BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
Untuk memahami mengenai perceraian perkawinan bagi orang yang beragama Islam, harus ditelaah dahulu mengenai pengertian perkawinan, tujuan
perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pengertian perceraian perkawinan, alasan perceraian perkawinan, hukum positif yang mengatur perceraian perkawinan.
Mengenai hukum positif yang mengatur tentang perceraian perkawinan antara lain Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan,
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Mengenai peradilan yang
berwenang memutus perceraian perkawinan adalah peradilan yang dimaksud dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Pasal 1 butir 2 ialah Peradilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang
sah, yang bersifat khusus, yang berwenang dalam jenis perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia. Menurut Pasal 49 ayat 1 UU
No. 7 Tahun 1989. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sodaqoh.
Pengertian Peradilan Agama menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Pasal 1 ialah peradilan bagi orang yang beragama Islam dan merupakan salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu disebutkan dalam Pasal 2 Undang-
Undang ini Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 1989 Pasal 54. Konsekuensi berlakunya Undang-Undang No.7 Tahun1989 adalah untuk
pemeriksaan sengketa perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, diajukan kepada Pengadilan Agama keputusan Pengadilan Agama dapat berkekuatan
hukum tetap tanpa pengukuhan dari Pengadilan Negeri seperti yang tertera dalam Pasal 107 ayat 1 butir di Undang-Undang ini.
A.1.Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
yang lainnya.
1
Salah satu bentuk hubungan antara manusia satu dengan lainnya ialah hubungan perkawinan, yaitu hubungan antara seorang pria dan seorang
1
Sulaiman Rasjid.Fiqih Islam. Bandung. Sinar Baru Algesinda.1994. hal 374
wanita sebagai suami isteri yang membentuk keluarga sebagai awal adanya masyarakat. Sebelum adanya ikatan perkawinan tersebut, masing-masing
pria dan wanita masih hidup bersama, dan tetap memiliki hak serta kewajiban sebagai suami isteri.
Menurut Abdul Muhaimin As’ad, perkawinan dalam bahasa Arabnya “nikah” ialah aqad antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat
kebutuhan nafsu sexnya, yang diatur menurut tatanan syari’at agama sehingga keduanya diperbolehkan bergaul sebagai suami isteri.
2
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga di sini dengan tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahirjasmani tetapi juga memiliki unsure batinrohani
3
. Sehingga dalam Undang-Undang Perkawinan tidak dimungkinkan perkawinan yang pasangannya beda agama,
sesuai dengan rumusan Pasal 2 ayat 1 “Perkawinan adalah sah bila
2
Abdul Muhaimin As’ad.Risalah Nikah. Surabaya. Bintangterong.1993. hal 3
3
Moh.Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. Bandung. Mondar Maju.1990
dilakukan berdasarkan pada hukum agama dan keyakinannya”. Hal ini juga diperkuat dalam pengaturan Pasal 8 F Undang-Undang No 1 Tahun 1974
4
. Perkawinan dalam Islam menurut M. Ma’arif.
Perkawinan atau nikah merupakan suatu ikatan yang ditetapkan oleh syari’at Islam yang menyatukan antara laki-laki dan wanita untuk mendapatkan
keturunan yang baik dari hubungan yang halal dan sah. Hal tersebut dipandang demikian, sebab dari segi bahasa perkawinan memiliki arti
“berkumpul, campur, berhubungan badan jimak, dan bersatu yaitu dua orang yang menjadi satu”
5
.
A.2.Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah dan mengharapkan ridha-Nya dan Sunnah Rasul, demi memperoleh keturunan yang sah dan
terpuji dalam masyarakat, dengan membina rumah tangga yang bahagia dan sejahtera , serta penuh cinta kasih diantara suami isteri tersebut
6
. Firman Allah:
“Maka kawinlah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
kawinlah seorang saja”. AN
NISAA:3
4
Budi Handiyanto. Perkawinan Beda Agama. Yogyakarta. Chaerul Bayan.2003.h 72
5
M. Ma’arif. Problematika Wanita Modern. Surabaya. Karya Gemilang Utama. Hal 77
6
Abdul Muhaimin As’ad. Opcit. hal 4
Setiap orang dalam melakukan sesuatu, tentunya memiliki tujuan. Demikian juga dalam melakukan pernikahan.
Tujuan perkawinan sangatlah beragam, sesuai dengan pelakunya masing- masing. Ada yang bertujuan untuk meningkatkan karier, untuk meraih jabatan
tertentu dan lain-lain. Tetapi jika kita bertolak dari ajaran Islam, maka secara garis besar tujuan perkawinan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu: 1.
Untuk Mentaati Anjuran Agama Sebagai muslim yang baik, hendaknya senantiasa mengacu pada tatanan
agamanya. Hidup berkeluarga adalah tatanan syari’at Islam yang sangat dianjurkan Allah SWT dari Rasul-Nya. Sehingga seorang muslim dalam
melaksanakan pernikahan juga harus bertujuan untuk mentaati perintah agamanya dan juga untuk menyempurnakan amaliyah keagamaanya.
2. Untuk Mewujudkan Keluarga Sakinah
Allah SWT berfirman: “Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, agar kamu tentram hidup bersamanya; dan diciptakan-Nya rasa kasih dan saying di antara kami.
Al Qur’an Surat Ar Rum ayat 21 Dalam ayat tersebut Allah SWT menerangkan bahwa tujuan
diciptakannya isteri adalah agar suami dapat membangun keluarga sakinah bersama isterinya. Keluarga yang harmonis, bahagia dan
sejahtera lahir batin, hidup tenang, tentram damai penuh kasih sayang.
Dalam keluarga yang sakinah, terjalin hubungan suami isteri yang serasi dan seimbang, tersalurkan nafsu seksual dengan baik di jalan yang
diridhai Allah, terdidiklah anak-anak menjadi anak-anak shalih dan shalihah, terpenuhi kebutuhan lahir dan batin suami isteri, terjalin
persaudaraan yang akrab antara keluarga besar dari pihak suami dengan keluarga besar dari pihak isteri, dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama
dengan baik, dapat menjalin hubungan yang mesra dengan para tetangga dan dapat hidup bermasyarakat dan bernegara secara baik pula.
3. Untuk Mengembangkan Dakwah Islamiyah
Dalam membina hidup berkeluarga, umat Islam baru hendaknya juga bertujuan untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, sebagaimana
yang dilakukan oleh baginda Nabi SAW beserta para sahabatnya. Dengan hidup berkeluarga, pasangan suami isteri akan melahirkan anak-anak dan
keturunan yang sah. Sejak kecil anak-anak harus dididik dengan akhlakul karimah dan kepada mereka ditanamkan akidah Islamiyah yang kuat.
Sehingga mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang taat terhadap agamanya. Dan diharapkan, dari anak-anak ini juga akan
lahir cucu-cucu yang shalih dan shalih pula. Dengan demikian, misi dakwah Islamiyah akan berkembang dengan baik melalui anak dan
keturunannya. Dengan berkeluarga, misi dakwah juga bisa dikembangkan kepada
keluarga besar dari pihak isteri maupun keluarga besar dari pihak suami. Bahkan bisa dikembangkan lebih luas kepada masyarakat sekitarnya.
Tujuan-tujuan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai harapan, ada kalanya dalam kehidupan rumah tangga terjadi salah paham,
perselisihan, pertengkaran yang berkepanjangan yang menimbulkan tindak kekerasan putusnya hubungan perkawinan suami isteri. Yang
menjadikan alasan untuk mengajukan perceraian dalam perkawinan.
A.3.Syarat-syarat Perkawinan
Perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu. Pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang isteri hanya boleh memiliki seorang suami. Pengadilan dapat memberikan izin kepada
seorang suami yang hendak beristeri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadilan hanya memberikan ijin kepada suami untuk beristeri lebih dari satu apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
7
Yang dimaksudkan syarat dalam perkawinan itu ialah sesuatu hal yang mesti ada dalam perkawinan itu misalnya syarat wali, yang harus laki-
laki, baligh, berakal dan sebagainya, atau calon pengantin lelaki atau perempuan yang harus jelas
8
.
7
DEPKEH, 1985, Bahan Pokok Bagi Penyuluh Hukum Tentang Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya
, Jakarta, DIrjen Kumdan, hal. 2
8
Abdul Muhaimin As’ad. Ibid. hal 35
Di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya memuat syarat-syarat yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Di dalam Bab II Pasal 6
ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2.
untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya. 4.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5.
dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsukan perkawinan atau
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Kemudian dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umar 19
sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun.
Akad nikah antara waliwakilnya dengan calon mempelai laki- lakiwakilnya dengan kata : “Hai Pulan, saya nikahkansaya kawinkan si
Pulanah anak perempuansaudara perempuan sayaanak perempuan Pulan dengan engkau dan engkau membayar mas kawin………tunai”
Qobul : “Saya terima untuk menikahinya dan dengan membayar mas kawin tersebut”.
Sedangkan rukun perkawinan syaratnya : 1
Syarat mempelai laki-laki a
Bukan muhrim dari mempelai perempuan b
Atas kemauan sendiri, bukan terpaksa c
Jelas orangnya d
Tidak sedang menunaikan ihram haji 2
Syarat mempelai perempuan a
Tidak berhalangan syar’i, yakni tidak bersuami, bukan muhrim dari mempelai laki-laki dan tidak sedang menjalani masa iddah
b Atas kemauan sendiri
c Jelas orangnya
d Tidak sedang menunaikan ihram haji
3 Syarat-syarat wali
a Laki-laki
b Baligh
c Berakal sehat
d Tidak terpaksa
e Adil
f Tidak sedang menunaikan ihram haji
4 Syarat saksi
a Laki-laki
b Baligh
c Berakal sehat
d Adil
e Dapat mendengar dan melihat
f Tidak terpaksa
g Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab dan qabul
h Tidak sedang menunaikan ihram haji
5 Syarat Ijab Kabul
a Haruslah dari kata-kata yang tersebut dalam Al Qur’an yaitu lafal
nikah dan tazwidj, atau boleh juga menggunakan Terjemahan dari dua lafal tersebut di atas “Nikah dan Kawin”.
b Tidaklah diperbolehkan ijab dan Kabul itu dengan lafal ibahah halal
atau hibah pemberian seperti : Aku halalkan berikan anakku….kepada engkau dengan mahar mas kawin Rp. ……
c Ijab dan Kabul itu masing-masing harus diucapkan dengan suara yang
jelas dan tegas sehingga bisa didengar oleh kedua belah pihak dan oleh kedua orang saksi.
d Kalau ucapan ijab dan Kabul itu diterjemahkan dari bahasa Al Qur’an
Arab ke bahasa lain Indonesia, Cina atau lainnya haruslah bisa dimengerti oleh yang mengucapkan ijab waliwakilnya, oleh yang
menerimanyawakilnya dan dimengerti pula oleh dua orang saksi. e
Sesuai dengan apa yang diijabkan oleh wakilnya, Begitulah jawaban Kabul dari pihak pengantin prianya sebagai misal : Kalau wali
menikahkan anak perempuannya yang bernama Fatimah, maka si pengganti prianya harus menjawab : Saya telah menerima nikahnya
Fatimah, bukan anaknya perempuan yang lain. f
Tidak adanya taliq atau syarat yang menghalangi berlangsungnya pernikahan misalnya ucapan wali ketika mengijabkan : Saya nikahkan
engkau dengan anak perempuanku Siti Zaenab, jika engkau bisa membangunkan rumah susun atau Saua nikahkan engkau dengan anak
perempuanku Zaenab cukup lima bulan saja.
A.4.Larangan Perkawinan
Sesuai ketentuan Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya harus mengajukan surat kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan serta meminta kepada pengadilan
agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Hak dan kewajiban suami isteri telah diatur sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jika masing-masing, suami atau isteri melalaikan kewajibannya atau melanggar hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur, sehingga
masing-masing dapat dan berhak mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri diajukan kepada Pengadilan Agama. Dalam hal ini pengadilan mana, bergantung pada pokok
perkaranya. Untuk bidang perkawinan yang berkaitan dengan Cerai Talak dan Cerai Gugat, hal ini akan diterangkan kemudian dalam bagian tersendiri.
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa, gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri pengajuannya disatukan dengan perkara Cerai
Talak atau Cerai Gugat, artinya gugatan bersifat kumulatif, seperti halnya gugatan soal pengasuhan anak, pemeliharaan anak, nafkah anak, nafkah isteri,
iddah, mut’ah dan harta bersama sekaligus digugat suami atau isteri. Hal ini dibenarkan oleh Undang-Undang.
Cerai Talak terdiri dari dua kata. Cerai dan Talak. Cerai ialah terputusnya perkawinan antara suami dan isteri, dengan tekanan
terputusnya hubungan ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Sedangkan Talak ialah, ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan
Agama.
Dengan demikian, bahwa Cerai Talak ialah, terputusnya tali perkawinan akad nikah antara suami dengan isterinya, dengan talak yang
diucapkan suami di depan sidang Pengadilan Agama. Untuk itulah, hakikat Cerai Talak ialah, ikrar talak yang diucapkan
suami terhadap isterinya, setelah ada putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan mana berisi mengizinkan kepada
suami untuk mengucapkan ikrar talak terhadap isterinya itu. Ikrar talak harus diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama.
Tidak ada pilihan lain, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, dan satu-satunya lembaga legal formal dijamin oleh
hukum yang berlaku, yang mengizinkan suami untuk mengucapkan ikrar talak terhadap isterinya adalah Pengadilan Agama. Cerai Talak harus
didahului oleh adanya permohonan Cerai Talak dari seorang suami kepada Pengadilan Agama, agar ia dapat diberikan izin oleh pengadilan untuk
mengucapkan ikrar talak terhadap isterinya itu. Ikrar talak suami sebagai pemohon baru dapat dilaksanakan setelah penetapan izin ikrar tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap. Seorang suami yang beragama Islam, yang akan menceraikan
isterinya harus mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan, langsung atau kuasanya kepada Pengadilan Agama. Permohonan mana dibuat
sedemikian rupa sesuai aturan, secara formal berisikan identitas para pihak,
posita duduknya perkara dan petitum tuntutan. Permohonan memuat mana, umur, dan tempat kediaman pemohon, yakni suami dan termohon,
yakni isteri; alasan-alasan yang menjadi dasar Cerai Talak. Perkara Cerai Talak dibuat dalam bentuk yang bersifat contensius,
karena perkara permohonan Cerai Talak termasuk perkara sengketa dan bukan perkara voluntair. Permohonan Cerai Talak bersifat 2 dua, pihak
suami sebagai pemohon, sedangkan isteri sebagai pihak termohon. a.
Permohonan Cerai Talak diajukan kepada Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon isteri, kecuali:
b. Jika termohon isteri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon suami, maka permohonan Cerai Talak dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon suami.
c. Jika termohon isteri bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan Cerai Talak diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon suami.
d. Jika pemohon suami dan termohon isteri bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan Cerai Talak diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan pemohon
termohon suami-isteri.
Dalam kenyataan di lapangan, perkara permohonan Cerai Talak yang diajukan kepada Pengadilan Agama biasa dan sering terjadi memuat
permohonan soal lain, seperti penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami-isteri. Permohonan secara kumulatif ini dibolehkan
oleh Undang-Undang. Karenanya permohonan soal penguasaan anak, pengurusan anak, nafkah anak, nafkah isteri, nafkah iddah dan harta bersama
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan Cerai Talak ataupun diajukan sesudah ikrar Talak diucapkan.
Gugatan perceraian disebut juga Cerai Gugat. Pengertian sempitnya yaitu, perceraian karena gugatan isteri. Atau terputusnya hubungan suami
isteri karena sebab gugatan isteri yang bukan karena talak suaminya. Pengertian sempit lainnya ialah, lepasnya ikatan perkawinan atau
diputuskannya hubungan suami isteri karena adanya gugatan isteri pada suaminya.
Pengertian yang luas, suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat pihak isteri kepada Pengadilan Agama, agar tali perkawinan dirinya dengan
suaminya diputuskan melalui suatu putusan Pengadilan Agama, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Khusus mengenai pengertian perceraian ialah, suatu keadaan dimana antara seorang suami dan seorang isteri telah terjadi ketidak cocokan batin
yang berakibat pada putusnya suatu tali perkawinan melalui suatu putusan pengadilan.
Seorang isteri yang beragama Islam yang hendak mengajukan perkara perceraian, harus mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama.
Gugatan Cerai dibuat sedemikian rupa, yang secara formal berisikan identitas para pihak, posita atau duduknya perkara dan petitum atau tuntutan.
a. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat isteri, kecuali: b.
Jika penggugat isteri bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat suami. c.
Jika penggugat dan tergugat suami isteri bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Kenyataan membuktikan bahwa, gugatan perceraian yang diajukan penggugat isteri kepada Pengadilan Agama, gugatannya bersifat kumulatif,
menyangkut pula gugatan soal-soal lainnya; seperti nafkah, penguasaan anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri ini dibolehkan, soal penguasaan
anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama- sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian
mempunyai kekuatan hukum tetap.
A.5.Peceraian Perkawinan
Setiap dua insan yang telah sepakat berikrar janji untuk hidup berbagi, saling menjaga dan saling setia dalam sebuah pernikahan, maka tiadalah
sebuah harapan yang paling besar bagi keduanya, melainkan adalah kebahagiaan hidup dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah
warrahmah. Akan tetapi untuk mendapatkan dan mewujudkan hal itu tidaklah
mudah, butuh kerja keras yang maksimal dari kedua belah pihak dan kedewasaan sikap dalam menghadapi segala problematika yang terjadi dalam
setiap rumah tangga. Sebab tidak dapat kita pungkiri bahwasannya selalu terbuka pintu-pintu yang memungkinkan bagi terciptanya polemik rumah
tangga yang tak berkesudahan, dimana Terkadang hal itu dapat menghantarkan mereka pada suatu keputusan atau jalan keluar yang
diperbolehkan namun amat sangat dibenci oleh Allah SWT yaitu perceraian. Adapun pada pembahasan sekali ini akan kemukakan beberapa
diantara keadaan yang dipandang sebagai batu penghalang yang tampak kecil tapi sangat runcing, sehingga hal itu memberikan peluang yang sangat besar
bagi keretakan dan kehancuran sebuah mahligai rumah tangga. Dan keadaan- keadaan tersebut yang merupakan faktor pemicu bagi hancurnya esensi dari
pernikahan, adalah sebagai berikut : Pertama : Kecemburuan, Kecurigaan dan Ketertutupan
Suamiisteri yang telah dibutakan oleh rasa cemburu, yang mana kecemburuan tersebut hanya berdasarkan pada kecurigaan dan prasangka saja,
maka tiadalah hal itu melainkan menjadi bibit-bibit kecil dari hilangnya rasa kepercayaan kepada pasangannya sendiri, dan bila hal itu dibiarkannya berlarut-
larut tanpa adanya komunikasi yang baik dari kedua belah pihak. Terlalu tertutup kepada suamiisteri dan lebih terbuka kepada orang lain,
adalah sikap yang tidak dibenarkan dalam rumah tangga. Sebab sikap yang demikian akan menjadikan pihak lain merasa diacuhkan dan tidak dihargai
keberadaannya. Dan hal ini menyalahi makna daripada pernikahan itu sendiri
dimana ia adalah sebuah hubungan yang berdasarkan pada saling berbagai dan memberi satu sama lain.
Jadi, sikap keterbukaan dari masing-masing pihak amat sangat dibutuhkan untuk menciptakan sebuah hubungan yang kondusif, maka segala hal yang
mengganjal dalam hati sebaiknya diutarakan kepada pihak yang lain, terlebih bila hal itu berkenaan dengan permasalahan yang cukup urgenpenting demi kebaikan
dan kemaslahatan bersama. Untuk itu Mulailah menjadikan suamimu atau isterimu sebagai kekasih sekaligus sahabat dalam perjalanan hidupmu, taruhlah
kepercayaan itu secara utuh dan jagalah kepercayaan yang diberikannya secara utuh pula, maka akan kau dapati betapa hidup yang sedang kau jalani itu begitu
bermakna dan memberi makna bagi “yang lain”.
Kedua : Kebosanan Dalam Rumah Tangga Kebosanan adalah keadaan jiwa yang ditimbulkan oleh kejenuhan dalam
menghadapi atau menerima sesuatu, ada kalanya karena frekuensinya yang terjadi berulang-ulang atau lantaran sebab-sebab lain, dan hal ini kerap sekali
terjadi dalam kehidupan ini. Jika kebosanan tersebut dibiarkan berkembang tanpa adanya usaha untuk mengurangi dan menghilangkannya. Maka berdampak sangat
tidak baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Demikian pula dalam sebuah pernikahan tidak bisa terlepas dari
kebosanan, hanya saja semua tergantung dan kembali pada masing-masing pihak seberapa dini mereka menyadari dan menanggulanginya, maka semakin kecil
peluang bagi terbukanya pintu-pintu ketidakharmonisan dan ketidaknyamanan dalam pernikahan tersebut.
Dan sebaliknya jika suamiisteri membiarkan kebosanan itu berlarut tanpa adanya usaha untuk mencari sumber daripada kebosanan tersebut dan mencari
solusinya, maka seperti perahu bocor jika dibiarkan saja, pastilah perahu itu akan tenggelam beserta nahkoda dan awak kapalnya. Jadi kebosanan sesungguhnya
dapat berdampak pada terjadinya penyimpangan perilaku dari suamiisteri yang mengancam bagi tegaknya sendi-sendi dan keuntungan sebuah rumah tangga.
Ketiga : Kekerasan Dalam Rumah Tangga Akhir-akhir ini banyak sekali kita dapati para isteri yang beramai-ramai
membawa suaminya sendiri ke meja hijau untuk dijerat oleh pasal-pasal yang berkenaan dengan kekerasan terhadap perempuan. Mereka para isteri berani
menggugatmeminta cerai dari suaminya, dimana pada umumnya hal itu dipicu oleh adanya kekerasan yang dilakukan suami terhadap dirinya, baik itu kekerasan
yang bersifat fisik dan psikis ataupun seksual. Kekerasan fisik bisa berupa pukulan, tendangan, penganiayaan, atau
perusakan pada anggota tubuh. Sementara kekerasan psikologis dapat berupa, cemoohan, hinaan, ancaman dan segala hal yang dapat menyakiti dan melukai
perasaan seseorang. Pada dasarnya semua bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga adalah tidak dibenarkan oleh norma-norma, baik itu norma agama,
norma hukum ataupun norma susila. Sebab apa pun yang menjadi alasan dari timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, sesungguhnya hanya berdampak
negatif dan menyebabkan trauma bagi si korban. Bahkan tak jarang karena keterbatasan tahan tubuh serta jiwa dari si isteri dalam menerima perlakuan
sewenang-wenang dari suami tersebut, maka tiadalah jalan keluar yang tepat untuk menyudahi kekerasan yang dilakukan oleh suami itu, melainkan adalah
menggugat cerai darinya.
Adapun yang menjadi faktor utama dari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, adalah tidak adanya atau kurangnya pemahaman suami-isteri
terhadap posisi masing-masing dalam sebuah rumah tangga, sehingga pada akhirnya memunculkan perilaku tiran dan sewenang-wenang terhadap pihak lain,
karena ia merasa berhak memaksakan kehendak dan berbuat semuanya sendiri terhadap pihakanggota keluarga yang lain.
Keempat : Adanya Orang “Ketiga” Dalam Rumah Tangga Hadirnya “orang ketiga” dalam setiap rumah tangga kerap kali menjadi
pemicu bagi munculnya masalah-masalah baru yang seringkali membayang- bayangi kelangsungan dan kebutuhan sebuah keluarga pada pintu kehancuran.
Adapun yang dimaksud orang ketiga di sini bukan hanya WIL Wanita Idaman Lain, atau PIL Pria Idaman Lain. Tetapi orang ketiga bisa juga berarti
keluargafamili yang tinggal seatap dengan mereka dalam kurunbatas waktu yang tidak ditentukan.
Ketika muncul adanya WILPIL dalam sebuah rumah tangga, maka sudah dapat dipastikan apa yang bakal menjadi ancaman bagi kelangsungan dan
kebutuhan rumah tangga tersebut. Sebab penghianatan partner dan perselingkuhan adalah berarti pula penyimpangan perilaku terhadap hakikat dan
sendi dari ditegakkannya sebuah pernikahan itu sendiri, dimana pernikahan merupakan sebuah hubungan yang dibangun dan tegak oleh landasan keyakinan,
kepercayaan dan kesetiaan terhadap satu kepada yang lain. Adapun jika kepercayaan itu telah terenggut oleh perselingkuhan dan ketidaksetiaan
suamiisteri, maka apakah yang akan terjadi?. Ibarat sebuah bangunan yang kehilangan tiang penyangganya, maka jika
tidak segera diperbaiki, bangunan itu akan retak dan kemungkinan besar akan
runtuh. Adapun untuk memulihkan dan mendapatkan kembali kepercayaan dari pihak lain tidaklah mudah, butuh kemauan yang bulat dan kerja yang maksimal,
sebab sekali dikhianati orang lain akan sulit untuk memperdayai dan memberikan kepercayaan yang sama dengan sebelumnya.
BAB III METODE PENELITIAN