Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI POPULASI SAPI
DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA
TERHADAP SWASEMBADA DAGING SAPI DI INDONESIA

MASLINA KARLINCE HUTAGAOL

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya
terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Maslina Karlince Hutagaol.
NIM H14090016

ABSTRAK
MASLINA KARLINCE HUTAGAOL. Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Populasi Sapi Dalam Negeri serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada
Daging Sapi di Indonesia. Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN
HUTAGAOL.
Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi daging sapi di Indonesia
cenderung meningkat. Peningkatan laju permintaan daging sapi sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk, perbaikan pendapatan per kapita, dan perubahan
selera konsumen. Permasalahan yang terjadi adalah saat ini Indonesia masih
merupakan negara pengimpor daging sapi dengan 35 persen pasokan daging sapi
berasal dari impor. Hal ini dipengaruhi volume produksi daging sapi di Indonesia
yang tidak proporsional terhadap peningkatan konsumsinya. Metode analisis
menggunakan metode regresi linear berganda dengan periode analisis dari tahun
1989 hingga tahun 2011 serta menggunakan jumlah populasi daging sapi sebagai

variabel dependen dan empat variabel bebas yang meliputi harga daging sapi,
harga pakan, kredit, dan teknologi produksi. Disimpulkan bahwa harga daging
sapi, kredit, teknologi produksi dan harga pakan ternak mampu memengaruhi
populasi sapi dalam negeri. Oleh karena itu, upaya mencapai swasembada
daging sapi (Program Swasembada Daging Sapi) tahun 2014 difokuskan pada
peningkatan populasi sapi.
Kata kunci: Daging sapi, Produksi, Swasembada daging.

ABSTRACT
MASLINA KARLINCE HUTAGAOL. Factors Affecting Population in The
Country and The policy Implications for Indonesia's self-sufficiency inbeef.
Supervised by. MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.
In recent years, consumption of beef in Indonesia tends to increase.
Increase in the rate of demand for beef in line with population growth, per capita
incomes, and changing consumer tastes. The problem that occurs is that Indonesia
is still a net importer of beef with 35 percent of beef supply comes from imports.
It is influenced by the volume of beef production in Indonesia is not proportional
to the increase in consumption. Analysis method using multiple linear regression
analysis with the period from 1989 to 2011 as well as the use of beef population
as the dependent variable and the four independent variables which include beef

prices, feed prices, credit, and production technology. Concluded that the price of
beef, credit, production technology and animal feed prices can affect cattle
population in the country. Therefore, efforts to achieve self-sufficiency in beef
(Beef Self-Sufficiency Program) in 2014 focused on increasing the cattle
population.
Keywords: Beef, Production, Beef Self-sufficiency.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI POPULASI SAPI
DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA
TERHADAP SWASEMBADA DAGING SAPI DI INDONESIA

MASLINA KARLINCE HUTAGAOL

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri
serta Implikasi Kebijakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di
Indonesia
Nama
: Maslina Karlince Hutagaol
NIM
: H14090016

Disetujui oleh

Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat, kasih, kekuatan dan anugerah-Nya yang tidak pernah berhenti sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah mengenai populasi sapi, dengan
judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Populasi Sapi Dalam Negeri serta
Implikasi Kebjakannya terhadap Swasembada Daging Sapi di Indonesia.
Penyusunan karya ilmiah ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S selaku pembimbing skripsi
yang telah memberikan bimbingan, masukan, kesabaran, motivasi, saran,
dan bantuannya selama penulisan skripsi ini.
2. Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah memberikan
masukan, dan saran dalam penulisan skripsi ini.
3. Dewi Ulfah Wardani, M.Si selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan

yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Keluargaku tercinta: Bapak tercinta Pongguk Hutagaol, Ibu tercinta
Riana Tampubolon, kedua kakakku tersayang Emelia Hutagaol, dan
Nova Hutagaol, kedua abangku tersayang Dirjen Hutagaol, dan Juven
Hutagaol, serta keluarga besar Hutagaol-Tampubolon. Terima kasih atas
kasih sayang, motivasi dan dukungan doanya kepada penulis selama
menjalani pendidikan di Bogor.
5. BPS Kota Bogor dan Direktorat Jenderal Peternakan yang telah
menyediakan dan melayani penulis saat proses pengumpulan data.
6. IPB yang telah memberikan beasiswa BBM (Bantuan Belajar
Mahasiswa) pada tahun 2010, ARMADA pada tahun 2011, dan beasiswa
dari ikatan alumni ilmu ekonomi 2012 kepada penulis selama menjalani
pendidikan di IPB.
7. Kepada sahabat penulis Lita Natalia Sitorus S.E yang selalu setia
menemani penulis baik dalam suka maupun duka selama menjalani
pendidikan di Bogor.
8. Kepada teman-teman Ilmu ekonomi 46 juga semua pihak-pihak lain
yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah menyemangati dan
mendoakan yang terbaik bagi penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juli 2013
Maslina Karlince Hutagaol

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................................................ 1
Perumusan Masalah ................................................................................................ 4

Tujuan Penelitian .................................................................................................... 5
Manfaat Penelitian .................................................................................................. 5
Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
Usaha Peternakan Sapi Potong ............................................................................... 6
Potensi Sapi Potong ................................................................................................ 9
Kawasan Peternakan ............................................................................................. 10
Produktivitas Sapi Potong ..................................................................................... 11
Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi ......................................................... 12
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi ................................................. 13
Kerangka Pemikiran .............................................................................................. 17
Hipotesis................................................................................................................ 18
METODE .............................................................................................................. 18
Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 18
Metode Analisis dan Pengolahan Data ................................................................. 18
Model Penelitian ................................................................................................... 18
Pengujian Statistik Analisis Regresi ..................................................................... 20
Pengujian Asumsi Klasik ...................................................................................... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 21
Kondisi dan Kecenderungan Populasi Sapi di Indonesia ...................................... 21

Populasi Nasional .................................................................................................. 21
Harga Daging Sapi Dalam Negeri......................................................................... 25
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi di Indonesia ............................. 26
Implikasi Kebijakan .............................................................................................. 31
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 34
Simpulan ............................................................................................................... 34
Saran ...................................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 36
LAMPIRAN .......................................................................................................... 41
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 48

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Volume Impor dan Produksi Daging Sapi periode 2009-2011

Data dan sumber data
Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Populasi Sapi di
Indonesia
Hasil Estimasi model Terhadap Skor Komponen Utama W1
Hasil Estimasi Dengan Regresi Komponen Utama

3
18
27
28
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6


Konsumsi Daging Sapi di Indonesia
Kerangka Pemikiran
Produksi Daging Sapi di Indonesia

2
17
22

Jumlah Populasi Sapi di Indonesia
Perkembangan Impor Daging Sapi di Indonesia
Rata-Rata Harga Daging Sapi di Indonesia

23
24
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Korelasi
Regresi Linier Berganda
Uji Asumsi Klasik
Regresi Komponen Utama
Persamaan Regresi
Hasil Uji t
Data Analisis

41
41
41
42
46
46
47

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak sapi mempunyai banyak manfaat di dalam kehidupan masyarakat.
Ternak sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil
bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Ternak sapi
mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan bagi manusia terutama sebagai
bahan makanan yang berupa daging, selain itu ternak sapi dapat menghasilkan
pupuk kandang, kulit, tulang dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan karena
memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Daging sapi sangat besar manfaatnya
bagi pemenuhan asupan gizi berupa protein hewani pada tubuh manusia. Hingga
saat ini, daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang berprotein
tinggi serta memiliki harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan bahan
pangan lainnya. Daging sapi sebagai salah satu sumber protein yang berasal dari
hewan ternak ini sudah dikenal sebagai bahan pangan yang hampir lengkap dan
sempurna, karena didalamnya terkandung berbagai macam zat gizi yang
diperlukan tubuh.
Faktanya, ternak sapi di Indonesia sebagian besar dikelola oleh usaha
peternakan rakyat yang berskala kecil serta menggunakan teknologi yang lebih
sederhana. Kondisi tersebut tentu saja menyebabkan usaha peternakan sapi di
Indonesia tidak mampu menghasilkan jumlah sapi dalam jumlah yang besar.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia memiliki tingkat konsumsi protein yang masih relatif rendah dibanding
negara lain, terutama dari daging sapi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir,
konsumsi daging sapi dalam negeri cenderung meningkat. Kebutuhan dalam
negeri akan daging sapi semakin tahun terus meningkat, terjadinya peningkatan
jumlah penduduk, yang diikuti dengan perbaikan taraf hidup, perkembangan
ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan dan perubahan selera konsumen telah
mengubah pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak.
Meningkatnya populasi penduduk tersebut dan adanya perubahan pola konsumsi
serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara nasional
cenderung meningkat.
Ketimpangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi daging sapi
dalam negeri terjadi setiap tahun, hal tersebut salah satunya diduga karena adanya
peningkatan jumlah masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas. Semakin
tingginya pendapatan masyarakat maka keinginan untuk mengkonsumsi daging
sapi pun semakin meningkat. Selama ini masyarakat Indonesia memiliki persepsi
bahwa daging sapi merupakan salah satu makanan mewah. Selain itu, daging sapi
juga merupakan jenis makanan yang wajib disajikan pada hari-hari besar tertentu,
seperti hari besar keagamaan, khususnya bagi masyarakat yang beragama Islam
serta acara-acara besar lainnya. Tentunya, dalam situasi tersebut masyarakat
Indonesia membutuhkan jumlah daging sapi yang cukup besar. Hal tersebut
semakin menyebabkan tingginya ketidakseimbangan antara kebutuhan konsumsi
secara nasional dengan produksi daging sapi di Indonesia. Berikut konsumsi
daging sapi di Indonesia dari tahun 1989 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar
1.

Konsumsi daging sapi (ton)

2
600000
500000
400000
300000
200000
100000
0

Tahun
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Gambar 1 Konsumsi Daging Sapi di Indonesia
Gambar 1 menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia
berfluktuasi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan jumlah
tersebut tercermin dari peningkatan konsumsi daging sapi dari sebesar 1.95 kg per
kapita pada tahun 2007 menjadi 2 kg per kapita pada tahun 2008 dan meningkat
menjadi 2.24 kg per kapita pada tahun 2009. Peningkatan konsumsi ini
berdampak pada meningkatnya kebutuhan daging sapi secara keseluruhan dari
455,755 ton pada tahun 2008 menjadi 516,603 ton pada tahun 2009 (Badan Pusat
Statistik dan Statistik Peternakan, 2009). Kebutuhan daging tersebut menjadikan
negara Indonesia membutuhkan jumlah sapi sebanyak 2,432 juta ekor sapi pada
tahun 2008 dan 2,746 juta ekor sapi pada tahun 2009 (Australian Statistic Bureau,
2009). Rata-rata konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia periode 2009-2011
sebesar 0.635 kg per kapita per tahun, sedangkan produksi rata-rata daging sapi
Indonesia untuk periode yang sama hanya 443,698.3 ton per tahun (Badan Pusat
Statistik 2012). Kondisi tersebut mencerminkan bahwa peningkatan konsumsi
daging sapi tidak proporsional terhadap peningkatan produksinya.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan
sumber daya hayati yang sangat beragam dan melimpah. Hal tersebut seharusnya
dapat dimanfaatkan dengan maksimal untuk memajukan perekonomian bangsa.
Dengan kondisi tersebut, seharusnya kita mampu meningkatkan produksi daging
sapi di Indonesia melalui pemeliharaan ternak sapi secara optimal dengan
menggunakan semua sumber daya yang telah dianugerahi bagi Indonesia. Namun,
harapan tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, terbukti bahwa produksi
daging sapi di Indonesia masih rendah, sehingga menyebabkan negara kita tidak
mampu memenuhi konsumsi daging sapi dalam negeri secara nasional apalagi jika
kita harus mengimpor ke negara lain, hal tersebut masih sangat jauh dari harapan.
Kondisi usaha peternakan sapi yang sebagian besar dikelola oleh peternak sapi
rakyat dengan tenaga kerja keluarga, dalam skala kecil, serta menggunakan teknik
yang sederhana dalam proses produksi tentunya memengaruhi penurunan pada
petumbuhan jumlah populasi sapi dan juga akan memengaruhi produksi daging
sapi nasional juga semakin menurun ditengah-tengah semakin meningkatnya
kebutuhan daging sapi secara nasional.

3
Kondisi produksi daging sapi nasional pada tiga tahun terakhir dapat dilihat
pada Tabel 1. Data tersebut menunjukkan ketimpangan antara produksi daging
sapi nasional dengan perkembangan jumlah impor daging sapi di Indonesia.
Perkembangan volume impor periode 2009-2010 mengalami peningkatan sebesar
23,115,605 kg, sementara dari tahun 2010 ke tahun 2011 jumlah impor menurun
drastis sebesar 49,671,209 kg (Statistik Peternakan). Hal ini disebabkan karena
telah diberlakukannya kebijakan penetapan aturan non-tarif komoditas peternakan
impor, yaitu pembatasan kuota impor daging sapi sesuai dengan Rencana Strategis
Kementrian Pertanian 2010-2014, sehingga terjadi penurunan yang sangat drastis
pada jumlah impor daging sapi terhadap negara lain pada tahun tersebut. Hal
tersebut semakin meningkatkan terjadinya ketimpangan antara pertumbuhan
produksi daging sapi dengan jumlah impor daging sapi terhadap negara lain.
Tabel 1 menunjukkan jumlah impor daging sapi dan produksi daging sapi periode
2009-2011.
Tabel 1 Jumlah impor daging sapi dan produksi daging sapi periode 2009-2011
Jumlah impor daging sapi
Tahun
Produksi daging sapi (kg)
(kg)
2009
67,390,133
409,310
2010
90,505,738
436,452
2011
40,834,529
485,333
Sumber : Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), diolah

Pertumbuhan produksi dalam negeri tidak seimbang dengan tingginya
volume impor daging sapi negara Indonesia terhadap negara lain. Pertumbuhan
impor daging sapi yang relatif lebih cepat dibandingkan pertumbuhan produksi
daging sapi dalam negeri menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging sapi
domestik belum mampu mengikuti tingginya peningkatan konsumsi daging sapi
dalam negeri sehingga menimbulkan kecenderungan dalam pengadaan daging
sapi akan selalu bergantung pada daging sapi impor untuk pemenuhan konsumsi
daging sapi nasional.
Ilham (2009) mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi masalah
lambatnya pertumbuhan produksi daging dalam negeri, terutama daging sapi. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu manajemen dan teknologi
pemeliharaan ternak sapi masih sangat rendah. Lambatnya pertumbuhan produksi
daging sapi dalam negeri disebabkan oleh sebagian besar usaha ternak sapi
merupakan usaha peternakan rakyat yang merupakan skala usaha kecil yaitu dua
sampai empat ekor per peternak, usaha ternak sapi hanya sebagai usaha sambilan
dengan tujuan untuk tabungan serta menggunakan teknologi yang sederhana
dalam produksi. Artinya, produksi daging sapi di Indonesia dapat ditingkatkan
melalui pembenahan pada usaha peternakan sapi di Indonesia dengan optimal
sehingga dapat menghasilkan populasi sapi dalam jumlah yang besar untuk
diproduksi.
Swasembada daging sapi merupakan program pemerintah untuk mencapai
target penyediaan kebutuhan daging sapi sebesar 90 persen dari total kebutuhan
daging sapi lokal berasal dari dalam negeri sedangkan 10 persen sisanya berasal
dari pasokan luar negeri berupa impor sapi bakalan dan impor daging sapi. Salah
satu indikator utama dalam swasembada daging sapi adalah populasi ternak sapi.

4
Jika populasi ternak sapi dapat mencukupi untuk kebutuhan konsumsi daging
maka dinggap telah swasembada. Progam Pencapaian Swasembada Daging Sapi
2014 ini merupakan tindak lanjut program swasembada daging yang pernah
dicanangkan pada tahun 2005 dan tahun 2010. Program Swasembada tersebut
merupakan salah satu program prioritas Pemerintah dalam beberapa tahun ke
depan untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya
lokal. Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan yang tidak
ringan, mengutip pernyataan Dirjen Peternakan Kementrian Pertanian, yang
menjelaskan bahkan ada kecenderungan jumlah impor terus meningkat menjadi
sekitar 720 ribu ekor sapi pada tahun-tahun mendatang. Hal ini dapat
menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani, khususnya daging sapi
semakin jauh dari harapan dan menyebabkan Indonesia masuk dalam perangkap
pangan (food trap) negara eksportir.
Perumusan Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar
keempat di dunia dan memiliki tingkat konsumsi protein yang masih relatif
rendah dibandingkan negara lain, terutama dari daging sapi. Namun, beberapa
tahun terakhir konsumsi akan protein hewani dalam negeri meningkat sesuai
dengan peningkatan populasi penduduk, peningkatan gaya hidup, perbaikan taraf
hidup dan pengembangan ekonomi. Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk
Indonesia cenderung terus meningkat juga disebabkan semakin tingginya
kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Jumlah penduduk
Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dengan tingkat konsumsi daging sapi
masyarakat yang cenderung meningkat setiap tahunnya sementara produksi
daging sapi lokal tidak mampu mengikuti pertumbuhan konsumsinya, artinya
terjadi kesenjangan antara kebutuhan masyarakat terhadap daging sapi dengan
produksi daging sapi lokal. Hal ini menimbulkan masalah dalam pemenuhan
kebutuhan konsumsi dalam negeri yang semakin meningkat setiap tahunnya,
kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri
dikarenakan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan usaha
peternakan sapi di Indonesia. Sehingga saat ini ketersediaan daging sapi nasional
masih mengalami kekurangan yang ditutup melalui impor. Produksi daging sapi
yang berasal dari ternak sapi dalam negeri yang belum dapat memenuhi konsumsi
daging sapi tersebut harus segera ditemukan cara mengatasinya. Oleh karena itu
pemerintah Indonesia bertekad untuk mencapai swasembada daging sapi pada
tahun 2014 dengan tujuan mengurangi ketergantungan Indonesia pada daging sapi
impor.
Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014) merupakan
salah satu dari program utama Kementerian Pertanian yang terkait dengan upaya
mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik.
Program ini ditujukan sebagai upaya pemerintah dalam peningkatan populasi
ternak sapi agar impor daging sapi ke negara lain dapat dikurangi. Swasembada
daging sapi sudah lama dimimpikan oleh masyarakat agar ketergantungan
terhadap impor baik sapi bakalan maupun daging semakin menurun dengan
mengembangkan potensi dalam negeri. Pemerintah telah melakukan beberapa
upaya dalam meningkatkan produksi ternak dalam negeri seperti pengembangan

5
pakan ternak, peningkatan mutu bibit melalui program inseminasi buatan, dan
program pemberantasan penyakit (Ilham, 1998). Pemerintah juga telah melakukan
upaya-upaya pemberdayaan usaha peternakan rakyat dengan konsep
pengembangan Industri Peternakan Rakyat (Inayat) dengan pola kemitraan antara
perusahaan dengan peternakan rakyat dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR).
Namun, semua usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah belum berhasil secara
keseluruhan dalam meningkatkan produksi ternak dalam negeri. Melalui segala
upaya yang dilakukan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat, diharapkan
bangsa Indonesia mampu menjadikan sektor peternakan menjadi salah satu sektor
yang bisa membangun kehidupan bangsa yang lebih sejahtera, sehingga Indonesia
dapat bangkit dari keterpurukan dan menjadi negara yang maju dalam segala
bidang termasuk dalam hal ekonomi. Atas dasar hal-hal yang disebutkan diatas
maka penelitian ini menganalisis tentang variabel-variabel yang memengaruhi
populasi sapi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu terlebih dahulu diketahui faktorfaktor apa yang relevan memengaruhi pertumbuhan populasi sapi, sehingga dapat
dirumuskan kebijakan yang paling efektif untuk meningkatkan jumlah populasi
sapi di Indonesia. Faktor-faktor yang diduga relevan memengaruhi populasi sapi
di Indonesia antara lain harga daging sapi, harga pakan ternak, kredit dan
teknologi produksi yang diproksi dalam dosis Inseminasi Buatan.
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan diteliti adalah
sebagai berikut :
1. Apa saja faktor-faktor yang relevan serta pengaruhnya terhadap populasi sapi
di Indonesia?
2. Kebijakan apa yang lebih efektif diambil pemerintah dalam upaya
meningkatkan populasi sapi guna mencapai target swasembada daging sapi
tahun 2014?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menelaah faktor-faktor yang memengaruhi populasi sapi di Indonesia.
2. Merumuskan suatu kebijakan untuk meningkatkan populasi sapi guna
mencapai target swasembada daging sapi tahun 2014 di Indonesia.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Sebagai input bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat digunakan
sebagai dasar untuk menetapkan dan melakukan tindakan antisipatif dalam
rangka meningkatkan populasi sapi di Indonesia, serta pihak-pihak yang
terlibat langsung dalam pengembangan usaha peternakan sapi di Indonesia.
2. Bagi peneliti terdahulu dapat digunakan sebagai pembanding hasil riset
penelitian yang berkaitan dengan populasi sapi pada sektor peternakan.

6
3. Bagi penelitian mendatang dapat digunakan sebagai acuan untuk pemahaman
lebih mendalam mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi populasi
sapi.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas analisis faktor-faktor yang memengaruhi populasi
sapi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode ordinary least square
(OLS), dengan Time series yang digunakan adalah periode 1989-2011. Adapun
variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi harga daging sapi di pasar,
harga pakan ternak, kredit, dan teknologi produksi .

TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Peternakan Sapi Potong
Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi
lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu
memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dan mempunyai daya reproduksi yang
baik. Potensi dan kelebihan sapi lokal bisa dimanfaatkan secara optimal apabila
manajemen pemeliharaan dan perawatan dilakukan dengan baik. Anggraini (2003)
menyatakan usaha peternakan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok
berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, yaitu:
1) Peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas
pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya digunakan
sebagai usaha sambilan dengan skala usaha rakyat untuk mencukupi
kebutuhan keluarga dengan tingkat pandapatan dari ternak kurang dari 30
persen.
2) Peternakan sebagai cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran
dengan ternak dan tingkat pendapatan dari peternakan sebesar 30-70 persen.
3) Peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha
pokok dengan tingkat pendapatan mencapai 70-100 persen.
4) Peternakan sebagai skala industri dengan tingkat pendapatan dari usaha
peternakan mencapai 100 persen. Struktur industri peternakan di Indonesia
sebagian besar tetap bertahan pada skala usaha rakyat.
Ciri-ciri usaha rakyat yaitu tingkat pendidikan peternak rendah,
pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi
ternak menyebar, ukuran usaha relatif sangat kecil, dan pengadaan input utama
yaitu pemeliharaan bergantung pada musim, ketersediaan tenaga kerja keluarga,
penguasaan lahan ternak terbatas, produksi butiran terbatas dan sebagian besar
bergantung pada impor (Yusdja, 2005; Swastika et al., 2000). Peternakan sapi
potong di Indonesia umumnya merupakan usaha ternak sapi yang dikelola oleh
tenaga kerja keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar
masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi potong yang baru
tumbuh. Komposisi peternak sapi potong diperkirakan terdiri dari 80 persen
peternak kecil dengan kepemilikan sapi potong kurang dari empat ekor, 17 persen

7
peternak dengan kepemilikan sapi potong empat sampai tujuh ekor, dan tiga
persen kepemilikan sapi potong lebih dari tujuh ekor. Menurut (Mubyarto 1989,
diacu dalam Alpian 2010), memaparkan peternakan berdasarkan pola
pemeliharaan usaha ternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok,
yaitu: peternakan rakyat, peternakan semi komersil dan peternakan komersil.
1) Peternakan Rakyat
Peternakan rakyat dikelola dengan cara melakukan pemeliharaan ternak
secara tradisional. Pemeliharaan dengan menggunakan cara ini dilakukan setiap
hari oleh anggota kelompok keluarga peternak, dengan keterampilan yang dimiliki
masih sederhana dan menggunakan bibit ternak lokal dalam jumlah dan mutu
yang terbatas. Peternak rakyat cenderung memiliki tujuan utama yaitu
pemeliharaan sebagian hewan kerja sebagai pembajak sawah atau tegalan.
Peternakan rakyat dengan kondisi tersebut cenderung menyebabkan kurang
optimalnya hasil usaha peternakan oleh rakyat salah satunya rendahnya populasi
ternak.
2) Peternakan Rakyat Semi Komersil
Peternakan rakyat semi komersil dikelola dengan keterampilan beternak
yang dikategorikan cukup. Namun, peternakan rakyat semi komersil dilakukan
melalui penggunaan bibit unggul, obat-obatan, serta makanan penguat yang
cenderung meningkat. Namun, jenis peternakan rakyat tersebut memiliki tujuan
utama pemeliharaan hanya untuk menambah pendapatan keluarga dan konsumsi
sendiri. Kondisi peternakan ini juga menyebabkan hasil pemeliharaan yang
kurang optimal.
3) Peternakan Komersil
Peternakan komersil dijalankan oleh peternak yang mempunyai
kemampuan dalam segi modal, sarana produksi, dengan teknologi yang cukup
modern. Seluruh tenaga kerja dibayar dan makanan ternak dibeli dari luar dalam
jumlah besar. Biasanya jenis usaha peternakan seperti ini memiliki tujuan utama
yaitu menghasilkan keuntungan atau profitabilitas yang tinggi bagi pemilik
peternakan. Usaha ternak komersil ini memberi peluang yang cukup besar dalam
menghasilkan populasi ternak yang tinggi sehingga memengaruhi tingkat produksi
juga meningkat.
Selain pengelompokkan peternakan di Indonesia yang dilakukan oleh
Mubyarto (1989) diacu dalam Alpian (2010), peternakan pun memiliki sejarah
cukup panjang di Indonesia, maka Yusdja (2005) memaparkan bahwa usaha sapi
potong telah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha –
usaha swasta dalam usaha sapi perah di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat, dan
Jawa Tengah. Mulai tahun 1977, Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi
potong yang ditandai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. SKB
ini merumuskan kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi potong di
Indonesia. Setidaknya terdapat dua dasar yang digunakan yakni agribisnis sapi
potong dikembangkan melalui koperasi/KUD sapi potong dan pemasaran daging
diatur oleh koperasi serta Industri Pengolahan daging sapi.
Selain itu Yusdja (2005) juga memperlihatkan bahwa industri sapi potong
di Indonesia mempunyai struktur relatif lengkap yakni peternak, pabrik pakan,

8
dan pengolahan daging sapi yang relatif maju dan kapasitas yang cukup tinggi,
dan tersedianya kelembagaan peternak. Kondisi peternakan sapi potong di
Indonesia saat ini adalah skala usaha kecil (dua sampai lima ekor), motif usahanya
adalah rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan atau usaha utama,
masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan permodalan
yang masih lemah (Erwidodo,1993).
Usaha peternakan sapi potong di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada
daerah-daerah tertentu. Berkaitan dengan terkonsentrasinya usaha peternakan sapi
potong tersebut, Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi
potong di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu:
1) Wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki
kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan
2) Wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial
ekonomi yang rendah.
Pada dasarnya, tipe wilayah pertama merupakan dataran rendah yang
terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas, dan tipe wilayah kedua
menggambarkan pedesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk.
Beberapa kelemahan yang timbul dari karakteristik tersebut adalah rendahnya
penyediaan hijauan dan performa produksi pada tipe wilayah pertama serta
minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran daging di tipe wilayah
kedua. Namun usaha ternak sapi potong merupakan salah satu usaha yang
menguntungkan dibandingkan dengan usaha ternak yang lain. Kemampuan sapi
potong dalam menghasilkan daging ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan
pemberian pakan. Faktor lingkungan yang memengaruhi produksi daging antara lain
umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen
pemeliharaan dan pakan (Schmidt dan Hutjuers, 1998). Oleh karena itu, faktor yang
akan memengaruhi besarnya jumlah populasi sapi selanjutnya akan memengaruhi
produksi daging sehingga perlu diperhatikan dengan seksama dan ditangani dengan
sebaik mungkin dengan tujuan memperoleh hasil yang optimal.
Mersyah (2005) mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan
lambannya perkembangan sapi potong di Indonesia. Pertama, sentra utama
produksi sapi potong di Pulau Jawa yang menyumbang 45% terhadap produksi
daging sapi nasional. Produksi tersebut sulit dicapai karena dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu ternak dipelihara menyebar menurut rumah tangga peternakan
(RTP) di pedesaan, ternak diberi pakan hijauan pekarangan dan limbah pertanian,
teknologi budi daya rendah, tujuan pemeliharaan ternak sebagai sumber tenaga
kerja, perbibitan (reproduksi) dan penggemukan (Roessali et al. 2005), dan budi
daya sapi potong dengan tujuan untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasar
masih rendah. Faktor kedua terletak pada sentra produksi sapi di kawasan timur
Indonesia. Produksi sapi pada kawasan ini sebanyak 16% dari populasi nasional,
serta memiliki padang penggembalaan yang luas. Kendala produksi kawasan
timur Indonesia adalah tingkat mortalitas tinggi, pada musim kemarau panjang
sapi menjadi kurus, dan angka kelahiran rendah. Kendala lainnya adalah
berkurangnya areal penggembalaan, kualitas sumber daya rendah, akses ke
lembaga permodalan sulit, dan penggunaan teknologi rendah (Syamsu et al. 2003;
Isbandi 2004; Ayuni 2005; Rosida 2006). Ilham (1995) juga menegaskan bahwa
faktor lain yang menjadi permasalahan adalah sistem pemeliharaan ternak di

9
Indonesia. Sebagian besar ternak sapi dipelihara secara tradisional dalam usaha
rakyat.
Ada tiga sistem pemeliharaan yang umum digunakan oleh peternak rakyat,
yaitu pertama, sistem ekstensif yaitu sistem pengembalaan atau grazing (NTT,
NTB, Bali, Kalsel, sebagian Sumatera, dan sebagian Kalimantan), pemeliharaan
dengan sistem ini hanya untuk status sosial peternak dan tabungan. Kedua, sistem
intensif yaitu sapi tidak digembalakan dengan sistem cut and carry (Jatim dan
Jateng, sebagian Sulawesi), pengembangan peternakan dengan sistem ini sangat
bergantung pada ketersediaan tenaga kerja keluarga yang bertugas mencari pakan
hijauan. Pengembangan ternak dengan menyediakan pakan hijauan akan
mengurangi tenaga kerja keluarga dan skala usaha bisa meningkat. Tujuan
produksi sistem ini adalah tenaga kerja tanpa memperdulikan pasar dan produksi.
Ketiga, sistem kombinasi, ternak digembalakan pada lahan yang terbatas dan
kekurangan pakan hijauan dalam kandang. Sistem pemeliharaan kombinasi
bertujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sapi bakalan. Pada pemeliharaan
intensif, sapi dikandangkan terus-menerus atau dikandangkan pada malam hari
dan digembalakan pada siang hari. Sistem pemeliharaan secara intensif banyak
dilakukan oleh petani di Jawa, Madura, dan Bali. Sistem pemeliharaan ekstensif
banyak dilakukan oleh peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan
Sulawesi. Ternak pada sistem ini umumnya dipelihara di padang pengembalaan
dengan pola pengembalaan pertanian menetap atau di pelihara di hutan (Sugeng,
2006).
Kebijakan pengembangan ternak sapi harus melihat ketiga aspek tersebut
karena terdapat perbedaan masalah yang dihadapi sehingga penanganannya akan
berbeda, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya lahan dan pakan (Ilham,
1995). Selain itu sistem pemasaran yang ada tidak memberikan intensif yang
layak kepada peternak. Para peternak tidak mempunyai daya tawar sehingga peran
pedagang menjadi dominan dalam menentukan harga. Pada sisi lain perdagangan
ternak hidup antar pulau dan wilayah menimbulkan biaya angkutan dan resiko
ekonomi yang besar, sementara perdagangan karkas belum layak dilakukan
karena infrastruktur yang tersedia belum memadai. Usaha peternakan tradisional
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Sebagian besar usaha masih berskala kecil sebagai usaha keluarga
2) Tingkat keterampilan peternak rendah dan modal usaha yang kecil
3) Belum memanfaatkan bibit unggul dan jumlah ternak produktif yang sedikit
4) Penggunaan ransum tidak efisien dan belum disediakan secara khusus
5) Kurang memperhatikan pencegahan penyakit, dan
6) Usaha belum bersifat komersil.
Potensi Sapi Potong
Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia.
Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan
karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi
potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak
berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa, 2005). Alasan
pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya mencapai swasembada
daging antara lain adalah:

10
1) Subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber pertumbuhan baru pada sektor
pertanian.
2) Rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan terus bertambah.
3) Tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai daerah, sedangkan sentra
konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian
regional.
4) Mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai penyedia bahan pangan
maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan meningkatkan
ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Whiteman, 1980).
Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis
mempunyai cakupan yang sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada
kegiatan produksi di hulu tetapi juga sampai kegiatan bisnis di hilir dan semua
kegiatan bisnis pendukungnya. Pemerintah besama-sama dengan masyarakat
memimpikan mempunyai suatu industri peternakan sapi potong yang tangguh
dalam arti sebagai suatu industri peternakan yang mempunyai daya saing yang
tinggi dan mampu secara mandiri terus tumbuh berkembang di era persaingan
dalam ekonomi pasar global (Boediyana, 2008).
Kawasan Peternakan
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2004) menyatakan
konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keragaman fisik dan ekonomi
tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara
fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kawasan peternakan merupakan suatu
kawasan atau wilayah yang diperuntukkan secara khusus untuk kegiatan
peternakan atau terpadu sebagai komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan,
perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen
ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung, suaka alam), sedangkan kawasan
agribisnis peternakan adalah wilayah peternakan yang memiliki sistem agribisnis
berkelanjutan yang berorientasi pada industri dari hulu sampai hilir (Departemen
Pertanian, 2002). Ciri-ciri kawasan agribisnis peternakan meliputi lokasi yang
sesuai dengan agroekosistem dan alokasi tata ruang wilayah, dikembangkan oleh
masyarakat atau kelompok dalam kawasan tersebut secara biofisik dan sosial
ekonomi, komoditas terdiri atas ternak unggul, pengembangan kelompok tani
menjadi kelompok usaha, sebagian besar pendapatan masyarakat berasal dari
usaha peternakan, prospek pasar jelas, ketersediaan teknologi yang memadai,
peluang pengembangan produk yang tinggi, dan memiliki kekuatan kelembagaan
atau jaringan kelembagaan yang memiliki akses usaha hulu sampai hilir
(Departemen Pertanian, 2002). Saragih (2000) menjelaskan subsistem agribisnis
berbasis peternakan mencakup empat subsistem yaitu: 1) subsistem agribisnis
hulu peternakan, subsistem ini meruapakan kegiatan ekonomi yang menghasilkan
sarana produksi peternakan (sapronak), 2) subsistem agribisnis budidaya
peternakan, kegiatan ekonomi yang menggunakan sapronak untuk menghasilkan
komoditi peternakan primer, 3) subsistem agribisnis hilir peternakan, kegiatan
ekonomi yang mengolah komoditi peternakan primer menjadi produk olahan, 4)
subsistem agribisnis jasa peternakan, kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa

11
yang dibutuhkan oleh subsistem lain seperti transportasi, penyuluhan dan
pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan pemerintah.
Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2004), kawasan
peternakan dilihat dari segi agrosistem dan tingkat kemandirian kelompok dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kawasan peternakan baru, kawasan
peternakan binaan, dan kawasan peternakan mandiri. Kawasan peternakan baru
merupakan kawasan yang dikembangkan di suatu daerah atau wilayah kosong
ternak atau jarang ternak, tetapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi
suatu kawasan peternakan. Ciri-ciri kawasan peternakan baru yaitu petani telah
memiliki usaha tani di sektor agribisnis, belum terbentuk kelompok tani, dan
memiliki lahan yang cukup luas dan potensial untuk digunakan sebagai salah satu
sumber pakan ternak. Kawasan binaan merupakan kawasan lanjut dari kawasan
peternakan baru, yaitu daerah yang telah berkembang sesuai dengan
perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok tani pemula menjadi
kelompok tani madya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan menjadi
kawasan binaan. Kelompok tani pada kawasan binaan telah memiliki populasi
minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama antar kelompok mulai
dirintis dengan membentuk Kawasan Usaha Bersama Agribisnis (KUBA).
Kawasan peternakan mandiri adalah pengembangan tahap lanjut dari kawasan
binaan yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang luas.
Kemampuan kelompok tani telah meningkat menjadi kelompok lanjut dan telah
bekerjasama dengan kelompok tani lain dalam wadah KUBA. Kelompok tani
pada kawasan ini telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang
ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap kelompok, setiap KUBA dengan
perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan (Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional, 2004). Komponen-komponen yang menjadi indikator
pembentuk suatu kawasan peternakan sapi potong adalah lahan, pakan, ternak sapi
potong, teknologi, peternak dan pendamping, kelembagaan, aspek manajemen
usaha, dan fasilitas (Departemen Pertanian, 2002).
Produktivitas Sapi Potong
Hardjosubroto (1994) menyatakan, produktivitas ternak ditentukan oleh
dua aspek yaitu penampilan produksi dan penampilan reproduksi. Produktivitas
biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan.
Menurut Prescot (1979), secara umum produktivitas seekor ternak ditentukan oleh
tiga faktor yaitu genetik, lingkungan, dan umur. Faktor keturunan akan
mempengaruhi performa seekor ternak dan faktor lingkungan merupakan
pengaruh kumulatif yang dialami oleh ternak sejak terjadinya pembuahan hingga
dewasa. Produksi sapi yang baik akan dihasilkan apabila seekor ternak selain
mempunyai genetik yang tinggi, ternak juga memiliki daya adaptasi lingkungan
serta tata laksana yang baik.
Menurut Sudarsono (1984), produksi adalah kombinasi faktor-faktor
produksi yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu satuan produksi. Suatu
proses produksi melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-faktor
produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Produksi adalah
tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey,

12
1993). Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus-menerus
berubah seiring dengan kemajuan teknologi.
Produksi ternak sapi potong berhubungan erat dengan performansnya.
Performans ternak dapat dilihat dari bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh,
dan kondisi tubuh. Bobot badan ternak dapat diketahui dengan melakukan
penimbangan atau menggunakan alat penduga bobot hidup untuk menggambarkan
penampilan produksi seekor ternak. Beberapa ukuran tubuh dapat dijadikan
sebagai indikator bobot hidup seperti lingkar dada panjang badan, dan tinggi
gumba (Hardjosubroto, 1994). Ukuran tubuh bukan hanya menentukan keadaan
performans ternak itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi performans ternak
keturunannya (Siregar et al., 1984). Pertumbuhan seekor ternak diartikan sebagai
pertambahan bobot badan per satuan waktu, meliputi perubahan ukuran urat
daging, tulang, dan organ-organ internal lainnya. Pertumbuhan ternak dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu bangsa ternak, jenis kelamin, jumlah dan kualitas pakan
serta fisiologi lingkungan ternak (Soeparno, 1998). Laju pertumbuhan yang
berbeda diantara bangsa dan individu ternak dalam suatu bangsa disebabkan oleh
perbedaan ukuran tubuh dewasa. Bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat,
tumbuh lebih cepat, dan bobot tubuh lebih berat pada saat mencapai pubertas dari
pada bangsa ternak yang kecil. Kecepatan pertumbuhan sapi sangat cepat pada
tahun pertama setelah sapi mencapai pubertas dan kemudian menurun kembali
setelah mencapai dewasa kelamin (Tulloh, 1978).
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Populasi Sapi
Kemampuan usaha peternakan sapi rakyat dalam meningkatkan jumlah
populasi sapi yang semakin besar pasti dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor.
Faktor-faktor yang memengaruhi populasi sapi perlu diteliti agar dapat
menentukan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan jumlah populasi sapi
nasional yang saat ini masih belum mampu mencukupi kebutuhan daging dalam
negeri yang semakin tinggi. Apabila populasi sapi nasional dapat dipacu dalam
jumlah yang besar maka diharapkan hal ini dapat megurangi bahkan
menghilangkan ketidakseimbangan antara jumlah populasi sapi yang rendah
sehingga produksi daging juga rendah dengan kebutuhan konsumsi yang terusmenerus meningkat di Indonesia.
1. Harga Daging Sapi
Harga adalah satuan nilai yang diberikan pada suatu komoditi sebagai
informasi kontraprestasi dari produsen/pemilik komoditi. Dalam teori ekonomi
disebutkan bahwa harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif, maka
tinggi rendahnya harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar. Oleh
karena itu dalam penelitian ini harga daging sapi akan ditinjau dari sisi penawaran
pasar. Menurut penelitian Kariyasa (2008), harga daging sapi yang berlaku dalam
negeri berpengaruh signifikan terhadap produksi daging sapi. Dalam hal ini
menggunakan asumsi bahwa 1 kg daging sapi sama dengan 1 ekor sapi, cateris
paribus. Artinya jika harga daging sapi berpengaruh signifikan pada produksi
daging, maka akan berpengaruh signifikan juga pada populasi sapi. Hal ini
disebabkan karena jumlah populasi sapi berhubungan dengan proses produksi

13
daging. Harga daging sapi dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang
peningkatan jumlah populasi sapi. Harga daging sapi merupakan salah satu faktor
utama suatu usaha peternakan sapi untuk berproduksi. Jika terjadi kenaikan harga
pada harga daging dapi, maka usaha peternakan sapi rakyat akan cenderung
memproduksi daging dalam jumlah yang besar. Hal ini tentunya disebabkan
adanya peluang bagi peternak sapi memiliki keuntungan atau profitabilitas yang
tinggi. Kesenjangan antara harga daging sapi dengan harga daging impor, dimana
harga daging impor lebih murah dari pada harga daging sapi lokal, menyebabkan
masyarakat cenderung lebih memilih mengkonsumsi daging sapi impor
dibandingkan daging sapi lokal. Kestabilan harga daging sapi ini perlu
diperhatikan agar keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi produk dalam
negeri lebih tinggi dalam hal ini yaitu daging sapi lokal.
2. Kredit
Kredit berasal dari kata italia, credere yang artinya kepercayaan, yaitu
kepercayaan dari kreditor bahwa debitornya akan mengembalikan pinjaman
beserta bunganya sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak (Hasibuan, 2008).
Peran kredit dibutuhkan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Kebutuhan
tambahan modal dapat terpenuhi bagi masyarakat dengan adanya kredit. Terdapat
tiga komponen penting daam pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan,
perubahan struktur ekonomi, dan pengurangan jumlah kemiskinan. Kredit menjadi
indikator yang penting bagi proses peningkatan populasi sapi dan perkembangan
usaha peternakan sapi di seluruh daerah-daerah sentra produksi karena fasilitas
modal dalam melakukan pembibitan sapi serta penggemukannya. Kredit yang
berjalan dengan lancar sangat membantu para peternak sapi dalam meningkatkan
populasi sapi serta produksinya. Fasilitas kredit yang berasal dari pemerintah ini
dapat memacu para peternak lebih giat lagi dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas sapi nasional. Ketersediaan kredit tersebut merupakan penunjang proses
produksi daging melalui peningkatan populasi sapi terlebih dahulu (Suandari,
2009).
3.Teknologi Produksi Inseminasi Buatan
Teknologi produksi Inseminasi Buatan adalah proses pemasukan sperma
ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina menjadi
bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi
produksi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi puluhan
milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuah satu
sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon.
Perkembangan lebih lanjut, program Inseminasi Buatan tidak hanya mencakup
pemasukan semen ke dalam reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi dan
pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan, atau
pengawetan. Dengan demikian pengertian Inseminasi Buatan menjadi lebih luas
yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya artific