Dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja ekonomi subsector peternakan di Indonesia

DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING
SAPI TERHADAP KINERJA EKONOMI
SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA

KUSRIATMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Dampak Kebijakan
Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014
Kusriatmi
NRP : H363090231

RINGKASAN
KUSRIATMI. Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja
Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia. Dibimbing oleh RINA
OKTAVIANI, YUSMAN SYAUKAT, dan ALI SAID.
Komoditas sapi potong mempunyai peranan yang strategis dalam
perekonomian Indonesia. Selain kontribusinya terhadap pembentukan PDB dan
kesempatan kerja pada subsektor peternakan, daging sapi juga merupakan salah
satu sumber protein hewani. Konsumsi daging sapi di Indonesia cenderung
meningkat dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pertumbuhan produksi daging sapi
domestik relatif lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan konsumsi.
Hal ini menyebabkan impor semakin meningkat. Untuk mendorong produksi
daging sapi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap daging sapi impor,
pemerintah mencanangkan Kebijakan Swasembada Daging Sapi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengkaji dampak kebijakan

swasembada daging sapi terhadap produksi daging sapi nasional dan kinerja
subsektor peternakan di Indonesia, 2) mengevaluasi dampak kebijakan
swasembada daging sapi terhadap tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen
daging sapi serta penghematan devisa di Indonesia, dan 3) meramalkan produksi
dan permintaan daging sapi dalam kerangka pencapaian swasembada daging sapi
di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan sistem
persamaan simultan. Data yang digunakan merupakan data time series tingkat
nasional selama periode 1990 – 2011. Berdasarkan kriteria order condition,
persamaan dalam model teridentifikasi secara berlebih (over identified). Estimasi
parameter menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan teknologi melalui
peningkatan dosis IB, peningkatan impor sapi bibit, dan kebijakan subsidi suku bunga
pinjaman pada bank akan mendorong produksi ternak sapi dan daging sapi serta
menurunkan impor sapi bakalan dan impor daging sapi. Peningkatan produksi ternak
sapi mendorong peningkatan GDP dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan.
Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dan impor daging sapi akan meningkatkan
produksi daging sapi namun menurunkan populasi dan produksi ternak sapi, sehingga
menurunkan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan.
Kombinasi kebijakan dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi

akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menghemat devisa. Kombinasi
kebijakan belum mampu mewujudkan swasembada daging sapi di Indonesia pada
tahun 2014. Diperkirakan Indonesia akan mencapai swasembada daging sapi pada
tahun 2021.
Pembatasan impor baik sapi bakalan maupun daging sapi secara bertahap
dan diikuti dengan peningkatan teknologi yang lebih baik serta penyediaan sapi
bibit yang lebih besar berdampak positif terhadap kinerja industri sapi potong dan
subsektor peternakan serta pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia.
Kata kunci : daging sapi,
swasembada.

kesejahteraan,

kinerja

subsektor

peternakan,

SUMMARY


KUSRIATMI. The Impact of Beef Self-sufficiency Policy on Economic
Performance of Livestock Subsector in Indonesia. Supervised by RINA
OKTAVIANI, YUSMAN SYAUKAT, and ALI SAID.
Beef cattle have a strategic role in the Indonesian economy. In addition to
its contribution to GDP and employment in the livestock sub-sector, the beef is
also one source of animal protein. Beef consumption tends to increase over time.
However, the growth of domestic beef production is slower than the growth in
consumption. This has led to the increasing import. In this regard, the government has
set self-sufficiency policy to encourage the growth of beef cattle and beef production.
This study is aimed to: 1) analyze the impact of beef self-sufficiency policies
on national beef production and performance in livestock subsector, 2) evaluate the
impact of beef self-sufficiency policies on producer and consumer welfare in
Indonesia and foreign exchange savings, and 3) forecasting production and demand
for beef within the framework of achieving beef self-sufficiency in Indonesia.
This study used econometric model with simultaneous equations and utilized
time series data from 1990 – 2011 periods. Based on order condition criteria, this
model is over identified. Parameter estimation used Two Stages Least Squares
method.
Simulation results showed that technological improvements through

increasing doses of Artificial Insemination (AI), increased breeder cattle imports,
and the subsidies policy of interest rate on bank loans will encourage beef cattle
production and domestic beef production as well as lower import feeder cattle and
beef imports. Increased beef cattle production will encourage GDP and
employment in the livestock subsector. Import restrictions policy on feeder cattle
and beef will increase domestic beef production but reduce the population and
beef cattle production, resulting in lower GDP and employment in the livestock
subsector.
Combination of policies in order to achieve beef self-sufficiency will
increase the social welfare and save foreign exchange. Combination policies have
not been able to achieve beef self-sufficiency in Indonesia in 2014. Indonesia is
expected to achieve beef self-sufficiency in 2021.
Gradually imports restrictions on feeder cattle and beef and was followed
by an increase in technology and the provision of breeder cattle have positive
impact on the beef industry and livestock sector and the achievement of beef selfsufficiency in Indonesia.
Key words : beef, performance of livestock subsector, self-sufficiency, welfare.

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING
SAPI TERHADAP KINERJA EKONOMI
SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA

KUSRIATMI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Harianto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Arief Daryanto, MEc
Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU

Judul Disertasi

:

Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi
terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di
Indonesia

Nama Mahasiswa


:

Kusriatmi

NRP

:

H363090231

Program Studi

:

Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS
Ketua

Dr Ir Yusman Syaukat, MEc
Anggota

Dr Ali Said, MA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian : 13 Januari 2014

Tanggal Lulus :

Judul Disertasi
Nama
NIM

Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot
AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya
Jajang
G161090031

..
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Jr. Asep Saefuddin, M.Sc
Ketua
/


Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc
Anggota

セ@

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Statistika

Dr. Jr. Aji Hamim Wigena, M.Sc

Tanggal Ujian : D 5

MAR 2014

Tanggal Lulus :

1 3 MAR 2014

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi dengan judul
“Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor
Peternakan di Indonesia” merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan swasembada
daging sapi terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan serta
kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan
pendekatan model ekonometrika sistem persamaan simultan.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini dapat terwujud berkat bantuan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku
ketua komisi pembimbing serta Dr Ir Yusman Syaukat, MEc dan Dr Ali Said, MA
selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
masukan selama proses penyusunan proposal, penelitian, hingga penyusunan disertasi
ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU selaku
dosen penguji luar komisi serta Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Muhamad Firdaus,
SP MSi selaku wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan wakil Rektor
IPB atas koreksi dan masukannya pada saat ujian terbuka.
2. Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Ir Harianto, MS selaku dosen penguji luar komisi
serta Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji yang mewakili program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian atas koreksi dan masukannya pada saat ujian tertutup.
3. Kepala BPS Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa
kepada penulis selama menempuh pendidikan pada program Doktor di IPB.
4. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Statistik BPS dan Kepala BPS Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada program Doktor di IPB.
5. Kepala BPS RI, Kepala BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Direktur
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pimpinan BI, beserta staf yang telah
membantu penulis selama melakukan penelusuran data untuk keperluan penelitian
6. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Bapak/Ibu staf pengajar, dan
seluruh staf administrasi yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis
menempuh pendidikan.
7. Teman-teman EPN angkatan 2009 atas kebersamaan dalam mengikuti kuliah dan
sebagai teman diskusi yang baik dalam penyelesaian disertasi ini.
8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu
terlaksananya penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua
penulis (Bapak D. Sukijono dan Ibu Martini), suami (Djoko Muljanto, SP), serta
anakku tersayang (Surya Adi Pradana) yang selalu mendo’akan dan memberikan
dukungan selama penulis menempuh masa pendidikan di IPB. Tidak lupa kepada
kedua adikku (Hernowo, ST MM dan Ery Subono, ST MM) dan keluarga, penulis

mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama penulis
menyelesaikan disertasi.
Segala kekeurangan yang terdapat pada disertasi ini sepenuhnya merupakan
tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk penyempurnaan disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Februari 2014
Kusriatmi

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xvii

DAFAR LAMPIRAN

xviii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan
Kebaruan dan Posisi Penelitian

1
1
6
11
11
13

2

TINJAUAN PUSTAKA
Strategi Substitusi Impor
Kebijakan Swasembada Daging Sapi
Potensi Usaha Peternakan dalam Penyediaan Daging Nasional
Perkembangan Populasi Ternak
Perkembangan Produksi Daging
Konsumsi Daging
Landasan Teori
Teori Ekonomi Swasembada
Kebijakan Tarif Impor
Kebijakan Kuota Impor
Kebijakan Subsidi Produksi Langsung
Perubahan Teknologi dan Peningkatan Produktivitas
Penawaran dan Permintaan Daging Sapi
Fungsi Penawaran Daging Sapi
Fungsi Permintaan Daging Sapi
Elastisitas
Kinerja Perekonomian
Pendapatan Nasional
Kesempatan Kerja
Dampak Teknologi Terhadap Kesejahteraan
Hasil Penelitian Terdahulu
Kebijakan Perdagangan dan Penawaran Daging Sapi
Peranan Teknologi dalam Swasembada Pangan
Kerangka Konseptual

15
15
17
21
22
24
25
26
26
27
28
28
29
31
31
33
34
35
35
37
38
40
40
43
47

xii
3

METODOLOGI PENELITIAN
Spesifikasi Model
Blok Penawaran Ternak Sapi Potong
Produksi Ternak Sapi Potong
Impor Ternak Sapi Potong
Populasi Ternak Sapi Potong
Blok Penawaran Daging Sapi
Produksi Daging Sapi Domestik
Impor Daging Sapi Nasional
Penawaran Daging Sapi Nasional
Blok Permintaan Daging Sapi
Permintaan Daging Sapi Domestik
Excess Demand Daging Sapi
Blok Harga Daging Sapi
Harga Riil Daging Sapi Domestik
Harga Riil Daging Sapi Impor
Blok Kinerja Subsektor Peternakan
GDP Subsektor Peternakan
Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan
Prosedur Analisis
Identifikasi Model
Uji Statistik F dan Uji Statistik t
Uji Statistik Durbin Watson (Dw) dan Durbin h
Validasi Model
Simulasi Model
Perubahan Kesejahteraan dan Pengeluaran Devisa
Jenis dan Sumber Data
Definisi Operasional Variabel

51
51
53
53
54
55
56
56
56
57
58
58
58
59
59
59
60
60
60
61
61
62
62
63
64
66
67
68

4

KERAGAAN INDUSTRI SAPI POTONG DAN SUBSEKTOR
PETERNAKAN DI INDONESIA
Unit Usaha dan Populasi Ternak Sapi Potong
Struktur Populasi Ternak Sapi Potong
Akses terhadap Sumber Modal
Perkembangan Produksi dan Penyediaan Daging Sapi
Peranan Subsektor Peternakan dalam Perekonomian Indonesia
Perkembangan PDB Peternakan
Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan

71
71
73
75
76
79
79
80

xiii

5

6

HASIL ESTIMASI MODEL SWASEMBADA DAGING SAPI DAN
KINERJA EKONOMI SUBSEKTOR PETERNAKAN DI
INDONESIA
Keragaan Umum Model Swasembada Daging Sapi dan Kinerja
Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia
Blok Penawaran Ternak Sapi Potong
Produksi Ternak Sapi Potong
Impor Sapi Bakalan
Populasi Ternak Sapi
Blok Penawaran Daging Sapi
Produksi Daging Sapi Lokal
Impor Daging Sapi Nasional
Blok Permintaan Daging Sapi
Blok Harga Daging Sapi
Harga Daging Sapi Domestik
Harga Daging Sapi Impor
Blok Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan
Pertumbuhan Ekonomi Subsektor Peternakan
Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan
DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI
TERHADAP KINERJA INDUSTRI SAPI POTONG DAN
SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA
Hasil Validasi Model
Simulasi Peramalan Periode 2012–2021
Dampak Kenaikan Dosis Inseminasi Buatan Sebesar 25
Persen
Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit Sebesar 20 Persen
Dampak Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5
Persen
Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit 20 Sebesar Persen dan
Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5 Persen
Dampak Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Sebesar Persen
dan Impor Daging Sapi 35 Persen
Dampak Kenaikan Dosis IB 25 Persen, Kenaikan Impor Sapi
Bibit 20 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen,
Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging
Sapi 35 Persen
Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi
Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen,
Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging
Sapi 35 Persen

83
83
84
84
87
89
90
91
92
94
96
96
98
99
99
100

103
103
104
105
106
107
108
109

111

112

xiv
Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi
Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen,
Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging
Sapi 20 Persen
Dampak Kenaikan Dosis IB 40 Persen, Kenaikan Impor Sapi
Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen,
Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging
Sapi 20 Persen
Rangkuman Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan
Dampak Simulasi kebijakan terhadap Kesejahteraan
Proyeksi Produksi dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia
7

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Implikasi Kebijakan
Saran Penelitian Lanjutan

113

115
116
119
121
125
125
126
127

DAFTAR PUSTAKA

129

LAMPIRAN

137

RIWAYAT HIDUP

189

xv

DAFTAR TABEL

1

Distribusi Produk Domestik Bruto Indonesia atas dasar harga
berlaku menurut lapangan usaha, 2005–2011 (persen)

1

Perkembangan produksi, ekspor, dan impor daging sapi di Indonesia,
2004–2011 (000 ton)

4

Perkembangan volume ekspor dan impor sapi bibit dan sapi bakalan
di Indonesia, 2004–2011 (ton)

4

Persentase target produksi daging sapi domestik dan impor
berdasarkan skenario pesimistic, most likely dan optimistic

20

5

Performa sapi potong pada berbagai skenario program PSDSK 2014

21

6

Perkembangan populasi ternak di Indonesia, 1990–2011 (ribu ekor)

23

7

Perkembangan produksi daging di Indonesia, 1990–2011 (ribu ton)

25

8

Perkembangan produksi, impor, dan konsumsi daging sapi di Indonesia,
1999–2010 (ton)

26

Dampak perubahan teknologi terhadap kesejahteraan

39

2
3
4

9

10 Ringkasan studi terdahulu tentang kebijakan perdagangan dan
penawaran daging sapi

42

11 Ringkasan studi terdahulu tentang peranan teknologi dalam
swasembada pangan

45

12 Banyaknya unit usaha dan populasi ternak menurut jenis unit usaha
sapi potong di Indonesia, 2011

72

13 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin,
umur, dan pulau tahun 2011

74

14 Perkembangan pemotongan ternak sapi potong di Indonesia menurut
asal ternak, 1990–2011

76

15 Peranan sapi lokal, sapi impor, dan daging sapi impor dalam
penyediaan daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (persen)

78

16 Perkembangan jumlah tenaga kerja pertanian dan peternakan di
Indonesia tahun 20012011

81

17 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi ternak
sapi

85

18 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor sapi
bakalan

87

19 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model populasi ternak
sapi

90

xvi
20 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi daging
sapi lokal

92

21 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor daging sapi

93

22 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan
daging sapi

95

23 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi
domestik

97

24 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi
impor

99

25 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model PDB sapi potong

100

26 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan tenaga
kerja peternakan

101

27 Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia

103

28 Dampak kenaikan dosis IB sebesar 25 persen terhadap
perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor
peternakan di Indonesia, 2012–2021

105

29 Dampak kenaikan impor sapi bibit Sebesar 20 Persen terhadap
perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor
peternakan di Indonesia, 2012–2021

107

30 Dampak penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap
perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor
peternakan di Indonesia, 2012–2021

108

31 Dampak kenaikan impor sapi bibit sebesar 20 persen dan penurunan
tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap perkembangan industri sapi
potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia,
2012–2021

109

32 Dampak penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan
impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi
potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia,
2012–2021

110

33 Dampak kenaikan dosis IB 25 persen, kenaikan impor sapi bibit 20
persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor
sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen
terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021

111

34 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30
persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor
sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen
terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021

113

xvii

35 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30
persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor
sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen
terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021

114

36 Dampak kenaikan dosis IB 40 persen, kenaikan impor sapi bibit 30
persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor
sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen
terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021

115

37 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perkembangan
industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di
Indonesia, 2012–2021

117

38 Perbandingan dampak berbagai alternatif kombinasi kebijakan
terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021

118

39 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perubahan surplus
produsen, surplus konsumen, dan cadangan devisa

120

40 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia, 2012–
2021

122

41 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia pada
berbagai kombinasi kebijakan, 2012–2021

123

DAFTAR GAMBAR
1
2

Laju pertumbuhan PDB nasional, PDB sektor pertanian, dan PDB
subsektor peternakan di Indonesia, 1990–2011(persen)

2

Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia dan proporsi
penyediaan menurut asal produk, 1999–2010

8

3

Argumen industri muda

16

4

Kegiatan pokok dan kegiatan operasional dalam program PSDSK
2014

19

5

Kebijakan tarif impor pada kasus negara kecil

27

6

Kebijakan kuota impor pada kasus negara kecil

28

7

Dampak subsidi langsung terhadap produksi

29

8

Pengaruh perubahan teknologi terhadap output

30

9

Dampak perbaikan teknologi terhadap penawaran

31

10 Dampak perubahan teknologi terhadap produksi dan kesejahteraan

39

xviii
11 Kerangka analisis penelitian

49

12 Keterkaitan antar variabel dalam model swasembada daging sapi dan
kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia

52

13 Populasi sapi potong menurut pulau di Indonesia, 2011 (juta ekor)

72

14 Populasi sapi potong menurut provinsi di Indonesia di Indonesia,
2011

73

15 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin,
2011

74

16 Persentase rumah tangga peternakan dan sapi potong menurut akses
ke sumber modal

75

17 Perkembangan impor daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (ton)

77

18 Perkembangan PDB subsektor peternakan di Indonesia tahun
20002011

79

19 Kontribusi PDB subsektor peternakan dalam pembentukan PDB
pertanian dan PDB nasional di Indonesia tahun 20002011

80

20 Perkembangan harga sapi domestik dan harga sapi impor di
Indonesia, 1990–2011 (rupiah/kg)

88

21 Perkembangan harga daging sapi domestik dan harga daging sapi
impor di Indonesia, 1990–2011 (rupiah/kg)

94

DAFTAR LAMPIRAN
1

Data dasar yang digunakan dalam analisis

139

2

Program estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja
ekonomi subsektor peternakan di Indonesia

144

Hasil estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia

146

Program validasi model swasembada daging sapi dan kinerja
ekonomi subsektor peternakan di Indonesia

156

Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi
subsektor peternakan di Indonesia

160

Program simulasi peramalan dengan menggunakan metode Newton,
prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1

161

Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB sebesar 25 persen
menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program
SAS/ETS 9.1

164

Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20
persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan
program SAS/ETS 9.1

166

3
4
5
6
7

8

xix

9

Hasil simulasi peramalan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5
persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan
program SAS/ETS 9.1

168

10 Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20
persen dan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 Persen
menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program
SAS/ETS 9.1

170

11 Hasil simulasi peramalan penurunan impor sapi bakalan sebesar 25
Persen dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 Persen
menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program
SAS/ETS 9.1

172

12 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 25 persen,
peningkatan impor sapi bibit 20 persen, penurunan suku bunga
pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25
persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen
menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program
SAS/ETS 9.1

174

13 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen,
peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga
pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25
persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen
menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program
SAS/ETS 9.1

176

14 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen,
peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga
pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20
persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen
menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program
SAS/ETS 9.1

178

15 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 40 persen,
peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga
pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20
persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen
menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program
SAS/ETS 9.1

180

16 Program peramalan variabel eksogen dan variabel endogen tahun
2012-2020 menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan
program SAS/ETS 9.1

182

17 Hasil peramalan variabel endogen tahun 2012–2020 menggunakan
metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1

185

18 Perkembangan produksi dan ketersediaan protein dari daging sapi
dan daging ayam di Indonesia, 2000-2011

187

19 Daftar singkatan

188

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian memainkan peranan penting dalam perekonomian di
negara berkembang. Ada beberapa peran sektor pertanian dalam pembangunan
ekonomi antara lain: 1) sebagai penyedia pangan, 2) sebagai sumber tenaga kerja
bagi sektor perekonomian lain, 3) sebagai sumber kapital bagi pertumbuhan
ekonomi modern khususnya dalam tahap awal pembangunan, 4) sebagai sumber
devisa, dan 5) memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan dari sektor industri
(Gillis et al. 1992; Meijerink and Roza 2007).
Dalam perekonomian Indonesia, sektor pertanian sampai saat ini masih
mempunyai peranan yang cukup penting. Ditinjau dari kontribusinya terhadap
pendapatan nasional, sektor ini pada tahun 2011 memberikan kontribusi sebesar
14.70 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sumbangan sektor
pertanian tersebut merupakan nomor dua setelah sektor industri pengolahan yang
memberikan sumbangan 24.33 persen terhadap PDB (Tabel 1).
Tabel 1 Distribusi produk domestik bruto Indonesia atas dasar harga berlaku
menurut lapangan usaha, 2005–2011 (persen)
Lapangan usaha
1. Pertanian
a. Tanaman bahan makanan
b. Tanaman perkebunan
c. Peternakan
d. Kehutanan
e. Perikanan
2. Pertambangan & penggalian
3. Industri pengolahan
4. Listrik, gas, & air bersih
5. Konstruksi
6. Perdagangan, hotel & restoran
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Keuangan, real estate & jasa
perusahaan
9. Jasa-jasa
Produk Domestik Bruto

2005
13.13
6.54
2.03
1.59
0.81
2.15
11.14
27.41
0.96
7.03
15.56
6.51
8.31

2007
13.72
6.71
2.07
1.55
0.92
2.47
11.15
27.05
0.88
7.72
14.99
6.69
7.73

2009
15.29
7.48
1.99
1.87
0.80
3.15
10.56
26.36
0.83
9.90
13.28
6.31
7.23

2011*
14.70
7.14
2.07
1.74
0.70
3.05
11.85
24.33
0.77
10.16
13.80
6.62
7.21

9.96
100.00

10.08
100.00

10.24
100.00

10.56
100.00

Sumber : http://www.bps.go.id (diolah).
Keterangan : * Angka sementara.

Apabila dirinci menurut subsektor, komposisi PDB sektor pertanian
selama tujuh tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang berarti. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, subsektor tanaman bahan makanan masih mendominasi
pembentukan nilai tambah sektor pertanian pada tahun 2011 dengan kontribusi
sebesar 7.14 persen, sementara subsektor peternakan menempati urutan ke-4
dengan kontribusi sebesar 1.74 persen.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997,
secara jelas telah memperlihatkan ketangguhan sektor pertanian. Pada saat krisis

2
tersebut perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang luar
biasa hebat, yaitu sebesar 13.13 persen tahun 1998. Sementara itu, sektor
pertanian hanya mengalami kontraksi sebesar 1.33 persen, namun subsektor
peternakan mengalami kontraksi yang cukup besar yaitu mencapai 13.94 persen
(Gambar 1). Hal ini disebabkan komponen impor yang cukup besar dalam struktur
input subsektor peternakan terutama komoditas ternak unggas.
15

5

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

-5

1991

0
1990

Laju pertumbuhan (%)

10

-10
-15

PDB nasional

PDB pertanian

PDB peternakan

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah).
Gambar 1 Laju pertumbuhan PDB nasional, PDB sektor pertanian, dan PDB subsektor
peternakan di Indonesia, 1990–2011 (persen)

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, berdasarkan hasil Survei Angkatan
Kerja Nasional (SAKERNAS) bulan Februari 2011, sektor ini menyerap tenaga
kerja paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, yaitu sekitar
38.17 persen (http://www.bps.go.id). Dengan demikian, tampak bahwa sektor
pertanian masih merupakan sektor yang diperhitungkan dalam mendukung
perekonomian nasional.
Selain peranannya dalam penciptaan PDB dan penyediaan lapangan kerja,
sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat. Sebagai kebutuhan
dasar, pangan selalu menempati prioritas yang tinggi dalam pembangunan
ekonomi nasional. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan
bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan setiap orang berhak
untuk memperoleh pangan yang cukup (Sekretariat Negara 1996). Pangan yang
cukup dan berkualitas merupakan prasyarat bagi perkembangan organ-organ fisik
manusia sejak dari kandungan dan juga berpengaruh terhadap perkembangan
intelegensinya sesuai dengan potensi genetiknya. Pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap kualitas sumber daya manusia sebagai generasi penerus bangsa yang
akan melaksanakan pembangunan dalam era persaingan yang semakin ketat.
Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan unsur terpenting dan
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Perkembangan
kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah dapat diukur dengan
menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang dicirikan dengan peningkatan harapan hidup
sangat ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya. Salah satu bahan

3
pangan yang sangat penting adalah pangan hewani yang merupakan sumber
protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel,
dan menjaga sel darah merah agar tidak mudah pecah. Dalam membentuk
masyarakat yang sehat, cerdas, produktif, dan berkualitas, peranan protein hewani
hampir tidak dapat tergantikan oleh protein nabati (Daryanto 2009).
Subsektor peternakan mempunyai peranan yang besar dalam hal
penyediaan pangan hewani yang bermutu tinggi. Produk peternakan mengandung
zat gizi yang sangat diperlukan untuk perkembangan tubuh manusia, utamanya
protein dan lemak. Produk peternakan berupa daging, susu, dan telur merupakan
sumber protein hewani bagi masyarakat. Protein adalah salah satu nutrien yang
sangat penting bagi tubuh yang berfungsi sebagai zat pembangun. Jika tingkat
konsumsi protein hewani pada masyarakat berkecukupan, maka pada gilirannya
akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang
mengandung berbagai macam zat gizi yang diperlukan tubuh berupa 10 macam
asam amino esensial dan asam lemak (terutama conjungated linoleic acid) yang
bermanfaat bagi pertumbuhan neuron pada otak, dan selanjutnya neuron ini
menentukan tingkat kecerdasan manusia. Terdapat korelasi positif antara
kecerdasan dengan konsumsi daging per kapita suatu negara. Negara yang tingkat
konsumsi protein hewaninya tinggi, umumnya memiliki nilai human development
index yang tinggi (BAPPENAS 2010). Konsumsi protein hewani masyarakat
Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat dari negara
ASEAN lainnya. Laporan FAO menyatakan bahwa rata-rata konsumsi daging
(daging merah dan putih) rakyat Indonesia pada tahun 2006 masih cukup rendah,
yaitu sebesar 4.5 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi daging di Malaysia sudah
mencapai 38.5 kg/kapita/tahun dan konsumsi daging di Thailand mencapai 8.5
kg/kapita/tahun. Sementara itu, peringkat IPM pada tahun 2007/2008 masingmasing adalah 107 (Indonesia), 63 (Malaysia), dan 78 (Thailand) (Daryanto
2009).
Permintaan suatu komoditas dipengaruhi oleh harga produk, harga produk
substitusinya, tingkat pendapatan, jumlah penduduk, dan selera masyarakat (Ilham
dan Yusdja 2004). Seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya
pendapatan masyarakat permintaan terhadap produk peternakan juga meningkat.
Secara nasional konsumsi daging mengalami peningkatan dari 1.46 juta ton pada
tahun 2006 menjadi 1.73 juta ton pada tahun 2009 (Kementerian Pertanian
2010b). Dengan demikian terjadi peningkatan rata-rata 5.93 persen per tahun.
Hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS
juga menunjukkan adanya kenaikan konsumsi daging penduduk Indonesia dalam
periode 2009–2010. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk
Indonesia untuk konsumsi daging segar sebesar Rp 8 114 pada tahun 2009
kemudian meningkat menjadi Rp 10 370 pada tahun 2010. Rata-rata konsumsi
daging sapi/kerbau masyarakat Indonesia mengalami peningkatan dari 0.006
kg/kapita/minggu pada tahun 2009 menjadi 0.007 kg/kapita/minggu pada tahun
2010. Sementara untuk konsumsi daging ayam meningkat dari 0.069
kg/kapita/minggu pada tahun 2009 menjadi 0.080 kg/kapita/minggu pada tahun
2010 (BPS 2010b).
Selama ini kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi dari tiga sumber,
yaitu sapi lokal, sapi impor dan daging sapi impor. Berdasarkan data dari

4
Kementerian Pertanian selama periode 2004–2011 produksi daging sapi dalam
negeri berfluktuasi, meskipun menunjukkan adanya trend kenaikan. Sementara itu
neraca perdagangan daging sapi Indonesia selalu mengalami defisit. Defisit neraca
perdagangan daging sapi cenderung meningkat dari 12.95 ribu ton pada tahun
2004 menjadi 90.51 ribu ton pada tahun 2010, kemudian turun menjadi 64.72 ribu
ton pada tahun 2011. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan daging sapi di
dalam negeri selalu lebih besar dibandingkan dengan produksi dalam negeri.
Untuk menutupi kekurangan supply daging sapi dalam negeri dilakukan impor
dari berbagai negara, terutama dari Australia (Tabel 2).
Tabel 2 Perkembangan produksi, ekspor, dan impor daging sapi di Indonesia,
2004–2011 (000 ton)
Tahun

Produksi

1

447.57
358.70
395.84
339.47
392.50
409.30
436.50
465.80

2004
20051
20062
20072
20082
20093
20103
20114
Sumber :

Neraca perdagangan
Ekspor
0.02
0.09
0.01
0.04
0.06
0.01
0.00
0.30

Impor
12.97
12.75
24.08
39.35
45.71
67.39
90.51
65.02

1

3

2

4

Departemen Pertanian 2007.
Kementerian Pertanian 2010b.
Keterangan : produksi daging dalam bentuk karkas.

Selisih
-12.95
-12.67
-24.07
-39.31
-45.65
-67.38
-90.51
-64.72

Kementerian Pertanian 2011b.
Kementerian Pertanian 2012b.

Selain melakukan perdagangan terhadap produk daging sapi, Indonesia
juga melakukan perdagangan terhadap ternak hidup baik berupa sapi bibit (cattle
breed) maupun sapi bakalan (feeder steer/feeder cattle). Seperti halnya
perdagangan produk daging sapi, neraca perdagangan ternak hidup Indonesia juga
selalu mengalami defisit baik yang berupa sapi bibit maupun sapi bakalan karena
volume impor jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ekspor. Ekspor
ternak sapi hidup sebagian besar ke Singapura dan Malaysia (BPS 2009c).
Tabel 3 Perkembangan volume ekspor dan impor sapi bibit dan sapi bakalan di
Indonesia, 2004–2011 (ton)
Tahun
Ekspor
0
1
3
13
32
0
0
0

20041
20051
20062
20072
20082
20092
20103
20114
Sumber :

1
2

Sapi bibit
Impor
1 459
1 615
2 172
49
449
28
1 133
0

Selisih
-1 459
-1 614
-2 169
-36
-417
-28
-1 133
0

Departemen Pertanian 2007.
Kementerian Pertanian 2010b.

Ekspor
571
0
4
82
60
60
0
0
3
4

Sapi bakalan
Impor
82 538
89 672
92 999
145 468
198 460
229 155
208 584
118 921

Selisih
-81 967
-89 672
-92 995
-145 386
-198 400
-229 094
-208 584
-118 921

Kementerian Pertanian 2011b.
Kementerian Pertanian 2012b .

5
Impor sapi bibit selama tahun 2004–2011 berfluktuasi, sedangkan impor
sapi bakalan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar impor
ternak sapi berupa sapi bakalan yang akan dipotong untuk menghasilkan daging
sapi setelah dilakukan penggemukan di dalam negeri. Tahun 2004 volume impor
sapi bakalan sebesar 82.54 ribu ton dengan volume ekspor sebesar 0.57 ribu ton.
Tahun 2009 volume impor sapi bakalan meningkat menjadi 229.16 ribu ton
kemudian turun menjadi 208.58 ribu ton pada tahun 2010 dan 118.92 ribu ton
pada tahun 2011. Volume ekspor sebesar 0.06 ribu ton pada tahun 2009 dan
setelah itu tidak ada lagi ekspor sapi dari Indonesia (volume nol) (Tabel 3).
Peningkatan supply melalui impor sering dihadapkan pada kendala nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing. Jika terjadi depresiasi rupiah maka akan
berpengaruh terhadap penyediaan barang/jasa yang berasal dari impor karena
harga barang impor menjadi lebih mahal. Hal ini bisa berpengaruh terhadap
stabilitas pangan di dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat
ketergantungan produk daging sapi impor, maka produksi daging sapi dalam
negeri harus ditingkatkan. Peningkatan produksi daging sapi domestik akan
menggantikan supply daging sapi yang berasal dari impor. Kebijakan ini dikenal
dengan strategi substitusi impor atau dikenal dengan kebijakan inward-looking yang
menekankan pada pengembangan komoditas untuk memenuhi kebutuhan pasar
dalam negeri agar dapat menggantikan produk impor (Bulmer-Thomas 1982; Hess
and Ross 1997; Todaro and Smith 2009).
Dalam upaya menjamin ketersediaan daging sapi sebagai salah satu
sumber protein hewani bagi masyarakat, pemerintah kembali mencanangkan
program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (PSDSK 2014).
Program ini merupakan revisi dari program sebelumnya yaitu Swasembada
Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 di
mana kedua program ini telah gagal dicapai (Syamsu 2010).
Kebijakan swasembada daging sapi merupakan salah satu program
Kementerian Pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama bagi
masyarakat. Program ini sesuai amanat Undang-Undang No. 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025
dan tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahap ke-2 (20102014), di mana pembangunan pertanian tetap memegang peran
yang strategis dalam perekonomian nasional sebagai penyedia bahan pangan.
Dalam periode ini Kementerian Pertanian menempatkan beras, jagung, kedelai,
daging sapi, dan gula sebagai lima komoditas pangan utama. Dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementerian Pertanian
selama 20102014 adalah pencapaian swasembada untuk kedelai, daging sapi,
dan gula, serta swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung
(Anonim 2011).
Pengembangan komoditas sapi potong juga dipandang mampu
memadukan pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity), karena usaha ini
melibatkan banyak tenaga kerja. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003,
tercatat ada sekitar 2.57 juta rumah tangga yang mengusahakan ternak sapi potong
dengan jumlah peternak sekitar 2.76 juta orang (BPS 2005b). Usaha peternakan
sapi potong di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh rumah tangga. Hasil
Pendataan Sapi Poptong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 (PSPK 2011)
menunjukkan bahwa 98.03 persen ternak sapi diusahakan oleh rumah tangga

6
(BPS – Ditjen PKH 2011b). Selain itu, usaha sapi potong juga mempunyai
komponen input lokal yang relatif tinggi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi
melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga 1998, industri sapi
potong di Indonesia relatif bisa bertahan dibandingkan dengan komoditas ternak
unggas yang komponen impornya relatif tinggi.
Saat ini PSDSK 2014 merupakan salah satu program dari 21 program
utama Kementerian Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan
pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya domestik khususnya ternak sapi
potong. Swasembada daging sapi merupakan program pemerintah dalam upaya
untuk menyediakan minimum 90 persen dari total kebutuhan daging sapi lokal di
dalam negeri, sedangkan 10 persen sisanya dipenuhi dari impor baik berupa sapi
bakalan maupun daging sapi. Swasembada daging sapi diharapkan dapat
mengurangi tingkat ketergantungan terhadap impor baik sapi bakalan maupun
daging sapi dengan mengembangkan potensi dalam negeri (Kementerian
Pertanian 2010a).
Salah satu tujuan penting PSDSK 2014 adalah perkembangan populasi dan
perbaikan produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang
terjamin Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) secara berkesinambungan.
Orientasi swasembada daging sapi tidak semata-mata diarahkan kepada
pemenuhan kebutuhan konsumen dengan pengendalian impor (sapi dan daging)
tetapi lebih diarahkan dalam konteks peningkatan produksi, kesejahteraan
peternak, dan kesinambungan usaha peternak sapi serta meningkatkan daya saing
produksi, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dampaknya akan
mengurangi ketergantungan dari impor daging dan sapi bakalan.
Dengan program ini diharapkan terjadi peningkatan produksi daging sapi
dalam negeri untuk menggantikan daging sapi impor, sehingga dapat mengurangi
ketergantungan terhadap produk impor. Swasembada daging secara langsung akan
menghemat devisa, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya
akan memberi dampak peningkatan kesejahteraan peternak dan merangsang
kegiatan ekonomi di perdesaan (Ditjen Peternakan 2011).
Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana dampak kebijakan
swasembada daging sapi tahun 2014 yang telah dicanangkan sejak akhir tahun
2009 terhadap kinerja subsektor peternakan serta kesejahteraan produsen dan
konsumen daging sapi di Indonesia serta penghematan devisa.

Perumusan Masalah
Peternakan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai peranan
penting dalam perekonomian Indonesia. Meskipun kontribusinya masih relatif
kecil terhadap pembentukan PDB sektor pertanian, yaitu hanya sebesar 11.85
persen dan 1.74 persen terhadap total PDB 2011, namun subsektor peternakan
berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru bagi sektor pertanian di masa
mendatang. Setelah krisis ekonomi yang sempat menghancurkan usaha
peternakan di Indonesia, subsektor ini mampu bangkit dan tumbuh lebih cepat
dibandingkan sektor pertanian secara keseluruhan. Berdasarkan data dari BPS,
selama periode 2000–2011 subsektor peternakan tumbuh rata-rata 4.29 persen per

7
tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sektor pertanian
(3.45 persen per tahun).
Subsektor peternakan juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 1993, jumlah rumah tangga yang terlibat
langsung dalam usaha peternakan mencapai 5.47 juta. Jumlah tersebut terus
mengalami peningkatan menjadi 5.63 juta pada tahun 2003 dan jumlah rumah
tangga usaha ternak sapi potong mencapai 2.57 juta dengan jumlah peternak
sebesar 2.76 juta (BPS 2005b).
Selain kontribusinya dalam penciptaan PDB dan penyerapan tenaga kerja,
sub sektor peternakan juga berperan dalam penyediaan pangan bagi masyarakat,
terutama protein hewani. Ketersediaan pangan merupakan masalah yang krusial
bagi pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka
permintaan pangan juga semakin meningkat. Jumlah penduduk Indonesia
berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 mencapai 205.13 juta jiwa dan
jumlah tersebut terus bertambah hingga mencapai 237.56 juta jiwa pada tahun
2010. Dengan demikian, laju pertumbuhan Indonesia mencapai 1.49 persen per
tahun (BPS 2009b, 2010a). Jumlah penduduk Indonesia yang besar dan terus
bertambah mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan merupakan tantangan
besar yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia
saat ini adalah laju permintaan terhadap pangan lebih cepat daripada
penyediaannya. Permintaan yang meningkat cepat merupakan resultan dari
peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan
peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu,
pertumbuhan produksi peternakan nasional relatif lambat. Ketidakseimbangan
pertumbuhan permintaan dan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan
penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor cenderung meningkat.
Ketergantungan terhadap pangan impor ini diterjemahkan sebagai
ketidakmandirian dalam penyediaan pangan nasional (Saliem et al. 2003).
Dalam beberapa dasawarsa terakhir permintaan produk petemakan
cenderung terus meningkat, seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat.
Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera
masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara nasional cenderung
meningkat. Selama periode 1999–2010 konsumsi daging sapi mengalami
peningkatan rata-rata 4.49 persen per tahun. Sementara itu produksi daging sapi
domestik hanya tumbuh rata-rata 2.58 persen per tahun. Kondisi tersebut
mengakibatkan impor daging sapi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
dengan laju pertumbuhan rata-rata 21.58 persen per tahun.
Gambar 2 menyajikan perkembangan konsumsi daging sapi nasional dan
persentase penyediaan yang dibedakan menurut asal produksi daging, yaitu
produksi domestik dan impor. Dari gambar tersebut terlihat bahwa konsumsi
daging sapi secara nasional berfluktuasi, namun menunjukkan trend kenaikan.
Apabila dilihat berdasarkan asal produknya, proporsi konsumsi daging sapi yang
berasal dari impor cenderung meningkat. Pada tahun 1999 konsumsi daging sapi
impor volumenya kurang dari 5 persen, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi
21.67 persen. Dalam hal ini, produksi daging sapi domestik yang tercatat juga
mencakup hasil pemotongan ternak yang berasal dari penggemukan sapi bakalan
impor. Menurut hasil perhitungan dari Ditjen Peternakan, proporsi impor daging

8
sapi dan sapi bakalan dalam konsumsi daging sapi nasional mencapai lebih dari
30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional (Ditjen Peternakan 2011).
100

418

90
Persentase penyediaan

390
375

70
60

299

20
0

340
321

40

10

350

347

50

330
310

287

287

290

294

289
258

370

Total konsumsi (000 ton)

410

80

30

430

270

259

250

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

produksi domestik

impor

konsumsi

Sumber : Ditjen Peternakan; BPS (diolah).
Gambar 2 Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia dan proporsi penyediaan
menurut asal produk, 1999–2010

Secara agregat, Indonesia merupakan negara importir produk peternakan
termasuk produk daging sapi dan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa produksi daging dalam negeri
tidak bisa memenuhi permintaan yang ada. Hadi et al. (1999) memperkirakan
bahwa jika tidak ada perubahan teknologi secara signifikan dalam proses produksi
daging sapi dalam negeri serta tidak adanya peningkatan populasi sapi yang
berarti, maka kesenjangan antara produksi daging sapi dalam negeri dengan
jumlah permintaan akan semakin melebar, sehingga berdampak pada volume
impor yang semakin besar. Hal ini tentu saja akan mengancam ketahanan pangan
dari sisi kemandirian pangan. Kemandirian pangan dapat diartikan bahwa
kebutuhan pangan nasional minimum 90 persen dari dapat dipenuhi dari produksi
dalam negeri (Suryana 2004).
Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, kemandirian pangan
menjadi lebih penting lagi. Menurut Yusdja dan Ilham (2006), industri peternakan
yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku dan
teknologi impor mempunyai resiko yang tinggi. Seperti yang terjadi pada masa
krisis moneter tahun 1997/1998, industri sapi potong domestik terutama industri
peternakan yang dikelola oleh perusahaan (feedloter) mengalami guncangan yang
hebat. Hal ini disebabkan melambungnya biaya operasional karena sebagian besar
bahan baku pakan berasal dari impor. Selain itu juga disebabkan oleh sulitnya
mendapatkan sapi bakalan dari luar negeri untuk usaha penggemukan karena
harga yang relatif mahal akibat melemahnya nilai rupiah. Sebagai negara kecil,
Indonesia adalah price taker terkait dengan impor produk sapi potong. Dalam hal
ini stabilitas nilai tukar rupiah akan berpengaruh terhadap harga daging sapi impor
dan pengembangan industri peternakan sapi nasional.

9
Selain nilai tukar, tarif impor yang ditetapkan oleh pemerintah juga akan
berpengaruh terhadap impor ternak dan daging sapi. Besaran tarif impor
mempengaruhi harga komoditas di pasar domestik yang akan berpengaruh
terhadap produksi dan jumlah impor. Dalam era perdagangan bebas, hambatan
perdagangan antar negara be