Tinjauan Visual Motif Batik Parang Rusak Barong keraton Yogyakarta

(1)

TINJAUAN VISUAL MOTIF BATIK PARANG RUSAK BARONG KERATON YOGYAKARTA

(Studi Kasus: Pola Visual Batik Parang Rusak Barong)

DK3831/Skripsi Semester II 2014-2015

Oleh:

Dina Kusuma Rahayu 51910723

Program Studi Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatnya yang telah memberikan penulis kesempatan untuk menyelesaikan penelitian tentang Tinjauan Visual Motif Batik ParangRusak Barong Keraton Yogyakarta. Penelitian ini membahas tentang bagaimana visualisasi struktur batik Parang Rusak Barong dalam budaya Jawa yang kemudian ditinjau melalui cara pandang kosmologi masyarakat Jawa. Penulis menyadari bahwa dalam proses penelitian ini masih banyak kendala. Namun, berkat bimbingan dari pembimbing, Alhamdulillah penelitian ini dapat diselesaikan. Semoga penelitian ini memberikan dampak baik bagi pembaca maupun bagi penulis khususnya.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terimakasih kepada bapak Taufan Hidayatulah, S.Sn., M.Ds selaku dosen pembimbing, juga kepada bapak Jakob Sumardjo yang sudah berkenan dengan sabar membimbing serta mengajarkan banyak hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, pelajaran yang sangat berharga yang membuat saya lebih mengerti tujuan dalam kehidupan. Terimakasih kepada orang terpenting di dalam hidupku yaitu ibu dan ayah serta kakakku yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya dalam doa, terimakasih atas dukungan moril dan materil yang tidak bisa tergantikan, juga terimakasih untuk semua teman-teman yang sudah memberi warna di setiap harinya dalam empat tahun ini, dan pihak lain yang membantu kelancaran dalam proses penyusunan penelitian ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu masukan dan saran yang membangun sangat diharapkan, sehingga penulis dapat terus belajar untuk memberikan manfaat dan menjadi lebih baik.

Bandung, Agustus 2015 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

KOSA KATA/GLOSARY ... xi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah... 1

I.2 Identifikasi Masalah ... 4

I.3 Rumusan Masalah ... 4

I.4 Batasan Masalah ... 5

I.5 Metode Penelitian ... 5

I.6 Tujuan Penelitian ... 7

1.7 Manfaat Penelitian ... 7

I.8 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II PENGENALAN BATIK, PARADOKS, ESTETIKA TIMUR, MOTIF BATIK PARANG RUSAK BARONG II.1 Kebudayaan Jawa ... 10

II.2 Kosmologi dan Sikap Multikulturalisme Masyarakat Jawa ... 11

II.2.1 Kosmologi Masyarakat Jawa ... 11

II.2.2 Multikulturalisme Masyarakat Jawa... 12

II.2.3 Simbolisme Masyarakat Jawa ... 15

II.3 Estetika Timur ... 16


(6)

II.5 Visual ... 23

II.6 Simbol ... 25

II.7 Paradoks ... 26

II.7.1 Estetika Pola Dua ... 27

II.7.2 Estetika Pola Tiga ... 28

II.7.3 Estetika Pola Empat ... 29

II.7.4 Estetika Pola Lima ... 30

II.7.5 Mistis-Spiritual Masyarakat Jawa ... 31

BAB III TINJAUAN VISUALISASI BATIK PARANG RUSAK BARONG III.1 Motif Batik ParangRusak Barong ... 33

III.2 Visualisasi Motif Batik ParangRusak Barong ... 38

III.3 Motif Batik ParangRusak Barong SebagaiBentukKepercayaan ... 40

III.3.1 Aturan-aturanPenggunaan Motif Batik ParangRusak Barong Kraton Yogyakarta ... 41

BAB IV KAJIAN VISUAL POLA BATIK PARANG RUSAK BARONG BERDASARKAN KOSMOLOGI MASYARAKAT JAWA KERATON YOGYAKARTA IV.1 Mistis-Spiritual Pada Pola Motif Batik Parang Rusak Barong ... 43

IV.2 Analisa Pola Parang Rusak Barong ... 44

IV.2.1 Pola Sebagai Bentuk Daya Imanen ... 49

IV.2.2 Pola Sebagai Bentuk Daya Transenden ... 52

BAB V KESIMPULAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN ...


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, budaya visual menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari sejarah kebudayaan bangsa dan peradaban modern. Desain, sebagai salah satu wujud budaya visual memiliki peranan yang besar bagi sejarah kebudayaan bangsa Indonesia. Visual sebagai sarana komunikasi, baik berupa ekspansi dan ideologi. Terdapattiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma, kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam bermasyarakat, ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai sebuah benda hasil karya masyarakatnya. Kebudayaan Jawa yang ada di Indonesia adalah salah satu kebudayaan yang memiliki budaya yang sangat beragam, dimana budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam hidup berupa pengahrapan, beberapa harapan tersebut tertuang didalam seni batik. Penggambaran kebudayaan berdasarkan kepercayaan serta strata sosial ini tertuang dalam artefak Jawa salah satunya yaitu seni budaya batik.

Batik merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang telah menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Berawal dari Kerajaan Majapahit hingga saat ini. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun-temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari keturunan tertentu. Batik memiliki nilai estetika tinggi, sarat makna dan filosofi yang merupakan kearifan lokal yang perlu dipahami dan terus dilestarikan. Keserasian dan harmonisasi antar sesama hidup manusia, manusia dengan alam dan sang pencipta terdapat dalam motif bati yang indah. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang, bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tradisional hanya dipakai oleh keluarga Keraton, contohnya Keraton Yogyakarta.


(8)

Gambar I.1 Motif Batik Parang Rusak Barong Sumber: Museum Batik Yogyakarta (Data pribadi)

(20 April 2015)

Motif Batik Parang Rusak Barong adalah contoh motif batik yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang dimana batik tersebut termasuk jenis batik larangan karena nilai dan kedudukan batik tersebut yang sangat tinggi, dilihat dari makna filosofi yang adiluhung. Motif batik berbentuk mata parang ini hanya boleh dikenakan oleh Kesatria. Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan menghasilkan motif-motif lain antara lain Parang Rusak Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik dan Lereng Sobrah. Karena berasal dari Keraton Mataram, maka oleh kerajaan, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang.

Yogyakarta memiliki beragam potensi budaya, baik dari segi tangible (fisik) maupun intangible (non fisik) yang secara fisik, Yogyakarta memiliki Cagar Budaya dan sistem nilai dan norma, karya seni, serta sistem sosial dan prilaku masyarakat secara non fisik. Keraton salah satu peninggalan peradaban tinggi sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari.

Sebagai suatu lingkungan sosial, keraton mempunyai kebudayaan sendiri yang mempunyai perbedaan dibanding dengan masyarakat lain pada umumnya. Berbagai tata cara dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penanaman pohon yang dianggap


(9)

keramat, mengatur tempat duduk, memelihara benda pusaka, bahasa yang digunakan, tingkah laku, pakaian yang harus digunakan, cara mengenakan pakaian dan seterusnya. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk legitimasi kekuasaan pihak keraton, bahwa kita menemukan norma melegitimasikan dan berusaha memberikan kontrol Negara atas masyarakat dengan bentuk simbol-simbol berupa babad, tabu, mite, dan hasil-hasil seni yang dikeramatkan.

Perbedaan pada kebudayaan di luar aturan/tata cara tersebut diberi sanksi sebagaimana tampak dalam memperlakukan benda yang menjadi nilai sebuah adat kebudayaan, sebagaimana yang terdapat di Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki kebudayaan yang masih menjunjung tinggi adat istiadat leluhurnya. Sebagaimana halnya keraton-keraton lain yang ada di Indonesia. Keraton Yogyakarta memiliki busana yang khusus dipergunakan di lingkungan keraton khususnya sang Raja yang memiliki motif, simbol, dan makna filosofis tertentu yang dijadikan sebagai pegangan hidup para keluarga keraton dan masyarakatnya. Hal ini dapat diamati dari berbagai macam simbol yang terdapat pada kain batik yang dipakai oleh Sultan.

Bila diamati dengan cermat, batik tradisional yang terdapat di Keraton Yogyakarta memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tata cara adibusana keraton, karena melalui jenis busana yang dikenakan dapat diketahui tingkat strata sosial pemakainya. Batik Parang Rusak Barong adalah batik yang hanya boleh dikenakan oleh Sultan, mendapati bahwa batik tersebut memiliki kedudukan yang sangat tinggi dapat dilihat dari makna yang sangat dalam dari motif batik tersebut.

Berbicara masalah makna tidak akan pernah lepas dari istilah simbol tanda yaitu sesuatu yang mencirikan dan mengandung unsur di balik makna atau simbol tersebut. Ciri atau lambang yang memberikan dan menyatakan sesuatu hal kepada orang yang mengandung makna atau arti, dan dapat menyebabkan terlihatnya suatu hal manusia melalui panca indera dan ingatan atau sesuatu hal, sehingga dialami oleh orang tersebut. (Mulia, 1983). Pemaknaan melalui motif batik menjadi acuan untuk mengungkap arti dari simbol kosmologi yang terdapat pada


(10)

motif Batik Parang Rusak Barong. Motif Batik Parang Rusak Barong sebagai emisor yang menjadikan masyarakat Keraton Yogyakarta sebagai penerima makna.

I.2 Identifikasi Masalah

Batik diproduksi utamanya untuk para Sultan dan keluarganya. Hal ini dikemukakan oleh Djoemena (1986) “Batik ragam hias yang kuat dan besar dipakai oleh para ponggawa, sedangkan batik ragam hias kecil dan halus dipakai oleh ningrat, seperti Parang Rusak Kusuma, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah.

Dalam permasalahan ini dapat diajukan beberapa permasalahan yang meliputi:  Batik Keraton Yogyakarta memiliki nilai estetika yang tinggi, sarat makna

dan filosofi yang merupakan kearifan lokal yang perlu dipahami dan terus dilestarikan. Batik Keraton Yogyakarta memang tidak kehilangan eksistensinya namun saat ini masyarakat sudah melupakan makna dan filosofi yang ada pada motif batik tersebut.

 Strata sosial masyarakat dilihat dari motif batik Keraton Yogyakarta.

 Untuk menganalisis makna dari motif batik Keraton Yogyakarta diperlukan standar kriteria yang berlaku untuk seluruh jenis batik.

I.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian sebagai berikut:

Bahwa makna yang terkandung di dalam motif Batik Parang Rusak Barong memiliki arti sebagai sebuah bentuk kekuasaan dan strata sosial, batik juga sarat akan harapan dan kehidupan yang lebih baik. Dimana pesan tersebut bersifat nonverbal dan hanya dapat dimaknai melalui simbol serta pemaknaan dari motif Batik Parang Rusak Barong tersebut.

 Bagaimana konsep kepercayaan masyarakat Jawa ditinjau dari unsure visual pada Batik Parang Rusak Barong.

 Bagaimana unsur visual yang menggambarkan strata sosial masyarakat Jawa yang terdapat pada batik Parang Rusak Barong.


(11)

I.4 Batasan Masalah

Di dalam penelitian ini, ada beberapa batasan masalah yang menjadi fokus.  Motif Batik Parang Rusak Barong berdasarkan sikap dan pola pikir

masyarakat Jawa.

 Pembahasan jenis batik yang di bahas hanya sebatas motif batik Parang Rusak Barong.

 Klasifikasi batik yang digunakan sebagai contoh berdasarkan pada klasifikasi bentuk, baik geometris maupun non geometris.

I.5 Metode Penelitian

Gambar I.2 Kerangka Berpikir Sumber: Data Pribadi

(20 April 2015)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, bersifat empiris (dapat diamati dengan panca indera sesuai dengan kenyataan). Pendekatan kualitatif menggunakan konsep kealamiahan (kecermatan, kelengkapan, atau orisinalitas) data dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.


(12)

Metode penelitian ini bersifat deskripsi analitik dengan menggunakan analisis Estetika Paradoks yang dikemukakan oleh Jakob Sumardjo, sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau wacana, tidak mencari hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif (data yang bersifat tanpa angka-angka atau bilangan), sehingga data bersifat kategori substansif yang kemudian diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, dan referensi-referensi ilmiah.

Peneliti memakai analisa Estetika Paradoks yang dikemukakan oleh Jakob Sumardjo karena peneliti berusaha menginterpretasikan dan memaknai tanda-tanda untuk mempresentasikan pesan yang disampaikan dalam motif batik Parang Rusak Barong dengan menggunakan tatanan visual.

Pembedahan masalah dilakukan dengan menggunakan metode Estetika Paradoks yang dikemukakan oleh Jakob Sumardjo. Paradoks disebut sebagai ilmu tentang dua hal yang bertentangan (kontradiksi). Paradoks merupakan studi mengenai arti dan analisis dari kejadian-kejadian yang menimbulkan arti (meaning-producing event). Ilmu atau metode analisis yang mengkaji penafsiran asumsi yang kontradiksi berdasarkan sesuatu yang disebut paradoks pada dasarnya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai adalah bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek tersebut akan berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari cara berfikir manusia. Dipilih sebagai metode penelitian karena paradoks dapat memberikan ruang yang luas untuk melakukan interpretasi terhadap motif Batik Parang Rusak Barong sehingga pada akhirnya bisa didapatkan makna yang tersembunyi dalam sebuah motif batik tersebut.


(13)

Studi kepustakaan ialah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. (Nazir, 1988).

Pertama studi Kepustakaan ini mengadakan penelitian terhadap Keraton Yogyakarta dan Museum Batik Yogyakarta dengan cara mempelajari dan membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan sejarah, kebudayaan, serta kepercayaan masyarakat jawa khususnya Keraton Yogyakarta yang tertuang dalam simbol dari motif Batik Parang Rusak Barong.

I.6 Tujuan Penelitian

Mengetahui keterkaitan antara motif batik Parang Rusak Barong dengan unsur strata sosial dan kepercayaan masyarakat menggunakan pendekatan teori paradoks sebagai acuan untuk menganalisa motif Batik Parang Rusak Barong berdasarkan pola pikir masyarakat Jawa khususnya Keraton Yogyakarta.

I.7 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada masyarakat khususnya generasi muda mengenai makna yang terkandung dalam motif Batik Parang Rusak Barong dan dapat dijadikan bahan untuk memperkenalkan dan melestarikan warisan budaya Keraton Yogyakarta. Serta dapat menambah wawasan mengenai ilmu morfologi dan paradoks. Peneliti berupaya memperkenalkan bentuk dan makna dari motif Batik Parang Rusak Barong.

I.8 Sistematika Penulisan

a. Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini menjelaskan secara garis besar tentang motif Batik Parang Rusak Barong sebagai seni yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa khususnya Keraton Yogyakarta, paparan mengenai motif Batik Parang Rusak Barong yang sarat akan makna dan filosofi, menjadikan motif batik tersebut menjadi media untuk acuan kasta dan strata sosial masyarakat Jawa Khususnya Keraton Yogyakarta. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai masalah yang teridentifikasi, perumusan


(14)

masalah, pembatasan masalah, metode penelitian dan tujuan serta manfaat penelitian.

b. Bab II Pengenalan Batik, Simbol Kosmologi Masyarakat Jawa dalam Motif Batik Parang Rusak Barong

Penjelasan bab ini adalah bagaimana masyarakat Jawa memaknai seni batik sebagai simbol kosmologi mereka, dimana batik sendiri merupakan produk pemikiran manusia sawah. Dari konteks budaya yang pada akhirnya Batik Parang Rusak Barong menjadi salah satu batik larangan yang hanya boleh dikenakan oleh Sultan. Hal tersebut tidak luput dari pembahasan letak geografis Keraton Yogyakarta juga unsur pola yang terdapat pada motif Batik Parang Rusak Barong. Pembahasan pola tiga berfungsi untuk data pendukung pada saat mengolah masalah tentang makna filosofi yang terdapat pada motif batik yang akan diteliti.

c. Bab III Motif Batik Parang Rusak Barong

Bab ini berisi uraian tentang sekumpulan data mengenai motif Batik Parang Rusak Barong yang akan di kaji berdasarkan teori paradoks pada pola batik yang menjadi objek penelitian.

d. Bab IV Kajian Motif Batik Parang Rusak Barong Berdasarkan Kebudayaan Keraton Yogyakarta

Bab ini berisi tentang analisa unsur simbol pada motif Batik Parang Rusak Barong berdasarkan pandangan kebudayaan serta pola pikir masyarakat Jawa khususnya Keraton Yogyakarta.

e. Bab V Kesimpulan

Bab ini berisi kesimpulan serta hasil akhir objek penelitian yang telah dilakukan.


(15)

BAB II

PENGENALAN BATIK, PARADOKS, POLA PADA PARADOKS, KOSMOLOGI, MOTIF BATIK PARANG RUSAK

II.1 Kebudayaan Jawa

Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984) bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri. Masyarakat selaku kelompok manusia yang didalamnya memiliki beberapa unsur. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:

 Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama.  Bersama-sama untuk waktu yang lama.

 Kesadaran bahwa kelompok merupakan suatu kesatuan.  Keterikatan sistem hidup bersama.

Pembedaan ini dilihat sebagai suatu penggolongan masyarakat Jawa dalam 3 struktur sosial yang berbeda, desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut pandangan mereka tentang kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka, yang menghasilkan 3 tipe utama kebudayaan yang mencerminkan kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketentuan yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan. (Geertz, 1983)

Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan dalam penerjemahan makna agama Jawa melalui unsur religinya yang berbeda. Seperti abangan yang menekankan kepercayaannya pada unsur budaya lokal, terutama ritus yang disebut slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir yang mengutamakan kepercayaannya kepada unsur Islam dan priyayi yang menekankan kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda tersebut berasal dari lingkungan yang diseimbangi oleh sejarah kebudayaan yang berbeda. (Parsudi, 1983)


(16)

Kebudayaan suku Jawa merupakan salah satu kebudayan tertua yang ada di Indonesia. Hadirnya berbagai kerajaan yang berdiri kokoh dimasa lampau merupakan salah satu bukti bahwa kebudayaan suku Jawa sudah ada sedari dulu, jauh sebelum modernisasi mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa.

Setiap peradaban yang pernah lestari di bumi selalu meninggalkan warisan simbol-simbol yang menjadi bukti eksistensi. Simbol-simbol tersebut pada masanya dapat jadi merupakan media komunikasi. Baik itu komunikasi sesama manusia maupun dengan Tuhan. Begitupun yang terjadi pada kebudayaan suku Jawa.

Kebudayaan suku Jawa melintasi waktu sejarah. Simbol yang dimiliki, dan tetap bertahan sampai sekarang. Simbol mengkomunikasi masa lalu dengan seksama kepada masyarakat modern, sehingga mereka bisa mengetahui makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya pada saat ini.

Dengan simbol-simbol tersebut, dapat di sampaikan pesan kearifan dan nilai moral yang menjadi acuan. Kebudayaan merupakan proses pemikiran masyarakat. Kebudayaan dapat juga diartikan sebagai kebutuhan manusia secara batiniah. Oleh karena itu, berbudaya menjadi semacam "ritual" yang sudah dilalui sejak lama oleh masyarakat Indonesia suku Jawa.

II.2 Kosmologi dan Sikap Multikulturalisme Masyarakat Jawa II.2.1 Kosmologi Masyarakat Jawa

Dalam kosmologi Jawa dikenal adanya makrokosmos dan mikrokosmos, atau jagad ageng (besar) dan jagad alit (kecil). Jagad ageng adalah alam semesta dan jagad alit adalah manusia. Pemahaman masyarakat Jawa bahwa korelasi hubungan antara alam – manusia dan pencipta-Nya merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga manusia memiliki kewajiban menjaga keselarasan hidup, menjaga kelestarian alam dan manembah (manunggal) dengan Allah yang juga disebut sebagai Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Sang Hyang Akarya Jagad. Paham hidup mereka yang mengajarkan keseimbangam mikrokosmos dan makrokosmos


(17)

menjadikan masyarakat Jawa sangat menjaga keseimbangan dan keteraturan. Bagi masyarakat Jawa yang lebih mengutamakan logos dari pada chaos, manusia dan alam merupakan lingkup kehidupan yang tak terpisahkan dalam dunia orang Jawa. Manusia mula-mula hidup dalam lingkup kecil masyarakat. (Baihaqi, 2013)

Eksistensi manusia sangat tergantung kepada alam sehingga manusia mempunyai kewajiban untuk menempatkan diri dalam keselarasan kosmosjika menginginkan keselarasan dan mencapai kesejatian. Masyarakat Jawa sejak dahulu telah memiliki kesadaran bahwasanya manusia sebagai jagad kecil dari keseluruhan kehidupan dan kekuatan tertinggi, hendaknya menghayati posisinya dalam kosmos, Dengan Tuhan sebagai “Sangkan Paraning Dumadi”. Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. (Kebudayaan Jawa, Jurnal, 2006)

Kosmologi juga menggambarkan analisis pada batik yaitu moncopat kalimo pancer dengan empat arah ruang dan satu pusat tepat bagian tengah kacu. Kosmologi juga menggambarkan anasir hidup manusia yaitu air, api, tanah dan angin. Anasir ini akan membentuk struktur nafsu yang merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan rohaniah dan badaniah. Konsep ini menjelaskan bahwa manusia di dunia tidak hidup sendiri, melainkan memiliki empat saudara gaib yang diwakilkan dengan arah mata angin atau arah ruang.

II.2.2 Multikulturalisme Masyarakat Jawa

Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.

Setya Raharja (2011) mengemukakan pengertian multikulturalisme meliputi tiga hal yaitu:


(18)

 Mengacu pada perbedaan budaya.

 Berkaitan dengan tindakan spesifik pada pada perbedaan.

Keanekaragaman budaya sebagai bentuk dalam kehidupan bermasyarakat. Kebijaksanaan akan segera datang, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan hidup yang adikodrati, baik dalam kehidupan diri sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat yang kompleks. Demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan.

Menurut Watson (2000) mengungkapkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi pedoman utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan memahami perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut. Multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayaan.

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara tersusun memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial.

Berikut adalah beberapa cirri dari masyarakat multikultural berdasarkan beberapa faktor kebudayaan:

Waston (2000) menjabarkan beberapa cirri dari masyarakat multikultural masyarakat Jawa berdasarkan beberapa faktor kebudayaan:

Ciri masyarakat multikultural :

 Faktor geografis, faktor ini sangat mempengaruhi apa dan bagaimana kebiasaan suatu masyarakat. Maka dalam suatu daerah yang memiliki kondisi


(19)

geografis yang berbeda maka akan terdapat perbedaan dalam masyarakat (multikultural).

 Pengaruh budaya luar, budaya luar menjadi penyebab terjadinya multikultural, karena masyarakat yang sudah mengetahui budaya-budaya luar akan mempengaruhi masyarakat akan mind set dan menjadikan perbedaan antara sistem berpikir pra-modern dengan jaman modern.

Berikut adalah jenis bentuk dari masyarakat Jawa yang multikultural :  Konsolidasi

Suatu proses penguatan pemikiran atas kepercayaan yang telah diyakini agar kepercayaan akan sesuatu yang diyakini semakin kuat. Yang mana hal ini dilakukan oleh orang yang lebih mengerti akan kepercayaan yang dianut. Masyarakat Jawa menanamkan kepercayaan sebagai bentuk dari kehidupan yang adikodrati dimana kepercayaan turun-temurun ini semakin kuat dengan adanya hegemoni kebudayaan yang membuat kepercayaan Masyarakat semakin kuat.

 Primodialisme

Primordialisme pada masyarakat Jawa melihat sudut pandang atau paham yang dibawa sedari kecil mengenai adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan memiliki ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi. Satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Masyarakat primordialisme akan selalu memandang budaya orang lain dari sudut pandang budaya asalnya.

 Etnosentrisme

Etnosentris sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut in group feeling (keikut sertaan dalam kelompok) tinggi. Masyarakat entosentris lebih kepada anggapan suatu kelompok sosial dimana masyarakat etnosenrtis merasa bahwa kelompoknya yang paling unggul dibanding kelompok lainnya.


(20)

II.2.3 Simbolisme dalam Masyarakat Jawa

Simbol merupakan suatu bentuk komunikasi yang tidak langsung, artinya di dalam komunikasi tersebut terdapat pesan-pesan tersembunyi sehingga makna suatu simbol sangat bergantung pada setiap individu. Selain dapat berfungsi sebagai pedoman sosial, simbol juga dapat berfungsi sebagai alat untuk melakukan hegemoni budaya. Batik Parang Rusak Barong sebagai bentuk hegemoni budaya yang masih di terapkan sampai saat ini di dalam ruang lingkup Keraton Yogyakarta. (Jurnal Kebudayaan Jawa, 2006)

Filsafat dan pandangan hidup orang Jawa merupakan hasil Krida, Cipta, Rasa, dan Karsa sebagai bentuk dari realitas kehidupan (kasunyatan). Pandangan hidup orang Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya animisme-dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. Hal itu tercermin pada pengadaan ritual slametan yang dulunya merupakan sarana pemujaan roh-roh nenek moyang. Tujuan dari ritual ini pun sama sekali berbeda dengan ritual-ritual semacam itu sebelumnya. Selain merupakan bentuk permohonan dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, slametan juga sarat dengan ajaran moral dan tata kelakuan (code of conduct) yang diharapkan menjadi pedoman hidup masyarakat. Tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis. Hal tersebut selaras dengan konsep memayu hayuning buwono, mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi (memakmurkan bumi, mengasah kepekaan batin, dan menghilangkan penyakit masyarakat). (Jurnal Kebudayaan Jawa, 2006)

Masyarakat sebagai wadah yang sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006)

Dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan


(21)

identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Koentjaraningrat memaparkan dalam bukunya (Pengantar Ilmu Antropologi, 1990) bahwa akulturasi iyalah sebuah proses sosial yang tumbuh pada satu kelompok manusia, dengan kebudayaan tertentu yang dipertemukan dengan unsur-unsur kebudayaan lain. Kedua kebudayaan tersebut dapat diterima dan dipelajari kedalam kebudayaan sendiri, tampa menghilangkan esensi pribadi dari budaya itu sendiri.

Proses terjadinya kebudayaan baru dimana ketika beberapa kebudayaan saling berhubungan dalam jangka waktu yang cukup lama, setelah itu terdapat proses penyesuaian antara masing-masing kebudayaan tersebut yang menghasilkan suatu kepercayaan yang dapat dilihat dari bahasa, organisasi sosial kemasyarakatan, pengetahuan, kesenian dan bentuk kerajinan.

II.3 Estetika Timur

Estetika yang lahir di kebudayaan Timur memiliki inti daripada dunia yaitu agama. Manusia Timur menghayati hidup meliputi seluruh eksistensinya dimana manusia Timur tidak bertujuan untuk menjadikan hidupnya secara teknis, sebab masyarakat timur lebih menyukai intuisi ketimbang akal budi. Mereka menyatukan akal dengan perasaan untuk penghayatan hidup. (Sulaeman, 2012)

Pengaruh ajaran Hindu dan Budha membuat masyarakat Timur bersifat kontemplatif yakni pandangan perkembangan rohani manusia. Manusia Timur cendrung tidak mementingkan dunia, manusia timur lebih mencari keharmonisan dengan alam, sebab alam adalah pemberi kehidupan, makanan, tempat berteduh, seni dan ilmu pengetahuan. (Sulaeman, 2012)

Kebudayaan Timur memiliki orientasi budaya sebagaimana menyangkut lima masalah yang terdapat di dalam kehidupan manusia:


(22)

 Hakikat hidup manusia (HAM), keberagaman hakikat hidup di setiap kebudayaan berusaha berbeda dengan kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai sesuatu hal yang baik.

 Hakikat karya manusia (MK). Kebudayaan memiliki hakikat yang berbeda, memberikan kedudukan dan kehormata

Berbeda dengan kebudayaan Barat, Menurut (Harold, Marylin, and Richard, 1979) berbeda dengan masyarakat Timur, manusia Barat lebih cenderung memilih dunia objektif daripada rasa, sehingga pola pikir budaya Barat membuahkan sains dan teknologi. Mereka lebih dipusatkan pada ujud dunia rasio yang dimana pemahamannya tentang pengetahuan memiliki dasar yang kuat. Dan pandangan hidup budaya Barat tradisional maupun agama akan bergerak mundur. Barat lebih tertarik kepada material dan hidup yang menjadikan manusia Barat tidak merasa perlu untuk meninjau makna dunia dan kehidupan.

II.4 Batik

Pengertian batik menurut kamus Bahasa Indonesia-Jawa yakni kata batik berasal dari bahasa Jawa, batik memiliki arti menulis, mengarang dan menggambar. (Duta Wacana, 1991)

Batik adalah lukisan atau gambar pada seni yang dibuat dengan menggunakan alat yang bernama canting, orang melukis atau menggambar atau menulis pada mori memakai canting disebut membatik atau mempunyai sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh batik itu sendiri. (hamzuri, 1985). Bahwa seni batik merupakan produk pemikiran manusia sawah terlihat dari simbol yang merupakan simbol kosmologi mereka. Bukti yang terletak pada simbol gambar batiknya. (Sumardjo, 2006)

Beberapa daerah pembatikkan di Indonesia mempunyai berbagai macam jenis batik dengan variasi dan coraknya. Seperti halnya batik Parang yang menurut penggolongannya termasuk golongan motif geometris yang ciri khas motifnya tersusun, dibagi menjadi kesatuan motif atau pola yang utuh.


(23)

Pada proses pembuatan batik umumnya terdapat tahapan yang meliputi : 1. Menyiapkan Kain Putih

Menyiapkan kain putih (katun atau sutera) meliputi menghilangkan kanji dan kotoran. Kain putih yang dipakai dalam pembuatan batik biasa disubut juga dengan istilah mori dalam perdagangan dikenal pula dengan cambric atau white cambric.

2. Kain putih yang masih berbentuk geblogan (piece). Satu geblogan untuk kualitas primisima dan prima, memiliki panjang 35 atau 36 yard dengan lebar 105 atau 106 cm. dipotong terlebih dahulu menjadi 12 atau 13 potongan dengan ukuran tertentu. Terdapat beberapa ukuran panjang kain yaitu 250 cm, 260 cm, tetapi ada pula yang berukuran 225 cm.

3. Melipit pinggiran kain merupakan proses menjahit.

4. Setelah kain batik di jahit tepinya, beberapa ada yang langsung di batik ada juga yang melalui proses pencucian terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan kanji yang terdapat pada kain.

5. Proses selanjutnya setelah kain dibersihkan yaitu me-ngethel atau me-loyor bertujuan agar kain melemas dan warna dapat terserap dengan sempurna. 6. Setelah kain putih selesai dicuci masuklah pada proses menganji, berfungsi

untuk menjaga agar lilin batik tidak meresap di benang agar mudah melakukan proses me-lorod.

7. Mengemplong adalah memukul kain di atas landasan kayu yang telah tersedia dengan ganden kayu.

Berdasarkan Komponen batik:

Batik memiliki dua komponen utama, yauitu warna dan garis. Kedua komponen inilah yang membentuk batik menjadi tampilan kain yang indah. (Wulandari, 2011)

a. Warna

Warna sebagaimana juga bentuk dan tulisan merupakan media penyampai pesan, melalui warna pesan yang hendak disampaikan akan memiliki nilai yang


(24)

kuat. Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). (Wulandari, 2011)

b. Garis

Garis adalah suatu hasil goresan di atas permukaan benda atau bisang gambar. Garis-garis inilah yang menjadi panduan dalam penggambaran pola dalam membatik. Menurut bentuknya, garis dapat dibedakan sebagai berikut:

 Garis lurus (tegak lurus, horizontal dan condong)  Garis lengkung

 Garis putus-putus  Garis gelombang  Garis zig-zag  Garis imajinatif Berdasarkan Pola batik:

Pola batik adalah gambar di atas kertas yang nantinya akan dipindahkan ke dalam mori untuk digunakan sebagai motif. Pola batik dipengaruhi oleh keadaan alam, lingkungan, falsafah, pengetahuan, adat istiadat, dan unsur-unsur lokal yang khas di setiap daerah. (Wulandari, 2011)

Berdasarkan Corak Batik:

Corak batik adalah hasil lukisan pada kain dengan menggunakan alat yang disebut dengan canting. Pada umumnya corak batik dipengaruhi oleh letak geografis daerah pembuat batik. Sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan, kepercayaan, adat istiadat yang ada, keadaan alam sekitar, termasuk flora dan fauna, serta adanya kontak atau hubungan antar daerah pembuat pembatikan.  Bagian Corak Batik

Terdapat dua bagian utama, yaitu :

a. Ornamen utama dimana corak yang menentukan makna motif batik.

b. Isen-isen merupakan aneka corak pengisi latar kain dan bidang-bidang kosong corak batik


(25)

Secara garis besar, corak batik berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan ragam hias geometris dan non geometris.

Motif Parang diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Keraton Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga kemudian diberi nama Parang Rusak.

Ragam hias Motif parang berbentuk mata parang, melambangan kekuasaan dan kekuatan. Hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Keraton Mataram, maka oleh kerajaan. Motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif-motif parang dulunya hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Sehingga jenis motif ini termasuk kelompok batik larangan. Motif ini merupakan motif batik sakral yang hanya digunakan di lingkungan keraton. Pada jaman dahulu, Parang Rusak biasanya digunakan prajurit setelah perang untuk memberitahukan kepada Raja bahwa mereka telah memenangkan peperangan.

Berikut beberapa motif Batik Parang dan filosofinya:  Parang Klitik

Motif ini merupakan pola parang dengan stilasi motif yang lebih halus. Ukurannya pun lebih kecil, dan mengandung citra feminin. Parang jenis ini


(26)

melambangkan kelemah-lembutan, perilaku halus dan bijaksana. Biasanya dikenakan kalangan Putri istana.

Gambar II. 1 Motif Parang Klitik Sumber: http://ekanurulhidayatii.blogspot.com

(28 April 2015)

 Parang Soblong

Motif parang ini menyimbolkan keteguhan, ketelitian, dan kesabaran, dan biasa digunakan dalam upacara pelantikan. Motif ini mengandung makna harapan agar pemimpin yang dilantik itu diilhami petunjuk dan kebijaksanaan dalam mengemban amanah. Bisa juga dikenakan dalam upacara kematian karena mengandung doa agar derajatnya diangkat ke tempat yang lebih terhormat.

Gambar II. 2 Motif Parang Soblong Sumber: http://ekanurulhidayatii.blogspot.com

(28 April 2015)

 Parang Kusumo

Mengandung makna hidup harus dilandasi oleh perjuangan untuk mencari keharuman lahir dan batin, ibaratnya keharuman bunga (kusumo).


(27)

Demikianlah, bagi orang Jawa, hidup di masyarakat yang paling utama dicari adalah keharuman pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir dan batin. Kain batik motif parang kusumo biasanya digunakan pada saat tukar cincin.

Gambar II. 3 Motif Parang Kusumo Sumber: http://ekanurulhidayatii.blogspot.com

(28 April 2015)

Dari pengamatan Sri Soedewi Samsi (2006) Untuk membuat pola pada motif Parang di atas kain putih (mori) pertama diawali dengan membuat kotak berupa bujur sangkar. Panjang sisi antara 15 cm untuk Parang Rusak dan 25 cm untuk Parang Barong. Arah garis 45 derajat dengan menghadap mendekat ke depan pembuat pola. Demikian seterusnya hingga seluruh kain terisi bujur sangkar. (hl.135)

Komponen dan struktur yang terdapat pada motif Parang antara lain:  Arah kemiringan parang

Mlinjon

 Pundak atau bahu  Pantat atau bokong  Bidang parang  Garis parang

 Kepala capung (serangga terbang) atau ukel  Hidung Gareng


(28)

Gambar III. 4 Struktur Motif Parang Sumber: Data Pribadi

(7 April 2015)

II.5 Visual

Elemen atau unsur visual yang dapat dilihat dalam seni rupa merupakan sebuah bagian yang penting dalam menciptakan karya seni rupa. Elemen rupa meropakan obyek material yang akan disusun agar menjadi sebuah karya seni. Unsur-unsur atau elemen tersebut diantaranya: garis, bidang, warna, nada/irama (rhytme), komposisi, dominasi (center of interest), dan kesatuan. (Tri Sulistyo, 2005) a. Garis (line)

Melihat bentuk garis dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni: garis lurus Horizontal dan vertikal, kedua garis lengkung dan bergelombang, ketiga garis patah-patah, bentuk zig-zag, siku-siku atau membentuk sudut tajam.

Dari ketiga bentuk garis dasar tadi dapat memberikan kesan sifat/simbol, antara lain:

 Memberi kesan kekuatan pada garis lurus.

 Memberi kesan mengembang/memusat pada causentric arcs.

 Memberi kesan berirama, dapat dinyatakan dalam garis lengkung yang berurutan.

 Memberi kesan luwes, dapat dinyatakan pada garis lurus yang ujungnya melengkung atau disebut juga bending upright line

 Memberi kesan sugesti dari garis yang berkobar, bersemangat/berkekuatan spiritual yang disebut upward swirls.


(29)

 Memberi kesan melenyap, memperlihatkan jarak kejauhan, kerinduan di sebut diminisshing persepective.

 Memberi kesan tentang keadaan ledakan, memusat, disebut radiation line.  Memberi kesan konflik, dapat digambarkan dalam garis-garis yang

bertumpuk, disebut juga conflicting diagonals

b. Bidang (shapes)

Pada dasarnya bidang di bagi menjadi dua, pertama bidang yang terdiri dari segi empat, lingkaran, segi tiga sama sisi, dan bidang hasil gabungan antara segi empat/lingkaran/segi tiga sama sisi.

c. Warna (colour)

Penggunaan warna dalam seni rupa pada dasarnya memiliki tiga fungsi, yaitu:  Fungsi perjanjian (heraldis)

 Fungsi optis (harmonis).

 Fungsi warna sebagai perwakilan dirinya sendiri/identitas d. Irama (rhytme)

Irama dapat terbentuk dari warna (biru dengan hijau berulang-ulang menerus). Karena pengulangan bidang atau bentuk atau garis yang beraturan dengan bentuk dan jarak yang sama. Karena perbedaan dan ukuran dan bentuk yang teratur dan berkelanjutan. Karena perbedaan jarak ruanng yang menerus antara bentuk atau bidang yang selaras dalam gerak.

e. Komposisi

Komposisi adalah susunan (keseimbangan). Komposisi ini mencakup keseimbangan (balance), artinya apabila unsur-unsur garis, bidang, warna, dan sebagainya memberi rasa seimbang serta memuasakan kepada kita yang melihat atau merasakannya. Balance dibagi menjadi dua yaitu keseimbangan simetris dan asimetris.


(30)

f. Dominasi (center of interest)

Dominasi atau lebihh sering disebutkan yaitu, pusat perhatian dari karya. Kehadiran ini ditujukan untuk menonjolkan bagian tertentu yang sekirannya perlu disampaikan. dominasi bisa ditampilkan melalui warna.

g. Kesatuan (totalitas).

Perpaduan/keselarasan antara unsur-unsur visual menjadi satu kesatuan ungkapan dan kesatuan makna. Kesatuan ungkapan dan kesatuan makna ini yang merupakan kesan keseluruhan dari sebuah karya seni. Keselarasan unsur-unsur itu membentuk suatu pernyataan atau ungkapan maka bisa dikatakan lukisan itu berhasil dan memiliki kekuatan.

II.6 Simbol

Langer dalalm Ross (1980) membedakan antara simbol diskrutif dan simbol presentatif sementara simbol diskrusif digunakan dalam bahasa tulis dan lisan untuk keperluan berkomunikasi. Jadi simbol tersebut bersifat penggambaran. Adalah fenomena sensoris yang mengandung makna implisit, dalam ritus dan mitos. Dari realitas faktual atau realitas kesadaran, lalu kemudian Bernard C. Heyl memberikan skema hubungan simbol dengan kedua jenis realitas tersebut.

Gambar II.5 Skema Hubungan

Sumber: Estetika Paradoks Jakob Sumardjo 2006 (4 April 2015)


(31)

Berdasarkan gambar di atas yang dimaksud dengan referen adalah segala sesuatu, objek, fakta, kualitas, pengalaman, denotasi, pristiwa, designatum, benda-benda. Konsep adalah konotasi, ide, pikiran, respon psikologis. Sedangkan simbol berupa kata atau gambar. (Sumardjo, 2006)

Simbol peradaban modern mengacu kepada makna, konsep, dan pengalaman. Dillistone mengungkapkan bahwa acuan simbol bukan sekedar konsep, tetapi lebih dari sesuatu yang transenden, sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, sesuatu yang absolut, konsep, makna, nilai, kepercayaan, realitas, ide. Bahkan menurut Louis Macneice berpendapat bahwa simbol adalah tanda tangan imanesi Allah. (Sumardjo, 2006)

II.7 Paradoks

Paradoks adalah ilmu yang membahas sesuatu yang kontradiksi dimana terdapat dua hal yang berlawanan namun memiliki harmonisasi. Paradoks tercipta dari pemikiran pra–modern yang memercayai adanya transenden. Tradisi Pemahaman seni pra-modern berasal dalam kebudayaan mistis-spritualis-keagamaan. Kebudayaan pra-modern berpikir kosmosentris, sementara kebudayaan modern lebih antroposentris. Manusia itu hanyalah bagian dari alam dan semua yang ada. Mikrokosmos manusia itu adalah makrokosmos semesta dan bagian pula dari sebuah metakosmos. (Sumardjo, 2006)

Pandangan antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Ada jarak manusia dengan semesta dan pencipta. Dengan demikian, realitas itu tergantung dari masing-masing manusianya, yakni realitas kesadarannya atau cara berpikirnya. Jakob Sumardjo menempatkan karya itu dalam cara berpikir budayanya. Ada beberapa dasar pola pikir masyarakat pra-modern. Diantaranya pola dua, pola tiga, pola empat, dan pola lima.

II.7.1 Estetika Pola Dua

Menurut Jakob Sumardjo (2006) Dasar pemikiran manusia pola dua adalah bahwa hidup ialah pemisah. Mendefinisikan bahwa hidup adalah konflik, persaingan


(32)

bahkan perang. Dalam masyarakat berpola dua, jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, justru terpisah. (hl. 33)

Di dalam Estetika pola dua terdapat dualistik-antagonistik yaitu pola pikir yang menekankan “pertentangan” daripada “komplementer”. Masyarakat yang hidup dalam pola dua adalah masyarakat yang memiliki fenomena dualisme yang keberadaannya dilihat dari “material” dan “roh”. Masyarakat pola dua memiliki kepercayaan dinamisme bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi sesuatu. Masyarakat pola dua berusaha mengumpulkan daya-daya dengan simbol. Simbol mereka sesuatu paradoks yang berupa bersatunya dua unsur yang saling bertentangan, badan dan jiwa, lelaki dan perempuan, lawan dan kawan.

Berikut contoh pola/struktur pola dua

Gambar II.6 Struktur Pola Dua

Sumber: Estetika Paradoks Jakob Sumardjo 2006 (4 Mei 2015)

II.7.2 Estetika Pola Tiga

Masyarakat pola tiga adalah kaum peladang dimana mereka hidup dari bercocok tanam padi di lahan kering, hidupnya sudah tidak bergantung pada alam. Kaum peladang membatasi komunitasnya dalam jumlah tertentu. Mereka memiliki prinsip pemisahan yakni memiliki nama keluarga contoh eksplisitnya yaitu masyarakat Batak. (Sumardjo, 2006)


(33)

Pola tiga hadir karena masyarakan peladang hidup dengan cara berladang, menanam, memelihara, dan mengambangkan padi. Merawat dan memelihara tanaman adalah simbol dari oposisi yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Tanaman padi dapat terus hidup kaerna adanya “perkawinan” antara Langit dan Bumi yang memiliki arti bahwa langit itu “basah” sedangkan bumi itu “kering”. Keduanya menciptakan entitas ketiga yakni kehidupan di muka bumi, langit di atas, bumi dibawah dan kehidupan muncul ditengah-tengah langit dan bumi.

Kepercayaan kosmologi masyarakat peladang menjadi landasan berpikirnya yakni pola tiga. Pola tiga bertolak dari kepercayaan dualisme yakni langit di atas, bumi di bawah. Langit basah, bumi kering. Lagit perempuan, bumi laki-laki. Harmoni menjadi syarat di dalam kehidupan masyarakat peladang.

Struktur hubungan tersebut dapat diambarkan sebagai berikut.

Gambar II.7 Struktur Pola Tiga

Sumber: Estetika Paradoks Jakob Sumardjo 2006 (4 Mei 2015)

II.7.3 Estetika Pola Empat

Pola empat berasal dari masyarakat pesisir atau kepulauan. Kosmologinya terdiri dari tanah perbukitan, langit (hujan), laut, dan dunia manusia sendiri. Mereka mempercayai ada empat pasangan kosmos yang membuat hidup ini tertap berlangsung memiliki empat komponen dasar yakni pembagian hulu dan hilir


(34)

seperti dalam budaya peladang, bagian hulu lebih sakral dari pada bagian hilir yang tidak suci.

Hulu dan hilir merupakan bentuk kesempurnaan begitu juga dengan bukit dan pesisir, gunung dan laut, asli dan asing, tua dan muda. Dengan demikian bukan hanya pembagian sakral-profan, tetapi juga pembagian yang lebih dihormati dan kurang dihormati.

Gambar II.8 Struktur Pola Empat Sumber: Estetika Paradoks Jakob Sumardjo 2006

(4 Mei 2015)

Bentuk belah ketupat atau jajaran genjang pada artefak tradisi pramodern dapat diuraikan dan yang menjadi utama adalah bentuk itu tidak mempunyai titik pusat di tengah wujud belah ketupatnya. (hl. 157)

II.7.4 Estetika Pola Lima

Estetika pola lima berkembang di masyarakat pesawah. Pengaturan pola lima masyarakat pesawahan merupakan sumber makna bagi praksis kehidupan. Semua hal dipola berdasarkan mancapat kalimo pancer, baik alam rohaniah, alam semesta (jagad besar), manusia (jagad kecil), budaya (negara, seni, teknologi,


(35)

ekonomi). Mancapat kalima pancer adalah parade hubungan tunggal dan plural. Tunggal adalah pusat dan plural adalah pengikut.

Pola diatas dapat digunakan sebagai alat untuk mengkaji nilai estetika dan makna dari motif Batik Parang Rusak Barong sebagai seni budaya dalam konteks pemikiran masyarakat pra-modern. Dari sini pula akan terlihat perbedaan masyarakat pra-modern dengan masyarakat saat ini dalam membuat dan memaknai suatu karya.

Berikut sistematika sederhana pola pikir masyarakat Jawa

Gambar II.9 Kerangka Berfikir Masyarakat Jawa pada Artefak Sumber: Data Pribadi

(8 Mei 2015)

II.7.5 Mistis-Spiritual Masyarakat Jawa

Pada dasarnya masyarakat Jawa memiliki sifat atau kemampuan asimilasi pada sebuah kebudayaan, dimana masyarakat Jawa mengelompokkan kebudayaan dengan kepercayaan menjadi sebuah paham dan pemikiran tentang sejumlah ide dasar spiritualisme. (Clifford, 1960)

Merurut Kuntowijoyo (1987) bahwa semua agama yang berkembang di tanah Jawa berciri Jawanisme. Tradisi masyarakat Jawa yang selalu menggabungkan


(36)

tradisi dengan ketentuan agama, dan dari sanalah munculnya masyarakat Jawanisme. Salah satu contoh prilaku gabungan yang bersifat kultural-spiritual adalah upacara Slametan yang berbentuk Khenduren. (Soedarsono, 1986, Haryadi, 1998)

Mistik sendiri secara singkat didalam buku Antropologi Budaya karya Koentjaningrat dijelaskan sebagai aspek ruhaniah dalam diri individu yang meyakini, mempelajari, menghayati, sebuah ajaran agama beserta prakteknya. Namun di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, telah terjadi pergeseran pemahaman makna kata mistik, didalam budaya Jawa sejak lama mistik dikaitkan dengan segala bentuk kepercayaan atas kekuatan diluar manusia namun lebih kepada diluar Tuhan, dengan kata lain individu-individu yang tidak mendapatkan kepuasan atas kehausan spiritual mereka terhadap sebuah ajaran agama maka mereka berpaling kepada hal-hal lain.

Dalam mekanisme harmoni pada masyarakat pola lima yakni memiliki pusat diri (way to the centre) dimana pemahaman pada pusat diri tersebut menjadi bentuk kecil dari alam semesta (mikro kosmos, jagat cilik), dalam spiritual pusat diri bersifat harmoni. Spiritual sebagai pertemuan kosmos (makro kosmos). Tuhan sebagai mana adanya dengan manusia. (Sulaeman 2012)


(37)

BAB III

MOTIF BATIK PARANG RUSAK BARONG

III.1 Motif Parang Rusak Barong

Parang Rusak motif Barong (Parang Rusak) adalah salah satu motif larangan. Motif, seperti yang diperintahkan oleh Sunan Paku Buwana III tahun 1769, hanya boleh digunakan oleh Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Motif Parang Rusak Barong menjadi motif larangan karena dalamnya makna filosofis yang disimbolkan oleh motif ini. Motif ini menyimbolkan pengendalian nafsu manusia menuju pencapaian watak yang luhur, sekaligus menjadi simbol keagungan.

Pengendalian nafsu disimbolkan pada perpaduan ornamen uceng yang menyimbolkan lidah api serta ornament blumbangan yang menyimbolkan air. Perpaduan dua motif ini melambangkan perpaduan watak amarah atau angkara murka yang diwakili oleh ornament uceng dan watak supiyah atau kerinduan yang disimbolkan oleh ornament blumbangan.

Penyatuan simbol-simbol yang melambangkan kedua jenis watak ini menyiratkan harapan agar pemakainya mampu mengendalikan kedua jenis watak tersebut dan mewujudkannya dalam sifat bijaksana. Sedangkan makna agung di simbolkan pada ornamen barong yang merupakan deformasi dari burung garuda yang merupakan burung tunggangan Dewa Wisnu yang merupakan Dewa tertinggi dalam ajaran Hindu.

Selain penyatuan simbol, terdapat pula warna yang melambangkan kepercayaan masyarakat Jawa Keraton Yogyakarta. Warna yang digunakan pada batik keraton pun terbatas pada pewarna alam mengingat belum ditemukannya pewarna sintesis pada masa itu.Jika dipandang melalui alam kosmologi jawa, penerapan warna seperti hitam, putih dan coklat juga mengacu pada kaidah dan pakem yang berlaku. Keseluruhan tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan harmonisasi antara manusia dengan alam semesta.


(38)

Gambar III.1 Batik Parang Rusak Barong Sumber: Keraton Yogyakarta (Data Pribadi)

(20 April 2015)

Gambar III.2 Batik Parang Rusak Barong Sumber: Keraton Yogyakarta (Data Pribadi)


(39)

Berikut batik Parang Rusak Barong yang digunakan oleh Raja Keraton Ngayogyakarta:

Gambar III.3 Hamengku Buwono VI

Sumber: https://galeriilmiah.files.wordpress.com/2012/01/hamengkubuwono-vii.jpg (28 Juni 2015)

Gambar III.4 Hamengku Buwono VII

Sumber: https://galeriilmiah.files.wordpress.com/2012/01/hamengkubuwono-vii.jpg (28 Juni 2015)


(40)

Gambar III.5 Hamengku Buwono IX Sumber: http://3.bp.blogspot.com

(28 Juni 2015)

Gambar III.6 Hamengku Buwono X

Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e0/Hamengkubuwono_x.jpg (28 Juni 2015)


(41)

Fungsi dari motif batik Parang Rusak Barong adalah selain untuk busana keseharian juga dipakai untuk upacara “Jumenengan” yaitu upacara Tahta.

Motif Batik Parang Rusak Barong yang hanya boleh dikenakan oleh Raja ini biasanya digunakan pada saat upacara Jumenengan yaitu upacara tahta untuk Raja. Ritual adat Tinggalan Dalem Jumenengan adalah salah satu penerapan adat istiadat Kerajaan Jawa yang dinilai paling sakral dan bermakna penting.

Ritual ini diadakan untuk memperingati hari kenaikan tahta Raja. Dalam bahasa jawa kata “Tinggalan” yang berarti “peringatan” sedangkan kata “Dalem” merujuk pada panggilan kehormatan untuk seorang Raja Jawa dan “Jumenengan” berasal dari kata jumeneng yang berarti “bertahta”. Upacara adat Tinggalan Dalem Jumenengan merupakan salah satu ritual yang wajib dilaksanakan di Kerajaan-kerajaan yang masih memiliki garis darah dengan Kesultanan Mataram Islam.

Gambar III.7 Prosesi Upacara Jumenengan

Sumber: http://cdn.tmpo.co/data/2013/05/31/id_189138/189138_620.jpg (28 Juni 2015)


(42)

III.2 Visualisasi Motif Batik Parang Rusak Barong

Objek kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan kebudayaan Jawa yang terdiri dari beberapa simbol.Simbol pola yang terdapat pada Parang Rusak Barong ini menjadi fokus penelitian diantaranya memperlihatkan nilai serta harmonisasi antara dua hal yang bertentangan.

Bentuk dasar dari ornamen batik Parang Rusak Barong memakai unsur alam yang diambil dari berbagai hakikat kehidupan untuk menciptakan suatu kesatuan yang harmoni. Pada batik Parang Rusak Barong terdapat beberapa unsur visual diantaranya:

Tabel: III.1 Unsur visual Motif Batik Parang Rusak Barong

Pada unsur visual yang terdapat pada batik tersebut masing-masing memiliki arti yang mewakilkan cara berpikir masyarakat Jawa dari awal jaman sebelum modernisasi masuk ke Negara Indonesia khususnya pulau Jawa. Hal ini terlihat dari sebuah artefak dimana terdapat simbol yang mengkomunikasikan sesuatu hal berupa pola pikir masyarakat pembuatnya. Dalam artefak khususnya batik yang di lahirkan dari kebudayaan Jawa memiliki kepercayaan terhadap dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas ialah daya transenden yang mempengaruhi daya-daya imanen (dunia bawah). Hal tersebut dilihat dari pola batik Parang Rusak Barong yang motifnya tersusun menurut garis miring/diagonal. Ukuran batik


(43)

Parang Rusak Barong sendiri adalah 25 cm yakni ukuran terbesar di antara motif Parang Rusak lainnya.

Pada motif batik Parang Rusak Barong mengandung falsafah yang dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai anutan dalam kehidupannya yang tertuang pada batik Parang Rusak Barong menjadikan salah satu batik yang sarat akan makna dan filosofi.

Berikut beberapa visualisasi dari bentuk ornamen yang terdapat pada motif batik Parang Rusak Barong:

Parang

Menurut sumber ahli batik di dalam Keraton Yogyakarta parang adalah sebuah senjata yang tajam tetapi tidak setajam pisau dan senjata yang panjang namun tidak sepanjang pedang.Parang memiliki sisi yang rusak yang dipercaya oleh masyarakat Jawa Keraton Yogyakarta bahwa sisi yang rusak tersebut adalah sebuah janji Raja yang hendak menghentikan segala peperangan.

Ombak

Dalam alam berpikir masyarakat Jawa pada saat itu, ombak diartikan sebagai suatu bentuk dari cobaan dan masalah yang terus menerus datang tanpa henti. Pengharapan masyarakat Jawa khususnya Keraton Yogyakarta kepada sang Raja pemakai batik ini agar dapat menyelaraskan kehidupan dan menjadikan kepemimpinan sang Raja dapat menjadi anugerah untuk masyarakatnya.

Blumbungan/mlinjon

Blumbungan/mlinjon bermakna sebagai lambang dari air sebagai simbol nafsu supiah dengan komposisi diagonal 450, yang menandakan kekuatan gerak cepat. Parang Rusak memberikan makna agar manusia di dalam hidupnya mampu mengendalikan diri, baik secara lahir dan batin, sehingga memiliki watak dan perilaku yang luhur.


(44)

Hidung Gareng

Pada motif batik Parang Rusak Barong terdapat bentuk yang menyerupai hidung gareng bulat dan besar. Hidung gareng yang terdapat pada motif batik ini memiliki arti kearifan, kecerdasan dan peka dalam melihat berbagai macam masalah adalah sifat yang tedapat dalam tokoh Panakawan wayang Purwa Nala Gareng.

Tuding

Tuding yakni arah yang menunjuk ke arah lereng yang melambangkan satu alur arah sebagai bentuk dari komitmen yang konstan pada sang Raja.

III.3 Motif Batik Parang Rusak Barong Sebagai Bentuk Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Jawa memiliki tradisi mistik yang berdeda dengan wilayah lainnya di Indonesia. Segala bentuk prilaku masyarakat Jawa selalu memakai sistem berpikir spiritual. Bentuk dasar kepercayaan ini masuk dalam kepercayaan animisme dan dinamisme dengan percampuran budaya dari beberapa agama. Kepercayaan masyarakat Jawa menjadi pertimbangan penting karena didalamnya terdapat pengharapan keberhasilan dan keselamatan.

Dalam mistis-spiritual itu terdapat pernyataan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugrah alam yang telah diberikan pada manusia. Di dalam motif batik Parang Rusak Barong menggunakan ornament-ornamen yang bentuk dasarnya di ambil dari alam. Bentuk visualisasi tersebut menggambarkan kepercayaan masyarakat Jawa pada jama pesawah yang mempercayai bahwa manusia adalah bagian dari alam sebagai mikrokosmos dari alam semesta.

Dalam kepercayaan Jawa terdapat istilah “Kejawen” yaitu sebuah kepercayaan yang sangat kental dengan spiritual berciri gabungan dari agama dan budaya. Di dalam kepercayaan Jawa salah satunya adalah acara atau ritual “Slametan” yang berbentuk “Khenduren” prilaku spriritual masyarakat Jawa. Dimana sikap spriritual ini juga terdapat pada pola batik Parang Rusak Barong.


(45)

III.3.1 Aturan-aturan Penggunaan Motif Batik Parang Rusak Barong Keraton Yogyakarta.

 Yang berkaitan dengan kedudukan social

Kain batik yang digunakan berdasarkan falsafah yang dimiliki oleh masyarakat dilingkungan keraton, menunjukkan bahwa kedudukan sosial atau status sosial serta pekerjaan tidak menghilangkan keyakinan bahwa setiap manusia memiliki hak-hak fundamental manusiawi. Ajaran islam terdapat di dalam Keraton Yogyakarta yang dimana ajaran islam tersebut salah satunya adalah tiap-tiap orang sama kedudukannya dalam derajat manusia, karena memilik hak-hak universal yang tidak bisa dibedakan menurut pangkat, kekayaan maupun lainnya. Ajaran di dalam Keraton Yogyakarta mendapat pengaruh dari Hindu yang mengenal adanya sistem kasta, antara lain yaitu perbedaaan menurut status, maka simbol-simbol batik Keraton Yogyakarta dalam penggunaannya berbeda menurut kedudukan sosialnya, karena merupakan identitas bagi sipemakai dalam kedudukannya, khususnya dalam kain batik yang dipakai.

 Yang berkaitan dengan upacara keagamaan

Acara atau upacara keagamaan merupakan simbol-simbol yang berhubungan antara keraton dengan dunia yang lebih luas, mempunyai arti bahwa keraton sebagai bagian dari dunia tersebut (keraton sebagai pusat dunia, bagian yang penting). Hal-hal yang berhubungan tersebut harus berjalan harmonis agar tercipta suatu keseimbangan di dalamnya. Dengan demikian dalam upacara tersebut para masyarakat keraton diharuskan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara tersebut sesuai dengan tugasnya masing-masing agar tercipta suatu keseimbangan atau makna yang diharapkan. Oleh karena itu upacara yang dilakukan di lingkungan keraton memiliki arti yang penting bagi kehidupan masyarakatnya. Keraton Yogyakarta memiliki beberapa upacara khusus seperti Upacara Sekaten, Upacara Siraman Pusaka dan Labuhan, Upacara Garebeg dan Upacara Tumpal Wajik yang biasanya diikuti oleh masyarakat keraton. Dalam mengikuti acara tersebut, ada keharusan untuk memakai pakaian adat keraton, begitu pula dengan upacara


(46)

yang berhubungan dengan pernikahan. Batik-batik yang dipakai tidak akan sama dalam setiap upacara, hal ini karena adanya aturan atau tata cara tentang pemakaiannya.

 Simbolisme dalam warna motif batik Parang Rusak Barong Keraton Yogyakarta.

Motif batik parang Rusak Barong mempunyai warna yang khusus yaitu warna yang dipakai sebagai dasar dari seluruh kain jenis parang, yaitu wana hitam. Warna tersebut menyiratkan arti bahwa hitam adalah simbol dari daya dari bumi/dunia.


(47)

BAB IV

TINJAUAN VISUAL POLA BATIK PARANG RUSAK BARONG BERDASARKAN KOSMOLOGI MASYARAKAT JAWA KERATON YOGYAKARTA

IV.1 Mistis-Spiritual Pada Pola Motif Batik Parang Rusak Barong

Kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat pesawah menjadikan motif batik Parang Rusak Barong adalah sebuah artefak yang mengandung paham mistis-spiritual, dimana artefak tersebut tidak berfungsi ganda dan masih didapatkannya sakral. Hal tersebut dapat dilihat melalui pola pada motif batik Parang Rusak Barong sebagai simbol dari kepercayaan masyarakat pesawah.

Batik Parang Rusak Barong yang berangkat dari seni tradisi merupakan suatu bentuk kesenian yang merupakan produk budaya yang erat kaitannya dengan keseharian masyarakatnya, disisi lain juga memuat sisi transendenitas. Mengingat seni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka.

Pada dasarnya, masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang religius. Perilaku keseharian masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh alam pikiran yang bersifat spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa memiliki hubungan istimewa dengan alam. Pemikiran mengenai fenomena kosmogoni dalam alam pemikiran masyarakat Jawa, yang kemudian melahirkan beberapa tradisi atau ritual yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam tempat hidup mereka.

Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindhu atau Buddha. Sikap masyarakat Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak merusak alam, bahkan membuat sebuah harmoni dengan alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Masyarakat Jawa menjaga hubungan yang harmonis dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Singkatnya masyarakat Jawa menginginkan kekayaan hidup yang


(48)

tenang dan tentram. Di dalam seni Batik Parang Rusak Barong, terdapat pola pikir masyarakat pesawah yang percaya akan budaya mistis-spiritual memberi makna pada artefak pra-modern dimana masyarakat Jawa pada jaman ini memiliki bentuk penghormatan sendiri untuk artefak tersebut. Masyarakat Jawa tradisional dengan cara

pandang animisme dan dinamisme percaya bahwa ada suatu kekuatan diluar dirinya

yang mengatur alam semesta. Menurut mereka hidup ini harus seimbang antara materi dengan rohani, imanen-transenden sebagai bentuk dari nilai kehidupan.

Di dalam artefak batik Parang Rusak Barong, pembuat batik memberikan mutu sebuah karya seni tidak hanya pada keindahannya namun juga pada kesakralannya dimana didalamnya mengandung kepastian menghadirkan daya-daya rohani kepada pemakainya.

IV.2 Analisa Pola Parang Rusak Barong

Objek kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan kebudayaan Jawa yang terdiri dari beberapa simbol. Simbol pola yang terdapat pada Parang Rusak Barong ini menjadi fokus penelitian diantaranya memperlihatkan nilai serta harmonisasi antara dua hal yang bertentangan. Visualisasi objek berdasarkan paham kepercayaan kosmologi masyarakat Jawa yang saat ini masih di pegang teguh berdasarkan kebudayaan tradisi.

Gambar IV.1 Bentuk Dasar Sebagai Pola Paradoks pada batik Parang Rusak Barong Sumber: Jakob Sumardjo


(49)

Bentuk dari persegi empat yang terdapat lingkaran didalamnya sebagai salah satu unsur visual yang di dalam pola batik Parang Rusak Barong memiliki arti sebagai dua hal yang bertentangan. Bentuk lingkaran yang terdapat struktur pola motif batik Parang Rusak Barong menjadi simbol adanya daya-daya transenden yakni arah rohani, sedangkan bentuk persegi empat yang terdapat pada pola motif batik Parang Rusak Barong menjadi simbol dari adanya daya-daya imanen yaitu hal yang berpusat pada dunia. Pola tersebut memiliki golongan.

Kedua bentuk dasar yang saling berlawanan tersebut akan menjadikan sebuah harmoni dimana terdapat bentuk paradoks yang artinya terdapat keterkaitan di dalam dua hal yang bertentangan dimana dalam kesatuan bentuk tersebut mengandung arti hadirnya daya-daya transenden di dunia yang imanen (di dalam dunia).

Bentuk tersebut menggambarkan pola pikir masyarakat Jawa pada jaman pesawah, pola pikir yang masuk dalam kategori budaya mistis-spiritual. Dalam alam pikir masyarakat Jawa yang mempercayai mistis, ruang dan waktu memiliki nilai yang berbeda dengan pola pikir pra-modern, pra-modern tidak membedakan makna ruang dan waktu, depat atau belakang juga kiri atau kanan, tetapi masyarakat pesawah bernilai sebaliknya. Mereka menganggap kanan lebih sakral dari kiri atau sebaliknya. Begitu juga dengan pola bentuk dasar pada batik Parang Rusak Barong yang hal tersebut adalah dua hal yang bertentangan namun mengandung unsur harmonisasi.


(50)

Tabel: IV.1 Korelasi Bentuk kepercayaan dasar Parang Rusak Barong

Batik Parang Rusak Barong memiliki unsur-unsur kepercayaan dimana faktor tersebut mempengaruhi kualitas dan tujuan hidup mereka, batik yang sarat akan makna dan filosofi mampu memberikan energi positif kepada masyarakat yang mempercayainya yang motif batik tersebut dipakai oleh seorang Raja. Kepercayaan masyarakat Jawa yang mistis-spiritual dan sikap primordial yang masih dipegang tuguh oleh masyarakat dalam kelompoknya, berfungsi juga sebagai pelestarian kebudayaan kelompoknya, kebudayaan yang dibawa turun-temurun oleh leluhurnya.

Bentuk Parang yang terdapat pada batik Parang Rusak Barong memiliki arti Yang Maha Kuasa tersusun secara garis diagonal. Berbentuk Parang yang besar sebagai simbol dari keagungan. Kesatuan dari motif batik Parang Rusak Barong menggambarkan tentang alam kehidupan (dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah). Pada masyarakat zaman pesawah, kehidupan bersumber dari kepercayaan


(51)

religinya, masyarakat Jawa dalam kepercayaan ini masuk kategori budaya ontologi-sekuler, dimana terdapat dekonstruksi makna di dalam artefak.

Motif batik Parang Rusak dapat menentukan strata sosial masyarakatnya dilihat dari ukurang bentuk Parang yang terdiri dari berbagai macam ukuran, ukuran terbesar adalah 25 cm yaitu adalah Parang Rusak Barong, Parang yang digunakan oleh Raja, sedangkan bila ukuran Parang pada motif batik lebih kecil maka semakin kecil ukuran Parang semakin rendah strata sosial di dalam kerajaan, walaupun motif Parang hanya boleh digunakan oleh keluarga kerajaan. Simbol parang sebagai bentuk strata sosial ini adalah sebagai bentuk hegemoni budaya yang bersepakat dengan ideologi, gaya hidup dan cara berpikir secara dominan di dalam masyarakat Jawa khususnya Keraton Yogyakarta

Gambar IV.2 Satu Bujur Sangkar Batik Parang Rusak Barong Sumber: Kraton Yogyakarta (Data Pribadi)

(21 Juni 2015)

Di dalam motif batik Parang Rusak Barong mengandung sebuah falsafah Jawa yang di pegang teguh yaitu Cipta, Kersa, dan Rasa. Masyaraka Jawa lebih mendahulukan akal-fikir atau nalar untuk melakukan sesuatu, baru setelahnya menggunakan rasa, setelah kedua kasunyatan tersebut barulah masyarakat Jawa memiliki kehendak atau tujuan. Cipta, kersa, dan rasa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, dan karsa berada dalam satu wilayah


(52)

yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur.

IV.2.1 Pola Sebagai Bentuk Daya Imanen

Multikulturalisme sebagai pedoman hidup yang berbentuk ideologi bertujuan untuk membentuk masyarakat multikultural pada tatanan kehidupan yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beberapa latar belakang kepercayaan yang berbeda. Sikap ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa umumnya memegang teguh nilai tradisi yang telah turun-temurun menjadi bagian dari nilai kehidupan yang telah disepakati.

Telah didapati bahwa masyarakat Jawa Kraton Yogyakarta memiliki ciri multikultural yang memiliki proses kekuatan pikiran atas kepercayaan yang diyakini yang dimana keyakinan tersebut akan semakin kuat. Penguatan keyakinan tersebut menjadikan masyarakat pesawah membuat sebuah artefak atau seni yang dimana didalamnya terkandung nilai-nilai yang memperkuat identitas Jawa dengan kepercayaannya.

Dalam motif batik Parang Rusak Barong terdapat pola yang melambangkan sikap konsolidasi masyarakat Jawa khususnya Kraton Yogyakarta. Sikap kepercayaan masyarakat Jawa dapat dilihat dari pembagian pola batik. Didalam pola motif batik Parang Rusak Barong dimuai dari membagi jumlah kacu.


(53)

Gambar IV.3 Pembagian mandala pada batikParang Rusak Barong Sumber: Pribadi

(4 April 2015)

Jumlah mandala pada batik sang Raja memiliki jumlah dua setengah mandala. Dalam membaca pola pikir masyarakat Jawa cukup membaca dari satu kacu/mandala saja. Mandala sebagai bentuk dari

Berikut adalah satu kacu/mandala pada bagian batik Parang Rusak Barong:

Gambar IV.4 Pembagian Pola Pada Kacu Sumber: Pribadi

(4 April 2015)

Pada pola diatas digambarkan sebuah bujur sangkar yakni bagian yang diambil dari potongan keseluruhan kain batik Parang Rusak Barong yang disebut “kacu”.


(54)

Kacu berbentuk persegi empat dimana pola ini menggambarkan “moncopat kalimo pancer” dan empat sisi dalam ruang yang memiliki pusat/pancer (peleburan dari semua hal yang saling bertentangan) bertempatpada bagian tengah kacu.

Mancapat selalu diterapkan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Paham pola pikir kosmik Jawa selalu bersandar pada konsep tersebut. Mereka memahami eksistensi bumi (dunia) dengan mengahayati konsep dari 4 sekawan yang melebur menjadi tunggal/pancer pembagian ruang menjadi empat yang daerah pinggirannya juga terbagi atas empat bagian, yang berbentuk pemahaman ruang dari arah mata angin bentuk pemahaman menurut konsep Hindhu.

Pembagian pola dimulai dari sisi atas kiri ke sisi bawah kanan yaitu garis tengah pada bagian kacu. Dihitung dari pacer atau tengah kacu terdapat 5 bagian diagonal motif Parang dalam motif Parang Rusak Barong. Kacu adalah bentuk dari daya-daya imanen dimana sesuatu selalu ada yang memulai juga selalu ada yang mengakhiri, ada sebab dan akibat. Dalam daya imanen, manusia lebih mengedepankan hidupnya pada rohaniah ketimbang duniawi. Imanen adalah hal-hal yang terdapat pada dunia manusia. Kacu adalah mandala, mandala adalah lingkaran yang tak terbatas yaitu kesatuan daya transenden dan imanen.

Gambar IV.5 Kacu dan Blumbungan sebagai bentuk dari daya imanen Sumber: Data Pribadi


(55)

Nilai yang terdapat pada kain batik hanya perlu di baca dari satu kacu/mandala yang polanya dibagi menjadi dua bagian yang masing masing terdapat lima bagian garis diagonal

Dalam satu mandala terdapat bentuk blumbungan/mlinjon sebagai daya-daya imanen. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Parang yang dihitung secara diagonal yaitu dari kiri atas ke kanan bawah arah garis diagonal adalah bentuk harmoni dari garis vertikal dan horizontal. Batik Parang Rusak Barong memiliki ketentuan bahwa daya imanen yaitu blumbungan/ mlinjon dapat dibaca dua arah yakni dari kiri atas ke kanan bawah dan dari kanan atas ke kiri bawah (arah jarum jam) hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya terdapat awal dan akhir, sebab dan akibat.

Daya imanen menggambarkan tidak hanya hidup dengan sifat-sifat tertentu tetapi juga bagaimana seharusnya manusia bersifat. Dalam motif batik Parang Rusak Barong daya-daya imanen merujuk kepada satu titik bahwa manusia memiliki permasalahan dan pola hidup dimana hal tersebut terdapat awal untuk memulai juga akhir untuk mengakhiri sebelum memulai kembali. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, imanensi menggambarkan kehidupan manusia yang berlangsung ditengah-tengah atau berada di dalam proses yang bersifat fisik atau naluri, tetapi di dalam prosesnya memiliki penilaian alamnya dan merubahnya.

IV.2.2 Pola Sebagai Bentuk Daya Transenden

Daya rohani yang bersifat Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi pusat permohonan dan kepercayaan masyarakat Jawa dalam menjalankan harmonisasi hidup yang lebih baik tertuang dalam pola visual batik Parang Rusak Barong. Daya-daya transenden yang disimbolkan dalam bentuk lingkaran dimana lingkaran bentuk “linier” tidak memiliki awal atau akhir. Bentuk transenden hadir dalam kosmologi masyarakat Jawa.


(56)

Gambar IV.6 Visualisasi daya Transenden dan Imanen Sumber: Data Pribadi

(5 Juli 2015)

Di dalam mandala terdapat susatu kesatuan dari bentuk daya-daya imanen dan transenden. Daya transenden yang tertuang pada motif batik Parang Rusak Barong berbentuk Parang dalam kesatuan hidung Gareng. Kesatuan pola ini menggambarkan sifat daya transenden yang tidak ada awal atau akhir, tidak ada sebab dan akibat juga tidak ada batas. Daya transenden adalah bentuk dari pola pikir alam bawah sadar masyarakat Jawa yang terjadi secara spontan tanpa adanya sebab, baik sesuatu yang dipikirkan atau sesuatu yang telah dialami yang tidak dapat dijelaskan sebab dan akibatnya.

Gambar IV.7 Visualisasi daya Transenden Sumber: Data Pribadi


(57)

Pada dasarnya daya transenden terbentuk atas hal yang bersifat spiritual yaitu hal-hal yang diluar daya manusia yang tujuan dasarnya untuk kebaikan hidup, berbicara hal-hal yang melampaui apa yang dilihat. Motif Parang dan hidung Gareng sebagai visualisasi dari daya transenden dapat dibaca hanya dari satu arah yaitu dari kiri bawah ke kanan atas (anti jarum jam). Dan segala sesuatunya berasal dari dunia atas.

Ornamen Parang dan hidung Gareng memiliki struktur paradoks sendiri dimana kesatuan bentuk tersebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan. Parang dan hidung Gareng sebagai bentuk visualisasi dari rohani memiliki kesatuan bentuk yaitu harmonisasi antara pria dan wanita dimana wanita menajadi simbol dari daya transenden dan pria menjadi simbol dari daya imanen.

Gambar IV.8 Visualisasi daya Transenden dan Imanen Sumber: Data Pribadi

(5 Juli 2015)

Bentuk parang dalam morif Parang Rusak Barong adalah transformasi bentuk dari laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai simbol dari rohani terletak pada bagian atas sedangkan laki-laki sebagai simbol dari duniawi terletak di bawah. Bentuk parang adalah transformasi yang menghadirkan harmoni di antara keduanya. Cara berpikir masyarakat Jawa dalam pengalaman dan penghayatan manusia dalam kehidupannya merupakan perjalanan menuju kesempurnaan. Di dalam pola parang terdapat sebuah harmonisasi yang menjadi simbol transendenitas.


(58)

Gambar IV.9 Transformasi bentuk Parang Sumber: Data Pribadi

(28 Juni 2015)

Bentuk parang yang merupakan simbol dari keagungan ini memiliki struktur mirip bentuk huruf “S”. Sebagai harmoni dari segala hal yang sifatnya berbalikan, parang menjadi pusat dari sifat transendensitas dari pola pikir masyarakat Jawa yang tertuang dalam batik Parang Rusak Barong.

Sebagai simbol, pola parang juga membentuk sebuah ritme dimana terdapat pengulangan bentuk mengikuti garis diagonal sebagai bentuk dari komposisi motif batik Parang Rusak Barong. Pengulangan bentuk yang simetris ini menggambarkan suatu aksen dari sesuatu hal yang teratur.

Pada batik Parang Rusak Barong terdapat tiga warna dasar yang merupakan warna yang mewakilkan tiga dunia yaitu:

Gambar IV.10 Warna dasar batik Parang Rusak Barong Sumber: Data Pribadi


(59)

Masyarakat Jawa yang menganut paham dinamisme dan animisme dimana masyarakat Jawa pada jama pesawah mempercayai adanya daya-daya roh yang terdapat di alam semesta juga mempercayai bahwa terdapat roh di dalam benda-benda yang di keramatkan, dan salah satu benda-benda tersebut adalah batik Parang Rusak Barong.

Namun pada jaman pra-modern seperti sekarang, masyarakat umum tidak melihat batik Parang Rusak Barong sebagaimana filosofi yang terkandung didalamnya, namun cendrung hanya melihat batik Parang Rusak Barong hanya dasi segi nilai estetisnnya saja dimana masyarakat pra-modern hanya menilai dari fungsi dan keindahan saja, namun aturan-aturan, kepercayaan, serta strata sosial yang terdapat pada batik Parang Rusak Barong sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Keraton Yogyakarta dimana masyarakat yang terdapat pada lingkungan Keraton Yogyakarta masih menjadi bagian masyarakat yang primordial dimana bertujuan untuk melestarikan kebudayaan leluhur dengan tidak ada percampuran oleh jaman pra-modern seperti pada saat ini.


(60)

BAB V

KESIMPULAN

Pola pada motif batik Parang Rusak Barong mencerminkan cara berpikir masyarakat Jawa pada jamannya. Masyarakat yang memegang paham mistis-spiritual sangat erat kaitannya dengan kepercayan “kejawen” dimana di dalam kepercayaan tersebut terdapat pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik dan keselamatan hidup. Sikap konsolidasi masyarakat Jawa dapat dilihat dari batik Parang Rusak Barong yang pada dasarnya pola pikir masyarakat Jawa didasari oleh penguatan pemikiran (keyakinan) terhadap suatu kepercayaan.

Kosmologi masyarakat Jawa pada jaman pesawah yang mengutamakan hubungan antara alam-manusia-pencipta-Nya menjadi kesatuan yang utuh ini adalah masyarakat primordial yang sampai pada saat ini memiliki tujuan untuk tetap melestarikan budaya kelompoknya, menjadikan batik Parang Rusak Barong sebagai pedoman hidup dan pengharapan yang berbentuk pola yang terdapat di dalam motif batik Parang Rusak Barong dimana arti dari makna dan simbol tersebut adalah sebagai patokan untuk menentukan strata sosial masyarakatnya.

Itu semua dapat dilihat dari bentuk pola dasar dan struktur bentuk motif batik Parang Rusak Barong. Pola dasar yang menunjukkan suatu perbedaan dimana perbedaan tersebut menjadi sebuah kesatuan. Di dalam batik Parang Rusak Barong juga terdapat warna dasar, warna-warna sakral yang melibatkan tiga daya yaitu putih sebagai bentuk dari rohani (suci), cokelat sebagai manusia, dan hitam sebagai lambang dari bumi.

Konsep keseimbangan harmoni antara dua daya dunia memiliki keterkaitan dengan sikap masyarakat Jawa yang sangat tergantung kepada alam, dan batik Parang Rusak Barong adalah bentuk dari sebuah penempatan diri dalam keselarasan kosmos. Hal ini tidak jauh berbeda dengan konsep keseimbangan Yin-Yang yang memiliki perbedaan dalam interaksi dengan dunia yang luas sebagai bagian dari sistem yang dinamis. Kedua bentuk perbedaan ini memiliki


(1)

57 kekuatan harmoni, dua hal yang berlawanan tetapi dapat saling membangun satu sama lain.

Dalam konsep kepercayaan pada motif batik Parang Rusak Barong terdapat dua simbol daya yaitu dunia atas (transenden) dan dunia bawah (imanen). Bentuk daya transenden yang di visualisasikan dengan bentuk parang menggambarkan masyarakat Jawa yang memegang kepercayaan animisme dan dinamisme yang terdapat di alam semesta ini. Dengan dua daya dunia yang berbeda menjadikan suatu harmoni kehidupan, keselarasan dan pengharapan. Dimana hal tersebut dapat dilihat dengan cara pendekatan teori paradoks.

Kasta sebagai wujud dari bentuk tingkatan strata sosial masyarakat Jawa di dalam Keraton Yogyakarta digambarkan dari ukuran simbol parang, memiliki arti yang luhur dimana semua ketentuan dan peraturan berlaku. Batik Parang Rusak Barong adalah motif yang paling besar dengan ukuran parang 25cm.

Visualisasi yang terdapat pada motif batik Parang Rusak Barong menggambarkan sebuah esensi dari makna kehidupan menurut masyarakat Jawa, dimana membetuk juga sebuah pribadi jati diri yang primordial. Dimana pola pada batik Parang Rusak Barong memberi gambaran pula tentang pola pikir masyarakat yang selalu melibatkan segala sesuatu di hidupnya dengan makro kosmos dan mikro kosmos.


(2)

58 DAFTAR PUSTAKA

Cahyandari, Agnes Gita. (2013). Nilai-nilai Luhur Pada Kain Batik. Tugas Akhir tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Ciptoprawiro, Abdullah. (2000). Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Condronegoro, Mari. (2010). Memahami Busana Adat Kraton Yogyakarta: Warisan Penuh Makna. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.

Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius. Kartikasari, Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. London: The University of Chicago

Press

Geertz, C. (1983). Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Jakob Sumardjo. (2006). Estetika Paradoks. Bandung. SUNAN AMBU: STSI Bandung

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA. (2006). Kejawen Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Narasi Yogyakarta.

Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan Mentalitasdan Pembangunan. Jakarta: Kompas Gramedia.

Koentjaraningrat. (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Langer, Susanne, K. (1957).Problems Of Arts, edition-6, Charles Seribners Sons,

NewYork.---1976 Philosophy in a New Key A Study In the Symbolism of reason, Rite, and Art : third edition, Harvard

.

Nazir, Mohammad. (1988), Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Sachri, Agus. (2007). Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.


(3)

59 Samsi, Sri Soedewi. (2006). Teknik dan Ragam Hias Batik Yogya & Solo

Jakarta: Titian Foundation

Soekanto, Soerjono. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sudaryanto, (1993). Metode danTeknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Sulaeman, M. Munandar. (2012) ILMU BUDAYA DASAR, Bandung: Percetakan Refika Aditama. Pengantar ke Arah Ilmu Sosial Budaya Dasar/ISBD/Social Cultur

Suparlan, Parsudi, (1983). Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Persepsi Antropologi Budaya, Manusia dalam Keserasian Lingkungan, Muhammad Soerjani (ed) Jakarta: Fakultas Ekonomi UI

Tri Sulistyo, Edy.2005. Tinjauan Seni Lukis Indonesia.

Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang bekerja sama dengan UPT MKU dan UNS Press.

Wulandari, Ari. (2011). Batik Nusantara-Makna Filosofis, Cara Pembuatan, Dan Industri Batik. Yogyakarta: Andi Publisher

Tatiek, dkk. (1991). Pengukuhan Nilai-Nilai Budaya Melalui Upacara Adat

Tradisional (Upacara Kesuburan Tanah “Ngalaksa” dan Upacara Bersih Desa“Syaparan”). Disbudpar.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Dina Kusuma Rahayu

NIM : 51910723

Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 17 Agustus 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Program Studi : Desain Komunikasi Visual

Fakultas : Desain dan Seni

Kewarganegaraan : WNI

Alamat : RT 01/RW 02 Donoredjo, Kec. Secang Kab. Magelang Jateng 56195

Telepon : 082242122647

Email :dina.k.rahayu@gmail.com

RiwayatPendidikan :

TAHUN PENDIDIKAN

1998-2004 SDN BATUJAJAR 3, BANDUNG BARAT

2004-2007 SMPN BATUJAJAR 2, BANDUNG BARAT

2007-2010 SMAN 4 CIMAHI