P ENYUNTING DAN K ATA P ENGANTAR : D R . M. S YAFI ’ I A NWAR P ENYELARAS A KHIR : A HMAD S UAEDY ,R UMADI ,G AMAL R ERDHI D ESAIN C OVER : M. N OVI ,W IDHI C AHYA L AY - OUT :H ANUNG S ETO , M. I SNAINI “A MAX ’ S ” EDISI DIGIT AL R EDESAIN COVER DAN

DEMOCRACY PROJECT

kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada. 13

Pandangan Gus Dur tersebut di atas, sebenarnya tertuju kepada kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama bisa dikategorikan sebagai neo-fundamentalisme. Ini mengingatkan saya pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap kebangkitan neo-fundamentalis Islam. Rahman menilai, keberadaan neo-fundamentalisme Islam di berbagai negeri Muslim, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neo-fundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman menilai kelompok neo-fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh Al Qur’an dan budaya

13 Untuk memahami gerakan Islam radikal atau fundamentalis Islam, ada sejumlah ciri penting yang melekat dalam kelmpok ini. Ciri yang tama adalah

berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan seperti itu, menurut mereka sangat perlu demi menjaga kemurnian doktrin Islam secara utuh (kaffah). Menurut kaum Islam radikal, doktrin-doktrin yang terdapat di dalam Qur’an dan Sunnah adalah doktrin yang bersifat universal dan telah mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia dan berlaku tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Bagi kelmpok Islam radikal fundamentalis yang penting adalah ketaatan mutlak kepada wahyu Tuhan, yang berlaku secara universal. Bagi kaum fundamentalis, iman dan ketaatan terhadap wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an dan praktek Sunnah Nabi lebih penting daripada penafsiran-penafsiran terhadap kedua sumber utama pedoman kehidupan ummat Islam itu. Kecenderungan doktriner seperti ini terutama sekali dilandasi oleh sikap untuk memahami dan mengamalkan doktrin secara murni dan totalitas.Untuk uraian yang bagus mengenai hal ini, lihat William

E. Shepard, “Islam and Ideology: Towards Typology” dalam International Journal of Middle Eastern Studies, No.19, 1987. Bandingkan dengan Bruce Lawrence, Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against the Modern Age, New York: I.B. Tauris, 1990, hal.40.

xxxii / ABDURRAHMAN WAHID

DEMOCRACY PROJECT

intelektual tradisional Islam. 14 Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan

Pribumisasi, Bukan Arabisasi

Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderung- an semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad” untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolah-olah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan berkurang karenanya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu- satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal Arabisasi bukanlah Islamisasi.

Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah diungkapkan pada tahun 1980-an, yakni ketika ia mengung- kapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor– faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang

14 Fazlur Rahman, “Roots of Islamic Neo-Fundamentalism”, in Philip H. Stoddard, et.al., (eds), Change and the Muslim World, Syracuse, N.Y: Syracuse

University Press, 1981. pp.25-26.

ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA / xxxiii

DEMOCRACY PROJECT

disebutnya dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi antara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan– kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal yang diya- kini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya de- ngan Islam, yang lalu membentuk panteisme. 15

Mencari Perdamaian

Masalah terakhir yang dibahas Gus Dur dalam kumpulan tulisan ini adalah Islam dan hubungannya dengan pedamaian dan masalah-masalah internasional. Dalam kumpulan tulisan ini nampak jelas sikap Gus Dur terhadap perdamaian dunia mendorong upaya-upaya ke arah perwujudan perdamaian di dunia. Tanpa ragu Gus Dur mengecam invasi AS ke Irak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein. Peperangan yang tidak seimbang itu memang berhasil menumbangkan rezim diktator Saddam Hussein. Bahkan dalam

15 Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh, eds, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M,

xxxiv / ABDURRAHMAN WAHID

DEMOCRACY PROJECT

perkembangannya kemudian, militer AS berhasil menangkap hidup-hidup Saddam Hussein. Ini mungkin tidak menjadi prediksi Gus Dur ketika ia menurunkan kolom-kolomnya di media massa, dan juga perhitungan para pengamat, bahwa Saddam akhirnya tertangkap dalam keadaan yang penuh dengan ironi. Tetapi masalahnya tidak akan berhenti di sana. Gus Dur pernah memperkirakan, masalah-masalah baru akan terus bermunculan, seiring dengan kondisi obyektif yang ada di Irak pasca pendudukan AS dan tentara sekutu di negeri Se- ribu Satu Malam itu. Dan ternyata apa yang terjadi di Irak se- karang adalah sebuah drama peperangan, pendudukan, dan perlawanan yang sepertinya tak berujung.

Ada beberapa hal lain tentang masalah internasional yang disorot oleh Gus Dur, seperti kritiknya terhadap mantan Perdana Menteri (kini Menteri Senior) Singapura Lee Kuan Yew yang dini- lainya terlalu provokatif dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Lee juga dikritik oleh Gus Dur karena pandangannya yang stereotipe dan agak misleading terhadap Islam Sunni di Indonesia. Namun Gus Dur sadar pandangan Lee yang salah terhadap Islam di Indonesia itu karena kurangnya pengetahuan mantan PM Singapura itu tentang dinamika dan perkembangan Islam di Indonesia.

Memang ada masalah internasional lain yang dibahas oleh Gus Dur, tetapi dalam kumpulan tulisannya kali ini ia lebih menyorot perlunya upaya-upaya untuk mengembangkan dunia yang damai dan jika mungkin jauh dari peperangan dan keke- rasan. Ia memang concern dengan perdamaian dunia, dan per- caya bahwa agama maupun tokoh-tokohnya bisa berperan aktif dalam mengusahakan perdamaian dunia. Tetapi, seperti sebuah judul tulisannya dalam buku ini, “Dicari Perdamaian, Perang Yang Didapat”. Ada nada getir dalam tulisannya itu. Dan seperti halnya Gus Dur, kita juga tidak tahu akan seperti apa masa depan sejarah dunia di abad ke 21 jika perang menjadi alternatif yang gampang dicetuskan, ketimbang usaha-usaha kolektif untuk mewujudkan perdamaian.

ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA / xxxv

DEMOCRACY PROJECT

Sebuah Bingkai Pemikiran

Bagi mereka yang mengikuti secara intens pemikiran politik Gus Dur, buku ini memang belum bisa memetakan bingkai pe- mikirannya dengan utuh. Bisa jadi karena cakupan persoalan yang dibahas cukup luas dan beragam, sehingga agak sulit untuk menganalisis secara terstruktur dan lebih memfokus. Demikian pula bagi pembaca yang ingin mendapatkan pembahasan yang tuntas, apalagi dengan mengidealisasikan penggunaan disiplin akademis yang ketat, jelas tidak atau belum mendapatkannya di sini. Sebab buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel yang dibatasi oleh aktualitas peristiwa, waktu penulisan, dan keter- sediaan halaman media tempat Gus Dur menuliskan gagasan- gagasannya. Mudah-mudahan dengan penerbitan kumpulan tulisan ini akan memudahkan Anda memahami konstruk dan prisma pemikiran Gus Dur yang luas itu, sekalipun itu ditulis melalui kolom-kolom lepas di berbagai media.

Akhirnya dengan terus terus terang saya nyatakan bahwa sekalipun buku ini memuat pemikiran penting dan visioner, tentu tidak terlepas dari kekurangan. Lazimnya sebagai sebuah kumpulan tulisan, ada sejumlah repetisi atau pengulangan baik dalam ide maupun penyajian di sana-sini. Pengulangan itu dimungkinkan terjadi karena meskipun tema pokok atau topik yang diulas berbeda judulnya, substansi dan missi yang disampaikan kemungkinan menggunakan referensi yang sama. Sementara itu, produktivitas Gus Dur sebagai penulis prolifik ternyata sangat mencengangkan. Menurut penuturannya, dalam satu minggu ia menulis antara dua atau tiga kali, bahkan terkadang hingga empat kali, di media yang berbeda, baik nasional maupun lokal. Padahal kita tahu, meskipun sudah tidak menjabat sebagai presiden, kesibukan tokoh yang satu ini tidaklah berkurang. Ia masih sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbagai kota dan pelosok tanah air, baik untuk memenuhi undangan-undangan seminar atau pertemuan

xxxvi / ABDURRAHMAN WAHID

DEMOCRACY PROJECT

internasional, maupun untuk menjadi penceramah dalam pengajian atau melakukan kegiatan sosial-politiknya sebagai Ketua Dewan Syura PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Toh sesibuk apa pun, Gus Dur tetap meluangkan waktunya untuk menulis artikel. Sebuah kegiatan yang tidak mudah dilakukan banyak oleh orang. Sebagai intelektual dan sekaligus pemimpin serta politisi, Gus Dur sangat menyadari pengaruh dari ide-ide dan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk tulisan. Hal lain yang tak boleh dikesampingkan adalah leverage atau pengaruh Gus Dur di mata warga nahdliyyin dan publik Indonesia lainnya.

Bagaimana pun, paling tidak menurut saya selaku pe- nyunting, tulisan-tulisan Gus Dur tetap enak dibaca dan gampang dicerna. Mudah-mudahan ini bukanlah sebuah apologia karena ketidak sempurnaaan saya selaku penyunting. Wallahu alam bi al sawab.

Jakarta, akhir Maret 2005

ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA / xxxvii

DEMOCRACY PROJECT

xxxviii / ABDURRAHMAN WAHID

DEMOCRACY PROJECT U CAPAN T ERIMA K ASIH

terima kasih yang tulus kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gus P

roses penyuntingan dan penerbitan buku tak mungkin terwujud tanpa bantuan dan kerjasama dengan banyak pihak. Untuk itu pertama-tama saya ingin mengucapkan

Dur) yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi penyunting sekaligus memberikan kata pengantar untuk buku ini. Juga kepada Mbak Sinta Nuriyah telah memungkinkan saya bisa banyak bertemu dan berbincang lama dengan Gus Dur dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam suasana kekeluargaan bersama sahabat saya Dr. Greg Barton. Kepada Mas Munib dan Mas Sulaiman yang acapkali membantu mengatur jadwal perte- muan saya dengan Gus Dur, saya juga mengucapkan banyak terima kasih.

Terima kasih yang tulus juga saya sampaikan kepada Yenni Zannuba Wahid, Mas Ahmad Suaedy, Nunik, Gamal, Rifa dan lain-lain dari The Wahid Institute atas kerjasamanya yang amat baik dalam proses penyuntingan dan penerbitan buku ini. Kesa- baran dan pengertian mereka yang menggembirakan telah banyak membantu saya untuk mengerjakan penyuntingan dan penerbitan buku ini. Tanpa kerja keras mereka, penerbitan buku ini mungkin akan tertunda-tunda. Akhirnya, saya perlu berterima kasih kepada teman-teman di ICIP (International Center for Islam and Pluralism ), yang selalu memberikan suasana nyaman dan penuh gairah dalam kerja-kerja intelektual seperti ini. Kepada Syafiq, Ebi, Nia, dan Nur, saya mengucapkan terima kasih yang tulus. Juga kepada Putri dan Hadi yang telah membantu me- nyiapkan pekerjaan-pekerjaan teknis berkaitan dengan proses penulisan kata pengantar buku ini.

MSA (Penyunting)

ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA / xxxix

DEMOCRACY PROJECT

xl / ABDURRAHMAN WAHID

DEMOCRACY PROJECT