Political Ecology of Mining in Baubau South East Sulawesi province.

(1)

EKOLOGI POLITIK PERTAMBANGAN DI KOTA BAUBAU

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

LA ODE RUSYAMIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013 La Ode Rusyamin NIM P052090051


(3)

RINGKASAN

LA ODE RUSYAMIN. Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan SOERYO ADIWIBOWO

Pada tahun 2007 pemerintah Kota Baubau memberikan izin kuasa pertambangan kepada pihak korporasi untuk melakukan kegiatan ekplorasi. Hal ini ditandai dengan surat keputusan walikota Baubau No 5451/6211/EUD/2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di Kecamatan Sorawolio. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel tersebut menjadi pemicu terjadinya konflik Pertambangan di Kota Baubau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana fakta dikonstruksi berdasarkan subyek tineliti dengan menggunakan paradigma kritis dan konstruktivisme.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau secara tradisonal (era kesultanan, 1511-1960) untuk tanah Turakia; penggunaannya dialokasikan sebagai pemukiman, tanah ome; dialokasikan untuk perkebunan, tanah katampai, di alokasikan untuk perkebunan dan hutan serta tanah kaombo penggunaanya sebagai hutan yang tidak diperbolehkan untuk digunakan kecuali untuk kepentingan bersama. Penguasaan keempat klasifikasi tanah tersebut yaitu sebagai common property kecuali tanah katampai sebagai private property (milik Wa Ode Wau untuk di lokasi studi). Pada era Soeharto terjadi perubahan (melalui legitimasi hukum positif) dan pada era otonomi daerah terjadi perubahan alokasi ruang dari pemukiman, kebun menjadi tambang (jalan tambang dan terminal khusus), penguasaannya berubah dari private property menjadi private ownership. Sementara penggunaan dari hutan produksi terbatas pada era Soeharto dialokasikan sebagian untuk tambang dan penguasaanya menjadi private ownership.

Aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau yaitu kesultanan, pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, pemerintah Kota Baubau, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Baubau, aparat negara bidang keamanan dan ketertiban, pihak swasta (PT BIS), Masyarakat Kota Baubau mahasiswa dan LSM. Bundle of power yang terbentuk yaitu terjadi aliansi antara pemerintah, DPRD Kota Baubau dan PT BIS, kemudian aliansi antara masyarakat pro tambang, mahasiswa pro tambang dan PT BIS serta aliansi masyarakat kontra tambang, mahasiswa kontra tambang dan LSM.

Penyebab utama terjadinya konflik pertambangan di Kota Baubau yaitu ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu izin kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS. Pemberian izin tersebut melahirkan terjadinya kontroversi kebijakan tentang RTRW, izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas, izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan. Akibat dari kebijakan tersebut maka terjadi perubahan penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau dan pencemaran lingkungan. Sementara bentuk konfrontasi yang terjadi akibat pemberian izin


(4)

tersebut adalah aksi demonstrasi dan pernyataan pers. Pada tahapan krisis, konflik yang terjadi yaitu pengrusakan rumah dan teror.

Kata kunci : Aktor dan Jaring Kuasa Antar Aktor, Ekologi Politik, Konflik dan Sumberdaya Alam.


(5)

SUMMMARY

LA ODE RUSYAMIN. Political Ecology of Mining in Baubau South East Sulawesi province. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and SOERYO ADIWIBOWO.

In 2007 the government of Baubau gave mining rights permission to the corporation to conduct exploration activities. It was marked by the mayor's decree of Baubau No. 5451/6211/EUD/2007 about empowerment mining exploration rights of PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) in Sorawolio District. The exploration and exploitation activities of the nickel mine became a trigger of the mining conflict in Baubau. This research used a qualitative approach in which facts were constructed based on the subjects studied by using the critical paradigm and constructivism.

These results indicated that the map control of natural resources in Baubau, traditionally (the sultanate era, 1511-1960) for Turakia land; allocated as residential, ome land; allocated for plantation, katampai land; allocated for plantations and forests and kaombo land its use as a forest which was not allowed to be used except for the common good. The mastery of the four land classifications were as common property except katampai land as private property (owned by Wa Ode Wau for the study area). In the Suharto era there was a change (via the legitimacy of positive law) and in the era of regional autonomy changed the allocation of residential space, the garden became mine (mine roads and special terminals), its control changed from private property to private ownership. While the use of a limited production forest in the Soeharto era in part allocated to mine and its governance be private ownership.

The actors involved in the use and control of natural resources in the Baubau of the Sultanate, the Central Government, the Government of the province of South East Sulawesi town of Baubau, Governments, Regional House of representatives (DPRD) Of Baubau, apparatus of State security and public order, private parties (PT BIS), society Of Baubau, students and NGOs. Bundle of power occurred which formed an alliance between Government, DPRD Baubau Town and PT BIS, then the Alliance between the community pro mines, mining and PT pro student BUS as well as the Community Alliance counter mine counter mine, students and NGOs.

The main cause of occurrence of conflicts of mining in the town of Baubau, namely when the Government town of Baubau give licences (IUP) exploration (formerly mining exploration of the power of permission) to PT buses. The granting of such permission policy controversy about the onset of childbirth RTRW, permit loan limited production forest area usage, environmental permits and building permits. The result of the policy changes the use and control of natural resources in the city of Baubau and environmental pollution. While the form of showdown that occurred as a result of the granting of such permits is the action demonstration and press statement on the stages of the crisis, a conflict that is the destruction of homes and of terror.

Keywords: Actors and bundle of power, conflict, natural resources and political ecology.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

EKOLOGI POLITIK PERTAMBANGAN DI KOTA BAUBAU

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

LA ODE RUSYAMIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Judul Tesis : Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara

Nama : La Ode Rusyamin

NIM : P052090051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr Dr.Ir.Soeryo Adiwibowo,MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,MS Dr.Ir.Dahrul Syah,M.Sc.Agr


(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan yang Maha Agung, karena atas limpahan rakhmat dan karunia-Nya penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister. Kajian yang dipilih dalam penelitian ini yaitu “EKOLOGI POLITIK PERTAMBANGAN DI KOTA BAUBAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA”.

Berkenaan dengan penyusunan tesis ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memantau dan mengingatkan sejauh mana perkembangan studi dengan waktu masa studi yang akan berakhir. Kemudian bapak Dr.Ir.Soeryo Adiwibowo,MS selaku Anggota Komisi Pembimbing dengan kesabarannya memandu dan menfokuskan hasil kajian.

2. Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB dan para staf pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB.

3. Dr.Ir. Rilus A.Kingseng, MA selaku penguji luar komisi

4. Anakku tersayang “Wa Ode Callysta Salsabila” engkau hadir dikala sang ayah sedang berjuang untuk menyelesaikan studi dan dikala tidak sedikit orang mengharapkan perubahan di kampung kita tercinta. Sang istri tercinta yang tetap mendampingi diujung penyelesaian studi ini.

5. Kedua orang tuaku tercinta (Papa dan Mama) rasa hormatku dan terima kasih tak terhingga kepada yang selalu memberikan dukungan doa dan menjadi motivasi tersendiri bagi penulis untuk tetap berjuang dan menempuh pendidikan dan menjadi cita-cita bersama.

6. Adik-adik kandungku tersayang (La Ode Munawar, ST, La Ode Ahmad Mustari, S.Ik dan Wa Ode Nasra, A.Md) dan adik-adik sepupuku yang ikut ke Bogor untuk menempuh pendidikan (Arfa,Wahyu, Dian, Ulis, Safrin) kalian merupakan pendorong semangat dalam penyelesaian studi ini.

7. Dr Muhammad Rasman Munafi (Kepala Bagian Sumberdaya Alam Kota Baubau), La Ode Abdul Monianse, La Ode Munafi,M.Si, La Ode Hamuri (Anggota DPRD Kota Baubau) dan La Ode Yasin Mazadu (Wakil Ketua DPRD Kota Baubau) yang telah membantu memberikan data dan informasi terkait dengan penelitian yang penulis lakukan serta beberapa informan lainnya yang tak dapat saya sebutkan satu persatu.

8. Kawan-kawanku seperjuangan PSL 2009 (Musahidin, Mursalin, Risnandar, Eno, Novit, Afdal, dll) serta teman-teman yang selama ini berjuang bersama untuk memenuhi kebutuhan subsisten (Andre, Irfan, aan, Arman, Mukmin, Bau, Edy, Awang, Ruli, Astri) yang terus menyemangati penulis untuk menyelesaikan studi ini.

9. Abang-abangku (Rusman Prasetya, S.Pi, M.Si; La Ode Untung Karma S.Pi; Muhammad Yusuf, S.Si, M.Si; Dr Sofyan Sjaf, S.Pt, M.Si; Muhammad Karim S.Pi, M.Si; La Ode Agus Salim, SH, MH; Muhammad Syarief Nur STP dan Supasman Emu, S.Pi, M.Si) yang selalu memberikan masukan dan kritik membangun dalam penyelesaian studi ini.


(11)

10. Kawan-kawan seperjuangan di Kota Baubau (Endang, Jafar, Bung Erwin Usman, Aha, Rahman, Muliadi, Asmin, Yadi, Fajar, Bojes, Eko, Iryadi, Sakiudin, Masrun, Erwin) yang ikut membantu memberikan informasi dalam penelitian ini.

11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, Agustus 2013 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

I. PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 6

Teori Ekologi Politik 6

Teori Akses dan Property 8

Teori Konflik 10

Kerangka Pemikiran 11

III. METODOLOGI PENELITIAN 13

Metode 13

Pendekatan dan Teknik Penelitian 15

Cara Pengolahan dan Analisis Data 17

Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian 17

IV. PROFIL WILAYAH MASYARAKAT LINGKAR TAMBANG

PERTAMBANGAN NIKEL DI KOTA BAUBAU 20

Kondisi Geografis 20

Kondisi Demografis 21

Sistem Ekonomi 22

Sumberdaya Lokal 23

V. SEJARAH PENGUASAAN SUMBERDAYA ALAM 25

Tanah Turakia 25

Tanah Ome 26

Tanah Katampai 27

Tanah Kaombo 28

Ikhtisar 29

VI. AKTOR YANG TERLIBAT 30

Kesultanan 30

Pemerintah Pusat 31

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara 32

Pemerintah Kota Baubau 32

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Baubau 36

Aparat Negara Bidang Keamanan dan Ketertiban 38

Pihak Swasta (PT BIS) 39


(13)

Mahasiswa 42

Lembaga Swadaya Masyarakat 42

Bentuk Bundle of Powersdan web of powers 43

Ikhtisar 47

VII.ANALISIS KONFLIK 50

Pra Konflik 51

Konfrontasi 59

Krisis 62

Akibat 63

Pasca Konflik 64

Ikhtisar 64

VIII. SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 67


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam

berdasarkan pemilik,hak dan tugas-tugasnya 9

Tabel 3.1. Keterkaitan topik masalah penelitian, pendekatan dan tujuan

penggunaanny 16

Tabel 3.2. Deskripsi tahapan penelitian 18

Tabel 4.1. Jumlah desa/kelurahan dan luas wilayah kecamatan 20 Tabel 4.2. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan serta rasio jenis

kelamin di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi,

Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea 21

Tabel 4.3. Jumlah kepala Keluarga (KK) dan kepadatan penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan

Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea 22

Tabel 4.4. Keadaan penduduk berdasarkan kelompok usia penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan

Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea 22

Tabel 4.5. Jumlah pasar, Toko, Kios/Warung di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan

Lea-Lea 23

Tabel 6.1. Tanggapan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terhadap

persoalan PT BIS 33

Tabel 6.2. Tanggapan beberapa anggota DPRD Kota Baubau terkait

persoalan PT BIS 37

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Ekologi Politik Pertambangan

di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara 12

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian 18

Gambar 4.1. Peta Sebaran Pemukiman Penduduk di Lokasi Studi 32

Gambar 7.1. Lahan yang telah dibebaskan oleh PT BIS 57

Gambar 7.2. Kondisi Banjir di Lokasi persawahan masyarakat Kelurahan

Waliabuku Kecamatan Bungi 59

Gambar 7.3. Rumah Masyarakat Pro Tambang yang Dirusak oleh


(15)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Pada mulanya Kota Baubau adalah pusat kerajaan atau Kesultanan Buton yang pernah berjaya sejak abad ke-13 hingga abad ke-20. Wilayah kekuasaannya meliputi pulau Buton dan beberapa pulau yang ada di sekitarnya, antara lain pulau Muna, Kabaena, Wawonii, gugusan kepulauan Tukang Besi (Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko) dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Buton, yakni Siompu, Kadatuang, Mangkassar, dan Talaga1. Masa kesultanan tersebut berakhir pada tahun 19602sebagai akibat dari proses “democratieseering” yang dilakukan oleh pemerintah pusat saat itu. Pada awal tahun 1951, dilaksanakan “democratieseering” yaitu proses untuk mewujudkan demokratisasi di bekas daerah-daerah kerajaan (swapraja). Hal ini ditandai dengan berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan berganti kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada tahun 1952 Kota Baubau menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara3. Pada tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi 4 (empat) Kabupaten yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka. Ketika dilakukan pemekaran tersebut Kota Baubau berubah menjadi ibukota Kabupaten Buton. Kemudian pada tahun 1964 dibentuklah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964. Selama kurang lebih 42 tahun Kota Baubau menjadi ibukota Kabupaten Buton maka pada tanggal 3 November 1981 Kota Baubau ditetapkan sebagai Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1981.

Pada tanggal 17 Oktober tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2001 Baubau mekar dari kabupaten Buton menjadi daerah otonom baru. Daerah Kota Baubau awalnya terdiri dari 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan Wolio, Betoambari, Sorawolio dan Kecamatan Bungi. Sejak tahun 2006 Baubau mengalami pemekaran wilayah menjadi 6 (enam) kecamatan dan menjadi 7 (tujuh) kecamatan diakhir tahun 2008 dengan luas wilayah 221 km2. Ketujuh kecamatan tersebut adalah Kecamatan Betoambari, Murhum, Wolio, Kokalukuna, Sorawolio, Bungi dan Kecamatan Lea-Lea (Baubau dalam Angka, 2012).

Setelah kota Baubau ditetapkan sebagai daerah otonom baru, dalam sistem disentralisasi sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah maka memungkinkan pemerintah daerah mengambil keputusan terhadap bentuk-bentuk pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) dan lingkungannya. Kondisi ini ikut mendorong pemerintah Kota Baubau melakukan ekspansi pengelolaan sumberdaya alam berbasis tambang (ekstraktif).

1

Wilayah bekas kesultanan tersebut kini telah mekar menjadi wilayah beberapa daerah tingkat II yakni Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Muna.

2

Kesultanan Buton terakhir yaitu sultan ke 38

3 Tercatat bahwa ada lima orang Bupati Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di Baubau saat itu yakni

Achmad Marzuki Daeng Marala (asal Sulawesi Selatan), R. Pusadan (asal Sulawesi Utara),Abdul Pattaropoera (asal Sulawesi Tengah), Muh Amin Daeng Soero (asal Sulawesi Selatan) dan La Ode Manarfa (asal Sulawesi Tenggara/anak sultan ke-38)


(16)

Pada tahun 2007 pemerintah Kota Baubau memberikan kuasa pertambangan kepada pihak korporasi untuk melakukan kegiatan ekplorasi sumberdaya nikel. Hal ini ditandai dengan Surat Keputusan Walikota Baubau No 5451/6211/EUD/2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di Kecamatan Sorawolio. Keputusan pemerintah daerah tersebut merupakan pilihan politik dalam mengelola sumberdaya alam. Adapun yang menjadi alasan pemerintah daerah yaitu sebagai salah satu sumber pendapatan daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiayai pembangunan di daerah.

Pemanfaatan sumberdaya nikel oleh pihak swasta merupakan bentuk ketidakadilan pemerintah Kota Baubau terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan lokasi sumberdaya nikel yang akan dieksploitasi tersebut bagi masyarakat merupakan sumber mata air dan dilindungi oleh masyarakat. Kondisi ini memicu terjadinya konflik pertambangan di Kota Baubau yang melibatkan komunitas (masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Mahasiswa), pemerintah daerah dan korporasi. Beberapa isu pengelolaan sumberdaya alam yang memicu konflik tersebut antara lain:

Pertama; Isu lingkungan atau persoalan hidrologi4. Bagi masyarakat lingkar tambang5 sumberdaya dilokasi tambang (nikel) tersebut merupakan hajat hidup mereka karena merupakan sumber mata air. Sehingga dengan adanya kegiatan PT BIS dalam melakukan kegiatan eksplorasi ataupun eksploitasi akan menimbulkan dampak terhadap terjadinya banjir dan kekeringan. Hal ini seperti disampaikan oleh DYM Ketua Forum Badan Keswadayaan Masyarakat (FBKM) yang disitir melalui media massa (Radar Buton, Kamis, 7 Februari 2008) bahwa :

“....Sebelum kawasan hutan dijadikan lokasi pertambangan kondisi alam sudah tidak bersahabat. Dimusin penghujan, jika hujan sehari akan terjadi banjir dan disaat kemarau, panas seminggu, sebagian areal persawahan akan mengering. “Apalagi kawasan jika kawasan hutan yang ada itu dijadikan areal pertambangan jelas akan menimbulkan bencana besar”. Kemudian diareal pertambangan terdapat dua hulu sungai yang menjadi tumpuan para petani....” Kedua; Persoalan regulasi, kegiatan eksplorasi tambang nikel PT BIS seharusnya belum dapat dilakukan karena belum mendaptkan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana yang dipersyaratan dalam Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kemudian berkaitan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

4

Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi,terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisiknya dan reaksi dengan lingkungannya termasuk hubunganya dengan makhluk hidup (International Glossary of Hidrology,1974 dalam Seyhan.E, 1990). Istilah hidrologi hutan dalam penelitian karena isu yang terjadi terkait materi konflik yang terjadi di lokasi studi salah satunya adalah banjir. Hal ini berkaitan dengan prinsip hidrologi atau perlakuan hutan terhadap prilaku hidrologi. Seyhan.E, (1990) menyatakan bahwa untuk menghubungkan perlakukan hutan terhadap prilaku hidrologi maka hal-hal umum yang terjadi dan diterima bersama yaitu (1) penggunaan vegetasi penutup hutan akan meningkatkan produksi air/

water yield, (2) tumbuhnya vegetasi penutup hutan akan menurunkan produksi air, (3). Di beberapa tempat akar-akar tanaman mengambil air tanah sedangkan penghilangan vegetasi penutup akan menurunkan evapotraspirasi dan akibatnya akan meningkatkan debit aliran sungai, (4). Evaporasi dari tanah yang gundul dan serasah akan meningkat setelah penghilangan vegetasi penutup hutan, dan (5) penghilangan hutan meningkatkan kisaran antara aliran sungai yang tinggi dan yang rendah, akibatnya meningkatkan aliran yang maksimum.

5 Adapun yang dimaksud dengan masyarakat lingkar tambang disini adalah masyarakat yang pemukimannya

berada di sekitar lokasi tambang dan memilik pengaruh kuat terhadap potensi dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan yaitu masyarakat di kecamatan Sorawolio, kecamatan Bungi ,Kecamatan Lealea dan kecamatan Kokalukuna.


(17)

Baubau tahun 2003-20012 (Perda No 2 Tahun 2004) bahwa lokasi pertambangan nikel PT BIS peruntukannya sebagai kawasan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Sehingga lokasi pertambangan nikel PT BIS tidak sesuai dengan RTRW tahun 2003-2012. Selain hal tersebut persoalan regulasi terkait dengan AMDAL, bahwa komunitas memahami kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh PT BIS belum memiliki dokumen AMDAL.

Ketiga; persoalan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, masyarakat sekitar lokasi pertambangan nikel (Kecamatan Sorawolio) memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan subsistennya yaitu melalui pencarian rotan dan pengambilan madu dari lebah. Hal ini menjadi salah isu dengan hadirnya pertambangan nikel di Kota Baubau.

Perubahan kewenangan yang memicu konflik serta kekuasaan atas sumberdaya alam menjadi faktor penting dalam perubahan-perubahan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam konteks ini, keinginan untuk mengelola pertambangan nikel yang dikelola oleh swasta di Kota Baubau melahirkan kebijakan tentang perubahan peruntukan kawasan. Perubahan tersebut yaitu dari kawasan yang peruntukannya pertanian, perkebunan dan kehutanan dalam RTRW 2003-2012 (Perda No 2 tahun 2004), kemudian ditambahkan sebagai kawasan pertambangan dalam RTRW 2012-2030 (Perda No 1 tahun 2012). Hal ini memicu terjadinya konflik pada aras hulu sedangkan pembebasan lahan untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus6merupakan materi konflik agraria terjadi pada aras hilir.

Dari berbagai isu yang telah dituliskan di atas seperti yang dikatakan oleh Bryant dan Bailey (1997) bahwa masalah lingkungan terutama di negara dunia ketiga adalah gambaran bagaimana lingkungan dibentuk dan berubah pada skala berbeda dalam hubungannya dengan masalah-masalah fisik maupun hubungan antar aktor. Aktor-aktor yang terlibat mulai dari tingkat lokal, pusat sampai internasional, yaitu negara, kelompok akar rumput, bisnis, lembaga multilateral maupun LSM/NGO. Masing-masing aktor memberikan kontribusi, dampak dan penyelesaian untuk masalah lingkungan secara berbeda. Artinya, dampak masalah lingkungan terutama di tingkat lokal mempunyai pengaruh baik pada negara maupun kelompok akar rumput, yaitu negara kehilangan potensi sumber pendapatan dan kelompok akar rumput selain kehilangan sumber pendapatan, kehilangan produk hutan juga kehilangan cara hidupnya dalam berinteraksi dengan sumberdaya alamnya.

Sementara Eckersley (1992) menyatakan bahwa, pertama masalah lingkungan ini bukan hanya sebagai terjadinya degradasi lingkungan saja tetapi, masalah lingkungan sebagai suatu krisis partisipasi (berkaitan dengan isu partisipasi warga dan keadilan sosial); kedua, masalah lingkungan sebagai suatu krisis kehidupan (keterbatasan pertumbuhan dan meningkatnya kejadian degradasi lingkungan); dan ketiga, masalah lingkungan sebagai suatu krisis budaya dan karakter serta kesempatan untuk emansipasi (alienasi, kehilangan makna, secara

6 Terminal khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan yaitu

terminal yang terletak di luar daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. Sementara Terminal untuk kepentingan sendiri adalah terminal yang terletak di dalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.


(18)

bersamaan terjadi kesejahteraan dan kemiskinan yang luar biasa, kerusakan budaya, meningkatnya monokultur urban yang secara serentak mengurangi keragaman budaya). Dalam konteks penelitian ini maka menarik untuk ditelaah lebih jauh terkait dengan ekologi politik, kekuasaan dan konflik pertambangan nikel di Kota Baubau. Hal inilah alasan sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Konflik pertambangan di Kota Baubau muncul akibat ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya nikel di lokasi pertambangan. Ketidakadilan ini hadir ketika pemerintah daerah memberikan izin kuasa pertambangan eksplorasi kepada PT BIS. Melalui surat keputusan walikota Baubau No 5451/6211/EUD/2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT BIS di Kecamatan Sorawolio.

Berkaitan dengan regulasi, pada tahun 2007 PT BIS seharusnya belum dapat melakukan kegiatan eksplorasi. Hal ini disebabkan karena PT BIS belum mendapatkan rekomendasi persetujuan izin kegiatan eksplorasi bahan galian nikel didalam kawasan hutan produksi terbatas dari Kementerian Kehutanan. Kemudian lokasi pertambangan nikel PT BIS disinyalir tidak sesuai dengan RTRW Kota Baubau tahun 2003-2012 (Perda No 2 tahun 2004). Implikasi dari hal tersebut, melahirkan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh komunitas (mahasiswa,LSM dan masyarakat).

Kemudian untuk dapat melakukan kegiatan ekspor sumberdaya nikel maka PT BIS memerlukan lahan untuk membangun jalan menuju terminal khusus. Kegiatan pembebasan lahan inilah menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Hal ini merealitas dalam bentuk konflik horisontal antar masyarakat. Reaksi yang terjadi akibat kegiatan pembebasan lahan tersebut yaitu aksi demonstrasi baik pro maupun kontra, penyegelan kantor lurah serta pelemparan rumah masyarakat yang pro terhadap tambang serta teror.

Keputusan pemerintah daerah tersebut di atas merupakan pilihan politik dalam mengelola sumberdaya alam. Bagi pemerintah daerah pemanfaatan sumberdaya nikel tersebut sebagai salah satu sumber pendapatan daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiayai pembangunan di daerah. Sementara bagi sebagian komunitas, dengan adanya kegiatan pertambangan tersebut akan minimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan yaitu banjir dan kekeringan.

Konflik pertambangan di Kota Baubau sebagaimana telah diuraikan diatas hadir akibat bentuk ketidakadilan ketika pemerintah daerah memaksakan untuk memanfaatakan potensi sumberdaya nikel yang ada. Dimana bagi masyarakat lokasi tersebut merupakan sumber mata air penduduk. Kemudian beberapa isu lain yang menjadi penyebab terjadinya konflik antara lain (1) hadirnya pihak swasta dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan nikel) atau pemicu terjadinya konflik, (2) persoalan regulasi, terkait dengan RTRW, pinjam pakai kawasan hutan dan AMDAL, (3) Pencemaran lingkungan atau persoalan hidrologi, terkait dengan wacana banjir dan kekeringan akibat kegiatan ekplorasi dan operasi produksi pertambangan nikel (4) persoalan pembebasan lahan, terkait dengan pro dan kontra oleh komunitas dan (5) persoalan akses terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat (petani) rotan dan madu lebah. Untuk


(19)

itu penting dilihat bagaimana penyebab terjadinya konflik tersebut dalam perspektif ekologi politik.

Namun untuk menelusuri dan memahami penyebab terjadinya konflik dan aktor yang terlibat dalam konflik pertambangan di Kota Baubau, beberapa point pertanyaan berikut perlu terungkap dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana sejarah penggunaan dan penguasaan Sumberdaya Alam (SDA) di Kota Baubau?

2. Siapa saja aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau dan bagaimana relasi kekuasaan yang dibangun oleh aktor tersebut serta apa yang menjadi latar belakang penyebab timbulnya konflik pertambangan di Kota Baubau serta ?

Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian tentang ekologi politik pertambangan di Kota Baubau ini yaitu :

1. Mengetahui sejarah penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. 2. Mengetahui aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di

Kota Baubau dan relasi kekuasaanya serta menganalisis konflik pertambangan nikel yang terjadi di Kota Baubau.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Seperti diketahui bahwa di kalangan akademis sedikitnya terdapat tiga perspektif yang berbeda dalam melihat permasalahan SDA dan Lingkungan, yaitu; Pertama, Teori konflik sumberdaya alam, yang menjelaskan secara teoretis terjadinya konflik sosial yang di bingkai persoalan sumberdaya alam; Kedua, perspektif agraria yang menjelaskan hubungan kepemilikan dan penguasaan SDA; Ketiga, perspektif environmental scarcity (kelangkaan) sumberdaya alam sebagai penyebab kerusakan lingkungan (khususnya yang terbarukan (renewable resources) dan sangat terkait dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi; Keempat, perspektif ekologi politik, yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik berdasarkan dimensi kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal, nasional, global, kesejarahan, gender, dan peran aktor (Peluso dan Watts 2001 dalam Zainuddin, 2012). Kaitannya dengan penelitian maka perspektif yang digunakan sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti yaitu menggunakan perspektif ekologi politik.

Teori Ekologi Politik

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam seringkali menimbulkan ketimpangan dalam hal akses terhadap sumberdaya dan melahirkan ketimpangan ekonomi masyarakat, hadirnya pencemaran lingkungan (bio-fisik) dan persoalan kebijakan (oleh negara). Hal ini merupakan potret pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya nikel di kota Baubau yang kemudian melahirkan aktor dalam membentuk konflik sumberdaya nikel di kota Baubau.

Dinamika tersebut diatas dapat dilihat dalam perspektif ekologi politik seperti apa yang dikatakan oleh Dharmawan (2007) bahwa pada ekologi politik dipertemukan dua sub-ruang yang saling dikontestasi sesamanya yaitu ruang konflik (sebagai ruang dimana proses produksi dan reproduksi kebijakan dan keputusan politik yang melibatkan beragam kepentingan dilangsungkan) dan ruang kekuasaan (sebagai ruang dimana para pemegang otoritas kebijakan menjalankan keputusan/kebijakan yang telah ditetapkan diruang konflik). Kemudian Bryant dan Bailei (1997) menyatakan bahwa dalam ekologi politik menjelaskan perubahan lingkungan dan konflik di dunia ketiga terutama masalah lingkungan (misalnya erosi tanah), konsep (pembangunan berkelanjutan), karakteristik sosio-ekonomi (yaitu kelas), aktor (yaitu negara) dan wilayah.

Sebelum menguraikan lebih jauh tentang bagaimana pendekatan aktor dalam perspektif ekologi politik maka penting untuk diulas tentang sejarah perkembangan ekologi politik itu sendiri. Secara historis perkembangan ekologi politik dimulai dari antropologi budaya kesosiologi lingkungan, dari sosiologi lingkungan ke ekologi politik. Pada akhir abad 20, investasi teoritik mengkombinasikan sosiologi, antropologi dan ekologi menghasilkan karyawan baru social dan ekologi (the dinamics of human-environment interaction) sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian sosial ekologi ditelaah lebih lanjut masalah-masalah sosial dan hukum secara societal dinamics yang terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi disuatu wilayah. Pada taraf lebih lanjut metamorfosa human ecology menghasilkan cabang ilmu baru sociology oh human ecology(Miklin dan Paston dalam Dharmawan, 2007).

Penggunaan istilah ekologi politik mulai dipublikasikan di kalangan akademisi pada akhir tahun 1960-an dan tahun 1970-an sebagai respon atas penggunaan lahan dari tinjauan ekonomi dan sebagai reaksi atas proses politik dalam memanfaatkan


(21)

lingkungan (Peet dan Watts, 1996). Kemudian mengalami perkembangan yang pesat sebagai sebuah pendekatan baru terhadap interaksi manusia dan lingkungan dalam perkembangan wacana pada tahun 1990-an. Merujuk pada Blaikie dan Brookfield (1987) yang mencoba menggabungkan ekologi politik dengan keprihatinan ekologi yang didefinisikan secara luas sebagai ekonomi politik dunia ketiga, seperti dikatakannya:

“combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together, this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land~based resources, and also within classes and groups within society it self.

Dari kutipan tersebut diatas, Blaikie dan Brookfield (1987) dengan ekologi politik ingin melihat interelasi antara dampak ekologis dan relasi kekuasaan sosial ekonomi. Relasi kekuasaan di sini termasuk masalah perebutan lingkungan, yakni penggunaan lahan dan praktik pengaturan yang dominan dalam wilayah tersebut. Sementara Peet dan Watts (1996) mendefinisikan ekologi politik sebagai:

“a confluence between ecologically rooted social science and the principle of political economy”.

Sementara menurut Dharmawan (2007) secara politis, muculnya bidang ilmu ekologi politik tidak terlepas dari menguatnya perspektif kritis‐alternatif yang sengaja digaungkan oleh kekuatan‐kekuatan gerakan sosial berhaluan struturalisme‐keras pro‐lingkungan. Lebih lanjut Dharmawan (2007) mengemukakan bahwa mereka mendesak masyarakat dunia untuk berpaling dari perspektif mainstreampembangunanisme‐modernisme yang telah dianggap gagal dalam memelihara kelestarian alam karena pendekatan yang diambilnya sangat mengabaikan eksistensi lokal, destruktif dan eksploitatif. Oleh kelompok ini, arus utama modernisme‐developmentalisme yang diintroduksikan melalui “logika rasionalisme kapitalisme Barat” dipandang sebagai proses transplantasi ide‐ide modernitas Euro‐Amerikanisme yang telah terbukti membawa kegagalan pemihakan pada lingkungan di kawasan sedang berkembang. Pada titik inilah analisis ekologi politik menjadi terasa sangat dinamik dan berbeda secara signifikan dengan apa yang ditawarkan oleh analisis ekologi manusia serta sosiologi ekologi manusia (sosiologi lingkungan) yang relatif lebih statis. Nuansa dinamis tersebut terutama ditandai oleh masuknya dua domain penting dalam analisis ekologi politik, yaitu: (1) relasi kekuasaan politik, (2) analisis konflik ekologi.

Berangkat dari pemahaman tentang lahirnya teori ekologi politik tersebut diatas maka Bryant dan Bailey (1997) mendefinisikan ekologi politik sebagai "penyelidikan ke dalam sumber politik, kondisi dan konsekuensi dari perubahan lingkungan yang menimpa pada proses kesenjangan sosial-ekonomi dan proses politik”. Dengan mengambil persoalan politik, ekologi politik mengeksplorasi bagaimana perubahan lingkungan yang ada dalam hubungan politik dan ekonomi serta bagaimana cara perubahan tersebut mempengaruhi hubungan yang terjadi. Selanjutnya, dengan memeriksa perubahan lingkungan politik, ekologi politik mengakui bahwa lingkungan dan pembangunan, kekayaan dan kemiskinan, sangat terkait erat (Bryant dan Bailey, 1997).

Kaitannya dengan penelitian ini peneliti ingin melihat aktor yang terlibat dalam membentuk konflik sumberdaya nikel di kota Baubau, jika dilihat dalam terminologi ekologi politik kaitannya dengan aktor seperti yang dikatakan (Bryant


(22)

dan Bailey, 1997) dalam ekologi politik dunia ke III, ketika aktor mengimplementasikan perjuangannya selalu berusaha untuk mengendalikan lingkungannya dan akan menghasilkan aktor-aktor yang lebih kuat sebut saja swasta dengan kepentingan bisnis yang dikedepankan. Sehingga penting untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dari kepentingan aktor tersebut dan memahami bagaimana aktor tersebut saling berinteraksi dalam kepetingannya untuk mengendalikan lingkungan.

Kemudian lebih lanjut (Bryant dan Bailey, 1997) menyatakan bahwa pendekatan aktor untuk memahami hubungan lingkungan (sumberdaya) dan manusia di dunia ke-III yang perlu dilakukan adalah pertamamenganalisis peran dan kepentingan dari para aktor terpilih dalam perubahan lingkungan di negara ke-III, kita mampu menempatkan temuan empiris dari penelitian pada level lokal dalam perpektif teoritis dan komparatif, kedua dengan mengintegrasikan pandangan teoritis dan komparatis pada peran dan kepentingan aktor yang berbeda, kita berusaha untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang motivasi, kepentingan dan tindakan dari para aktor, ketiga dengan menekankan pada peran dan interaksi aktor dalam konflik lingkungan di dunia ke III, kita mengulang kembali pentingnya politik dalam ekologi politik. Terdapat dua hal penting dalam setiap pemahaman mengenai politik yaitu (1) suatu apresiasi bahwa politik adalah tentang interaksi antar aktor akan persoalan sumberdaya lingkungan (atau lainnya); (2) Suatu pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun memiliki kekuatan untuk bertindak demi kepentingannya.

Teori Akses dan Property

Ribot and Peluso (2003) mendefenisikan akses sebagai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things) dalam hal ini Peluso menterjemahkan akses sebagai “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”). Akses dalam definisi Peluso ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (“a bundle of rights”). Sehingga bila dalam studi properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya termasuk relasi properti.

Sementara kekuasaan, menurut Ribot and Peluso (2003) terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. Implikasi dari definisi Peluso ini bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda (Ribot and Peluso, 2003).

Kaitannya dengan penelitian ini seperti yang diungkapkan Kuswijayanti (2007) yang meneliti tentang konservasi sumberdaya alam di taman nasional gunung merapi : analisis ekologi politik, bahwa analisis akses digunakan untuk


(23)

menganalisa konflik terhadap sumberdaya tertentu [Nikel]. untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana konflik bisa menjadi sarana antar aktor yang berbeda-beda dalam memperoleh keuntungan atau kehilangan sumberdaya baik yang tangible maupun intangible. Analisis akses juga dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat para aktor mampu atau tidak mampu memperoleh, memelihara atau mengendalikan akses sumberdaya atau dinamika mikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya.

Berangkat dari pemahaman tersebut diatas Ribot and Peluso (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa kemampuan untuk mengelola sumberdaya dalam menyelesaikan hambatan-hambatan pada persoalan spesifik baik itu secara politik, ekonomi serta budaya dapat dilihat dalam bentuk atau pola yang disebut “structural and relational mechanisms of access”.

Kaitannya dengan hal tersebut maka dalam konteks penguasaan sumberdaya alam Hanna et al. (1996) membagi 4 tipe hak kepemilikan dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, yaitu (1) hak kepemilikan pribadi (private property regime); (2) hak kepemilikan bersama (common property regime); (3) hak milik negara (state property regime); dan tanpa hak milik (open acces regime). Karateristik dari masing-masing tipe rezim/penguasaan tersebut berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan dan hak pemilik serta tugas-tugas pemilik disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya.

Tipe Penguasaan Pemilik Hak Milik Kewajiban Pemilik

 Hak Milik Pribadi

Individu Penggunaan secara sosial, kendali/kontrol akses

Penghindaran secara sosial tidak dapat diterima

 Hak milik bersama

Kolektif Pengaturan bukan pemilik/

Pemeliharaan;

menghambat tingkat penggunaan

 Hak milik Negara

Warga negara

Menentukan aturan Memelihara tujuan sosial secara objektif

 Tanpa hak Milik

Tidak ada

Menangkap Tidak ada

Sumber : Hanna et al. (1996)

Sementara itu Ostrom and Schhlager (1992) mengelompokkan setiap individu atau kelompok berdasarkan kepada hak-hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam menjadi lima kelompok, yaitu sebagai berikut :

1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diizinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners).

2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumber daya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.


(24)

4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.

5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.

Teori Konflik

Konflik sumberdaya nikel merupakan cerminan pengelolaan pertambangan yang muncul akibat perbedaan pendapat dikalangan pemangku kepentingan baik itu pemerintah, perusahaan maupun masyarakat. Kondisi ini tak jarang, pertambangan selalu menawarkan manfaat yang potensial bagi masyarakat ataupun atas nama kepentingan negara baik itu dalam hal perekrutan tenaga kerja, pendapatan negara maupun sebagai investasi bagi masyarakat dipedesaan. Namun demikian, hal tersebut selalu dibarengi dengan isu seputar hak atas tanah, akses sumberdaya, distribusi kekayaan (kesenjangan ekonomi) hingga pencemaran lingkungan. Kesemua isu tersebut merujuk dalam bentuk konflik pada masyarakat lingkar tambang yang kemudian memunculkan kerentanan sosial pada komunitas lokal.

Fisher et al. (2001) menguraikan bahwa untuk membantu dalam memahami cara-cara memahami konflik salah satunya melalui teori Kebutuhan (Fisher et al.2001) yaitu konflik yang terjadi antara komunitas masyarakat lokal dan pemerintah terjadi karena kebutuhan masyarakat lokal yang tidak memperoleh tempat sebagaimana harapan dan persepsi mereka tentang hak milik dan hak untuk berkehidupan, pada lahan dan tempat yang mereka pahami sebagai tanah leluhur yang harus mereka peroleh, dan pertahankan, sedangkan dalam konsepsi pemerintah, masyarakat adat dapat mengancam keutuhan kawasan konservasi. Akibat dari dua kebutuhan yang bertentangan tersebut menciptakan kondisi dan situasi konflik yang menempatkan masyarakat adat dalam sub ordinasi kekuasaan dan kesewenangan yang menciptakan kemiskinan.

Kemudian untuk lebih memahami dan mendalami konflik yang terjadi, Fisher et al. (2001) memperkenalkan beberapa alat bantu unntuk menganalisis situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini adalah:

(1). Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.

(2). Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

(3). Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal


(25)

diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

(4). Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian.

(5). Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik.

Dari kerangka teoritik yang dikemukakan oleh Fisher et.al (2001) di atas, menegaskan kepada kita bahwa sebenarnya dua hal yang penting dalam memahami terjadinya suatu konflik yaitu adanya kebutuhan dan hambatan. Terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, tapi melalui serangkaian tahapan proses, mulai dari pra konflik, konfrontasi, krisis, akibat, sampai kepada pasca konflik.

Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini mencoba melihat sejarah penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam dilokasi studi. Sehingga dengan mengetahui sejarah tersebut perubahan hak properti sumberdaya alam dapat diuraikan. Kemudian penyebab yang melatar belakangi terjadinya konflik pertambangan nikel di Kota Baubau serta aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Setelah aktor-aktor tersebut diketahui maka langkah selanjutnya adalah mengetahui bagaiman aktor-aktrot tersebut membangun jejaring diantara mereka. Hal ini seperti yang dikatakan (Bryant dan Bailey, 1997) dalam ekologi politik dunia ke III aktor ketika mengimplementasikan perjuangannya selalu berusaha untuk mengendalikan lingkungannya dan akan menghasilkan aktor-aktor yang lebih kuat sebut saja Swasta dengan kepentingan bisnis yang dikedepankan. Sehingga penting untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dari kepentingan aktor tersebut dan memahami bagaimana aktor tersebut saling berinteraksi dalam kepetingannya untuk mengendalikan lingkungan.

Kaitannya dengan ekologi politik pertambangan di Kota Baubau dalam penelitian ini, keberadaan sumber daya alam [nikel] di Kota Baubau yang telah dikelola (pemanfaatannya) oleh pihak swasta/corporation (lihat hal-1) menjadi arena aktor (Pemerintah,Swasta,LSM dan Civil Society) dan jejaring aktor dalam membentuk konflik sumberdaya [nikel]. Untuk menguak potret konflik sumberdaya nikel tersebut dapat dilihat dari pola akses terhadap sumberdaya alam. Artinya bahwa konflik sumberdaya nikel lahir dapat dilihat dari akses oleh aktor terhadap sumberdaya nikel yang melahirkan kesenjangan ekonomi antar aktor dan persoalan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam memberi sumbangsi signifikan misalnya dikeluarkannya IUP Eksplorasi oleh pemerintah daerah tentunya hal ini erat kaitannya dengan basis legitimasi pemerintah yang ditinjau dari sisi konstitusi (legal formal). Berangkat dari posisi tersebut kemudian studi ini mencoba untuk memahami bagaimana ekologi politik pertambangan di Kota Baubau?. Untuk itu berikut akan disajikan kerangka pemikiran dari penelitian ini (Gambar 2.1).


(26)

Gambar 2. 1. Kerangka pemikiran penelitian ekologi politik pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara

Konflik Pertambangan Perubahan akses SDA

(Bundle of power) kekuasaan antar aktorPerubahan relasi Perubahan hak properti


(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konflik pertambangan nikel yang terjadi di Kota Baubau terjadi akibat pertentangan antar aktor dan terjadi secara vertikal yang kemudian berakibat pada konflik horizontal antar komunitas masyarakat. Pada tataran vertikal konflik terjadi antara pemerintah, korporasi (PT BIS) dan komunitas (masyarakat, LSM dan mahasiswa). Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu masyarakat lingkar tambang yang berada di Kecamatan Sorawolio, Bungi dan Lea-Lea. Dari ketiga kecamatan tersebut, untuk Kelurahan Waliabuku Kecamatan Bungi, Kelurahan Lowu-Lowu dan Kelurahan Kolese Kecamatan Lea-Lea konfliknya mengemuka (manifest) dan untuk kelurahan-kelurahan lainnya konflik yang tebentuk adalah later (tersembunyi). Sementara pada wilayah horizontal konflik terjadi antara masyarakat itu sendiri yaitu terjadi di kelurahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Lea-Lea.

Kepentingan aktor yang berkonflik terjadi pada dua kepentingan yaitu kepentingan ekonomi dan lingkungan (konservasi) sehingga posisi aktor dalam konflik pertambangan nikel ini hadir dalam dua kepetingan tersebut. Hal ini ada yang memposisikan diri pada aktor karena kepentingan konservasi dan pada kepetingan ekonomi, aktor merepresantasikan diri sebagai kelompok dominan (konservasi) dalam melakukan aksi-aksi terhadap persoalan pertambangan nikel dengan jargon “menolak keberadaan tambang” dan hal tersebut hanya merupakan bagian dari kepentingan aktor demi kepentingan ekonominya dan gerakan tersebut dilakukan sesuai dengan kebutuhan aktor (dua kelas). Pada kelompok masyarakat posisi tersebut tidak hadir dalam dua sisi namun dalam bentuk pro dan kontra.

Dengan melihat dinamika yang terjadi terhadap anatomi konflik pertambangan nikel di Kota Baubau maka yang terlihat betapa komunitas menjadi objek tawar-menawar oleh kekuatan eksternal dan hal tersebut membelenggu nilai-nilai yang sesungguhanya ada pada komunitas tersebut baik itu dari sisi kearifan lokal oleh masyarakat maupun pada wilayah idealisme oleh kelompok mahasiswa dan LSM. Berangkat dari hal tersebut maka mengantarkan peneliti untuk mengkaji sesungguhnya penyebab terjadinya konflik tersebut seperti apa dan siapa saja aktor-aktor yang bermain pada konflik yang terjadi dan dalam mengkajinya memerlukan metodologi (kumpulan cara).

Metode

Dalam melakukan kerja-kerja penelitian tentunya memerlukan paradigma sebagai bentuk dasar filosofis untuk mengantarkan atau memandu seorang peneliti. Moleong (2010) menyatakan bahwa penelitian pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran dan usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma, menurut Bogdan dan Biklen (1982) bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dalam penelitian. Sementara Ritzer dan Goodman (2003) mengemukakan bahwa Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mesti diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas


(28)

dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan isntrumen yang ada didalamnya.

Berangkat dari hal tersebut maka paradigma penelitian akan berimplikasi pada pilihan metodologi dan teori apa yang digunakan dalam suatu penelitian. Terkait dengan hal tersebut Guba dan Lincoln dalam Denzin and Lincoln (2009) menyatakan bahwa empat paradigma yang saat ini sedang bersaing atau hingga belakangan ini telah bersaing agar bisa diterima sebagai paradigama pilihan dalam memantapkan dan membimbing jalanya penelitian, terutama penelitian kualitatif yakni positivisme, postpositivisme, teori kritis berikut posisi ideologi terkait dan konstruktivisme. Berdasar pada rumusan masalah dan tujuan penelitian seperti telah diungkapkan sebelumnya, maka paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma teori kritis dan teori konstruktivisme.

Untuk mengungkap masalah penyebab konflik pertambangan nikel di kota Baubau dan aktor-aktor yang terlibat serta memetakan jejaring kuasa diatara aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut menggunakan paradigma teori kritis (subjectivism). Sementara untuk memotret bagaimana peta penguasaan sumberdaya alam dan bagaimana aktor memahami kepentingannya terhadap pertambangan nikel serta jalan keluar dari opsi-opsi penyelesaian menurut aktor menggunakan paradigma konstruktivisme (Interpretivism).

Kemudian lebih lanjut dikatakan oleh Guba & Lincoln seperti dikutip dalam Denzin dan Lincoln (2009) bahwa dalam teori kritis ontologinya yaitu realisme historis, epistemologinya yaitu transaksional dan subjektivis dan metodologinya bersifat dialogis dan dialektis. Comstock (1980) dalam Zainudin (2012) menyatakan bahwa penggunaan paradigma kritis dalam penelitian sosial, dimulai dari adanya masalah-masalah sosial nyata yang dialami oleh sekelompok individu, kelompok-kelompok atau kelas-kelas yang tertindas dan teralienasi dari proses-proses sosial yang sedang tumbuh dan berkembang. Melihat permasalahan tersebut, ilmuwan sosial tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat demi mengejar obyektivitas ilmu semata tetapi harus menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial dan harus menjawab masalah- masalah tersebut dengan mengajak masyarakat untuk kritis melalui aksi-aksi sosial agar mereka yang tertindas mampu melepaskan diri dari belenggu struktur yang menindas. Oleh karena itu implementasi secara praksis dari paradigma ini adalah menjalin hubungan intern subjektif antara peneliti dan tineliti untuk bersama-sama menyusun program aksi untuk merubah kondisi-kondisi sosial yang menindas. Secara analitis penelitian kritis harus dapat menciptakan hubungan dinamis antar subyek dalam situasi sosial. Riset kritis harus melakukan kritik ideologi berdasarkan perbandingan antara struktur sosial buatan dengan struktur sosial nyata.

Dalam konteks komunitas, untuk membangun kesadaran kritis terutama pada kelompok masyarakat dan mahasiswa pelu dilakukan dengan kehati-hatian, mengingat sejak tahun 2007 hingga sekarang pertambangan nikel di kota Baubau telah hadir menjadi pertarungan kepentingan aktor. Hal ini terlihat sejak tahun 2009 gerakan perlawanan “mahasiswa” terhadap keberadaan tambang diawali dengan gerakan yang masif. Gerakan tersebut terbaca pada saat beberapa mahasiswa telah dipekerjakan dalam korporasi tersebut. Selain itu beberapa


(29)

individu yang diangkap kritis mulai dilemahkan sehingga aksi-aksi yang dilakukanpun jadi bergeser pada kepentingan ekonomi. Kemudian pada aras masyarakat, pihak korporasi mulai berhasil menarik kelompok masyarakat untuk dipekerjakan sebagai tenaga kerja dan menyelesaikan masalah pembebasan lahan. Untuk beberapa masyarakat yang masih bertahan untuk tidak dilepaskan tanahnya kepada kepentingan korporasi, kelompok masyarakat inilah yang sampai saat ini menunjukkan perlawanan akan tetapi karena kekuasaan pemerintah yang dominan menjadikan posisi mereka tidak berani menunjukkan perlawanan.

Selain menggunakan paradigma kritis tersebut diatas dalam penelitian ini juga menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Guba & Lincoln dalam Denzin and Lincoln (2009) menyatakan bahwa dalam paradigma konstruktifis ontologinya relativis yaitu bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindra yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi tersebut. Epistemologinya yaitu transaksional dan subjektivis, dimana peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga “hasil-hasil penelitian” tercipta secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian. Metodologinya yaitu hermeneutis dan dialektis, artinya sifat variabel dan personal dari konstruksi sosial menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan diantara peneliti dengan para responden.

Lenggono dalam Zainuddin (2012) mengatakan bahwa penelitian dengan pendekatan konstruktivisme dapat memotret realitas sosial, tidak hanya realitas obyektif yang berada di luar orang yang diteliti tetapi juga realitas subyektif di dalam diri orang yang diteliti yang menyangkut kehendak dan kesadaranya. Hal ini penting dilakukan karena kedua realitas ini memiliki hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi, dan untuk mencapai hal tersebut, maka peneliti harus melakukan dua hal; Pertama, berjumpa dengan pribadi tineliti, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan sungguh-sungguh mau memahami (verstehen) realitas tersebut.

Pendekatan dan Teknik Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana fakta dikonstruksi berdasarkan subyek tineliti. Denzin dan Lincoln (1994) dalam Sitorus (1998) menyatakan bahwa istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak teruji atau terukur (jika sepenuhnya diukur) secara ketat dari segi kuantitatif, jumlah, intensitas ataupun frekuensi. Peneliti-peneliti kualitatif memberi penekanan pada sifat bentukan sosial realitas, hubungan akrab antara peneliti dan apa yang dikajinya serta kendala-kendala situasional yang menyertai penelitian.

Sementara pendekatan atau strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan studi historis. Seperti yang diungkapkan oleh Sitorus (1998) bahwa studi kasus merupakan suatu strategi penelitian multi metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara dan analisis dokumen sementara studi historis merupakan penafsiran atas dokumen sejarah dan catatan-catatan tertulis dari dan tentang masa lampau, meliputi buku harian,


(30)

surat-surat, koran, data sensus, literatur populer lainnya dan dokumen kebudayaan budaya. Adapun kasus terpilih terkait dengan topik penelitian yaitu pemaknaan aktor terhadap konflik pertambangan nikel di Kota Baubau (PT BIS) mulai dari penyabab terjadinya konflik, aktor-aktor yang terlibat dalam kasus yang menyebabkan konflik tersebut dan jejaring kuasa diantara aktor-aktor yang terlibat. Untuk studi historis lebih dikhususkan pada peta penguasaan sumberdaya alam, dalam hal ini penguasaan tanah dilokasi penelitian dan makna sumberdaya alam (hutan).

Penelusuran dokumen lebih diarahkan pada dokumen-dokumen yang terkait dengan materi konflik pertambangan nikel seperti dokumen AMDAL, surat-surat keputusan Walikota, Guburnur, Kementerian Kehutanan dan Perhubungan, Laporan Hasil Komunitas Intelejen Daerah (KOMINDA), Naskah Akademik RTRW Kota Baubau 2004-2012 dan 2012-2030 dan Undang-Undang, serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah terkait dengan fokus kajian. Selain itu dilakukan penelusuran terhadap hasil-hasil rekomendasi DPRD Kota Baubau (risalah rapat) terkait dengan persoalan PT BIS serta pernyataan sikap tertulis oleh komunitas terhadap persoalan tambang tersebut serta penelusuran dokumen terkait sejarah kepemilikan tanah dan pengelolaan sumberdaya alam di lokasi studi. Kemudian data-data terkait dengan informasi lokasi penelitian baik itu monografi desa, kecamatan dalam angka, kabupaten dalam angka dan dikomparasikan dengan data podes. Untuk mengetahui keterkaitan antara topik masalah penelitian, pendekatan dan tujuan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Dari pendekatan tersebut diatas maka diharapkan terkumpulnya dua jenis kelompok data yaitu data primer dan data sekunder. Untuk data sekunder diperoleh melalui kajian laporan, arsip-arsip, surat kabar dan laporan statistik kabupaten/ kecamatan/ desa serta dokumen-dokumen pihak swasta yang diteliti. Sementara data primer diperoleh melalui:

(1). Wawancara mendalam, untuk menggali informasi sedalam-dalamnya terhadap infroman-informan kunci yang didapatkan dari proses observasi dan rekomendasi dari informan sebelumnya pada tingkatan masyarakat lokal, LSM, mahasiswa, pemerintah daerah, aparat negara bidang keamanan dan ketertiban serta pihak swasta. Wawancara mendalam pada tokoh-tokoh lokal baik itu sekitar desa lingkar tambang ataupun tokoh lokal diluar desa tersebut.

(2). Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussions) di gunakan untuk menggali informasi terkait tematik tertentu yang peneliti anggap perlu dilakukan pendalaman selama melakukan wawancara mendalam.

Tabel 3.1 Keterkaitan topik masalah penelitian, pendekatan dan Tujuan Penggunaannya.

Topik masalah penelitian

Pendekatan Tujuan

Sejarah penggunaan dan

penguasaan Sumbedaya

Penelusuran dokumen, analisis dokumen, dan wawancara

 Mengetahui sejarah penggunaan dan penguasaan SDA di lokasi penelitian.

 Mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumberdaya alam (hutan) di lokasi penelitian yang saat ini menjadi lokasi


(31)

Topik masalah penelitian

Pendekatan Tujuan

Alam (SDA) mendalam pertambangan nikel

Aktor yang terlibat

wawancara mendalam

 Mengetahui dan memahami aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA

 Mengetahui peran dan kepentingan aktor terhadap penggunaan dan penguasaan SDA

 Mengetahui bentuk bundle of powerdiantara aktor-aktor yang terlibat

Analisis Konflik

Penelusuran dokumen, analisis dokumen dan wawancara mendalam serta FGD

 Terungkapnya faktor-faktor menyebabakn konflik pertambangan di lokasi penelitian

 Mengetahui tanggapan tineliti terhadap konflik pertambangan di lokasi penelitian

Cara Pengolahan dan Analisis data

Data yang terkumpul, dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam kajian lapangan. Data yang ada tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan tabulasi data, sedangkan teknik menganalisanya adalah dengan menggunakan analisa data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus dan Agusta (2006), analisis data kualitatif meliputi:

a) Reduksi data adalah poroses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformai data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

b) Penyajian Data adalah sekumpulan data informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c) Kesimpulan adalah proses menemukan makna data, bertujuan memahami

tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan.

Adapun proses analisis data mengacu pada teori akses Ribot dan Peluso (2003), Teori Kepemilikan Hak (property right) Ostrom dan Schlager (1992) dan teori aktor dari Bryant and Beiley (1997). Untuk alat bantu menganalisis konflik menggunakan Fisher et al.(2001).

Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara dan sebagai studi kasus penelitian yaitu konflik pertambangan nikel PT BIS. Studi kasus ini didasarkan karena untuk Kota Baubau pengelolaan sumberdaya alam ekstraktif sampai saat ini yang melakukan kegiatan yaitu PT BIS, ini menjadi salah satu potret pertambangan khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara dan dapat saja terjadi pada daerah-daerah lain diluar Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk memperoleh gambaran informasi yang detail maka penelitian ini dilakukan pada dua wilayah kajian, pertama diwilayah administrasi Kota Baubau secara Umum dan kedua di daerah lingkar tambang yaitu Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi dan Kecamatan Lea-Lea. Adapun lokasi penelitian tesebut disajikan pada Gambar 3.1.


(32)

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 4 (empat) bulan, dimana waktu tersebut sudah termasuk identifikasi lokasi untuk menentukan masalah penelitian yang akan dikaji dan dilaksanakan untuk kebutuhan proposal penelitian yaitu dilakukan pada bulan Januari tahun 2013. Kemudian setelah penelitian pendahuluan selasai, peneliti melakukan ujian proposal (Kolokium). Kemudian peneliti melanjutkan kembali penelitian lapang selama 3 bulan terhitung sejak tanggal 12 Maret-25 Mei tahun 2013. Adapun tahapan penelitian yang dilakukan yaitu meliputi tahapan pendahuluan, persiapan, pelaksanaan, analisis dan penulisan laporan, serta pertanggungjawaban hasil penelitian. Tahapan penelitian tersebut disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Deskripsi tahapan penelitian

No Tahapan Uraian

1 Pendahuluan (a) Melakukan kunjungan ke beberapa komunitas

(b) Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi (secara umum).

(c) Pengumpulan data sekunder terkait dengan profil lokasi penelitian

2 Persiapan (a) Melakukan penelusuran dan mengumpulkan

referensi yang sesuai dengan tematik penelitian;

(b) Mempersiapkan administratif penelitian; (c) Menghubungi informan penelitian


(33)

No Tahapan Uraian

(d) Melakukan identifikasi aktor kepentingan terkait dengan konflik pertambangan nikel di Kota Baubau

3 Pelaksanaan (a) Pengumpulan data sekunder sebagai

kelengkapan penelitian

(b) Pengumpulan data primer (wawancan mendalam terstruktur dan tidak terstruktur) (c) Focus Group Discussion (FGD)7

(d) Diskusi partisipatif dengan informan penelitian.

4 Analisis dan Penulisan

Laporan

(a) Mengidentifikasi temuan berdasarkan topik masalah penelitian

(b) Melakukan analisis berdasarkan temuan penelitian

(c) Penulisan hasil penelitian

7

FGD dilakukan hanya pada kelompok komunitas yaitu perwakilan akademisi, mahasiswa dan masyarakat dikediaman AG (39) dosen salah satu perguruan tinggi di Kota Baubau (24 Maret 2013) sementara untuk komunitas masyarakat, pemerintah daerah, DPRD, Aparat negara bidang keamanan dan ketertiban tidak dapat dilaksanakan karena kondisi sosial ketika melakukan penelitian sedang menghadapi hiruk pikuk pergantiang kepemimpinan Walikota dan kondisi masyarakat yang belum bisa dikumpulkan karena pertimbangan keamanan karena suhu konflik horizontal akibat pembebasan lahan oleh pihak korporasi kepada masyarakat saat penelitian masih memanas (pada wilayah kritis dalam eskalasi konfliknya)


(34)

IV. PROFIL WILAYAH MASYARAKAT LINGKAR TAMBANG PERTAMBANGAN NIKEL DI KOTA BAUBAU

Bab ini berupaya menjelaskan bagaimana profil lingkungan atau kondisi eksisting wilayah di sekitar kawasan pertambangan. Hal ini perlu dijelaskan karena ada beberapa hal yang ingin dicapai. Pertama, membantu peneliti untuk melihat sejauh mana pengaruh yang mungkin ditimbulkan terhadap wilayah sekitar baik secara sosial maupun ekologis. Kedua, membantu peneliti dalam menjelaskan potensi dan eskalasi konflik yang mungkin timbul akibat keberadaan dari aktivitas pertambangan. Untuk memudahkan dalam menjelaskan situasi lingkungan kawasan sekitar tambang maka penjelasannya dibagi dalam beberapa aspek yaitu kondisi geografis, kondisi demografis, sistem ekonomi, organisasi dan kelembagaan dan sumberdaya lokal.

Secara administratif sesuai dengan rencana kawasan pertambangan yang tertuang dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau (Perda No 1 tahun 2012), Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BIS mencakup dua kecamatan yakni Kecamatan Sorawolio dan Kecamatan Bungi. Namun dalam menjelaskan pengaruh keberadaan dari aktivitas pertambangan tidak dapat dibatasi oleh wilayah administratif. Hal ini disebabkan karena faktor ekologi merupakan suatu sistem yang tidak dipengaruhi oleh batasan adminitrasi suatu wilayah, namun sebaliknya batas wilayah administrasi terkadang menggunakan elemen lingkungan sebagai batas wilayah administrasi seperti sungai dan lain-lain. Selain itu, aktivitas sosial tidak dapat dibatasi oleh batas administrasi. Mobilitas sosial sering kali menembus batas administrasi baik karena motif ekonomi, politik atau motif lainnya.

Guna untuk memfokuskan kajian terhadap lokasi penelitian, penjelasan tentang lingkungan kawasan sekitar tambang tersebut mesti merujuk pada suatu tempat atau wilayah yang jelas. Tempat atau wilayah itu ditentukan berdasarkan kedekatan wilayah ekologis dan sosial masyarakat. Untuk itu, setidaknya ada empat kecamatan yaitu Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea.

Kondisi Geografis

Secara administrasi, lokasi penelitian meliputi 4 kecamatan yang ada di Kota Bau-Bau yaitu Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna, dan Kecamatan Lea-Lea. Jumlah kelurahan dan luas wilayah masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jumlah desa/kelurahan dan luas wilayah kecamatan

Kecamatan Jumlah Desa/Kelurahan Luas (Km2)

Sorawolio 4 83,25

Bungi 5 47,71

Kokalukuna 6 9,44

Lea-Lea 5 28,93

Sumber: Kota Bau-Bau Dalam Angka (BPS, 2011)

Kondisi topografi wilayah penelitian terdiri dari sebagian besar daerah pesisir (Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea) dan daerah perbukitan


(35)

(Kecamatan Bungi dan Kecamatan Sorawolio). Secara geografis, batas-batas wilayah ke-4 kecamatan tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Batas wilayah Kecamatan Sorawolio yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sampolawa dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wolio.

b. Batas wilayah Kecamatan Bungi yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lea-lea, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kapuntori, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sorawolio dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.

c. Batas wilayah Kecamatan Kokalukuna yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sorawolio,sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolio dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.

d. Batas wilayah Kecamatan Lea-lea yaitu sebelah utara berbatasan dengan Selat Buton, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.

Kecamatan Sorawolio dan Kecamatan Bungi yang terletak di bagian utara Kota Bau-Bau merupakan wilayah pertanian yang subur. Secara umum, kondisi iklim di Kota Bau-Bau sama dengan daerah lain di sekitarnya yang mempunyai 2 musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau dengan suhu udara berkisar 20°C-33°C.

Tabel 4.2 Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan serta rasio jenis kelamin di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea.

Sumber: Kecamatan Sorawolio, Bungi, Kokalukuna dan Lea-Lea dalam Angka (BPS, 2012)

Kondisi Demografis

Jumlah penduduk sekitar kawasan pertambangan PT BIS di Kota Baubau adalah Kecamatan Sorawolio 7.122 jiwa dimana penduduk perempuan 3.656 jiwa dan laki-laki 3.557 jiwa, Kecamatan Bungi 7.096 jiwa dimana penduduk perempuan 3.568 jiwa dan laki-laki 3.510 jiwa, Kecamatan Kokalukuna 16.736 jiwa dimana jumlah penduduk perempuan adalah 8.439 jiwa dan laki-laki adalah 8.297, dan Kecamatan Lea-Lea 6.630 jiwa dimana jumlah penduduk perempuan sebesar 3.407 jiwa dan laki-laki berjumlah 3.223. Dari jumalah tersebut dapat diketahui rasio jenis kelamin masing-masing kecamatan adalah Kecamatan Sorawolio 99,80, Kecamatan Bungi 97,9, Kecamatan Kokalukuna 98,3 dan Kecamatan Lea-Lea 94,60.

Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Rasio jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

Sorawolio 3.557 3.656 99.8

Bungi 3.510 3.586 97.9

Kokalukuna 8.297 8.439 98.3

Lea-Lea 3.223 3.407 94.6


(1)

Berangkat dari hal tersebut maka tahapan konflik pertambangan yang terjadi yaitu masih pada tahap krisis.

Pasca Konflik

Pada tahap pasca konflik sebagaimana yang disampaikan oleh Fisher et al.

(2001) bahwa situasi konflik telah diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik. Namun kondisi ini belum terjadi dalam konflik pertambangan di Kota Baubau

Ikhtisar

Pada tahap pra konflik diawali ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu izin kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS. Pemberian IUP tersebut membentuk terjadinya kontroversi kebijakan. Adapun kontroversi tersebut yaitu terkait dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWI, dimana menurut mahasiswa dan LSM pemberian IUP eksplorasi PT BIS oleh pemerintah Kota Baubau tidak sesuai dengan RTRW (Perda No 2 tahun 2004) karena dalam RTRW tersebut tidak ada alokasi ruang untuk tambang di Kota Baubau. Selain itu kontroversi perizinan yang terjadi yaitu ketika PT BIS melakukan kegiatan eksplorasi dan belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas untuk kegiatan penyelidikan. Namun pemerintah Kota Baubau tetap memberikan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan tersebut yang ditujukan kepada gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara. Kemudian pemberian IUP Eksplorasi tersebut memicu terjadinya perubahan penggunaan dan penguasaan Sumberdaya Alam (SDA). Akibatnya menimbulkan hilangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan di lokasi pertambangan.

Ilustrasi tersebut diatas sehingga menimbulkan ketidasesuaian sasaran antara masyarakat, mahasiswa dan LSM dengan pemerintah terhadap penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam tersebut sehingga timbul konflik pertambangan

Pada tahapan konfrontasi mulai terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, LSM dan masyarakat untuk menolak keberadaan tambang nikel PT BIS. Sementara pada tahap krisis yang terjadi adalah pengrusakan rumah dan teror. Pada tahap akibat dan pasca konflik belum terjadi dalam konflik pertambangan di Kota Baubau.


(2)

65 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada Bab V sampai dengan VII dan merujuk pada pertanyaan dan tujuan penelitian (Bab I) maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sejarah penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau secara tradisonal (era Kesultanan, 1511-1960) mengenal empat klasifikasi penggunaan dan penguasaan lahan yaitu pertama tanah Turakia yang penggunaannya dialokasikan sebagai pemukiman dan penguasaanya hak milik kesultanan (kingdom state property). Kedua tanah Ome yang penggunaanya dialokasikan untuk perkebunan dan penguasaanya hak milik kesultanan (kingdom state property). Ketiga tanah Katampai penggunaannya dialokasikan sebagai perkebunan dan hutan yang penguasaanya hak milik pribadi (private property) atas pemberian sultan. Keempat tanah Kaombo penggunaanya sebagai hutan yang tidak diperbolehkan untuk digunakan kecuali untuk kepentingan bersama dan penguasaan sebagai hak milik kesultanan (kingdom state property). Pada era Soekarno (1960-1965) menjadi benih terjadinya klaim penguasaan atas tanah dari hak pakai milik kesultanan menjadi hak milik pribadi oleh masyarakat dari keempat jenis tanah tersebut. Kemudian pada era Soeharto (1965-1998) tepatnya pada tahun 1967 merupakan awal legitimasi negara terhadap tanah yang tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat baik itu bekas pemukiman (turakia), perkebunan (ome), katampai maupun kaombo untuk ditetapkan sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Kemudian pada era otonomi daera (1999-2013) pemerintah daerah Kota Baubau mengalokasikan kawasan hutan produksi sebagai kawasan pertambangan dengan penguasaan lahan menjadi milik swasta (private ownership).

2. Aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau yaitu kesultanan, pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, pemerintah Kota Baubau, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Kota Baubau, aparat negara bidang keamanan dan ketertiban, pihak swasta (PT BIS), Masyarakat Kota Baubau mahasiswa dan LSM.

3. Bundle of power yang terbentuk yaitu terjadi aliansi antara pemerintah, DPRD Kota Baubau dan PT BIS, kemudian aliansi antara masyarakat pro tambang, mahasiswa pro tambang dan PT BIS serta aliansi masyarakat kontra tambang, mahasiswa kontra tambang dan LSM.

4. Penyebab utama terjadinya konflik SDA yaitu diawali ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu izin kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS. Hal ini mengakibatkan terjadinya kontroversi kebijakan. Kemudian bentuk konfrontasi yang terjadi adalah aksi demonstrasi dan pernyataan pers. Sementara bentuk puncak konflik yang terjadi yaitu pengrusakan rumah dan teror.

Saran

Atas uraian yang disajikan pada bab V s.d. VII, serta kesimpulan di atas, maka yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah Kota Baubau perlu merumuskan pengelolaan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal “kaombo” dan perlu dituangkan dalam bentuk Perda tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.


(3)

2. Berkaitan dengan kontroversi kebijakan dan perizinan yang terjadi maka perlu dilakukan tinjauan secara hukum oleh pihak berwewenang sehingga memiliki kepastian hukum.

3. Pola ComDev yang dilakukan oleh PT BIS tidak berorientasi charitynamum lebih pada pendekatan program pemberdayaan masyarakat pada aras lokal. 4. Perlu dilakukan rembuk bersama antar semua aktor untuk mempertemukan

persepsi pengetahuan aktor tentang materi konflik pertambangan yang terjadi. 5. Penelitian tentang daya dukung lingkungan di lokasi studi penting untuk

dilakukan.

6. Pemerintah daerah perlu merumuskan kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam di Kota Baubau


(4)

67 DAFTAR PUSTAKA

Badan Kesbangpol. 2013. Laporan Komunitas Intelejen Daerah (Kominda) terhadap Permasalahan Penambangan Nikel PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di Kecamatan Lea-Lea Kota Baubau. Tahun 2012 s/d 2013. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Baubau, Baubau

[BPS]. 2012. Baubau Dalam Angka,2012 [BPS]. 2012. Bungi Dalam Angka ,2012 [BPS]. 2012. Kokalukuna Dalam Angka ,2012 [BPS]. 2012. Lea-Lea Dalam Angka ,2012

Bryant RL dan Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. Routledge. London.

Denzin and Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

DPRD, 2012. Risalah Rapat Kerja Gabungan Komisi DPRD Kota Baubau Bersama Pemerintah Daerah dengan Agenda Menindaklanjuti Aspirasi Masyrakat Kecamatan Lea-Lea Terkait Pengelolaan Tambang oleh PT BIS dan Pembangunan PLTU. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau.

---2012. Risalah DPRD Kota Baubau Menerima Aspirasi dari Aliansi Masyarakat Lea-Lea Bersatu Kota Baubau. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau.

---2012. Risalah DPRD Kota Baubau Menerima Aspirasi dari Aliansi Masyarakat Kecamatan Lea-Lea Pro Tambang Sejahtera. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau

---2013. Risalah Rapat Kerja DPRD Kota Baubau Bersama Pemerintah Daerah dengan Agenda Pembahasan Permasalahan PT BIS. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau

---2013. Risalah Rapat Paripurna DPRD Kota Baubau dengan Agenda Penentuan Sikap terhadap Masalah Pertambangan PT BIS. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau

Eckersley. R. 1992. Environmentalism and political Theory: toward an Ecpcentric Approach. Albany : state University of New York Press. New York

Fisher.S,J.et,al.2001.Mengelola Konflik : Keterampilan dan strategi untuk bertindak.The British Council,Indonesia.Jakarta.

Hanna. SS, C Folke, KG Maler (editor).1996. Right To Nature : Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment.Island Press.Washinton DC.USA.

Hasimin.MA. 2009. Pengaruh Nilai-Nilai Tasawuf dalam Tata Negara Adat : Studi Konstitusi Murtabat Tujuh Kesultanan Buton [Tesis]. Universitas Islam Indonesia. Yogykarta.

Hidayat H, et al.. 2011. Politik Ekologi Pengelolaan Taman Nasional Era Otda. LIPI Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta


(5)

http://www.walhi.or.id/index.php/id/ruang-media/siaran-pers/1171-merambah hutan-tambang-nikel-pt-bis-di-kota-baubau-illegal.html (di Unduh 27/12/2012 pukul 04.20.14)

Kartodiharjo.H . 2007. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam : Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. KEHATI. Jakarta.

Kartodiharjo. H dan Jhamtani. H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. PT Equinox Publishing Indonesia. Jakarta.

Kuswijayanti E.R.2007. Konservasi Sumberdaya Alam Di Taman Nasional Gunung Merapi :Analisis Ekologi Politik. [Tesis].Bogor.Institut Pertanian Bogor

Maelong.J.L Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.Bandung Maemunah.S.2012. Negara Tambang dan Masyarakat Adat (Perspektif HAM

dalam Pengelolaan Pertambangan yang Berbasis Lingkungan dan Kearifan Lokal). Instrans Publishing.Malang

Radar Buton, Rabu 6 Februari 2008 Radar Buton, Kamis, 7 Februari 2008

Ribot JC dan Peluso NL. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 : 2. Ritzer dan Goodman, 2003. Teori Sosiologi Modern (Edisi keenam), Kencana

Pernada Group, Jakarta

Salim E. 2010. Ratusan Bangsa Merusaka : Satu Bumi. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta

Schubart, 2005. “Political Ecology in Development Research: An Introductory Overview and Annotated Bibliography“. http://www.nccrnorthsouth.unibe.ch

Seyhan.E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tjondronegoro S.M.P. 2008. Negara Agraris Ingkari Agraria : Pembangunan Desa dan Kemisikinan di Indonesia. Yayasan Akatiga. Bandung

Zahari. A.M. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton I). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta

---. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton II). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Zainuddin.S. 2012. Berebut Otoritas : Antara Kilau Emas versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat “Adat”Kaili di Tahura Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah). [Disertasi].Bogor.Institut Pertanian Bogor.

---. 2012. Kontestasi dan Konflik Memperebutkan Emas di Poboya. Jurnal Sodality:Sosiologi pedesaan.Bogor.


(6)

69

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dari keluarga yang sederhana di sebuah kampung di Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton yang dikenal dengan Kampung Masiri pada tanggal 20 Februari 1982. Dilahirkan dari pasangan orang tua La Ode Basri S.Pd seorang guru Sekolah Dasar yang saat ini mengemban amanah sebagai Kepala Sekolah SD Negeri Majapahit Kecamatan Batauga Kabupaten Buton dan Wa Ode Nuriani sebagai ibu rumah tangga. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan dasarnya di SDN 2 Bola Kecamatan Batauga hingga kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Kemudian menamatkan SD di Sekolah Dasar Negeri 7 Laompo Kecamatan Batauga Kabupaten Buton karena mengikuti sang ayah yang pindah disekolah tersebut. Lalu lanjut Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kecamatan Batauga Kabupaten Buton. Kemudian pada tahun 2001 berhasil menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Baubau.

Pada tahun yang sama yakni 2001, penulis memutuskan untuk meninggalkan tanah Buton dan merantau menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program diploma III jurusan Analisis Lingkungan hingga tahun 2004 melalui jalur USMI. Pada tahun yang sama (2004) langsung melanjutkan pendidikannya (Strata 1) pada program ekstensi di Jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (UI) dan lulus pada tahun 2006. Kemudian pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian bogor.