Metafora Dalam Syair Perahu Karya Hamzah Fansurikajian Semantik

(1)

LAMPIRAN:

Lampiran 1: Teks Syair Perahu karya Hamzah Fansuri

1) Inilah gerangan suatu madah, Mengarangkan syair terlalu indah, Membetuli jalan tempat berpindah, Disanalah i’tikat1 diperbetuli sudah

2) Wahai muda, kenali dirimu, Ialah perahu tamsil tubuhmu, Tiadalah berapa lama hidupmu, Ke akhirat jua kekal diammu.

3) Hai muda arif-budiman,

Hasilkan kemudi dengan pedoman, Alat perahumu jua kerjakan, Itulah jalan membetuli insan.

4) Perteguh jua alat perahumu, Hasilkan bekal air dan kayu, Dayung pengayuh taruh disitu, Supaya laju perahumu itu.


(2)

5) Sudahlah hasil kayu dan ayar2 Angkatlah pula sauh dan layar, Pada beras bekal jantanlah taksir, Niscaya sempurna jalan yang kabir3

6) Perteguh jua alat perahumu, Muaranya sempit tempatmu lalu, Banyaklah disana ikan dan hiu, Menanti perahumu lalu dari situ.

7) Muaranya dalam, ikanpun banyak, Disanalah perahu karam dan rusak, Karangnya tajam seperti tombak, Keatas pasir kamu tersesak.

8) Ketahui olehmu hai anak dagang, Riaknya rencam4 ombaknya karang, Ikanpun banyak datang menyarang, Hendak membawa ketengah sawang.

9) Muaranya itu terlalu sempit, Dimanakan lalu sampan dan rakit, Jikalau ada pedoman dikapit, Sempurnalah jalan terlalu ba’id5.


(3)

10) Baiklah perahu engkau perteguh, Hasilkan6 pendapat7 dengan tali sauh, Anginnya keras ombaknya cabuh8, Pulaunya jauh tempat berlabuh.

11) Lengkapkan pendarat dan tali sauh, Derasmu banyak bertemu musuh, Selebu9 rencam10 ombaknya cabuh, LIIA11 akan tali yang teguh.

12) Barang siapa bergantung disitu, Teduhlah selebu yang rencam itu, Pedoman betuli perahumu laju, Selamat engkau ke pulau itu.

13) LIIA jua yang engkau ikut, Di laut keras topan dan ribut, Hiu dan paus dibelakang menurut, Pertetaplah kemudi jangan terkejut.

14) Laut Silan terlalu dalam, Disanalah perahu rusak dan karam, Sungguhpun banyak disana menyelam, Larang mendapat permata nilam12.


(4)

15) Laut Silan wahid al kahhar13, Riaknya rencam ombaknya besar,

Anginnya songsongan (mem) belok sengkar14 Perbaik kemudi jangan berkisar.

16) Itulah laut yang maha indah, Kesanalah kita semuanya berpindah, Hasilkan bekal kayu dan juadah,

Selamatlah engkau sempurna musyahadah15

17) Silan itu ombaknya kisah16, Banyaklah akan kesana berpindah, Topan dan ribut terlalu ‘azamah17, Perbetuli pedoman jangan berubah.

18) Laut Kulzum terlalu dalam,

Ombaknya muhit18 pada sekalian alam, Banyaklah disana rusak dan karam, Perbaiki na’am19, siang dan malam.

19) Ingati sungguh siang dan malam, Lautnya deras bertambah dalam, Anginpun keras, ombaknya rencam, Ingati perahu jangan tenggelam.


(5)

20) Jikalau engkau ingati sungguh, Angin yang keras menjadi teduh, Tambahan selalu tetap yang cabuh, Selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

21) Sampailah ahad dengan masanya, Datanglah angin dengan paksanya, Belajar perahu sidang budiman (nya), Berlayar itu dengan kelengkapannya.

22) Wujud Allah nama perahunya, Ilmu Allah akan ...20

Iman Allah nama kemudinya,

”yakin akan Allah” nama pawangnya.

23) ”Taharat21 dan istinja22” nama lantainya, ”kufur23 dan masiat24” air ruangnya,

Tawakkul akan Allah jurubatunya, Tauhid itu akan sauhnya.

24) LIIA akan talinya,

Kamal25 Allah akan tiangnya,

Assalam alaikum akan tali lenggangnya, Taat dan ibadat anak dayungnya.


(6)

25) Salat akan nabi tali bubutannya, Istigfar26 Allah akan layarnya, ”Allahu akbar” nama anginnya, Subhan Allah akan lajunya.

26) ”Wallahu a’alam” nama rantaunya, ”Iradat27 Allah” nama bandarnya, ”Kudrat Allah” nama labuhannya,

”Surga jannat an na’im28 nama negerinya.

27) Karangan ini suatu madah,

Mengarangkan syair tempat berpindah, Didalam dunia janganlah tam’ah29, Didalam kubur berkhalwat sudah.

28) Kenal dirimu didalam kubur, Badan seorang hanya tersungkur, Dengan siapa lawan bertutur, Dibalik papan badan terhancur.

29) Didalam dunia banyaklah mamang, Ke akhirat jua tempatmu pulang, Janganlah disusahi emas dan uang, Itulah membawa badan terbuang.


(7)

30) Tuntuti ilmu jangan kepalang, Didalam kubur terbaring seorang, Munkar wa Nakir30 kesana datang,

Menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.

31) Tongkatnya lekat tiada terhisab, Badanmu remuk siksa dan azab, Akalmu itu hilang dan lenyap, ... 31

32) Munkar wa Nakir bukan kepalang, Suaranya merdu bertambah garang, Tongkatnya besar terlalu panjang, Cabuknya banyak tiada terbilang.

33) Kenal dirimu, hai anak Adam! Tatkala di dunia terangnya alam, Sekarang di kubur tempatmu kelam, Tiada berbeda siang dan malam.

34) Kenal dirimu, hai anak dagang! Dibalik papan tidur terlentang, Kelam dan dingin bukan kepalang, Dengan siapa lawan berbincang?


(8)

35) LIIA itu firman,

Tuhan itulah pergantungan alam sekalian, Iman tersurat pada hati insap,

Siang dan malam jangan dilalaikan.

36) LIIA itu terlalu nyata, Tauhid ma’rifat32semata-mata,

Memandang yang gaib semuanya rata, Lenyapkan kesana sekalian kita.

37) LIIA itu jangan kaupermudah-mudah, Sekalian makhluk kesana berpindah, Da’im33 dan ka’im34 jangan berubah, Khalak35 disana dengan LIIA.

38) LIIA itu jangan kaulalaikan, Siang dan malam jangan kausunyikan, Selama hidup juga engkau pakaikan, Allah dan rasul juga yang menyampaikan.

39) LIIA itu kata yang teguh,

Memadamkan cahaya sekalian rusuh, Jin dan syaitan sekalian musuh,


(9)

40) LIIA itu kesudahan kata, Tauhid ma’rifat semata-mata, Hapuskan hendak sekalian perkara, Hamba dan Tuhan tiada berbeda.

41) LIIA itu tempat mengintai,

Medan yang kadim36 tempat berdamai, Wujud Allah terlalu bitai37,

Siang dan malam jangan bercerai.

42) LIIA itu tempat musyahadah, Menyatakan tauhid jangan berubah, Sempurnalah jalan iman yang mudah, Pertemuan Tuhan terlalu susah.


(10)

Lampiran 2: Kosa Kata dalam Syair Perahu

Kosa kata yang banyak digunakan dalam Syair Perahu adalah kosa kata bahasa Arab dan Melayu lama. Adapun kosa kata yang arkhais dan bahasa Arab dalam Syair Perahu adalah sebagai berikut.

1. I’tikat : iman

2. Ayar : air

3. Kabir : besar

4. Rencam : kacau

5. Ba’id : jauh

6. Hasilkan : ikatkan

7. Pendapat : tali penambat ke darat 8. Cabuh : kacau dan riuh

9. Selebu : samudera

10. Rencam : kacau dan memusingkan 11. LIIA : baca Lailahailla’llahu 12. Nilam : sejenis batu yang indah

13. Kahhar : yang berkuasa, disini laut Silan dibandingkan dengan wujud Tuhan

14. Sengkar : balok atau papan pelintang di kapal

15. Musyahadah : mengetahui dan menghadapi Tuhan dalam batin menurut ilmu suluk

16. Kisah : cerita 17. ‘Azamah : hebat

18. Muhit : sangat luas, meliputi segala sesuatu 19. Na’am : ya, disini agaknya pengakuan 20... : dalam naskahnya tidak terbaca


(11)

21. Taharat : suci 22. Istinja : bersuci 23. Kufur : tidak percaya 24. Masiat : durhaka 25. Kamal : kesempurnaan 26. Istigfar : permintaan ampun 27. Iradat : kemauan

28. Na’im : surga yang nikmat 29. Tam’ah : loba

30. Munkar wa Nakir : kedua malaikat yang menurut kepercayaan menanyai orang yang mati di dalam kubur

31. ... : hilang sebaris

32. Ma’rifat : pengetahuan tentang zat Allah yang dalam 33. Da’im : kekal

34. Ka’im : teguh

35. Khalak : yang dijadikan : makhluk 36. Kadim : kekal


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dan Soenjono Dardjowidjojo dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa

Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka

Aminuddin. 2001. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Muliani, Suri. 2008. Struktur Metafora Dalam Gurindam Dua Belas. Skripsi sarjana.Medan : Universitas Sumatera Utara

Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press, Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta. Erlangga

Paul Ricouer. 2002. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Diindonesiakan oleh Musnur Hery. Yogyakara: IrciSoD.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.

Rahmat Sitinjak, Dedi. 2012. Metafora dalam Pribahasa Bahasa Melayu Dialek

Batubara. Skripsi sarjana. Medan : Universitas Sumatera Utara

Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.

Tarigan, Henry Guntur. 1999. Pengajaran Semantik. Bandung : Angkasa

Usman, Fajri. 2005. Metafora dalam Mantra Minangkabau. Tesis. Denpasar : Universitas Udayana

Yudi Cahyono, Bambang. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press


(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara berpikir untuk memperoleh data atau proses pengumpulan data yang terstruktur dan sistematis. Metode penelitian ini mencakup metode dasar, lokasi penelitian, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif , bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara satu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1985:29).

3.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis yaitu buku berjudul Seulawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas, seperti dideskripsikan berikut:

Penulis /Editor : L.K Ara, Taufiq Ismail, Hasyim KS

Judul Buku : Seulawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas Penerbit : Yayasan Nusantara

Tahun terbit : 1995 Ketebalan buku : 727 Hal

Sampul buku : Depan warna merah tua dengan hiasan aksara melayu, belakang warna coklat muda.


(14)

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku catatan, dan alat tulis.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pustaka, yaitu mencari buku-buku yang berhubungan dengan penelitian, dengan kata lain studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan ragam atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan ilmiah, skripsi, tesis dan disertasi, buku tahunan, ensiklopedia dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.

3.5 Metode Analisis Data

Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian, karena tahap dalam menyelesaikan masalah adalah menganalisis secara kualitatif.

1. Menerjemahkan syair terlebih dahulu dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia.

2. Data yang sudah terkumpul diklasifikasikan sesuai dengan objek kajian. 3. Setelah diklasifikasikan, data dianalisis sesuai dengan kajian yang telah

ditetapkan.


(15)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Bentuk dan Makna Metafora dalam Syair Perahu 4.1.1. Bentuk dan Makna Metafora Bercitra Antropomorfik.

Metafora Antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Gaya bahasa ini ingin menbandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Dalam Syair Perahu metafora yang bercitra antropomorfik tidak merupakan aspek-aspek yang dipadankan dengan tubuh sendiri dari penyairnya melainkan merupakan perbandingan ke arah kemiripan pengalaman. Pada Syair Perahu tubuh manusia diibaratkan sebagai perahu yang berlayar di lautan (dunia). Adapun contoh yang terdapat dalam Syair Perahu terdapat pada bait-bait berikut ini.

Inilah gerangan suatu madah, Mengarangkan syair terlalu indah, Membetuli jalan tempat berpindah, Disanalah i’tikat diperbetuli sudah

(Syair Perahu: bait 1)

Pada contoh bait ke-1 dari Syair Perahu di atas, penyair ingin menyampaikan bahwa syair yang dibuatnya merupakan sebuah madah atau syair yang bercerita tentang bagaimana seseorang harus selalu meningkatkan i’tikat ‘iman’ kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa. Syair ini menggambarkan kehidupan manusia yang diibaratkan sebagai perahu yang berlayar di tengah lautan. Pada bait-1 ini memiliki makna bahwa seseorang harus mempersiapkan dirinya dalam


(16)

mengarungi kehidupan dengan iman yang kuat sehingga dapat menahan godaan yang datangnya dari dunia dengan segala isinya.

Wahai muda, kenali dirimu,

Ialah perahu tamsil tubuhmu,

Tiadalah berapa lama hidupmu, Ke akhirat jua kekal diammu. (SP: bait 2)

Pengibaratan atau tamsil dari pengalaman hidup ini digambarkan dengan perahu. Dalam hal ini, bait kedua ini bermakna menasihati bahwa kehidupan ini hanya bersifat sementara saja dan semua manusia suatu saat akan menuju ke alam yang bersifat kekal. Seorang manusia yang hidup di dunia ini bagaikan sebuah perahu yang sedang berlayar di tengah lautan yang sangat luas. Pelayaran ini tentunya akan menuju ke sebuah tempat yaitu alam akhirat.

Hai muda arif-budiman,

Hasilkan kemudi dengan pedoman,

Alat perahumu jua kerjakan,

Itulah jalan membetuli insan. (SP: bait 3)

Pada bait ketiga dari SP ini merupakan kelanjutan dari bait kedua yang bermakna bahwa hidup ini harus berlandaskan pedoman yang sudah ada. Pedoman-pedoman itu dijadikan panduan dalam kehidupan sehingga masyarakat dapat hidup bersatu dan hidup dalam kelompok masyarakat yang damai.

Perteguh jua alat perahumu, Hasilkan bekal air dan kayu, Dayung pengayuh taruh disitu, Supaya laju perahumu itu. (SP: bait 4)

Berdasarkan contoh bait ke-4, bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan antropomorfik, ini dapat dilihat bahwa penyair membandingkan dirinya


(17)

dengan keadaan dari alam semeta yaitu air dan kayu, terutama bila kita hendak berlayar menuju suatu tempat. Pada bait ke-4, kata air dan kayu merupakan perbandingan dari satu gejala semesta, bermaknamanusia wajib membekali dirinya dengan berbagai keperluan atau kebutuhan nantinya di tempat yang akan dituju dan hendak menjadi orang yang masuk surga maka dia harus mempersiapkan dirinya yang diibaratkan oleh penyairnya sebagai air dan kayu yang merupakan pernyataan dari iman dan takwa.

Sudahlah hasil kayu dan ayar Angkatlah pula sauh dan layar, Pada beras bekal jantanlah taksir, Niscaya sempurna jalan yang kabir

(SP: bait 5)

Pada bait ke-5, digambarkan betapa pentingnya perbekalan selama dalam pelayaran di lautan yang luas. Ini bermakna bahwa manusia wajib membekali dirinya dengan berbagai keperluan atau kebutuhan di tempat yang akan dituju. Adapun bekal yang dimaksudkan di sini adalah seluruh amal perbuatan yang baik yang pada akhirnya membuat manusia menjadi taqwa.

Perteguh jua alat perahumu,

Muaranya sempit tempatmu lalu,

Banyaklah disana ikan dan hiu, Menanti perahumu lalu dari situ.

(SP: bait 6)

Pada contoh bait ke-6,bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan antropomorfik, dapat di lihat dari penyair yang membandingkan diri manusia dengan perahu yang akan melalui jalan yang sempit, yang diwakili dengan kata muaranya

sempit. Bermakna manusia akan selalu menjumpai kehidupan yang sangat sulit bila


(18)

godaan sehingga menyulitkan manusia itu sendiri bila hendak menjadi orang beramal saleh.

Ketahui olehmu hai anak dagang,

Riaknya rencam ombaknya karang,

Ikanpun banyak datang menyarang, Hendak membawa ketengah sawang.

(SP: bait 8)

Dalam contoh bait ke-8, bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan antropomorfik, metafora yang digunakan oleh penyair adalah membandingkan keras dan kacaunya kehidupan manusia dengan kata-kata riaknya rencam ombaknya

karang. Bermakna bahwa gelombang kehidupan manusia itu sangat rencam ‘kacau’

yang ombaknya setajam karang, sehingga bila tidak hati-hati dalam memilih jalan maka akan banyak ancaman atau halangan bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.

Muaranya itu terlalu sempit, Dimanakan lalu sampan dan rakit, Jikalau ada pedoman dikapit, Sempurnalah jalan terlalu ba’id.

(Syair Perahu: bait 9)

Pada contoh dari bait ke-9 di atas, penyair ingin menyampaikan bahwa dalam mengarungi hidup ini, yang dimetaforakan penyair dengan kata sampan dan

rakit, haruslah mempunyai pedoman agar jalan yang sulit, yang digambarkan penyair

dengan kata: muaranya itu terlalu sempit, dapat dilalui karena perjalanan hidup manusia itu sangatlah baid ‘jauh’ untuk menuju kehidupan yang abadi. Ini bermakna bahwa bila kita telah mempersiapkan bekal dalam diri kita berupa iman dan takwa maka segala sesuatu yang menjadi halangan dalam perjalanan kita akan mudah


(19)

dilalui karena dalam diri kita sudah kita persiapkan untuk menghadapi segala kesulitan tersebut.

Barang siapa bergantung disitu,

Teduhlah selebu yang rencam itu,

Pedoman betuli perahumu laju, Selamat engkau ke pulau itu.

(SP: bait 12)

Pada contoh baik ke-12,bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan antropomorfik, metafora yang digunakan terdapat pada kata teduhlah selebuh. Selebuh yang berarti samudera. Bermakna bahwa manusia haruslah berpegang teguh pada ajaran agama, pada tali yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Bila tidak maka kita akan terombang-ambing dalam pusaran samudera kehidupan dunia dan tidak akan sampai pada tujuan yang hendak kita capai yaitu surga.

Laut Silan terlalu dalam,

Disanalah perahu rusak dan karam, Sungguhpun banyak disana menyelam, Larang mendapat permata nilam12.

(Syair Perahu: bait 14)

Pada contoh dari bait ke-14 di atas, penyair menggambarkan bahwa kehidupan yang dimetaforakan dengan laut Silan, adalah tempat yang sangat berbahaya karena sudah banyak manusia yang tenggelam dalam kehidupan duniawi,

disanalah perahu rusak dan karam, karena tidak dapat menahan nafsunya. Sudah

banyak manusia yang tenggelam dalam kehidupan duniawi, sungguhpun disana

banyak menyelam, tetapi tidak ada satu pun yang mendapat manfaat, larang mendapat permata nilam. Bait ini menasihati kita untuk dapat menahan diri terhadap

nafsu duniawi. Ini bermakna bahwa manusia harus dapat mengontrol dirinya dari segala keinginan karena bila menuruti keinginan maka akan membuat diri kita


(20)

tenggelam dalam dosa dan tentu saja tidak ada manfaatnya sama sekali dalam hidup ini.

Ingati sungguh siang dan malam, Lautnya deras bertambah dalam, Anginpun keras, ombaknya rencam, Ingati perahu jangan tenggelam.

(Syair Perahu: bait 19)

Pada bait ke-19 dari Syair Perahu di atas, penyair menyampaikan pesan bahwa agar manusia selalu menjaga keimanan dan ketakwaannya, baik itu siang maupun malam. Semakin tinggi iman dan takwa kita maka akan semakin kuat pula datangnya godaan, yang digambarkan dengan kata: anginpun keras, ombaknya

rencam. Oleh karena itu, penyair mengingatkan agar manusia tetap mawas diri agar

jangan tenggelam dalam kehidupan duniawi.Ini bermakna bahwa sekali lagi penyair ingin menasihati secara tegas bahwa manusia harus menyiapkan dirinya dengan iman dan takwa karena kehidupan dunia itu sangat keras dan penuh godaan.

”Taharat dan istinja” nama lantainya, ”kufur dan masiat” air ruangnya, Tawakkul akan Allah jurubatunya, Tauhid itu akan sauhnya.

(Syair Perahu: bait 23)

Pada contoh dari bait ke-23 di atas, memiliki topik tentang ilmu tauhid. Dalam hal ini, penyair menyampaikan bahwa setiap orang harus menjaga kebersihan dirinya yakni menjaga taharat dan istinja, karena bila manusia tidak menjaga kebersihan dirinya maka manusia itu akan menjadi kufur dan maksiat. Kenapa maksiat? Karena tidak pernah melakukan mandi junub setelah “berhubungan” walaupun suami istri. Oleh sebab itu, setiap umat Islam haruslah mempelajari ilmu


(21)

tauhid untuk kesempurnaan ibadahnya. Ini bermakna sindiran bahwa manusia walaupun sudah memiliki iman maka harus tetap menjaga kebersihan dirinya. Kebersihan adalah kewajiban yang harus ditunaikan apalagi bila hendak melakukan ibadah kepada Allah Swt. Kebersihan adalah sebagian dari iman.

Tuntuti ilmu jangan kepalang, Didalam kubur terbaring seorang, Munkar wa Nakir kesana datang,

Menanyakan jikalau ada engkau sembahyang. (Syair Perahu: bait 30)

Pada contoh di atas, topik yang dibahas adalah tentang shalat atau sembahyang. Shalat haruslah ditegakkan setiap saat. Bila salah dalam bershalat maka sama saja seseorang melakukan pekerjaan yang sia-sia. Oleh karena itu, penyair menyampaikan tuntutui ilmu jangan kepalang agar semua ibadahnya diterima oleh Allah Swt. Apalagi ketika seseorang meninggal dunia, maka malaikat Munkar dan Nakir akan menanyakan apakah kita selama hidup di dunia melakukan shalat atau tidak. Bila tidak maka siksa kubur pasti akan kita alami. Ini bermakna bahwa umat Islam haruslah menjalankan ibadah shalat karena shalat adalah tiang penyangga utama keimanan dan ketakwaan seseorang karena itulah pertanyaan pertama ketika seseorang meninggal dunia.

4.1.2. Bentuk dan Makan Metafora Bercitra Hewan

Metafora hewani pun menjadi kebiasaan para pemakai bahasa untuk menggambarkan suatu kondisi atau kenyataan di alam pengalaman pemakaian bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dipadankan dengan tanaman,


(22)

misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah.Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan bahwa manusia dapat disamakan dengan sejumlah binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau, ayam, bebek, keledai, monyet, ular, singa, buaya, dan lain-lain.

Sehubungan dengan pengertian di atas maka contoh-contoh dari Syair Perahu yang mengacu kepada hal tersebut adalah sebagai berikut.

Perteguh jua alat perahumu, Muaranya sempit tempatmu lalu,

Banyaklah disana ikan dan hiu, Menanti perahumu lalu dari situ.

(Syair Perahu: bait 6)

Pada contoh Syair Perahu bait ke-6 di atas,bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan hewan, terlihat bahwa penyair menggunakan metafora untuk menggambarkan kondisi bahwa pemakaian metafora ikan dan hiu untuk melukiskan keadaan dimana manusia selalu banyak mendapat godaan dalam kehidupannya. Hal ini dipertegas pada baris berikutnya: Menanti perahumu lalu dari situ, yang bermakna bahwa godaan itu selalu menanti kita dalam mencapai tujuan yang hendak kita tuju. Kata ikan yang merupakan hewan yang disukai manusia dan hiu yang merupakan perlambang dosa yang ganas dan selalu memangsa manusia bila tidak hati-hati karena jalannya yang sempit yang dimetaforakan pada baris: muaranya

sempit tempatmu lalu. Ini bermakna bahwa hidup ini penuh dengan berbagai

tantangan yang hanya menunggu kesempatan untuk menantang hidup manusia. Ketahui olehmu hai anak dagang,

Riaknya rencam ombaknya karang,

Ikanpun banyak datang menyarang, Hendak membawa ketengah sawang. (Syair Perahu: bait 8)


(23)

Pada contoh Syair Perahu bait ke-8 di atas, bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan hewan, pemakaian metafora hewan yakni ikan yang banyak datang menyarang (berkelompok) di saat riak lautan yang rencam (kacau balau) dan ombak yang setajam batu karang, sebagai perlambang bahwa banyak orang yang selalu membujuk kita untuk melakukan perkejaan yang dilarang oleh Allah Swt. Hal memiliki makna bahwa bila hidup kita mengalami kacau balau maka akan banyak orang (ikan) yang akan datang menawarkan berbagai tawaran untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, yang terlihat pada baris keempat: hendak membawa

ketengah sawang. Hebatnya godaan itu terlihat pada baris kedua: riaknya rencam ombaknya karang, yang merupakan gambaran dari kehidupan yang penuh dengan

kekacauan dan dapat membuat kita akan terjatuh dan terluka karena kesalahan yang kita perbuat sendiri. Ini bermakna bahwa ombak dan ikan yang dimaksudkan oleh penulis di sini adalah tantangan. Jika seseorang itu tidak teguh pendirian atau tidak tahan dengan tantangan, maka tantangan itu akan dapat mengalahkan iman seseorang.

LIIA jua yang engkau ikuti Di laut keras topan dan ribut,

Hiu dan paus dibelakang menurut, Pertetaplah kemudi jangan terkejut.

(Syair Perahu: bait 13)

Pada contoh bait ke-13 di atas,bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan hewan, kata hiu dan paus merupakan metafora yang bermakna bahwa kemana pun kita pergi, pekerjaan yang tidak terpuji (dosa) akan selalu mengikuti kita dan akan selalu menggoda kita. Oleh karena itu, niat dan tekad harus tetap pada koridor yang telah ditentukan oleh Allah Swt. (LIIA: Laillahhaillallah). Godaan itu


(24)

layaknya laut yang dilanda angin topan dan ribut yang akan terus menghantam dan menggoyang iman seseorang. Untuk itu haruslah tetap pada jalan yang telah ditentukan dan berpegang teguh pada tali iman berdasarkan LIIA, Laillahaillallah.

4.1.3. Bentuk Dan Makna Metafora Bercitra Abstrak ke Konkret

Metafora bercitra abstrak ke konkret adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Sering pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan, tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memahami metafora tertentu. Contohnya untuk mengungkapkan suatu kecepatan yang luar biasa dikatakan ”cepat seperti kilat”, untuk menunjukkan ujung senjata secara konkret dikatakan ”monjong senjata” dan lain-lain.

Dalam Syair Perahu metafora bercitra abstrak ke konkret lebih banyak yang bersifat transparan. Gambaran metafora yang terdapat dalam syair ini dapat langsung terbaca oleh pembaca sehingga tidak menyulitkan pembaca untuk mengetahui ungkapan yang terdapat dalam syair tersebut. Seperti yang terlihat pada contoh-contoh di bawah ini.

Sampailah ahad dengan masanya, Datanglah angin dengan paksanya,

Belajar perahu sidang budiman (nya),

Berlayar itu dengan kelengkapannya

(SP: bait 21)

Pada bait 21 di atas terlihat bahwa penyair sekali lagi menggunakan kata

perahu untuk memetaforakan hal yang abstrak kepada yang konkret. Perahu yang


(25)

belajar agama. Dalam Islam selalu dianjurkan untuk terus belajar hingga maut menjemputnya, terutama belajar tentang ilmu agama. Ini bermakna bahwa manusia yang memiliki kearifan berprilaku haruslah memegang teguh pada pedoman hidup yaitu agama.

Salat akan nabi tali bubutannya, Istigfar Allah akan layarnya, ”Allahu akbar” nama anginnya, Subhan Allah akan lajunya.

(SP: bait 25)

Pada bait ke ke-25 ini metafora abstrak ke konkret terlihat pada keempat baris dari bait tersebut. Salat akan nabi tali bubutannya yang merupakan nasihat kepada manusia agar selalu menegakkan shalat. Istigfar Allah akan layarnya merupakan nasihat agar selalu mengingat asma Allah setiap saat agar iman di dalam hati tetap terjaga. Allahu akbar nama anginnya merupakan nasihat bahwa Allah akan tetap menjaga umat-Nya agar tetap melangkah dalam akidah Islam. Subhan Allah

akan lajunya yang merupakan nasihat untuk tetap berpegang pada tali agama.

Dengan demikian bahwa bait ini bermakna nasihat kepada manusia untuk tetap mengingat Allah dan berpegang teguh pada ajaran-Nya.

Baiklah perahu engkau perteguh, Hasilkan pendapat dengan tali sauh, Anginnya keras ombaknya cabuh, Pulaunya jauh tempat berlabuh.

(Syair Perahu, bait 10)

Pada bait ke-10 dari Syair Perahu di atas, penyair memperbandikan iman seseorang itu dengan perahu. Iman itu harus tetap dijaga karena godaannya sangat


(26)

keras dan dan dapat menenggelamkan iman seseorang. Anginnya keras ombaknya

cabuh merupakan gambaran perbandingan kehidupan manusia yang keras dan kacau

serta riuh (cabuh). Tempat tujuan masih sangat jauh karena itu iman harus diperteguh agar dapat sampai ke pulau yang dituju. Bait ke-10 ini bermakna bahwa tujuan hidup manusia adalah akhirat. Untuk mencapai akhirat manusia pasti mengalami segala rintangan yang dapat merusak iman seseorang karena itu haruslah memperteguh imannya agar dapat mencapai tujuan tersebut.

Lengkapkan pendarat dan tali sauh, Derasmu banyak bertemu musuh, Selebu rencam ombaknya cabuh, LIIA akan tali yang teguh.

(Syair Perahu, bait 11)

Pada bait ke-11 dari Syair Perahu di atas, perahu yang dipakai sebagai perbandingan diri seorang manusia, pasti akan bertemu dengan musuh manusia paling utama yaitu jin dan setan. Jin dan setan akan menggoda sebisa-bisanya, sehebat mungkin, seperti yang digambarkan oleh penyair dengan kata-kata: selebu

rencam ombaknya cabuh. Selebu yang berarti samudera dan rencam yang berarti

kacau dan memusingkan, merupakan gambaran betapa hebatnya godaan jin dan setan itu. Oleh karena itu, dalam bait ini bermakna penyair menasihati agar manusia berpegung teguh pada tali Laillahhaillah (LIIA).

LIIA itu jangan kaulalaikan,

Siang dan malam jangan kausunyikan, Selama hidup juga engkau pakaikan, Allah dan rasul juga yang menyampaikan.


(27)

Pada bait ke-38 dari Syair Perahu di atas, tali pegangan iman kepada Allah Swt. yakni Laillahaillallah‘tidak ada Tuhan, selain Allah’ harus tetap ditegakkan dan selalu menjadi pedoman dalam hidup seperti hadits Rasulullah dan perintah Allah melalui Al Quran. Ini bermakna penyair ingin menasihati bahwa dalam keadaan apa pun seseorang itu haruslah tetap berzikir baik siang maupun malam serta tetap mengucapkan Laillahaillallah sepanjang hidupnya agar iman dan takwa tetap terjaga.

LIIA itu kata yang teguh,

Memadamkan cahaya sekalian rusuh, Jin dan syaitan sekalian musuh,

Hendak membawa dia bersungguh-sungguh. (Syair Perahu, bait 39)

Pada bait ke-39 dari Syair Perahu di atas, sekali lagi penyair menegaskan bahwa bila kita tetap berpegang teguh pada ajaran Allah Swt. maka segala godaan yang dilakukan oleh jin dan setan dapat kita hindarkan. Jin dan setan serta seluruh musuh iman akan membawa manusia kepada kemudharatan dan kehancuran. Ini bermakna bahwa penyair ingin menegaskan bahwa hanya dengan terus menerus mengucapkan Laillahaillallah manusia dapat selamat dari godaan jin dan setan.

LIIA itu kesudahan kata, Tauhid ma’rifat semata-mata, Hapuskan hendak sekalian perkara, Hamba dan Tuhan tiada berbeda.

(Syair Perahu, bait 40)

Pada bait ke-19 dari Syair Perahu di atas, menjelaskan bahwa bila manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Maka Allah juga akan dekat dengan kita. Jika sudah demikian maka segala kesulitan akan dapat diatasi karena Allah Swt


(28)

adalah zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Apalagi jika kita bisa menggali ilmu tauhid dan makrifat dengan sempurna maka manusia dapat menjadi seperti zat Allah Swt. Ini bermakna bahwa bila manusia dapat terus menerus berpegang pada Laillahaillallah dan melengkapkan diri dengan menguasai tauhid serta mempelajari makrifat maka manusia akan dapat menyamakan dirinya dengan sifat-sifat Allah.

Wujud Allah nama perahunya, Ilmu Allah akan dayungnya,

Iman Allah nama kemudinya,

”yakin akan Allah” nama pawangnya.

(Syair Perahu: bait 22)

Pada bait ke-22 dari Syair Perahu di atasbait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan abstrak ke konkret, terlihat bahwa ungkapan yang abstrak tersebut terletak pada baris ketiga: Iman Allah nama kemudinya. Kata Iman Allah adalah sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang dirasakan hanya ada bila kita melakukan segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Kata-kata tersebut dikonkretkan oleh penyairnya dengan kata-kata: “yakin akan Allah” nama pawangnya. Kata-kata

yakin akan Allah merupakan kunci dari bait tersebut yang bermakna bahwa bila kita

yakin kepada Allah Swt. Pasti kelak kita akan dapat melalui segala godaan dan dapat mencapai iman yang lebih tinggi.

LIIA akan talinya,

KamalAllah akan tiangnya,

Assalam alaikum akan tali lenggangnya, Taat dan ibadat anak dayungnya.

(Syair Perahu: bait 24)

Pada contoh bait ke-24 di atasbait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan abstrak ke konkret, dapat dilihat dari ungkapan yang abstrak tidak begitu


(29)

abstrak karena penyair langsung mengkonkretkannya. Ini terlihat pada baris ketiga:

Assalamualaikum akan tali lenggangnya, yang langsung dikonkretkan penyair pada

baris keempat: taat dan ibadat anak dayungnya. Bermakna setiap orang haruslah berpegang pada jalan yang telah ditentukan dan jalan tersebut hanya bisa dilalui apabila kita tetap taat menjalankan perintah Allah Swt. Taat tersebut dibuktikan dengan adanya ibadah yang terus menerus. Bait ini begitu konkret menggambarkan keadaan keimanan seseorang.Pada bait ini bermakna bahwa bila kita terus taat dalam beribadah maka kita akan dapat memahami sepenuhnya arti dari Laillahaillallah bahwa tidak ada kekuatan apa pun di dunia ini yang dapat mengalahkan kekuatan Allah Swt.

”Wallahu a’alam” nama rantaunya, ”Iradat Allah” nama bandarnya,

”Kudrat Allah” nama labuhannya, ”Surga jannat an na’im nama negerinya.

(Syair Perahu: bait 26)

Pada contoh bait ke-24 sebelumnya telah dijelaskan oleh penyairnya bahwa manusia harus berpegang teguh pada tali iman yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Hal ini dilakukan oleh manusia untuk dapat mencapai pelabuhan terakhir dari semua kehidupan berdasarkan kudrat Allah yaitu surga jannatan na’im. Penyair begitu konkret menggambarkan bahwa semua makhluk yang beriman harus tahu kemana pelabuhan yang harus ditujunya yakni kodrat Allah dan tempat mana yang dari akhir dari hidup ini menjadi impian semua makhluk yakni surga jannatan na’im.Bait ini bermakna bahwa tujuan manusia hidup adalah menuju surga sebagai tujuan akhirnya. Oleh karena itu, manusia harus dapat meningkatkan ibadahnya kepada Allah Swt.


(30)

Kenal dirimu didalam kubur, Badan seorang hanya tersungkur,

Dengan siapa lawan bertutur, Dibalik papan badan terhancur.

(Syair Perahu: bait 28)

Pada contoh di atas pembaca langsung dapat membaca metafora yang dimaksudkan oleh penyair bahwa orang harus dapat mengenal dirinya sendiri, apalagi jika seseorang itu sudah meninggal dunia. Tidak ada orang yang menemani bila kita sudah meninggal dunia. Yang memiliki makna seperti ketika hidup di dunia yang memiliki banyak teman, terutama teman untuk hidup senang-senang, hura-hura, atau berbuat dosa. Ketika sudah meninggal dunia, kita hanya seorang diri, tidak ada lawan berbicara apalagi menyampaikan keluh kesah. Hal ini ditegaskan penyair melalui metafora: dibalik papan badan terhancur, bahwa di bawah papan penutup lubang kubur, kita hanya sendiri dan perlahan-lahan jasad kita hancur dimakan oleh waktu. Pada bait ini bermakna penyair ingin menasihati agar manusia ingat kepada mati, bila sudah ingat maka akan cepat tobat dan melaksanakan ibadah sebaik mungkin.

Didalam dunia banyaklah mamang, Ke akhirat jua tempatmu pulang,

Janganlah disusahi emas dan uang, Itulah membawa badan terbuang.

(Syair Perahu: bait 29)

Pada contoh bait ke-29 dari Syair Perahu di atas bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan abstrak ke konkret, terlihat dari penyairyang menyampaikan bahwa dalam hidup ini janganlah hanya memikirkan harta saja, emas


(31)

keagamaan. Emas dan uang adalah perlambang kehidupan duniawi karena itu penyair mengatakan bahwa di dalam dunia banyaklah mamang yang bermakna bahwa di dunia ini banyaklah mamang ‘jin atau setan’ yang siap menggoda manusia sehingga lupa akan akhirat. Apalagi jika manusia hanya memikirkan tentang emas dan uang saja maka akan membuat manusia menjadi orang penuh bergeliman dosa, seperti metafora yang terdapat pada bait di atas: itulah membawa badan terbuang. Bait ini bermakna bahwa jin dan setan akan selalu menggoda manusia dengan segala macam godaan.

LIIA itu tempat mengintai,

Medan yang kadim tempat berdamai, Wujud Allah terlalu bitai,

Siang dan malam jangan bercerai.

(SP: bait 41)

Pada bait ke-41 di atas terlihat bahwa penyair ingin menasihati manusia dalam kehidupan manusia di dunia ini, jangan pernah sekali pun lupa kepada Allah Swt. Dan selalu berpegang pada Laillahaillallah bahwa tidak satu kuasa apa pun di dunia yang dapat mengalahkan kekuasaan Allah Swt. Pernyataan ini dikonkretkan penyair melalui baris keempat: siang dan malam jangan bercerai, yang bermakna bahwa siang dan malam manusia harus ingat kepada sang penciptanya yakni Allah Azza Wa jalla.

4.1.4. Bentuk dan Makna Metafora Bercitra Sinestesia

Metafora bercita sinestesia merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam bahasa sehari-hari orang sering mendengar ungkapan ”enak didengar” untuk musik walaupun


(32)

makna enak selalu dikaitkan dengan indra rasa; ”sedap dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.

Dalam Syair Perahu metafora bercitra sinestesia sangat sedikit sekali dijumpai, hanya ada beberapa contoh saja. Adapun contoh metofora bercitra sinestesia dalam syair tersebut sebagai berikut.

Muaranya dalam, ikanpun banyak, Disanalah perahu karam dan rusak,

Karangnya tajam seperti tombak,

Keatas pasir kamu tersesak. (Syair Perahu, bait 7)

Pada bait ke-7 dari Syair Perahu di atas, penyair membandingkan kehidupan manusia itu seperti perahu, seperti yang dijelaskan pada subbab terdahulu. Bila tidak berhati-hati dalam mengemudikan perahu maka perahu tersebut akan rusak atau bahkan karam karena karang di muara yang sempit itu tajam seperti ombak. Bila kapal karam maka perahu akan terdampar di atas pasir dan tersangkut di pasir tersebut. Oleh karena itu, setiap orang haruslah hati-hati dalam bergaul sehingga tidak terjerumus ke dalam muara yang dalam, dimana di dalam muara tersebut banyak orang-orang yang tersesat. Ini bermakna bahwa godaan yang ada dalam hidup ini sangatlah kuat layaknya seperti karang yang tajam. Oleh karena itu, setiap manusia harus berhati-hati dalam menghadapi segala godaan karena dapat menjerumuskan manusia ke dalam dosa yang sangat besar.

Laut Silan wahid al kahhar,

Riaknya rencam ombaknya besar,

Anginnya songsongan (mem) belok sengkar

Perbaik kemudi jangan berkisar. (Syair Perahu, bait 15)


(33)

Pada bait ke-15 dari Syair Perahu di atas, perbandingan kehidupan manusia yang begitu luas dimana manusia akan menghadapi gelombang kehidupan yang begitu dahsyat, layaknya lautan yang memiliki riak yang rencam ‘kacau’ dan ombak yang besar. Riak dan ombak yang besar itu akan menghasilkan angin yang sangat kencang pula sehingga dapat membelokkan arah dan dapat menyesatkan tujuan. Oleh karena itu maka manusia harus dapat mempertahankan kemudi perahu sehingga tetap pada jalurnya. Ini bermakna bahwa hidup ini sangatlah luas dan penuh godaan karena itu harus memperkuat iman di dalam dirinya.

Silan itu ombaknya kisah16,

Banyaklah akan kesana berpindah,

Topan dan ribut terlalu ‘azamah17,

Perbetuli pedoman jangan berubah. (Syair Perahu, bait 17)

Pada bait ke-17 dari Syair Perahu di atas, penegasan yang disampaikan oleh penyair pada bait ini adalah bahwa manusia harus tetap teguh berpegang pada pedoman yang telah diberikan oleh Allah Swt. Angin topan dan ribut terlalu hebat di lautan seperti godaan dalam hidup manusia yang tidak pernah surut dan terus menerus menggoda iman manusia. Pedoman hidup jangan pernah diubah karena bila diubah maka manusia akan terjatuh dalam dosa. Ini bermakna bahwa seseorang harus tetap berpegang teguh pada ajaran agama Islam agar selamat di dunia dan di akhirat.

Laut Kulzum terlalu dalam,

Ombaknya muhit18 pada sekalian alam,

Banyaklah disana rusak dan karam, Perbaiki na’am 19, siang dan malam.


(34)

Pada bait ke-18 dari Syair Perahu di atas, hampir sama dengan contoh pada bait ke-14 pada subbab sebelumnya, penyair menggambarkan bahwa kehidupan yang dimetaforkan dengan laut Silan, adalah tempat yang sangat berbahaya karena sudah banyak manusia yang tenggelam dalam kehidupan duniawi, disanalah perahu rusak

dan karam, karena tidak dapat menahan nafsunya. Sudah banyak manusia yang

tenggelam dalam kehidupan duniawi, sungguhpun disana banyak menyelam, tetapi tidak ada satu pun yang mendapat manfaat, larang mendapat permata nilam. Oleh karena itu makna dari bait ini adalah bahwa keimanan dan ketakwaan seseorang itu harus terus ditingkatkan.

Jikalau engkau ingati sungguh,

Angin yang keras menjadi teduh,

Tambahan selalu tetap yang cabuh, Selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

(Syair Perahu: bait 20)

Pada bait ke-20 dari Syair Perahu di atas, penyair masih tetap mengingatkan pembaca untuk selalu ingat akan keimanan dan ketakwaan karena dengan itulah dapat menghadapi godaan yang tinggi agar menjadi tentram dalam menghadapi semua persoalan. Persoalan dunia tidak akan pernah ada habisnya tetapi bila tetap memiliki iman dan takwa maka arah yang akan dituju dapat dicapai. Bentuk metafora sinestesia dalam bait ini terdapat pada baris kedua: angin yang keras menjadi teduh yang mengisyaratkan jika kita berpegang teguh pada pedoman ajaran agama maka segala bentuk godaan dapat dihindarkan bahkan menjadi penyejuk dalam hidup kita. Ini bermakna bahwa manusia harus tabah dalam menahan segala bentuk godaan yang cabuh (kacau dan riuh) dengan iman dan takwa sehingga godaan menjadi sebuah penyemangat untuk kita melakukan ibadah.


(35)

Karangan ini suatu madah,

Mengarangkan syair tempat berpindah,

Didalam dunia janganlah tam’ah, Didalam kubur berkhalwat sudah.

(Syair Perahu: bait 27)

Pada bait ke-27 dari Syair Perahu di atas, penyair menegaskan bahwa apa yang disampaikannya ini hanyalah sebuah nasihat agar manusia dapat berubah iman dan takwanya yang digambarkan dari baris: mengarangkan syair tempat berpindah. Dalam hidup ini janganlah tam’ah ‘tamak atau loba’ karena segala harta benda itu tidak akan berarti apa-apa ketika kita sudah berada di alam kubur. Hal ini bermakna bahwa dalam hidup janganlah selalu berpikir tentang harta karena harta tidak dibawa ketika kita meninggal dunia.

Itulah laut yang sedap dan indah,

Kesanalah kita semuanya berpindah, Hasilkan bekal kayu dan juadah,

Selamatlah engkau sempurna musyahadah (Syair Perahu: bait 16)

Metafora bercitra sinestesia yang terdapat pada contoh bait ke-16 di atas bait tersebut memiliki bentuk metafora bercitrakan sinestesia, terlihat pada baris pertama yakni Itulah laut yang sedap dan indah. Penyair melukiskan keadaan tentang keindahan laut yang terbentang luas sebagai metafora dari kehidupan yang ada di surga. Pengalihan dari indra rasa ke indra penglihatan yakni laut yang sedap, seolah-olah laut tersebut dapat dinikmati dengan indra rasa layaknya sebuah makanan. Begitu la penyair menggambarkan tentang kenikmatan dan keindahan kehidupan di surga karena memang itu tujuan akhir dari semua manusia. Oleh karena itu, dalam


(36)

bait ini bermakna bahwa penyair menyarankan agar manusia mempersiapkan dirinya sedini mungkin agar tujuan akhir tersebut dapat dicapai oleh manusia.

Munkar wa Nakir bukan kepalang,

Suaranya merdu bertambah garang,

Tongkatnya besar terlalu panjang, Cabuknya banyak tiada terbilang.

(Syair Perahu: bait 32)

Pada contoh bait ke-32 dari Syair Perahu di atas penyair menggunakan bentuk metafora sinestesia yakni pengalihan dari indra pendengaran ke indra rasa yang terdapat pada baris kedua yaitu suaranya merdu bertambah garang.Metafora dari indra rasa, suaranya merdu, dialihkan ke indra rasa, garang, yang bermakna sebagai merupakan gambaran dari Malaikat Nungkar dan Nangkir, malaikat yang bertugas menanyakan segala perbuatan manusia ketika di dalam kubur sekaligus memberikan hukuman di dalam kubur. Malaikat yang selalu ditakut i oleh manusia karena itu di metaforkan sebagai makhluk yang bersuara merdu tetapi bertindak tegas. Ini bermakna bahwa manusia harus ingat kepada malaikat Mungkar dan Nangkir yang akan memberikan siksa kubur bila tidak melakukan ibadah.

Kenal dirimu, hai anak Adam! Tatkala di dunia terangnya alam, Sekarang di kubur tempatmu kelam,

Tiada berbeda siang dan malam.

(Syair Perahu: bait 33)

Pada contoh bait ke-33 dari Syair Perahu di atas penyair menggunakan bentuk metafora sinestesia yakni pengalihan dari indra yang sudah mati ke indra rasa yang masih hidup terdapat pada baris terakhir yaitu tiada berbeda siang malam. Metafora sinestesia ini memiliki makna membandingkan antara makhluk yang masih


(37)

hidup dengan makhluk yang sudah mati. Makhluk yang sudah mati seolah-olah masih dapat membedakan antara siang dengan malam. Bait ini bermakna memberikan nasihat bahwa manusia agar sadar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan semua manusia akan meninggal dunia.

Kenal dirimu, hai anak dagang! Dibalik papan tidur terlentang,

Kelam dan dingin bukan kepalang,

Dengan siapa lawan berbincang?

(SP: bait 34)

Pada contoh bait ke-34 dari Syair Perahu di atas penyair menggunakan bentuk metafora sinestesia yakni pengalihan dari indra yang sudah mati ke indra rasa yang masih hidup terdapat pada baris terakhir yaitu kelam dan dingin bukan

kepalang. Rasa kelam (gelap) dan dingin itu hanya dirasakan oleh orang yang masih

hidup dan bukan orang sudah meninggal dunia. Namun untuk menggambarkan suasana di dalam kuburan itu sangat menakutkan maka penyair menggambarkannya dengan kata-kata: kelam, dingin, dan bukan kepalang. Hal ini hampir sama dengan bait ke-33 di atas dimana penyair menyamakan kehidupan manusia yang masih hidup dengan manusia yang sudah meninggal dunia.

LIIA itu firman,

Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,

Iman tersurat pada hati insap,

Siang dan malam jangan dilalaikan.

(SP: bait 35)

Pada contoh bait ke-35 dari Syair Perahu di atas penyair menggunakan bentuk metafora sinestesia yakni pengalihan dari indra yang sudah mati ke indra rasa yang masih hidup terdapat pada baris terakhir yaitu iman tersurat pada hati


(38)

mata, sedangkan iman itu sendiri tidak dapat dilihat oleh seseorang. Penyair ingin menyampaikan bahwa iman itu akan berada di dalam hati orang-orang yang sudah insaf atau bertobat. Hal ini bermakna penyair ingin menyindir manusia bahwa iman itu tidak akan kokoh dan teguh di dalam hati seseorang jika dirinya belum insaf. Belum menyadari bahwa pentingnya iman itu bagi hidup seseorang karena itu haruslah terus dijaga siang dan malam.

LIIA itu terlalu nyata, Tauhid ma’rifatsemata-mata,

Memandang yang gaib semuanya rata,

Lenyapkan kesana sekalian kita.

(SP: bait 36)

Pada contoh bait ke-36 dari Syair Perahu di atas penyair menggunakan bentuk metafora sinestesia yakni pengalihan dari indra yang sudah mati ke indra rasa yang masih hidup terdapat pada baris terakhir yaitu memandang yang gaib semuanya

rata. Hampir sama dengan bait ke-35 di atas, kata memandang biasanya

diperuntukkan bagi manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Namun di sini penyair menggunakan kata tersebut untuk menyatakan bahwa bila seseorang telah memiliki ilmu tauhid dan makrifat maka akan dapat melihat segala sesuatu yang tidak tampak (gaib) seperti halnya alam barzah, surga, ataupun neraka. Secara makna keseluruhan, baik ini bermakna bahwa penyair ingin menasihati bahwa manusia haruslah terus meningkatkan ilmu tauhid dan makrifatnya agar dapat mengetahui hal-hal yang gaib, terutama surga, karena memang tujuan utama dari manusia adalah menuju hidup yang abadi di surga.

LIIA itu jangan kaupermudah-mudah, Sekalian makhluk kesana berpindah,


(39)

Khalak disana dengan LIIA.

(SP: bait 37)

Pada contoh bait ke-33 dari Syair Perahu di atas penyair menggunakan bentuk metafora sinestesia yakni pengalihan dari indra yang sudah mati ke indra rasa yang masih hidup terdapat pada baris terakhir yaitu da’im dan ka’im jangan berubah. Kata daim yang berarti kekal memang tidak dapat diubah karena kalau sesuatu yang disebut dengan kekal (abadi) itu tidak akan pernah berubah oleh sebab apapun. Dalam hal ini penyair ingin menasihati bahwa janganlah sekali pun mengubah kedudukan Allah karena Allah Swt. itu tidak bisa diduakan yang akan menimbulkan dosa besar yaitu syirik. Ini bermakna bahwa hanya kepada Allah Swt. kita bergantung dan kepada-Nya juga kita akan kembali.

LIIA itu tempat musyahadah, Menyatakan tauhid jangan berubah,

Sempurnalah jalan iman yang mudah,

Pertemuan Tuhan terlalu susah.

(SP: bait 42)

Pada contoh bait ke-42 dari Syair Perahu di atas penyair menggunakan bentuk metafora sinestesia yakni pengalihan dari indra yang sudah mati ke indra rasa yang masih hidup terdapat pada baris terakhir yaitu Sempurnalah jalan iman yang

mudah. Kata jalan biasanya diperuntukan bagi makhluk hidup dan bukan untuk

sesuatu yang abstrak seperti halnya iman. Bait ini merupakan bait penutup dari Syair

Perahu yang merupakan kesimpulan dari nasihat yang terdapat dalam Syair Perahu.

Penyair menegaskan kembali bahwa semua manusia akan menghadap (musyahadah) atau kembali kepada Allah Swt. Untuk itu maka manusia haruslah memperkuat tauhidnya dan jangan pernah berubah karena itulah jalan satu-satunya kita bisa kembali kepada Allah Swt. dalam keadaan khusnul Kotimah (meninggal dalam


(40)

keadaan penuh iman dan takwa). Bertemu dengan Allah Swt. bukanlah hal yang mudah tetapi juga bukan hal yang sulit bila kita tetap beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Bait ini bermakna bahwa manusia harus tetap meningkatkan ilmu tauhid, iman, dan takwa agar dapat mencapai surga jannatam naim.


(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan terhadap Syair Perahu karangan Hamzah Fansuri dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Syair Perahu merupakan syair keagamaan yang menceritakan tentang

keimanan dan ketakwaan

2. Berdasarkan pilihan citra, ada empat bentuk metafora yang terdapat dalam teks Syair Perahu, antara lain.

- Bentuk metafora bercitra antropomorfik. - Bentuk metafora bercita hewan.

- Bentuk metafora bercitra abstrak ke konkret. - Bentuk metafora bercitra sinestesia

3. Untuk menganalisi makna yang terdapat dalam teks Syair Perahu ditinjau berdasarkan pilihan citra, terdapat beberapa makna, antara lain.

- Makna Nasihat - Makna Sindiran

- Makna Pedoman Hidup

5.2 Saran

1. Kajian tentang Syair Perahu hendaknya lebih diperluas lagi karena dalam syair ini penuh dengan ajaran keagamaan, khususnya agama Islam.

2. Kajian tentang bentuk-bentuk syair hendaknya juga lebih diperbanyak mengingat dalam kesusastraan Melayu banyak sekali syair yang mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan.


(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari buku-buku pendukung dan skripsi yang relevan dengan judul penelitian. Sesuai dengan judul penelitian Metafora dalam SP : Kajian Semantik, dari judul tersebut ditemukan beberapa skripsi yang membahas tentang Metafora. Antara lain, Suri Muliani (2008) dengan judul

Struktur Metafora Dalam Gurindam Dua Belas. Dalam penelitiannya dipaparkan,

bahasa Melayu mempunyai perbedaan dengan bahasa lainnya. Bahasa Melayu, baik lisan maupun tulisan sering dipengaruhi oleh bahasa lainnya. Bahasa Melayu banyak menggunakan gaya bahasa, khususnya gaya bahasa metafora perbandingan.

Usman (2005) dalam tesisnya yang berjudulMetafora Dalam Mantra

Minangkabau. Penelitiannya, mencakup: (1) analisis metafora manusia; (2) analisis

metafora hewan; (3) analisis metafora tumbuhan; (4) analisis metafora makhluk gaib; (5) analisis metafora benda magis; (6) analisis metafora warna; dan (7) analisis metafora tempat. Metafora di atas dipaparkan seperti berikut. (1) Analisis metafora manusia dalam mantra minangkabau, mencakup beberapa bentuk metafora, yaitu bentuk sapaan dalam mantra minangkabau, bentuk pronomina dalam mantra minangkabau, bentuk pronomina prosesif dalam mantra minangkabau, dan sibstitusi nama diri dalam mantra minangkabau. (2) Analisis metafora hewan dalam mantra minangkabau, mencakup beberapa bentuk metafora yaitu, bentuk ulang metaforik hewan tak berbisa, metafora untuk hewan berbisa, dan substitusi hewan ke nama diri. (3) Analisis metafora tumbuhan dalam mantra minangkabau, mencakup beberapa


(43)

bentuk metafora yaitu, metafora untuk sirih, metafora untuk padi, dan metafora untuk jeruk. (4) Analisis metafora makhluk gaib dalam mantra Minangkabau, mencakup beberapa bentuk metafora yaitu, metafora untuk jin, metafora untuk setan, dan metafora untuk malaikat. (5) Analisis metafora benda magis dalam mantra Minangkabau, mencakup beberapa bentuk metafora yaitu, metafora benda magis berupa benda mati, metafora benda magis berupa tumbuhan. (6) Analisis metafora warna dalam mantra Minangkabau, mencakup beberapa bentuk metafora yaitu, metafora warna merah, metafora warna kuning, metafora warna putih, dan metafora warna hitam. (7) Analisis metafora tempat dalam mantra Minangkabau, mencakup beberapa bentuk metafora yaitu, metafora tempat jin, metafora tempat manusia, metafora tempat untuk hewan, dan metafora tempat tumbuhan.

Metafora adalah sejenis majas perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlibat dua ide : yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang difikirkan, yang menjadi objek, dan yang satu lagi merupakan perbandingan terhadap kenyataan tadi, dan kita menggantikan yang belakangan ini menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1983:141).

Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti ’memindahkan’; dari meta di atas; melebihi + pherein ’membawa’. Metafora membuat perbandingan antra dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup, walaupun tidak dinyatakan secara implisit dengan penggunaan kata-kata bak, seperi, laksana, ibarat, umpama, sebagai seperi pada perumpamaan (Dale 1971:224). me· ta· fo· ra /métafora/ didefinisikan sebagai "pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan


(44)

Metafora adalah istilah konkrit yang digunakan untuk menyatakan sikap tentang susuatu ide yang abstrak (Lohprin, dalam Dedi 2012:11). Metafora adalah suatu perbandingan inplisit salah satu unsur yang dibandingkan yaitu citra memiliki sebuah komponen makna dan biasanya, hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua yaitu topik (Backman dan Callow, dalam Dedi, 2012:12).

Metafora harusnya merupakan suatu susunan (struktur) di samping daya kekuatannya untuk menyenangkan telinga serta mata dan struktur ini didefinisikan sebagai proposionalitas jenis (Aristoteles dalam Dedi, 2012:12).Metafora adalah pemakaian kata-kata buka arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta, 1976:648). Majas metafora hampir sama dengan majas perumpamaan. Namun yang membedakan antara majas metafora dan majas perumpamaan adalah pada majas metafora tidak menggunakan kata - kata: seperti, bak, ibarat, bagai, laksana, serupa, seumpama, semisal. Majas metafora merupakan majas yang perbandingannya dilakukan secara implisit antara 2 hal yang berbeda. Beberapa ahli bahasa menyatakan bahwa majas metafora merupakan majas perbandingan yang dilakukan secara langsung karena tidak menggunakan kata pembanding.

Majas metafora merupakan salah satu bagian dari majas perbandingan. Ciri khusus dari majas metafora ini adalah tidak ditemukannya konjungsi atau kata penghubung pada kalimat-kalimatnya. Ini berkaitan dengan pendapat bahwa majas metafora adalah majas perbandingan langsung. kalimat-kalimat majas metafora ini banyak kita jumpai pada teks sastra seperti pada puisi, syair.


(45)

Adapun penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian di atas.Peneliti menekankan pada aspek pilihan citra dalam mengkaji metafora yang ada dalam Syair Perahu.

2.2 Teori yang Digunakan

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi bagi penulis untuk menjelaskan dan memberikan jawaban terhadap masalah yang dihadapi. Untuk membantu menjelaskan permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori semantik yang dikemukakan oleh Parera (2004) dalam bukunya yang berjudul Teori Semantik.

Menurut (Newmark dalam Parera 2004:133) untuk menganalisis metafora ada beberapa konsep antara lain :

1. Objek

Objek adalah butir makna yang dilukiskan dengan metafora. Callow dan Beekman menyebutkannya dengan topik. Topik adalah apa yang dibicarakan dalam frasa dan kalimat. Objek dapat tampak dalam struktur luar dan dapat pula tidak tampak. Ini berarti dalam analisis makna metafora diperlukan struktur dalam.

2. Citra

Dalam bahasa Inggris citra dipadankan dengan image dan oleh Richards dipadankan dengan vehicle. Citra adalah kejadian, proses, hal yang


(46)

hendak dipakai sebagai bandingan. Citra merupakan keterangan kepada objek atau topik. Dikatakan pula bahwa citra dapat menjadi topik kedua.

3. Sense (titik kemiripan)

Antara objek dan citra terdapat aspek-aspek khusus yang mempunyai kemiripan. Titik kemiripan itulah yang menjadi komentar bandingan bagi topik/objek.

Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di berbagai bahasa, pilihan citra dapat dibedakan atas empat kelompok sebagaimana dikemukakan oleh Parera (2004:120),

1. Metafora bercitra Antropomorfik.

Metafora Antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin menbandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan, dan lain-lain.

2. Metafora bercitra Hewan.

Metafora hewani pun menjadi kebiasaan para pemakai bahasa untuk menggambarkan suatu kondisi atau kenyataan di alam pengalaman pemakaian bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dipadankan dengan tanaman, misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah.

Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan bahwa manusia dapat disamakan dengan sejumlah binatang misalanya dengan anjing, babi, kerbau, ayam, bebek, keledai, monyet, ular, singa, buaya, dan lain-lain sehingga


(47)

dalam bahasa Indonesia kita mengenal pribahasa ”seperti kerbau dicocok hidungnya”, ungkapan ”buaya darat”, ungkapan makian ”anjing lu, dan seterusnya.

3. Metafora bercitra Abstrak ke Konkret.

Metafora bercitra abstrak ke konkret adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan-ungkapan yang lebih konkret. Sering pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan, tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memahami metafora tertentu. Contohnya untuk mengungkapkan suatu kecepatan yang luar biasa dikatakan ”cepat seperti kilat”, untuk menunjukkan ujung senjata secara konkret dikatakan ”monjong senjata” dan lain-lain.

4. Metafora bercitra Sinestesia.

Metafora bercita sinestesia merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam bahasa sehari-hari orang sering mendengar ungkapan ”enak didengar” untuk musik walaupun makna enak selalu dikaitkan dengan indra rasa; ”sedap dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.


(48)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting di negara Republik Indonesia. Pentingnya bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: ”Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoen-djoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum pasal khusus menyatakan bahwa ”bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Namun, di samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa Nusantara yang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.

Bahasa merupakan salah satu jembatan penghubung untuk berinteraksi antara sesama manusia. Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, ataupun pesan kepada orang lain. Melalui bahasa terungkap sesuatu yang ingin disampaikan pembicara kepada pendengar, penulis kepada pembaca, dan penyapa kepada pesapa. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan bahasa sebagai modal dasar dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa, seseorang tidak dapat berinteraksi dengan orang lain. Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 1995: 19).


(49)

Masyarakat Melayu kaya akan budaya daerah, seperti bahasa dan sastra. Namun sebagian aspek bahasa dan sastra belum pernah diteliti sehingga masyarakat banyak yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, penulis dalam proposal ini mencoba membuat suatu kajian tentang metafora yang terdapat dalam salah satu karya sastra yaitu puisi rakyat yakni Syair.

Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis metafora yang terdapat dalam

Syair Perahuselanjutnya disingkat dengan SP. Penulis menganggap bahwa metafora

dalam bahasa Melayu memiliki nilai rasa yang tinggi sehingga menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk mengetahui ungkapan-ungkapan tersebut.Masyarakat Melayu seringkali dalam penyampaian sesuatu maksud tertentu menggunakan bahasa secara tidak langsung dan bersifat kiasan (methafora). Banyak pertimbangan yang menyebabkan penyampaian maksud secara tidak langsung, diantaranya menghindari ketersinggungan seseorang. Metafora ini sering digunakan untuk pengaburan arti bahasa.

Kajian metafora semakin mendapatkan posisi penting karena tumbuhnya kesadaran bahwa bahasa bukan hanya sekedar cerminan realitas, melainkan juga pembentuk realitas.Metafora adalah sebuah fenomena kebahasaan yang berlaku dalam tataran semantik. Metafora terkait dengan relasi antara satu kata dengan kata lain dalam membentuk sebuah makna.

Metafora berarti menembus, maksudnya menembus makna linguistik.Metafora tergolong bahasa kiasan (majas), seperti perbandingan, tetapi tidak mempergunakan kata pembanding. Metafora menyatakan sesuatu hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.


(50)

Metafora dipandang sebagai bentuk bahasa yang khas, dan bisa juga aneh karena relasi kata dalam metafora melampaui batas relasi bahasa secara literal yang telah disepakati bersama dalam komunikasi keseharian.Metafora ditandai dengan penggantian ciri relasi, asosiasi, konseptualisasi, dan analogi dalam penataan hubungannya.

Metafora selama ini dikaitkan dengan pengkajian bahasa puisi dan bahasa sastra.Teori sastra mengenal adanya pemajasan (figure of thought), yaitu teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya tidak menunjuk kepada kepada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan kepada makna yang tersirat. Pemajasan merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa analogi. Dalam pemajasan, masih ada hubungan antara makna kata sebenarnya dengan makna kiasannya, tetapi makna tersebut harus ditafsirkan oleh pembaca.Pemajasan dipandang sebagai penyimpangan bahasa atau makna, tetapi pemakaian bentuk analogi tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan kesan atau suasana tertentu. Metafora adalah ragam pemajasan yang menggunakan gaya perbandingan yang implisit dan tidak langsung. Hubungan antar kata bersifat sugestif, tanpa kata-kata yang menunjukkan perbandingan secara jelas. Penggunaan metafora tidak terbatas dalam bahasa sastra, melainkan juga dalam bahasa sehari-hari.Metafora berjasa dalam penciptaan istilah-istilah baru, seperti kaki kursi, kepala pasukan, mata angin, sayap pesawat, dan sebagainya.Kata-kata tersebut pada mulanya bekerja secara analogis.Penyangga kursi dianalogikan dengan kaki, pimpinan pasukan dianalogikan dengan kepala, penjuru angin dianalogikan dengan mata, dan bagian pinggir sayap yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan dianalogikan dengan sayap.Karenanya, ada ahli linguistik yang berkeberatan jika


(51)

metafora dipandang sebagai penyimpangan terhadap praktek kebahasaan yang normal.Kata-kata kaki kursi, kaki gunung, dan leher botol berlaku secara analogis dengan tubuh manusia.akan tetapi, kata-kata tersebut tidak lagi dirasa sebagai metafora sehingga disebut dengan metafora mati (dead metaphor).

Wellek dan Warren menyarankan agar dibedakan antara metafora sebagai prinsip kebahasaan dengan metafora yang khas puisi.Metafora pertama menjadi ladang bagi ahli tata bahasa dan metafora kedua menjadi ladang ahli retorika.Ahli tata bahasa menilai kata berdasarkan etimologinya, sedangkan ahli retorika menilai kata berdasarkan dampaknya terhadap pendengar.Perbedaan mendasar antara metafora dalam karya sastra dengan metafora dalam bahasa keseharian (sebagai prinsip kebahasaan) adalah apabila yang pertama umumnya bersifat perseorangan, maka yang kedua berkaitan dengan motivasi sosial yang sesuai dengan arbitraritas simbol kebahasaan.

Wellek dan Warren mengajukan empat elemen dasar dalam konsepsi metafora, yaitu elemen analogi, elemen, visi ganda, elemen imaji sensual, dan proyeksi animistik.Elemen terakhir dimasukkan barangkali karena, menurut Heinz Werner, metafora menjadi aktif pada masyarakat primitif yang memiliki tabu.Wellek dan Waren menyadari bahwa empat elemen tersebut tidak mungkin secara merata hadir karena perbedaan sifat dari satu bangsa ke bangsa lainnya.Orang-orang Greco- Roman cenderung membatasi metafora sebagai analogi, sementara orang-orang Teutonic lebih menekankan pada simbol imaji.Berdasarkan pengkajian kepada elemen-elemen dasar metafora tersebut, boleh jadi setiap ujaran bahasa mungkin mengandung metafora.Metafora dalam kreasi sastra umumnya bersifat personal, sementara dalam komunikasi keseharian bersifat sosial.Metafora terjadi karena


(52)

adanya perubahan makna literal ke makna metaforal.Pengalihan tersebut terjadi dalam tataran semantik berdasarkan kemiripan persepsi makna. Hal itu terjadi karena bahasa bekerja melalui proses penggantian satu realitas ke realitas lain. metafora dapat membantu menciptakan dan mempertahankan pandangan dunia. Metafora dapat melahirkan wawasan yang baru dan pencerahan yang segar.

Masyarakat Melayu merupakan masyarakat yang terkenal dengan seni berbahasanya seperti pantun, peribahasa, dan ungkapan ini adalah budaya yang tercermin dari masyarakat Melayu. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan bahkan disebut pula faktor dominasi dari kebudayaan (Ridwan, dalam Dedi, 2012:2). Metafora Melayu memiliki nilai rasa yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan melalui contoh berikut: ”Wajah kedua gadis itu bagai pinang di belah dua” yang berarti gadis tersebut memiliki wajah yang sama yakni kembar. Penulis mencoba membahas bahwa dalam berbahasa, masyarakat Melayu tidak selalu memakai lambang yang secara langsung mengacu pada objeknya. Dalam berbahasa masyarakat Melayu juga menggunakan bahasa - bahasa kias seperti metafora untuk menyampaikan maksud.

Di Indonesia penelitian mengenai bahasa daerah kurang mendapat perhatian dari ahli bahasa, khusunya bahasa Melayu. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti salah satu syair yang ada dalam karya sastra Melayu yaitu SP yang didalamnya dikaji tentang metafora yang terdapat dalam syair tersebut. Syair perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Jika manusia kuat memegang keyakinan la ilaha illa Allah, maka dapat dicapai tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya. Syair di atas merupakan simbolisasi manusia dalam menuju Tuhan. Penyair mengibaratkan dengan perjalanan di tengah lautan yang bekal utamanya tidak lain hanya keyakinan


(53)

kepada Tuhan. Disini jelas digambarkan bahwa pertemuan hamba dan Tuhan itu sangat susah. Syair Perahu menekankan perjuangan yang sungguh-sungguh untuk sampai kepada Tuhan.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan diuraikan dalam skripsi ini adalah bentuk dan makna metafora apa sajakah yang terdapat dalam teks SP berdasarkan pilihan citra?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan makna metafora yang digunakan dalam teks SP berdasarkan pilihan citra.

1.4Manfaat Penelitian

1. Menambah pemahaman penulis dan pembaca tentang metafora yang ada pada karya sastra masyarakat Melayu.

2. Memunculkan rasa kepemilikan bagi masyarakat Melayu terhadap karya sastra tersebut.

3. Menumbuhkan minat generasi muda agar melestarikan karya satra tersebut. 4. Menambah rujukan bagi penelitian bahasa khususnya penelitian tentang


(54)

ABSTRAK

Imam Purwakesuma, 2015. Judul Skripsi : Metafora dalam Syair Perahu Karya Hamzah Fansuri : Kajian Semantik

Penelitian ini mengenai metafora dalam syair perahu karya Hamzah Fansuri yang merupakan suatu kajian pustaka. Adapun permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk dan makna metafora yang terkandung dalam teks Syair Perahu berdasarkan pilihan Citra yang merupakan karya sastra masyrakat melayu. Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deksriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara satu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis yaitu buku berjudul Seulawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas. Hasil pembahasan metafora dalam syair perahu merupakan bentuk nilai-nilai keagamaan, pesan nasihat, serta pesan moral antara sang pencipta dengan umatnya.


(55)

METAFORA DALAM SYAIR PERAHU KARYA HAMZAH

FANSURIKAJIAN SEMANTIK

SKRIPSI

DIKERJAKAN OLEH

NAMA : IMAM PURWAKESUMA

NIM : 110702015

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(56)

METAFORA DALAM SYAIR PERAHU KARYA HAMZAH FANSURI : KAJIAN SEMANTIK

Skripsi

Dikerjakan Oleh :

NAMA : IMAM PURWAKESUMA

NIM : 110702015

Skripsi ini Disetujui Oleh,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. AsriatyR. Purba. M. Hum

NIP. 196211221987031002 NIP 196207161988031002 Drs. Warisman Sinaga, M. Hum

Diketahui Oleh,

Departemen Sastra Daerah FIB USU Ketua,

NIP 196207161988031002 Drs. Warisman Sinaga, M. Hum


(57)

ABSTRAK

Imam Purwakesuma, 2015. Judul Skripsi : Metafora dalam Syair Perahu Karya Hamzah Fansuri : Kajian Semantik

Penelitian ini mengenai metafora dalam syair perahu karya Hamzah Fansuri yang merupakan suatu kajian pustaka. Adapun permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk dan makna metafora yang terkandung dalam teks Syair Perahu berdasarkan pilihan Citra yang merupakan karya sastra masyrakat melayu. Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deksriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara satu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis yaitu buku berjudul Seulawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas. Hasil pembahasan metafora dalam syair perahu merupakan bentuk nilai-nilai keagamaan, pesan nasihat, serta pesan moral antara sang pencipta dengan umatnya.


(58)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT karena ridha-Nya penulis masih diberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, yang membawa rakhmad dan petunjuk serta menuntun manusia dari jalan kegelapan ke jalan kebenaran.

Skripsi ini berjudul Metafora dalam Syair Perahu : Kajian Semantik. Penulis mengangkat judul skripsi ini karena belum banyak orang yang mengetahui tentang syair perahu, khususnya metafora apa saja yang ada di dalam syair perahu. Untuk memudahkan pemahaman isi yang dibahas, penulis memaparkan rincian sistematika skripsi atas 3 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II merupakan tinjauan pustaka yang terdiri atas kepustakaan yang relevan, dan teori yang digunakan. Bab III terdiri atas metode penelitian yang mencakup metode dasar, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2015

Penulis Imam Purwakesuma Nim 110702015


(59)

ﺮﺘﻨڠﻓ ﺎﺘﻛ

ﺐﺳ ﷲ ﺍﺪﻔﻛ ﻦﻜﻴﻔﻤﺳ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ ﺭﻮﻛﻮﺷ ﻥﺍﺩ ﻲﺠﻓ

ﻭ ﻪﻧﺎﺣ

ﺎﺗ

ﻝﺎﻋ

ﺾﻳﺭ ﻦﻳﺮﻛ

ﻦﻜﻴﺴﻠﻴﺜﻣ ﺖﻓﺍﺩ ڬڠﻴﻬﺳ ﻲﻨﺣﺭ ﻥﺍﺩ ﻲﻨﻤﺴﺟ ﻦﺘﺤﺴﻛ ﻦﻜﻳﺮﺑ ﻱﺩ ﺢﻴﺴﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻓ

ﻲﺒﻧ ﻦڠﻮﺠﻧﻮﺟ ﺍﺪﻔﻛ ﻦﻜﻓﭼﻭﺍ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ ﻢﻠﺳ ﻥﺍﺩ ﺕﻮﻠﺻ

.

ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻦﺴﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﺮﺴﺑ

ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﺪﻤﺤﻣ

ﻮﺒﻤﻣ ڠﻳ

,

ﻲﺳﻮﻨﻣ ﻦﺘﻧﻮﻨﻣ ﺕﺮﺳ ﻚﺠﻧﻮﺘﻓ ﻥﺍﺩ

.

ﻥﺮﻨﻴﺒﻛ ﻦﻠﺠﻛ ﻦﻔﻠڬﻛ ﻦﻠﺟ ﻱﺭﺍﺩ

ﻝﻭﺩﻮﺟﺮﺑ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ

ﺵ ﻢﻟﺍﺩ ﺭﻮﻔﺘﻴﻣ

ﻚﻴﺘﻨﻤﺳ ﻦﻴﺠﻛ

:

ﻮﺣﺮﻴﻓ ﺮﻳ

ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

.

ﻞﺑ ﻦﻳﺮﻛ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻝﻭﺪﺟ ﺖﻜڠڠﻴﻣ

ﺵ ڠﺘﻨﺗ ﻱﺍﻮﺤﺘڠﻴﻣ ڠﻳ ڠﺭﻭﺍ ﻚﺜﺑ ﻡ

ﺮﻳ

ﺵ ﻢﻟﺍﺩ ﻱﺩ ﺍﺩﺍ ڠﻳ ﺞﺴﻓﺍ ﺭﻮﻔﺘﻴﻣ ﺚﺳﻮﺳﻮﺤﻛ

,

ﻮﺣﺮﻴﻓ

ﻮﺘﻧﺍ

.

ﻮﺣﺮﻴﻓ ﺮﻳ

ﻦﻜﺣﺪﻤﻣ

ﺲﺗﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻚﻴﺘﻤﻤﻴﺘﺴﺳ ﻦﻳﭼﻦﻳﺭ ﻦﻛﺮﻔﻤﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

,

ﺲﺤﺑ ﻱﺩ ڠﻳ ﻲﺴﻳﺍ ﻦﻤﺤﻤﻓ

.

ﺐﺑ ڬﻴﺗ

ﺐﺑ

۱

ﻥﻮﺠﺗ

,

ﺢﻠﺴﻣ ﻦﺳﻮﻣﻭﺭ

,

ڠﻜﻠﺑﺮﺘﻟ

,

ﺲﺗﺍ ﻱﺭﺩﺮﺗ ڠﻳ ﻥﻮﻠﺣﺪﻨﻓ ﻦﻜﻓﺮﻣ

ﻒﻨﻣ ﻥﺍﺩ

,

ﻦﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ

ﺐﺑ

.

ﻦﻴﺘﻴﻠﻴﻨﻴﻓ ﺕ

۲

ﻚﺘﺳﻮﻔﻛ ﺲﺗﺍﺮﻳﺩﺮﺗ ڠﻳ ﻚﺘﺳﻮﻓ ﻥﻮﺠﻨﻴﺗ ﻦﻜﻓﺮﻣ

ﻲﺗ ﻥﺍﺩ

,

ﻦﻔﻠﻳﺭ ڠﻳ

ﺐﺑ

.

ﻦﻜﻧﻮڬ ﻱﺩ ڠﻳ ﻱﺭﻭ

۳

ڠﻳ ﻦﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻱﺩﻮﺘﻣ ﺲﺗﺎﻳﺭﺩﺮﺗ

,

ﻦﻴﺘﻴﻠﻴﻨﻴﻓ ﻦﻣﻭﺮﺘﺴﻧﺍ

,

ﺎﺗﺩ ﺮﺒﻤﺳ

,

ﺮﺳﺩ ﻱﺩﻮﺘﻴﻣ ﻑﻮﻛﭼﻦﻣ

ڠﻓ ﻱﺩﻮﺗ

ﺕﺩ ﻦﻠﻔﻣ

ﻥﺍﺩ

.

ﺎﺗﺩ ﺲﻴﺴﻴﻠﻧﺍ ﻱﺩﻮﺗ

ﻲﺴﻣ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻱﺭﺍﺪﺜﻴﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻥﺭﻮﻔﻤﺴﻛ ﻱﺭﺩ ﺡﻭ

ﺍ ﻦﻳﺮﻛ

,

ﻮﺗ

ﻥﺭﻮﻔﻤﺴﻛ ﻲﻣﺩ ﺍﭼﺐﻤﻓ ﻱﺭﺍﺩ ﻚﻴﺘﻳﺮﻛ ﻥﺍﺩ ﻥﺮﺳ ﻦﻜﻓﺮﺤڠﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻥ

ﺖﻛ ﺮﻴﺣﺍ

.

ﻲﻧﺍ

ﻒﻨﻣﺮﺑ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﺎڬﻮﻤﺳ

.

ﺢﻴﺴﻛ ﻢﻳﺮﺗ ﻦﻜﻓﭼﻮڠﻴﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻲڬﺑ ﺕ

.

ﭼﺐﻤﻓ

ﺮﺒﺘﻛﻭﺍ ﻥﺪﻣ

۲۰۱٥

ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻡﻮﺴﻛ ﻭﺭﻮﻓ ﻢﻤﻳﺍ

۱۱۰۷۰۲۰۱


(60)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT, karena berkat rahmatnya, hidayah, sertakarunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, petunjuk, saran, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Bapak Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III, serta seluruh staff dan pegawai di jajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. Selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II Penulis yang memberikan banyak masukan-masukan, motivasi dan semangat kepada penulis untuk terus berjuang dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum. Selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya.

4. Ibu Drs. Asriaty R. Purba M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan bimbingan, dan arahan juga meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan masukan dan ide-ide hingga penulisan skripsi ini selesai.

5. Kepada Bapak/Ibu Staf pengajar Departemen Sastra Daerah yang telah banyak membantu penulis dalam belajar selama perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT karena ridha-Nya penulis masih diberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, yang membawa rakhmad dan petunjuk serta menuntun manusia dari jalan kegelapan ke jalan kebenaran.

Skripsi ini berjudul Metafora dalam Syair Perahu : Kajian Semantik. Penulis mengangkat judul skripsi ini karena belum banyak orang yang mengetahui tentang syair perahu, khususnya metafora apa saja yang ada di dalam syair perahu. Untuk memudahkan pemahaman isi yang dibahas, penulis memaparkan rincian sistematika skripsi atas 3 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II merupakan tinjauan pustaka yang terdiri atas kepustakaan yang relevan, dan teori yang digunakan. Bab III terdiri atas metode penelitian yang mencakup metode dasar, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2015


(2)

ﺮﺘﻨڠﻓ ﺎﺘﻛ

ﺐﺳ ﷲ ﺍﺪﻔﻛ ﻦﻜﻴﻔﻤﺳ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ ﺭﻮﻛﻮﺷ ﻥﺍﺩ ﻲﺠﻓ

ﻭ ﻪﻧﺎﺣ

ﺎﺗ

ﻝﺎﻋ

ﺾﻳﺭ ﻦﻳﺮﻛ

ﻦﻜﻴﺴﻠﻴﺜﻣ ﺖﻓﺍﺩ ڬڠﻴﻬﺳ ﻲﻨﺣﺭ ﻥﺍﺩ ﻲﻨﻤﺴﺟ ﻦﺘﺤﺴﻛ ﻦﻜﻳﺮﺑ ﻱﺩ ﺢﻴﺴﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻓ

ﻲﺒﻧ ﻦڠﻮﺠﻧﻮﺟ ﺍﺪﻔﻛ ﻦﻜﻓﭼﻭﺍ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ ﻢﻠﺳ ﻥﺍﺩ ﺕﻮﻠﺻ

.

ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻦﺴﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﺮﺴﺑ

ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﺪﻤﺤﻣ

ﻮﺒﻤﻣ ڠﻳ

,

ﻲﺳﻮﻨﻣ ﻦﺘﻧﻮﻨﻣ ﺕﺮﺳ ﻚﺠﻧﻮﺘﻓ ﻥﺍﺩ

.

ﻥﺮﻨﻴﺒﻛ ﻦﻠﺠﻛ ﻦﻔﻠڬﻛ ﻦﻠﺟ ﻱﺭﺍﺩ

ﻝﻭﺩﻮﺟﺮﺑ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ

ﺵ ﻢﻟﺍﺩ ﺭﻮﻔﺘﻴﻣ

ﻚﻴﺘﻨﻤﺳ ﻦﻴﺠﻛ

:

ﻮﺣﺮﻴﻓ ﺮﻳ

ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

.

ﻞﺑ ﻦﻳﺮﻛ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻝﻭﺪﺟ ﺖﻜڠڠﻴﻣ

ﺵ ڠﺘﻨﺗ ﻱﺍﻮﺤﺘڠﻴﻣ ڠﻳ ڠﺭﻭﺍ ﻚﺜﺑ ﻡ

ﺮﻳ

ﺵ ﻢﻟﺍﺩ ﻱﺩ ﺍﺩﺍ ڠﻳ ﺞﺴﻓﺍ ﺭﻮﻔﺘﻴﻣ ﺚﺳﻮﺳﻮﺤﻛ

,

ﻮﺣﺮﻴﻓ

ﻮﺘﻧﺍ

.

ﻮﺣﺮﻴﻓ ﺮﻳ

ﻦﻜﺣﺪﻤﻣ

ﺲﺗﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻚﻴﺘﻤﻤﻴﺘﺴﺳ ﻦﻳﭼﻦﻳﺭ ﻦﻛﺮﻔﻤﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

,

ﺲﺤﺑ ﻱﺩ ڠﻳ ﻲﺴﻳﺍ ﻦﻤﺤﻤﻓ

.

ﺐﺑ ڬﻴﺗ

ﺐﺑ

۱

ﻥﻮﺠﺗ

,

ﺢﻠﺴﻣ ﻦﺳﻮﻣﻭﺭ

,

ڠﻜﻠﺑﺮﺘﻟ

,

ﺲﺗﺍ ﻱﺭﺩﺮﺗ ڠﻳ ﻥﻮﻠﺣﺪﻨﻓ ﻦﻜﻓﺮﻣ

ﻒﻨﻣ ﻥﺍﺩ

,

ﻦﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ

ﺐﺑ

.

ﻦﻴﺘﻴﻠﻴﻨﻴﻓ ﺕ

۲

ﻚﺘﺳﻮﻔﻛ ﺲﺗﺍﺮﻳﺩﺮﺗ ڠﻳ ﻚﺘﺳﻮﻓ ﻥﻮﺠﻨﻴﺗ ﻦﻜﻓﺮﻣ

ﻲﺗ ﻥﺍﺩ

,

ﻦﻔﻠﻳﺭ ڠﻳ

ﺐﺑ

.

ﻦﻜﻧﻮڬ ﻱﺩ ڠﻳ ﻱﺭﻭ

۳

ڠﻳ ﻦﻴﺘﻴﻠﻨﻴﻓ ﻱﺩﻮﺘﻣ ﺲﺗﺎﻳﺭﺩﺮﺗ

,

ﻦﻴﺘﻴﻠﻴﻨﻴﻓ ﻦﻣﻭﺮﺘﺴﻧﺍ

,

ﺎﺗﺩ ﺮﺒﻤﺳ

,

ﺮﺳﺩ ﻱﺩﻮﺘﻴﻣ ﻑﻮﻛﭼﻦﻣ

ڠﻓ ﻱﺩﻮﺗ

ﺕﺩ ﻦﻠﻔﻣ

ﻥﺍﺩ

.

ﺎﺗﺩ ﺲﻴﺴﻴﻠﻧﺍ ﻱﺩﻮﺗ

ﻲﺴﻣ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻱﺭﺍﺪﺜﻴﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻥﺭﻮﻔﻤﺴﻛ ﻱﺭﺩ ﺡﻭ

ﺍ ﻦﻳﺮﻛ

,

ﻮﺗ

ﻥﺭﻮﻔﻤﺴﻛ ﻲﻣﺩ ﺍﭼﺐﻤﻓ ﻱﺭﺍﺩ ﻚﻴﺘﻳﺮﻛ ﻥﺍﺩ ﻥﺮﺳ ﻦﻜﻓﺮﺤڠﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﻥ

ﺖﻛ ﺮﻴﺣﺍ

.

ﻲﻧﺍ

ﻒﻨﻣﺮﺑ ﻲﻧﺍ ﻲﺴﻔﻳﺮﻜﺳ ﺎڬﻮﻤﺳ

.

ﺢﻴﺴﻛ ﻢﻳﺮﺗ ﻦﻜﻓﭼﻮڠﻴﻣ ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻲڬﺑ ﺕ

.

ﭼﺐﻤﻓ

ﺮﺒﺘﻛﻭﺍ ﻥﺪﻣ

۲۰۱٥

ﺲﻴﻟﻮﻨﻴﻓ

ﻡﻮﺴﻛ ﻭﺭﻮﻓ ﻢﻤﻳﺍ

۱۱۰۷۰۲۰۱


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT, karena berkat rahmatnya, hidayah, sertakarunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, petunjuk, saran, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Bapak Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III, serta seluruh staff dan pegawai di jajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. Selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II Penulis yang memberikan banyak masukan-masukan, motivasi dan semangat kepada penulis untuk terus berjuang dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum. Selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya.

4. Ibu Drs. Asriaty R. Purba M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan bimbingan, dan arahan juga meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan masukan dan ide-ide hingga penulisan skripsi ini selesai.


(4)

6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Edy Sunaryo dan Ibunda Supartik yang telah bersusah payah mendidik dan membesarkan penulis sejak kecil hingga sekarang, dan kepada adik-adik penulis Dwi Amando Wicaksana, Adji Akbar Maulana, dan Shabrina Ragilita Putri yang penuh dengan kasih sayang dan dukungan sehingga penulis semangat untuk terus berjuang.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan, Nuary, Prayogo, Hendra Nasution, Ramli Rahmat Efendi, Moyang Keleng Kabekan, Heryanto Manurung, Novy Ary Astuty, Lisna Mahara, Ainun Mardiah, Rini Salsa Bela Hardi, Faizatul Zuhra, Masitah Banurea, Ermawati, Putri Wulandani, Natalia Sihite, Marintan KSS, Siti Hardianti, Feny Arisca, Jesica Churi Nova Nainggolan, Angelia Mita Lumban Gaol, Rumondang Siahaan, Zazah Khairat. Adik-adik stambuk 2012, 2013, 2014, 2015 dan keluarga besar IMSAD (Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah). Terima kasih untuk semua nasehat, doa, waktu, dan dukungan serta kebersamaan dari teman-teman sekalian.

Medan, Desember 2015


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ...ii

UCPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 6

1.3Tujuan Penelitian ... 6

1.4Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 7

2.2 Teori yang Digunakan. ... 10

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Dasar ... 13

3.2 Sumber Data ... 13

3.3 Instrumen Penelitian ... 14

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 14

3.5 Metode Analisis Data ... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN 4.1 Bentuk dan Makna Metafora dalam Syair Perahu ... 15


(6)

4.1.4 Bentuk dan Makna Metafora Bercitra Sinestesia ... 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 43 Lampiran 1 : Teks Syair Perahu