Model Van Meter dan Van Horn

Mengenai fragmentasi, Edwar ds III 1980:125 menjelaskan: “The latter results primarily from pressures outside bureaucratic units as legislative committees, interest groups, executive officials, state constitutions and city charters, and the nature of broad policies influence the organization of public bureaucracies ”. Dalam bahasa yang lebih singkat, Edwards III 1980: 134 mendefinisikan fragmentasi sebagai “...the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units ”. Dengan kata lain, fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Edwards III 1980: 134 memberikan ilustrasi bagaimana fragmentasi membuat Pemerintah AS menjadi tidak efisien. Dicontohkan bahwa pada masa pemerintahan Carter, Presiden Carter yang mengadakan reformasi pelayanan publik menyatakan, “There are too many agencies, doing too many things, overlapping too often, coordinating too rarely, wasting too much money – and doing too little to solve real problems ”.

b. Model Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn Subarsono, 2005: 99 terdapat lima variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : “1standar dan sasaran kebijakan; 2 sumberdaya; 3 komunikasi anta rorganisasi dan penguatan aktivitas; 4 karakteristik agen pelaksana; dan 5 kondisi sosial, ekonomi dan politik ...”. Gambar II.7. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn Sumber: Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono 2005: 99 Selanjutnya variabel- variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn tersebut dijelaskan Subarsono, 2005: 99: 1 Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi. 2 Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia human resources maupun sumberdaya non- manusia non-human resources. Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti Program Jaring Pengaman Sosial JPS untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana. 3 Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. 4 Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program. 5 Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi Ko munikasi antar organisasi dan agen pelaksana Ukuran dan tujuan kebija kan Kara kteristik agen pelaksana Disposisi pelaksana Sumber daya Lingkungan sosial, e konomi dan politik Kinerja imple mentasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. 6 Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: a respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; b kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan c intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh Edwards III, maka seperti terlihat di atas, variabel 1 standar dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan dalam variabel “komunikasi” dalam model Edwards III. Hal ini karena dari penjelasan yang ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar dan sasaran kebijakan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi maupun konflik. Variabel 2 sumber daya sejalan dengan variabel “sumber daya” pada model Edwards III, yaitu mencakup SDM dan non-SDM. Variabel 3 hubungan antar organisasi dapat kita masukkan dalam variabel “struktur organisasi” dari model Edwards III. Variabel 4 karakteristik agen pelaksana dan variabel 6 disposisi implementor , dapat kita masukkan pada variabel “disposisi” dalam model Edwards III. Hal ini dikarenakan variabel 4 membicarakan tentang „norma-norma‟ dan „pola-pola hubungan‟ yang terjadi pada implementor merupakan dapat mengacu pada preferensi nilai atau sikap yang ada pada implementor dalam menyikapi nilai- nilai yang dibawa oleh kebijakan. Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, yang agak berbeda barangkali adalah variabel 5 kondisi sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel 5 ini terlihat bahwa model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga mempertimbangkan faktor eksternal. Dilihat dari teori sistem kebijakan dari Dye yang melibatkan tiga elemen dalam sistem kebijakan, maka faktor sosial, politik, dan ekonomi dapat kita masukkan dalam elemen lingkungan kebijakanpolicy environment. Di lain pihak, barangkali timbul pertanyaan mengapa Edwards III tidak memasukkan elemen lingkungan kebijakan dalam teorinya? Menurut penulis, Edwards III tidak memasukkan elemen lingkungan kebijakan karena beliau memfokuskan teorinya pada aktor-aktor kebijakan yang mengimplementasikan kebijakan itu sendiri implementor kebijakan sehingga tidak memfokuskan pembahasan pada apa yang terdapat di luar implementor kebijakan. Di lain pihak, penelitian dalam tesis ini yang membahas E- Pembelajaran dalam lingkup internal sekolah juga tidak melibatkan elemen lingkungan kebijakan, sehingga model Edwards III masih relevan dijadikan acuan dalam penelitian ini. Namun demikian ada satu hal yang terlihat menonjol pada gambar model implementasi menurut Van Meter dan Van Horn, yaitu model ini memperlihatkan bahwa imple mentasi kebijakan akan menuju “kinerja”. Kebanyakan ahli yang mengemukakan model proses kebijakan Easton, Anderson, Patton Savicky, dan Dunn tidak memasukkan “kinerja kebijakan” dalam model proses kebijakan. Hal ini dikemukakan oleh Nugroho 2008: 388: ...Uniknya para akademisi tersebut tidak memasukkan “kinerja kebijakan”, melainkan langsung pada evaluasi kebijakan. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa para akademisi tersebut menilai bahwa “kinerja kebijakan” adalah proses yang “pasti terjadi” dalam kehidupan publik, bahkan tanpa harus disebutkan...

c. Model Grindle