui stomata.

Kandungan Logam Berat Cd dan Pb pada Air dan Sedimen.
Kandungan logam berat Cd tertinggi pada air terdapat pada stasiun I
yaitu 0,003 mg/L dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,0013 mg/L.
Sedangkan untuk logam berat Pb, kandungan yang tertinggi pada air terdapat pada
stasiun III yaitu 0,24 mg/L dan terendah pada stasiun I yaitu 0,22 mg/L. Pada
sedimen, kandungan logam berat Cd tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 0,003
mg/kg dan terendah pada stasiun III yaitu 0,001 mg/kg. Untuk logam berat Pb,
kandungan yang tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 11,5 mg/kg dan terendah
terdapat pada stasiun II yaitu 7,40 mg/kg.
Kandungan Cd pada stasiun I lebih tinggi disebabkan karena lokasi
stasiun I dekat dengan industri pembangkit listrik, pemukiman padat penduduk,
aktivitas pelayaran dan endapan sampah. Akbar dkk (2014) menyatakan bahwa
asal Cadmium (Cd) di perairan diduga dari limbah plastik, cat pada perahu
nelayan dan tumpahan solar di laut. Akumulasi logam berat diperairan juga
dipengaruhi oleh hadirnya logam lain yang terlarut dalam air.

Universitas Sumatera Utara

Dari hasil yang didapatkan, logam berat Cd dalam air laut telah melebihi
ambang batas, dimana baku mutu logam berat Cd pada air laut adalah 0,001 ppm
(KEPMEN LH No.51 Tahun 2004). Hal ini disebabkan karena lokasi
pengambilan sampel dekat dengan tempat tinggal masyarakat yang membuang
limbah ke perairan, dan berada pada jalur pelayaran, sehingga bisa tercemar oleh
tumpahan minyak/solar dari kapal. Jika dibandingkan penelitian Melisa (2014),
yang menyatakan bahwa kandungan logam berat Cd di perairan Belawan
Sumatera Utara masih dalam kondisi normal atau belum melebihi baku mutu yang
ditetapkan, yaitu < 0,006 (Limit of Detection : LOD), menunjukkan bahwa
pencemaran logam berat Cd diperairan Belawan mengalami peningkatan.
Kandungan Pb pada stasiun I lebih tinggi disebabkan karena lebih
banyak menerima pasokan limbah yang mengandung Pb berasal dari industri,
transportasi laut, dan kegiatan lainnya. Darmono (1995) menyatakan bahwa bahan
pencemar seperti logam berat memasuki badan air melalui berbagai cara seperti
pembuangan limbah oleh industri, pertanian, domestik, dan perkotaan, dll.
Logam berat Pb pada air berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan
bahwa perairan Belawan telah tercemar logam berat logam berat Pb karena telah
melebihi baku mutu yang ditetapkan. Baku mutu logam berat Pb adalah 0,008
ppm (KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004). Hasil penelitian Melisa (2004),
menunjukkan bahwa perairan Belawan telah tercemar logam berat Pb. Hal ini
disebabkan lokasi penelitian berada pada jalur pelayaran dan muara sungai
Belawan, dimana disepanjang bantaran sungai Belawan dijumpai industry pipa
PVC dan baterai kering yang banyak menghasilkan Pb.

Universitas Sumatera Utara

Perbedaan kandungan logam berat Cd dan Pb pada air dapat disebabkan
oleh perbedaan waktu pengambilan sampel air, yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Hoshika dkk (1991), menyatakan bahwa pola arus mempengaruhi
keberadaan logam berat dalam air karena arus perairan dapat menyebabkan logam
berat terlarut dalam air dari permukaan kesegala arah.
Kandungan logam berat Cd tertinggi pada sedimen yaitu 0,003 mg/kg
pada stasiun I dan logam berat Pb pada stasiun I yaitu 11,50 mg/kg. Menurut
IADC/CEDA (1997), dalam penentuan kadar logam berat yang masih dapat
ditoleransi pada sedimen yaitu untuk Cd sebesar 30 mg/kg dan untuk Pb sebesar
1000 mg/kg. Kandungan logam berat Cd dan Pb pada ketiga stasiun pengamatan
masih dapat ditoleransi. Penelitian Melisa (2004), menunjukkan bahwa
kandungan Logam Berat Cd dan Pb masih dapat ditoleransi, karena kandungannya
tidak melebihi batas atau baku mutu logam berat Cd dan Pb untuk sedimen yang
telah ditentukan.
Kandungan logam berat pada sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan logam berat pada air. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengendapan
pada sedimen pada saat kandungan logam berat pada air tinggi. Kanvel (2013)
menyatakan bahwa, logam berat memiliki sifat yang mudah mengikat bahan
organik dan mengendap didasar perairan dan berikatan dengan partikel-partikel
sedimen, sehingga kandungan logam berat pada sedimen lebih tinggi
dibandingkan kandungan logam berat pada air.

Faktor Biokonsentrasi (BCF)
Faktor biokonsentrasi (BCF) adalah konsentrasi suatu senyawa didalam
suatu organisme percobaan dibagi dengan konsentrasi senyawa tresebut dalam

Universitas Sumatera Utara

medium air satuannya (kg/L). Untuk mendapatkan nilai faktor biokonsentrasi dari
A. marina maka kandungan logam berat Cd dan Pb dari akar, kulit batang dan
daun dibagi dengan konsentrasi logam berat Cd dan Pb yang terdapat pada air.
Faktor biokonsentrasi dihitung untuk melihat kemampuan A. marina dalam
mengakumulasi logam berat Cd dan Pb.
Hasil perhitungan nilai biokonsentrasi untuk logam berat Pb pada stasiun
I dapat disimpulkan bahwa kemampuan A. marina mengakumulasi logam berat
Pb lebih besar dibandingkan logam berat Cd. Untuk stasiun I, nilai BCF logam Pb
sebesar 39,409 ppm dan nilai BCF logam Cd sebesar 2,33 ppm. Stasiun II, nilai
BCF logam Pb sebesar 25,565 ppm dan nilai BCF logam Cd sebesar 3 ppm.
Stasiun III, nilai BCF logam Pb adalah sebesar 42,125 ppm dan untuk logam Cd
sebesar 3,84 ppm. Hasil penelitian Nastia (2014), menunjukkan bahwa pohon
mangrove A. marina, dapat mengakumulasi logam berat Pb diperairan sebesar
39,3915 ppm. Penelitian Setiawan (2013), menunjukkan pohon mangrove A.
marina, juga dapat mengakumulasi logam berat Cd yaitu sebesar 30,90 ppm.
Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove A.
marina mempunyai kemampuan dalam mengakumulasi logam berat dalam
jaringan tubuhnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hamzah dan
Setiawan (2010), yang menyatakan bahwa mangrove jenis A. marina mempunyai
kemampuan mengakumulasi logam berat tinggi dibandingkan dengan mangrove
jenis Sonneratia caseolaris dan Rhizophora mucronata. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh letak A. marina yang berada pada zona terdepan sehingga
merupakan jenis mangrove yang mendapat masukan bahan pencemar yang
pertama secara langsung, baik yang berasal dari sedimen maupun kolom air.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Kandungan logam berat Cd tertinggi pada akar A. marina terdapat pada stasiun
I dan III yaitu sebesar 0,003 mg/kg, untuk logam berat Pb, yang tertinggi
terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 6,50 mg/kg. Kandungan Cd tertinggi
pada daun terdapat pada stasiun I yaitu 0,003 mg/kg, untuk logam Pb pada
daun yang tertinggi adalah pada stasiun II yaitu 2,10 mg/kg. Kandungan logam
Cd tertinggi pada kulit batang adalah pada stasiun II yaitu sebesar 0,003 mg/kg
dan untuk logam Pb terdapat pada stasiun I yaitu 4,21 mg/kg.
2. Kemampuan A. marina dalam mengakumulasi logam berat Pb pada setiap
stasiun pengamatan dikategorikan rendah dengan nilai BCF sebesar 39,409
ppm untuk stasiun I, 25,565 ppm untuk stasiun II dan 42,125 ppm untuk
stasiun III, sedangkan untuk logam Cd adalah stasiun I yaitu 2,33 ppm, stasiun
II adalah 3 ppm, dan stasiun III adalah 3,84 ppm, dikategorikan rendah.

Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan, pohon mangrove A. marina mampu
mengakumulasi logam berat di perairan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
lanjutan secara periodik dan disarankan untuk tetap melindungi vegetasi
mangrove khususnya A.marina karena dapat menjadi akumulator pencemaran
logam berat dan mengurangi toksisitas logam berat di perairan, khususnya
wilayah pesisir.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan mata rantai utama yang berperan
sebagai produsen dalam jaring makanan ekosistem pantai. Selain itu ekosistem
mangrove yang memiliki produktivitas tinggi menyediakan makanan berlimpah
bagi berbagai jenis hewan laut dan menyediakan tempat berkembang biak,
memijah, dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting dan
udang, sehingga secara tidak langsung kehidupan manusia tergantung pada
keberadaan ekosistem mangrove. Mangrove juga memiliki fungsi fisik bagi pantai
yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan angin kencang, penahan
abrasi, penampung air hujan sehingga mencegah banjir, dan penyerap limbah
yang mencemari perairan (Mulyadi dkk., 2007).
Hutan mangrove yang terbentuk tergantung pada kondisi yang
mendukung, yaitu faktor abiotik dan biotik. Menurut Chapman (1975), faktor
abiotik sebagai syarat utama terbentuknya hutan mangrove adalah suhu udara (air
temperature), substrat lumpur (mud substrate), daerah payau (tidal range), arus
air laut, perlindungan (protection), air garam (salt water) dan tepi laut yang
dangkal (shallow shores).
Menurut Arisandi (2001), Mangrove merupakan tempat yang praktis
untuk pembuangan sampah karena wilayah ini jauh dari pemukiman penduduk.
Pemandangan menyedihkan yang biasa ditemui pada ekosistem mangrove adalah
banyaknya sampah padat seperti plastik, gabus, kaca dan kardus yang menumpuk

Universitas Sumatera Utara

dan tersangkut di akar-akar mangrove. Pembuangan sampah ke dalam ekosistem
ini merupakan indikator rendahnya perhatian masyarakat terhadap ekosistem ini.
Mangrove yang tumbuh di ujung sungai besar berperan sebagai
penampungan terakhir bagi limbah dari industri di perkotaan dan perkampungan
hulu yang terbawa aliran sungai. Limbah padat dan cair yang terlarut dalam air
sungai terbawa arus menuju muara sungai dan laut lepas. Area hutan mangrove
akan menjadi daerah penumpukan limbah, terutama jika polutan yang masuk ke
dalam lingkungan estuari melampaui kemampuan pemurnian alami oleh air.
Mangrove alami berperan efektif dalam melindungi pantai dari tekanan alam dan
erosi (Mulyadi dkk., 2007).

Avicennia marina
Menurut Noor dkk (1999) taksonomi Avicennia marina :
Kingdom

: Plantae

Filum

: Tracheophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Lamiales

Famili

: Acanthaceae

Genus

: Avicennia

Spesies

: Avicennia marina Forsk.
Menurut Tomlinson (1996), pohon api-api (Avicennia marina) telah

dimasukkan dalam suku tersendiri yaitu Avicenniaceae, setelah sebelumnya
dimasukkan dalam suku Verbenaceae, karena Avicennia memiliki perbedaan
mendasar dalam bentuk organ reproduksi dan cara berkembang biak dengan
anggota suku Verbenaceae lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Pohon api-api (Avicennia marina) memiliki akar napas (pneumatofore)
yang merupakan akar percabangan yang tumbuh dengan jarak teratur secara
vertikal dari akar horizontal yang terbenam di dalam tanah. Reproduksinya
bersifat kryptovivipary, yaitu biji tumbuh keluar dari kulit biji saat masih
menggantung pada tanaman induk, tetapi tidak tumbuh keluar menembus buah
sebelum biji jatuh ke tanah. Buah berbentuk seperti mangga, ujung buah tumpul
dan panjang 1 cm, daun berbentuk ellips dengan ujung tumpul dan panjang daun
sekitar 7 cm, lebar daun 3-4 cm, permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat
dan permukaan bawah berwarna hijau abu-abu dan suram (Arisandi, 2001).

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove
Zonasi merupakan suatu fenomena ekologi yang menarik di perairan
pesisir, yang merupakan daerah yang terkena ritme pasang-surut air laut.
Pengaruh dari pasang-surut air laut yang berbeda untuk tiap zona memungkinkan
berkembangnya komunitas yang khas untuk masing masing zona di daerah ini
(Peterson, 1991).
Kusmana (1995), berpendapat bahwa hutan mangrove dapat dibagi
menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu zonasi yang terdekat
dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh
pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh
pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia albatumbuh pada substrat
yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta
dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya
didominasi oleh Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang
didominasi oleh Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora apiculata. Jenis

Universitas Sumatera Utara

Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan
lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m.
Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan
Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadangkadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang
didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza. Pola zonasi mangrove dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Pola zonasi mangrove

Tomlinson (1986) membagi flora dan fauna mangrove menjadi tiga
kelompok sesuai dengan kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan mangrove,
yakni :
1. Flora mangrove mayor (flora yang sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan
kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan
murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi
mempunyai bentuk-bentuk adaptif

khusus (bentuk akar dan viviparitas)

terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dan

Universitas Sumatera Utara

mengontrol garam. Contohnya adalah : Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, dan Nypa.
2. Flora mangrove minor, yaitu flora mangrove yang tidak mampu membentuk
tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam
struktur komunitas, contohnya: Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegialitis,
Achrostichum, Camptostemon, Schyphipora, Phempis, Osbornia, dan Peliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,
Calamus.

Pengertian Logam Berat
Menurut Sudarwin (2008), Logam berat masih termasuk golongan logam
dengan kriteria - kriteria yang sama dengan logam-logam yang lain. Perbedaan
terletak pada dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini masuk atau
diberikan ke dalam tubuh organisme hidup. Istilah logam berat sebetulnya sudah
dipergunakan secara luas, terutama dalam perpustakaan ilmiah, sebagai unsur
yang menggambarkan bentuk dari logam tertentu. Karakteristik dari kelompok
logam berat adalah sebagai berikut:
1. Memiliki spesifikasi grafitasi yang sangat besar (lebih dari 4).
2. Mempunyai nomor atom 22 - 23 dan 40 - 50 serta unsur laktanida dan aktinida.
3. Mempunyai respon biokimia yang khas (spesifik) pada organisme hidup
Menurut Mason (1981) dan Moore dan Ramamoorthy (1984), bahwa
logam berat pada umumnya bersifat toksik dan dapat terakumulasi dalam tubuh
makhluk hidup. Logam berat juga dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan
makhluk hidup dan rusaknya berbagai organ tubuh.

Universitas Sumatera Utara

Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu
logam berat tidak dapat dihancurkan (nondegradable) oleh organisme hidup di
lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar
perairan membentuk senyawa komplek bersama bahan organik dan anorganik
secara adsorbsi dan kombinasi (Djuangsih dkk., 1982).
Adanya toksisitas logam berat

di dalam ekosistem perairan akan

memberikan dampak negatif pada biota air yang terdapat didalamnya, yakni
proses fisiologi akan terganggu, dapat menyebabkan terjadinya kecacatan
morfologi pada biota air. Hal tersebut terjadi apabila ekosistem perairan
mengalami pencemaran. Selain itu akan mengakibatkan tingginya konsentrasi
logam berat pada air, dengan terjadinya bioakumulasi juga akan menyebabkan
konsentrasi logam berat dalam tubuh hewan air akan jauh lebih tinggi (Riani,
2010).
Semua logam berat dapat dikatakan sebagai bahan beracun yang
akanmeracuni makhluk hidup. Sebagai contoh logam berat air raksa (Hg),
kadmium (Cd), timbal (Pb), dan krom (Cr). Namun demikian, meskipun semua
logam berat dapat mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari
logam - logam berat tersebut dibutuhkan oleh makhluk hidup. Kebutuhan tersebut
dalam jumlah yang sangat kecil/sedikit. Tetapi apabila kebutuhan yang sangat
kecil tersebut tidak terpenuhi dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan
makhluk hidup. Karena tingkat kebutuhan yang sangat dipentingkan maka logam logam tersebut juga dinamakan sebagai logam - logam esensial tubuh. Bila logam
- logam esensial yang masuk kedalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan, maka

Universitas Sumatera Utara

berubah fungsi menjadi racun. Contoh dari logam berat esensial ini adalah
tembaga (Cu), seng (Zn), dan nikel (Ni), (Sudarwin, 2008).

Cadmium (Cd)
Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri yang pada prinsipnya
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, juga dapat menurunkan
derajat kesehatan masyarakat. Banyaknya industri-industri yang berada di sekitar
perairan, seperti industri pabrik bahan kimia, industri cat, baterai, pabrik pipa
PVC, merupakan salah satu alasan mengapa suatu perairan bisa tercemar
(Mulyadi dkk., 2007).
Semakin cepatnya pergerakan sedimen khususnya yang berasal dari arah
daratan menuju laut disebabkan oleh semakin tingginya aktifitas masyarakat
mapun industri yang lebih memilih membuang limbah kegiatan mereka menuju
sungai sungai yang secara tidak disadari bahwa limbah yang mereka buang akan
mencemari

perairan,

khususnya

wilayah

estuaria atau muara.

Apalagi

perkembangan dunia industri yang makin berkembang menuntut berbagai pihak
untuk membangun banyak industri untuk menopang perekonomian mereka.
Dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan pesisir dan laut, beberapa
industri yang dimaksud adalah industri pertanian, elektronik, cat, dan bahkan
pertambangan emas dan lain sebagainya. Beberapa industri tersebut membuang
limbah-limbah hasil kegiatan mereka melalui sungai yang secara langsung
mengarah ke kawasan estuaria (Wibowo, 2011).
Kadmium merupakan logam berat yang sangat toksik setelah merkuri
(Hg) (Connel, 1995). Kadmium (Cd) sering digunakan sebagai bahan utama atau
tambahan materi dalam industri antara lain industri baterai nikel-kadmium (50-

Universitas Sumatera Utara

55% konsumsi dunia), pigmen (18-20%), bahan coating (8-12%), bahan
stabilizers dalam industri plastik dan barang sintetis lain (6-10%). Sampai dengan
akhir abad 20, 45 % total pencemaran global adalah logam kadmium (Setiawati,
2009).
Perairan di Indonesia telah tercemar kadmium, diantaranya, di estuari
Sungai Digul dan Laut Arafuru tahun 2001 sebesar 0,001-0,002 ppm di perairan
Pantai Propinsi Banten tahun 2001 sebesar

Dokumen yang terkait

Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada Pohon Mangrove (Avicennia marina) di Perairan Karangsong, Indramayu.

1 7 35

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia marina terhadap Logam Berat Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) di Kampung Nelayan Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara

0 0 15

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia marina terhadap Logam Berat Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) di Kampung Nelayan Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara

0 0 2

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia marina terhadap Logam Berat Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) di Kampung Nelayan Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara

0 0 6

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia marina terhadap Logam Berat Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) di Kampung Nelayan Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara

0 0 13

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia marina terhadap Logam Berat Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) di Kampung Nelayan Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara

0 0 4

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia Marina Terhadap Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Mangrove Kampung Nipah Desa Sei Nagalawan Serdang Bedagai Sumatera Utara

0 0 15

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia Marina Terhadap Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Mangrove Kampung Nipah Desa Sei Nagalawan Serdang Bedagai Sumatera Utara

0 0 2

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia Marina Terhadap Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Mangrove Kampung Nipah Desa Sei Nagalawan Serdang Bedagai Sumatera Utara

0 0 6

Daya Serap Pohon Mangrove Avicennia Marina Terhadap Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Mangrove Kampung Nipah Desa Sei Nagalawan Serdang Bedagai Sumatera Utara

0 0 9