Tradisi Sekaten Di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM
PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi
Islam (S. Kom. I)

Oleh:
Sudirman
109051000065

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

ABSTRAK
Sudirman
Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi
Antarbudaya

Tradisi sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad s.a.w. Tradisi yang diadakan setiap bulan Rabiul Awal ini telah
dilaksanakan sejak kerajaan Islam Demak berdiri di Jawa. Pada intinya, tradisi ini
merupakan media dakwah yang dimanfaatkan oleh Wali Sanga dalam melakukan
dakwah di tanah Jawa. Dalam dakwahnya tersebut, para wali tidak menggunakan
cara frontal serta tidak menolak budaya lama (lokal), namun, sebaliknya para wali
tersebut bertindak arif dan bijaksana tanpa menghilangkan unsur budaya, bahkan
memberi warna dan nuansa baru Islam. Pada konteks kekinian, perayaan sekaten
tidak hanya memperlihatkan tontonan budayanya saja, namun, juga
memperlihatkan aspek hiburan dan ekonomi yang dikemas dalam bentuk pasar
malam sekaten.
Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah
bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam perspektif komunikasi
antarbudaya?
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi
antarbudaya yaitu akulturasi budaya. Unsur-unsur dari teori tersebut meliputi
pesan verbal serta nonverbal. Kemudian, unsur-unsur budaya dalam komunikasi
antarbudaya meliputi sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup
terhadap dunia, dan organisasi sosial masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan

deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada: pertama,
penelitian kepustakaan, kedua, wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang
terkait dalam tradisi sekaten, ketiga, pengambilan data-data dari media cetak
internet.
Sekaten adalah upacara dan ritual penabuhan gamelan Kiai Sekati yang
diadakan di keraton Yogyakarta setiap tahun pada tanggal 5-11 Rabiul Awal
untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan bertujuan untuk
menyebarkan agama Islam. Gamelan yang ditabuh setiap pelaksanaan sekaten
merupakan media akulturasi budaya antara Islam dengan budaya lokal Jawa. Hasil
perpaduan tersebut menghasil suatu kebudayaan baru yang yang disebut sebagai
tradisi sekaten. Secara verbal sekaten mengajak umat manusia untuk menerima
ajaran Islam secara suka rela dan sungguh-sungguh. Lalu, secara nonverbal
sekaten sebagai simbol untuk mengajak umat manusia untuk segera masuk Islam
dan melakukan sedekah terhadap harta berlebih yang dimilikinya. Kemudian,
eksistensi dari sekaten tentunya tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi
antarbudaya yang telah terbentuk sejak sekaten itu ada. Sistem kepercayaan yang
berkembang di masyarakat tentunya berpengaruh terhadap cara bersikap
masyarakat dalam kehidupan berbudaya.
Keywords: Tradisi sekaten, gamelan, Keraton Yogyakarta, komunikasi
antarbudaya.

i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaahirobbil ‘alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT
atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan tujuan untuk memenuhi
tugas akhir pendidikan Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peneliti menyadari tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai
pihak, penelitian skripsi ini tidak akan selesai, untuk itu pada kesempatan ini
peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Pudek I Dr. Suparto, M. Ed, MA, Pudek II Drs. Jumroni, M.
Si, Pudek III Drs. Wahidin Saputra, M.A.
2. Rachmat Baihaky, MA dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan
dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
3. Drs. M. Sungaidi. M.A, selaku pembimbing penulis. Tiada kata yang

pantas

terucap

selain

terimakasih

yang

sebesar-besanya

karena

kesediannya untuk meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah
memberikan ilmu yang tak ternilai.
5. Segenap staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


ii

6. Terima kasih kepada GBPH. Prabukusumo, S. Psi. yang telah memberikan
izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di Tepas Widya Budaya,
Keraton Yogyakarta.
7. KRT. Rintaiswara, KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat, Ir. Yuwono
Sri Suwito, MM dan Purwodiningrat, selaku narasumber. Terimakasih atas
kesediaan waktunya untuk wawancara dan dalam rangka pengumpulan
data-data penulis.
8. Kedua Orang Tuaku tercinta, Bapak Suprayitno dan Ibu Sismi yang
memiliki peran yang sangat penting dan tak terkira.
9. Teman-teman KPI angkatan 2009 yang telah bersama-sama berjuang dan
menimba ilmu di kampus tercinta ini.
10. Teman-teman Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi yang telah membantu
dalam kelancaran penulisan skripsi ini, jazakallah atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah
diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi semua pihak Amin.


Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 25 November 2013

Sudirman

iii

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK......................................................................................................

i

KATA PENGANTAR ....................................................................................

ii


DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .....................................................

1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...............

6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................

7

D. Metodologi Penelitian .........................................................

8


E. Tinjauan Pustaka ................................................................. 11
F. Kerangka Pemikiran............................................................ 13
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 14
BAB II

TINJAUAN TEORITIS
A. Komunikasi Antarbudaya .................................................... 17
1. Pengertian Komunikasi ................................................. 17
2. Pengertian Budaya ........................................................ 19
3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya............................. 23
B. Pesan Verbal ....................................................................... 30
C. Pengertian Pesan Nonverbal ................................................ 31
D. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya................................ 33

iv

1. Sistem Kepercayaan ...................................................... 34
2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup ....................... 36
3. Organisasi Sosial ........................................................... 39

E. Pengertian Tradisi .... .......................................................... 40
BAB III

GAMBARAN UMUM KERATON YOGYAKARTA
A. Arti Lambang Keraton Yogyakarta ..................................... 42
B. Kondisi Geografis Keraton Yogyakarta ............................... 43
C. Sejarah Singkat berdirinya Keraton Yogyakarta.................... 48
D. Struktur Pemerintahan Keraton Yogykarta .......................... 53
E. Asal-Usul Sekaten............................................................... 58

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Gamelan Sekaten Dalam Proses Akulturasi Budaya ............ 62
B. Proses Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten .................. 65
C. Prosesi Pelaksanaan Sekaten dalam Pandangan Islam........... 74
1. Tahap Persiapan ............................................................ 74
2. Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan ................... 77
3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan ke Masjid ........... 78
4. Tahap Sri Sultan Hadir di Masjid Gedhe Kauman ......... 79

5. Tahap Kondur Gongso .................................................. 80
D. Pesan Verbal dalam Tradisi Sekaten.................................... 82
E. Pesan Nonverbal dalam Tradisi Sekaten .............................. 84
F. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten ........ 87
1. Sistem Kepercayaan ...................................................... 87

v

2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup ....................... 90
3. Organisasi Sosial ........................................................... 92
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 94
B. Saran................................................................................... 96

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 97
LAMPIRAN

vi


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Setiap
daerah mempunyai kebudayaan yang menjadi identitas dari wilayahnya.
Kekayaan tersebut dapat terlihat dari beragamnya jenis tarian, lagu daerah,
upacara adat, jenis makanan, jenis pakaian, bentuk rumah, aturan adat, dan
lain sebagainya.

Inilah yang menjadikan Indonesia memiliki ragam

filosofis hidup. Hal tersebut patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi
penerusnya agar budaya tersebut tetap menjadi identitas suatu daerah dan
tidak lenyap ditelan modernisasi.
Salah satu kota yang masih sarat dengan warisan tradisi atau
budaya leluhurnya adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan salah satu
daerah di Indonesia yang masih tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai
adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. Yaitu dimulai
ketika kerajaan Majapahit hingga Mataram Islam dan lainnya menguasai
tanah Jawa. Sampai saat ini pun tradisi-tradisi yang dilakukan leluhurnya
dahulu masih tetap dilaksanakan. Ini merupakan bukti bahwa rakyat
Yogyakarta masih mencintai dan peduli terhadap budaya daerahnya.
Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang masih tetap
menjalankan sistem pemerintahan kerajaan. Ini dimulai ketika Pangeran
Mangkubumi mendirikan keraton di Yogyakarta pada tahun 1756.
Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwana I yang menjadi
1

2

raja pertama memimpin Keraton Yogyakarta setelah wilayah kerajaan
Mataram dibagi menjadi dua yaitu di Surakarta dan kedua adalah di
wilayah Yogyakarta (1755 M).
Pembagian wilayah tersebut tak lepas dari campur tangan Belanda
yang mengadakan perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi, Paku
Buwana III dan Belanda/VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Pangeran Mangkubumi ketika telah mengetahui hal itu, berusaha keras
untuk menyingkirkan Belanda dari Kerajaan Mataram. Singkat cerita,
karena Belanda terdesak oleh serangan yang dilakukan Pangeran
Mangkubumi, akhirnya Belanda mengadakan perjanjian tersebut. Isi dari
perjanjian Giyanti tersebut adalah bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi
dua yaitu setengah dari wilayah Mataram dipimpin oleh Sri Susuhunan
Paku Buwana III dengan ibu kota Surakarta, setengahnya lagi dipimpin
oleh Sri Susuhunan Kabanaran atau disebut sebagai Sri Sultan Hamengku
Buwana I dengan ibu kota Yogyakarta.1
Daerah Istimewa yang disematkan pada wilayah Yogyakarta, tidak
lepas dari sebuah perundingan yang rumit yaitu pada awal pembentukan
pemerintahan daerah. Namun, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya
Yogyakarta mendapatkan gelar Istimewa tersebut. Pemberian gelar
istimewa tersebut memang layak disematkan kepada Yogyakarta, karena
selain sebagai daerah yang menjalankan sistem monarki, daerah tersebut
juga pernah dijadikan sebagai ibu kota negara Indonesia yaitu ketika

1

Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya
Jawa (Yogyakarta: Kepel Press, 2008), h. 24.

3

keadaan ibu kota di Jakarta tidak kondusif. Selain sebagai Daerah
Istimewa, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, yaitu tempat di
mana para pemuda dan pemudi baik masyarakat Yogyakarta maupun luar
Yogyakarta menuntut ilmu. Kemudian, Yogyakarta juga dikenal sebagai
kota budaya dan juga pariwisata yang cukup terkenal tidak hanya di
Indonesia, bahkan di dunia Internasional. Di tengah perkembangan pesat
itu, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X sebagai kepala pemerintahan
daerah, tetap menjaga keutuhan budaya leluhur yang dilestarikan secara
turun-temurun. Salah satu kebudayaan yang masih dilestarikan dari awal
terbentuknya pemerintahan di Yogyakarta sampai saat ini adalah tetap
dilaksanakannya sebuah ritual tradisi yang disebut dengan sekaten.
Sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad s.a.w. Menurut sejarahnya, tradisi ini merupakan salah satu
tradisi Islam yang telah dilaksanakan pada awal pemerintahan kerajaan
Islam Demak. Tradisi ini merupakan pengembangan dari tradisi
sebelumnya yang dilakukan masyarakat Jawa yang berkeyakinan Hindu
dan Budha. Sebelumnya pada masa kerajaan Majapahit masyarakat
melakukan tradisi selamatan, namun, peruntukannya adalah untuk
persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra,
sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur. Namun, ketika kerajaan
Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Islam Demak, oleh
Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali,
perayaan tersebut selanjutnya diubah menjadi kegiatan yang bernuansa
Islami yang peruntukannya adalah untuk mencari ridha dan keberkahan

4

dari Allah SWT dan bacaan mantra-mantra diubah menjadi bacaan ayatayat Alquran.2
Unsur-unsur budaya dari tradisi yang dilakukan masyarakat pada
masa pemerintahan Majapahit tidak dihilangkan. Para Wali Sanga melihat,
bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu tidak bisa meninggalkan
aktivitas jahiliyah tersebut. Oleh karena itu, para Wali Sanga
memodifikasinya menjadi suatu aktivitas budaya yang lebih Islami tanpa
menghilangkan unsur budaya yang telah tertanam dalam hati dan pikiran
masyarakat pada saat itu.
Pada masa pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta,
tradisi ini menjadi suatu agenda rutin yang ditetapkan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwana dan Paku Buwana. Prosesi tradisi ini dilaksanakan
setiap tanggal 5 Rabiul Awal sore hari sampai 11 Rabiul Awal malam hari.
Gamelan Kanjeng Kiai Sekati atau yang disebut sebagai Kanjeng Kiai
Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dikeluarkan dari keraton dan
dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman atau Masjid Besar Keraton untuk
dibunyikan pada saat penyelenggaraan sekaten. Gamelan tersebut
digunakan untuk mengiringi gending-gending yang dilantunkan selama
tujuh hari berturut-turut secara bergantian.
Bunyi-bunyian dari gamelan tersebut tidak lain adalah untuk
menarik perhatian pengunjung yang datang ke Masjid Gedhe Kauman
untuk menyaksikan pemukulan gamelan yang diadakan selama tujuh hari.

2

Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Warna
Mediasindo, 2010), h. 55.

5

Selain itu, pada acara sekaten tersebut pengunjung tidak hanya
menyaksikan acara pemukulan gamelan, namun, juga bisa datang ke pasar
malam sekaten yang menjual jajanan khas tradisi sekaten, tentunya hal ini
menambah keriuhan dan kemeriahan dari acara sekaten itu sendiri. Pada
malam hari tanggal 11 Rabiul Awal di Masjid Gedhe Kauman, raja
keraton menghadiri acara pembacaan riwayat Nabi Muhammad s. a. w.
Kemudian, melakukan penyebaran udhik-udhik (berisi uang logam, beras,
dan bunga setaman) oleh sultan yang disebut Pasowanan Malem Garebeg
yang melambangkan sedekah raja kepada rakyatnya. Kemudian, pada hari
esoknya diadakanlah perayaan Garebeg Mulud. Ini merupakan puncak dari
perayaan sekaten. Warga dari berbagai penjuru tidak hanya dari
Yogyakarta, juga ikut memeriahkan acara yang diadakan setahun sekali
ini.
Perayaan sekaten ini telah berlangsung sejak enam abad silam.
Tradisi ini tetap bertahan karena semangat dari raja-raja Islam untuk
menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Perayaan tradisi ini tentunya
juga tidak lepas dari mitos yang berkembang kuat di masyarakat. Peneliti
dalam hal ini melihat komunikasi antarbudaya yang dibangun oleh ulamaulama keraton dahulu begitu komunikatif sehingga dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat. Kemudian, hal ini juga tidak lepas dari sistem
kepercayaan yang berkembang di masyarakat serta nilai-nilai budaya yang
masih tertanam kuat.
Dengan demikian, peneliti akan menelusuri lebih mendalam
mengenai tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta berkaitan

6

dengan makna-makna serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang ada
dalam tradisi sekaten. Oleh karena itu, peneliti membuat skripsi dengan
judul: “Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif
Komunikasi Antarbudaya”.

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan, peneliti
akan mengidentifikasi masalah yang timbul dalam judul skripsi yang
peneliti susun. Penelitian berkaitan dengan bentuk dan proses
komunikasi antarbudaya yang berlangsung pada tradisi sekaten.
Penelitian ini berangkat dari sejarah asal-usul terbentuknya tradisi
sekaten yang dibawa oleh para wali dalam menyebarkan Islam di tanah
Jawa melalui pendekatan budaya. Salah satunya media komunikasi
yang digunakan para wali untuk berdakwah adalah

alat musik

gamelan.
b. Batasan Masalah
Untuk memudahkan dalam penelitian ini, sekaligus agar terfokus
ruang lingkup penelitian, maka penulis perlu membatasi masalah pada
tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta yang dikaji
dalam perspektif komunikasi antarbudaya, meliputi pesan verbal dan
nonverbal, sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup
terhadap dunia.

7

c. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang ada,
maka pertanyaan mayornya adalah
Bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam
perspektif komunikasi antarbudaya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
Mengetahui bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam
perspektif komunikasi antarbudaya.
Manfaat
1. Akademis
Secara akademis penelitian ini akan menambah khasanah ilmu
pengetahuan budaya yaitu tentang tradisi sekaten di Keraton
Yogyakarta.
2. Praktis
Dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan masukan
positif bagi para praktisi untuk lebih mengoptimalkan nilai-nilai yang
terdapat dalam suatu kebudayaan. Betapa pentingnya komunikasi
sebagai alternatif yang positif bagi kelangsungan budaya-budaya yang
ada.

8

D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis.
Menurut Dedy N. Hidayat yang mengacu pada pemikiran Guba yang
dikutip oleh Burhan Bungin bahwa paradigma konstruktivis lebih
bersifat reflektif dan dialektikal.3 Menurut paradigma ini, antara
peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi
dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui
metode kualitatif seperti observasi partisipasi.
Dalam konteks metodologi, paradigma konstruktivis bersifat
dialektik, di mana konstruksi mental individu dibentuk dalam seting
alamiah. Kriteria kualitas penelitian dalam paradigma ini terletak pada
trustworthiness and authenticity (dapat dipercaya dan valid). Dari
dimensi aksiologi, paradigma konstruktivis menganggap nilai, etika,
dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu
penelitian, peneliti menempatkan

diri sebagai fasilitator dari

rekonstruksi, dan penelitian bertujuan untuk memberikan pemahaman
dari rekonstruksi.
2. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam
masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna
3

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2011), h. 242.

9

dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan
dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
kategorisasi tertentu.
Sasaran kajian dari pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang
berlaku sebagai prinsip-prinsip umum yang hidup dalam masyarakat.
Gejala-gejala tersebut dilihat dari satuan yang berdiri sendiri dalam
kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Sehingga pendekatan kualitatif
sering disebut sebagai pendekatan holistik terhadap suatu gejala
sosial.4
Kemudian, metode yang digunakan adalah deskriptif analisis
dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif ini
digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik
populasi tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat.
Metode deskriptif bukan saja menjabarkan, tetapi juga memadukan.
Bukan saja melakukan klasifikasi tetapi juga organisasi. Metode ini
menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah. Peneliti
bertindak sebagai pengamat. Peneliti hanya membuat kategori pelaku,
mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi. Dengan
suasana ilmiah berarti bahwa peneliti terjun ke lapangan. Peneliti tidak
memanipulasi variabel.5
3. Tempat Penelitian

4

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, h. 306.
5
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), h. 22.

10

Penelitian ini dilakukan di area keraton Yogyakarta, meliputi
wilayah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe Keraton,
dan juga wilayah utama Keraton Yogyakarta.
4. Informan
Informan yang dipilih dalam penelitian ini terdiri dari abdi dalem
keraton yang terlibat dalam kegiatan sekaten, ulama keraton,
pemerintah daerah, dan juga organisasi sosial yang turut membantu
mengamankan tradisi sekaten. Informan tersebut antara lain:
a. KRT.

Rintaiswara

sebagai

pengurus

kawedanan

Hageng

Punokawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut
berkaitan dengan data makna serta unsur-unsur komunikasi
antarbudaya.
b. Purwodiningrat sebagai Pengageng II

Kawedanan Hageng

Punakawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut
berkaitan dengan data unsur-unsur komunikasi antarbudaya.
c. KRT. Drs. H. Ahmad M. Kamaludiningrat sebagai ulama keraton.
Informan tersebut berkaitan dengan data sejarah sekaten.
d. Ir. Yuwono Sri Suwito sebagai ketua dewan kebudayaan
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Informan tersebut
berkaitan dengan data akulturasi budaya.
5. Teknik Pengumpulan Data
1) Observasi
Observasi

merupakan

metode

pengumpulan

data

yang

digunakan pada riset kualitatif. Observasi adalah interaksi dan

11

percakapan yang terjadi di antara objek yang diriset. Dalam dal
ini objek yang diamati adalah perayaan tradisi sekaten di
Keraton Yogyakarta.
2) Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan
mengajukan beberapa pertanyaan yang telah dipersiapkan.
Wawancara yang dilakukan adalah wawacara mendalam
kepada orang-orang yang terlibat dalam tradisi sekaten dengan
tujuan agar mendapat informasi yang lengkap.
3) Dokumentasi
Dukumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan pada subjek penelitian, namun melalui
dokumen.6 Pencarian data-data primer ataupun sekunder yang
dapat mendukung hasil penelitian.

E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam penelitian ini didapatkan dari perpustakaan
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yaitu:
1) Skripsi

Rinal

Rinoza

dengan

judul

“Perspektif

Komunikasi

Antarbudaya dalam Film Al-Kautsar” mahasiswa S1, jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

6

M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya, h. 87.

12

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2010.
2) Skripsi Ani Bela Safitri dengan judul “Pesan Komunikasi Antarbudaya
Seni Musik Gong Si Bolong pada Masyarakat Kota Depok”
mahasiswa S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
3) Skripsi Keriyono dengan judul “Tradisi Samenan pada Masyarakat
Sukamulya dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya” mahasiswa
S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2009.
Ketiga skripsi tersebut berbicara tentang komunikasi antarbudaya.
Namun, yang membedakan dengan penelitian penulis adalah terletak pada
subjek dan objeknya. Subjek dari penelitian penulis adalah tradisi sekaten
yang diadakan di Keraton Yogyakarta. Sedangkan objeknya adalah
mengenai komunikasi antarbudaya.

13

F. Kerangka Pemikiran

Keraton Yogyakarta merupakan tempat di mana raja serta
kerabatnya tinggal serta tempat mengatur jalannya pemerintahan daerah.
Selain itu, keraton ini juga sebagai tempat tujuan pariwisata budaya.
Budaya-budaya yang ada di Yogyakarta saat ini tetap lestari meski
bersanding dengan perkembangan teknologi yang semakin modern. Hal ini
tentunya tidak lepas dari peran raja serta masyarakat Yogyakarta sendiri
dalam menjaga dan melestarikan budaya leluhur.
Salah satu budaya yang masih lestari hingga kini adalah perayaan
sekaten. Perayaan sekaten ini telah ada sejak kerajaan Yogyakarta berdiri
tahun 1755. Sekaten memiliki makna tersendiri yaitu sebagai wujud
kecintaan

umat

Islam

kepada

Nabi

Muhammad

s.a.w.

Dalam

pelaksanaannya, prosesi sekaten ini dilaksanakan selama tujuh hari
dimulai dari tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai 11 Mulud (Rabiul
Awal). Selama tujuh dari tersebut, gamelan Kiai Sekati dibunyikan secara

14

terus menerus. Para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan
melaksanakan tugasnya secara bergantian. Apabila waktu sholat tiba,
maka pemukulan gamelan dihentikan sejenak.
Yang hadir dalam perayaan sekaten ini tidak hanya dari masyarakat
yang tinggal di Yogyakarta, namun, dari luar Yogyakarta juga ikut
merayakan. Dalam perayaan tersebut tentunya terjadi komunikasi
antarbudaya, yaitu komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang
berbeda latar belakang budaya. Namun, perbedaan tersebut tidak
menjadikan pembatas, melainkan menjadikan suatu ikatan yang kuat
seperti yang tertulis dalam lambang burung Garuda yang menjadi lambang
negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda
namun tetap satu.
Dalam pelaksanaannya, bunyi gamelan tersebut mempunyai makna
dan pesan tertentu, baik itu pesan secara verbal maupun nonverbal. Intinya
adalah untuk dakwah mengajak umat Islam di Yogyakarta untuk mencintai
dan meneladani Nabi Muhammad s.a.w. Terdapat unsur-unsur budaya
yang

memengaruhi

berkembangnya

tradisi tersebut yaitu

sistem

kepercayaan masyarakat, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia
dan organisasi sosial.

G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan skripsi
ini, maka penulis membuat sistematika penulisan pada skripsi sebagai
berikut:

15

Penulis memulai dengan Bab I, yaitu Pendahuluan, yang
menguraikan latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan
sistematika penelitian yang merupakan gambaran umum dalam penulisan
skripsi.
Selanjutnya, Kajian Teoritis penulis tempatkan pada Bab II, yaitu
menjelaskan teori-teori yang relevan digunakan dalam penulisan skripsi
untuk menganalisa dan merancang informasi yang diperoleh dari berbagai
sumber seperti buku referensi maupun internet yang menjadi landasan
dalam penulisan skripsi ini di antaranya teori tentang komunikasi
antarbudaya, bahasa, pesan verbal dan nonverbal serta unsur-unsur
komunikasi antarbudaya.
Lebih jauh, Gambaran Umum Keraton Yogyakarta

yaitu

membahas tentang kondisi geografis Keraton Yogyakarta, penulis
tempatkan pada Bab III. Selain itu, pada bab ini juga membahas mengenai
arti dari lambang Keraton Yogyakarta. Lalu, membahas kondisi geografis
dari Keraton Yogyakarta. Kemudian, membahas sejarah dari Keraton
Yogyakarta.

Terakhir,

membahas

struktur

pemerintahan

Keraton

Yogyakarta serta asal-usul tradisi sekaten.
Adapun temuan dan Analisis Data dari keseluruhan skripsi ini ada
pada Bab IV yang membahas hasil dari temuan data dan analisis data
yakni proses komunikasi antarbudaya dalam tradisi sekaten. Unit analisis
yang digunakan adalah pesan verbal dan nonverbal dalam tradisi sekaten
serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya meliputi sistem kepercayaan,

16

nilai-nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia dan organisasi sosial
dalam tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta.
Akhirnya Bab V Penutup, yaitu berisi kesimpulan dari penulisan
skripsi ini dan saran yang diharapkan berguna bagi penulis dan pihak
Keraton Yogyakarta serta peneliti selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Komunikasi Antarbudaya
1. Pengertian Komunikasi
Dari sudut bahasa komunikasi merupakan terjemahan dari bahasa
Inggris communication.1 Communication ini berasal dari perkataan
Latin:


Communicare,

yang

berarti:

berpartisipasi

ataupun

memberitahukan.


Communis, yang berarti: milik bersama ataupun berlaku di
mana-mana.



Communis Opinio, yang berarti: pendapat umum ataupun
pendapat mayoritas.

Pengertian komunikasi secara istilah menurut Roudhonah adalah
suatu proses di mana seseorang komunikator menyampaikan pesannya,
baik dengan lambang bahasa verbal maupun dengan isyarat, yang
antara keduanya sudah terdapat kesamaan makna, dan keduanya dapat
mengerti apa yang sedang dikomunikasikan.
Selanjutnya adalah beberapa pengertian komunikasi menurut
beberapa pendapat para ahli, antara lain:

1

Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN PRESS, 2007), h. 27.

17

18

Carl I. Hovland:
Komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain.2
Raymond S. Ross
Komunikasi adalah proses transaksional yang meliputi
pemisahan, dan pemilahan bersama lambang secara kognitif,
begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan
dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan
yang dimaksud oleh sumber.3
Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II:
Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi, gagasan,
dan perasaan.4
Wilbur Schramm:
Komunikasi merupakan kontak antara pengirim dan penerima,
dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki
beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan
dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta
ditafsirkan oleh penerima.5

2

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), h. 10.
3
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 3.
4
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LkiS,
2003), h. 3.
5
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 2.

19

Everett M. Rogers:
Mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses di mana
suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau
lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.6
Theodore M. Newcomb:
Bahwa setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu
transmisi informasi, terdiri dari rangsangan yang diskriminatif
dari sumber kepada penerima.7
Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Komunikasi diartikan sebagai pesan atau berita antara dua
orang atau lebih sehingga pesan tersebut dapat dipahami dan
dimengerti.8

2. Pengertian Budaya
Secara etimologi9 (bahasa) kebudayaan berasal dari akar kata
budaya (Bahasa Sansekerta) “Bodhya” yang diartikan pikiran dan akal
budi. Secara terminologi10 (istilah), kebudayaan dapat diartikan
sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran, struktur
aturan, kebiasaan, nilai, pengolahan informasi, dan pengalihan pola6
7

Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 21.
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya, 2007), h.

68.
8

Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 585.
9
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan
Aplikasinya (Jakarta: Jala Permata, 2008), h. 32.
10
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan
Aplikasinya, h. 32.

20

pola konvensi (kesepakatan) pikiran, perkataan dan perbuatan/tindakan
yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat.
Dalam buku Johanes Mardimin “Jangan Tangisi Tradisi”,11
memberikan definisi
“...Kebudayaan yang dirumuskan melalui pendekatan filosofis dan
sosiologis. Secara filosofis, kebudayaan berbicara tentang
keistimewaan manusia jika dibandingkan dengan makhlukmakhluk lain. Secara sosiologis dapat dirumuskan bahwa
kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup manusia yang dianut
bersama dalam suatu masyarakat guna mencapai taraf hidup yang
lebih baik,...”
Selanjutnya adalah beberapa paparan definisi budaya menurut para
ahli, di antaranya adalah sebagai berikut:
Ki Hajar Dewantara:
Kebudayaan

adalah

buah

budi

manusia

dalam

hidup

bermasyarakat.12
Koentjaraningrat:
Kebudayaan adalah seluruh sistem, gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia.13
Sutan Takdir Alisjahbana:
Kebudayaan adalah manisfestasi dari cara berfikir.14
The American Herritage Dictionary:

11

Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat
Indonesia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 11.
12
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24.
13
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24.
14
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 333.

21

Kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku
yang

dikirimkan

melalui

kehidupan

sosial,

seni,

agama,

kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia atau
suatu kelompok manusia.15
Tylor:
Budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan serta kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat.16
Cialdini:
Kebudayaan sama halnya dengan terminologi, sebuah kepercayaan,
adat-istiadat, kebiasaan, dan bahasa yang diwariskan dalam
kehidupan masyarakat pada situasi dan tempat tertentu.17
Agama Sebagai Sebuah Budaya
Ada pandangan seorang antropolog yang berbicara mengenai
agama sebagai bagian dari budaya. Menurut Edward Norbeck dalam
buku Bustanuddin Agus mengatakan, “...agama adalah buatan manusia
dan di mana pun banyak kesamaannya. Sebagai suatu ciptaan manusia,
agama adalah bagian dari budaya, bagian ciptaan manusia secara
universal,...”18

15

Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24.
Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health (USA: Cambridge University
Press, 2006 ), h. 4.
17
Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health, h.5.
18
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi
Agama (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), h. 33.
16

22

Dari pernyataan yang disebutkan oleh Edward tersebut tentu
menimbulkan kontra di kalangan peneliti antropolog penganut agama
tertentu karena hal tersebut dapat diartikan bahwa ajaran agamanya
hanyalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu, pernyataan
tersebut dianggap kurang tepat dengan pendekatan ilmiah. Menurut
Hilman Hadikusuma menyatakan “...agama budaya adalah petunjuk
hidup yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Ada pula
kebudayaan agama adalah hasil kreasi manusia beragama,...”19
Kemudian, kembali pada definisi tentang budaya sebelumnya.
Budaya adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia. Agama yang ada
di bumi dibagi menjadi dua kategori yaitu ada yang disebut sebagai
agama Samawi dan agama Ardhi. Agama samawi adalah agama yang
diturunkan dari Allah SWT melalui malaikat Jibril disampaikan
kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan disebar kepada umat Islam. Lalu,
agama Ardhi adalah agama yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Dari kacamata agama, Islam bukanlah suatu kebudayaan, karena
Islam bukanlah hasil dari produk manusia. Islam merupakan agama
yang isi ajaran-ajarannya berasal dari Allah SWT. Namun, dalam
Islam itu sendiri mengajarkan kepada penganutnya untuk menjadi
manusia yang berbudaya. Islam mendorong para pemeluknya untuk
menciptakan kebudayaan dari berbagai segi. Namun, dari kacamata
budaya Islam dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya karena
19

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi
Agama, h. 33.

23

dalam Islam tersebut terdapat nilai-nilai serta ajaran-ajaran yang
bepengaruh terhadap kehidupan manusia.
Atas dasar telah diakuinya sebagian adat-istiadat menjadi bagian
dari ajaran Islam, pada masa Nabi Muhammad s.a.w., Khulafaur
Rasyidin, dan Imam Mazhab, maka, pada kurun waktu berikutnya para
ahli fiqih memformulasikan kaidah hukum yang berbunyi al-‘addah
muhakkamah (adat dapat menjadi sumber penetapan hukum). Para ahli
fiqih melihat bahwa prinsip-prinsip adat merupakan salah satu sumber
hukum Islam yang sekunder, bukan yang primer.20 Artinya sumber
hukum adat dapat berlaku ketika sumber hukum primer (Alquran dan
Hadis) tidak dapat menjawab permasalahan yang muncul.
Selanjutnya menurut Nourouzzaman Shiddiqi yang dikutip oleh
Muhaimin, ciri-ciri kebudayaan Islam adalah:21
a. Bernafaskan tauhid, karena tauhid yang menjadi pokok dari
ajaran Islam.
b. Hasil buah pikir dan pengolahannya adalah dimasukkan untuk
meningkatkan

kesejahteraan

dan

membahagiakan

umat

manusia.

3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi
langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia
20

Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah
Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 7.
21
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, h. 341.

24

atau kelompok sosial. Perlintasan komunikasi tersebut menggunakan
kode-kode pesan, baik secara verbal dan nonverbal,

yang secara

alamiah digunakan dalam semua konteks komunikasi.22
Larry A. Samovar23 dalam bukunya Understanding Intercultural
Communication menyatakan bahwa komunikasi antaretnik biasanya
terjadi pada situasi di mana komunikator dan komunikan yang
memiliki kesamaan ras tetapi berbeda asal usul etnik atau latar
belakang. Ras24 merupakan sekelompok orang yang ditandai dengan
ciri-ciri biologis yang sama. Kemudian, kelompok etnik25 adalah
kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal usul yang sama.
Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang
dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan yang
berbeda.26 Dalam komunikasi yang terjadi antara dua budaya yang
berbeda itu, maka aspek budaya seperti bahasa, isyarat nonverbal,
sikap, kepercayaan, watak, nilai, dan orientasi pikiran akan lebih
banyak ditemukan sebagai perbedaan yang besar yang sering kali
mengakibatkan terjadinya distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam
masyarakat yang bagaimanapun berbeda kebudayaan, tetap akan

22

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 12.
Larry A. Samovar, Understanding Intercultural Communication (USA: Wadsworth
Publishing Company, 1981), h. 35.
24
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan
Aplikasinya, h. 18.
25
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan
Aplikasinya, h. 18.
26
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan
Aplikasinya, h. 19.
23

25

terdapat

kepentingan-kepentingan

bersama

untuk

melakukan

komunikasi.27
Selanjutnya adalah beberapa definisi komunikasi antarbudaya
menurut beberapa ahli, di antaranya yaitu:
Definisi menurut Gerhard Maletzke:
Komunikasi

antarbudaya

diartikan

sebagai

komunikasi

antarmanusia yang berbeda budayanya.28
Definisi menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa:
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang
yang berbeda kebudayaan.29
Samovar dan Porter:
Komunikasi antarbudaya terjadi di antara produsen pesan dan
penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.30
Charley H. Dood:
Komunikasi antarbudaya melibatkan peserta komunikasi yang
mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan
pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang memengaruhi
perilaku komunikasi para peserta.31

27

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), h.

16.
28

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya,, h. 16.
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan
Aplikasinya, h. 20.
30
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h. 10.
31
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 11.
29

26

Komunikasi adalah transaksi.32 Dengan transaksi dimaksudkan
bahwa komunikasi merupakan suatu proses, bahwa komponenkomponennya saling terkait, dan bahwa para komunikatornya beraksi
dan bereaksi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. Jadi, pada
hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses
komunikasi lain, yakni proses yang interaktif dan transaksional serta
dinamis.33
Berlangsungnya komunikasi antarbudaya adalah jika antara
komunikator dan komunikan mengadakan kesamaan makna/arti
dengan orang yang diajak komunikasi. Menurut Wilbur Schramm
seperti yang dikutip oleh Roudhonah menyatakan “...komunikasi akan
berhasil apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan
kerangka acuan (frame of reference) yakni kumpulan pengalaman dan
makna (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh
komunikan,...”34 Oleh karena itu, apabila antara komunikator dengan
komunikan atau antara salah satunya saja sudah saling mengerti
perbedaan di antara masing-masing, maka komunikasi akan terjalin
dengan baik.
Mohammad Shoelhi dalam bukunya “Komunikasi Internasional”,
fungsi-fungsi komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut:
a. Fungsi identitas sosial

32

Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia (Tangerang Selatan: Karisma, 2011), h.

33

Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 24.
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 47.

47.
34

27

Dalam komunikasi antarbudaya terdapat berberapa perilaku
komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan
identitas diri maupun identitas sosial.35
b. Fungsi kognitif
Tidak dapat dibantah bahwa komunikasi dapat menambah dan
memperkaya pengetahuan bersama.36
c. Melepaskan diri
Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain sekedar
untuk

melepaskan

diri

dari

berbagai

masalah

yang

menghimpit.37
d. Integrasi sosial
Esensi dari integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan
persatuan antarpribadi, antarkelompok, namun, tetap mengakui
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur dalam
kelompok sosial.38
e. Sosialisasi nilai
Tanpa disadari ketika ada pergelaran wayang golek atau tarian
Jawa atau pertunjukkan musik rock, di situ ada nilai-nilai yang
ditransformasikan kepada penonton.39
f. Pengawasan

35

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2009) h. 38.
36
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38.
37
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38.
38
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.
39
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.

28

Komunikasi juga berfungsi untuk melakukan pengawasan.40
g. Menjembatani
Komunikasi juga berfungsi sebagai jembatan atas perbedaan
antara

para peserta komunikasi yang saling berupaya

menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga
hubungan dapat terjalin dengan baik melalui simbol-simbol
yang bermakna sama.41
Akultusari Budaya
Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendatang
untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya lokal.42
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang pendatang.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambanglambang masyarakat lokal yang signifikan. Sebagaimana orang-orang
pribumi memperoleh pola-pola budaya pendatang lewat komunikasi.
Sebaliknya, seorang pendatang pun memperoleh pola-pola budaya
pribumi lewat komunikasi.
Akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang
dimodifikasi melalui kontak dan pemaparan langsung dengan kultur
lain. Menurut Kim dalam buku Komunikasi Antarmanusia menyatakan
bahwa “...penerimaan kultur baru bargantung pada sejumlah faktor.
Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah

40

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.
42
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Komunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 139.
41

29

akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula mereka yang terdidik
dan lebih muda lebih cepat terakulturasi dari pada mereka yang lebih
tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian juga berpengaruh.
Orang yang senang mengambil resiko dan berpikiran terbuka, lebih
mudah terakulturasi,...”43
Potensi akulturasi seorang pendatang sebelum bermigrasi dapat
mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi.
Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut.
1. Kemiripan antara budaya asli (pendatang) dan budaya lokal.
2. Usia pada saat bermigrasi.
3. Latar belakang pendidikan.
4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan
toleransi.
5. Pengetahuan tentang budaya lokal sebelum bermigrasi.
Asimilasi (Pembauran)
Asimilasi adalah tujuan penting akulturasi yang secara teoritis
mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi adalah tujuan
sepanjang hidup. Mengutip makna asimilasi dari skripsi Ali Abdul
Rodzik “...asimilasi adalah proses sosial yang timbul apabila ada
golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan berbeda-beda,
saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama,
sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing43

Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia: Edisi Kelima (Tangerang: Karisma,
2011), h. 535.

30

masing

berubah

wujudnya

menjadi

unsur-unsur

kebudayaan

campuran,...”44
Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan
antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas
antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri
dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya
dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain.45
Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:
1. Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan
berbeda
2. Terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif
dan dalam waktu yang relatif lama
3. Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah
dan menyesuaikan diri

B. Pesan Verbal
Pesan verbal dapat diartikan sebagai pesan-pesan komunikasi
dalam bentuk kata-kata. Pesan tersebut bisa dalam bentuk tulisan maupun

44

Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan
Srengseng Sawah),” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2008), h. 18.
45
Wikipedia, “Asimilasi (Sosial),” artikel diakses pada 26 Januari 2014 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Asimilasi_(sosial)

31

ucapan lisan dari komunikator kepada komunikan. Secara etimologis,46
kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word
merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’
yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian atau
peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau
penghubung sebuah predikat. Kata verbal sendiri berasal dari bahasa
Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’
atau ‘bermakna melalui kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang
digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering
berbentuk percakapan lisan dari pada tulisan.
Pesan komunikasi verbal adalah sarana utama untuk menyatakan
pikiran, perasaan, dan harapan kepada orang lain. Pesan verbal
menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas
yang ada pada diri seseorang. Kata-kata sebagai ungkapan perasaan dapat
dikemas dalam dua cara yaitu secara vokal atau lisan atau nonvokal atau
tertulis.

Komunikasi

verbal

adalah

komunikasi

dengan

cara

menyampaikan pesan kata-kata yang diucapkan.47

C. Pesan Nonverbal
Secara

sederhana,

komunikasi

nonverbal

adalah

proses

penyampaian pesan tidak menggunakan kata-kata (bahasa) melainkan

46
47

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 135.
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 128.

32

dengan isyarat-isyarat yang dapat dipahami.48 Pesan nonverbal berupa
isyarat, simbol, lambang yang dikirim oleh seseorang kepada orang lain,
dapat berupa isyarat bersuara (verbal) maupun tanpa suara (nonverbal).49
Kemudian, menurut Tubb dan Carter seperti yang dikutip oleh
Suranto AW,50 memberikan definisi “jika suatu pesan tidak diucapkan
secara lisan maupun tertulis maka pesan tersebut diungkapkan dengan
menggunakan bahasa nonverbal”. Sementara itu, Arni Muhammad
mengatakan yang dimaksud komunikasi nonverbal adalah penciptaan dan
pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, melainkan
menggunakan bahasa isyarat seperti gerakan tubuh, sikap tubuh, vokal
yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak,
sentuhan dan sebagainya.
Menurut Back seperti yang dikutip oleh Alo Liliweri,51 bahwa
pesan nonverbal itu sangat penting bagi pengembangan perilaku sosial,
khususnya dalam menyatakan emosi. Friedman juga mengembangkan
gagasan ini dalam sejumlah paper yang menekankan pada kemampu